Anda di halaman 1dari 24

DEMOKRASI DAN POLITIK DALAM ISLAM

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama

Dosen Pembimbing
Nor Ainah, S.Th. I,M.Pd

KELOMPOK 7
NAMA NIM
Arie Nugraha (1810112310019)
Maulidya Azahra (1810112320009)
Muhammad Arsyad (1810111210017)
Siti Hatipah (1810111220030)
Yessy Arieana (1810111320004)
Zahratun Aliyah (1810113220031)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT (ULM)
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirabbil ‘alamin. Puji syukur Kami panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami,
karena jika tanpa seizin-Nya kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Tak lupa shalawat dan salam juga kita haturkan kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta para sahabat, keluarga, serta para
pengikut beliau hingga akhir zaman.
Terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada Ibu Nor
Ainah, S.Th. I,M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama
Islam serta teman-teman yang telah memberikan partisipasi dan dukungan dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul “Demokrasi Dan Politik Dalam Islam”.
Tak lupa pula, semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah
wawasan bagi mahasiswa serta mendatangkan manfaat yang baik bagi kehidupan
kita, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama
dan bernegara.

Banjarmasin, 26 September 2018

PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Politik adalah suatu tatanan yang mencakup segala aspek kegiatan
Negara yang berfungsi untuk mengatur dan membuat aturan atau peraturan
yang ditaati oleh seluruh warga negaranya. Politik didalam Islam saling
berkaitan dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-kata yang terbentuk
dipergunakan 210 kali dalam al-qur’an. Dalam Bahsa Indonesia, perkataan al-
hukm yang telah dialih bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan,
undang-undang, patokan atau kaidah, danvonis atau keputusan (pengadilan).
Selain sistem politik islam, ada beberapa sistem politik lain yaitu system
politik komunis, liberalis, dan demokrasi.
Diantara ketiga tersebut ada juga system politik Islam. Islam
sendiri adalah ajaran yang menyeluruh, tidak individual karena islam bukan
ajaran yang hanya meliputi satu aspek, tapi semua tentang kehidupan. Islam
mencakup urusan dunia dan akhirat. Lain halnya dengan Demokrasi.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di
depan hukum. Dari sini kemudian muncul istilah-istilah dalam demokrasi,
seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human
right (hak asasi manusia), dan sebagainya.
Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi
munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat
maupun dalam kehidupan berorganisasi politik. Pemahaman tersebut
merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan pun,
agar terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Tapi bagi sebagian orang
hal tersebut menjadikan Islam sebagai agama yang totaliter sehingga menjadi
lawan dari demokrasi.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu politik ?
2. Bagaimana paradigma politik dalam Islam ?
3. Bagaimana etika politik dalam Islam ?
4. Apa tujuan sistem politik Islam ?
5. Bagaimana kriteria pemimpin berdasarkan sifat Nabi SAW (sidiq, tabligh,
amanah, fathanah)
6. Bagaimana sejarah Demokrasi di Indonesia ?
7. Apa hubungan Demokrasi antara Islam dan Barat ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian politik
2. Mengetahui paradigma politik dalam Islam
3. Mengetahui etika politik dalam Islam
4. Memahami tujuan sistem politik Islam
5. Memahami dan mengetahui kriteria pemimpin berdasarkan sifat Nabi
SAW.
6. Mengetahui sejarah Demokrasi di Indonesia
7. Mengetahui hubungan Demokrasi antara Islam dan Barat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik
Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah.
Menurut para ahli politik secara bahasa dalam bahasa Arab disebut as-siyasah
yang berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara
definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik.

