Anda di halaman 1dari 28

JURNAL SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

MATA KULIAH : EKONOMI ISLAM


DOSEN PENGAJAR : VENUS KUSUMAWARDANA, S.E., M.M

DISUSUN OLEH :
CLARA APRILIA DAMAYANTI (202210190511011)
ARNASWA DWITARI ZATMIKO (202210190511012)
M. FIRDAUS DWI WICAKSONO (202210190511014)

PROGRAM STUDI
D3 PERBANKAN DAN KEUANGAN
DIREKTORAT VOKASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
ABSTRACT
Islamic economics, which has returned to the economic scene today, is not a new
thing and suddenly appeared without a clear basis. Because the concept of
thought that theoretical and technical concepts that have been practiced must be
has been present and takes place gradually in a certain period and phase. and
certain phases. The problem is how we rediscover the traces of historical truth
that explain the period and phase of the emergence of the concept of Islamic
economics theoretically so that it can be applied as guidelines for sharia-based
economic action, which has been deliberately ignored by historical and western
scholars. The inability of capitalism and socialism to provide solutions to socio-
economic problems in the world economy, especially for Muslims, as well as the
apparent failure of failure of these two systems to deal with the global economic
crisis, encouraged Muslim thinkers to global economic crisis, prompted Muslim
thinkers to look in the mirror and look back to the Islamic heritage to find
solutions to the problems plaguing Muslims. Understanding the Islamic economic
system is not enough through technical socialization, but also on the background
and history of its thinking. of its thought.
Keywords: History, Islamic Economic Thought

ABSTRAK
Ekonomi Islam yang telah kembali ke kancah ekonomi saat ini, bukanlah hal yang
baru dan tiba-tiba muncul tanpa dasar yang jelas. Karena konsep pemikiran yang
menjadi teoretis dan teknis yang telah dipraktikkan pasti telah hadir dan
berlangsung secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Masalahnya adalah
bagaimana kita menemukan kembali jejak kebenaran sejarah yang menjelaskan
periode dan fase munculnya konsep pemikiran ekonomi Islam secara teoritis
sehingga dapat diterapkan sebagai pedoman untuk tindakan ekonomi berbasis
syariah, yang sengaja diabaikan oleh cendekiawan sejarah dan barat.
Ketidakmampuan kapitalisme dan sosialisme untuk memberikan solusi terhadap
masalah sosial-ekonomi dalam ekonomi dunia terutama pada kaum Muslim, serta
kegagalan nyata kedua sistem ini untuk menangani krisis ekonomi global,
mendorong para pemikir Muslim untuk melihat ke cermin dan melihat kembali ke
warisan Islam untuk menemukan solusi atas masalah yang melanda umat Islam.
Memahami sistem ekonomi Islam tidak cukup melalui sosialisasi teknis, tetapi
juga pada latar belakang dan sejarah pemikirannya.
Kata Kunci: Sejarah, Pemikiran Ekonomi Islam
PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna, yang di dalamnya semua aspek


kehidupan manusia telah diatur sedemikian rupa dan menyeluruh untuk mencapai
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Guna mencapai tujuan suci tersebut, Allah
menurunkan Al-qur’an sebagai hidayah yang meliputi seluruh persoalan manusia
di dunia dan akhirat. Tidak hanya mengatur komponen kehidupan yang
konstan sehubungan dengan iman dan keyakinan tetapi juga mengatur komponen
kehidupan manusia yang terus berubah dengan perbedaan waktu dan seperti
dalam sosial, domain politik dan ekonomi.
Perkembangan ekonomi Islam ditandai dengan semakin
maraknya praktik lembaga keuangan syariah yang mengundang berbagai bentuk
respon dari umat Islam. Dan tidak terkecuali munculnya kesadaran umat
Islam menuju pemahaman yang komprehensif tentang ekonomi Islam
tidak hanya melibatkan masalah teknis dan aplikasi, mendorong umat Islam untuk
memahami latar belakang dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Namun, fakta sejarah yang disayangkan bahwa seseorang tidak dapat
menyangkal kelangkaan studi tentang sejarah ekonomi, ditambah dengan
kesenjangan epistemologis yang terbuka lebar cenderung membuat lebih sulit
untuk membuka secara transparan dan membuka penemuan pemikiran cemerlang
tentang teori ekonomi yang kita ketahui saat ini. Oleh karena itu,
nampaknya sangat perlu untuk mengkaji ulang sejarah perkembangan pemikiran
ekonomi Islam yang intinya telah ada ribuan tahun dan bukan ilmu baru yang
muncul dari hasil modifikasi ekonomi konvensional barat.

METODE

Sumber Data

Data yang digunakan dalam artikel ini adalah data sekunder yakni data
yang berasal dari buku pihak ekonomi syariah dan literature jurnal lainya.

Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif


kualitatif yang bertujuan mengungkapkan fakta-fakta sejarah tentang pemikiran
ekonomi islam.
HASIL DAN PEMBAHASAN

 Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam


Dalam beberapa dekade terakhir, banyak penulis dan di berbagai bidang
ilmuwan, termasuk bidang ekonomi telah menyimpulkan bahwa terjadinya krisis
global multidimensi yang sangat kompleks disebabkan oleh kesalahan
operasional, bahkan lebih konseptual dan tingkat paradigmatik, yang meliputi
intelektual, moral dan spiritual. Misalnya, dalam bidang ilmu ekonomi, ilmu
ekonomi dengan pendekatan reduksionis dan dikotomis dengan ilmuan lain.
Padahal dalam Islam, ilmu yang satu memiliki hubungan yang sangat erat dengan
ilmu yang lain. Dan munculnya ekonomi Islam modern di tempat kejadian
dimulai pada tahun 1970-an, dan dengan kehadiran ekonom Islam dunia
kontemporer sebuah asosiasi untuk pertama kalinya dalam sejarah, di Konferensi
Internasional tentang Ekonomi dan Keuangan Islam diadakan di Jeddah.
Namun, sebagai konsep pemikiran yang menjadi teori dan teknis yang
telah dipraktikkan, pasti ada dan terungkap secara bertahap dalam periode dan
fase tertentu. Dan di mana masalahnya sekarang, bagaimana menemukan
kebenaran sejarah yang menjelaskan periode dan munculnya
konsep teori pemikiran ekonomi yang dapat diterapkan sebagai
pedoman untuk tindakan berbasis syariah yang telah sengaja diabaikan oleh
sejarah dan sarjana barat. M. Umer Chapra menjelaskan bahwa kesalahan ini
sebagian terletak pada pundak kaum muslimin, karena kurangnya kontribusi yang
memadai dari umat Islam, yang sama sekali mengabaikan peran umat Islam.
Jika proses evolusioner ini telah terwujud sepenuhnya, Chapra
berpendapat bahwa Schumpter mungkin tidak akan berasumsi bahwa kesenjangan
yang sangat besar selama 500 tahun itu masa tidak produktif, tetapi akan mencoba
menemukan fondasi di mana para sarjana Barat dan filosof Skolastik membangun
bangunan intelektual mereka.
Karena pada kenyataannya ada dua titik yang hilang dalam sejarah
pemikiran ekonomi, yaitu: Great Gap pada masa Dark Age dan relasi antara
pemikiran di barat dan dunia islam.

 Urgensi Mempelajari Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


Dengan mempelajari sejarah pemikiran Ekonomi Islam, diharapkan dapat
ditemukan kembali berbagai khazanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya
ekonomi Islam di masa kejayaan dunia Islam. Bukti empiris menunjukkan bahwa
banyak pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah Islam bagi pemikiran dan
perkembangan ekonomi Islam saat ini. Sejarah juga menunjukkan bahwa sistem
Islam memiliki kekuatan untuk memberikan standar dan model operasional yang
dapat diterapkan, dimana lingkungan sekitar yang sangat mendukung dan juga
dapat dijadikan acuan untuk menghadapi kondisi ekonomi saat ini.
Sejarah pemikiran ekonomi Islam dapat menjadi penghubung masa lalu
dengan masa kini, mempersiapkan masa depan yang merupakan perkembangan
pemikiran ekonomi Islam sejak kemunculan Islam, hingga saat ini ekonomi
menjadi disiplin tersendiri. Kepedulian terhadap isu ekonomi
mendahului berkembangnya alat analisis yang berkaitan dengan ilmu ekonomi itu
sendiri, dan hal ini terdapat dalam tulisan-tulisan para ulama fikih awal.
Ekonomi Islam, dalam kerangka kajian fikih bersifat fleksibel dan tidak
statis. Pemikiran ekonomi Islam berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini
dimungkinkan dari metodologi yang digunakan dalam kajian ekonomi Islam,
yaitu ushol al fiqh. Ulama juga memiliki peran yang sangat penting dalam
merumuskan pemikiran ekonomi Islam. Mereka tidak hanya menuliskan berbagai
praktik ekonomi Islam pada masanya, tetapi juga menggunakan dalil naqli dari
Al Quran dan Sunnah dalam praktik ekonomi dengan metode ijtihad.
Mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam juga berarti kontribusi para
cendekiawan muslim terhadap perkembangan ekonomi. Meski sering
tersembunyi, para ekonom Barat sangat dipengaruhi oleh pemikiran para
ilmuwan Muslim. Salah satunya adalah Thomas Aquinas, yang banyak
dipengaruhi oleh al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, serta Adam dan tokoh-
tokoh klasik lainnya. Kajian tentang kontribusi cendekiawan Muslim hingga
zaman Adam Smith dapat memberikan kesempatan kepada generasi saat ini untuk
menyatukan ekonomi Islam dengan pemikiran pra-Smith, ini mempercepat
pemulihan setelah berabad-abad hiatus dalam berpikir tentang ekonomi Islam.

