Anda di halaman 1dari 29

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA KEMAPANAN II

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen Pengampu:
Abdul Rosyid, M. A.

Disusun oleh:

Farhan Nabil Zain Dafaudin (22401182)


Mohammad Syirojjudin (22401183)
Diana Ashilla Sari (22401185)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ............................................................................1

2. Rumusan Masalah .......................................................................2

3. Tujuan ........................................................................................ 2

BAB II : PEMBAHASAN

1. Pemikiran Ekonomi Islam Masa Kemapanan Ekonomi II ............3

2. Pemikiran Ekonomi Islam As-Syatibi..........................................5

3. Pemikiran Ekonomi Islam Ibn Khaldun .......................................7

4. Pemikiran Ekonomi Islam Al Magrizi ....................................... 17

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan ..................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA 26

i
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai
suatu bidang ilmu yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir,
filsuf, sosiolog, dan politikus. Latar belakang para cendekiawan muslim
tersebut bukan merupakan ekonom murni. Pada masa itu, klasifikasi
disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Para cendekiawan ini
menganggap kesejahteraan umat manusia merupakan hasil akhir dari
interaksi panjang sejumlah faktor ekonomi dan faktor-faktor lain, seperti
moral, sosial, demografi, dan politik. Konsep ekonomi para cendekiawan
muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
hadist Nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran akan hasil
interpretasi dari berbagai ajaran Islam yan bersifat abadi yan bersifat abadi
dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum
bagi perilaku perilaku individu dan masyarakat, serta mendorong
umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka. Makalah ini
juga menjadi perbandingan antara pembahasan pemikiran-pemikiran
ekonomi sebelumnya.
Pemikiran Ekonomi Islam pada masa kemapanan II ini mengkaji
tentang pemikiran tokoh ekonomi yaitu As-Syatibi, Ibnu Khaldun, dan Al-
Maqrizi. Pemikiran ekonomi Islam pada masa kemapanan II ini banyak
membahas tentang etika ekonomi dan juga membahas tentang pematangan
teori ekonomi baik menyangkut perilaku konsumen, teori produksi, teori
harga, konsep uang, konsep tabungan, evolusi pasar, pajak, inflasi hingga
perdagangan internasional. 1

1
Melis, Pemikiran Tokoh Ekonomi Muslim: Imam Al-Syatibi, Jurnal Pemikiran
Ekonomi Muslim: Imam Al-Syatibi, Vol. 2 No. 1, 2016), 51

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa
Kemapanan Ekonomi II?
2. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Islam As-Syatibi?
3. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Islam Ibn Khaldun?
4. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Islam Al Magrizi?
C. Tujuan
1. Mengetahui Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa
Kemapanan Ekonomi II
2. Mengetahui Pemikiran Ekonomi Islam As-Syatibi
3. Mengetahui Pemikiran Ekonomi Islam Ibn Khaldun
4. Mengetahui Pemikiran Ekonomi Islam Al Magrizi

2
II. PEMBAHASAN

1. Masa Kemapanan Ekonomi II


Masa kemapanan ekonomi II pada abad pertengahan yang disebut
juga sebagai masa cemerlang. Sejumlah ulama besar memberikan
kontribusinya seperti: Al-Ghazali (505 H/1111 M), Ibnu Taimiyah (728
H/1328 M), Al-Syatibi (790 H/ 1388 M), Ibnu Khaldun (808 H/1404 M)
dan Al-Maqrizi (845 H/ 1441 M).
Fase ini dimulai pada abad ke-11 sampai abad ke-15 Masehi,
meninggalkan banyak warisan intelektual yang telah disusun menjadi
konsep-konsep yang bisa diaplikasikan dalam kegiatan ekonomi
masyarakat dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan hadist. Meski dilain
pihak, para cendekiawan pada masa ini mengalami realitas politik yang
cukup sulit. Dimana terjadi disintegrasi pusat kekuasaan yang mayoritas
mengabaikan kehendak rakyat. Dan mulai merebaknya korupsi di
kalangan para penguasa yang menyebabkan ketimpangan sosial semakin
lebar.2
Ibn Khaldun merupakan seorang ahli sejarah dan filsafat terbesar
yang pernah dihasilkan dunia Islam dan karyanya Muqadimmah tidak
diragukan lagi. Pokok pembahasannya terkait masalah kemiskinan dan
kesejahteraan, seperti pembagian tenaga kerja, uang, harga produksi dan
distribusi, perdagangan internasional, pembentukan modal, kemiskinan
dan kemakmuran.3
Al Syatibi merupakan salah satu dari ahli hukum islam yang banyak
menjelaskan tentang Maqasid Syariah yang merupakan kemaslahatan
umat manusia yang menyangkut rejeki manusia, pemenuhan kebutuhan
dan keinginan manusia. Jika berkaitan dengan Ekonomi Islam dalam

2
Risanda Alirasta Budiantoro, dkk. Sistem Ekonomi (Islam) dan Pelarangan Riba dalam
Perspektif Historis, JIEI: Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1, 2018, 6
3
Lailatul Istiqomah, dkk. Telaah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jurnal Al-Iqtishod,
Vol. 1, No. 1, 2019, 9

3
menghidupkan ekonomi diperlukan adanya kerja keras para ekonom
muslim untuk mencari nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur'an dan
Sunnah yang terkait dengan masalah ekonomi yang kemudian dirumuskan
dan dijadikan kaidah. 4
Pada fase ini, masyarakat banyak meninggalkan hasil karya atau
warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan muslim mampu
menyusun suatu konsep tentang ekonomi yang berlandaskan al-Qur’an
dan Hadits. Pada fase ini, terjadi disintegritas dinasti Abbasiyah dan
merebaknya korupsi di kalangan penguasa.5
Tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif
dalam dunia islam terlihat pada fase kedua dalam sejarah ekonomi islam
yang juga merupakan masa kehidupan Al Maqrizi. Corak pemikiran Al
Maqrizi tentang ekonomi sangat dipengaruhi oleh latar belakang
kehidupannya yang bukan seorang sufi atau filsuf dan relatif didominasi
oleh aktivitasnya sebagai sejarawan muslim. 6 Ia senantiasa memandang
setiap soal dengan flashback dan mencoba memotret apa adanya mengenai
fenomena ekonomi suatu negara dengan memfokuskan perhatiannya pada
beberapa hal yang mempengaruhi naik-turunnya pemerintahan. Hal ini
berarti bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi Maqrizi cenderung positif.
Satu hal yang jarang dan unik pada fase kedua yang notabene didominasi
pemikiran yang normatif. 7

