DISUSUN OLEH :
CLARA APRILIA DAMAYANTI (202210190511011)
ARNASWA DWITARI ZATMIKO (202210190511012)
M. FIRDAUS DWI WICAKSONO (202210190511014)
PROGRAM STUDI
D3 PERBANKAN DAN KEUANGAN
DIREKTORAT VOKASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
ABSTRACT
Islamic economics, which has returned to the economic scene today, is not a new
thing and suddenly appeared without a clear basis. Because the concept of
thought that theoretical and technical concepts that have been practiced must be
has been present and takes place gradually in a certain period and phase. and
certain phases. The problem is how we rediscover the traces of historical truth
that explain the period and phase of the emergence of the concept of Islamic
economics theoretically so that it can be applied as guidelines for sharia-based
economic action, which has been deliberately ignored by historical and western
scholars. The inability of capitalism and socialism to provide solutions to socio-
economic problems in the world economy, especially for Muslims, as well as the
apparent failure of failure of these two systems to deal with the global economic
crisis, encouraged Muslim thinkers to global economic crisis, prompted Muslim
thinkers to look in the mirror and look back to the Islamic heritage to find
solutions to the problems plaguing Muslims. Understanding the Islamic economic
system is not enough through technical socialization, but also on the background
and history of its thinking. of its thought.
Keywords: History, Islamic Economic Thought
ABSTRAK
Ekonomi Islam yang telah kembali ke kancah ekonomi saat ini, bukanlah hal yang
baru dan tiba-tiba muncul tanpa dasar yang jelas. Karena konsep pemikiran yang
menjadi teoretis dan teknis yang telah dipraktikkan pasti telah hadir dan
berlangsung secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Masalahnya adalah
bagaimana kita menemukan kembali jejak kebenaran sejarah yang menjelaskan
periode dan fase munculnya konsep pemikiran ekonomi Islam secara teoritis
sehingga dapat diterapkan sebagai pedoman untuk tindakan ekonomi berbasis
syariah, yang sengaja diabaikan oleh cendekiawan sejarah dan barat.
Ketidakmampuan kapitalisme dan sosialisme untuk memberikan solusi terhadap
masalah sosial-ekonomi dalam ekonomi dunia terutama pada kaum Muslim, serta
kegagalan nyata kedua sistem ini untuk menangani krisis ekonomi global,
mendorong para pemikir Muslim untuk melihat ke cermin dan melihat kembali ke
warisan Islam untuk menemukan solusi atas masalah yang melanda umat Islam.
Memahami sistem ekonomi Islam tidak cukup melalui sosialisasi teknis, tetapi
juga pada latar belakang dan sejarah pemikirannya.
Kata Kunci: Sejarah, Pemikiran Ekonomi Islam
PENDAHULUAN
METODE
Sumber Data
Data yang digunakan dalam artikel ini adalah data sekunder yakni data
yang berasal dari buku pihak ekonomi syariah dan literature jurnal lainya.
Metode Analisis
Dark Ages
Di barat khususnya di Eropa, zaman klasik adalah zaman yang sangat
maju. Ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada abad
ke-20, para cendekiawan menggunakan istilah ini lebih banyak sehubungan
dengan abad ke-5 dan ke-10, tetapi sekarang secara luas dipandang sebagai istilah
yang merendahkan, yang menghubungkan periode pencerahan yang dirasakan
sebagai lawan dari ketidaktahuan budaya. Abad Kegelapan atau Abad
Pertengahan Awal adalah periode abad pertengahan paling awal dalam sejarah
Eropa Barat periode sekitar 500 - 1000 M, ditandai dengan kekaisaran Romawi,
dan perang yang sering terjadi serta pengetahuan dan budaya. Dengan runtuhnya
pemerintahan Romawi yang terpusat di barat, perdagangan, infrastruktur, ilmu
pengetahuan, dan keamanan menurun drastis.
Perekonomian
Karakteristik ekonomi masyarakat tersebut sangat berbeda dengan
masyarakat abad pertengahan dunia Mediterania yang menjadi pusat
peradaban pada tahun 600 - 1300M. Periode abad ke-11 dan sebagian
besar dari abad ke-12 di mana pemilik tanah besar sebagian besar perkebunan
mereka menjadi penyewa atau dengan sesuka hati, tetapi di paruh kedua abad ke-
12 gelombang populasi baru pertumbuhan menyebabkan permintaan untuk
makanan dan pasokan, mengakibatkan tenaga kerja yang diperlukan untuk
menghasilkan makanan. Jadi, abad ke-13 adalah masa keemasan pemilik tanah
besar yang mengolah properti mereka sendiri melalui juru sita. Masyarakat feodal
pada waktu itu adalah aristokrasi dominan didukung oleh kaum tani yang tidak
bebas.
