Anda di halaman 1dari 31

Bab V Ketentuan Administratif Bank Syariah

Rencana Pengajaran :
- Dengan metode Ceramah dan
tanya jawab
- Waktu : Pertemua Ke 5 (Lima)

Tujuan Instruksional Khusus :


- Mahasiswa dapat menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan administratif yang
berlaku dibank umum syariah
- Mahasiswa dapat menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan administratif yang
berlaku dibank perkreditan rakyat syariah

Dasar Hukum
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan sumber hukum yang utama bagi
pengaturan kehidupan perbankan Islam di Indonesia. Ketentuan – ketentuan tentang
Bank Syariah yang diatur oleh Undang – Undang itu telah memperoleh peraturan
pelaksana berupa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah tanggal 12 Mei 1999. Selanjutnya, surat keputusan direksi Bank
Indonesia tersebut disebut SK DIR BI 32/34/1999 dan SK DIR BI 32/36/1999.
Di sini akan dijelaskan berbagai ketentuan administratif mengenai
operasionalisasi Bank Syariah di Indonesia menurut Undang – undang No. 10
Tahun 1998, SK DIR BI 32/34/1999 dan SK DIR BI 32/36/1999.

Bentuk Hukum
Menurut ketentuan Pasal 2 SK DIR BI 32/34/1999 dan SK DIR BI
32/36/1999, bentuk hukum suatu Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi
c. Perusahaan Daerah
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
BUS dan BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usahanya
setelah memperoleh izin Direksi Bank Indonesia. Sedangkan Bank Umum
Konvensional dapat mengubah kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan
izin dari direksi BI. Selaiun itu Bank Umum Konvensional juga dapat membuka
kantor cabang syariah dengan membentuk unit usaha syariah dikantor pusat bank
juga dengan izin BI.
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip dari Bank Indonesia
diajukan sesuai dengan format dan lampiran yang sudah ditetapkan kepada Direksi
BI. Persetujuan atau penolakan dari atas permohonan ini diberikan selambat-
lambatnya 60 hari. Persetujuan prinsip yang diberikan berlaku 360 hari sejak
tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan dan pihak yang memperoleh persetujuan
prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha.
BUS yang telah mendapat izin usaha dari Direksi Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada penulisan
namanya, sedangkan BPRS juga wajib mencantumkan secara jelas kata-kata Bank
Perkreditan Rakyat Syariah atau BPRS atau BPR Syariah pada penulisan namanya.
Menurut Pasal 3 ayat (2) SK DIR BI 32/34/1999, yang dapat mendirikan
BUS hanyalah :
a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
b. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.

Sedangkan yang dapat mendirikan BPRS sesuai SK DIR BI 32/36/1999 adalah :


a. Warga negara Indonesia;
b. Badan hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya dipegang oleg
warga negara Indonesia;
c. Pemerintah Daerah; atau
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan
huruf c.

SK DIR BI 32/36/1999 tidak memberikan kemungkinan bagi pihak asing


untuk mendirikan BPRS.
62
Pasal 15 mensyaratkan bahwa yang dapat menjadi pemilik BUS adalah
pihak – pihak yang :
a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela dibidang perbankan sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik.

Mengenai integritas yang baik diatur dalam pasal 15 SK DIR BI 32/34/1999


dan 32/36/1999 integritas yang baik antara lain :
a. memiliki akhlak dan moral yang baik
b. mematuhi peraturan perundang – undangan yang berlaku
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank
yang sehat.
d. Dinilai layak dan wajar untuk menjadi pemegang saham

Modal dan Sumber Dana


Untuk dapat mendirikan suatu BUS jumlah modal disetor sekurang –
kurangnya sebesar Rp. 3.000.000.000.000 (tiga triliun rupiah) Demikian ditentukan
oleh Pasal 4 ayat (1) SK DIR Bank Indonesia 32/34/1999.
Modal disetor yang berasal dari negara asing dan atau badan hukum asing
harus berjumlah setinggi – tingginya 99 % (sembilan puluh sembilan perseratus)
dari modal disetor bank yang bersangkutan
Pasal 4 ayat (1) SK DIR BI 32/36/1999 menetapkan modal disetor untuk
mendirikan BPRS sekurang – kurangnya sebesar :
a. Rp 2.000.000.000 (dua milyard rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Madya
Tangerang, Bogor, Bekasi dan Karawang.
b. Rp 1.000.000.000.(satu milyard rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah ibu kota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a;
c. Rp 500.000.000(lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar
wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b.

63
Pasal 4 ayat (3) menentukan bahwa dari modal yang disetor tersebut, yang
digunakan untuk modal kerja bagi BPRS, wajib sekurang – kurangnya berjumlah 50
% (lima puluh perseratus). Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian
BPRS itu tidak boleh melebihi 50 % dari modal yang disetor oleh para pendirinya.
Sedangkan sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank
dilarang berasal dari :
a. Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari BUS dan
atau pihak lain di Indonesia;
b. Sumber yang diharamkan, menurut Prinsip Syariah, termasuk dari dan
untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 tersebut dapat dikenakan sanksi
administratif oleh Bank Indonesia.

Pengurus Bank Syariah


1. Struktur Kepengurusan
Menurut ketentuan Pasal 19 SK DIR BI 32/34/1999 dan SK DIR BI
32/36/1999, kepengurusan BUS dan BPRS terdiri dari Dewan Komisaris dan
Direksi. Disamping kepengurusan, BUS maupun BPRS wajib pula memiliki
Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BUS dan BPRS.
2. Jumlah Anggota Dewan Komisaris dan Direksi
Jumlah anggota Dewan Komisaris sekurang – kurangnya 2 (dua) orang
untuk BUS dan 1 orang untuk BPRS. Sedangkan anggota Direksi sekurang-
kurangnya 3 orang untuk BUS dan 2 orang untuk BPRS.
Bank yang sebahagian sahamnya dimiliki pihak asing dapat menempatkan
warga negara asing sebagai anggota Dewan Komisaris dan Direksi, tapi harus
terdapat sekurang-kurangnya satu Dewan Komisaris dan satu Direksi
berkewarganegaraan Indonesia.
3. Syarat – syarat Menjadi Anggota Pengurus
Untuk dapat menjadi anggota Dewan Komisaris dan Direksi suatu BUS dan
BPRS, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