4
Nuruddin Armanto, dkk., Sistem Ekonomi Islam Menurut Para Ahli, Ar-Ribhu:
Manajemen Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 2, No. 1, 2021, 143
5
Ruslan Husen Marasabessy, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Klasik, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 16, No. 1, 2016, 77
6
Imron Fathurohman, dkk., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Imam Al Maqrizi, Ad-
Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 5, No. 1, 2021, 143
7
Abdul Qoyum, dkk., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Departemen Ekonomi
dan Keuangan Syariah – Bank Indonesia, 2021), 394

4
2. Abu Ishaq al-Syatibi (1388 M)
A. Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad
al-Lakhmi al-Gharnati al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan
Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Ia
berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal
keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan
Spanyol bagian timur. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh
pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan
benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan
masa pemerintah Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan
masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat
kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat
menguntungkan bagi al-Syatibi dalam menuntut ilmu untuk
mengembangkannya. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya,
tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang
berbentuk ‘ulum al-wasa'il (metode) maupun 'ulum magasid (esensi dan
hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan
mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhar al-Biri,
Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syatibi, dan Abu Ja'far Ahmad al-
Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadist dari Abu Qasim ibn
Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali
Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-
Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai
ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu
langsung, ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang

5
sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Rundi. 8
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih
berminat untuk mempelajari bahasa Arab, khususnya ushul fiqih.
Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fiqih, karena menurutnya, metodologi
dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan
kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi
nengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para
generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al- Qadi dan
Abu Abdillah al-Bayani. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya'ban 790 H
(1388 M).9
B. Karya-Karya
Selama hidupnya al-Syatibi menghasilkan beberapa karya tulis.
Pertama, Al-Khulashah fi al-Nahwi fi Asfari Arba’ati Kibar yaitu buku yang
menjelaskan komentar-komentar Syatibi mengenai buku al-Khulasa al-
Alfiyyah karangan Ibnu Malik. Kedua, Al-Muwafaqat, maha karya Syatibi
yang paling utama. Buku yang menjelaskan mengenai ilmu ushul fiqh dan
pengenalan terhadap konsep maslahah dan maqashid menurut Syatibi.
Ketiga, Kitab al-Majalis, buku yang menjelaskan bab jual beli dalam kitab
sahih bukhari. Keempat, Kitab al-Ifadat wa al-Insyadat, menjelaskan sastra
dan seni mengarang dalam Bahasa Arab. Kelima, Kitab Unwan al-Ittifaq fi
‘Ilmi al-Isytiqaq. Keenam, Kitab Ushul al-Nahwi. Disamping itu, Syatibi
juga menciptakan berbagai fatwa dan syair-syair Arab serta mewarisi karya-
karya ilmiah, seperti Syarh Jalil'ala al-Khulashah fi al-Naku dan Ushul al-
Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul Syari'ah dan
al-'tisham dalam bidang usul fiqih.10

8
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 277
9
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010),
253
10
Nabila Zatadini, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi dan Kontribusinya

6
C. Pemikiran Ekonomi
1) Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia
menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat
menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah
objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang
pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak
dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan
air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli
atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia
menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap
sungai dikarenakan adanya pembangunan dam. 11
2) Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut
pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para
pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra', ia menyatakan
bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung
jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta
menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap
rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam. 12

3. Ibnu Khaldun (1332-1406)


A. Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun yang bernama lengkap Abdurrahman Abu Zaid

dalam Kebijakan Fiskal, Al-Falah: Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 2, 2018, 115
11
Nur Chamid, op.cit., 283
12
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2004), Edisi kedua, 323

7
Waliuddin Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau
bertepatan dengan 27 Mei 1332 M. Berdasarkan silsilahnya, Ibnu Khaldun
masih mempunyai hubungan darah dengan Wail bin Hajar, salah seorang
sahabat nabi yang terkemuka. Keluarga Ibnu Khaldun yang berasal dari
Hadramaut, Yaman, ini terkenal sebagai keluarga yang berpengetahuan
luas dan berpangkat serta menduduki berbagai jabatan tinggi kenegaraan.
Seperti halnya tradisi yang sedang berkembang pada masa itu, Ibnu
Khaldun mengawali pelajaran dari ayah kandungnya. Setelah itu, ia pergi
berguru kepada para ulama terkemuka, seperti Abu Abdillah Muhammad
bin Al-Arabi Al-Hashayiri, Abu Al-Abbas Ahmad ibn Al-Qushshar, Abu
Abdillah Muhammad Al-Jiyani, dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ibrahim
Al-Abili, untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, seperti tata bahasa
Arab, hadis, fiqh, teologi, logika, ilmu alam, matematika, dan astronomi.
Sebagai anggota dari keluarga aristokrat, Ibnu Khaldun sudah
ditakdirkan pergi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam administrasi
negara dan mengambil bagian dalam hampir semua pertikaian politik di
Afrika Utara. Akan tetapi, karena pengaruh budaya Spanyol yang sempat
melekat dalam kehidupan keluarga dan dirinya selama satu abad, Ibnu
Khaldun tidak pernah menjadi "anggota penuh" dari masyarakatnya dan
tetap hanya menjadi pengamat luar dari dunianya.
Pada masa ini, Dunia Timur diperintah oleh seorang teknokrasi
aristokratik internasional yang menumbuhsuburkan seni dan sains. Apabila
ada orang yang termasuk anggota dari kelompok elite ini, baik karena
keturunan atau pendidikan, mereka akan ditawari pangkat tinggi dan pos
teknis yang penting oleh para raja dan sultan yang menyewa jasanya.
Sejalan dengan revolusi-revolusi dan peperangan, gaji yang ditawarkan,
dan kondisi pribadi, mereka bepergian dari satu kota ke kota yang lain
mengikuti seorang penakluk atau untuk melarikan diri dari penghukuman.
Ibnu Khaldun adalah anggota dari kelompok elite ini, baik karena
keturunan maupun pendidikan. Pada tahun 1352 M, ketika masih berusia
dua puluh tahun, ia sudah menjadi master of the seal dan memulai karir