Istilah feodalisme menunjukkan gagasan tentang
masyarakat kesatria, yaitu masyarakat yang didominasi oleh lapisan-
lapisan yang terorganisir, berdasarkan prinsip pengikut, dalam jumlah raja
dan kesatria tertentu. Dari sudut pandang hierarki prajurit
ini, tidak penting menjadi budak atau bebas, tetapi menjadi atau tidak.
Kelas prajurit ini menikmati kekuatan dan kekuasaan yang
tak tertandingi , dan dengan demikian menanamkan pola budayanya
sendiri dengan zaman feodal. Basis ekonomi piramida sosial dalam feodal terdiri
dari petani dan pengrajin yang bergantung pada para kesatria.
Sistem feodal ada di masyarakat Eropa dari abad ke-10 hingga ke-13 M,
di mana hierarki sosial didirikan atas dasar administrasi lokal dan distribusi tanah
di beberapa unit. Seorang pemilik memberikan wilayah serta menjanjikan
perlindungan militer dan hukum, dan sebagai imbalan sejumlah pembayaran dari
orang yang menerimanya. Pembayaran ini mengambil bentuk layanan feodal,
yang bisa berarti layanan militer atau pembayaran rutin barang atau uang. Sistem
ini menciptakan hubungan antara pemilik dan pelayan yang disebut perbudakan.
Pembagian kelas ini kemudian memunculkan dimensi sosial dalam masyarakat.
Inilah yang disebut oleh Marx dan Engels sebagai pendahulu kapitalisme.
b) Fase Kedua
Fase kedua, yang dimulai pada abad ke-11 hingga abad ke-15 M,
dikenal sebagai fase kejayaan karena meninggalkan warisan spiritual yang
sangat kaya. Saat itu para ulama Islam mampu merumuskan pemahaman
tentang bagaimana seharusnya manusia melakukan kegiatan ekonomi
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Di sisi lain, mereka sekaligus
menghadapi realitas politik yang dicirikan oleh dua hal: Pertama,
disintegrasi pusat kekuasaan Abbasiyah dan pembagian kekaisaran
menjadi beberapa negara regional, yang sebagian besar didasarkan pada
kekuasaan daripada keinginan rakyat. Kedua, merebaknya korupsi di
kalangan penguasa yang diiringi dengan kemerosotan moral masyarakat,
yang menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin.
c) Fase Ketiga
Fase ketiga, dimulai dari tahun 1446 hingga 1932 M, adalah fase
penutupan pintu ijtihad (penilaian independen) yang menyebabkan fase
ini dikenal sebagai fase stagnan. Pada tahap ini, para ahli hukum hanya
menulis catatan pendahulunya dan mengeluarkan fatwa untuk setiap
madzab sesuai aturan baku.
َ َقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا َأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِلَم ن َك اَن َيْر ُجوا َهَّللا َو اْلَيْو َم
االخر وذكر هللا
Artinya:
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(valtu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Bagi orang beriman, hukum Allah SWT yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW adalah hukum tertinggi yang suci dan mutlak kebenarannya, karena hukum
ini bersumber dari Yang Maha Benar, yaitu Allah SWT Yang Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana dan Maha Teliti. Allah SWT bahkan menantang siapa saja yang
masih meragukan Al-Qur’an. Allah SWT menantang mereka untuk membuat
hanya satu surat yang serupa dengan Al-Qur'an. Upaya untuk membuat surah
mirip dengan Al Qur’an telah dilakukan, tetapi sejauh ini belum
ada yang berhasil.
Ciri seorang mukmin adalah selalu beriman dan yakin dengan apa yang
datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, meski belum dapat dicerna akal.
Sebagai contoh, tatkala mendengar peristiwa Isra' dan Mi'raj, Abu Bakar RA
langsung membenarkan kejadian itu padahal banyak orang ketika itu khususnya
dari kalangan kafir Quraisy yang mendustakan Nabi SAW. “Diriwayatkan dalam
sebuah riwayat setelah peristiwa Isra' Mi'raj". Peristiwa ini yang kemudian
membuat Rasulullah SAW menjuluki sahabatnya itu dengan gelar ash-Shiddiq,
yakni orang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu,
ketika berbicara tentang ayat-ayat suci yang ditekankan adalah hati daripada
pikiran. Firman Allah SWT telah terbukti secara saintifik dan karena ini banyak
ilmuwan yang masuk Islam karena mengetahui kebenaran Al-Qur'an, seperti
Profesor Keith L More, seorang ahli embriologi yang membaca QS Al-
Mu'minun ayat 13-14.
