Anda di halaman 1dari 11

Rancang Bangun Ekonomi Islam

A. Ekonomi Islam: Perbedaan Sudut Pandang


Sejauh ini kita telah mengetahui perbedaan-perbedaan antara
paradigma yang mendasari ekonomi konvensional dengan paradigma yang
mendasari ekonomi islam. Keduanya tidak mungkin dan tidak akan pernah
mungkin untuk dikompromikan, karena masing-masingnya didasarkan atas
pandangan dunia yang berbeda. Ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai
sesuatu yang sekuler (berorientasi hanya pada kehidupan duniawi−kini dan
di sini), dan sama sekali tidak memasukkan Tuhan serta tanggung jawab
manusia kepada Tuhan dalam bangun pikirannya. Oleh karena itu, ilmu
ekonomi konvensional menjadi bebas nilai (positivistik). Sementara itu,
ekonomi islam justru dibangun oleh prinsip-prinsip religius (berorientasi
pada kehidupan dunia−kini dan di sini−dan sekaligus kehidupan
akhirat−nanti dan di sana).
Dalam tataran paradigma seperti ini, ekonom-ekonom muslim tidak
menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun, ketika
mereka diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi
Islam itu, mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran
ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya
menjadi tiga mazhab, yakni:
1. Mazhab Baqir as-Sadr
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang
fenomenal yang berjudul “Iqtishaduna (Our Economics)”. Mazhab ini
berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah sejalan dengan Islam.
Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan
pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling
kontradiktif. Yang satunya anti-Islam, yang lainnya Islam.
Menurut mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan
cara pandang keduanya melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu
ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia
yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk
memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab
Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak
mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah
Alquran.
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran setepat-
tepatnya” (QS Al-Qamar: 49).
Dengan demikian, karena segala sesuatunya sudah terukur dengan
sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup
bagi seluruh manusia di dunia.
Pendapat bahwa keinginan manusia itu terbatas juga ditolak. Contoh:
manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh
karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak
terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu
terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal Utility, Law of
Dimishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi).
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena
adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem
ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak
yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga
menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap
sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, menurut mereka, istilah ekonomi Islam adalah istilah
yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan
kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi Islam harus
dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari
filosofi Islam, yakni iqtishad.
Menurut mereka, iqtishad bukan sekedar terjemahan dari ekonomi.
Iqtishad berasal dari kata bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti
“ekuilibrium” atau “keadaan sama, seimbang atau pertengahan”.
Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu
ekonomi konvensional ditolak dan dibuang sebagai gantinya mazhab ini
berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung
digali dan dideduksi dari Alquran dan Sunnah.
Tokoh-tokoh mazhab ini selain Muhammad Baqir as-Sadr adalah
Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian,
Hedayati, dan lain-lain.
2. Mazhab Mainstream
Mazhab mainstream berbeda pendapat dengan mazhab Baqir.
Mazhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena
sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang
tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan
penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium. Namun,
jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin
terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering kali terjadi. Suplai
beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu akan lebih langka
dibanding dengan Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada,
bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah:
“Dan sesungguhnya Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”. (Q.S Al-Baqarah: 155).
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai
hal yang alamiah. Dalilnya:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke
liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahuinya (akibat
perbuatanmu itu)”. (Q.S At-Takaatsur: 1-5).
Dan sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa manusia tidak akan pernah
puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua
lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan
seterusnya sampai ia masuk kubur.
Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi
hampir tidak ada bedanya dengan ekonomi konvensional. Kelangkaan
sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi.
Bila demikian, di manakah perbedaan mazhab ini dengan ekonomi
konvensional?
Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut.
Dilemma sumber daya yang terbatas versus keinginan yang terbatas
memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya.
Kemudian manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari
yang paling penting sampai yang paling tidak penting. Dalam ekonomi
konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan
pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan
agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa Alqurannya, pilihan
dilakukan dengan “mempertahankan hawa nafsunya”. Tetapi dalam
ekonomi Islam, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja.
Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya termasuk ekonomi
selalu dipandu Allah lewat Alquran dan Sunnah.
Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M. Umer Chapra , M.A Mannan,
M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas bekerja di Islamic
Development Bank (IDB). Yang memiliki dukungan dana dan akses ke
berbagai negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah. Mereka adalah para doktor di bidang ekonomi
yang belajar (dan juga mengajar) di universitas-universitas barat. Oleh
karena itu, mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori
ekonomi konvensional.
Umer Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan
ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik
dan sangat berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama
lebih dari serratus tahun terakhir.
Mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh
bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidak diharamkan. Nabi
bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi umat Islam adalah ibarat barang
yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat Muslimlah yang paling
berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim memperkuat hal ini.
Para ulama dan ilmuan Muslim banyak meminjam ilmu dari peradaban
lain seperti Yunani, India, Persia, Cina, dan lain-lain. Yang bermanfaat
diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga menjadi transformasi
ilmu dengan diterangi cahaya Islam.
3. Mazhab Alternatif-kritis
Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di
University of Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard,
Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua
mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang
berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah
ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian
menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream
dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan
variable riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.
Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat
bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan
kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin
bahwa Islam sudah pasti benar, tetapi ekonomi Islam belum tentu benar
karena ekonomi Islam adalah hasil tafsiran manusia atas Alquran dan
Sunnah, sehingga nilai kebenerannya tidak mutlak. Proposisi dan teori
yang diajukan oleh ekonomi islamu harus selalu diuji kebenarannya
sebagaimana dilakukan terhadap ekonomi konvensional.
B. Prinsip-Prinsip Umum Ekonomi Islam
Walau pun pemikiran para pakar tentang ekonomi islamu terbagi ke
dalam tiga mazhab tersebut, namun pada dasarnya mereka setuju dengan
prinsip umum yang mendasarinya. Prinsip-prinsip ini membentuk
keseluruhan kerangka ekonomi Islam, yang jika diibaratkan sebagai sebuah
bangunan dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Perilaku islami dalam Bisnis