 Kesenjangan Besar (Great Gap) dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi


Mereka juga menyebutkan pendapat beberapa pendeta Kristen yang hidup
pada abad-abad awal era Skolastik. Kemudian analisis ekonomi melompat
ke Abad Pertengahan ketika Eropa keluar dari ketidakjelasan dan pada saat yang
sama konsepsi yang berbeda tentang masalah alam dan sosial muncul. Lompatan
sejarah ini menyebabkan kesenjangan yang lebar sekitar berabad-abad. Tepatnya,
ini adalah periode ketika perusahaan menguasai sebagian besar dunia dengan
membangun kerajaan yang perkasa, menciptakan ekonomi yang berkembang dan
membuat kemajuan budaya dan ilmiah.
Salah satu referensi utama yang digunakan oleh para
ekonom ketika membahas sejarah pemikiran ekonomi adalah buku The of
Economic Analysis yang ditulis oleh seorang ekonom Austria-Amerika, Joseph.
Dalam bukunya, Schumpeter menulis bahwa perkembangan ekonomi sangat
lambat , dimulai antara pertengahan abad ke-17 dan akhir abad ke-18.
Dia menyadari bahwa ada kekuatan yang menguasai Barat selama lebih dari
seribu tahun dengan birokrasi maju setelah era Yunani kuno. Meski begitu,
dia mengatakan bahwa literatur yang berhubungan dengan masalah hukum,
moneter, komersial, agraria dan fiskal telah dan tidak dapat ditemukan.
“Konsep seperti 'rasionalitas' dan 'kemajuan' dalam buku ini disajikan secara tidak
adil sebagai kontribusi unik Barat untuk peradaban manusia.
Eropa dan Barat diberi suatu pendirian tentang bagaimana kekuatan
dinamis mengubah peradaban manusia selama Pencerahan dan berpuncak
pada Revolusi Ilmiah abad ke-17. Bahkan, itu cenderung menunjukkan seolah-
olah hanya yang berdampak pada "sejarah" dan "pemikiran dan" pengetahuan ".
Dalam konteks ini, Schumpeter memajukan "Great Gap ". Berpendapat bahwa
antara runtuhnya peradaban Yunani-Romawi dan periode Pencerahan yang
umumnya diidentifikasi sebagai "zaman kegelapan" Eropa, tidak ada pemikiran
atau perkembangan sosio-ekonomi yang signifikan yang tidak pernah terjadi.
Pernyataan ini mengabaikan semua kontribusi dunia terhadap sejarah pemikiran
ekonomi dan mengabaikan banyak hal yang ditinggalkan oleh para sarjana
peradaban Islam awal tertentu, tetapi juga tradisi Bizantium, Cina, dan India.
Tesis ini juga mengabaikan literatur ekonomi yang sangat penting dan
dikembangkan di kalangan skolastik Latin abad pertengahan Arab-Islam. Thomas
Aquinas sebagai kunci untuk pemikiran ilmiah tahap paling awal dan
paling penting dari kritik metodologi yang dilakukan di Eropa. “Pemikiran Islam
tidak hanya mengambil sumbernya dari Al-Qur’an tetapi juga dari Sunnah
Nabi Muhammad SAW kemudian dipelajari sebagai referensi utama termasuk
ketentuan-ketentuan ilmunya dalam Islam. Tesis “The Great Gap” Schumpeterian
telah secara mendalam dibuktikan dalam kerangka tradisi dalam ekonomi dan
tercermin dalam hampir semua yang relevan dengan disiplin ilmu ekonomi.
Pemikiran dan tradisi ekonomi yang sejalan dengan nilai-nilai Islam ini telah
dijalankan sejak masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin pada sekitar abad
ke-7 M.

 Latar Belakang Historis: Islamic Golden Ages VS Dark Ages

 Masa Keemasan Islam (Islamic Golden Ages)


Sementara itu, pada saat yang sama, Barat sedang tenggelam ke dalam apa
yang disebut para sejarawan sebagai Abad Kegelapan. Di antara kontribusi
terpenting bangsa Arab adalah sistem bilangan dan aljabar, teori optik modern
dan pengenalan kembali filsafat Aristoteles di Barat. Banyak ilmuwan yang
mengingkari kemajuan ilmu pengetahuan bangsa Arab dan cenderung
beranggapan bahwa karya tersebut tidak lebih dari terjemahan karya-karya klasik
dari masa Yunani kuno. Sejarah budaya masyarakat Arab dimulai pada
abad ini, awal kebangkitan Islam dan perluasan utara kekuatan Arab satu kekuatan
ditakdirkan untuk mendominasi sebagian besar dari dunia dalam waktu kurang
dari satu abad.
Agama baru yang dianut tidak hanya memberi mereka pandangan dunia
yang koheren dan memungkinkan mereka untuk melampaui batas sempit
keberadaan suku mereka, tetapi juga mendorong mereka untuk menguasai
budaya peletakan Timur landasan bagi peradaban yang lebih maju. Terlepas
dari banyak ketegangan politik dan teologis yang muncul, tampaknya orang Arab
mampu berasimilasi, khususnya selama periode antara jatuhnya Persia dan
Bizantium pada abad ke-7 dan awal Renaisans pada abad ke-14. Ini juga
dilakukan untuk tujuan peningkatan di bidang matematika, kedokteran, dan
filsafat menuju kemajuan ilmu pengetahuan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Zaman Keemasan Islam mengacu pada periode Islam, yang berasal
dari abad ke-8 hingga ke-13, di mana banyak dunia Islam secara historis oleh
berbagai khalifah dan ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi, dan karya
budaya berkembang pesat.
Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya "The Islamic Golden
Age". Fakta bahwa wilayah yang diperintah oleh Khalifah Islam saat itu sangat
luas, sebagian besar Asia dan Afrika memudahkan komunikasi dan
penyebaran ilmu. Banyak ilmuwan Barat menganggap bahwa ilmuwan Muslim
hanyalah perantara antara penemuan intelektual Yunani dan Barat. Tidak hanya
menerjemahkan filsafat Yunani, sarjana Muslim juga menggunakan interpretasi
hukum Islam untuk filsafat Yunani dan melakukan beberapa koreksi terhadap
yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pada akhirnya, para ilmuwan Muslim ini
menghasilkan karya asli Islam yang unik, berbeda dari gaya Yunani.
Dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada seorang sarjana abad pertengahan
yang belum secara langsung, dipengaruhi oleh keilmuan Arab-Islam. Sarjana
Muslim dengan penuh semangat mempromosikan gagasan tentang property
perdagangan dan keuntungan pribadi, dipelajari berdasarkan interpretasi
yurisprudensi mereka terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Seorang cendekiawan
muslim yang dapat mewakili tradisi Muslim adalah Al-Farabi. Dia dikenal
sebagai neo-Platonisme dan produktif Aristoteles, menghasilkan lebih dari seratus
buku dalam berbagai disiplin ilmu seperti logika, linguistik, hukum, politik dan
lain-lain. Dengan memodelkan tata negara yang dianalogikan dengan pengelolaan
rumah tangga, Al-Farabi menjelaskan bagaimana kebahagiaan keadilan dapat
dicapai melalui pemikiran hingga tindakan rasional. Al-Farabi juga percaya
bahwa kebahagiaan yang lebih tinggi berarti kebahagiaan dunia saat ini
dan di kehidupan yang akan datang (akhirat). Selain itu, kami juga tidak bisa
mengabaikan kontribusi Al-Ghazali, seorang cendekiawan Muslim yang
tidak jauh sebelum Thomas Aquinas. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh
terbesar dan memiliki jiwa kejeniusan, khususnya di hyo' Ulam al-Din.
Sebagaimana ilmuwan Muslim lainnya, Al-Ghazali tidak mengambil
filsafat Yunani dan ide-ide ekonomi tanpa penilaian kritis. Dalam karyanya
Tahafat al-Falasifah" (Incoherence of Philosophers), ia mengkritik seluruh filosofi
Yunani meskipun Al-Ghazali setuju dengan Plato dalam menggambarkan fungsi
uang sebagai media pertukaran. Beberapa sarjana sejarah abad pertengahan telah
mengeksplorasi persamaan dan hubungan antara Al-Ghazali dan St. Thomas.
Skolastik abad pertengahan memandang masalah ekonomi sebagai bagian dari
kepedulian mereka terhadap kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Bagian 2
dari Summa Theologica mencakup isu-isu ekonomi, dan dua bagian yang secara
khusus relevan dengan ekonomi adalah "Tentang Kecurangan” yang berkomitmen
dalam jual beli, dan dari dosa riba, yang dilakukan dalam pinjaman. Di sisi lain,
Al-Ghazali juga melakukan pembahasan rinci tentang berbagai masalah ekonomi,
meskipun ekonominya tampaknya melampaui topik yang dibahas.
Pembahasannya tentang masalah ekonomi, yang sebanding dengan St. Thomas,
ditemukan dalam bab 3 hyd Mum al-Din volume 2, berjudul, "Etika
Bisnis/Perdagangan/Praktik Kerja”. Empat bagian dalam bab ini adalah sebagai
berikut:
1) Prioritas kerja dan usaha sebagai sarana mata pencaharian
2) Mempelajari cara-cara pendapatan yang sah. (termasuk bisnis dan
perdagangan yang sah, riba, yang setara dalam pertukaran (yaitu, harga
dan upah yang setara), praktik kompensasi, pinjaman dan pinjaman,
kemitraan, dan kepemilikan saham)
3) Keadilan dan keadilan dalam mencari nafkah (mencakup topik seperti
kecurangan dan penipuan, penimbunan, pemalsuan, pujian palsu atas
barang yang dipertukarkan, menyembunyikan cacat pada barang yang
dijual, penipuan dalam bisnis, dan mengeksploitasi kelembutan dan
kesederhanaan orang lain dalam urusan bisnis) dan
4) Kebajikan dan kesalehan dalam kegiatan bisnis / perdagangan.