Menurut Dr. Zakir Naik, 80% ayat Al-Qur’an telah terbukti secara
saintifik. Bila 80% telah terbukti, sedangkan sisanya 20% belum, maka sebagai
orang yang logis, akalnya akan mengatakan bahwa pasti yang 20% juga pasti
benar adanya. Barangkali Allah SWT menyisakan 20% ayat-ayat yang belum bisa
dikonfirmasi kebenarannya secara saintifik tersebut untuk menjadi ujian bagi
manusia di masa ini. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib RA pernah mengucapkan
sebuah perkataan yang terkenal,
ِف َأْو َلى ِباْلَم ْس ُح ِم ْن َأْع الُه َو َق ْدsغل الخلsلو كان الذين بالرأي لكان أش
َيْمَس ُح َع َلى َظاِهِر ُخ َّفْيِه-َر َأْيُت َر ُسوَل ِهللا صلى هللا عليه وسلم
Artinya:
"Seandainya agama itu selalu berdasar logika, maka tentu bagian bawah khuf
(sepatu) lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku
sendiri pernah melihat Rasul SAW mengusap bagian atas khufnya."
Atas dasar ini, umat Islam selalu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW
dalam segala urusan, termasuk dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu, ekonomi
Islam selalu dibangun di atas Al-Qur'an dan Sunnah, berbeda dengan ekonomi
konvensional yang tidak memiliki landasan kebenaran yang pasti. Ini juga
mengapa Sirah Rasulullah adalah bagian sejarah yang penting untuk dipelajari
bagi siapa pun yang mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Di antara prinsip pokok ekonomi Islam dalam Al-Qur'an adalah
(Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Keempat (Depok:
Rajawali Press, 2019):
1) Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh
alam semesta.
2) Manusia adalah Khalifah Allah SWT di muka bumi, bukan pemilik
sebenarnya.
3) Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
SWT. Oleh sebab itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak
atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
4) Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
5) Eksploitasi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
6) Menerapkan sistem warisan Islam (Mawdrits/Fardidl) sebagai media
redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
7) Menerapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun
sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang
banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.
III. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Usman Bin Affan
(644 – 656 M)
Khalifah Usman bin Affan adalah khalifah ketiga dalam kepemimpinan
islam. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah
bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Pada masa
kepemerintahan Khalifah Usman bin Affan berlangsung selama kurang lebih 12
tahun, tercatat dalam sejarah selama menjabat masa kepemerintahan beliau adalah
yang terlama dari keempat khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun, dapat
diperhatikan bahwa dalam masa kepemerintahannya tidak semua programnya
tercapai dengan baik, pada masa pemerintahannya beliau dapat diklasifikasikan
dalam dua periode oleh para sejarawan yaitu selama 6 tahun pertama merupakan
zaman keemasan dan 6 tahun terakhir merupakan masa kemunduran. Ekonomi
pada masa kepemerintahan Usman bin Affan berkembang dengan cepat dan maju
dengan menerapkan beberapa prinsip politik dalam berekonomi. Dengan demikian
dapat terciptalah kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan, kebijakan-kebijakan tersebut yaitu:
1) Mengembangkan sistem ekonomi yang telah di praktikan pada masa Umar
bin Khattab.
2) Membentuk armada laut dan kepolisian di wilayah Mediterania.
3) Tidak mengambil upah dari kantornya.
4) Mempertahankan sistem pemberian bantuan serta memberikan sejumlah
uang kepada masyarakat yang berbeda-beda.
Pada masa Usman bin Affan, ekonomi Islam dapat dilihat dari kebijakan
lain yang beliau terapkan terkait dengan keuangan publik yang melalui sumber-
sumber pendapatan pemerintah yaitu zakat, khums, kharaj, jizyah, dan usyur.
Selain itu, khalifah Usman bin Affan juga menerapkan kebijakan reformasi tanah
dan perpajakan tanah.
IV. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Ali Bin Abi Thalib
(656 – 661 M)
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah keempat dalam
kepemimpinan islam. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abu Thalib bin Abdul
Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Pada masa kepemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib berlangsung selama 5 tahun. Ali bin Abi Thalib diberikan amanah
menjadi seorang khalifah sebagai pengganti Usman bin Affan, selama menjabat
beliau langsung memutuskan untuk memecat beberapa pemimpin kota yang
melakukan tindak pidana korupsi. Ali bin Abi Thalib memiliki keistimewaan
tersendiri dalam mengatur strategi pemerintahan yaitu dalam masalah administrasi
umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan tersusun secara rapi. Bahkan
pada masa Ali bin Abi Thalib, ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai
perspektif kebijakan yang beliau ambil selama menjalankan pemerintahannya.
