Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan peningkatan dari fiqh yang telah
dipelajari oleh siswa di Madrasah Tsanawiyah/SMP. Peningkatan tersebut
dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqih
baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqih serta menggali tujuan dan
hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi
dan untuk hidup bermasyarakat.
Secara substansial mata pelajaran Fiqih memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktikkan dan menerapkan
hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesame manusia, makhluk lainnya ataupun
lingkungannya.
Selaras dengan pernyataan di atas, mata pelajaran Fiqh di Madrasah
Aliyah bertujuan untuk: (1) Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip, kaidah-
kaidah dan tata cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek
ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan
pribadi dan sosial; (2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam
dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan
ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesame manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan
dengan lingkungannya; (3)Mengenal, memahami, dan menghayati terhadap
sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqih sebagai metode penetapan
dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) Menerapkan kaidah-kaidah
dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari
dalil-dalilnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa materi fiqih kelas XII semester I di tingkat Madrasah
Aliyah?
2. Apa saja materi fiqih di Madrasah Aliyah kelas XII semester I?
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis materi fiqih kelas XII semester I di tingkat
Madrasah Aliyah.
2. Untuk mengetahui materi fiqih kelas XII semester I di tingkat Madrasah
Aliyah

2
BAB II
SIYASAH SYAR’IYAH
Pada Bab I semester I mata pelajaran FIKIH MA kelas IIX siswa akan
belajar tentang
“SIYASAH SYAR’IYAH” yang terbagi kedalam beberapa pembahasan dibawah
ini:
A. Tinjauan Umum tentang Siyasah

Dalam tinjauan umum tentang siyasah (politik), dibahas mengeni


pengertian politik (siyasah), Siyasah Syar’iyah, dan ruang lingkup kajian siyasah
islam.
1. Pengertian Politik

Asal kata ‘politik’ polis (bahasa Yunani) berarti kota atau negara kota.
Dari kata itu, kemudian diturunkan kata polites yang berarti warga negara.
Politikos sebagai kata ajektif berarti’kewarganegaraan’. Kata ini
menurunkan kata politike te akne yang berarti kemahiran politik. Secara
sederhana, politik dapat dimaknaisebagai sebuah usaha untuk mencapai
(mewujudkan) cita-cita atau ideologi. Untuk pertama kalinya, istilah ideologi
dicetuskan filsuf berkebangsaan prancis, Antoine Destutt de Tracy sewaktu terjadi
Revolusi Prancis.
Ideologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang mampu
memberikan penjelasan, sekaligus jastifikasi terhadap tertib politik yang ada
ataupun yang didambakan oleh masyarakat, termasuk didalamnya startegi untuk
merealisasikannya.
Politik dapat disimpulkan bahwa antara politik sebgai sebuah aktivitas dan
politik sebagai goverment (pemerintahan) tidaklah saling bertentangan, melainkan
saling menjelaskan. Para ahli politik menetapkan beberapa fungsi politik yang
meliputi empat hal pokok, yaitu
1. Menjaga ketertiban (maintaining order)
2. Penyelesaian pertikaian (resolving conflict)
3. Berkeadilan (achieving justice)

3
4. Pemenuhan kesejahteraan (providing a good life)

Adapun yang perlu kita pahami tentang pengertian politik adalah proses
sosial yang ditandai oleh berbagai pertentangan dan persaingan dalam perebutan
kekuasaan. 1
2. Siyasah Syar’iyah

Dalam tradisi Islam, istilah politik dikenal dengan siyasah. Siyasah adalah
kebijakan atau organisasi. Dengan kebijakan, rakyat diorganisasi atau diarahkan
dengan cara-cara tertentu menurut islam untuk kehidupan yang baik.
Dalam kitab-kitab fiqih, kata politik dikenal dengan istilah Dalam kitab-
kitab fiqih, kata politik dikenal dengan istilah siyasah. Kata tersebut berasal dari
akar sasa, yasusu, siyasatan berarti memerintah, mengadministrasi, mengatur,
management, atau mengarahka binatang (khususnya kuda).
Dari beberapa pengertian siyasah di atas, dapat kita simpulkan secra
sederhana dan mudah untuk memahami pengertian siyasah. Siyasah berarti suatu
organisasi yang dengannya rakyat diorganisir atau diarahkan dengan cara-cara
tertentu untuk kehidupan yang baik. Munculnya istilah siyasah sar’iyah, berarti
setiap kebijakan penguasa politik hendaknya didasarkan atas ketentuan syariat,
sebagaimana digariskan oleh Allah dan rasulnya.
3. Ruang Lingkup Kajian Siyasah Islam

Ibnu al-Qayyim mengutip dalam bukunya at-Turuq al-Hukumiyah dari

Ibnu ‘Aqil dan dikutip kembali oleh Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan

bahwa politik islam sebagai sarana bagi umat manusia menuju kebahagiaan yang

lebih baik dan terhindar dari kerusakan.