2.2 Paradigma Politik dalam Islam


Setidaknya terdapat 3 kelompok/paradigma yang berkembang dalam dunia
islam tentang keterkaitan antara islam dan politik.
a. Paradigma tradisional/ paradigma formalistic
Bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Didalamnya
terdapat ketatanegaraan atau politik. Kelompok ini berpendapat bahwa sistem
ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang dilaksanakan oleh
Rasululllah SAW.
b. Paradigma Sekuler
Bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak
ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Muhammad hanyalah saorang Rasul
yang bertugas menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak
bertugas untuk mendirikan dan memimpin suatu negara
c. Paradigma Substantivistik
Kelompok yang menolak paradigma formalistik dan juga paradigma
sekuler. Aliran ini berpendirian bahwa islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Menurut
kelompok ini, tak satu nash pun dalam al quran yg memerintahkan didirikannnya
sebuah negara islam.
Sedangkan Paradigma Politik Islam di Indonesia ada 2 :
1. Substantif-inklusif
agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang
berhubungan dengan politik. Ciri-ciri dari paradigma politik Islam
Substantif-inklusif: Kepercayaan yang tinggi bahwa al-Qur’an sebagai
kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan
manusia, tetapi tidak menjelaskan detil-detil pembahasan terhadap setiap
objek permasalahan kehidupan. Misi utama Nabi Muhammad SAW
bukanlah mendirikan kerajaan atau Negara, melainkan mendakwahkan
nilai-nilai Islam dan kebajikan Syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh
Negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan
spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Karena
Islam dipandang hanya sebagai agama bukan sistem ketatanegaraan.
Melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik
yang menekankan manifestasi substsansi dari nilai-nilai Islam (Islamic
Injuction) dalam aktivitas politik.
2. Legal-eksklusif
Meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah
sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang
paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan
kehidupan umat manusia. Mereka juga meyakini bahwa Islam adalah
totalitas integratif dari 3 D, Din, Daulah dan dunya. Mewajibkan untuk
meendirikan Negara Islam. Meyakini bahwa syari’at harus menjadi
fundamen dan jiwa dari agama, Negara dan dunia tersebut. Syari’at dengan
demikian diinterprestasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law) dan
harus dijadikan dasar Negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke
dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku
politik penguasa. Menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang
cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang
dibayangkan (Imagine Islam Politiy), seperti mewujudkan suatu sistem
politik Islam, munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom
politik, kamasyarakatan, budaya Islam serta eksperimentasi ketatanegaraan
Islam.
2.3 Etika politik dalam islam
Dalam prespektif Islam, politik harus mengacu pada al-Qur’an dan hadis
berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Berikut beberapa
prinsip dasar politik Islam yang yang tercantum dalam Q.S An – Nisaa : 58 – 59
1. Prinsip menunaikan amanat
Klasifikasi amanat ditemukan dalam pendapat Al – Maraghi.
a) Tanggung jawab manusia kepada Tuhan.
b) Tanggung jawab kepada sesamanya.
c) Tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri.
2. Prinsip Keadilan.
keadilan diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan kata-kata Al Adl,
Al Qisth, Al Mizan. Adil yang berarti sama memberi kesan adanya dua
pihak atau lebih karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi
persamaan.
3. Prinsip Ketaatan Kepada Allah , Rasul dan Ulul Amri.
Ulil Amri terdiri dari kata Ulu dan Al Amr. Ulu berarti pemilik,
sedangkan Al Amr berarti perintah, tuntutan, melakukan sesuatu, dan
keadilan atau urusan. Sehingga dapat diterjemahkan sebagai pemilik
urusan. Prinsip ketiga ini mengandung unsur kesadaran menaati perintah.
4. Prinsip merujuk kepada Allah SWT dan Rasululllah jika terjadi
perselisihan.
Jika dalam keadaan berselisih, maka wajib diselesaikan dengan
mengembalikan persoalan kepada Al Qur’an dan sunnah. Prinsip ini juga
menggunakan musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan
pengambilan keputusan politik.

Sementara itu, Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan politik, yaitu :
1. Asas musyawarah (syura)
Dalam Islam tidak hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan
yang direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan. Seperti yang
telah dilakukan oleh Nabi dan diteruskan oleh khulafaur rasyidin. Firman Allah
Swt dalam Q.S As – Syura : 38

َ‫ص ََلة َ َوأَقَا ُموا ِل َر ِِّب ِه ْم ا ْست َ َجابُوا َوالَّذِين‬


َّ ‫ورى َوأ َ ْم ُر ُه ْم ال‬
َ ‫ش‬ُ ‫يُن ِفقُونَ َرزَ ْقنَا ُه ْم َو ِم َّما نَ ُه ْمْْبَي‬

Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya


dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.”
Musyawarah itu sendiri dapat diartikan sebagai forum tukar menukar
pendapat, ide, gagasan, dan pikiran dalam menyelesaikan sebuah masalah
sebelum tiba masa pengambilan sebuah keputusan. Pentingnya musyawarah
dalam Islam adalah upaya untuk mencari sebuah pandangan objektif dalam
sebuah perkara, sehingga pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara bulat
atau dengan resiko yang relatif kecil. Sifat pengambilan keputusan dalam
musyawarah hanya dilakukan untuk hal-hal kebaikan (ma’ruf) dan Islam melarang
pengambilan keputusan untuk hal-hal yang buruk (mungkar). Sehingga
pengambilan suatu keputusan dalam musyawarah di dalam ajaran Islam berkaitan
dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” ( menyuruh pada kebaikan dan
melarang pada keburukan).
2. Asas persamaan
Dalam Islam tidak mengenal adanya perlakuan diskriminatif atas
dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan atribut keduniaan
lainnya. Yang menjadikannya berbeda di mata Allah hanya kualitas ketakwaan
seseorang sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al Hujurat : 13