Akhlak dan Ekonomi

Prinsip-prinsip sistem
Multiple Freedom ekonomi Islam
Social Justice
Ownership To Act

Tauhid ‘Adl Nubuwwah Khilafah Ma’ad Teori Ekonomi Islam

Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni:


Tauhid (Keimanan), ‘Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah
(Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi
untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam.
Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan
menjadikan ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi
dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai
universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri
dari cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga prinsip derivatif tersebut adalah
multiple ownership, freedom to act, dan social justice.
Di atas semua nilai dan prinsip tersebut, dibangunlah konsep yang
memayungi kesemuanya, yaitu konsep akhlak. Akhlak menepati posisi
puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi,
yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak inilah yang menjadi
panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.
1. Nilai-nilai Universal: Teori Ekonomi
Nilai-nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teori
ekonomi Islam. Rinciannya:
a. Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia
menyaksikan bahwa “tiada sesuatu pun yang layak disembah selain
Allah”, dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada
Allah”. Karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan
sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber
daya yang ada. Oleh karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia
hanya diberi amanah untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai
ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak
diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya
manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Karena itu segala aktivitas
manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia
(mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena
kepadaNya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita,
termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

b. ‘Adl (Keadilan)
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya
adalah adil. Allah tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap
makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi
harus memelihara hukum Allah di bumi, dan menjamin bahwa
pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan
manusia, supaya semua mendapat manfaat dari padanya secara adil
dan baik.
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat
adil. Dalam Islam adil didefinisikan sebagai “tidak menzalimi dan tidak
dizalimi”. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi
tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu
merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan
terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang satu
akan menzalimi orang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas
manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar
daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.

c. Nubuwwah (Kenabian)
Karena rahman, Rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak
dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu
diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah
kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia
ini, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal muasal
segala, Allah. Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang
harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan
akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan “manusia model”
yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi
Muhammad SAW. Sifat-sifat utama sang model harus diteladani oleh
manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada
khususnya, adalah sebagai berikut:
 Siddiq (benar, jujur)
 Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas)
 Fathanah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualita)
 Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran)

d. Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Alquran, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk
menjadi khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan
pemakmur bumi. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap manusia adalah
pemimpin. Nabi bersabda: “Setiap hari kalian adalah pemimpin, dan
akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini
berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga,
pemimpin masyarakat atau kepala negara. Nilai ini mendasari prinsip
kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa).
Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi
(muamalah) antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar
kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi.
dalam Islam, pemerintah memainkan peran yang kecil, tetapi sangat
penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin
perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk
memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
manusia. Semua ini dalam rangka mawashid al-syari’ah (tujuan-tujuan
syariah), yang menurut Imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan
kesejahteraan manusia. Hal ini dapat dicapai dengan melindungi
keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia.

e. Ma’ad (Hasil)
Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi
secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Karena kita semua akan kembali
kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus
berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat). Pandangan dunia yang
khas dari seorang muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan
sebagai: “Dunia adalah lading akhirat”. Artinya, dunia adalah wahana
bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal saleh). Namun
demikian, akhirat lebih baik daripada dunia, karena itu Allah melarang
kita untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan
kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.
Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk
berjuang. Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia
maupun di akhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang
berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal.
Karena itu, ma’ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi
nilai ini dalam kehidupan ekonomi misalnya, diformulasikan oleh Imam
Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah
untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan akhirat. Karena itu konsep
profit mendapatkan legitimasi dalam Islam.

2. Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam


Kelima nilai yang telah diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk
menyusun teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari kelima nilai ini
kita dapat menurunkan tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri sistem
ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut uraiannya adalah sebagai
berikut:
a. Multitype Ownership (Kepemilikan Multijenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep multitype ownership.
Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah
kepemilikan swasta. Dalam sistem sosialis, kepemilikan negara.
Sedangkan dalam Islam, berlaku prinsip kepemilikan multi jenis, yakni
mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta,
negara atau campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit,
bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah
untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik sekunder.
Dengan demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun, untuk
menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada proses penzaliman
segolongan orang terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan
nasionalisasi juga diakui. Sistem kepemilikan campuran juga terdapat
dalam Islam, baik campuran swasta-negara, swasta-domestik-asing,
atau negara-asing. Semua konsep ini berasal dari filosofi, norma, dan
nilai-nilai Islam.

b. Freedom to Act (Kebebasan Bertintak/Berusaha


Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada
kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi
yang profesional dan prestatif dalam segala bidang, termasuk bidang
ekonomi dan bisnis. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan nabi
sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya. Sifat-sifat
nabi yang dijadikan model tersebut terangkum ke dalam empat sifat
utama, yakni siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Sedapat mungkin
setiap muslim harus dapat menyerap sifat-sifat ini agar menjadi bagian
perilakunya sehari-hari dalam segala aspek kehidupan.
Keempat nilai-nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai
keadilan dan nilai khalifah (good governance) akan melahirkan prinsip
freedom of act pada setiap Muslim, khususnya pelaku bisnis dan
ekonomi. Freedom of act bagi setiap individu akan menciptakan
mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar
adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses
penzaliman). Potensi distorsi dikurangi dengan penghayatan nilai
keadilan. Penegakan nilai keadilan dalam ekonomi dilakukan dengan
melarang semua mafsadah (segala yang merusak), riba (tambahan yang
didapat secara zalim), gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan), dan
maysir (perjudian). Negara bertugas menyingkirkan atau paling tidak
mengurangi distorsi pasar ini. Dengan demikian, negara/pemerintah
bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi (mu’amalah) pelaku-
pelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasaannya untuk
menjamin tidak dilanggarnya syariah, supaya tidak ada pihak-pihak yang
zalim atau terzalimi, sehingga tercipta iklim ekonomi dan bisnis yang
sehat.

c. Social Justice (Keadilan Sosial)


Gabungan nilai khilafah dan ma’ad melahirkan prinsip keadilan
sosial. Dalam islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan
keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.
Semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu
menciptakan sistem perekonomian yang adil. Namun tidak semuanya
sistem tersebut mampu dan secara konsisten menciptakan sistem yang
adil. Sistem yang baik adalah sistem yang dengan tegas dan secara
konsisten menjalankan prinsip-prinsip keadilan. Dalam sistem sosialis,
keadilan akan terwujud apabila masyarakatnya dapat menikmati barang
dan jasa dengan sama rasa dan sama rata. Sedangkan dalam sistem
kapitalis, adil apabila setiap individu mendapatkan apa yang menjadi
haknya. Dalam kenyataannya, kita sering menemui bahwa dalam sistem
sosialis pun, negara menjadi faktor yang dominan dan dengan
dominasinya tersebut para birokrat dan penguasa menjadi kaum
kapitalis di tengah kaum sosialis yang miskin. Tidak berbeda dengan
sistem kapitalis, sistem yang mendasarkan pada mekanisme pasar ini
bercita-cita keadilan dapat ditegakkan, namun kenyataannya
mengatakan tidak. Sistem kapitalis justru mendorong terbentuknya
industri korporasi (perekonomian didominasi oleh sebagian kecil orang
saja), melegalkan monopoli (setidaknya sistem kapitalis tidak
mempunyai perangkat kebijakan yang tegas untuk menghilangkan
monopoli tersebut) dan sangat mendewakan modal dengan
penghargaan yang berlebihan.
Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka
(antarraddiminkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak lain
(latazlimuna wa la tuzlamun). Islam menganut sistem mekanisme pasar,
namun tidak semuanya diserahkan pada mekanisme harga. Karena
segala distorsi yang muncul dalam perekonomian tidak sepenuhnya
dapat diselesaikan, maka Islam membolehkan adanya beberapa
intervensi, baik intervensi harga maupun pasar. Selain itu, Islam juga
melengkapi perangkat berupa instrument kebijakan yang difungsikan
untuk mengatasi segala distorsi yang muncul.
3. Akhlak: Perilaku Islam dalam Perekonomian
Sekarang kita telah memiliki landasan teori yang kuat, serta prinsip-
prinsp sistem ekonomi yang mantap. Namun, kedua hal ini belum cukup
karena teori dan sistem menuntut adanya manusia yang menerapkan
nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tersebut. Dengan kata
lain, harus ada manusia yang berperilaku, berakhlak secara profesional
(ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi. Baik dia itu dalam posisi sebagai
produsen, konsumen, pengusaha, karyawan atau sebagai pejabat
pemerintah. Karena teori yang unggul dan sistem-sistem ekonomi yang
sesuai syariah sama sekali bukan jaminan bahwa perekonomian umat
Islam akan otomatis maju. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan
bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah.
Tetapi kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun. Karena itu
pelaku ekonomi dalam kerangka ini dapat saja dipegang oleh umat non-
Muslim. Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola piker dan
pola prilaku umat Islam sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional). Ini
mungkin salah satu rahasia sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak (perilaku)
menjadi indikator baik buruknya manusia. Baik buruknya perilaku bisnis
para pengusaha menentukan sukses gagalnya bisnis yang dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai