Anda di halaman 1dari 8

Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

PARADIGMA ILMU EKONOMI ISLAM

Masyhudi Muqorobin

Fakultas Ekonomi Unversitas Muhammadiyah Yogyakarta


masmubin@yahoo.com

PENDAHULUAN
Ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun sistem, kini telah memasuki kategori untuk
dinyatakan sebagai sebuah paradigma ekonomi baru bersama konfusianisme. Hal ini dibuktikan
pula dengan semakin maraknya diskursus tentang ekonomi Islam di berbagai universitas, baik di
Barat maupun di negara-negara Islam sendiri. Sementara ekonomi Islam sebagai sebuah sistem
juga telah mulai menampakkan kehadirannya, utamanya melalui kehadiran sistem keuangan dan
perbankan Islam.
Paradigma ekonomi baru ini dapat lebih diterima oleh masyarakat melalui berbagai
pembuktian empirik yang diciptakan, melalui tangan-tangan para akademisi, bankir dan para
profesional lainnya yang senantiasa dikawal oleh para alim-ulama dan fuqaha yang memahami
berbagai masalah agama.
Materi kajian dan diskursus ekonomi Islam telah sampai pada pencarian format baru
dalam sistem keuangan Islam, pembentukan berbagai infrastruktur perbankan Islam, metode
perhitungan dan penarikan zakat yang tepat untuk seluruh kategori pembayar zakat yang
berbeda-beda, berbagai model pembelanjaan secara Islam dan sebagainya. Jadi bahkan lebih dari
sekedar metodologi dan paradigmanya.
Sebelum membicarakan paradigma ekonomi Islam, ada baiknya mendiskusikan lebih
dahulu tentang paradigma keilmuan secara umum.

PARADIGMA: ISTILAH YANG MEMBINGUNGKAN?


Ilmu ekonomi selama berabad-abad mewarisi paradigma dan pandangan dunia yang
sekular, yang dibangun oleh para pemikir Barat melalui proses panjang yang dinamakan
Aufklarung atau Enlightenment, yaitu proses pencerahan peradaban masyarakat (Barat) dari yang
sebelumnya “terbelakang” menjadi lebih “maju” dan “modern”. Paradigma atau aslinya
paradigm, adalah sebuah konsep yang ambigous,1 ketika pertama kali dilontarkan oleh Thomas
Kuhn dalam tulisannya yang cukup terkenal, The Structure of Scientific Revolution memiliki
pengertian yang beragam, bahkan menurut Kuhn sendiri.
Hal ini paling tidak tampak dalam tulisan Redman, Economics and the Philosophy of
Science, term tersebut ditemukan dalam 21 pengertian yang berbeda. Akan tetapi satu pengertian
dasar dari term ini, bahwa Kuhn memperkenalkan suatu konsep yang mendasar, dan diperlukan
sebagai prasyarat dalam rangka sebuah pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada
pencapaian-pencapaian ilmiah sebelumnya. Dengan demikian, apabila terjadi ketidak-
sinambungan dalam pengembangan ataupun perkembangan ilmu pengetahuan, ia dapat
dibenarkan dengan merujuk pada istilah paradigm shift, yang lebih jauh lagi memungkinkan
terjadinya revolusi ilmiah, sebagaimana judul buku karya Kuhn tersebut.

1
Lihat Deborah A. Redman, Economics and the Philosophy of Science, Oxford University Press, New York, 1991,
halaman. 16, dikutip dari Margareth Masterman, The Nature of Paradigm,” dalam Imre Lakatos dan Alan Musgrave,
Criticism and the Growth of Knowledge, Cambridge University Press, London, 1970, halaman. 59-89.
1
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

PARADIGMA ILMU EKONOMI


Sejumlah kalangan mungkin tidak sepakat dengan pemakaian istilah tersebut dalam
ekonomi Islam karena muatan yang terkandung di dalamnya lebih bersifat materialistik,
meskipun tidak jelas pula solusinya. Terlepas dari pro-kontra terhadap muatannya, dan dari
benar-benar difahami atau tidaknya, istilah tersebut menjadi komoditas yang enak dikonsumsi di
kalangan intelektual, khususnya intelektual muda.
Andai pengertian umum seperti di atas dapat diterima, maka paradigma ekonomi Islam
dapat saja menjadi istilah bagi perkembangan baru ilmu dan sekaligus sistem ekonomi yang
secara internasional telah diterima menjadi satu “varian” yang boleh jadi, dan boleh jadi juga
tidak, akan mengancam eksistensi ilmu dan sistem ekonomi konvensional dalam jangka panjang
nanti. Untuk pengertian ini kita dapat menoleh kembali sejarah kegemilangan masa lalu Islam,
ketika terjadi transformasi “ilmiah” dari “Muslim Spanyol” ke Eropa Barat sekitar abad 12 dan
13, misalnya untuk menyebut salah satu yang memiliki kaitan erat dengan munculnya paradigma
baru ketika itu, yaitu sistem ekonomi kapitalis Barat.
Ketika itu, akibat peralihan kekuasaan dari Muslim ke Kristen, terjadi suatu transformasi
nilai-nilai sosial dari moralitas Islam yang merintis jalan ke sekularisasi. Sekularisme sendiri
sebenarnya tidak berniat untuk menanggalkan baju moralnya, masyarakat ilmiah di lingkungan
Kristen-lah yang mencoba mengelak dari nilai moralitas ajaran mereka atas nama perkembangan
intelektual, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, menurut Kenneth Lux,2 datanglah Adam
Smith yang “membuang moralitas untuk menemukan ekonomi”. Fenomena ini memang telah
mendapatkan pengesahan sejarah melalui tonggak-tonggaknya yang paling penting yaitu “The
Enlightenment”; revolusi ilmiah; revolusi industri; dan imperialisme-kolonialisme ekonomi serta
berbagai bentuk kelembagaan lainnya hingga sekarang.
Sejak saat itulah terjadi divergensi dalam pemikiran dan praktek ekonomi secara
sistemik, antara Islam dan kapitalisme. Yang kedua kemudian menjadi mainstream dan terpecah
lagi secara garis besar dengan lahirnya sosialisme, masing-masing mempersiapkan perangkat
paradigmanya untuk membangun institusi sosial dan politik dalam rangkaian penguatan sistem-
sistem ekonomi tersebut. Jadi dengan kata lain ilmu ekonomi sekular modern, kapitalisme
maupun sosialisme, adalah sebuah fenomena penyimpangan dari ekonomi Islam, dan bukan
sebaliknya.
Akankah kecenderungan saling mendekat antara kapitalsime dan sosialisme melalui
beberapa fenomena termasuk campurtangan pemerintah seperti diawali oleh Keynes menghadapi
depresi besar di Eropa dan Amerika tahun tigapuluhan; yang kemudian disusul praktek
sosialisme pasar di Cina misalnya, Sovyet (Rusia) dan negara-negara Eropa Timur, dan
kemudian dilengkapi dengan introduksi kembali konsep-konsep Islam semisal mudharabah,
musyarakah, dan sebagainya ke dalam sistem kapitalsime yang telah relatif mapan, akan
membawa pada konvergensi kembali sistem-sistem ekonomi menjadi suatu sistem yang lebih
dinamik dan adil?.
Andai fakta historis ini terus berlangsung, maka formulasi baru ilmu (dan juga sistem)
ekonomi Islam harus, bahkan mutlak, memperhatikan metodologi usul fiqh yang telah ada sejak
berabad-abad, untuk menyimak perkembangan fenomena ekonomi sekarang ini. Tampaknya
peminjaman alat analisis melalui model yang dikembangkan dari teori ekonomi sekular
(terutama kapitalisme dan lebih khas lagi neoklasikal), dalam batas tertentu dapat dibenarkan
melalui peninjauan ulang terhadap, atau dengan membongkar, bangunan asumsi dasarnya.
Bagaimanapun kapitalisme (dan juga deviannya: sosialisme) adalah lahir dari proses yang sama,
yaitu divergensi sejarah perekonomian Islam dengan cara membuang nilai moral yang amat
dijunjung tinggi oleh Islam.
2
Kenneth Lux dalam Adam Smith’s Mistakes, menyoroti posisi moral diatas kepentingan pribadi sebagaimana
dilakukan oleh Adam Smith, dalam Theory of Moral Sentiments dan menggantinya dengan “amoral invisible hand”
bagi pemenuhan self-interest dan persaingan, dalam The Wealth of Nation.