1
Rizal Qosim, Pengamalan FIKIH 3, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
Solo, 2009, hlm. 3-4.

4
Dalam karya besar Abdul Wahhab Khallaf, persoalan fungsi politik atau

pemerintah Islam, dibahas dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul as-

siyasah as-syari’ah. Pembahasan politik islam (menurut Abdul Wahhab Khallaf)

terkaik pada beberapa persoalan berikut.

a. Islam menjamin politik yang adil.


b. Terkait pada persoalan pembentukan perundang-undangan.
c. kebebasan individu dan asas persamaan.
d. Hubungan negara islam dan non islam.
e. Membuat peraturan perdamaian, keuangan, perpajakan,
pendayagunaan keuangan, pemungutan sumber keuangan dan
penyalurannya.
Selaain membahas persoalan diatas, politik islam juga mengkaji berbagai
persoalan, seperti sejarah politik Nabi Muhammad saw., mazhab-mazhab politik
yang muncul pasca Nabi Muhammad saw. Wafat, aliran-aliran dan para tokoh
serta konsep pemikirannya, serta kajian mendalam dalam konteks aplikasi dan
realisasi dan realisasi ajaran islam di era globalisasi. 2
B. Khilafah menurut Islam

1. Pengertian Khilafah
Kata khilafah sinoni dengan kata imamah (imam) berarti orang yang
mengurus pemerintahan. Menurut ibnu khaldun, khalifah adalah orang yang
memerintah rakyat sesuai dengan hukum syara’ demi kebaikan akhirat mereka,
juga kebaikan dunia yang kembali pada kepentingan akhirat. Dengan demikian
khilafah pada hakikatnya menggantikan pembuat syara’ (sahib as-syara’) dala
menjaga agama dan politik dunia.
Penjeasan tersebut menunjukn bahwa khilafah berdiri pada posisi
rasulullah saw. Yang sepanjang hidunya bertindak mengurusi persoalan agama,
yang diturunkan kepadanya dari allah yang mahakuasa dan menugaskan

2
Ibid., hlm... 4-6.

5
kepadanya atas pelaksanaan dan pemeliharaannya, sebagaimana halnya
pelimpahannya agar menyampaikannya dan mendakwahkannya kepada manusia.
Prof. Dr. Khurshid Ahmad dalam tulisannya The Political Framework Of
Islam, mengungkapkan bahwa dimensi demokrasi dan hak asasi manusia
mendapat perhatian yang sangat serius.
Pemerintahan Islam (khilafah) sangat menjunjung nilai-nilai demokrasi
dan hak asasi manusia. Demokrasi islam memberika hak sepenuhnya kepada umat
islam untuk pengurusan negara, terutama persamaan hak dalam memilih dan
untuk di Pilih. Demikian juga, Islam menghormati hak-hak asasi warga negara
yang meliputi adanya persamaan nyata dalam penghidupan, makana, pakaian,
tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
Lebih lanjut A. Hasymi dalam bukunya DI Mana Letaknya Negara Islam,
menyebutkan beberapa ciri demokrasi Islam sebagai berikut.
1. Islam tidak mencegah wanita ikut serta dalam urusan negara.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dalam politik.
2. Islam tidak melarang golongan budak ikut dalam urusan negara.
Mereka memiliki hak yang sama dalam politik seperti warga lainnya.
3. Islam tidak melarang angkatan perang aktif dalam politik.
3. Sumber Hukum Khilafah dalam Islam
Al-Qur’an tidak membicarakan bentuk pemerintahan islam secara jelas.
Artinya, Al-Qur’an tidak mewajibkan untuk adanya suatu negara atau institusi
politik islam. Namun demikian, terdapat ulama yang berpandangan bahwa
pemerintahan islam merupakan ketentuan nas Al-Qur’an.
Sumber hukum yang sering dipakai sebagai dasar perlunya khilafah dalam
islam adalah Surah An-Nisa’ ayat 59, hadis Rasulullah saw, dan ijma’ para
sahabat Nabi saw.
a. Surah An-Nisa’ ayat 59
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah allah dan taatilah rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada allah (Al-Qur’an) dan