64
b. memiliki kemampuan dan menjalankan tugasnya
c. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik.
Anggota Dewan Komisaris dan Direksi Bank Syariah dianggap memiliki
integritas yang baik antara lain apabila :
a. memiliki akhlak dan moral yang baik
b. mematuhi peraturan perundang – undangan yang berlaku
c. memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang
sehat
d. dinilai layak dan wajar untuk menjadi anggota Dewan Komisaris dan
Direksi Bank.
Selain itu mayoritas dari anggota direksi BUS wajib berpengalaman dalam
operasional bank minimal 1 tahun sebagai pejabat eksekutif pada bank. Sedangkan
pada BPRS minimal 50 % dari anggota Direksi wajib berpengalaman operasional
dibidang perbankan syariah minimal 2 tahun sebagai pejabat dibidang pendanaan
atau pembiayaan. Jika anggota direksi baik di BUS maupun di BPRS belum
berpengalaman seperti yang dimaksud diatas maka wajib mengikuti latihan
perbankan syariah.
Dengan tegas ketentuan diatas (Pasal 23) menetapkan bahwa anggota Dewan
Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman dibidang perbankan.
Dengan demikian, tidak mungkin lagi seperti pada masa yang lalu, suatu bank
menempatkan sebagai anggota Dewan Komisaris orang–orang yang tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perbankan. Misalnya menempatkan mantan
pejabat pemerintahan atau perwira tinggi ABRI yang tujuannya hanya untuk
backing, sedangkan yang bersangkutan sama sekali tidak mempunyai latar belakang
pengetahuan dan atau pengalaman perbankan. Disamping itu, sehubungan dengan
ketentuan Undang – undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
mengenai tanggung jawab berat yang dapat dibebankan secara pribadi (bertanggung
jawab sampai harta pribadinya) bukan saja kepada anggota Direksi tetapi juga
kepada anggota Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas, seyogyanya
anggota Dewan Komisaris ditempatkan dan bekerja sebagai full timer.

65
4. Larangan Memiliki Hubungan Keluarga
Syarat lain yang harus diperhatikan juga dalam penempatan anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris BUS ialah dilarangnya anggota Dewan Komisaris
atau Direksi memiliki hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris atau
Direksi yang lain. Menurut Pasal 23 ayat (4), mayoritas anggota Dewan Komisaris
dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk suami/istri,
menantu, dan ipar dengan anggota Dewan Komisaris yang lain. Sedangkan Pasal 25
ayat (1) menentukan bahwa mayoritas anggota Direksi dilarang memiliki hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua termasuk suami/istri, keponakan, menantu,
ipar, dan besan dengan anggota Direksi lain atau anggota Dewan Komisaris.
Seperti halnya BUS, dalam soal penempatan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris BPRS juga ditentukan adanya larangan bagi anggota Direksi atau
Dewan Komisaris untuk memiliki hubungan keluarga dengan anggota Dewan
Komisaris atau Direksi yang lain. Menurut Pasal 24 ayat (1), anggota Direksi
dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan :
a. Anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua termasuk
mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar, suami
istri.
b. Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak dan
suami/istri.

Berbeda dengan ketentuan bagi Dewan Komisaris BUS, ternyata SK DIR


BI 32/36/1999 tidak menentukan secara khusus larangan bagi anggota Dewan
Komisaris yang lain. Apabila dipedomani ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b,
anggota Dewan Komisaris tidak boleh mempunyai hubungan keluarga dengan
anggota Direksi dalam hubungan sebagai orang tua, anak dan suami/istri. Tetapi
tidak ada ketentuan yang melarang hubungan keluarga antara sesama anggota
Dewan Komisaris.
5. Larangan Memiliki Saham Perusahaan
SK DIR BI 32/34/1999 menentukan bahwa diantara anggota–anggota
Direksi dilarang secara sendiri – sendiri atau bersama – sama memiliki saham
melebihi 25 % (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu

66
perusahaan lain. Harus dicermati bahwa ketentuan itu hanya melarang kepemilikan
saham melebihi 25 % (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor di perusahaan
lain, bukan di BUS yang bersangkutan.
Bagi anggota Dewan Komisaris BUS, SK DIR BI 32/34/1999 tidak dilarang
untuk memiliki saham, baik di BUS maupun di perusahaan lain. Juga tidak dilarang
memiliki saham di BUS yang bersangkutan.
Tidak seperti halnya ketentuan SK DIR BI 32/34/1999 yang menentukan
bahwa di antara anggota–anggota Direksi BUS dilarang secara sendiri–sendiri atau
bersama-sama memiliki saham melebihi 25 % (dua puluh lima perseratus) dari
modal disetor pada suatu perusahan lain, SK DIR BI 32/36/1999 tidak melarang
anggota Direksi BPRS maupun anggota Dewan Komisaris BPRS untuk memiliki
saham baik di BPRS yang bersangkutan maupun pada perusahaan lain.
6. Pembatasan Perangkapan Jabatan
SK DIR BI 32/34/1999 membatasi perangkapan jabatan oleh anggota Dewan
Komisaris. Menurut Pasal 23 ayat (3), anggota Dewan Komisaris hanya dapat
merangkap jabatan :
a. Sebagai anggota Dewan Komisaris sebanyak–banyaknya pada satu bank
lain atau bank perkreditan rakyat; atau
b. Sebagai anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pejabat eksekutif yang
memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak–banyaknya pada dua
perusahaan lain bukan bank atau bukan bank perkreditan rakyat.

