Anda di halaman 1dari 19

Nama hayattina rinda

Nim 22087131
Prodi pendd kepelatihan olahraga
matkul pendidikan agama pertemuan ke 12

1. Konsep Politik dalam Islam: pengertian, dasar, prinsip dan tujuan


2. Etika berpolitik dalam Islam Implementasi Politik di Indonesia
3. Konsep HAM dalam Islam: pengertian, dasar, ruang lingkup, tujuan
4. Demokrasi dan Gender

Jawaban
1.Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah . Jika yang dimaksud politik adalah
siyasah mengatur urusan umat, maka Islam sangat tertekan
pentingnya siyasah . Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu
terhadap urusan umat.

Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam
memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada
Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah kekuasaan.

Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut
pandangan Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu
disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran
Islam. Sehingga muncul pertanyaan apakah politik Islam itu ada? Apakah Islam punya
konsep khusus tentang politik yang berbeda dengan konsep politik pada umumnya?

Sampai batas tertentu, Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik. Akan
tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang selalu
muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak
bertentangan dengan konsep Islam yang sudah ada.

Sifat membuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa
Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal ini, Islam
memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah corak satu-satunya
yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain
yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial.

Varian interpretasi Agama


Munculnya varian-varian Islam dengan corak politik yang sangat kuat pada dasamya
didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena
kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas terengah-engah umat
Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik
pragmatis.
Perdebatan dan kebiasaan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan
dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk
pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam
menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan
dengan persoalan pokok dan suksesi kepemimpinan.

Termasuk juga persoalan keseharian manusia, dalam hal ini masalah interpretasi agama
dan penggunaan simbol-simbol agama cenderung digunakan untuk kepentingan
kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan
keragaman masalah sosialnya.

Orientasi Politik dalam Islam


Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya
hukum-hukum Allah di muka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah
kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memliki
kekuatan. Bahkan Islam melawan adanya penguasaan Absolut seorang manusia atas
manusia yang lain. Wallahu A'lam

2.
A. Pengertian Etika Politik
1. Pengertian Etika
a. Etika (ing:ethies) ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana
patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang
buruk.6
b. Etika adalah ilmu refleksi dan kritis.7
1Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al-Ghazali (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 159.
2Ibid., h. 2.
3Imam Al-Ghazali, At-Tibr Al-Masbuk fi Nashihah Al-Muluk, diterjemhakan oelh Arie B.
Iskandar dengan judul Etika Berkuasa, Nasehat Imam Al-Ghzali (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayat,
2001), h. 78.
4Jenderal Muhammad Syaid Khathab, Latar Belakang Kemenangan Islam, (Cet. I; Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1992), h. 16
5Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokrasi dalam Islam Indonesia
(Cet. I; Gresik: Pustaka Pelajar, 2000, h. 49
6Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 973.
Vol.1/No.2/Juni2013 - 51
Etika Politik dalam Islam

M. Thahir Maloko
Etika bukan suatu tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran,
jadik etika dan moral tidak berada di tingkat yang sama. Ajaran moral dapat diibaratkan dengan
petunjuk bagaimana manusia harus memperlakukan sepeda motor dengan baik, sedangkan etika
memberikan pemahaman tentang struktur dan teknologi sepeda motor. Moral mencoba menjawab
pertanyaan “ apa yang harus saya lakukan ” , sedangkan etika ingin menjawab pertanyaan
“bagaimana hidup yang baik”.
2. Pengertian Politik
Kata politik berasal dari kata politic (Inggeris) yang menunjukan sifat pribadi
atau perbuatan. Secara leksikal kata sifat tersebut berarti acting or judging wisely, well judget. Kata
ini diambil dari kata latin politicus. Politicus yang berarti raliting to citizen.8 Politik juga berasal
dari kata polis yaitu negara kota di Yunani. Dengan demikian, secara etimologi atau secara harfiah
berbicara tentang politik adalah berbicara tentang negara.
Ada dua pendekatan yang dipakai oleh Deliar Noer dalam mendefinisikan politik, yaitu : Pertama,
pendekatan yang menekan pada nilai dan Kedua, pendekatan yang menekan pada perilaku.
Pendekatan tersebut mencakup pula nilai-nilai yang selaras dengan etika dalam menetapkan baik
buruknya sebuah sistem pemerintahan seperti yang digunakan oleh pakar politik, selain
menggunakan faktor-faktor sejarah.9
Pengertian Politik menurut Deliar Noer adalah :
Segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk
mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan
masyarakat.10
B. EtikadanMoralKepemimpinanIslam
Bercermin kepada realitas bangsa dewasa ini bahwa, runtuhnya kepercayaan rakyat sesungguhnya
bukan hanya terhadap pemerintah saja, tetapi juga terhadap para pemimpin dan para elit politik
formal, bahkan rakyat mempertanyakan mengapa ekonomi terus merosot, rasa aman dalam
kehidupan sehari-hari terus memburuk.11 Di berbagai tempat kerusuhan mudah terjadi dan
gampang main hakim sendiri dengan mencabut nyawa sesamanya. Para elit politik semula saling
mendukung hanya dalam waktu singkat sudah saling serang satu sama lain. Kepada anti gone
dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termashur, dari semua kejahatan yang bagai
cacing mengeritiki jalan menuju istana raja-raja yang terburuk adalah nafsu berkuasa. Nafsu
berkuasa mengadu saudara lawan saudara,
7Frans Magnis Susena, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Cet. XIII; Yogyakarta:
Kanisius, 2001), h. 96.
8Abdul Muin Salim, Konsep Kekuasaan Politik Dalam Alquran (Cet. III; Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 2002), h. 34
9Lihat, Deliar Noer, Pengantar Pemikiran Politik (Cet. III; Jakarta: Rajawali, 1983), h. 94
10Lihat, ibid., h. 6
11Ahmad Mubarak dan B. Wiwoho, Etika dan Moral Kepemimpinan (Cet. I; Jakarta: PT. Bina
Rena
Pariwisata, 2003), h. 22.
52 - Vol.1/No.2/Juni2013

ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orang tuanya.12


Konsep yang amat tegas mencita-citakan suatu negara yang berdasarkan akal
budi dan moral keagamaan adalah Siti Agustine (254-430 M) dalam bukunya “ Civitate Dei ”
(Negara Tuhan), ia menggambarkan adanya dua moral yang terdapat pada manusia, yaitu moral
baik dan moral buruk. Terjadi perkelahian dan pembunuhan antara kedua putra Adam, tidak lain
merupakan gambaran dari perjuangan antara pemimpin yang bermoral baik yang membentuk
“Civitate Dei” (Negara Tuhan) dengan pemimpin yang bermoral jahat yang membentuk “Civitate
Diaboli” (Negara Setan).13
Peran pemimpin sungguh sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat, rusak rakyat karena
rusak penguasa dan rusak penguasa karena rusak ulamanya. Semuanya itu membenarkan
kesimpulan bahwa pemimpin adalah teladan, sehingga teladan yang baik akan memberikan hasil
yang baik dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu menurut Al-Ghazali, ulama harus tegak
menjaga fungsinya sebagai pemegang amanah Allah, penjaga waris Nabi dan penegak politik
keadilan. Para ulama cendikiawan harus bersikap waspada dan jangan mendudukkan diri kepada
politik kezaliman (zalim terhadap kehormatan dan hak asasi manusia, zalim terhadap harta benda
rakyat, dan zalim terhadap jiwa rakyat), bahkan jika dianggap perlu harus mengambil sikap uzlah,
menjauhkan diri dari segala soal yang berbau politik dan pemerintah.14
Islam telah banyak mengatur etika dan moral kepemimpinan, baik di dalam Alquran maupun hadis
Nabi Muhammad saw serta ijma para ulama. Semua ajaran etika dan moral dalam kehidupan
masyarakat adalah merupakan etika dan moral kepemimpinan, namun inti dari semua itu adalah
amanah dan keadilan sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-Nahl/16:90
             
           
    
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.15
Keadilan dalam hal ini adalah di dalam memutuskan suatu perkara tidak berat sebelah, keadilan
harus dinikmati setiap orang baik muslim muapun non muslim, pejabat maupun bukan pejabat,
keluarga maupun bukan keluarga, hendaknya putusan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan
ketetapan hukum dan bukan berdasarkan atas permusuhan.
12Ibid., 23.
13Ibid., h. 24.
14Ibid., h. 27.
15Departemen Agama, RI., Alquran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 277.
Etika Politik dalam Islam
Vol.1/No.2/Juni2013 - 53

M. Thahir Maloko
Masalah kepemimpinan dewasa ini merupakan kunci utama dalam menuju negara dan masyarakat
yang bermoral.16 Struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan. Perimbangan kekuatan
politik mengabaikan upaya serius mengatasi kosupsi dan ketidakadilan. Praktek kekuasaan
dijalankan bukan atas dasart etika politik, namun untuk mempertahankan kekuasaan. Maka banyak
konsesi diberikan yang mengorbankan tujuan utama politik (kesejahteraan bersama).17
Etika dan moral kepemimpinan Islam maupun kepemimpinan di luar Islam sangat ditentukan oleh
penguasa.18 Oleh karena itu, yang menghendaki sebuah pemerintahan yang adil dan didasari oleh
nilai etika maka harus banyak belajar dari realitas yang terjadi, bagaimana etika pemimpin yang
telah digagas oleh pemerhati etika politik seperti:
1. Etika Politik dalam Sistem Politik Madani
Konsep masyarakat madani dapat dikatakan seirama dengan etika politik
Islam dan demokrasi masyarakat madani menghendaki:
a. Legislatif benar berfungsi sebagai pemikir dan perumus kepentingan rakyat serta
berupaya maksimal untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan dan
kesejahteraan dalam masyarakat.
b. Yudikatif yang jujur, adil, terpercaya dan mampu membuat atau menjatuhkan
sanksi yang adil terhadap siapapun tanpa memandang jabatan yang diemban.
c. Eksekutif yang fungsional, bersih, jujur dalam melaksanakan mandat rakyat.
d. Masyarakat harus jujur dan berani berkata benar dalam menyampaikan tuntutan
dan kewajiban taat pada berbagai aturan yang memberikan kemungkinan untuk mensejahterakan
masyarakat.
2. Etika Menurut Plato
Perwujudan etika politik Plato dengan cara membentuk negara idael yaitu
suatu bentuk negara dimana pemerintah mampu melayani secara langsung dengan cara menetapkan
tujuan negara sama dengan tujuan manusia dalam negara (warga negara) yaitu kesenangan dan
kebahagiaan. Pada sisi lain teori politik Plato juga melakukan pelarangan etika politik dimana Plato
menempatkan orang-orang yang kalah dalam perang diposisikan sebagai budak yang tidak
mempunyai hak milik, hak berpendapat dan hak politik dalam negara.19
Beberapa perinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan sosial, persamaan,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam konteks kenegaraan, amanah
dapat berupa kekuasaan ataupun kepemimpinan. Kekuasaan adalah amanah, maka Islam secara
tegas melarang kepada pemegang kekuasaan agar melakukan abusei atau penyalagunaan kekuasaan
yang diamanahkannya. Karena itu pemegang kekuasaan atau pemimpin wajib berlaku adil dalam
arti yang sesungguhnya.
16Ahmad Mubarak dan B. Wiwoho, op,cit., h. 30.
17Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Cet. I; Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003),
h.
33.
18Lihat, Iman Al-Ghazali, op.cit., h. 91 19Haryatmoko, op.cit., h. 11.
54 -
Vol.1/No.2/Juni2013