ُ َّ‫شعُوبًا َو َج َع ْلنَا ُك ْم َوأ ُ ْنثَى ذَكَر ِم ْن َخلَ ْقنَا ُك ْم ِإنَّا الن‬


‫اس أَيُّ َها يَا‬ َ ‫َللاِ ِع ْندَ أ َ ْك َر َم ُك ْم ِإ َّن ِلتَ َع‬
ُ ‫ارفُوا َوقَبَائِ َل‬ َّ ‫ََْللا ِإ َّن أَتْقَا ُك ْم‬
َّ
‫َخ ِبيرالحجرات َع ِليم‬

Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
3. Asas keadilan
Asas keadilan adalah menegakkan keadilan merupakan suatu
keharusan dalam Islam, terutama bagi para penguasa. Islam juga memerintahkan
untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggung jawab dan bertindak sesuai
dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud keharmonisan dan keadilan hidup,
sebagaimana firman Allah SWT dalamQ.S Al-Maidah : 8.
‫ش َهدا َء ِ َّلِلِ َق َّوامينَ ُكونُوا آ َمنُوا ا َّلذينَ أَيُّ َها يا‬
ُ ‫ْط‬ِ ‫ه َُو ا ْع ِدلُوا تَ ْع ِدلُوا أَالَّ َعلى قَ ْوم َشنَآنُ جْ ِر َمنَّ ُك ْم َْي ال َو ِب ْال ِقس‬
ُ‫َللاَ اتَّقُوا َو ِللت َّ ْقوى أ َ ْق َرب‬ َّ ‫( تَ ْع َملُونَ ِبما خَبير‬8)
َّ ‫َللاَ ِإ َّن‬
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”
4. Asas kebebasan (al-Hurriyah)
Dalam Islam prinsip kebebasan pada dasarnya adalah sebagai
tanggung jawab terakhir manusia. Konsep kebebasan harus dipandang sebagai
tahapan pertama tindakan ke arah perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan
kebutuhan nyata manusia, baik secara material maupun secara spiritual.
Kebebasan yang dipelihara oleh politik Islam adalah kebebasan yang mengarah
kepada ma’ruf dan kebaikan. Allah berfirman dalam Q.S Al-An’am : 164.

‫َللاِ اَغَي َر قُل‬ ٰ ‫ث ُ َّم اُخ ٰرى ِّ ِوز َر َو ِاز َرة ت َِز ُر َو َال ْ َعلَي َها ا َِّال نَـفس ُّل ُْك ت َكسِبُ َو َالؕ شَىء ُك ِِّل َربُّ َّوه َُو َربًّا اَب ِغى‬
‫﴿ ت َخت َ ِلفُونَ فِي ِه ُكنـتُم ِب َما فَيُ َن ِبِّئ ُ ُكم َّمر ِجعُ ُكم َر ِبِّ ُكم ا ِٰلى‬۱۶۴﴾

Artinya : “Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal
Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah
kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan".

2.4 Tujuan Sistem Politik Islam


Para fuqaha Islam telah menggariskan sepuluh perkara penting sebagai
tujuan dari Sistem Politik Islam yaitu
1. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh
ulama salaf dari kalangan umat Islam.
2. Melaksanakan proses pengadilan di kalangan rakyat dan menyelesaikan
masalah di kalangan orang-orang yang berselisih.
3. Menjaga keamanan daera Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan
aman dan damai.
4. Melaksanakan hukuman-hukuman yang ditetapkan syara’ demi
melindungi hak-hak manusia.
5. Menjaga perbatasan negara dengan berbagai persenjataan bagi
menghadapi kemungkinan serangan dari pihak-pihak luar.
6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam.
7. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah sebagai mana
yang diterapkan oleh syara
8. Mengatur anggaran perbenlanjaan dari perbendaharaan negara agar tidak
digunakan secara boros ataupun secara kikir.
9. Mengangkat para pegawai yang cakap dan jujur bagi mengawai kekayaan
Negara dan menguruskan hal-hal negara.
10. Menjalankan pergaulan dan pemeriksaan yang rapi, aman demi untuk
memimpin negara yang melindungi al Din.