8
politiknya yang berlanjut hingga 1375 M. Perjalanan hidupnya beragam.
Akan tetapi, baik di dalam penjara atau di istana, dalam keadaan kaya atau
miskin, menjadi pelarian atau menteri, ia selalu mengambil bagian dalam
peristiwa- peristiwa politik pada zamannya, dan selalu berhubungan dengan
para ilmuwan lainnya, baik dari kalangan Islam, Kristen maupun Yahudi.
Hal ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar.
Dari tahun 1375 M sampai 1378 M, ia menjalani pensiunnya di Gal'at ibn
Salamah, sebuah puri di Provinsi Oran, dan mulai menulis sejarah dunia
dengan Muqaddimah sebagai volume pertamanya. Pada tahun 1378 M,
karena ingin mencari bahan dari buku-buku di berbagai perpustakaan besar,
Ibnu Khaldun mendapatkan izin dari pemerintah Hafsid untuk kembali ke
Tunisia. Di sana, hingga tahun 1382 M ketika berangkat ke Iskandariah, ia
menjadi guru besar ilmu hukum. Sisa hidupnya dihabiskan di Kairo hingga
ia wafat pada tanggal 17 Maret 1406 M.13
B. Karya-Karya
1) Kitab al-'Ibar
Nama lengkap dari kitab ini adalah Kitab al-'Ibar wa Diwan al-
Mubtada wa al-Khabar fi al-A'yan wa al-'Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar
wa man min Zawi as-Sultan al-Akbar. Karya Ibn Khaldun di bidang
sejarah ini terdi dari tujuh jilid yang meliputi tiga buku. Buku yang
pertama terdiri dari satu jilid adalah Kitab al-Muqaddimah yang khusus
memuat pembahasan tentang gejala-gejala sosial.
Sedangkan dalam buku yang kedua terdapat uraian tentang berita-berita
mengenai bangsa Arab, generasi dan negara-negara mereka sejak
permulaan terciptanya alam ini hingga masanya Ibn Khaldun. Di
dalamnya, disebutkan pula secara ringkas bangsa-bangsa dan negara-
negara terkenal yang pernah hidup semasa dengan bangsa Arab, misalnya
bangsa Nabata, Suryani, Persia Bani Israil, Koptik, Yunani, Romawi,

13
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), 283

9
Turki dan bangsa Eropa. Buku kedua ini terdiri dari 4 jilid.
Dalam buku yang ketiga diuraikan sejarah bangsa Barbar, Zanatah dan
kerajaan-kerajaan yang ada di Maghribi. Dengan kata lain, buku ketiga
tersebut, yang terdiri dari 2 jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, membahas
secara panjang lebar sejarah Afrika Utara, yaitu sejak pertumbuhan
bangsa-bangsanya hingga zaman Ibn Khaldun, Sewaktu pertama kali Ibn
Khaldun menulis kitab tersebut, sebenarnya ia hanya hendak menuliskan
sejarah Maghribi saja. Dengan begitu, buku ketiga ini merupakan buku
pokok dan merupakan tujuan semula dari penulisan kitab al-her Sementara
itu, buku yang kedua merupakan perluasan dan tambahan-tambahan saja.
2) Kitab al-Muqaddimah
Pada mulanya, kitab ini merupakan muqaddimah dalam kitab al-‘Ibar.
Akan tetapi karena dipandang pentingnya karya ini, maka kemudian
dipisahkan dari kitab al-‘Ibar, dicetak secara terpisah. Kitab Muqaddimah
ini terdiri dari:
a. Kata pengantar. Terdiri dari 6 halaman yang menguraikan berbagai
kelemahan yang terdapat pada karya-karya para sejarahwan
sebelumnya.
b. Muqaddimah. Berisi uraian tentang kelebihan ilmu sejarah,
pengkajian atas aliran-alirannya dan uraian tentang kekeliruan para
sejarahwan dan sebab- sebabnya.
c. Buku Pertama, yang sebenarnya buku pertama kitab al-Thar, akan
tetapi kemudian dipisahkan dari bagian-bagian lainnya dan menjadi
kitab tersendiri yaitu Muqaddimah. Buku pertama ini terdiri dari enam
bab, yaitu :
d. Bab 1, berisi tentang kebudayaan umat manusia pada umumnya.
e. Bab II, berisi uraian tentang kebudayaan primitif (badui), bangsa-
bangsa dan suku-suku yang biadab. Uraian tentang keprimitifan dan
kebudayaan dan perbedaan antara keduanya. Dalam bab ini dibahas
juga kajian-kajian sosiologi dan filsafat sejarah.
f. Bab III, berisi uraian tentang negara-negara secara umum, kerajaan,