6
rasul (sunahnya), jika dan kamu beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa’/4:59)
b. Hadis Rasulullah saw.
ِ ‫ق إِنَّ َما ال َّطاعَةَ فِي ا ْل َم ْع ُر ْو‬
‫ف‬ ٍ ‫الَ َطاعَةَ ِل َم ْخلُ ْو‬
ِ ‫ق فِ ْي َم ْع ِصيَ ِة ا ْل َخا ِل‬
Artinya:
Tidak ada ketaatan terhadap kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan itu
pada kebaikan. (H.R. al-Bukhari dari ‘Ali: 6716)

c. Ijma’ Sahabat
Ijma’ para sahabat nabi muhammad saw. Dan tabiin (setelah wafatnya
Rasulullah saw.) dapat dijadikan sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-
Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Mengenai perlu adanya Khilafah. Hal tersebut
pernah dilakukan para sahabat ketika membaiat Abu Bakar As-Siddiq untuk
diserahi berbagai urusan masyarakat. Demikian pula yang terjadi pada periode-
periode berikutnya. Kenyataan sejarah ini ditetapkan sebagai Ijma’ dan dijadikan
dalil atas wajibnya mengangkat seorang khalifah, sekaligus berdirinya badan
khalifah, yakni Khilafah. Kekhalifahan pada dasarnya pelimpahan kekuasaan dari
peletak syariat untuk memelihara agama dan dunia.
Secara normatif, Al-Qur’an, sunah, dan ijma’ masih diperdebatkan sebagi
sumber khilafah. Namun, sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Dalam
nuansa politis tidak dapat perdebatkan lagi.
4. Negara Islam dalam Lintasan Sejarah

Dalam sejarah panjang teori kenegaraan, ada teori negara disebut teokrasi
Islam. Teokrasi islam adalah pemerintah tidak diperintah oleh lapisan ulama, raja
atau orang tertentu, melainkan oleh seluruh masyarakat muslim termasuk rakyat
jelata. Semuanya mengendalikan negara sesuai dengan kitab Allah dan sunnanya.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan mengenai ciri-ciri negara
islam, antara lain
1. Undang-undang negara berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.
2. Kedaulatan ada di tangan rakyat di bawah kekuasaaaan tuhan.
3. Musyawarah terhadap persoalan yang tidak ada hukumnya.

7
4. Menghormati hak asasi manusia.
5. Sifat Negara Islam

Sifat negara islam adalah universal. Artinya, negara islam tidak semata
tertuju untuk kepentingan golongan saja, terutama bangsa Arab, melainkan islam
bersifat mondial, yakni ditujukan pada seluruh dunia. Bentuk universal itu diakui
oleh Al-Qur’an berdasarkan pada persamaan derajat, suku bangsa dihadapan
Tuhan (Allah swt), dan kesetiaan pengikut pada kepala negara (khilafah).
Dalam sistem politik islam, semua rakyat merupakan kesatuan (ummah),
saling menghormati antara satu dan lainnya. Mereka membuat ketentuan-
ketentuan bersama untuk keamanan dan ketentraman dalam bernegara.
Berdasarkan uraian mengenai sifat negara islam, dapat disimpulkan
beberapa hal berikut.
1. Negara bersifat universal.
2. Islam sebagai rahmat bagi umat manusia.
3. Mengutamakan keadilan dan saling menghormati.
4. Ada kebebasan bagi individu.
5. Mendahulukan yang hak, menolak yang batil.
6. Rakyat merupakan satu kesatuan.
7. Adanya kebebasan menentukan teologi.
6. Tujuan negara Islam
Tujuan didirikannya negara islam, antara lain sebagai berikut.
1. Menciptakan keadilan bagi seluruh umat manusia dengan ukuran yang
disyariatkan oleh syariat islamiah. Allah swt. Berfirman dalam surah ar
Rahman ayat 7-10.
Artinya:
Dan langit telah ditinggikannya dan dia ciptakan keseimbangan agar
kamu jangan merusak keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurani keseimbangan itu dan bumi dibentangkannya untuk
makhluknya. (Q.S. ar-Rahman/55:7-10) .
2. Membasmi segala bentuk kemaksiatan dan menganjurkan segala
bentuk kebaikan. Allah swt. Berfirman dalam surat Ali ‘imran ayat 104