Peradaban Islam kekuatan intelektual dan politiknya mencapai puncaknya


pada awal abad ke-10 harus menunjukkan tanda-tanda dekadensi yang jelas,
sementara kebangkitan barat sedang berkembang pesat. Misalnya, Perang Salib
menempatkan masyarakat Islam di bawah tekanan dengan invasi pada abad ke-11
dan ke-12. Pada tahun 1206 M, Genghis Khan mendirikan daulah di antara bangsa
Mongol di Asia Tengah. Penghancuran Baghdad dan Boit al-Hikmah oleh Khan,
pemimpin Mongol pada 1258 M menandai berakhirnya Zaman Keemasan Islam
bagi sebagian sejarawan.
Penguasa Mongol, seperti Timur atau Tamerlane, memiliki misi
destruktif ini di kota-kota lain, membantai ribuan orang dan mendatangkan
malapetaka pada sistem irigasi kuno dan infrastruktur ekonomi
utama di Mesopotamia. Hal ini pada gilirannya berdampak negatif pada
kehidupan masyarakat daerah tersebut dan akhirnya mengikis banyak kemajuan di
masa lalu. Pendapat lain menyatakan bahwa perang antara Kerajaan dan
Kesultanan Granada di Semenanjung Iberia 1482 M - 1492 M juga
bagi sebagian sejarawan, akhir Zaman Keemasan Islam.

 Dark Ages
Di barat khususnya di Eropa, zaman klasik adalah zaman yang sangat
maju. Ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada abad
ke-20, para cendekiawan menggunakan istilah ini lebih banyak sehubungan
dengan abad ke-5 dan ke-10, tetapi sekarang secara luas dipandang sebagai istilah
yang merendahkan, yang menghubungkan periode pencerahan yang dirasakan
sebagai lawan dari ketidaktahuan budaya. Abad Kegelapan atau Abad
Pertengahan Awal adalah periode abad pertengahan paling awal dalam sejarah
Eropa Barat periode sekitar 500 - 1000 M, ditandai dengan kekaisaran Romawi,
dan perang yang sering terjadi serta pengetahuan dan budaya. Dengan runtuhnya
pemerintahan Romawi yang terpusat di barat, perdagangan, infrastruktur, ilmu
pengetahuan, dan keamanan menurun drastis.

 Perekonomian
Karakteristik ekonomi masyarakat tersebut sangat berbeda dengan
masyarakat abad pertengahan dunia Mediterania yang menjadi pusat
peradaban pada tahun 600 - 1300M. Periode abad ke-11 dan sebagian
besar dari abad ke-12 di mana pemilik tanah besar sebagian besar perkebunan
mereka menjadi penyewa atau dengan sesuka hati, tetapi di paruh kedua abad ke-
12 gelombang populasi baru pertumbuhan menyebabkan permintaan untuk
makanan dan pasokan, mengakibatkan tenaga kerja yang diperlukan untuk
menghasilkan makanan. Jadi, abad ke-13 adalah masa keemasan pemilik tanah
besar yang mengolah properti mereka sendiri melalui juru sita. Masyarakat feodal
pada waktu itu adalah aristokrasi dominan didukung oleh kaum tani yang tidak
bebas.
Istilah feodalisme menunjukkan gagasan tentang
masyarakat kesatria, yaitu masyarakat yang didominasi oleh lapisan-
lapisan yang terorganisir, berdasarkan prinsip pengikut, dalam jumlah raja
dan kesatria tertentu. Dari sudut pandang hierarki prajurit
ini, tidak penting menjadi budak atau bebas, tetapi menjadi atau tidak.
Kelas prajurit ini menikmati kekuatan dan kekuasaan yang
tak tertandingi , dan dengan demikian menanamkan pola budayanya
sendiri dengan zaman feodal. Basis ekonomi piramida sosial dalam feodal terdiri
dari petani dan pengrajin yang bergantung pada para kesatria.
Sistem feodal ada di masyarakat Eropa dari abad ke-10 hingga ke-13 M,
di mana hierarki sosial didirikan atas dasar administrasi lokal dan distribusi tanah
di beberapa unit. Seorang pemilik memberikan wilayah serta menjanjikan
perlindungan militer dan hukum, dan sebagai imbalan sejumlah pembayaran dari
orang yang menerimanya. Pembayaran ini mengambil bentuk layanan feodal,
yang bisa berarti layanan militer atau pembayaran rutin barang atau uang. Sistem
ini menciptakan hubungan antara pemilik dan pelayan yang disebut perbudakan.
Pembagian kelas ini kemudian memunculkan dimensi sosial dalam masyarakat.
Inilah yang disebut oleh Marx dan Engels sebagai pendahulu kapitalisme.

 Gambaran Umum Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dan


Konvensional
Ekonomi Barat, seperti yang kita kenal sekarang, mulai terbentuk di Eropa
Barat pada abad ke-18. Renaisans di Eropa menyediakan ilmu pengetahuan
dan alat-alat yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di sebagai sebuah
disiplin dan kemandirian. Namun, demikian pula berbagai peradaban budaya yang
menghasilkan karya-karya di bidang ekonomi sebelum abad ke-18. Sebagian
besar ekonom kontemporer mengambil ide dan inspirasi mereka dari aliran
pemikiran yang didirikan selama beberapa abad terakhir. Konsepsi Muslim
tentang ekonomi telah berakar kuat dalam visi cita-cita sosial dan masalah
ekonomi telah dipertimbangkan dalam sesuai dengan kepentingannya untuk
hari ini dan di masa depan.
Meskipun bukan risalah tentang ekonomi, ini dianggap sebagai karya
Islam pertama tentang etika ekonomi. Ilmuwan muslim menerima ajaran ekonomi
dari Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dasar dan titik awal. Kemudian mereka
menggunakan nalar mereka sendiri dan menerapkan turunan dari sumber
fundamental Islam untuk memecahkan masalah yang muncul dalam perubahan
kondisi sejarah dan ekonomi. Untuk mengeksplorasi kesinambungan dan
perubahan dalam ekonomi Islam, pertama-tama kita harus memahami konteks
sejarah dari mana Islam muncul. Masyarakat Arab pada abad ke-7 mengalami
masalah sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan kredit, warisan,
perpajakan, distribusi pendapatan.
Selanjutnya, perkembangan ekonomi Islam tidak selamanya berjalan
mulus. Siddiqi (1992) membagi tahap perkembangan pemikiran ekonomi Islam ke
dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase pertama fondasi yang berasal dari periode awal Islam sampai tahun
450 11/1058 M. Dalam periode ini para ahli hukum, sufi, dan filsuf
berkontribusi pada pemikiran ekonomi.
2) Fase kedua berlangsung selama empat abad - hingga 850 H/1446 M. Pada
fase ini para ulama memanfaatkan kekayaan intelektual warisan Islam
selain al-Qur'an dan Sunnah.
3) Fase ketiga berkisar antara 850- 1350 H/1446-1932 M. dengan kata lain
fase ini dimulai ketika stagnasi menguasai pemikiran Muslim.
4) Fase keempat adalah situasi saat ini yang dimulai dari 1350 H/1932 M
hingga sekarang."