10
khilafah dan jenjang-jenjang kekuasaan. Juga dibahas uraian tentang
sebab-sebab yang menumbuhkan kekuasaan, cara mengukuhkan
negara dan sebab-sebab yang membuat tegak dan runtuhnya suatu
negara. Bahasan dalam bab ini, kini popular sebagai kajian ilmu
politik praktis.
g. Bab IV, berisi uraian tentang negeri-negeri, kota-kota dan seluruh
kebudayaan.
h. Bab V, berisi uraian tentang penghidupan dengan berbagai sendi
pendapatan dan kegiatan ekonomi. Bab ini menguraikan pula tentang
b bentuk-bentuk perdagangan dan industri, serta berbagai kegiatan
ekonomi dan profesi lainnya. Uraian-uraian dalam bab ini, kini
popular dengan kajian ekonom politik.
i. Bab VI, berisi uraian tentang pembahasan jenis-jenis ilmu
pengetahuan dan metode-metodenya dan seluruh aspeknya. Bab ini,
dapat disebut sejarah sastra Arab.
Kitab al-Muqaddimah ini menurut pengakuan Ibn Khaldun,
dirampungkan penyusunannya sebelum dikoreksi dan direvisi selama 5
bulan, yaitu dari bulan safar sampai akhir bulan Jumadil as-Sani 799 M.
Naskah dalam bentuk yang pertama ini dihadiahkan oleh Ibn Khaldun
kepada Sultan Abu al-Abbas (Sultan Tunisia). Setelah itu, ia merevisi
dan melengkapinya dengan berbagai paul yang belum ada sebelumnya
yang ditulisnya dalam dua naskah. Satu naskah terakhir ini ia hadiahkan
kepada Sultan Zahir Barquq, sedangkan naskah yang lainnya ia
hadiahkan kepada Sultan Abu Faris Abdul Aziz. Naskah yang kemudian
terkenal sebagai naskah Farisi, yang kemudian menjadi rujukan
kebanyakan naskah-naskah yang ada di berbagai perpustakaan Eropa.
Sebelum kitab al-Muqaddimah ini diterjemahkan ke dalam berbagai
veni bahasa, banyak kajian pendahuluan dan publikasi bab per bab yang
dilakukan kalangan pemikir Barat dalam mengkaji kitab Muqaddimah
ini. Pada tahun 1858 M, Etienne Marc Quatremere, seorang orientalis
Perancis, mempublikasikan kitab Muqaddimah dalam versi Arab

11
aslinya di Paris. Quatremere sendiri bemiat menerjemahkan ke dalam
bahasa Perancis, namun sebelum terjemahannya tersebut selesai ia telah
meninggal dunia. Upayanya tersebut kemudian dilanjutkan oleh W.M.
De Slane dan berhasil merampungkan terjemahannya secara lengkap
yang disertai dengan anotasi pandangannya dan biografi ringkas Ibn
Khaldun. Sementara itu, terjemahan Muqaddimah dalam bahasa Turki
terbit pada tahun 1860 M atas usaha Cevdet Pasha setelah sebelumnya
merevis hasil kerja Mehmed Piri Zedah yang telah terlebih dahulu
mempublikasikan Muqaddimah dalam bahasa turki.
Kitab Muqaddimah sendiri, di Mesir baru terbit pada tahun 1858 M,
atas usaha Syeikh Nashr al-Huruni. Sementara itu di Beirut, cetakan
pertama kub Muqaddimah baru terbit pada tahun 1879, yang kemudian
dicetak ulang pada tahun 1886 M.14
C. Pemikiran Ekonomi
Berikut ini beberapa pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun yang dalam
lintasan sejarah perekonomian dunia dapat disejajarkan dengan pemikiran
para tokoh ekonom modern. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa
prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga
sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai
sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori
modern.
1) Persoalan Ekonomi
Soal-soal ekonomi ini dibicarakan oleh Ibnu Khaldun di dalam
bukunya “Al-Muqaddimah”, bagian ke V. Motif ekonomi timbul karena
hasrat manusia yang tidak terbatas, sedang barang-barang yang akan
memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab itu memecahkan
soal-soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut; sudut tenaga (werk,
arbeid) dan dari sudut penggunaannya.
Adapun dari sudut tenaga terbagi kepada:

14
Euis Amalia, op.cit., 230

12
a. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri, dinamakan “ma’asy” (penghidupan).
b. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang yang memenuhi kebutuhan
orang banyak, dinamakan “tamawwul” (perusahaan). Pembagian yang
seperti ini didasarkannya kepada beberapa perkara yang terpakai di
dalam kitab suci al-Qur’an. Misalnya perkataan “’Iesyah” dalam Surat
al-Haqqah ayat 21 dan al-Qari’ah ayat 72; kata “ma’asy” di dalam
Surat al-Naba ayat 11; perkataan “ma’ayisy” di dalam surat al-A’raf
ayat 10, Surat al-Hijr ayat 20 ; kemudian perkataan “ma’iesyah”
dalam Surat Taha ayat 124, Surat al-Qashshash ayat 58, dan Surat al-
Zukhruf ayat 32. Semua perkataan itu digunakan Allah sebagai istilah
untuk menunjukkan perlunya tenaga manusia untuk mencukupkan
kebutuhan hidupnya. Jika tenaganya digunakan untuk kebutuhan
orang banyak, tidaklah dinamakan “ma’asy” atau “ma’iesyah”,
melainkan berubahlah sifatnya menjadi suatu perusahaan.
Adapun dari jurusan kegunaannya, dapatlah dibagi menjadi 2 hal:
a. Kegunaan barang-barang yang dihasilkan itu hanyalah untuk
kepentingannya sendiri, dinamakan “rizqy” (tersebut 55 kali dalam al-
Qur’an dengan 77 kata-kata yang sama).
b. Kegunaannya untuk kepentingan orang banyak, sedang kepentingan
orang yang mengerjakan tidaklah menjadi tujuan utama. Hal ini
dinamakan “kasab” (tersebut 67 kali dalam al-Qur’an).
2) Usaha Pribadi dan Perusahaan Umum
Pembagian ini ternyata juga di dalam kalimat-kalimat yang dipakai
oleh Allah. Di dalam Surat Hud ayat 6, Allah memakai perkataan “Rizqy”
bagi segala mahluk yang melata di bumi. Dan di dalam ayat lain Allah
mewajibkan bagi tiap-tiap diri untuk mencari rizki. Adapun perkataan
“kasab” tidaklah boleh dipakai sedemikian. Di dalam Surat al-Baqarah
ayat 141, Allah menggunakan perkataan “kasab” bagi usaha suatu umat,
bangsa. Kemudian pula dalam Surat al-Rum ayat 41, Allah menegaskan
bahwa dunia dipenuhi oleh kebinasaan dan kehancuran di daratan dan di