Sedangkan anggota Dewan Komisaris BPRS hanya dapat merangkap jabatan


sebagai komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 BPR dan atau BPRS. Tidak ada
larangan bagi anggota Komisaris BPRS untuk menjadi Direksi bank lain atau
perusahaan lain.
Untuk anggota Direksi BUS dan BPRS dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Dewan Komisaris , Direksi atau pejabat Eksekutif pada lembaga
perbankan, perusahaan atau lembaga lain.
Pembatasan perangkapan jabatan tersebut diatas memang perlu ditetapkan
untuk menjaga efektivitas tugas anggota Direksi atau Dewan Komisaris, karena
perangkapan jabatan ditempat lain akan sangat mengurangi waktu dan konsentrasi

67
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dalam
pelaksanaan tugasnya di BUS tersebut. Inilah yang menjadi semangat dan tujuan
dari diadakannya ketentuan mengenai pembatasan perangkapan jabatan itu.

7. Dewan Pengawas Syariah


Disamping memiliki Dewan Komisaris dan Direksi, BUS dan BPRS wajib
memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berkedudukan di Kantor Pusat Bank
tersebut. Persyaratan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan
oleh Dewan Syariah Nasional.
Dewan Pengawas Syariah berfungsi mengawasi kegiatan usaha bank agar
sesuai dengan Prinsip Syariah. Dalam melaksanakan fungsinya, Dewan Pengawas
Syariah wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional.

8. Warga Negara Asing sebagai Pengurus


Bagi BUS yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat
menempatkan warga negara asing sebagai anggota Dewan Komisaris dan Direksi.
Namun, dalam hal BUS tersebut dikelola oleh warga negara asing, harus
diperhatikan Pasal 22 ayat (1) yang menentukan apabila pihak asing menempatkan
warga negara asing sebagai anggota Dewan Komisaris dan Direksi, diantara anggota
Dewan Komisaris dan Direksi BUS yang bersangkutan harus sekurang–kurangnya
terdapat 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris dan 1 (satu) orang anggota
Direksi berkewarganegaraan Indonesia.
SK DIR BI 32/36/1999 tidak menyebut apapun mengenai kemungkinan atau
larangan bagi BPRS untuk memiliki anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris asing. Bukan mustahil BPRS yang memiliki modal yang cukup besar itu
dalam perkembangannya dapat menjadi sangat besar, sehingga perlu dikelola oleh
tenaga–tenaga yang sangat profesional.

Kegiatan Usaha
1. Kegiatan Usaha BUS
Pasal 6 Undang–undang No. 10 Tahun 1998 menentukan bahwa usaha bank
umum dalam menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan Prinsip Syariah ditetapkan dengan ketentuan Bank Indonesia.

68
Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 13 undang – undang tersebut, kegiatan–kegiatan
usaha yang dapat dilakukan dengan menerapkan Prinsip Syariah oleh suatu bank di
Indonesia ditetapkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 SK DIR BI 32/34/1999 DIR BI
32/34/1999. Kegiatan–kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu bank umum
yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah di Indonesia menurut Pasal
28 SK DIR BI 32/34/1999 tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
meliputi :
1. giro berdasarkan prinsip wadi’ah;
2. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
3. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau
4. bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.
b. Melakukan penyaluran dana melalui :
1. transaksi jual beli berdasarkan prinsip :
a) murabahah;
b) istishna;
c) ijarah;
d) salam;
e) jual beli lainnya
2. pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip :
a) mudharabah;
b) musyarakah;
c) bagi hasil lainnya.
3. pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip :
a) hiwalah;
b) rahn;
c) qardh.
c. Membeli, menjual dan atau menjamin atas risiko sendiri surat – surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
(underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah.

69
d. Membeli surat – surat berharga Pemerintah dan atau Bank Indonesia yang
diterbitkan atas dasar Prinsip Syariah.
e. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabah
berdasarkan prinsip wakalah.
f. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip
wakalah.
g. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat–surat berharga
berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
h. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
i. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip
ujr.
j. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah,
murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah serta memberikan
fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
k. Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan pinsip ujr.
l. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah.
m. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui
oleh Dewan Syariah Nasional.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal


28 SK DIR BI 32/34/1999 tersebut, menurut Pasal 29 BUS dapat pula :
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf.
b. Melakuka kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan
atau mudharabah pada Bank atau perusahaan lain yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip
musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan
pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dan ;

70
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang–
undangan dana pensiun yang berlaku.
e. Bank dapat bertindak sebagai baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau
pinjaman kebajikan (qardh- ul hasan).

2. Kegiatan usaha BPRS


Kegiatan–kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu BPRS menurut
Pasal 27 SK DIR BI 32/36/1999 tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
meliputi :
1. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.
2. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
3. bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.
b. Melakukan penyaluran dana melalui :
1. transaksi jual beli berdasarkan prinsip :
a) murabahah
b) istishna
c) salam
d) jual beli lainnya.
2. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip :
a) mudharabah;
b) musyarakah;
c) bagi hasil lainnya.
3. pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip :
a) rahn;
b) qardh.
c) melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang
disetujui oleh Dewan Syariah Nasional

71
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 SK
DIR BI 32/36/1999 tersebut, pasal 28 menentukan bahwa BPRS dapat pula
bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana sosial lannya dan menyalurkannya kepada
yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).
Dibandingkan dengan kegiatan yang boleh dilakukan oleh suatu BUS
sebagaimana ditentukan oleh SK DIR Bank Indonesia 32/34/1999, kegiatan BPRS
lebih terbatas.

7. Fatwa dan Persetujuan Dewan Syariah Nasional


Dalam melakukan kegiatan–kegiatan usaha yang diatur dalam SK DIR BI
32/34/1999 dan 32/36/1999, BUS dan BPRS melakukannya dengan memperhatikan
fatwa Dewan Syariah Nasional. Namun apabila dalam hal bank akan melakukan
kegiatan usaha, ternyata kegiatan usaha tersebut belum difatwakan oleh Dewan
Syariah Nasional, maka bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional
sebelum melaksanakan kegiatan usaha tersebut.
8. Larangan Melakukan Kegiatan Bank Konvensional
Bank umun yang telah diberikan izin oleh Bank Indonesia khusus untuk
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah serta BPRS, baik kantor
pusat, kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang dari bank tersebut, dilarang
melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional. Demikian ditentukan
oleh Pasal 32 ayat (1) SK DIR BI 32/34/1999 dan pasal 31 SK BI DIR 32/36/1999.
Ketentuan ini merupakan penegasan dari ketentuan Undang–undang No. 10 Tahun
1998.
Baik BUS maupun BPRS tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan
usahanya menjadi bank konvensional. Dengan kata lain tidak dimungkinkan suatu
bank BUS dikonversi menjadi suatu bank konvensional. Pasal 33 ayat (1)
menentukan bahwa kantor pusat suatu BUS dilarang membuka kantor cabang dan
atau kantor dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha perbankan
secara konvensional.