2
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

KONSEP KELANGKAAN
Palndangan dunia merupakan konsep yang berasal dari Barat pula, berkembang secara
mekanik, evolusioner sehingga menemukan citranya yang sekarang. Ia adalah komponen penting
dalam pembentukan suatu sistem, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Ia amat menentukan arah
sistem tersebut. Dalam proses pembentukannya ia bekerja secara gradual dan simultan dengan
perkembangan kenyataan dunia. Sejarah menyatakan bahwa sekalipun dalam suatu masa
terdapat beberapa paradigma pandangan dunia, pada hakikatnya hanya ada satu saja yang
dominan, yang kian lama semakin kokoh dan memperoleh penegasan visi dan bentuknya.
Paradigma pandangan dunia, demikian dua istilah tersebut dapat disatukan, bersama
dengan kenyataan dunia, menjadi elemen penting dalam sebuah pusaran roda raksasa dengan
kekuatan yang luar biasa (gigantic power) bersama epistemologi atau teori pengetahuan sebagai
titik pusatnya. Epistemologi mendefinisikan pengetahuan, menentukan wataknya, membedakan
variasi-varisasinya, dan menetahpkan batas-batas kriterianya.
Paradigma pandangan dunia dominan yang berkembang hingga saat ini adalah hasil dari
enlightenment sebagai telah disinggung di atas, melalu jari-jemari para filsuf dan ilmuwan Barat.
Ia sampai pada keyakinan bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran ilmiah.
Pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada
wilayah yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait
dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada
campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh
karenanya pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi
sekular, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai
the wealth atau well-being yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means,
sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.3
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan
kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam
ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana Robbins definisikan, the science which
studies human behaviour as a relationship between ends and scarce means which have
alternative uses,4 menggambarkan “keserakahan” manusia terhadap kepuasan material dalam
jumlah besar (multiple ends5 dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi
sumberdaya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins,
mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam”, nature is niggardly.6
Pernyataan ini dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misal bagi dunia Muslim,
berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Disinilah konsistensi
sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan
menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan
tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun
asumsi-asumsi yang disebut teori penilaian subjektif yang dengannya setiap keinginan individual
dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoretik
kedalam, misalnya, fungsi produksi sehingga dapat dideskripsikanlah sebuah hukum yaitu the
Law of Diminishing Returns.7 Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai

3
Kritik Robbins terhadap definisi Marshall yang amat berbau “materialist”, tampak dalam The Nature and
Significance of Economic science, lihat dalam Hausman, Ibid, halaman 83-110, namun dia sendiri tetap tidak
beranjak dari solusi yang materialistik, dalam “ketidak-jelasan” ends yang harus dicapai melalui the scarce means.
4
Ibid, halaman 85.
5
Loc.cit
6
Ibid, halaman 84.
7
Ibid, halaman 88-96.
3
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus-menerus, lama-kelamaan
“kekikiran alam” ini makin bertambah.