Kebijakan dalam hal pemerintahan yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib adalah:
1) Menghindari kesenjangan sosial diantara masyarakat sehingga tidak ada
rakyat yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Selain itu,
adanya pembagian harta dari Negara kepada rakyat yang kurang mampu.
2) Pemilik kebun dikenakan wajib zakat dengan persentase yang telah
ditetapkan dan adanya pengenaan pemabyaran zakat terhadap sayur
mayur.
3) Pemberlakuan pembayaran mingguan terhadap petugas negara.
4) Menghindari para mafia pasar sehingga distorsi pasar tidak terjadi.
5) Pengenaan pembayaran ganti rugi dan denda jika petugas Negara merusak
inventaris kerja.
Kebijakan ekonomi Islam pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
yaitu
mengenakan pajak 4.000 dirham kepada pemilik hutan. Selain itu, beliau juga
mengizinkan Ibnu Abbas sebagai gubernur Kuffah untuk memungut zakat pada
sayur-sayuran dan rempah-rempah. Ali bin Abi Thalib juga berprinsip bahwa
keadilan dalam mendistribusikan kekayaan rakyat harus sesuai dengan
kemampuannya. Berbicara mengenai ekonomi, Ali bin Abi Thalib secara terbuka
menerapkan beberapa kebijakan ekonomi, yaitu:
1) Penyaluran harta yang berasal dari Baitul Mal kepada masyarakat yang
dianggap memiliki hak atasnya.
2) Pembiayaan armada laut dihapuskan dengan berbagai kebijakan.
3) Anggaran Negar diperketat dengan tujuan efisiensi.
4) Mencetak mata uang Negara Islam sendiri.
Pada dasarnya sejarah asal usul pemikiran ekonomi Islam dalam beberapa
dekade terakhir, banyak penulis dan di berbagai bidang ilmuwan, termasuk bidang
ekonomi telah menyimpulkan bahwa terjadinya krisis global multidimensi yang
sangat kompleks disebabkan oleh kesalahan operasional, bahkan lebih konseptual
dan tingkat paradigmatik, yang meliputi intelektual, moral dan spiritual. Dan
munculnya ekonomi Islam modern di tempat kejadian dimulai pada tahun 1970-
an, dan dengan kehadiran ekonom Islam dunia kontemporer sebuah asosiasi untuk
pertama kalinya dalam sejarah di Konferensi Internasional tentang Ekonomi dan
Keuangan Islam diadakan di Jeddah.
Sejarah juga menunjukkan bahwa sistem Islam memiliki kekuatan untuk
memberikan standar dan model operasional yang dapat diterapkan, dimana
lingkungan sekitar yang sangat mendukung dan juga dapat dijadikan acuan untuk
menghadapi kondisi ekonomi saat ini. Pemikiran dan tradisi ekonomi yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam ini telah dijalankan sejak masa Rasulullah SAW dan
Khulafaur Rasyidin pada sekitar abad ke-7 M. Sejumlah tokoh pemikir muslim
telah lahir dengan sejumlah karya yang luar biasa dimulai dari masa Abu
Yusuf, Abu Ubaid, berlanjut dengan pemikiran asy Syatibi, al Ghazali, Ibn
Khaldun dll.
Pada abad ke-20, para cendekiawan menggunakan istilah ini lebih banyak
sehubungan dengan abad ke-5 dan ke-10, tetapi sekarang secara luas dipandang
sebagai istilah yang merendahkan, yang menghubungkan periode pencerahan
yang dirasakan sebagai lawan dari ketidaktahuan budaya. Siddiqi Fase pertama
adalah fase dari abad awal hingga Hijriyah pada abad ke-5 atau abad ke-11
M, yang dikenal sebagai fase pendirian ekonomi Islam, yang dikemukakan oleh
para ahli hukum, diikuti oleh para sufi dan kemudian para filsuf.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Jurnal
466-1528-3-PB.
MAGHFIROH, Z. and CANIAGO, S.A. PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA PERADABAN
ROSULULLAH SAW.
RAHMADI, T. and RAYA, I.P. (2021) Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Periode Khalifah Utsman
Bin Affan dan Periode Ali Bin Abi Thalib).