 Pengaruh Pemikiran Ekonomi Islam dalam Pemikiran Ekonomi


Modern (Konvensional)

Di bidang ekonomi, kontribusi para ulama di Indonesia belum banyak


mendapat perhatian. Meskipun karya mereka kadang-kadang telah diterjemahkan
dan diedarkan di Eropa, khususnya selama abad ke-19 : Al-Maqrizi, namun sejak
lama para sejarawan pemikiran ekonomi belum mengakui eksistensinya. Hal ini
menyebabkan kesenjangan ekonomi yang lebar selama sekitar lima abad.
Kesenjangan ini bertepatan dengan zaman keemasan Islam, Ketika umat
Islam menguasai sebagian besar dunia yang dikenal, mendirikan kerajaan yang
kuat, maju dalam ekonomi dan berkontribusi pada pengembangan budaya
sains , termasuk perekonomian. Siddiqi juga memperkaya literatur dengan
mensurvei ekonom Muslim kuno hingga tahun 1975.

Pada tahun 1987, Mirakhor menulis makalah yang terdokumentasi dengan


baik di mana dia mempertanyakan tesis Great Gap Schumpeterian dan
menunjukkan kelalaian serius dalam sejarah ekonomi dari kontribusi besar yang
dibuat oleh para sarjana Muslim Dia menunjukkan bahwa para sarjana Eropa
Abad Pertengahan dipengaruhi oleh ide-ide ekonomi dan institusi yang
dikembangkan dalam Islam abad pertengahan.

Ghazanfar (1995) lebih jauh memperkuatnya dalam makalahnya "History of


Economic Thought: The Schumpeterian ‘great gap’ the Lost Arab-Islamic Legacy
and the Literature Gap” la menunjukkan melalui analisis dari beberapa karya
utama, bahwa kesenjangan sastra terwujud di hampir semua karya yang relevan di
bidang ekonomi.
Sementara itu, sejumlah karya muncul dalam bahasa Inggris dan Arab
yang membahas gagasan ekonomi individu ulama yang hidup di era yang
dianggap sebagai abad pemikiran ekonomi, Karya-karya yang berkaitan dengan
periode itu sudah cukup menjadi bukti eksistensi pemikiran ekonomi Islam
sebelumnya. Itu adalah reaksi terhadap penaklukan Muslim di medan perang. Itu
adalah salah satu dari tiga cabang filsafat praktis, dua lainnya adalah etika
dan politik. Seperti disebutkan di atas, cendekiawan muslim memperluas
pengetahuan ini jauh melampaui rumah, merangkul pasar, harga, uang,
penawaran, permintaan, dan mengisyaratkan beberapa makro-ekonomi yang
ditekankan oleh Keynes.

 Ekonomi Islam Pada Periode Rasulullah SAW dan Khulafa’ Al-Rasyidin

 Periode Rasulullah SAW

I. Perkembangan Ekonomi Islam Pada Masa Rasulullah SAW


Di masa sebelum kenabian, Mekkah merupakan sebuah titik perhentian
dalam perdagangan antara jalur utara (Syria) dan jalur dan selatan (Yaman).
Keberadaannya di tengah padang pasir menjadi oasis bagi para pedagang yang
menempuh jalan dua arah tersebut. Hal ini memicu perkembangan ekonomi di
Mekkah yang tidak hanya menjadi pusat transit tetapi juga menjadi pusat ziarah.
Kelahiran Islam oleh Nabi Muhammad SAW menyapu bersih praktek-praktek
hedonistik yang terjadi di Mekkah. Ini membuat marah para pedagang
konservatif, yang kemudian mendorong umat Islam untuk berhijrah ke Madinah.
Prinsip perdagangan bebas adalah prinsip utama. Barang-barang bisnis
harus produk Halal, yaitu barang yang tidak diharamkan oleh Islam dan
pendapatan setiap individu harus didasarkan pada pekerjaannya sendiri. Menjaga
mekanisme pasar dalam kerangka Syariah Islam, yang mencegah etika dan
moralitas. Al-Hisbah merupakan lembaga yang berperan sebagai pengawas pasar.
Rasulullah juga mendirikan Baitul Maal, sebuah lembaga yang mengurusi
keuangan pemerintahan. Dalam dunia bisnis, Baitul Maal memegang peranan
penting, salah satunya adalah implementasi kebijakan yang ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat.

II. Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Rasulullah SAW


Besarnya kontribusi umat Islam terhadap kelangsungan dan perkembangan
pemikiran ekonomi di peradaban dunia menurut kelanjutannya oleh para sarjana
Barat. Buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peran umat
Islam. Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa Nabi
Muhammad SAW merupakan contoh empiris digunakan sebagai dasar bagi ulama
Islam untuk menghasilkan tanah ekonomi. Fokus mereka adalah memenuhi
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang merupakan
tujuan utama yang menginspirasi pemikiran ekonomi Islam sejak awal.
Dalam konteks ini, Siddiqi menguraikan sejarah ekonomi Islam dalam tiga
fase, yaitu:
a) Fase Pertama
Fase pertama adalah fase dari abad awal hingga Hijriyah pada
abad ke-5 atau abad ke-11 M, yang dikenal sebagai fase pendirian
ekonomi Islam, yang dikemukakan oleh para ahli hukum, diikuti oleh
para sufi dan kemudian para filsuf. Pertama, ide-ide mereka berasal dari
orang yang berbeda, tetapi di masa depan para ahli harus memiliki
pengetahuan dasar tentang ketiga bidang tersebut. Fiqh berfokus pada
warisan Syariah dan dalam konteks inilah para ahli hukum membahas
fenomena ekonomi.

b) Fase Kedua
Fase kedua, yang dimulai pada abad ke-11 hingga abad ke-15 M,
dikenal sebagai fase kejayaan karena meninggalkan warisan spiritual yang
sangat kaya. Saat itu para ulama Islam mampu merumuskan pemahaman
tentang bagaimana seharusnya manusia melakukan kegiatan ekonomi
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Di sisi lain, mereka sekaligus
menghadapi realitas politik yang dicirikan oleh dua hal: Pertama,
disintegrasi pusat kekuasaan Abbasiyah dan pembagian kekaisaran
menjadi beberapa negara regional, yang sebagian besar didasarkan pada
kekuasaan daripada keinginan rakyat. Kedua, merebaknya korupsi di
kalangan penguasa yang diiringi dengan kemerosotan moral masyarakat,
yang menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin.

c) Fase Ketiga
Fase ketiga, dimulai dari tahun 1446 hingga 1932 M, adalah fase
penutupan pintu ijtihad (penilaian independen) yang menyebabkan fase
ini dikenal sebagai fase stagnan. Pada tahap ini, para ahli hukum hanya
menulis catatan pendahulunya dan mengeluarkan fatwa untuk setiap
madzab sesuai aturan baku.

III. Kondisi Perekonomian di Masa Rasulullah SAW (571-632 M)

Kondisi kehidupan pada masa Nabi Muhammad SAW sangat berbeda


dengan keadaan saat ini. Pada masa Nabi Muhammad SAW, peperangan masih
mewarnai kehidupan masyarakat. Salah satu sumber pendapatan masyarakat saat
itu adalah harta rampasan perang dari lawan perang. Sebagai pendukung perang
dengan Rasulullah, mereka tidak memiliki penghasilan tetap. Ketika harta
rampasan perang telah dihalalkan untuk dinikmati secara keseluruhan oleh mereka
yang mengikuti peperangan.
Tahun kedua setelah Hijriah, Zakat Fitrah yang dibayarkan setahun sekali
pada bulan Ramadhan mulai berlaku. Satu ukuran terbuat dari kurma, gandum,
tepung keju atau kismis. Setengah gandum untuk setiap Muslim, budak atau orang
merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, dibayarkan sebelum shalat Idul
Fitri. Hasilnya sangat bermanfaat bagi masyarakat di seluruh dunia. Keberhasilan
menumbuhkan minat dan bakat tercatat dalam sejarah peradaban manusia dan
melahirkan generasi muda yang mampu tampil sebagai pemuka agama dan
penyelamat di dunia Timur dan Barat.