Apabila beberapa perinsip ajaran Islam tersebut di atas tidak diamalkan dengan baik dan benar,
maka akan muncul keterpurukan etika dan moral pemimpin sebagai berikut:
Pertama, keterpurukan etika dan moral pemimpin disebabakan masih ada hubungannya dengan
korupsi yaitu pemimpin yang sangat ambisius untuk mendapatkan harta yang banyak, tidak
mempertimbangkan halal dan haram yang penting tujuan tercapai. Sehubungan dengan itu,
Baharuddin Lopa mengatakan bahwa Krisis moral sudah menjangkit semua tingkat dan sektor
termasuk pemerintah, sehingga keadilan sebagai sumber ketentraman dan perwujudan
kesejahteraan di Indonesia belum terlaksana dengan baik.20
Selain itu, beliau mengatakan bahwa sulit untuk menegakkan hukum kerana sulit menentukan
ujung pangkal krisis moral, oleh karenanya para pejabat pengambilan keputusan memberikan
teladan kepada semua jajarannya, jangan harap suatu sistem akan berjalan dengan lancar kalau
pemimpinnya tidak mampu memberikan teladan bagi jajarannya. Selanjutnya beliau mengatakan
bahwa hukum bertujuan untuk mencapai keadilan sebagaimana yang ditegaskan dalam surah Al-
Maidah/5:42 sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.21
Kedua, keterpurukan etika dan moral seorang pemimpin adalah pemahaman terhadap ajaran agama
sebagai pengendali dalam melakukan tindakan, karena lemahnya agama dapat menyebabkan para
pemimpin tidak memperhatikan nilai- nilai etika dan moral. Oleh karenanya wajib bagi seorang
pemimpin untuk memperbaiki pemahaman terhadap ajaranya.22
Ketiga, keterpurukan etika dan moral pemimpin adalah pemimpin yang bersikap sombong.
Sebagaimana halnya raja Namruz. Dia adalah orang pertama yang melakukan kesombongan di
muka bumi yang mengakui dirinya sebagai Tuhan. Ketika terjadi krisis ekonomi pada zaman
kerajaannya, rakyat sangat menginginkan makanan, tetapi raja Namruz tidak mau memberikan
makanan yang dia miliki walaupun membeli, jika rakyat tidak mau bersujud kepadanya dan
mengucapkan Kamulah Tuhanku.23 Itulah sikap sombong yang diperlihatkan oleh seorang
pemimpin yang tidak memperdulikan nilai-nilai etika dan moral dalam kepemimpinannya.
Keempat, kurangnya rasa tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah sebuah kenikmatan yang harus
dihirup, melainkan suatu tanggung jawab, maka berat harus dipikul dan
mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah swt yang secara demokrasi adalah dihadapan
rakyat secara terbuka dan jujur. Berkuasa adalah bukan memegang kendali politik sambil
menikmati sumber daya dengan cara menindas, melainkan terkandung pertanggungjawaban politik
yang berat di dalamnya.24
20Baharuddin Lopa, Masalah-Masalah Politik Hukum Sosial Budaya dan Agama, Sebuah
Pemikiran (Cet. I; Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 67.
21Ibid., h.70.
22Imam Al-Ghazali, op.cit., h. 90.
23Muslim, Ancaman Bagi Penguasa Zalim Tetap Abadi di Neraka (Cet. I; Surabaya: CV. Citra
Pelajar,
1998), h. 10.
24Muhammad Toha Anwar, Fiqih Politik, Tinjauan Partai Politik Islam (Cet, I; Jakarta: Studi Press,
2000), h. 11
Etika Politik dalam Islam
Vol.1/No.2/Juni2013 - 55