13
lautan, karena perebutan dan persaingan ekonomi (kasab) antara manusia.
Hal ini dengan jelas diuraikan oleh Ibn Khaldun, sebagai bagian dari
proses ekonomi yang berjalan seiring dengan kehidupan umat manusia.
Bagian ke-1 dari kedua sudut itu (ma’asy dan rizqy) hanyalah
diperuntukkan bagi kebutuhan diri sendiri, sebagaimana halnya ekonomi
di jaman primitif dahulu. Orang bertani, atau lebih tegasnya bercocok
tanam, tenaganya bekerja dan hasilnya yang diharapkan dari pekerjaannya
hanyalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya serumah tangga.
Pada masa itu, kalaupun ada perdagangan hanyalah dijalankan secara tukar
menukar (natural wirschaft) antara orang-orang yang membutuhkan
barang-barang.
Tetapi bagian kedua dari kedua sudut itu (tamawwul dan kasab) sudah
merupakan usaha ekonomi. Baik tenaga yang dipakai maupun hasil yang
diharapkan. Bukanlah lagi kebutuhan sendiri yang menjadi soal, tetapi
pokok pertimbangan diletakkan pada kepentingan orang banyak yang
memerlukan barang itu. Bagi pengusaha, bukan barang-barang itu yang
diperlukan, tetapi nilai dari pekerjaan atau barang-barang yang
dikerjakannya itu. Dalam bagian ini, ekonomi sudah menginjak pada
jaman modern, bukan lagi tukar menukar barang, tetapi berjual beli atau
seumpamanya.
3) Mata Uang Memegang Peranan Penting
Ibnu Khaldun hidup di jaman di mana mata uang sudah menjadi alat
penghargaan. Pada masa itu ia sudah membicarakan kemungkinan yang
bakal terjadi tentang kedudukan yang selanjutnya dari mata uang. Dia
menulis sebagai berikut: “Sesudah demikian, Allah telah menjadikan pula
dua barang galian yang berharga, ialah emas dan perak menjadi bernilai
di dalam perhubungan ekonomi. Keduanya menurut kebiasaan menjadi
alat perhubungan dan alat simpanan bagi penduduk dunia. Jika terjadi
alat perhubungan dengan yang lainnya pada beberapa waktu, maka
tujuan yang utama tetap untuk memiliki kedua benda itu di dalam
peredaran harga-harga pasar, karena keduanya terjauh dari pasar itu”

14
Akhirnya Ibnu Khaldun meramalkan bahwa kedua barang galian ini nanti
akan mengambil tempat yang terpenting di dalam dunia perekonomian,
ialah melayani tiga kepentingan, yaitu: pertama, menjadi alat penukar dan
pengukur harga, sebagai nilai usaha (makasib); kedua, menjadi alat
perhubungan, seperti deviezen (qaniah); dan ketiga, menjadi alat
simpanan di dalam bank-bank (zakhirah). Inilah analisa Ibnu Khaldun
sewaktu emas dan perak baru merupakan dinar dan dirham. Dia sudah
mengetahui bahwa dengan secepatnya dunia akan meninggalkan zaman
natural wirschift (tukar menukar barang), berpindah kepada jaman modern
yang lebih terkenal dengan “geld wirschift” (jual beli dengan perantaraan
uang). Dalam jaman baru itu, emas dan perak akan menempati tempatnya
“ukuran nilai” (standaard). Mungkin ada waktunya juga harga itu diganti
dengan uang kertas, sebagaiman yang terjadi pada jaman kita ini. Tetapi
tujuan yang sebenarnya seperti keterangan Ibnu Khaldun tetap emas dan
perak. Tiap-tiap uang kertas yang dicetak mesti ada jaminan emas atau
perak di dalam bank. Sebagai contoh adalah seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Robert G. Rodkey, bahwa bank deposit yang pertama ada
di kota-kota Itali, yang dimulai pada permulaan jaman Renaissance pada
abad 15, yaitu berabad-abad di belakang jaman tengah Islam.
4) Soal-Soal Ekonomi dalam 33 Pasal
Uraian selanjutnya tentang soal-soal ekonomi, dibentangkan
panjang lebar oleh Ibnu Khaldun di dalam bukunya “Muqaddimah” yang
dibaginya dalam 33 pasal. Semuanya itu dapat disimpulkan pada enam
bagian, sebagai berikut:
a. Pasal 1 mengenai terminologi dari kata-kata ekonomi, sebagaimana
yang sudah dibahas di depan. Di antaranya, pembagian terminologi
ekonomi pada dua kata, yaitu “rizqy” dan “kasab”, di mana keduanya
mengandung arti dan implikasi sendiri-sendiri. Dari dua kata ini pula
Ibnu Khaldun memberikan satu pendapat bahwa ada usaha pribadi dan
usaha publik. Dan usaha publik inilah yang dimaksudkan dengan
usaha ekonomi yang sesungguhnya. Apabila kita terjemahkan dalam

15
kehidupan modern saat ini, maka usaha publik ini identik dengan
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang, yang
melibatkan banyak orang, tenaga dan juga melibatkan banyak tenaga
ahli. Dalam dataran ini Ibnu Khaldun telah melangkahkan pikirannya
jauh ke depan, dengan memprediksikan perusahaan umum tersebut.
b. Pasal 2 mengenai pembagian rencana-rencana ekonomi kepada dua
golongan dengan macam-macam usahanya, yaitu golongan usaha
yang natuurlijk langsung menjadi rencana ekonomi dan kedua
golongan usaha yang bukan natuurlijk menjadi rencana usaha
ekonomi. Hal ini masih sangat terkait dengan pembahasan pasal
sebelumnya. Keduanya terkait dan saling mempengaruhi.
c. Pasal 3 sampai dengan pasal 7 (5 pasal) menguraikan usaha-usaha
yang bukan natuurlijk menjadi usaha ekonomi, dan juga uraian
tentang faktor-faktor luaran yang ada pengaruhnya dalam ekonomi.
Sebagai contoh yang riel diajukan oleh Ibnu Khaldun adalah faktor
sosio politik sebagai lingkungan sosial politik yang melingkupi
kehidupan sebuah masyarakat. Sehingga perilaku ekonomi akan
terpengaruh oleh hal-hal tersebut dan hasil yang hendak
diproduksipun sangat terpengaruh oleh apa yang dibutuhkan dalam
kondisi politik tertentu.
d. Pasal 8 khusus mengenai soal pertanian. Pertanian dikatakan oleh Ibnu
Khaldun sebagai usaha asli manusia untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari, terutama makan.
e. Pasal 9 sampai dengan pasal 15 (7 pasal) mengupas soal-soal
perdagangan di dalam segala segi. Pada bagian ini dikemukakan
pengertian perdagangan, yang oleh Ibnu Khaldun diterjemahkan
dengan ilutrasi sebagai berikut: perdagangan “al-Tijarah” adalah
perputaran pekerjaan dengan terjadinya pertumbuhan harta dengan
pembelian secara seimbang, baik dengan harga yang murah maupun
mahal, yang berlangsung secara keseharian, seperti jual beli kambing
(hewan), pertanian, peternakan atau sandang yang menjadi keinginan