8
Artinya:
Dan hendaknya di antara kamu ada segolongan orang yng menyeru
kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah
dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(Q.S. Ali Imran/3:104)
3. Sarana memperjuangkan nilai-nilai luhur islam dan mengatur umat
manusia agar terhindar dari penindasan. Allah swt. Berfirman dalam
surah al-Isra’ ayat 33.
Artinya:
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan satu (alasan) yang benar. Dan barang
siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi jangnlah walinya itu melampaui
batas dalam pembunuhan. Sesunggunhya dia adalah orang yang
mendapat pertolongan. (Q.S. al-Isra’/17:33)
4. Menciptakan kehidupan dialogis dan egalitrian. Allah swt. Berfirman
dalam surah Ali “Imran ayat 159.

Artinya:
...dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian,
apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah, kepada
Allah...(Q.S. Ali ‘Imran/3:159)
7. Karakteristik Figur Khalifah

Seorang pemimpin harus dapat menciptakan masyarakat yang damai dan


aman dari gangguan yang membahayakan kesetabilan kehidupan bermasyarakat.
Selain hal tersebut, sosok pemimpin harus seorang yang dapat menjaga amanah,
jujur dapat dipercaya, memiliki kecerdasan dan ilmu yang dalam, serta ahli dalam
lobi dan ahli dalam soal-soal agama.
Dalam kaitannya dengan pimpinan (khalifah) adalah seorang pilihn(orang
terbaik) dalam aspek pengetahuan agamanya, Allah swt. Berfirmandalam surah al-
Baqarah Ayat 143.

9
Artinya:
Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan”agar kamu menjadi saksi...(Q.S. al Baqarah/2:143)
Selain ayat di atas, Allah swt. Berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat
110.
Artinya:
Kamu (umat Islam)adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makuf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah... (Q.S.
Ali‘Imran/3:110)
Seorang yang tidak memiliki sifat kejujuran akan menciptakan kondisi
yang tidak sehat dalam tatanan hukum sosial. Demikian juga yang tidak berani
melawan kemungkaran.
Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyah menjelaskan
bahwa untuk mengangkat seorang pemimpin diperlukan beberapa syarat sebagai
berikut.
a. Seorang pemimpin harus adil.
b. Pemimpin harus berilmu dan mampu melakukan ijtihad.
c. Pemimpin harus sempurna pendengaran, pengelihatan, dan
ucapannya.
d. Pemimpin harus pandai berargumentasi dan membina politik
rakyat serta mengatur kemaslahatan.
e. Pemimpin harus berani berjuang melawan musuh.
f. Pemimpin harus dari nasab Quraisy.
Syarat pemimpin harus dari nasab Quraisy, tidak dapat dipakai lagi untuk
zaman sekarang, mengingat konsep nasab merupakan konsep fanatisme kesukuan
yang akan melahirkan perbedaan-perbedaan. Dan menurut Umar ibnu Sulaiman
ad-Damidji, seorang pemimpin yaitu beragama islam, berakal, laki-laki, merdeka,
adil, berilmu, memahami asalah dan mampu mencari jalan keluarnya, istikama,