72
Dari ketentuan–ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa suatu BUS
dan BPRS sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan selain
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.

9. Pembukaan Kantor Cabang


Baik BUS maupun BPRS dapat membuka kantor cabang dengan persyaratan
tertentu. BUS hanya dapat membuka kantor cabang di dalam negeri setelah
mendapat izin dari Direksi BI, sedangkan untuk pembukaan kantor perwakilan di
luar negeri selain izin dari BI juga harus mendapat izin dari otoritas negara
setempat. Salah satu persyaratan yang ditetapkan BI untuk pembukaan perwakilan
di luar negeri adalah bank tersebut telah menjadi bank devisa sekurang-kurangnya
24 bulan.
BPRS dapat membuka kantor cabang hanya dalam wilayah propinsi yang
sama dengan kantor pusatnya. BPRS yang akan membuka kantor cabang wajib
memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 12 bulan terakhir tergolong sehat
dan wajib menambah modal disetor sekurang-kurangnya sebesar jumalah yang
ditetapkan dalam pasal 4 ayat 1 untuk setiap kantor.

10. Kegiatan Perbankan Syariah oleh Bank Konvensional


Menurut ketentuan Pasal 6 huruf m Undang – undang No. 10 Tahun 1998
dan penjelasannya, suatu bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Namun harus dilakukan dengan membuka islamic window pada bank itu. Caranya
melakukan kegiatan perbankan Islam pada bank konvensional adalah melalui :
a. pendirian kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang baru yang
khusus hanya menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah; atau
b. pengubahan kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang yang
semula melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk selanjutnya
hanya melakukan kegiatan uasaha berdasarkan Prinsip Syariah.

Menurut penjelasan Pasal 6 huruf m Undang – undang No. 10 Tahun 1998


itu, dalam rangka persiapan perubahan kantor cabang atau kantor dibawah kantor

73
cabang yang semula melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk
selanjutnya hanya melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dapat
terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang diberi tugas untuk melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah di dalam kantor bank tersebut.
Merujuk penjelasan Pasal 13 huruf c Undang – undang No. 10 Tahun 1998,
menentukan bahwa bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syaraiah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan
perbankan konvensional. Demikian juga bank perkreditan rakyat yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa hanya Bank Umum
Konvensional yang dapat beroperasi baik secara konvensional maupun secara
syariah dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan BUS, BPR dan BPRS tidak dapat
beroperasi secara bersamaan (Konvensional dan Syariah).
Alat Evaluasi Kemajuan Siswa (soal-soal pendek)
1. Sebutkan bentuk hukum dari BUS dan BPRS sesuai dengan ketentuan yang
ada
2. Sebutkan pihak-pihak yang boleh mendirikan BUS dan BPRS.
3. Sebutkan Sumber-sumber Modal yang dilarang untuk Bank Umum Syariah
(BUS) dan BPR Syariah
4. Sebutkan Struktur Kepengurusan BUS dan BPR Syariah
5. Coba anda sebutkan kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BUS dan
BPRS
6. Apah Bank Umum Syariah (BUS) dan BPR Syariah dapat melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Konvensional ?
7. Apakah Bank Umum Konvensional dan BPR Konvensional dapat
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah ?

74
Kasus
Perbankan syariah sejak awal tahun 2000 mulai mendapat tempat dihati
masyarakat. Saat ini mulai marak berdiri bank syariah di berbagai pelosok daerah.
Apalagi sejak Fatwa MUI pada akhir tahun 2003 yang mengatakan :
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah
dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di
dasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan
Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga
keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat
Sebuah bank umum konvensional tertarik dengan perkembangan perbankan
syariah dan prospek kedepan di sumatera Barat. Untuk itu bank umum konvensional
tersebut ingin membuka unit usaha syariah di kota Padang. Coba anda analisa
apakah keinginan tersebut dapat terwujud dan apa yang harus dilakukan agar
keinginan tersebut dapat terwujud ?

75
Bab VI Rambu-rambu Kesehatan Bank bagi Bank Syariah

Rencana Pengajaran :
- Dengan metode Ceramah dan
tanya jawab
- Waktu : Pertemuan ke enam

Tujuan Instruksional Khusus :


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang berbagai prinsip kehati-hatian (Prudential Banking)
yang berlaku dibank syariah

Analisis Pembiayaan
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Pasal 29 ayat (3) Undang – undang
Perbankan menentukan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara – cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank. Agar tidak sampai merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank itu, Undang –
undang perbankan memberikan pedoman yang harus dipatuhi oleh bank dalam
rangka pemberian kredit atau pembiayaan, pedoman tersebut dicantumkan dalam
Pasal 8 ayat (1).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang – undang Perbankan, bank
Syariah dalam memberikan pembiayaan wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
untuk mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai perjanjian antara bank sebagai
Shahib Al-mal dan nasabah sebagai mudharib. Dalam hubungan itu, bank syariah
wajib memiliki dan menerapkan pedoman pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, demikian menurut
Pasal 8 ayat (2).