M. Thahir Maloko
Kelima, tidak jujur. Tanpa kejujuran, maka keutamaan moral lainnya kehilangan nilai. Bersikap
baik kepada orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracum. Hal yang
sama berlaku pada sikap tenggang rasa dan mawas diri, tanpa kejujuran, dua sikap itu tidak lebih
dari sikap berhati-hati tanpa tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.25
Sikap jujur harus dimiliki setiap pemimpin, karena tanpa kejujuran seorang penguasa atau seorang
pemimpin, segala tindakannya akan mengarah kepada kemunafikan dan tanpa kejujuran keutamaan
etika dan moral kehilangan nilai.
C. Alquran Sebagai Sumber Gagasan Etika Politik
Alquran adalah petunjuk bagi umat manusia, maka tidak berlebihan apabila alquran dijadikan
sebagai konsep etika politik, dimana etika ingin menjawab “ bagaimana hidup yang baik ” .26
Dengan demikian alquran menerangkan tentang etika dan moral sebagaimana terdapat dalam QS.
Al-Imran/3:159
              
           
               
    
Terjemahnya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.27
Kandungan ayat tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral kepemimpinan yang
diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat, antara lain memiliki sifat lemah
lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi
kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. sifat-sifat ini merupakan faktor subyektif yang
dimiliki seorang pemimpin yang dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi
dalam musyawarah,. Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat tersebut di atas,
niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan.28
Dalam sejarah, kaum Majusi telah menguasai dunia selama empat ribu tahun. Kelanggengan
kekuasaan hanya dapat terjadi dengan perilaku adil terhadap rakyat dan memelihara urusannya
secara bersama-sama. Mereka tidak membiarkan kezaliman dalam urusan agama dan keyakinan
mereka. Mereka mengelolah
25Frans Magnis-Suseno, op.cit., h. 142. 26Ibid., h. 187.
27Departemen Agama, RI., op.cit., h. 71. 28 Abdul Muin Salim, op.cit., h. 260.
56 - Vol.1/No.2/Juni2013

negaranya dengan adil. Mereka juga senantiasa berbuat adil terhadap manusia. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kemakmuran dan kehancuran dunia bergantung kepada penguasanya. Jika
penguasa adil, maka dunia akan makmur dan rakyat akan merasa aman, sebaliknya penguasa tidak
adil, maka dunia akan runtuh.
Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas, Faisal Baasir mendasarkan etika politik bangsa dan
negara pada nilai-nilai luhur ajaran agama adalah suatu keharusan. Sebab agama merupakan sistem
nilai yang diyakini kebenarannya, ia adalah lentera dan panduan kehidupan serta modal ketenangan
jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu.29
Prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
kekuasaan sebagai amanah. Prinsip amanah tercantum dalam Alquran surah Al-Nisa/4:58
          
           
           
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.30
Makna amanah adalah “titipan” atau “pesan”. Dalam demokrasi Islam, amanah dipahami sebagai
“sesuatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu bentuk pemeliharaan dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan perinsip-perinsip dasar yang telah ditetapkan dalam Alquran
yang kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.31
Seseorang yang bertanggungjawab diharapkan takut kepada Allah terhadap apa yang ditugaskan
kepadanya dari urusan umat agar ia ingat betapa besarnya amanah yang diemban untuk
mengerjakannya.
Alquran sebagai sumber gagasan etika politik berusaha menanamkan perilaku yang baik kepada
para pemimpin untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berwibawa. Oleh karenanya perilaku
rakyat sangat tergantung dari kebijakan para pemimpin, rakyat bermoral adalah cerminan dari
seorang pemimpin. Pemimpin yang bertanggungjawab adalah pemimpin yang beretika dan
bermoral yang bersumber dari nilai-nilai luhur agama. Dengan demikian segala tindakan yang baik,
adil, beramanah dari pemimpin akan mendapatkan syafaat, selama pemimpin tidak keluar dari
koridor yang telah digariskan oleh Allah swt dalam Alquran sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia
29Faisal Baasir, Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim (Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003), h. xxxvii.
30Departemen Agama, RI., op.cit., h. 87. 31Faisal Baasir, op.cit., h. 145

3Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman perilaku melindungi kebebasan,
kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya.
Sedangkan asasi
adalah sesuatu yang bersifat mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah sehingga tak satupun
makhluk bisa mengintervensinya apalagi mencabutnya.
Menurut Jan Materson dari komisi Hak Asasi Manusia Perserikataan Bangsa-Bangsa, Hak Asasi
Manusia ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia. Menurut Baharuddin Lopa, kalimat “ mustahil dapat hidup sebagai
manusia” hendaklah diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggungjawab.”
Penambahan istilah bertanggungjawab ialah di samping manusia memiliki hak, juga memiliki
tanggungjawab atas segala yang dilakukannya. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung kepada manusia (hak-hak yang bersifat kodrati) oleh Tuhan yang
menciptakannya. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya.
Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak- haknya dapat berbuat semaunya, sebab
apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan merampas hak asasi orang lain,
maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.1
B. Sejarah Hak Asasi Manusia
Dilihat dari segi sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Tindakan