16
(maksud) dari semua orang.
f. Pasal 16 sampai dengan pasal 33 (13 pasal) memberikan analisa
tentang soal perusahaan di dalam segala bagiannya. Prinsip-prinsip
yang dikembangkan antara lain prinsip produksi, pelibatan jasmani
dan pemikiran (rohani), pemenuhan kebutuhan umum dan untuk
kepentingan orang banyak (kemakmuran bersama).15

4. Imam al-Maqrizi (766-845 H)


A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad
bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. la lahir di desa Barjuwan, Kairo, pada
tahun 766 H (1364-1365 M). Keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah
desa yang terletak di kota Ba'la- bak. Oleh karena itu, ia cenderung dikenal
sebagai Al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa
kecil dan remaja Al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari
pihak ibu, Hanafi ibn Sa'igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi
muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya
mening- gal dunia pada tahun 786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke
mazhab Syafi'i. Bahkan, dalam perkembangan pemikirannya, ia terlihat
cenderung menganut mazhab Zhahiri.
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil,
ia gemar melakukan rihlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu,
seperti fiqih, hadis, dan sejarah, dari para ulama besar yang hidup pada
masanya. Di antara tokoh terkenal yang sangat memengaruhi pemikirannya
adalah Ibnu Khaldun, seorang ulama besar dan pengasas ilmu-ilmu sosial,
termasuk ilmu ekonomi. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai ketika
Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung

15
Choirul Huda, Pemikiran Ekonomi Bapak Ekonomi Islam; Ibnu Khaldun, Journal
Walisongo, Vol. 4, No. 1, 2013, 113

17
(Qadi Al-Qudah) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq
(784-801 H).
Ketika berusia 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai
tugas pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M), Al-
Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya, semacam
sekretariat negara. Kemudian, ia diangkat menjadi wakil qadi pada kantor
hakim agung mazhab Syafi'i, khatib di Masjid Jami 'Amr dan Madrasah Al-
Sultan Hasan, Imam Masjid Jami Al-Hakim, dan guru hadis di Madrasah
Al- Muayyadah.
Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al- Maqrizi
sebagai muhtasib di Kairo, Jabatan tersebut diembannya selama dua tahun.
Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai
permasalahan pasar, perdagangan, dan mudharabah, sehingga perhatiannya
terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, dan kaidah-kaidah
timbangan.
Pada tahun 811 H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana
administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri,
Damaskus. Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadis di Madrasah
Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah. Kemudian, Sultan Al-Malik Al-
Nashir Faraj bin Barquq (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil
pemerintah Dinasti Mamluk di Damaskus. Namun, tawaran ini ditolak Al-
Maqrizi.
Setelah sekitar 10 tahun menetap di Damaskus, Al-Maqrizi kembali ke
Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah dan
menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia
bersama keluarganya menu- naikan ibadah haji dan bermukim di Makkah
selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan
menulis sejarah.
Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya,
Barjuwan, Kairo. Di sini, ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama
sejarah Islam, hingga terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad

18
ke-9 Hijriyah. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27
Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M. 16
B. Karya-Karya
Semasa hidupnya, al-Maqrizi sangat produktif menulis berbagai bidang
ilmu terutama sejarah Islam. Lebih dari seratus buah karya tulis telah
dihasilkannya, baik berbentuk buku kecil maupun besar. Buku-buku
kecilnya memiliki urgensi yang khas serta menguraikan berbagai macam
ilmu yang tidak terba pada tulisan sejarah. Asy-Syayyal mengelompokkan
buku-buku kecil tersebut menjadi empat kategori. Pertama, buku yang
membahas beberapa peristiwa sejarah Islam umum, seperti kitab al-Niza' wa
al-Takhashum fi ma baina Bai Umayyah wa Bani Hasyim. Kedua, buku
yang berisi ringkasan sejarah beberapa penjuru dunia Islam yang belum
terbahas oleh para sejarawan lainnya, seperti kitab al-Ilmam bi Akhbar Man
bi Ardh al-Habasyah min Muluk al-Islam. Ketiga, buku yang menguraikan
biografi singkat para raja, seperti kitab Tarajim Mulak al-Gharb dan kitab
al-Dzahab al-Masbuk bi Dzikr Man Hajja min al-Khulafa wa al-Muluk.
Keempat, buku yang mempelajari beberapa aspek ilmu murni atau sejarah
beberapa aspek sosial dan ekonomi di dunia Islam pada umumnya, dan di
Mesir pada khususnya, seperti kitab Syudzur al-'Uqud fi Dzikr al-Nuqud,
kitab al-Akyal wa al-Auzan al-Syar'iyyah, kitab Risalah fi al-Nuqud
Islamiyyah dan kitab Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al-Ghummah."
Sedangkan terhadap karya-karya al-Maqrizi yang berbentuk buku besar,
asy-Syayyal membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku yang membahas
tentang sejarah dunia, seperti kitab al-Khabar 'an al-Basyr. Kedua, buku
yang menjelaskan sejarah Islam umum, seperti kitab al-Durar al-Mudhi'ah
fi Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang menguraikan sejarah
Mesir pada masa Islam, seperti kitab al-Mawa'izh wa al-I'tibar bi Dzikr al-
Khithath wa al- Atsar, kitab Itti'azh al-Hunafa bi Dzikr al-Aimmah al-