Batas Maksimum Pemberian Kredit


Bank Syariah wajib mematuhi batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 ayat 3 Undang
– undang perbankan. Ketentuan mengenai besarnya maksimum tersebut ditentukan

76
oleh Bank Indonesia. BMPK tersebut akan ditetapkan oleh Bank Indonesia bagi
pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih
dari modal setor bank.
b. Anggota Dewan Komisaris
c. Anggota Direksi
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c.
e. Pejabat bank lainnya; dan
f. Perusahaan – perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan pihak
– pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e.
Ketentuan Pasal 11 ayat (4A) Undang – undang Perbankan menentukan
bahwa dalam memberikan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang
melampaui BMPK berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana maksud di atas.
Ketentuan mengenai BMPK bank umum terakhir diatur oleh Bank
Indonesia dengan SK DIR Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31
Desember 1998. Menurut Pasal 20 Direksi Bank Indonesia tersebut, ketentuan
dalam Surat Keputusan ini berlaku pula bagi bank berdasarkan Prinsip Syariah.
Menurut Pasal 7 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia itu, BMPK bagi
peminjam atau kelompok peminjam yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan
setinggi – tingginya :
a. 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal sejak diberlakukannya surat
keputusan ini sampai dengan akhir tahun 2001;
b. 25 % (dua puluh lima perseratus) dari modal selama tahun 2002;
c. 20 % (dua puluh perseratus) dari modal sejak tanggal 1 januari 2003.
BMPK bagi pihak terkait, baik sebagai satu peminjam atau kelompok
peminjam, ditetapkan setinggi – tingginya sebesar 10 % (sepuluh perseratus) dari
moda. BMPK untuk jumlah seluruh pihak terkait ditetapkan setinggi – tingginya
sebesar 10 % (sepuluh perseratus) dari modal.

77
Loan to Deposit Ratio
Loan to deposit ratio (disingkat LDR) adalah perbandingan antara
pembiayan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil
dikerahkan oleh bank. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran
Bank Indonesia No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993, besarnya loan to deposit ratio
ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak boleh melebihi 110 % (seratus sepuluh
perseratus). Dengan ketentuan itu berarti bank boleh memberikan kredit atau
pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga asalkan tidak melebihi 110 %
(seratus persepuluh perseratus).
Dengan ditetapkannya batas maksimum pemberian kredit (pembiayaan)
dan loat to deposit ratio yang harus diperhatikan oleh bank syariah, maka bank
syariah tidak bisa begitu daja secara serampangan melakukan ekspansi pembiayaan
dengan hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar –besarnya atau
bertujuan untuk secepatnya dapat membesarkan jumlah asetnya, karena hal itu akan
membahayakan kelangsungan hidup ban yersebut dan lebih lanjut sudah barang
tentu akan membahayakan dana simpanan para nasabah penyimpan dana dari bank
itu.
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Bank Syariah harus memenuhi kecukupan modalnya sehingga mencapai
kewajiban penyediaan modal minimum bank atau capital adequacy ratio (disingkat
CAR) sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan mengenai
batas minimum CAR tersebut dari waktu ke waktu telah diubah oleh Bank
Indonesia.
Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/20/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1993, tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, Bank
Indonesia menetapkan CAR sebesar 8 % dari aktiva Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR). Mengingat terjadinya krisis perbankan sebagai akibat terjadinya krisis
moneter yang telah mengakibatkan banyaknya bank mengalami CAR yang negatif,
maka ketentuan minimum CAR berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Tersebut telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/146/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 menjadi sebesar 4 % dari ATMR.

78
Posisi Devisa Neto
Prinsip kehati – hatian telah mengharuskan pula bagi bank untuk menjaga
posisi devisa neto bank umum. Posisi devisa neto (PDN), yang dalam bahasa
Inggris disebut net open position (NOP), adalah angka yang merupakan
penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari :
1. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap
valuta asing; ditambah dengan,
2. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan
komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap
valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.

Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/178/KEP/DIR


tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum tanggal 31 Desember 1998, besarnya posisi
devisa neto yang wajib dipelihara oleh Bank pada setiap akhir hari kerja setinggi –
tingginya 20 % (dua puluh perseratus) dari modal. Posisi devisa neto yang harus
dipelihara oleh bank itu dihitung secara konsolidasi, yaitu mencakup seluruh kantor
cabang didalam negeri maupun diluar negeri. Ketentuan surat keputusan direksi
Bank Indonesia tersebut mulai berlaku tanggal 31 Maret 1999.
Ditentukan oleh Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut
bahwa ketentuan dalam Surat Keputusan itu berlaku pula bagi Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Giro Wajib Minimum
Ketentuan mengenai giro wajib bank umum pada Bank Indonesia dalam
rupiah dan valuta asing diatur oleh Bank Indonesia terakhir dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997
sebagaimana telah diteruskan dengan Surat Edaran Bank Indonesia kepada semua
pihak bank umum di Indonesia No. 30/10/UPPB tanggal 30 Oktober 1997.
Didalam surat keputusan Direksi Bank Indonesia di atas ditetapkan hal – hal
sebagai berikut :
1. Persentase giro wajib minimum (GWM) di Bank
Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % (lima perseratus) dari dana

79
pihak ketiga (DPK) dalam rupiah, sedangkan GWM dalam valuta asing
adalah 3 % dari DPK dalam valuta asing.
2. Perhitungan pemenuhan GWM menggunakan pola
sesuai dengan Surat Edaran No. 28/10/UPPB tanggal 14 Desember 1995
butir II dengan perubahan sebagai berikut :
a. GWM harian dalam rupiah pada satu masa laporan
dihitung sebesar 5 % dari rata – rata harian DPK Bank dalam rupiah
dalam satu masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
b. GWM harian dalam valuta asing pada satu masa
laporan dihitung sebesar 3 % dari rata – rata harian DPK bank dalam
valuta asing dalam satu masa laporan pada 2 (dua) masa laporan
sebelumnya.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/89A/KEP/DIR tanggal 30


Oktober 1997 itu merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya, yaitu Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember
1995 tentang giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah
dan valuta asing.
Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi
Tahunan
Mengingat terkaitnya kepentingan nasabah penyimpan dana pada bank di
mana nasabah itu menyimpan dananya, maka para nasabah penyimpan dana perlu
selau mengetahui keadaan keuangan banknya dari waktu ke waktu. Hal itu antara
lain, dapat diketahui melalui neraca dan perhitungan laba/rugi bank tersebut. Dalam
rangka, antara lain, memenuhi kepentingan para nasabah penyimpan dana itu, maka
Undang – undang Perbankan mewajibkan bank untuk mengumumkan neraca dan
perhitungan lab/rugi kepada masyarakat dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Demikian ditentukan dalam Pasal 35 Undang – undang
Perbankan.
Sehubungan dengan berlakunya ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut,
maka pelanggaran – pelanggaran terhadap rambu – rambu kesehatan, baik yang