TANGGAPAN ISLAM TERHADAP KONSEP-KONSEP DASAR ILMU EKONOMI


Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu.
Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka
perlukan melalui ketersediaan berbagai sumberdaya di alam semesta ini. “Dialah Allah yang
menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (al-Baqarah: 29).
Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumberdaya,
perspektif ini dipengaruhi oleh dua hal: pertama, kurangnya pengetahuan, informasi, dan kedua
kurangnya kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumberdaya yang tersedia, atau bahkan
kombinasi dari keduanya. Dalam arti luas, sumberdaya natural ini tidak akan pernah habis
kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat. Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan
bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara natural ataupun melalui invensi
pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan
ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya
penguasaan ilmu pengetahuan (al-Mujadilah: 11) dan pengelolaan waktu (al-‘Asr: 1-4).
Tambahan lagi bahwa pemberian sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran
manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah
Allah sebagai Khalifah fil-ardh.
Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan
pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap
digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah “kepuasan” pun
mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah, dalam arti yang
luas, dunia dan akhirat.
Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus.
Dalam relasi means-ends, bila diperbandingkan dengan pandangan sekular, material sebagai
representasi falah di dunia adalah berfungsi sebagai the means, dalam rangka mencapai the
ultimate ends, the real falah, di akhirat kelak (lihat surat al-Qashash /28, ayat 77). Dengan
demikian pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan
pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna. The ethical Islamic constraint dalam
hal ini misalnya terealisasikan dalam institusi zakat, infaq dan sadaqah, yang dalam konsep
Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk berusaha, karena mereka
memiliki hak yang inherently melekat dalam harta benda si-kaya. Relasi means-ends ini
mencakup seluruh aspek perekonomian ummat Islam dengan sifat dan jenisnya yang tidak
mungkin seluruhnya dapat didiskusikan secara detail dalam tulisan kecil ini. Lihat Gambar 1.

4
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

Gambar 1
Relasi Means-Ends dalam Ekonomi Islam

Ends
Falah
in the Hereafter
(Akhirah)

Ultimate Objectives
Transitional Objectives

Falah Means
in the world
(Dunyawi) Ends

Means
Strategic Objectives Shari’ah
Ends

Tauhid;
Taqwa; ‘Adl’ .
Ihsan; Ukhuwwah;
Means
Ikhtiyar; Fardh;
Ends
Amanah;etc
Instrumental Objectives

Institutional Objectives
Ijtihad/ Ijma’;
Hisbah; Imamah; Means
Shura; PLS; Zakah;
Riba, Israf &
Gharar-free;
etc.

METODOLOGI ILMU EKONOMI


Metodologi ilmu ekonomi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang prinsip-prinsip yang
menuntun manusia di setiap cabang ilmu pengetahuan untuk memutuskan apakah menerima atau
menolak proposisi atau pernyataan tertentu sebagai bagian dari sistematika ilmu pengetahuan
secara umum ataupun disiplin yang ditekuninya.8
Para pemikir Muslim, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abu
Hanifah beserta kedua muridnya Imam Abu Yusuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibn

8
Lihat misalnya Machlup, Ibid, halaman 54.
5
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

Taymiyyah dan nama-nama yang tiada terhitung lagi memformulasikan berbagai perangkat
dalam mekanisme ekonomi yang banyak dipakai ilmu ekonomi konvensional saat ini.9
Dari segi metoda yang dipergunakan, sejarah menyatakan bahwa para ulama terdahulu
kebanyakan mempergunakan metoda penalaran, bila al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ tidak
menyediakan jawaban, melalui berbagai bentuk analisa seperti Qiyas, Istihsan, Masalih al-
Mursalah dan sebagainya. Mereka senantiasa merujuk pada sumber utama terlebih dahulu bila
terdapat permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, baru sebagiannya
beralih kepada Ijma’ atau langsung melakukan ijtihad dengan beberapa pendekatan yang secara
garis besar terbagi dua.

ILMU EKONOMI ISLAM: PARADIGMA BARU ATAU PARADIGMA ASAL?