2.5 Kriteria Pemimpin Berdasarkan Sifat Nabi SAW


1) Shiddiq
Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi
juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. Beda sekali
dengan pemimpin sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang
manis, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya.
2) Amanah
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan
diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi
Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al
Amin” yang artinya terpercaya
3) Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang
ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi. Tidak ada yang
disembunyikan meski itu menyinggung Nabi.

4) Fathonah
Artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh atau jahlun. Dalam
menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam
puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.
2.6 Sejarah Demokrasi di Indonesia
1. Masa 1945-1965, Orde Lama.
Semangat dasar dari Demokrasi pada masa ini adalah nilai-nilai Pancasila.
Demokrasi pemerintahan masa Revolusi kemerdekaan.
Tidak terlalu banyak membicarakan Demokrasi, akan tetapi lebih pada
peletakan dasar bagi Demokrasi Indonesia pada masa selanjutnya.
Presiden yang secara kontitusional menentukan ia menjadi seorang
diktator kemudian dibatasi kekuasannya ketika KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dibentuk untuk menggantikan Parlemen.
Maklumat wakil presisen maka terbentuknya sejumlah parpol yang
kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian Indonesia.
2. Demokrasi Parlementer.
 Masa kejayaan dari Demokrasi Indonesia, karena hampir semua elemen
Demokrasi dapat ditemukan perwujudan dalam kehidupan politik di
Indonesia.
 Lembaga perwakilan rakyat (MPR/DPR) memainkan peranan yang sama
tinggi dalam proses politik.
 Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang besar
untuk berkembang maksimal.
 Pemilu dilaksanakan menggunakan prinsip Demokrasi.
 Tapi, menurut Adnan Buyung Nasution (1993) Demokrasi ini gagal,
disebabkan adanya persamaan kepentingan antara Soekarno dan Angkatan
Darat (AD) yang samasama tidak senang dengan proses politik yang
sedang berjalan.

3. Demokrasi Terpimpin
 Soekarno mengajukan usulan yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden,
kemudian terbentuklah Dewan Nasional yang melibatkan semua parpol
dan organisasi sosial kemasyarakatan (Kabinet Gotong Royong)
 Dengan terbentuknya DPRGR maka peranan lembaga legislatif dalam
sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah.
 Sentralisasi kekuasaan semaki dominan dalam proses hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
 Terjadi stagnasi (terhenti) dalam menjalankan roda Demokrasi Puncaknya,
terjadi pemberontakan G-30S/PKI, dan dilantiknya Suharto sebagai
Mandataris MPR dengan berbekal Supersemar (Surat Perintah Sebelas
Maret) yang menjadi kontroversi hingga sekarang.
4. Masa 1966-1997 (Demokrasi Pancasila), Orde Baru
 Soeharto mampu mengontrol rekrutmen politik.
 Memiliki sumber daya keuangan yang tidak terbatas dengan melalui
budgetary prosess (sumber pendanaan) yang ketat yang tidak
memungkinkan DPR mengontrolnya. Disamping itu ternyata memiliki
sejumlah legalitas yang tidak dimiliki siapapun seperti supersemar,
mandataris MPR, Bapak Pembangunan serta Panglima tertinggi ABRI.
 Rotasi kekuasan eksekutif hampir tidak pernah terjadi, kecuali dalam
tataran rendah misal: Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Kepala Desa.
 Bertekad menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, tetapi terjadi penyimpangan semangat dan sekedar
slogan/jargon saja.
 Hanya memperkuat kedudukan saja.
 Melindungi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya.
 MPR/DPR tidak memberikan pengaruh signifikan dalam fungsi kontrol
dan legislasi untuk kepentingan rakyat. Puncaknya, terjadi Demontrasi
besar mahasiswa, yang menduduki gedung DPR/MPR yang melengserkan
Suharto dari Presiden dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibi.

5. Masa 1998-sekarang (Demokrasi Pancasila), Orde Reformasi.


Pada masa reformasi, Indonesia sedang mengalami saat yang sangat
demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi
terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah
harapan akan munculnya tata kehidupan yang benarbenar demokratis, yang
ditandai dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat,
kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-
ciri demokrasi.
Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber dari
pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu dari Pembukaan dan Batang tubuh UUD
1945. Jadi kedaulatan rakyat sesuai pembukaan UUD 1945, yang dijabarkan
dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Yang asasnya berasal dari sila ke
4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan."
2.7 Hubungan Demokrasi Antara Islam dan Barat
1. Demokrasi Dalam Pandangan Barat
Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari
konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang
kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu:
 Fase Klasik
Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran
filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang
menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya
Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari
demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants
atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan
perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM),
Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan
beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai
bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan
para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu
persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan
dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada
waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda
terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya,
dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena
dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan
warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih
mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan
kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan
fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”.
Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan
memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya
yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan
publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas
bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif,
karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada
kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20
th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil
(60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi
dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum
perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para
warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak
tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum
perempuan, dan imigran.

 Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M)


Yang mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap
sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi
Gereja. Tokoh tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli
(1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), JohnLocke (1632-1704), dan
Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran
Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara
yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh,
gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan
sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan
buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja
sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua
revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern,
yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika
melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison)
sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut
dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara
universal.
 Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20)
Pada fase modern ini dapat disaksikan dengan bermunculannya
berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara,
masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara
dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik
dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II
serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh
termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de
Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895),
Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat
konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana
legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu
apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik
pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah
kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill
mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan
utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary
system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari
intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas
merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa
Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara
untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan
kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-
komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi
langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang
dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih
merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan
(withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan
langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka
mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels
menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah
alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai
wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan
kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan
demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi
perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem
kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan
masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran.
Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem
pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi
kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan
dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada
hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer
menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara
bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur,
kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua
belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh,
kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang
lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik
totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika
dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural,
khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl
umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami
bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan
demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah
proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok
kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh,
demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global.
Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the
End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang
terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami
persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan
prosedural terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar
seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti
fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan
penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun
mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis.
Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi
sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela
lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan
hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut
terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat
disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang
menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.
Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi
sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi,
diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian
demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang
perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah
dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut.[2]
B. Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Esposito dan Piscatori, memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap
demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang menolak konsep
demokrasi, aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya
perbedaan, dan aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya.[3] Pertama,
bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa
adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka
berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi,
yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama
yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri,
Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama
Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara
adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin
dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman,
antara kaya dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan
pengikutnya. [4] Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya,
tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak
ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai
bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan
Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-
hukum Tuhan. [5] Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang
gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap
kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap
yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara
menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian,
bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi
merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan
bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia
percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah
sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya. [6]
Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam
Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di
Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu
‘Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara
demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syuraa: 15), persamaan
(QS. al-Hujuraat: 13), akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisaa: 58),
musyawarah (QS. asy-Syuraa: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan hak-hak
oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan
bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat
mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh
batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi.[7] Khomeini
mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam
berbeda dengan demokrasi liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi
dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam
batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya. [8] Konstitusi
Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih mencerminkan
bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum
agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara
prinsipil menganut sistem demokrasi.
Ketiga, kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang
bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka
Islam menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir
yang masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain
Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani
Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran.
Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir,
berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan
oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip
demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan
diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan
kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi
sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya
kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan,
prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam
masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang
wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah
atau imam, prinsip ijma’ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa,
akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan
prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Definisi politik dari sudut pandang islam adalah pengaturan urusan-urusan
umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum islam.
Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Esensi politik dalam pandangan islam adalah pengaturan urusan-urusan
rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/217799949/Politik-Dan-Demokrasi-Dalam-
Pandangan-Islam
https://fahmyagaints.wordpress.com/2016/12/27/makalah-tentang-demokrasi-dan-
sistem-politik-di-indonesia/
http://hariannetral.com/2014/09/pengertian-politik-dalam-islam-menurut-para-
ahli.html
https://www.afdhalilahi.com/2013/03/politik-dalam-perspektif-islam.html
https://thelojjeng.wordpress.com/2011/01/20/paradigma-politik-islam-di-
indonesia/
https://www.kumpulanmakalah.com/2015/12/etika-politik-islam.html
https://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/demokrasi-dalam-perspektif-barat-
dan-islam/https://agusnizami.com/2011/10/24/4-sifat-nabi-shiddiq-amanah-
fathonah-dan-tabligh/
No Nama Inti pertanyaan/pernyataan Nilai tambahan
1

No Nama Anggota Pemakalah Nilai Nilai Keaktifan Nilai


Menjelaskan dan ketepatan makalah
materi Menjawab
Pertanyaan

Anda mungkin juga menyukai