Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani
politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga
kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Ada yang
dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep
mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang
diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas
tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami
mayoritas masyarakat muslim non-modern. Namun, saat kata politik
disandingkan dengan “ISLAM”, saat benderanya berkibar di langit-langit, saat
suara para pembaru muslim yang meneriakkan “sistem politk Islam” melengking
memasuki pendengaran generasi muda muslim mengubal pola pikir mereka;
menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi Islam dan politik yang sesat.
2. Prinsip Keadilan
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi
dalam sistem perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang
memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti yang
terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah
melarang dari perbuatan keji, munkar dan bermusuhan. Dia member pelajaran
agar kamu men gambil pelajaran. Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada
umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya melarang dan mengancam dengan
sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang. Kewajiban berlaku adil
dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang amat tinggi dalam
struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Keadilan merupakan tujuan
umum atau tujuan akhir dalam pemerintahan Islam. Dari segi realitas sejarah,
sejarah para Khulafaur Rashidin yang nota bene mencontohkan teladan nabi
adalah prototipe yang lengkap dan sangat hidup dalam memahami makna keadilan
dan memegang prinsipnya dalam kehidupan.
3. Prinsip Kebebasan
4. Prinsip Persamaan
Kebijakan Politik Islam ini masih menjadi bagian inti kebijakan umum
dengan kolonial Belanda yang baru saja deresmikan, yang dikenal sebagai
“Polotok Etis”, pada saat peralihan abad tersebut. Secara lansung sejalan dengan
kebijakan Islam Snouck Hurgronje, Politik kedalam masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Tampak yang pada umumnya digambarkan oleh pencatus dan
pendukung kedua kebijakan ini adalah perlunya perubahan masyarakat Indonesia
ini besar dari ciri-ciri statis, Islam, dan tradisonal menjadi ciri-ciri yang dinamis,
secular dan kebaratan. Keperluan itu di anggap sebagai satu-satunya solusi yang
logis dan menguntungkan demi tujuan mengamankan kolonialisme Belanda di
Indonesia. Mereka berpendapat bahwa mengasosiasikan secara berangsur-angsur
semakin banyak rakyat Indonesia dengan peradaban barat itu sendiri. “gagasan
asosiasionis” inilah yang secara langsung terkait dengan kedua kebijakan politik
itu (Syamsuddin, 2010).
Dalam situasi politik seperti itu Islam masih belum memakaikan peranan
penting. Cukup menarik, gerakan politik masal Indonesia pertama, yang di
harapkan akan menunjukan keseriusan nasionalisme Indonesia ubntuk pertama
kalinya, adalah gerakan Sarekat Islam(SI) yang berlandaskan Islam. Namun sejak
awal tahun 1920-an Sarekat Islam secara berangsur-angsur mengalami
kemunduran, sementara, belakangan partai-partai berdasarkan bukan Islam mulai
mendominasi perjalanan gerakan nasionalis Indonesia. Pada saat yang sama, umat
muslim Indonesia juga mengalami krisis internal yang berkembang menjadi
situasi yang ditandai dengan perpecahan serius dalam dirinya sendiri. Walaupun
terpecah-pecah, umat muslim tetap setia kepada nasionalisme Indonesia dengan
mempertahankan pandangan itu sebagai bagian intinya. Sebagaimana dinyatakan
dengan tepat oleh Fred von der Mehden.
D. KRITERIA KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM
ۗ اس َأ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه ِ ِإ َّن هَّللا َ يَْأ ُم ُر ُك ْم َأ ْن تَُؤ ُّدوا اَأْل َمانَا
ِ َّت ِإلَ ٰى َأ ْهلِهَا َوِإ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن
ِ َِإ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب
صيرًا
َُول وَِإلَ ٰى ُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذينِ ف َأ َذاعُوا بِ ِه ۖ َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى ال َّرس ِ َْوِإ َذا َجا َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِمنَ اَأْل ْم ِن َأ ِو ْال َخو
يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم ۗ َولَوْ اَل فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَانَ ِإاَّل قَلِياًل
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." (QS.An-
Nisa’: 83)
3. Pemimpin harus orang-orang yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, tidak
boleh orang dhalim, fasiq, berbut keji, lalai akan perintah Allah Swt dan
melanggar batas-batasnya. Pemimpin yang dhalim, batal kepemimpinannya.
ِ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا
َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوي ًل
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa' : 59)
Ayat di atas merupakan perintah untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri
(ulama dan umara). Oleh karena Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni
ikutilah kitab-nya, “dan taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya,
“dan kepada Ulim Amri di antara kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka
perintahkan kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada
kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal
maka kembalilah kepada al-Qur’an dan hadits.