sewenang-wenang Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya
berhasil mengajak Raja untuk menyusun perjanjian yang disebut dengan Magna Charta. Magna
Charta berisi antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja
yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan dapat dimintai pertanggungjawaban di muka hukum. Dari sinilah lahir doktrin
raja tidak kebal hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak saat itu mulai
dipraktikkan ketentuan bahwa jika raja melanggar hukum harus diadili dan harus
dipertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen.
Dengan demikian saat itu mulai dinyatakan bahwa raja terikat pada hukum dan bertanggungjawab
kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu lebih banyak berada di
tangannya. Dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi dan kondisi ini merupakan embrio bagi
lahirnya monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya sebagai simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada saat
itu mulai ada adagium yang berintikan bahwa manusia sama di muka hukum. Adagium ini
memperkuat dorongan timbulnya demokrasi dan negara hukum. Pada prinspnya Bill of Rights ini
melahirkan prinsip persamaan. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai munculnya The
American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquieu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahir pula The French Declaration, di mana hak-hak lebih rinci lahir
yang kemudian melahirkan The Rule of Law.
Dalam The French Declaration antara lain disebutkan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan
yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat
perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di samping itu dinyatakan juga adanya
presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian dituduh dan ditahan,
berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia bersalah. Dalam deklarasi ini juga dipertegas adanya freedom of expression,
freedom of religion, the right of property dan hak-hak dasar lainnya. Semua hak-hak yang ada
dalam berbagai instrumen HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan
rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration
of Human Rights yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948.
C. Perbedaan Prinsipil Konsep Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Barat dan Islam
Ada perbedaan prinsip antara HAM
dilihat dari sudut pandangan Barat dan Islam. HAM menurut pemikiran Barat semata-mata bersifat
antroposentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada
Nur Asiah, Hak Asasi Manusia Perspektif Hukum Islam | 57

58 | Jurnal Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 : 55 - 66
manusia. Dengan demikian, manusia sangat dipentingkan karena ukuran kebenarannya adalah
menurut manusia sehingga sifatnya akan subyektif. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia ditilik dari
sudut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan.
karenanya, ukuran kebenarannya adalah menurut Tuhan Dengan demikian Tuhan sangat
dipentingkan. Dalam hubungan ini, A.K. Brohi menyatakan: “Berbeda dengan pendekatan Barat,
strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar
manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati,
pikiran dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris.
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolok ukur
segala sesuatu, maka di dalam Islam melalui firman- Nya, Allahlah yang menjadi tolok ukur segala
sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Di sinilah letak
perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikiran Barat dengan
hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia
pertama- tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat
yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu
manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu.2
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu tampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak
mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep ini seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban
atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukumnya. Namun, di dalam tugas-tugas
inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya menurut ajaran Islam. Manusia mengakui hak-hak
dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan oleh hukum agama
untuk mematuhi Allah.3 Oleh karena itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata
menekankan kepada hak asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi
manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban tersebut telah disampaikan kepada umat manusia
semenjak manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama (Adam) ke dunia diindikasikan bahwa
Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia. Kemudian ketika umat manusia menjadi lupa
akan petunjuk tersebut Allah mengutus Nabi dan Rasulnya untuk mengingatkan mereka akan
keberadaannya. Nabi Muhammas saw diutus bagi umat manusia sebagai Nabi terakhir untuk
menyampaikan dan memberikan teladan kehidupan yang sempurna kepada umat manusia seluruh
zaman sesuai dengan jalan Allah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam,
konsep HAM bukanlah hasil evolusi dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari

wahyu ilahi yang telah diturunkan melalui para Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi
umat manusia di atas bumi.
Manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada Allah, dalam QS. az-Zāriyāt/51: 56
disebutkan:
        
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban mengikuti ketentuan- ketentuan yang ditetapkan
oleh Allah. Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia dapat dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu huq ū qullah dan huq ū qul „ ib ā d. Huq ū qull ā h (hak-hak Allah) adalah
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah swt yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah,
sedangkan huqūqul „ibād (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa
hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, karena hak-hak Allah bersesuaian
dengan hak- hak makhluknya.4
D. Rumusan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai
sumber hukum dan pedoman hidup telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi
Manusia. Al-Qur‟an dan as-Sunnah telah meletakkan dasar- dasar HAM jauh sebelum timbul
pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam al-Qur‟an antara lain: terdapat 80 ayat berbicara tentang hidup, pemeliharaan
hidup dan penyediaan sarana kehidupan; 150 ayat berbicara tentang ciptaan dan makhluk-makhluk
serta tentang persamaan dalam penciptaan; 320 ayat berbicara tentang sikap menentang kezaliman
dan orang-orang yang berbuat zalim; 50 ayat memerintahkan berbuat adil diungkapkan dengan kata:
„ adl dan qisth; 10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk menjamin kebebasan
berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi; dan dan lain sebagainya.
Hukum Islam telah merumuskan pengaturan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
seperti yang tertuang dalam dalam al-Qur‟an dan as- Sunnah, antara lain:
1. Hak hidup
Hukum Islam memberikan
perlindungan dan jaminan atas hak hidup manusia. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan syariat yang
melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia melalui larangan untuk membunuh
dan menetapkan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, seperti yang termaktub dalam QS.
al-Māidah/5: 32 menyebutkan:
            
