Anda di halaman 1dari 8

URAIAN MATERI PERTEMUAN 12

A. Politik Dan Pemerintahan Dalam Islam

Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani
politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga
kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Ada yang
dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep
mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang
diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas
tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami
mayoritas masyarakat muslim non-modern. Namun, saat kata politik
disandingkan dengan “ISLAM”, saat benderanya berkibar di langit-langit, saat
suara para pembaru muslim yang meneriakkan “sistem politk Islam” melengking
memasuki pendengaran generasi muda muslim mengubal pola pikir mereka;
menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi Islam dan politik yang sesat.

Politik, kekuasaan dan hukum tersebut di atas sangat erat hubungannya


dengan manusia. Al-Qur'an memperkenalkan konsep tentang manusia dengan
menggunakan istilah-istilah antara lain insan dan basyar. Masing-masing istilah
berhubungan dengan dimensi yang berbeda yang dimiliki manusia. Insan
menunjuk pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial budaya dan ekonomi
yaitu makhluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat dan berpotensi
(berkemampuan) mengembangkan kehidupannya dengan mengolah dan
memanfaatkan alam lingkungannya menurut pengetahuan yang diperolehnya.
Sedangkan basyar berkenaan dengan hakikat manusia sebagai makhluk politik
yakni makhluk yang diberi tanggung jawab dan kemampuan untuk mengatur
kehidupannya dengan menegakkan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama

(Abd. Muin Salim, 2013).


B. Prinsip-prinsipnya

Islam tidak memberikan batasan sistem pemerintahan, tetapi menyerahkan


kepada umat untuk memilih dengan bebas sistem yang sesuai dengan kultur,
lingkungan, zaman serta mengingat bahwa ajakan Islam adalah dakwah universal,
cocok untuk segala zaman dan tempat. Setiap sistem pemerintahan Islam tidak
bisa terlepas dari prinsip-prinsip politik dan perundang-undanganya pada al-
Quran, karena al-Quran merupakan sumber pokok dari perundang-undangan
tersebut. Al-Quran memang tidak menyebutkan bagian perbagian secara
terperinci. Hal tersebut tampaknya memang dibiarkan oleh Allah, agar lewat
ijtihad umat Islam mampu mengembangkannya menjadi sistem politik dan
perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan waktu dan lingkungannya
(Jindan, 1999).

Sumber pokok kedua adalah Sunnah yang merupakan petunjuk


pelaksanaan yang secara umum melengkapi norma-norma yang ada dalam al-
Quran. Karena itu prinsip-prinsip konstitusional dan politik terikat kepada kedua
sumber tersebut. Karena kedua sumber itu memang menjadi pokok pegangan
dalam segala aturan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan setiap muslim.
Selain kedua sumber hukum tersebut, dalam sistem politik Islam juga terdapat
sumber hukum hukum Qanuni, yang bersumber dari lembaga-lembaga
pemerintahan. Secara hirarki sumber hukum yang tertinggi dalam sistem ini
adalah hukum yang pertama. Karena itu kedaulatan hukum berada dalam al-
Quran, karena di dalamnya terkandung kehendak Allah tentang tertib kehidupan
manusia khususnya dan tertib alam semesta pada umumnya.

Cita-cita politik seperti yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang


beriman dan beramal saleh yang terkandung dalam al-Quran adalah (1)
Terwujudnya sebuah sistem politik. (2) Berlakunya hukum Islam dalam
masyarakat secara mantap. (3) Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai politik yang konstitusional yang terdapat dalam al-Quran
pada dasarnya terdiri atas musyawarah, keadilan, kebebasan, persamaan,
kewajiban untuk taat dan batas wewenang dan hak penguasa.
1. Musyawarah

Dalam prinsip perundang-undangan Islam, musyawarah dinilai sebagai


lembaga yang amat penting artinya. Penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam
sistem pemerintahan Islam haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah.
Karena itu musyawarah merupakan prinsip penting dalam politik Islam. Prinsip
musyawarah ini sesuai dengan ayat al-Quran Surah Ali Imran ayat 159:Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah pada Allah, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.

2. Prinsip Keadilan

Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi
dalam sistem perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang
memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti yang
terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah
melarang dari perbuatan keji, munkar dan bermusuhan. Dia member pelajaran
agar kamu men gambil pelajaran. Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada
umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya melarang dan mengancam dengan
sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang. Kewajiban berlaku adil
dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang amat tinggi dalam
struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Keadilan merupakan tujuan
umum atau tujuan akhir dalam pemerintahan Islam. Dari segi realitas sejarah,
sejarah para Khulafaur Rashidin yang nota bene mencontohkan teladan nabi
adalah prototipe yang lengkap dan sangat hidup dalam memahami makna keadilan
dan memegang prinsipnya dalam kehidupan.

3. Prinsip Kebebasan

Yang dimaksud dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan bagi


warganya untuk dapat melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara, tetapi
kebebasan di sini mengandung makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi
warga negara untuk memilih suatu yang lebih baik, atau kebebasan berfikir yang
lebih baik dan mana yang lebih buruk, sehingga proses berfikir ini dapat
melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan pemikiranya. Kebebasan berfikir
dan berbuat ini pernah diberikan oleh Allah kepada nabi Adam dan Hawa untuk
mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah. Sebagai mana Firman Allah Surat
Taha ayat 123:Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama sebagaimana
kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu
petunjuk dariKu, lalu barang siapa yang men gikuti petunjuk dari-Ku ia tak akan
tersesat dan tidak akan celaka. Islam mengakui adanya kebebasan berfikir.
Bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai ahlak dasar setiap manusia.
Dalam sistem perundang-undanganya Islam juga sangat menghargai nilai-nilai
kebebasan itu. Penghargaan sistem perundang-undangan Islam terhadap
kebebasan itu tidak dapat dibandingkan dengan sistem lainya yang diciptakan
manusia.

4. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat


mempunyai hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan
dalam berpendapat, kebebasan, tanggung jawab, dan tugas-tugas kemasyarakatan
tanpa diskriminasi rasial, asal usul, bahasa dan keyakinan. Berdasarkan prinsip
persamaan ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-
wenang dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya. Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah
untuk membuat jarak antara mereka. Bahkan diantara mereka agar dapat saling
tukar pengalaman. Al-Quran menegaskan yang membedakan diantara manusia
adalah hanya karena taqwanya. Sebagaimana firman Allah Surat al-Hujurat ayat
13:Hai manusia sesungguhnya kami menetapkan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling men genal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi
Allah adalah orang yang bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
men getahui lagi maha mengenal. Dari uraian tersebut diatas tidak disangsikan
lagi kekuatan prinsip persamaan itu dalam sistem hukum Islam. Pelaksanaanya
berlaku menyeluruh dalam sistem hukum dan pemerintahan Islam. Sebab sistem
itu memang menjadi bagian yang integral dari ajaran Islam (Masagung, 2001).
C. PERBANDINGAN DENGAN INDONESIA

Kebijakan Politik Islam ini masih menjadi bagian inti kebijakan umum
dengan kolonial Belanda yang baru saja deresmikan, yang dikenal sebagai
“Polotok Etis”, pada saat peralihan abad tersebut. Secara lansung sejalan dengan
kebijakan Islam Snouck Hurgronje, Politik kedalam masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Tampak yang pada umumnya digambarkan oleh pencatus dan
pendukung kedua kebijakan ini adalah perlunya perubahan masyarakat Indonesia
ini besar dari ciri-ciri statis, Islam, dan tradisonal menjadi ciri-ciri yang dinamis,
secular dan kebaratan. Keperluan itu di anggap sebagai satu-satunya solusi yang
logis dan menguntungkan demi tujuan mengamankan kolonialisme Belanda di
Indonesia. Mereka berpendapat bahwa mengasosiasikan secara berangsur-angsur
semakin banyak rakyat Indonesia dengan peradaban barat itu sendiri. “gagasan
asosiasionis” inilah yang secara langsung terkait dengan kedua kebijakan politik
itu (Syamsuddin, 2010).

Dalam situasi politik seperti itu Islam masih belum memakaikan peranan
penting. Cukup menarik, gerakan politik masal Indonesia pertama, yang di
harapkan akan menunjukan keseriusan nasionalisme Indonesia ubntuk pertama
kalinya, adalah gerakan Sarekat Islam(SI) yang berlandaskan Islam. Namun sejak
awal tahun 1920-an Sarekat Islam secara berangsur-angsur mengalami
kemunduran, sementara, belakangan partai-partai berdasarkan bukan Islam mulai
mendominasi perjalanan gerakan nasionalis Indonesia. Pada saat yang sama, umat
muslim Indonesia juga mengalami krisis internal yang berkembang menjadi
situasi yang ditandai dengan perpecahan serius dalam dirinya sendiri. Walaupun
terpecah-pecah, umat muslim tetap setia kepada nasionalisme Indonesia dengan
mempertahankan pandangan itu sebagai bagian intinya. Sebagaimana dinyatakan
dengan tepat oleh Fred von der Mehden.
D. KRITERIA KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM

Kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai


makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam
memimpin. Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk
mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan semua
potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Pandangan dalam Islam,
kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinya, tetapi juga
akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Seorang pemimpin
merupakan sentral figur panutan publik. Terwujudnya kemaslahatan umat sebagai
tujuan pendidikan Islam sangat tergantung pada gaya dan karakteristik
kepemimpinan. Dengan demikian kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang
pemimpin mencakup semua karakteristik yang mampu membuat kepemimpinan
dapat dirasakan manfaat oleh orang lain. Dalam konsep Syari’at Islam, kriteria
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin telah dirumuskan dalam suatu
cakupan sebagai berikut:

1. Pemimpin haruslah orang-orang yang amanah, amanah dimaksud berkaitan


dengan banyak hal, salah satu di antaranya berlaku adil. Keadilan yang dituntut ini
bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau kaum muslimin saja, tetapi
mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Dalam al-Qur’an dijelaskan:

ۗ ‫اس َأ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه‬ ِ ‫ِإ َّن هَّللا َ يَْأ ُم ُر ُك ْم َأ ْن تَُؤ ُّدوا اَأْل َمانَا‬
ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى َأ ْهلِهَا َوِإ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
ِ َ‫ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬
‫صيرًا‬

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat." (QS. an-Nisa’: 58) Ayat di atas memerintahkan
menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut harus ditunaikan
kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum
dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan terhadap manusia
secara keseluruhan. 2. Seorang pemimpin haruslah orang-orang yang berilmu,
berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan, kemampuan fisik dan mental untuk
dapat mengendalikan roda kepemimpinan dan memikul tanggungjawab.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an,

َ‫ُول وَِإلَ ٰى ُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذين‬ِ ‫ف َأ َذاعُوا بِ ِه ۖ َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى ال َّرس‬ ِ ْ‫َوِإ َذا َجا َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِمنَ اَأْل ْم ِن َأ ِو ْال َخو‬
‫يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم ۗ َولَوْ اَل فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَانَ ِإاَّل قَلِياًل‬

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." (QS.An-
Nisa’: 83)

Maksud ayat di atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang


keamanan atau ketakutan itu kepada Rasulullah Saw apabila bersama mereka, atau
kepada pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui
hakikatnya oleh orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan
menggalinya dari celah-celah informasi yang saling bertentangan dan tumpang
tindih.

3. Pemimpin harus orang-orang yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, tidak
boleh orang dhalim, fasiq, berbut keji, lalai akan perintah Allah Swt dan
melanggar batas-batasnya. Pemimpin yang dhalim, batal kepemimpinannya.

4. Bertanggung jawab dalam pelaksanaan tatanan kepemimpinan sesuai dengan


yang dimandatkan kepadanya dan sesuai keahliannya. Sebaliknya Negara dan
rakyat akan hancur bila dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw “Apabila diserahkan suatu urusan kepada yang bukan
ahlinya maka tungguhlah kehancuran suatu saat”.
5. Senantiasa Menggunakan Hukum yang Telah Ditetapkan Allah. Sebagaimana
yang Allah jelaskan dalam al-Qur’an.

ِ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا‬
‫َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوي ًل‬

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa' : 59)

Ayat di atas merupakan perintah untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri
(ulama dan umara). Oleh karena Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni
ikutilah kitab-nya, “dan taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya,
“dan kepada Ulim Amri di antara kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka
perintahkan kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada
kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal
maka kembalilah kepada al-Qur’an dan hadits.

6. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu. Sabda Rasulullah


Saw “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang
yang memintanya, tidak pula kepada orang yang berambisi untuk
mendapatkannya (Madani, 2017).

Anda mungkin juga menyukai