IV. Praktik dan Kebijakan Ekonomi Pada Masa Rasulullah SAW

1. Periode Mekkah: Nabi Muhammad SAW Sebagai Seorang Pedagang


Sebagai seorang pedagang, Nabi Muhammad SAW lebih mirip dengan
anggota Quraisy lainnya yang melanjutkan dunia bisnis untuk memenuhi
kebutuhannya. Pada usia 12 tahun ia menemani Sera dalam perjalanan bisnis ke
Suriah bersama pamannya Abu Thalib. Setelah menginjak dewasa dan menyadari
bahwa pamannya berasal dari keluarga besar tetapi memiliki keuangan yang
buruk, Nabi Muhammad SAW memulailah dengan berdagang sendiri pada taraf
keci dan pribadi di kota Mekah.
Keahliannya dalam bisnis serta reputasi dan integritasnya membuat orang
Mekah memberi julukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai al-amin
(terpercaya) dan ash-shidiq (jujur), yang mampu meningkatkan kemungkinan
bisnis modal asing. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW banyak
melakukan perdagangan dengan modal dari Khadijah Binti Khuwailid, seorang
janda kaya yang kelak menjadi pendamping hidup-Nya.

2. Periode Madinah: Nabi Muhammad SAW Sebagai Seorang Kepala Negara

Berbeda dengan era Mekkah, Islam menjadi kekuatan politik selama


periode Madinah. Ajaran Islam yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
(Mu'amalah) sudah umum di kota ini. Nabi Muhammad SAW adalah kepala
negara bersama dengan para pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam kitab
Nabi Muhammad SAW menggabungkan dua kekuatan sekaligus yaitu, kekuatan
spiritual dan kekuatan duniawi. Statusnya sebagai rasul otomatis adalah kepala
negara.
Rasulullah SAW segera menghapus dari segala aspek kehidupan
masyarakat Islam yang sebagian besar tradisi dan nilai-nilainya bertentangan
dengan ajaran Islam. Keadaan negara yang baru terbentuk ini tidak mewarisi
sumber daya ekonomi sedikitpun, sehingga akan sulit untuk digunakan dalam
waktu dekat.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW segera meletakkan dasar kehidupan
bermasyarakat, yaitu:
1) Membangun masjid sebagai Islamic Centre.
2) Menjalin ukhuwwah Islamiyah antara kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar.
3) Menjalin kedamaian dalam negara.
4) Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
5) Membuat konstitusi negara.
6) Menyusun sistem pertahanan negara.
7) Meletakkan dasar-dasar keuangan negara.

V. Kebijakan Ekonomi Islam Pada Masa Rasulullah SAW

Rasulullah SAW merubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai


dengan ketentuan Al-Quran. Prinsip-prinsip kebijakan ekonomi yang dijelaskan
Al-Quran adalah sebagai berikut:
1) Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolute alam
semesta. Manusia hanyalah khalifah Allah SWT dimuka bumi, bukan
pemilik yang sebenarnya.
2) Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah SWT.
Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung memiliki hak atas
sebagian kekayaan yang dimiliki manusia lain yang lebih beruntung.
3) Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun. Eksploitasi ekonomi
dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
4) Menetapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.

VI. Sumber Hukum Pada Masa Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah penerima wahyu dari Allah SWT melalui


Malaikat Jibril AS. Wahyu yang dimaksud yaitu berupa ayat-ayat Al-Qur'an dan
Sunnah. Hadits/Sunnah Nabi Muhammad SAW yang shahih juga merupakan
wahyu. Sunnah pada dasarnya adalah penjelasan dari Al-Qur'an.
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya sebagai
manusia biasa agar ia dapat dijadikan contoh oleh makhluk sejenis-Nya.

َ ‫َقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا َأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِلَم ن َك اَن َيْر ُجوا َهَّللا َو اْلَيْو َم‬
‫االخر وذكر هللا‬
Artinya:
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(valtu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Bagi orang beriman, hukum Allah SWT yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW adalah hukum tertinggi yang suci dan mutlak kebenarannya, karena hukum
ini bersumber dari Yang Maha Benar, yaitu Allah SWT Yang Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana dan Maha Teliti. Allah SWT bahkan menantang siapa saja yang
masih meragukan Al-Qur’an. Allah SWT menantang mereka untuk membuat
hanya satu surat yang serupa dengan Al-Qur'an. Upaya untuk membuat surah
mirip dengan Al Qur’an telah dilakukan, tetapi sejauh ini belum
ada yang berhasil.

Ciri seorang mukmin adalah selalu beriman dan yakin dengan apa yang
datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, meski belum dapat dicerna akal.
Sebagai contoh, tatkala mendengar peristiwa Isra' dan Mi'raj, Abu Bakar RA
langsung membenarkan kejadian itu padahal banyak orang ketika itu khususnya
dari kalangan kafir Quraisy yang mendustakan Nabi SAW. “Diriwayatkan dalam
sebuah riwayat setelah peristiwa Isra' Mi'raj". Peristiwa ini yang kemudian
membuat Rasulullah SAW menjuluki sahabatnya itu dengan gelar ash-Shiddiq,
yakni orang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu,
ketika berbicara tentang ayat-ayat suci yang ditekankan adalah hati daripada
pikiran. Firman Allah SWT telah terbukti secara saintifik dan karena ini banyak
ilmuwan yang masuk Islam karena mengetahui kebenaran Al-Qur'an, seperti
Profesor Keith L More, seorang ahli embriologi yang membaca QS Al-
Mu'minun ayat 13-14.

Menurut Dr. Zakir Naik, 80% ayat Al-Qur’an telah terbukti secara
saintifik. Bila 80% telah terbukti, sedangkan sisanya 20% belum, maka sebagai
orang yang logis, akalnya akan mengatakan bahwa pasti yang 20% juga pasti
benar adanya. Barangkali Allah SWT menyisakan 20% ayat-ayat yang belum bisa
dikonfirmasi kebenarannya secara saintifik tersebut untuk menjadi ujian bagi
manusia di masa ini. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib RA pernah mengucapkan
sebuah perkataan yang terkenal,

‫ِف َأْو َلى ِباْلَم ْس ُح ِم ْن َأْع الُه َو َق ْد‬s‫غل الخل‬s‫لو كان الذين بالرأي لكان أش‬
‫ َيْمَس ُح َع َلى َظاِهِر ُخ َّفْيِه‬-‫َر َأْيُت َر ُسوَل ِهللا صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya:
"Seandainya agama itu selalu berdasar logika, maka tentu bagian bawah khuf
(sepatu) lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku
sendiri pernah melihat Rasul SAW mengusap bagian atas khufnya."

Atas dasar ini, umat Islam selalu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW
dalam segala urusan, termasuk dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu, ekonomi
Islam selalu dibangun di atas Al-Qur'an dan Sunnah, berbeda dengan ekonomi
konvensional yang tidak memiliki landasan kebenaran yang pasti. Ini juga
mengapa Sirah Rasulullah adalah bagian sejarah yang penting untuk dipelajari
bagi siapa pun yang mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Di antara prinsip pokok ekonomi Islam dalam Al-Qur'an adalah
(Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Keempat (Depok:
Rajawali Press, 2019):
1) Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh
alam semesta.
2) Manusia adalah Khalifah Allah SWT di muka bumi, bukan pemilik
sebenarnya.
3) Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
SWT. Oleh sebab itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak
atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
4) Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
5) Eksploitasi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
6) Menerapkan sistem warisan Islam (Mawdrits/Fardidl) sebagai media
redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
7) Menerapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun
sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang
banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.