80
ditetapkan dalam undang – undang Perbankan maupun yang ditetapkan dalam
peraturan – peraturanyang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, baik yang telah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, dapat dikenai sanksi pidana yang
sangat berat kepada pelanggarnya. Sanksi pidana itu adalah pidana penjara dan
pidana denda yang dijatuhkan secara kumulatif, bukan secara alternatif. Berbeda
dengan undang – undang No. 7 Tahun 1992 yang hanya menentukan maksimum
dari sanksi pidana itu tetapi tidak menentukan minimumnya, ternyata Undang –
undang No. 10 Tahun 1998 bukan saja menentukan maksimum dari sanksi
pidananya, tetapi juga menentukan minimum dari sanksi pidana itu. Dengan
demikian, setelah berlakunya Undang – undang No. 10 Tahun 1998 tersebut, tidak
mungkin lagi bagi hakim yang memeriksa perkara pidana yang ditentukan dalam
Undang – undang Perbankan hanya menjatuhkan pidana yang ringan (hanya
beberapa bulan) seperti yang terjadi sebelumnya dan yang sering dikecam oleh
masyarakat sebagai sikap pengadilan yang tidak sejalan dengan rasa keadilan
masyarakat dan tidak memperlihatkan keprihatinan masyarakat terhadap sikap dan
perbuatan tercela dari bankir – bankir jahat yang merusak kehidupan perbankan dan
perekonomian nasional.
Khusus mengenai pembuatan Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan
Keuangan Publikasi Bank Umum, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
31/176/KEP/DIR tanggal 31 desember 1998 menentukan sanksi pidana berdasarkan
Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang – undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Udang – undang No. 10 Tahun 1998 apabila dalam laporan
keuangan tahunan atau laporan keuangan publikasi terdapat ketidaksesuaian yang
mengakibatkan penilaian yang berbeda terhadap keadaan bank yang sesungguhnya,
terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, maupun pihak terafiliasi
lainnya.
Menurut Pasal 49 ayat (1) Undang – undang Perbankan, sanksi pidana yang
dimaksud adalah pidana penjara sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun dang paling
lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurag – kurangnya Rp 10.000.000.000
(sepuluh miliyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000 (dua ratus milyar
rupiah).

81
Sedangkan Pasal 50 Undang – undang Perbankan menentukan sanksi
pidananya adalah sekurang – kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun serta denda sekurang – kurangnya Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dan
paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus milyar rupiah).
Seperti halnya sanksi – sanksi pidana lain yang diatur dalam Undang –
undang No. 10 Tahun 1998, menurut Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 tersebut sanksi
pidana itu juga tidak hanya ditentukan maksimumnya tetapi juga minimumnya.
Sanksi Administratif
Selain sanksi pidana berdasarkan Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut,
Undang – undang Perbankan juga masih memberikan ancaman berupa sanksi
administratif yang dapat dijatuhkan oleh Bank Indonesia. Dari Pasal 52 ayat (1)
dapat diketahui bahwa selain kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana kepada
Dewan Komisaris dan Direksi berdasarkan Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut, Bank
Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada banknya apabila bank
tersebut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang –
undang Perbankan, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank
yang bersangkutan. Juga sanksi administratif dapat dijatuhkan kepada Komisaris
dan Direksi bank tersebut, bahkan sanksi administratif dapat pula dijatuhkan
terhadap pemegang saham bank tersebut.
Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Bank Indonesia menurut
Pasal 52 ayat (2) ialah antara lain berupa :
a. Denda uang
b. Teguran tertulis
c. Penurunan tingkat kesehatan bank
d. Larangan untuk turut serta dlam kegiatan kliring
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia

82
g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam
daftar orang tercela dibidang perbankan.

Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271/KEP/DIR


tanggal 6 Maret 1998, ditentukan secara khusus sanksi administratif yang dapat
dijatuhkan dalam hal pelanggaran itu dilakukan terhadap ketentuan Giro Wajib
Minimum. Sanksi administratif tersebut ditetapkan dalam pasal 8 dan Pasal 10 dari
Surat Keputusan tersebut.
Pasal 8 menentukan sebagai berikut :
Bank yang melanggar ketentuan giro wajib minimum dalam Rupiah
dikenakan sanksi kewajiban membayar :
a. Sebesar 150 % dari suku bungan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR)
overnight untuk setiap pelanggaran; atau
b. Sebesar 200 % dari suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR)
overnight untuk setiap pelanggaran yang terjadi setelah melewati 7 (tujuh)
hari kerja berturut – turut;
c. Sebesar 400 % dari suku bungan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR)
overnight untuk setiap pelanggaran yang terjadi setelah melewati 14 hari
kerjaberturut – turut.

Pasal 10 menentukan sebagai berikut :


Atas saldo giro negatif yang tidak dapat diselesaikan akan dikenakan bungan
sebesar 500 % (lima ratus perseratus) dari suku bunga Jakarta Interbank
Offered Rate (JIBO

Terhadap pelanggaran atas kewajiban mengumumkan Laporan Keuangan


Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi, Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 31/176/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, menentukan sanksi
administratif berikut :
(1) Bank yang terlambat menyampaikan
laporan keuangan tahunan atau terlambat mengumumkan laporan keuangan
publikasi, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan.