10
dan berani, sabar dan mampu berlapang dada, tidak rakus jabaatan, dan dari
Quraisy.
8. Pengangkatan Dan Baiat Kepela Negara
Cara pengangkatan dan baiat kepala negara sebagai berikut.
a. Pengangkatan Kepala Negara
Pengangkatan kepala negara (khalifah) dapat dilakukan
melalui cara ikhtiari. Maksudnya diangkat melalui sistem
perwakilan, seperti lembaga MPR (di Indonesia) atau ahlul halli
wal-‘aqdi. Sistem tersebut, di masa sekarang sudah tidak berlaku
(tidak tepat), mengingat kondisi zaman sudah berubah. Demikian
juga rakyat lebih dewasa dan dapat bersikap demokratis.
Dalam sistem demokrasi, kepala negara diangkat melalui
pemilihan secara terbuka, seperti pada zaman Abu Bakar as-Siddiq.
Di Indonesia, seperti pengangkatan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
b. Baiat Khalifah
Istilah baiat berasal dari kata ba’a yang berarti menjual.
Baiat mengandung makna perjanjian, janji setia, atau saling
berjanji setia. Dalam pelaksanaannya, baiat selalu melibatkan dua
pihak secara sukarela.
Secara istilah, baiat berarti ungkapan perjanjian anatardua
pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang
dimilikinya, menyerahkan dirinya, dan kesetiaannya pada pihak
kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Artinya, dalam baiat
terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban
pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua
juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang
diterimanya.
Baiat mirip dengan teori kontrak sosial dalam teri politik
moderen, islam tidak menetapkan sebuah sistem baku dalam hal
baiat atau sumpah bagi kepala negara. Masing-masing kepala

11
negara membuat aturan baiat sendiri-sendiri dan tentu tidak akan
sama antara satu negara dengan negara lainnya, baiat biasanya
diatur dalam undang-undang dasar, bunyinya menyesuaikan
dengan negara masing-masing.
Baiat atau sumpah presiden (istilah sekarang) biasanya
dibacakan di hadapan wakil-wakil rakyat di parlemen, lembaga
negara, dan secara langsung didengar oleh seluruh rakyat.
9. Kewajiban Khalifah Terhadap Agama Dan Rakyat
Secara garis besar, tugas seorang khalifah adalah
a. Membela menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang
disepakati, memberi keleluasan, kebebasan kepada rakyat dalam
masalah ijtihadiah yang bersangkutan dengan amal masing-masing,
baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan
pekerjaan, baik berupa ibadah maupun urusan penghidupan.
b. Menyelesaikan perselisihan dan mendamaikannya dengan seadil-
adilnya.
c. Menjaga keamanan agar masyarakat terasa naman dalam
melaksanakan kebutuhan sehari-hari mereka dan beribadah.
d. Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam setiap urusan
yang tidak ada nasnya yang qat’i, terutama dalam hal pengaturan
negara dan pembentukan undang-undang.
10. Kewajiban Rakyat Menaati Kepala Negara

Sepanjang kepala negara berjalan di atas garis politik islam dan


memperjuangkan kepentingan islam, memperjuangkan keadilan, menegakkan
amar makruf, dan mencegah kemungkaran, wajib untuk rakyat mendukungnya
dan terlarang untuk menurunkan dari jabatannya.
Menurut al-Mawardi, rakyat behak memecat kepala negaranya, seandainya
ia melakukan kesalaha dan tdak memenuhi janjinya dalam baiat yang diucapkan,
seperti undang-undang dasar, menyalahi Al-Qur’an dan hadis, menghina islam,
atau tidak berkeadilan.

12
Hak memecat dapat diperlakukan jika kepala negara melakukan
pelanggaran kehormatan diri dan kesetiaan terhadap negara, termasuk kekurangan
pancaindra yang menyebabkan hilangnya kesanggupan dalam menjalnkan tugas
negara.3
C. Majelis Syura dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam Islam
Majelis syura’ dan ahlul halli “aqdi hendaklah diisi oleh orang-orang yang
memiliki pengetahuan baik tentang nas-nas Alqur’an dan sunah, mempunyai
pengertian yang mendalam (ulul albab), dan menyadari betul tuntutan-tuntutan
sosiologis masyarakat dan urusan keduniaan pada umumnya.

1. Majlis syura’
Syura’ diambil dari akar kata bahasa Arab (syawara-yusawiru) yang
berarti menjelaskan, menyatakan, mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-
bentuk lain yang berasal dari kata syawara adalah tasyawara bererti berunding,
saling tukar pendapat, syawir berarti meminta pendapat atau musyawarah. Syura’
atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling
meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara. Jadi kata syura’ dan
jenisnya dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi permusyawaratan atau hal
bermusyawarah dalam bahasa Indonesia.
Majelis syura’ juga dapat diartikan sebagai tempat atau majelis tukar-
menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam
memecahkan suatu masalah sebelum sampai kepada konklusi bagi keputusan-
keputusan prinsip konstitusional.
Dalam budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut majelis
syura, dan populer dengan istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau
badan legislatif. Majelis syura’ pada zaman Nabi saw. Lebih dikenal dengan
majelis sahabat. Nabi saw. Adalah sosok figur yang banyak bermusyawarah
dalam segala urusan dan menetapkan segala sesuatunya dengan adil. Asas
musyawarah dalam Islam didasarkanpada surah Ali Imran ayat 159.