 Periode Khulafaur Rasyidin

I. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Abu Bakar Ash-


Shiddiq (11 – 13 H/632 – 634 M)
Khalifah Abu Bakar As-Shidiq adalah khalifah pertama dalam
kepemimpinan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Nama aslinya
adalah Abdullah Ibnu Abi Quhafah At-Tamimi yang dikenal sebagai salah
seorang mualaf pertama (Ashabiqul Awwalun). Sebagai sahabat Rasulullah SAW
yang kepribadiannya meneguhkan kebenaran, beliau juga termasuk orang pertama
yang membenarkan Rasulullah SAW dalam segala peristiwa seperti Isra dan
Mi'raj, maka gelar As-Shidiq pun diberikan kepadanya.
Banyak pergolakan yang terjadi di awal kepemimpinan Abu Bakar.
Banyak pemberontak yang mengaku sebagai nabi baru. Pemberontak ini juga
menolak untuk membayar Zakat dan menentang setiap aturan yang diberlakukan
berdasarkan Syariah Islam. Karena permasalahan di atas, Abu Bakar mengirim
pasukan untuk melawan para pemberontak di wilayah Yamamah. Karena kejadian
ini, banyak tukang parkir Al-Quran yang mati di medan perang.
Adapun kebijakan-kebijakan pada masa abu bakar tersebut ialah;
1) Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar
zakat.
2) Tidak menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad pada perang
badar) sebagai pejabat negara.
3) Tidak mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan negara.
4) Mengelola barang tambang (rikaz) yang terdiri dari emas, perak,
perunggu, besi dan baja sehingga sumber pendapatan negara.
5) Menetapkan gaji pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan
masing-masing.
6) Tidak merubah kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah

II. Konsep Pemikiran Islam Pada Masa Umar Bin Khattab


(634 – 644 M)
Khalifah Umar bin Khattab adalah khalifah kedua dalam kepemimpinan
Islam. Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab Ibn Nufail Ibn Abd al-'Uzza
Ibn Riyah Ibn Qurth Ibn Razah Ibn 'Adiy Ibn Ka'ab Ibn Lu'aiy al-Qurasyiy
al-'Adawiy. Pada masa kepemerintahan Khalifah Umar bin Khattab berlangsung
selama 10 tahun 5 bulan 21 malam, selama masa pemerintahan beliau ia banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam Jazirah Arab, Sebagian wilayah
kekuasaan Romawi dan seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Umar bin
Khattab telah memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi pengelolaan keuangan
pemerintahan sepanjang sejarah Islam, termasuk mendirikan Baitul Mal yang
terorganisir. Selain menjadikan Baitul Mal sebagai sebuah badan otonom dalam
pemerintahan, Umar bin Khattab juga membuat badan tersendiri yaitu
pengawasan pasar (al-Hisbah) yang telah digagas oleh Rasulullah SAW.
Khalifah Umar bin Khattab mereformasi kepemilikan tanah. Sebelum
masa Khalifah Umar bin Khattab, tanah yang ditaklukkan dibagikan di antara para
pejuang Muslim yang mengambil bagian langsung dalam penaklukan tersebut.
Namun, ketika beliau menjabat sebagai kekhalifahan, tanah yang ditaklukkan oleh
umat Islam tidak lagi dibagikan secara langsung, tetapi memberikan mereka
kekuatan untuk mengelola dan menghasilkan pendapatan secara produktif,
menambah pendapatan yang sangat besar untuk keuangan negara. Selain itu, pada
masa pemerintahannya Khalifah Umar bin Khattab juga membuat beberapa
kebijakan salah satunya mengenai zakat.
Kebijakan ini diklasifikasi menjadi 3 bagian yaitu:
1) Mengenai perluasan dari objek zakat
2) Waktu pembayaran zakat yang didasarkan pada kriteria seorang muzakki
3) Pendistribusian serta pemberdayaan zakat

III. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Usman Bin Affan
(644 – 656 M)
Khalifah Usman bin Affan adalah khalifah ketiga dalam kepemimpinan
islam. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah
bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Pada masa
kepemerintahan Khalifah Usman bin Affan berlangsung selama kurang lebih 12
tahun, tercatat dalam sejarah selama menjabat masa kepemerintahan beliau adalah
yang terlama dari keempat khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun, dapat
diperhatikan bahwa dalam masa kepemerintahannya tidak semua programnya
tercapai dengan baik, pada masa pemerintahannya beliau dapat diklasifikasikan
dalam dua periode oleh para sejarawan yaitu selama 6 tahun pertama merupakan
zaman keemasan dan 6 tahun terakhir merupakan masa kemunduran. Ekonomi
pada masa kepemerintahan Usman bin Affan berkembang dengan cepat dan maju
dengan menerapkan beberapa prinsip politik dalam berekonomi. Dengan demikian
dapat terciptalah kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan, kebijakan-kebijakan tersebut yaitu:
1) Mengembangkan sistem ekonomi yang telah di praktikan pada masa Umar
bin Khattab.
2) Membentuk armada laut dan kepolisian di wilayah Mediterania.
3) Tidak mengambil upah dari kantornya.
4) Mempertahankan sistem pemberian bantuan serta memberikan sejumlah
uang kepada masyarakat yang berbeda-beda.
Pada masa Usman bin Affan, ekonomi Islam dapat dilihat dari kebijakan
lain yang beliau terapkan terkait dengan keuangan publik yang melalui sumber-
sumber pendapatan pemerintah yaitu zakat, khums, kharaj, jizyah, dan usyur.
Selain itu, khalifah Usman bin Affan juga menerapkan kebijakan reformasi tanah
dan perpajakan tanah.

IV. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Ali Bin Abi Thalib
(656 – 661 M)
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah keempat dalam
kepemimpinan islam. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abu Thalib bin Abdul
Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Pada masa kepemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib berlangsung selama 5 tahun. Ali bin Abi Thalib diberikan amanah
menjadi seorang khalifah sebagai pengganti Usman bin Affan, selama menjabat
beliau langsung memutuskan untuk memecat beberapa pemimpin kota yang
melakukan tindak pidana korupsi. Ali bin Abi Thalib memiliki keistimewaan
tersendiri dalam mengatur strategi pemerintahan yaitu dalam masalah administrasi
umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan tersusun secara rapi. Bahkan
pada masa Ali bin Abi Thalib, ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai
perspektif kebijakan yang beliau ambil selama menjalankan pemerintahannya.
Kebijakan dalam hal pemerintahan yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib adalah:
1) Menghindari kesenjangan sosial diantara masyarakat sehingga tidak ada
rakyat yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Selain itu,
adanya pembagian harta dari Negara kepada rakyat yang kurang mampu.
2) Pemilik kebun dikenakan wajib zakat dengan persentase yang telah
ditetapkan dan adanya pengenaan pemabyaran zakat terhadap sayur
mayur.
3) Pemberlakuan pembayaran mingguan terhadap petugas negara.
4) Menghindari para mafia pasar sehingga distorsi pasar tidak terjadi.
5) Pengenaan pembayaran ganti rugi dan denda jika petugas Negara merusak
inventaris kerja.

Kebijakan ekonomi Islam pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
yaitu
mengenakan pajak 4.000 dirham kepada pemilik hutan. Selain itu, beliau juga
mengizinkan Ibnu Abbas sebagai gubernur Kuffah untuk memungut zakat pada
sayur-sayuran dan rempah-rempah. Ali bin Abi Thalib juga berprinsip bahwa
keadilan dalam mendistribusikan kekayaan rakyat harus sesuai dengan
kemampuannya. Berbicara mengenai ekonomi, Ali bin Abi Thalib secara terbuka
menerapkan beberapa kebijakan ekonomi, yaitu:
1) Penyaluran harta yang berasal dari Baitul Mal kepada masyarakat yang
dianggap memiliki hak atasnya.
2) Pembiayaan armada laut dihapuskan dengan berbagai kebijakan.
3) Anggaran Negar diperketat dengan tujuan efisiensi.
4) Mencetak mata uang Negara Islam sendiri.