               
Nur Asiah, Hak Asasi Manusia Perspektif Hukum Islam | 59

60 | Jurnal Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 : 55 - 66
       
         
          

     
“ Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka
Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
2. Hak kebebasan beragama Kebebasan dan kemerdekaan
manusia merupakan bagian yang penting dalam Islam, tidak terkecuali kebebasan dalam beragama
sesuai dengan keyakinan masing-masing individu. Karenanya, Islam sangat melarang
             
         
           

   
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, Maka sungguh ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan untuk
menganut suatu keyakinan atau akidah agama yang disenanginya. Ayat lain yang berkenaan dengan
hak kebebasan beragama terdapat dalam QS. Qāf/50: 45:
           
          
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali- kali bukanlah seorang
pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan al Quran orang yang takut dengan
ancaman-Ku.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi hak
kebebasan dan kemerdekaan beragama.
adanya tindakan pemaksaan
agama kepada orang telah
agama tertentu. Hak
beragama ini dengan jelas disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2: 256:
keyakinan menganut kebebasan

3. Hak bekerja dan mendapatkan upah Bekerja dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai hak
tetapi juga merupakan kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw
bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang
dihasilkan dari usaha tangannya
sendiri." (HR. Bukhari).
Dan Islam juga menjamin hak
pekerja, seperti terlihat dalam hadist:
"Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
4. Hak persamaan dan keadilan.
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu kriteria
(ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni
ketakwaannya QS. al-Hujurāt/49: 13:
        
      
           
Nur Asiah, Hak Asasi Manusia Perspektif Hukum Islam | 61
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Allah mengutus rasul agar melakukan perubahan sosial dengan menetapkan hak persamaan dan
keadilan bagi seluruh umat manusia termasuk diantaranya persamaan di mata hukum. Sabda
Rasulullah saw: “ seandainya fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
5. Hak kebebasan berpendapat
Islam memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal pikiran mereka terutama
untuk menyatakan pendapat mereka yang benar sesuai dengan batas-batas yang ditentukan hukum
dan norma-norma lainnya. Perintah ini secara khusus ditunjukkan kepada manusia yang beriman
agar berani menyatakan kebenaran dengan cara yang benar pula. Ajaran Islam sangat menghargai
akal pikiran. Oleh karena itu, setiap manusia sesuai dengan martabat dan fitrahnya sebagai makhluk
yang berpikir mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya dengan bebas, asal tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat dipertanggungjawabkan.

“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara
Dalam QS. Ali Imrān/3: 104 disebutkan:
            
          
   

62 | Jurnal Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 : 55 - 66
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dalam sebuah hadis disebutkan: “ Katakanlah yang benar sekalipun itu pahit (berat). ” HR. Ibn
Hibban.
6. Hak atas jaminan sosial.
Dalam al-Qur‟an banyak dijumpai
ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran
tersebut antara lain “ kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh
mereka yang punya” (QS. az- Zāriyāt/51: 19):
       
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian [tidak meminta].”
Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja. Dalam QS.
al-Ma‟ārij/70: 24 disebutkan:
        “ Dan orang-orang yang
dalam hartanya
tersedia bagian tertentu.”
Manusia juga tidak boleh kikir QS. al-Humazah/104: 2:
      
“Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (karena Kekikirannya).”
Jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebut dalam al-Qur‟
an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan sosial. Perhatikan QS. al-Baqarah/2: 273:
          
       
       
       
           
“Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri
dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah maha mengatahui.”
Dalam QS. at-Taubah/9: 60:
       
        

             
      
Islamic Declaration of Human Rights” yang diangkat dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad
saw. Pernyataan HAM menurut ajaran Islam ini terdiri 23 Bab dan 63 pasal yang meliputi seluruh
aspek hidup dan kehidupan manusia. Beberapa hal pokok yang disebutkan dalam deklarasi tersebut
antara lain adalah: (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk mendapatkan kebebasan; (3) hak atas
persamaan kedudukan; (4) hak untuk mendapatkan keadilan; (5) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan; (6) hak untuk mendapat perlindungan dari
penyiksaan; (7) hak untuk mendapatkan perlindungan atas kehormatan dan nama baik; (8) hak
untuk bebas berpikir dan berbicara; (9) hak untuk bebas memilih agama; (10) hak untuk bebas
berkumpul dan berorganisasi; (11) hak untuk mengatur tata kehidupan ekonomi; (12) hak atas
jaminan sosial; (13) hak untuk bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya; (14) hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga; (15) hak untuk mendapatkan
pendidikan, dan sebagainya.
E. Prinsip - prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam Pada dasarnya HAM dalam Islam
terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dharuriyat al- khamsah. Konsep ini
mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din, hifdzu al-
nafs, hifdzu al-„aql, hifdzu al-nasl, dan hifdzu al-mal. Kelima hal pokok inilah
“Sesungguhnya
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Dalam al-Qur ‟ an masih banyak ayat yang menyebutkan dengan jelas perintah bagi umat Islam
untuk menunaikan zakat kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Tujuan zakat itu antara lain
adalah untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan
pendapatan bagi setiap masyarakat.
anggota
7. Hak atas harta benda.
Dalam ajaran Islam hak milik
seseorang sangat dijunjung tinggi. Sesuai dengan harkat dan martabat, jaminan dan perlindungan
terhadap milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Oleh karena itu, siapapun juga bahkan
penguasa sekalipun, tidak diperbolehkan merampas hak milik orang lain, kecuali untuk
kepentingan umum, menurut tata cara yang telah ditentukan lebih dahulu.5
Dalam rangka memperingati abad ke-15 H., pada tanggal 21 Dzulkaidah atau 19 September 1981
para ahli hukum Islam mengemukakan “Universal
zakat-zakat itu,
Nur Asiah, Hak Asasi Manusia Perspektif Hukum Islam | 63