16
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2010), Edisi ketiga, 414

19
Fathimiyyin al-Khulafa, dan kitab al-Suluk li Ma'rifah Duwal al-Muluk17
C. Pemikiran Ekonomi
1) Konsep Uang
Sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi mengemukakan beberapa
pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah mata uang yang
digunakan bagi manusia, karena dengan menggunakan uang, manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas
kehidupannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan validitas
premisnya terhadap permasalan ini, mengungkapkan sejarah
penggunaan mata uang oleh umat manusia. Dari perspektif objek
pembahasan, apabila ditelusuri kembali berbagai literature Islam klasik,
pemikiran terhadap uang merupakan fenomena yang jarang diamati
para cendikiawan Muslim, baik pada periode klasik maupun
pertengahan. Menurut survey Islahi, selain Al-Maqrizi, diantara sedikit
pemikir muslim yang memiliki perhatian terhadap uang pada masa ini
adalah Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Al-qayyim Al-Jauziyah dan
Ibnu Khaldun. Dengan demikian, secara kronologis dapat dikatakan
bahwa Al-Maqrizi merupakan cendekiawan Muslim abad pertengahan
yang terakhir mengamati permasalahan tersebut, sekaligus
mengkorelasikannya dengan peristiwa inflasi yang melanda suatu
negeri.
Secara umum, Sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi menyatakan
beberapa pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah mata uang
yang digunakan oleh manusia. Pemikirannya ini meliputi sejarah dan
fungsi uang, implikasi penciptaan mata uang buruk dan daya beli uang.
a. Sejarah dan Fungsi Uang
Bagi Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan penting dalam
kehidupan umat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup serta
memperlancar aktivitas kehidupannya. Pada masa sebelummaupun

17
Euis Amalia, op.cit., 262

20
sesudah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia
untuk menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk
mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas
dan perak. Dalam sejarah perkembangannya, Al-Maqrizi menguraikan
bahwa bangsa Arab Jahiliyyah menggunakan dinar emas dan dirham
perak. sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari
Romawi dan Persia serta mempunyai bobot dua kali lebih berat dimasa
Islam.
b. Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk
Menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan
perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata
uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaian dalam hal ini,
sehingga terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam percetakan
uang dengan aktivitas produksi dapat menyebabkan daya beli riil uang
mengalami penurunan. Dalam hal demikian, Al-Maqrizi
memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan
peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan
menyadari hal tersebut ketika membelanjakan sejumlah uang yang
lebih besar untuk berbagai macam pengeluarannya. Dengan kata lain,
seorang pedagang dapat terlihat memperoleh keuntungan yang lebih
besar sebagai seorang produsen. Namun sebagai seorang konsumen, ia
akan menyadari bahwa dirinya tidak memperoleh keuntungan sama
sekali.
Pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi ini, mata uang
yang dicetak mempunyai kualitas yang sangat rendah dibandingkan
dengan mata uang yang telah ada di peredaran. Dalam menghadapi
kenyataan tersebut, masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan
mata uang yang berkualitas baik dan meleburnya menjadi perhiasan
serta melepaskan mata uang yang berkualitas buruk ke dalam
peredaran. Akibatnya mata uang lama akan kembali ke peredaran.
Menurut Al-Maqrizi, hal tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh

21
pergantian penguasa dan dinasti yang masing-masing menerapkan
kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta nilai dinar dan
dirham. Sebagai contoh, jenis dirham yang telah ada diubah hanya
untuk merefleksikan penguasa pada saat itu. Dalam kasus yang lain
terdapat beberapa perubahan tambahan pada komposisi logam yang
membentuk dinar dan dirham. Konsekuensinya terjadi
ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan logam
bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah unit
mata uang. Begitu pula halnya ketika harga emas atau perak mengalami
penurunan.
c. Konsep Daya Beli Uang
Menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan
perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata
uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaian terhadap hal ini,
sehingga terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan
uang dengan aktivitas produksi dapat menyebabkan daya beli riil uang
mengalami penurunan.
Dalam hal yang demikian, Al-Maqrizi memperingatkan para
pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba nominal
mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut ketika
membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai
pengeluarannya. Dengan kata lain, seorang pedagang dapat terlihat
memperoleh keuntungan yang lebih besar sebagai seorang produsen.
Namun sebagai seorang konsumen, ia akan menyadari bahwa dirinya
tidak memperoleh keuntungan sama sekali.
2) Teori Inflasi
Inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan
harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli.
Inflasi sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan atau
investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit
untuk tabungan jangka panjang. Sementara itu pengertian inflasi juga

22
sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum dan terus-menerus,
dalam waktu dan tempat tertentu. Keberadaannya sering diartikan
sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian negara, selain
pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran.
Dengan mengemukakan berbagai fakta bencana kelaparan yang pernah
terjadi di Mesir, Al-Maqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi
merupakan sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan
masyarakat diseluruh dunia sejak masa dahulu hingga sekarang.
Inflasi menurutnya jadi ketika harga – harga secara umum mengalami
kenaikan dan berlangsung terus – menerus. Pada saat ini, persediaan
barang dan jasa mengalami kelangkaan dan konsumen, karena sangat
membutuhkannya, harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk
sejumlah barang dan jasa yang sama.
Dalam uraian berikutnya, Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi
secara lebih mendetail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor
penyebabnya kedalam dua hal, yaitu inflasi yang disebabkan oleh faktor
alamiah dan inflasi yang disebabkan oleh kesalahan manusia.
a. Inflasi Alamiah
Sesuai dengan namanya, inflasi jenis ini disebabkan oleh berbagai
faktor alamiah yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Menurut Al-
Maqrizi, ketika suatu bencana alam terjadi, berbagai bahan makanan
dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan
barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastic dan
terjadi kelangkaan. Dilain pihak karena sifatnya yang sangat signifikan
dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang tersebut
mengalami peningkatan. Harga-harga membumbung tinggi jauh
melebihi daya beli masyarakat. Hal ini sangat berimplikasi terhadap
kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi
ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali yang pada
akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit dan
kematian dikalangan masyarakat.