Bila kita merujuk pada doktrin Islam dalam diskusi di atas, kita akan dihadapkan pada
sebuah kesulitan untuk mencari istilah, andai ini menjadi titik tekan diskusi kita, yaitu istilah
tentang paradigma ilmu ekonomi Islam kita disebut sebagai paradigma baru atau paradigma asal.
Ia dapat dinyatakan baru karena memperbarui yang telah usang dengan menyuntikkan semangat
eksplorasi ilmiah yang baru berdasarkan formulasi sintesis atas metodologi usul-fiqh dengan
metodologi ilmu ekonomi konvensional. Sebaliknya ia juga dapat dinyatakan sebagai paradigma
asal mengingat kita kembali pada sistem etik ekonomi Islam yang telah dikembangkan para
pendahulu kita beberapa abad yang lampau, sama sekali tanpa mengurangi makna suntikan
semangat ilmiah yang baru dari metodologi ilmu ekonomi konvensional.
Persoalan muncul ketika sistem ekonomi yang dominan saat ini berorientasi pada
materialisme dan ditopang oleh mapannya landasan teoretik ilmu ekonomi yang kuat,
dilengkjapi dengan asumsi-asumsi yang tak mudah dipatahkan.
Secara metodologis ada dua isu mendasar yang muncul, pertama, tentang bagaimana kita
mendefinisikan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam, berimplikasi pada munculnya pertanyaan
tentang sejak kapan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam berlangsung, yang telah terjawab dengan
singkat di bagian atas.
Kedua, konsekuensinya, tentang bagaimana menurunkan ketentuan Syari’ah menjadi
alternatif solusi bagi perkembangan ekonomi modern. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi,
kemudian Islamisasi merupakan jalan penyelesaian yang tepat, dan bagaimana bentuknya.
Ini bukanlah isu yang sederhana, sehingga tidak mungkin tulisan sesingkat ini mampu
menyediakan pembahasan yang luas. Namun demikian bukan berarti harus ditinggalkan begitu
saja, melainkan disentuh secukupnya.
Dan bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur tentang peng-Islaman ilmu
pengetahuan sampai ke akar-akarnya, sekalipun melalui mata-rantai proses yang amat panjang,
maka Islamisasi adalah sebuah kemestian yang tak dapat dapat ditunda. Sebaliknya bila
Islamisasi ternyata hanya akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas praktek-
praktek ekonomi yang ada, Islamisasi tidak ada manfaatnya. Keduanya memiliki konsekwensi
yang amat berbeda, dan keduanya juga memiliki kecenderungan bagi keberlangsung-annya.

9
Dalam hal ini Imam Abu Yusuf telah pada sekitar Abad VIII Masehi menulis karya monumentalnya dalam hal
perpajakan, Kitab al-Kharaj, yang disusun atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid untuk menangani masalah
administrasi perpajakan. Dianalisis baik dari sumber aslinya dalam Bahasa Arab terbitan Bulaq Mesir, maupun
terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh Ben Shemesh terbitan E.J. Brill Dalam Kitab ini, Abu Yusuf r.a.
mengemukakan sejumlah maxim atau kaidah dalam perpajakan yang memiliki muatan sama dengan kaidah yang
dikembangkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nation, khususnya ‘Of Taxes’ dalam “The Sources of
Revenue”, lihat Mortimer J. Adler, editor, The Great Books of the western World, vol. 36, Adam Smith, edisi kedua,
1990, Encyclopaedia Britanica Inc., 1990, halaman 405-406. Secara lebih luas pada pemikiran ekonomi para ulama
tersebut, telah banyak diulas oleh genrasi baru, misal silahkan rujuk pada Yassine Essid, A Critique of The Origins
of Islamic Economic Thought”, (Leiden: E.J. Brill, 1995)
6
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

Wallahu A’lam bissawab

7
Masyhudi Muqorobin, Paradigma Ekonomi Islam

DAFTAR PUSTAKA

Backhouse, Roger, (1994), New Direction in Economic Mejthodology, Routledge, London.

Brandis, Royal, “On the Current State of Methodology in Economics”, Research in History of
Economic Thought and Methodology Vol.2, hal. 151-160.

Essid, Yassine, (1995), A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought, Leiden: E.J.
Brill.

Hasan, Zubair, (1992), “Profit Maximization: Secular versus Islamic” dalam Sayyid Taher et.al.,
1992, Reading sin Microeconomics: An Islamic Perspective, Kuala Lumpur: Longman
Malaysia.

Kamali, Muhammad Hashim, (1989), Principle of Islamic Jurisprudence, Selangor, Malaysia:


Pelanduk Publication.

Redman, Deborah A. (1991), Economics and the Philosophy of Science, Oxford University
Press, New York, dikutip dari Margarteh Masterman, “The Nature of Paradigm”, dalam
Imre Lakatos dan Alan Musgrave, Criticism and the Growth of Knowledge, Cambridge
University Press, London, 1970.

Anda mungkin juga menyukai