83
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan atau tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia
dalam laporan keuangan tahunan atau laporan keuangan publikasi terdapat
ketidaksesuaian yang mengakibatkan penilaian yang berbeda terhadap
keadaan bank yang sesungguhnya, dapat dikenakan sanksi sebagai berikut :
a. Setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank
Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap
teguran, bank tidak memperbaiki dan atau mengumumkan
kembali laporan dimaksud, dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 Undang –
undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang – undang No. 10 Tahun 1998,
antara lain berupa :
i. Penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan;
ii. Pancantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang
saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan;
iii. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain dengan
tidak diperkenankan untuk ekspansi penyediaan dana;
iv. Pemberhentian pengurus bank dan selanjtnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara;
v. Larangan untuk turut serta dalamkegiatan kliring.
c. Pihak terafiliasi dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 Undang – undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang
– undang No. 10 Tahun 1998.
Sanksi Perdata
Kalau kita simak ketentuan Undang – undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas, Anggota Dewan Komisaris dan Direksi bank (termasuk bank

84
syariah) yang berbentuk perseroan terbatas dibebani pula dengan tanggung jawab
perdata apabila perseroan (bank) yang dikelolanya sampai mengalami kerugian atau
mengalami kepailitan.
Menurut pasal 85 ayat (1) Undang – undang Perseroan Terbatas, setiap
anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
85 ayat (1) tersebut bukan tanpa kosekwensi apabila anggota Direksi menjalankan
tugasnya tanpa itikad baik dan penuh tanggung jawab. Pasal 85 ayat (2) undang –
undang tersebut menentukan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1)
itu.
Dalam kaitannya dengan kemungkinan anggota Direksi perseroan untuk
digugat karena melanggar pasal 85 ayat (1) tersebut, Undang – undang Perseroan
Terbatas memberikan hak kepada pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara yang
sah, untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada
perseroan. Demikian ditentukan oleh Pasal 85 ayat (3).
Ketentuan yang serupa dengan Pasal 85 ayat (1) Undang – undang Perseroan
Terbatas yang mengatur mengenai kewajiban komisaris dalam menjalankan
tugasnya. Pasal 98 ayat (1) menentukan bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik
dan penub tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. Namun sayangnya tidak secara eksplisit ditentukan oleh Undang –
undang Perseroan Terbatas bahwa anggota Komisaris harus bertanggung jawb
penuh secara pribadi, seperti hal itu ditentukan bagi anggota Direksi (Pasal 85 ayat
(2)), apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 98 ayat (1) itu. Namun
dari ketentuan Pasal 98 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa anggota komisaris
bertanggung jawab secra pribadi dalam hal yang bersangkutan tidak menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1). Pasal 98 aya (2) itu menentukan

85
bahwa pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada perseroan.
Pasal 1365 KUH Perdata dapat pula merupakan dasar bagi pihak – pihak
yang dirugikan untuk menggugat anggota Komisaris yang bersangkutan secara
pribadi melalui pengadilan negeri karena telah tidak menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan pasal 98 ayat (1) Undang – undang Perseroan Terbatas. Sudah
barang tentu Pasal 1365 KUH Perdata itu dapat pula dijadikan dasar bagi pihak –
pihak yang dirugikan untuk menggugat anggota Direksi karena telah tidak
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (1) Undang – undang
Perseroan Terbatas.
Sekalipun tidak secara eksplisit ditentukan dalam Undang – undang
Perseroan Terbatas, tidaklah berarti bahwa hanya pemegang saham minoritas saja
yang dapat mengajukan gugatan terhadap anggota Direksi maupun anggota
Komisaris Perseroan Terbatas (dengan demikian juga terhadap bank syariah yang
berbentuk perseroan terbatas). Siapapun juga yang dirugikan oleh tindakan anggota
Direksi yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 85 ayat (1) atau oleh tindakan anggota
Komisaris yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 98 ayat (1) tersebut dapat
mengajukan gugatan kepada pribadi anggota Direksi dan anggota Komisaris yang
bersangkutan. Pihak – pihak yang dapat dirugikan adalah para kreditor dan para
pegawai Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Bagi bank syariah yang berbentuk
Perseroan terbataa ( juga bagi bank konvensional) yang merupakan para kreditornya
adalah terutama para nasabah penyimpan dana dan bank – bank lain yang
menempatkan dananya pad bank syariah yang bersangkutan. Mereka dapat
dirugikan karena, mislnya bank syariah yang bersangkutan dibekukan operasinya
atau dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dan kemudian dilikuidasi
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau atas dasar keputusan
pengadilan.
Berkaitan dengan pelanggaran rambu – rambu prudential banking dan
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 85 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) itu, terjadinya

86
pelanggaran dengan sengaja rambu – rambu prudential banking itu saja telah cukup
bagi hakim untuk dijadikan bukti bahwa Direksi dan Komisaris bank yang
bersangkutan telah menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan
dengan penuh tanggung kawab dan dengan itikad baik. Apabila sampai ada pihak
yang dirugikan sebagai akibat bank tersebut mengalami (misalnya) kerugian, maka
pihak yang dirugikan berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata dapat mengajukan
gugatan melalui pengadilan terhadap anggota Direksi bank yang bersangkutan.
Apabila terbukti bahwa Direksi telah melanggar rambu – rambu kesehatan bank
sehingga mengakibatkan kepentingan dan usaha bank dirugikan, maka sesuai
dengan ketentuan Undang – undang Perseroan terbatas, direksi dan komisaris bank
yang bersangkutan secara pribadi dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian pihak
tersebut.
Wujud kerugian bagi kepentingan dan usaha perseroan sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pasal 85 ayat (2) dapat berupa terjadinya kerugian pada bank.
Dapat pula berupa menurunnya harga saham dalam hal bank itu telah merupakan
perusahaan publik yang saham – sahamnya telah terdaftar di bursa efek, apabila
turunnya harga saham bank tersebut sebagai akibat memburuknya kinerja bank
tersebut karena pengelolaan bank yang tidak baik oleh Direksi atau Dewan
Komisaris bank tersebut.
Undang – undang Perseroan Terbatas secara eksplisit menentukan mengenai
tanggung jawab pribadi anggota Direksi suatu Perseroan Terbatas yang dinyatakan
pailit. Menurut pasal 90 ayat (2), dalam hal kepailitan perseroan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk
menutup kerugian kepailitan tersebut, maka setiap anggita Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Ketentuan tersebut tentunya berlaku
pula bagi bank (termasuk bank syariah) yang berbentuk Perseroan Terbatas. Sudah
barang tentu bagi anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, anggota Direksi tersebut tidak
berkewajiban secara tanggung renteng atas kerigian tersebut. Jaminan ini diberikan
oleh Pasal 90 ayat (3) Undang – undang tersebut.

87
Undang-undang No. 10/1998 yang merupakan perubahan terhadap UU No.
7/1992 menentukan bahwa kegiatan usaha bank bagi hasil harus pula
memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang dijabarkan dalam
rambu-rambu kesehatan bank sebagaimana diatur dalam surat keputusan direksi BI
yang merupakan penjabaran dari UU No. 10/1998 tersebut. Jenis prudential standar
untuk bank syariah tidak berbeda dengan yang harus diperhatikan oleh bank-bank
konvensional antara lain
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang – undang Perbankan, bank Syariah
dalam memberikan pembiayaan wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam
hubungan itu, bank syariah wajib memiliki dan menerapkan pedoman pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Bank Syariah wajib mematuhi batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 Undang – undang perbankan. BMPK
tersebut akan ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Loan to deposit ratio (disingkat LDR) adalah perbandingan antara pembiayan


yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh
bank ditambah dengan modal. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Surat
Edaran Bank Indonesia No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993, besarnya loan to
deposit ratio ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak boleh melebihi 110 % (seratus
sepuluh perseratus).
Dengan ditetapkannya batas maksimum pemberian kredit (pembiayaan),
maka bank syariah tidak bisa begitu saja secara serampangan melakukan ekspansi
pembiayaan dengan hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar –
besarnya atau bertujuan untuk secepatnya dapat membesarkan jumlah asetnya,
karena hal itu akan membahayakan kelangsungan hidup bank tersebut dan lebih
lanjut sudah barang tentu akan membahayakan dana simpanan para nasabah
penyimpan dana dari bank itu.

88
Bank Syariah harus memenuhi kecukupan modalnya sehingga mencapai
kewajiban penyediaan modal minimum bank atau capital adequacy ratio (disingkat
CAR) sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan mengenai
batas minimum CAR tersebut dari waktu ke waktu telah diubah oleh Bank
Indonesia.
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/178/KEP/DIR
tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum tanggal 31 Desember 1998, besarnya posisi
devisa neto yang wajib dipelihara oleh Bank pada setiap akhir hari kerja setinggi –
tingginya 20 % (dua puluh perseratus) dari modal. Posisi devisa neto yang harus
dipelihara oleh bank itu dihitung secara konsolidasi, yaitu mencakup seluruh kantor
cabang didalam negeri maupun diluar negeri. Ketentuan surat keputusan direksi
Bank Indonesia tersebut mulai berlaku tanggal 31 Maret 1999.
Ketentuan mengenai giro wajib bank umum pada Bank Indonesia dalam
rupiah dan valuta asing diatur oleh Bank Indonesia dan dari waktu kewaktu telah
diubah oleh Bank Indonesia. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997 sebagaimana telah diteruskan dengan
Surat Edaran Bank Indonesia kepada semua pihak bank umum di Indonesia No.
30/10/UPPB tanggal 30 Oktober 1997.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/89A/KEP/DIR tanggal 30
Oktober 1997 itu merupakan perubahan dari Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang giro wajib
minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing.
Mengingat terkaitnya kepentingan nasabah penyimpan dana pada bank di
mana nasabah itu menyimpan dananya, maka para nasabah penyimpan dana perlu
selau mengetahui keadaan keuangan banknya dari waktu ke waktu. Hal itu antara
lain, dapat diketahui melalui neraca dan perhitungan laba/ rugi bank tersebut.
Dalam rangka, antara lain, memenuhi kepentingan para nasabah penyimpan dana
itu, maka Undang – undang Perbankan mewajibkan bank untuk mengumumkan
neraca dan perhitungan laba/rugi kepada masyarakat dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.

89
Pelanggaran terhadap rambu-rambu kesehatan diancam dengan sanksi-
sanksi hukum kepada direksi dan komisaris bank termasuk bank syariah. Sanksi-
sanksi tersebut dapat berupa sanksi pidana dan sanksi perdata bagi Direksi dan
Komisaris bank, sedangkan bagi banknya dapat dijatuhi dengan sanksi administrasi
oleh Bank Indonesia.

Alat Evaluasi Kemajuan Siswa (soal-soal pendek)


1. Jelaskan rambu-rambu kesehatan bank yang harus diperhatikan oleh bank
yang melakukan kegiatan berdasarkan kegiatan syariah.
2. Apa yang dimaksud dengan loan to deposit ratio ? Berapa batas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Berapa capital adequacy Ratio (CAR) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia ?
4. Berapa besarnya jumlah posisi devisa neto yang wajib dipelihara setiap hari
kerja oleh Bank Syariah ?
5. Berapa Jumlah giro wajib minimum yang harus dipelihara oleh setiap bank
syariah baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing ?
6. Berapa kali dalam setahun bank syariah wajib mengumumkan laporan
keuangannya? kapan laporan itu harus diumumkan ?
7. Sebutkan dan jelaskan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan bila terjadi
pelanggaran terhadap rambu-rambu kesehatan bank.

Kasus
Manajemen sebuah bank syariah di Padang dalam rangka mengejar
keuntungan tahun berjalan melempar berbagai pembiayaan dengan gencar. Sebagian
pembiayaan diberikan pada sebuah perusahaan yang ingin membangun pabrik baru
dan memerlukan modal yang investasi yang sangat besar. Jumlah pembiayaan ini
ternyata melampaui batas maksimal pemberian kredit yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Pembiayaan pada perusahaan tersebut dilakukan berdasarkan
pengalaman selama ini bahwa nasabah merupakan nasabah lama dari bank ini.
Ternyata dalam tahun berjalan nasabah ini mengalami kesulitan likuiditas
sehingga pembiayaan yang diberikan menjadi macet. Dampak dari hal tersebut
karena besarnya pembiayaan yang diberikan mengakibatkan bank mengalami
90
kerugian yang cukup besar sehingga mengganggu tingkat kesehatannya. Hal ini
menyebabkan Bank Indonesia mengambil alih operasional bank tersebut. Apa
sanksi yang akan diperoleh oleh pihak-pihak yang terkait dengan kejadian tersebut ?

91

Anda mungkin juga menyukai