23
b. Inflasi Karena Kesalahan Manusia
Selain faktor alam, beliau menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi akibat
kesalahan manusia. Ia telah mengindentifikasi tiga hal yang baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-bersama menyebabkan terjadinya
inflasi ini. Ketiga hal tersebut adalah korupsi dan administrasi yang
buruk, pajak yang berlebihan, dan peningkatan sirkulasi mata uang
fulus.
Al-Maqrizi menyatakan bahwa pengangkatan para pejabat
pemerintahan yang berdasarkan pemberian suap dan bukan karena
kavabilitas, akan menempatkan orang-orang yang tidak memiliki
kredibilas pada jabatan penting dan terhormat baik dikalangan
legislative, yudikatif, maupun ekskutif. Mereka rela menggadaikan
seluruh harta miliknya sebagai kompensasi untuk meraih jabatan yang
diinginkan serta kebutuhan sehari-hari sebagai pejabat. Akibatnya para
pejabat pemerintahan tidak lagi bebas dari intervensi dan intrik para
kroni istana. Mereka bukan hanya disigkirkan setiap saat, tetapi juga
disita kekayaannya, bahkan dieksekusi. 18

18
Gatot Hadi Gunarso, Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi, MPRA: Munich Personal RePEc
Archive, 2018, 3

24
III. PENUTUP
Kesimpulan
Masa kemapanan ekonomi II pada abad pertengahan yang disebut juga
sebagai masa cemerlang. Sejumlah ulama besar memberikan kontribusinya seperti:
Al-Ghazali (505 H/1111 M), Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M), Al-Syatibi (790 H/
1388 M), Ibnu Khaldun (808 H/1404 M) dan Al-Maqrizi (845 H/ 1441 M). Fase ini
dimulai pada abad ke-11 sampai abad ke-15 Masehi, meninggalkan banyak warisan
intelektual yang telah disusun menjadi konsep-konsep yang bisa diaplikasikan
dalam kegiatan ekonomi masyarakat dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan
hadist. Meski dilain pihak, para cendekiawan pada masa ini mengalami realitas
politik yang cukup sulit.
Al-Syatibi mempunyai pemikiran sendiri mengenai ekonomi Islam dan
mempunyai konsep sendiri tentang ekonomi Islam. Menurutnya dalam ekonomi
Islam itu terdapat maqashid syariah yang terdiri dari dharuriyat, hajjiyat dan
tahsiniyat. Selain itu Al-Syatibi juga mempunyai konsep sendiri mengenai objek
kepemilikan dan pajak.
Ibn Khaldun menemukan banyak pemikiran-pemikiran ekonomi yang
mendasar beberapa abad sebelum kelahirannya "secara resmi" la menemukan
manfaat-manfaat dan perlunya pembagian kerja sebelum Smith dan prinsip nilai
tenaga kerja sebelum Ricardo la menguraikan teori populasi sebelum Malthus dan
menandaskan peran negara dalam perekonomian sebelum Keynes.
Ibn Khaldun diklaim sebagai pendahulu bagi banyak pemikir Eropa, kebanyakan
sosiolog, sejarawan dan filsuf Namun demikian, walaupun ide-idenya sudah
dikenal di Eropa sejak abad tujuh belas, dan karya-karyanya sudah diterjemahkan
sejak abad kesembilan belas, kelihatannya para penerusnya tidak akrab dengan
pemikiran ekonominya.
Selain faktor alam, Al-Maqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi
akibat kesalahan manusia. Ia telah mengidentifikasi tiga hal yang menyebabkan
terjadinya inflasi jenis kedua ini yaitu: korupsi dan administrasi yang buruk, pajak
yang berlebihan dan peningkatan sirkulasi mata uang fulus.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qoyum, A. N. (2021). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:


Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia.
Abdullah, B. (2010). Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Amalia, E. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing.
Chamid, N. (2010). Jejak Lankah Searah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogykarta:
Pustaka Pelajar.
Gunarso, G. H. (2018). Pemikiran Ekonomi Islam Al-Maqrizi. MPRA: Mnich
Personal RePEc Archive, 3. Retrieved from
https://ideas.repec.org/p/pra/mprapa/87565.html
Huda, C. (2013). Pemikiran Ekonomi Bapak Ekonomi Islam; Ibu Khaldun. Journal
Walisongo, 113. Retrieved from
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/economica/article/view/774
Imron Fathurohman, Z. H. (2021). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Imam Al
Maqrizi. Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 143. Retrieved from
http://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/ad/article/view/1601
Karim, A. A. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (2 ed.). Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Karim, A. A. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (3 ed.). Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Lailatul Istiqomah, A. Z. (2019). Telaah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jurnal
Al-Istisqod, 9. Retrieved from
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/iqtis/article/view/17
Marasabessy, R. H. (2016). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Klasik. Jurnal Asy-
Syukriyyah, 77. Retrieved from https://jurnal.asy-
syukriyyah.ac.id/index.php/Asy-Syukriyyah/article/view/221
Melis. (2016). Pemikiran Tokoh Ekonomi Muslim: Imam Al-Syatibi. Islamic
Banking: Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Perbankan Syariah, 2, 51.

26
Retrieved from
https://ejournal.stebisigm.ac.id/index.php/isbank/article/view/38
Nuruddin Armanto, N. F. (2021). Sistem Ekonomi Islam Menurut Para Ahli. Ar-
Ribhu: Manajemen Ekonomi dan Keuangan Syariah, 143. Retrieved from
https://ejournal.unzah.ac.id/index.php/arribhu/article/view/558/460
Risanda Alirasta Budiantoro, R. N. (2018). Sistem Ekonomi (Islam) dan Pelarangan
Riba dalam Perspektif Historis. JIEI: Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6.
Retrieved from https://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/138
Zatadini, N. (2018). Konsep Maqashid Syaria Menurut Al-Syatibi dan
Kontribusinya dalam Kebijakan Fiskal. Al-Falah: Journal of Islamic
Economics, 3, 115. Retrieved from
http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alfalah/article/view/587

27

Anda mungkin juga menyukai