 Ekonomi Islam Pada Masa Daulah dan Daulah Abbasiyah

I. Tradisi Dan Praktek Ekonomi Masa Daulah Umayah (41- 132h/


661-750m)
Perekonomian adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam
memperlancar proses pembangunan suatu negara. Sebab merosotnya
perekonomian suatu negara akan berpengaruh terhadap proses pelaksanaan
pembangunan yang akan dilakukan. Cari Brockelmann menegaskan bahwa: “Pada
tahun 693 khalifah Abdul Malik secara bulat menetapkan untuk mencetak uang
sendiri di damaskus. Sementara itu Hajjaj pada tahun berikutnya melakukan hal
yang sama. Akibatnya masyarakat Arab sudah mulai mengenal sistem
perhitungan. Ide ini juga diterima di Yaman, Siria, dan Iraq. Kebijaksanaan yang
dikeluarkan oleh Khalifah Abdul Malik tersebut, sangat berpengaruh terhadap
perekonomian dinasti itu. Sebab kita melihat, sebelum diberlakukannya kebijakan
ini mata uang yang beredar sebagai alat tukar adalah mata uang Roma dan mata
uang Persia yaitu dirham (drachma) dan dinar (dinarius). Dengan tidak adanya
mata uang sendiri tentu akan dapat mengurangi nilai-nilai persatuan dan kesatuan
umat Islam di daerah yang demikian luasnya. Sehingga dapat dikatakan, secara
implisit kebijaksanaan khalifah memiliki nilai-nilai esensial dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wilayah yang luas tersebut. Implikasi
nilai-nilai persatuan dan kesatuan terhadap perekonomian pada masa itu (Dinasti
Umayyah) adalah sangat penting. Sebab adanya persatuan dan kesatuan wilayah
umat Islam yang luas tersebut akan menciptakan stabilitas keamanan yang
terjamin. Dengan adanya stabilitas keamanan yang terjamin, maka lalu lintas
perdagangan akan berjalan lancar, dengan lancarnya lalu lintass perdagangan,
pada gilirannya akan meningkatkan perekonomiannya.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik, perkembangan perdagangan dan
perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan negara yang didukung oleh
keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa masyarakatnya pada
tingakat kemakmuran. Realisasinya dapat kita lihat dari hasil penerimaaan pajak
(kharaj) di wilayah syam saja, tercatat 1.730.000 dinar emas setahun.
Kemakmuran masyarakat Bani Umayyah juga terlihat pada masa pemerintahan
Umar ibn Abdul Aziz. Keadaan perekonomian pada masa pemerintahannya telah
naik ke taraf yang menakjubkan. Semua literatur yang ada pada kita sekarang ini
menguatkan bahwa kemiskinan, kemelaratan, dan kepapaan telah dapat diatasi
pada masa pemerintahan khalifah ini.
Kebijakan yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz dalam implikasinya
dengan perekonomian yaitu membuat aturan-aturan mengenai takaran dan
timbangan, dengan tujuan agar dapat membasmi pemalsuan dan kecurangan
dalam pemakaian alat-alat tersebut. Bertitik tolak dari uraian di atas dapatlah
dikatakan perkembangan perekonomian pada masa pemerintahan Dinasti
Umayyah secara umum sudah mulai meningkat dibanding dengan masa
sebelumnya.
Naiknya Muawiyyah ke tampuk pemerintahan Islam adalah awal
kekuasaan Bani Umayyah. Sejak saat itu, pemerintahan Islam yang demokratis
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan khulafaur arrasyidin berubah
menjadi monachiheridetis. Dalam menjalankan kekuasaannya ia tetap
menggunakan khalifah yang diartikan sebagai penguasa yang diangkat oleh Pada
masa daulah ini, pusat penyelenggaraan administrasi pemerintahan berada di
Damaskus, sedangkan pusat kegiatan keagamaan berada di Madinah.
Selama masa pemerintahan dinasti ini, telah terjadi pergeseran nilai-nilai
kepemimpinan Islam yang mengedepankan prinsip musyawarah dan kebersamaan
menjadi kepemimpinan otoriter. Keadaan tersebut memacu timbulnya hasrat
sebagian besar khalifah Bani Umayyah untuk menggunakan kekuasaan sebagai
sarana memperkaya diri dan keluarganya. Baitul Mal yang merupakan kantor
perbendaharaan umat seakan menjadi milik pribadi para pangeran. Pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, ada dua Baitul Mal : umum dan khusus. Pendapatan
Baitul Mal Umum diperuntukkan bagi seluruh masyarakat umum. Sedangkan
Baitul Mal khusus diperuntukkan bagi para sultan dan keluarganya.
Namun dalam praktiknya, tidak jarang terjadi penyimpangan
dalam pembagian harta kekayaan Baitul Mal. Sebagian besar pengeluaran untuk
kebutuhan para sultan, keluarga, dan para sahabatnya banyak yang diambilkan
dari kas Baitul Mal. Dengan demikian telah terjadi disfungsi penggunaan dana
Baitul Mal pada masa dinasti Bani Umayyah (Amalia, 2010).

1. Khalifah Muawiyyah bin Abi Sofyan


Pada masa pemerintahannya, khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan
mendirikan dinas beserta dengan berbagai fasilitasnya, menertibkan angkatan
perang, mencetak mata uang, dan mengembangkan jabatan qadi (hakim) sebagai
jabatan profesional. Selain itu, khalifah Muawiyyah bin Abi Sofyan menerapkan
kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara, pembentukan tentara
profesional, serta pengembangan birokrasi, seperti fungsi pengumpulan pajak dan
administrasi politik (Engineer, 1999).
2. Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Pemikiran yang serius terhadap penertiban dan pengaturan uang dalam
masyarakat Islam muncul di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Hal ini dilatarbelakangi oleh permintaan pihak Romawi agar khalifah
Abdul Malik bin Marwan menghapus kalimat Bismillahirrohmaanirrohiim dari
mata uang yang berlaku pada khilafahnya. Pada saat itu, bangsa Romawi
mengimpor dinar Islam dari Mesir. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolaknya.
Bahkan, khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak mata uang Islam tersendiri
dengan tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrohmanirrohim pada tahun 74H
(659M) dan menyebarkannya ke seluruh wilayah Islam seraya melarang
pemakaian melakukan percetakan mata uang lain. Ia juga menjatuhkan hukuman
ta’zir kepada mereka yang melakukan percetakan mata uang di luar percetakan
Negara. Selain itu ia juga melakukan berbagai pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrsi
pemerintahan Islam (Amalia, 2010).

3. Khalifah Umar bin Abdul Aziz


Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz menerapkan
kembali ajaran Islam secara utuh menyeluruh, berbagai pembenahan dilakukannya
di seluruh sektor kehidupan masyarakat tanpa pandang bulu. Ketika diangkat
sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan rakyatnya dan
mengumumkan serta menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan keluarganya
yang tidak wajar kepada kaum muslimin melalui Baitul Mal, mulai dari tanah-
tanah perkebunan di Maroko, berbagai tunjangan yang berada di
Yamamah, Mukaedes, Jabal Wars, Yaman, dan fadak, hingga cincin pemberian
Al-Walid. Selama berkuasa, ia juga tidak mengambil sesuatupun dari Baitul
Mal, termasuk pendapatan fai yang telah menjadi haknya. Ia mengurangi beban
pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum
Muslimin, membuat aturan takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja
paksa, memperbaiki tanah pertanian, penggalian sumur-sumur, pembangunan
jalan-jalan, pembuatan tempat-tempat penginapan para musaffir, dan menyantuni
fakir miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup
masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
Salah satu bukti kesungguhanya dalam menegakkan keadilan, khalifah
Umar bin Abdul Aziz pernah membelanjakan seluruh kekayaan Baitul Mal di Irak
untuk membayar ganti rugi kepada orang-orang yang diperlakukan semena-mena
oleh para penguasa sebelumnya. Selain itu, pajak yang dikenakan kepada non-
muslim hanya berlaku pada tiga profesi, yaitu pedagang, petani dan tuan tanah. Ia
memerintahkan amirnya untuk memanfaatkan semaksimal mungkin lahan
pertanian yang ada. Ia melarang memungut sewa terhadap tanah yang tidak subur
dan jika tanah tersebut subur, pengambilan sewa harus memperhatikan tingkat
kesejahteraan hidup petani yang bersangkutan.
Bahkan sebaliknya, pemerintah pusat akan memberian bantuan subsidi
kepada setiap wilayah Islam yang minim pendapat zakat dan pajaknya . Jika
terdapat surplus, khalifah Umar bin Abdul Aziz menyarankan agar wilayah
tersebut memberikan bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya. Untuk
menunjang hal ini, ia mengangkat Ibnu Jahdam sebagai amil shodaqoh yang
bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shodaqoh secara merata ke seluruh
wilayah Islam.
Dalam mewujudkan negara yang adil dan makmur, khalifah Umar bin
Abdul Aziz menjadikan jaminan sosial sebagai landasan pokok. Baginya, hak
seseorang yang telah meninggal dunia tidak akan hilang karena akan tetap
diberikan kepada ahli warisnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga
mengeluarkan kebijakan pembukaan jalur perdagangan bebas, baik di darat
maupun diudara, sebagai upaya meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat. Pemerintah menghapus bea masuk dan menyediakan berbagai bahan
kebutuhan sebanyak mungkin dengan harga yang terjangkau.
Setelah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayyah
berada di tangan Yazid bin Abdul Malik. Pada masa ini, kekacauan
dalam kehidupan masyarakat mulai muncul kembali. Hal ini dipicu oleh
kegemaran khalifah dan para penerusnya terhadap kemewahan dan ketidak
peduliaan mereka terhadap kesejahteraan rakyat. Akibatnya, muncul konfrontasi
antara pemerintah dan rakyatnya sendiri. Kerusuhan berlanjut hingga semakin
memperkuat oposisi sebaliknya melemahkan posisi Khalifah. Akhirnya pihak
oposisi berhasil menumbangkan Daulah Umayyah.