64 | Jurnal Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 : 55 - 66
yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih
manusiawi berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat,
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas
agama lainnya.
Terdapat lima prinsip utama HAM dalam Islam seperti yang termuat dalam hukum Islam sebagai
berikut:
1. Prinsip perlindungan terhadap agama.
Beragama merupakan kebutuhan asasi manusia yang harus dipenuhi. Agama Islam memberikan
jaminan perlindungan kepada semua pemeluk agama untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya dan tidak memaksakan pemeluk agama lain untuk meninggalkan agamanya untuk
memeluk agama Islam. Hal ini jelas tergambar dalam QS. Qaf/50: 45:
           
          
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali- kali bukanlah seorang
pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Quran orang yang takut dengan
ancaman-Ku”
2. Prinsip perlindungan terhadap jiwa. Menurut hukum Islam, jiwa itu harus dilindungi. Untuk itu
hukum Islam wajib memelihara dan memberikan perlindungan terhadap jiwa manusia. Islam
melarang keras pembunuhan
sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan
oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan dan kelangsungan hidupnya.
3. Prinsip perlindungan terhadap akal. Menurut hukum Islam, manusia wajib memelihara akalnya
karena akal mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupannya. Untuk itu akal wajib
dilindungi dari berbagai hal yang dapat merusak fungsinya. Hukum Islam secara tegas melarang
manusia melakukan berbagai upaya yang dapat merusak akal diantaranya meminum minuman yang
memabukkan karena dapat berakibat merusak fungsi akal manusia. Karenanya, Islam memberikan
sanksi hukum bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan seperti
yang tertulis dalam QS.al-Maidah/5: 90:
          
     
      
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan”
4. Prinsip keturunan.
perlindungan
terhadap
Dalam hukum Islam, memelihara keturunan merupakan hal yang sangat urgen. Karenanya, Islam
memberikan

jaminan pemeliharaan keturunan bagi manusia dengan ketentuan yang sah menurut ajaran Islam
melalui perkawinan sebagai sarana untuk mendapatkan keturunan dan melarang melakukan
perbuatan zina sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra‟/17: 32:
            
 
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.”
5. Prinsip perlindungan terhadap harta. Harta merupakan pemberian dari Allah swt kepada manusia
untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karena itu, manusia dilindungi haknya untuk
memperoleh harta asalkan dengan cara-cara yang halal dan sah menurut hukum serta benar
menurut ukuran moral. Islam memberikan jaminan hak pemilikan yang sah terhadap harta manusia
dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan
haknya sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 188:
       
         
   
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.”
Oleh karena itu, Islam melarang riba dan semua upaya yang dapat merugikan orang lain seperti
tindakan penipuan dalam perdagangan. Sabda Nabi saw: “ Jual beli itu dengan pilihan selama
antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual beli, maka mereka
diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual beli mereka dihapus.” (HR. al- Khamsah).

4.Salah satu indikator penting dalam proses demokrasi adalah representasi


keterwakilan perempuan dalam sistem politik. Artinya ada kesetaraan gender
antara perempuan dan laki-laki dalam dinamika politik. Politik sendiri
merupakan suatu upaya untuk merebut peran kekusaan, termasuk akses dan
kontrol dalam pengambilan keputusan. Melihat sangat minimnya
keterwakilan perempuan di Indonesia, dimana hal ini dibuktikan dengan
masih mendominasinya laki-laki yang aktif di lembaga legislatif, partai politik
dan lainnya. Dengan demikian, kehadiran perempuan “politic of presence” di
lembaga legislatif menjadi penting karena dapat membuka akses dalam
pengambilan keputusan berupa fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Kesetaraan gender kembali menjadi isu menarik untuk di perbincangkan


apalagi ketika dikaitkan dengan keterwakilan perempuan dalam dunia
perpolitikkan. Adanya aturan tentang kewajiban sekurang-kurangnya 30%
bagi keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif merupakan suatu hal
yang penting dalam proses perjalanan demokrasi di Indonesia dalam proses
memperjuangkan kesetaraan gender. Semakin terbukanya akses politik, tentu
hal ini akan membuka ruang lebar bagi perempuan untuk berkompetisi dalam
pentas publik.

Jika dilihat dalam konteks landasan hukum, kesetaraan gender di bidang


politik sebenarnya telah memiliki banyakjaminan hukum yang diatur oleh
negara karena pentingnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam
politik. Namun hal ini belum maksimal dalam memberikan akses, partispasi,
keterwakilan perempuan di bidang politik. Berikut beberapa peraturannya;
Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Republik
Indonesia 1945.