II. Tradisi Dan Prakek Ekonomi Daulah Abbasiyah (132-656 H/750-


1258 M)
Bani Abbasiyah mencapai tampuk kekuasaan Islam setelah berhasil
menggulingkan pemerintahan dinas Bani Umayyah pada tahun 750 H. Pendiri
dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, sehingga
kekhilafahan tersebut dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Pada masa Daulah Bani
Abbasiyah, pusat pemerintahan Islam dipindahkan dari Damaskus ke Bagdad.
Selama periode lebih dari lima abad ketika dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Berdasarkan hal tersebut, Ahmad Syalabi membagi membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu:

a) Periode pertama, berlangsung dari tahun 132 H sampai 232 H. Pada


periode ini, kekuasaan berada ditangan para khalifah secara penuh.
b) Periode kedua, berlangsung dari tahun 232 H sampai 590H. Pada periode
ini kekuasaan politik berpindah dari tangan khalifah kepada golongan
Turki (232 H-334 H), dan Bani Saljuk (447 H-590 H).
c) Periode ketiga, berlangsung dari tahun 590 H sampai 656 H. Pada periode
ini kekuasaan kembali di tangan khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan
sekitarnya.
Diantara periode-periode pemerintahannya tersebut, dinasti Abbasiyah
mencapai masa keemasan pada periode pertama. Pada masa ini, secara
politis, para khalifah benar-benar tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Pada masa pemerintahannya, khalifah Al-
Manshur lebih banyak melakukan konsolidasi dan penertiban administrasi
birokrasi. Khalifah Al-Manshur juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara, serta membenahi angkatan
bersenjata dan membentuk lembaga kehakiman negara. Peranan jawatan pos
semakin ditingkatkan dengan tambahan tugas dapat berjalan dengan lancar dan
melaporkan perilaku gubernur setempat kepada khalifah.
Hal tersebut mendorong khalifah Al-Manshur untuk bersikap keras dalam
peneguhan kedudukan keuangan negara, disamping penumpasan musuh-musuh
khalifah, sehingga masa pemerintahannya ini juga dikenal sebagai masa yang
penuh dengan kekerasan. Dalam mengendalikan harga-harga, khalifah al-Manshur
memerintahkan para kepala jawatan pos untuk melaporkan harga pasaran dari
setiap bahan makanan dan barang lainnya. Disamping itu, khalifah Al-manshur
juga sangat hemat dalam membelanjakan harta Baitul Mal. Keberhasilan khalifah
al-manshur dalam meletakkan dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah
memudahkan usaha para khalifah berikutnya untuk lebih fokus terhadap
permasalahan ekonomi dan keuangan negara, sehingga peningkatan dan
pengembangan taraf hidup rakyat dapat terjamin. Ketika Al-Mahdi (158-169)
menjadi khalifah, keadaan negara telah stabil. Ia banyak menerapkan kebijakan
yang menguntungkan rakyat banyak.
Ketika tampuk pemerintahan dikuasai khalifah Harun Al-Rasyid (70-193
H), pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah Harun Al-
rasyid melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun Baitul
Mal untuk mengurus keuangan negara dengan menujuk seorang wajiz yang
menjadi kepala beberapa diwan, yaitu:
a) Diwan al-khazanah, bertugas mengurus seluruh perbendaharaan negara.
b) Diwan al-Azra’, bertugas mengurus kekayaan negara yangberupa hasil
bumi.
c) Diwan Khazain Al-Silah, bertugas mengurus perlengkapan angkatan
perang.
d) Sumber pendapatan pada masa pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah,
zakat, fai, ghanimah, usyr, dan harta lainnya. Seperti wakaf, sedekah dan
harta warisan orang yang tidak mempunyai ahli waris. Seluruh pendapatan
negara tersebut dimasukkan kedalam baitul Mall dan dikeluarkan
berdasarkan kebutuhan pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-
Rasyid, pendapatan Baitul Mal dialokasikan untuk riset ilmiah dan
penterjemahan buku-buku Yunani, disamping untuk biaya pertahanan dan
anggaran rutin pegawai. Pendapatan tersebut juga dialokasikan untuk
membiayaai para tahanan dalam hal penyediaan makanan dan pakaian
musim panas dan dingin (Amalia, 2010).
Pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid juga sangat memperhatikan
masalah perpajakan. Ia menunjuk Qadi Abu Yusuf untuk menyusun sebuah kitab
pedoman mengenai keuangan secara syari’ah. Untuk itu, Imam Abu Yusuf
menyusun kitab yang di beri judul kitab al-kharaj. Penulisan kitab Al Kharaj Abu
Yusuf ini didasarkan perintah dan pertanyaan Khalifah Harun Ar Rasyid
mengenai berbagai persoalan pajak (Karim, 2012). Pada masa Daulah Abbasiyah,
sistem pemungutan alkharaj dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a) Al-muhassabah atau penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak yang
harus dibayar dalam bentuk uang.
b) Al-Muqasamah atau penetapan jumlah tertentu (persentase) dari hasil yang
diperoleh.
c) Al- Muqqatha’ah atau penetapan pajak hasil bumi terhadap para jutawan
berdasarkan persetujuan antara pemerintah dengan yang bersangkutan.
Sepeninggal Harun Al-Rasyid, tampuk pemerintahan Daulah Abbasiyah
diserahkan kepada Khalifah Al-Ma’mun (198-218H). Pribadi AL-Ma’mun adalah
pribadi yang sangat mencintai ilmu dan hal ini sangat mempengaruhi berbagai
kebijakannya. Pada masa pemerintahannya, khalifah Al-Ma’mun memberikan
perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Khalifah Al-Ma’mun juga mendirikan sekolah-sekolah dan yang
termasyhur adalah Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan dilengkapi perpustakaan yang besar. Dari uraian diatas,
terlihat bahwa Dinasti Bani Abbasiyah awal lebih menekankan pada
pengembangan peradaban Islam dan kebudayaan, termasuk kehidupan ekonomi,
ketimbang pada perluasan wilayah Islam. Setelah melewati masa ini, Daulah
Abbasiyah mengalami kemunduran dan akhirnya dihancurkan oleh bangsa
Mongol pada tahun 1258 M.
PENUTUP

Pada dasarnya sejarah asal usul pemikiran ekonomi Islam dalam beberapa
dekade terakhir, banyak penulis dan di berbagai bidang ilmuwan, termasuk bidang
ekonomi telah menyimpulkan bahwa terjadinya krisis global multidimensi yang
sangat kompleks disebabkan oleh kesalahan operasional, bahkan lebih konseptual
dan tingkat paradigmatik, yang meliputi intelektual, moral dan spiritual. Dan
munculnya ekonomi Islam modern di tempat kejadian dimulai pada tahun 1970-
an, dan dengan kehadiran ekonom Islam dunia kontemporer sebuah asosiasi untuk
pertama kalinya dalam sejarah di Konferensi Internasional tentang Ekonomi dan
Keuangan Islam diadakan di Jeddah.
Sejarah juga menunjukkan bahwa sistem Islam memiliki kekuatan untuk
memberikan standar dan model operasional yang dapat diterapkan, dimana
lingkungan sekitar yang sangat mendukung dan juga dapat dijadikan acuan untuk
menghadapi kondisi ekonomi saat ini. Pemikiran dan tradisi ekonomi yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam ini telah dijalankan sejak masa Rasulullah SAW dan
Khulafaur Rasyidin pada sekitar abad ke-7 M. Sejumlah tokoh pemikir muslim
telah lahir dengan sejumlah karya yang luar biasa dimulai dari masa Abu
Yusuf, Abu Ubaid, berlanjut dengan pemikiran asy Syatibi, al Ghazali, Ibn
Khaldun dll.
Pada abad ke-20, para cendekiawan menggunakan istilah ini lebih banyak
sehubungan dengan abad ke-5 dan ke-10, tetapi sekarang secara luas dipandang
sebagai istilah yang merendahkan, yang menghubungkan periode pencerahan
yang dirasakan sebagai lawan dari ketidaktahuan budaya. Siddiqi Fase pertama
adalah fase dari abad awal hingga Hijriyah pada abad ke-5 atau abad ke-11
M, yang dikenal sebagai fase pendirian ekonomi Islam, yang dikemukakan oleh
para ahli hukum, diikuti oleh para sufi dan kemudian para filsuf.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Jurnal
466-1528-3-PB.

EKA, O.: and SARI, M. SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM.

KONSEP PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA.

MAGHFIROH, Z. and CANIAGO, S.A. PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA PERADABAN
ROSULULLAH SAW.

RAHMADI, T. and RAYA, I.P. (2021) Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Periode Khalifah Utsman
Bin Affan dan Periode Ali Bin Abi Thalib).

STUDI, P. et al. Jurnal Al-Iqtishod TELAAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM.

Anda mungkin juga menyukai