UU ini menjelaskan bahwa segala warga negara, artinya laki-laki dan


perempuan memiliki kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama di
bidang politik. Hal ini termaktub dalam pasal 27 dan 28. Kedua,
Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi
Hak-Hak Politik Perempuan. UU ini menjelaskan bahwa Konvensi
Internasional mengenai Hak-Hak Politik Wanita telah disahkan pada tahun
1952 dan Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68
Tahun 1958.

Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan dan laki-laki mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih untuk menduduki badan-badan yang pilih secara umum
tanpa diskriminasi. Ketiga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita. Undang-Undang ini ini mewajibkan negara
peserta membuat peraturan-peraturan untuk menghapus diskriminasi
terhadap wanita dibidang politik. Hal ini terliat dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4,
pasal 7 dan pasal 8. (Kunthi Tridewiyanti. Jurnal Legilasi Indonesia. Vol 9
No.1. April 2012).

Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan


partisipasi dan keterwakilan perempuandalam bidang politik seperti yang
telah dijabarkan sebelumnya jika dilihat secara kuantitatif maupun kualitatif
tetap dalam realitas nyata masih saja diskriminasi. Oleh karna itu, untuk
mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik perlu dilakukan tindakan
khusus sementara (TKS) sebagai sebuah tindakan affirmatif atau affirmative
action. Kebijakan affirmatif terhadap perempuan dalam bidang politik setelah
berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilu, DPR, DPD dan DPRD. Usaha yang dilakukan
dalam peningkatan terhadap keterwakilan perempuan dilakukan salah
satunya dengan cara memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pasal 65 ayat 1 UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.

Partai Politik dalam kelembagaanya melakukan affirmation action dengan


mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal
30%. Selanjutnya ketentuan lebih lanjut dalam affirmation action ini adalah
adanya penerapan zipper system yang mengatur bahwa setiap tiga bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya satu diantaranya adalah permpuan. Hal ini
diatur dalam Pasal 55 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008. Penerapan affirmation
action terhadap perempuan dalam politik ternyata mampu meningkatkan
keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu.

Selanjutnya usaha yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender


di bidang politik terkait keterwakilan perempuan diantaranya: pertama,
melakukan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dengan
melakukan pendidikan politik. Sebagaimana dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 bahwa partai politik harus melakukan
pendidikan politik dan juga recruitmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan
gender. Kedua, melakukan peningkatan keterwakilan perempuan dalam
posisi-posisi strategis, karena masih banyaknya anggota partai politik yang
enggan memberikan peranan penting dan mengeluarkan dana yang lebih
demi keterwakilan perempuan, masih banyaknya partai politik yang
mengutus beberapa perempuan atas dasar keterwakilan perempuan sebagai
pemenuhan syarat belaka.

Oleh sebab itu, usaha penguatan tindakan khusus sementara pada pemilu
sangat penting. Ketiga, usaha dalam meningkatkan partipasi perempuan
dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang sangat penting. Sebab,
jika partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan minim,
maka ini akan berdampak pada proses legislasi, anggaran serta pengawasan
yang belum berfokus pada kesetaraan gender.

Legislasi yang berfokus pada kesetaraan gender ternyata belum sesuai dengan
prinsip-prinsip HAM dan Gender. Lembaga legislatif seharusnya membentuk
peraturan perundang-undangan yang berspektif HAM dan Gender, sehingga
parameter atau indikator yang diperlukan menjadi jelas. Persoalan anggaran
yang harus reponsif terhadap gender merupakan suatu metode atau cara
menganalisis anggaran negara dengan melihat bagaimana transparansi
pemerintah dan memastikan adanya pemberian pelayanan publik yang efisien,
berkesetaraan dan berkeadilan gender. Serta selanjutnya persoalan usaha
pengawasan yang responsif, dimana pengawasan ini merupakan proses
pertanggungjawaban secara moral dan politik orang-orang yang menjadi
perwakilan rakyat dalam pelaksanan kekuasaan politik. Prinsip pengawasan
yang legislatif terhadap eksekutif sebenarnya untuk menjamin keberhasilan
pemerintah perwakilan yang akuntabel melalui institusi yang melekat dengan
kedaulatan rakyat.Pada kenyataannya, mewujudkan sistem politik yang
berkeadilan dan kesetaraan gender bukanlah suatu hal yang mudah, melihat
masih melekatnya budaya patriarki dalam diri masyarakat. Perlu rasanya
untuk membangun sinergitas dari semua pihak dalam mewujudkan sistem
politik yang berkesetaraan gender. Masih banyaknya tantangan serta
permasalahan yang sedang dihadapi pada masa pemerintahan bapak presiden
Jokowi saat ini terkait pengesahan beberapa Peraturan Perundang-undangan
yang melindungi hak-hak perempuan seharunya menjadi fokus kita bersama,
sehingga ketika perempuan sudah memiliki power di sistem politik terutama
dalam lembaga legislatif, hal-hal seperti itu sekiranya bisa di selesaikan
dengan cepat dengan mempertimbangakan aspek-aspek keadilan dan
kesetaraan gender.

Anda mungkin juga menyukai