3
Ibid., hlm...6-16

13
...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah...(Q.S. Ali
Imran/3:159)
2. Ahlul Halli wal ‘Aqdi
a. Pengertian Ahlul Halli wal ‘Aqdi
Pengertian Ahlul halli wal’aqdi diartikan dengan orang-orang yang
mempunyai wewenang melonggar dan mengikat,. Istilah tersebut
dirumuskan para ahli fikih sebagai sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
b. Karakteristik Anggota Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
Karakteristik anggota ahlul halli wal ‘aqdi, antara lain
1. Harus orang-orang yang jujur dan ikhlas dalam
menjalankan tugas.
2. Konsekuen, teratur , dan berdasarkan prosedur yang benar.
3. Bertakwa kepada Allah swt.
4. Berlaku adil, tidak memihak, dan tidak diskriminatif.
5. Memilikiketajaman berfikir dan berwawasan luas, dan tidak
picik.
6. Berjuang untuk kepentingan umat.
7. Kesetiaan yang tinggi terhadap agama Islam.
c. Tugas pokok ahlul halli wal ‘aqdi
Tugas pokok ahlul halli wal ‘aqdi, antara lain
1. Menjalankan tugas keamanan dan pertahanan, serta urusan lain
yang bertalian dengan kemaslahatan umat.
2. Berhak mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kepala negara
yang melanggar dan bertentangan dengan perintah agama.
3. Berhak membatasi kekuasaan kepala negra melalui pembentukan
undang-undang.4

4
Ibid., hlm... 17-18

14
BAB III

SUMBER HUKUM ISLAM

Dan pada bab II semester I siswa akan belajar materi tentang “SUMBER
HUKUM ISLAM” berikut ini:

A. Sumber Hukum yang Disepakati dan Tidak Disepakati Ulama

1. Pengertian Sumber Hukum Islam

Hukum menurut bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak


menetapkannya. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab
atau perintah Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk memilih atau
mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagaisebab,
syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal rukhsah, dan azimah.

Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau


menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan
demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan
atau pedoman syari’at islam

Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam
adalah al Qur’an dan Hadis. Rasulullah SAW bersabda: “aku tinggalkan bagi
kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya,
selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (al Qur’an) dan
sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi).5

5
https://spupe07.wordpress.com/2010/01/09/sumber-hukum-islam/.
diakses pada hari minggu 12 maret 2017 pukul 21.00.

15
2. Sumber Hukum yang Disepakati

Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat


menetapkan empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas)
sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak
menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru
Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa
sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan
madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-
Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas
sebagai dalil yang disepakati.

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

a. Al-Qur’a n

1. Definisi

Al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita
dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.

Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa


kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya
kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun
dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan
jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai
suatu ibadah.6

6
Abdurrahman dahlan, ushul fiqh, Jakarta: 2014),hlm 115

16
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur


jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika
umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada
al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol
dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya
kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.

Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem


kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial,
ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia
diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

b. As-Sunnah

1. Definisi As-Sunnah

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan


kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun
taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.7 Sesuai dengan tiga hal tersebut
yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam


beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau yang
art5nya sebagai berikut.

Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR.


Malik).

7
Ibid…hlm, 130

17
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan
memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat
kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

2. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya


tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan
menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya,
menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

3. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian


sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang
tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan
atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.

2. Kehujjahan As-Sunnah

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain


didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga
didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat
menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama
telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam
menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah
(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah)
misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah
(yang dikhususkan bagi Nabi).

18
c. Ijma’

1. Definisi

Iijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam


pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara
tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang
dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu
waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai
kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.8

2. Kehujjahan Ijma’

Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah


mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid
tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat
dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid)
dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa
sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam
menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka
dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan
masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif
ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu
undang-undang syar’ yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.

Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa


ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati
Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil
Amri sebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum
hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
8
Djazuli, ilmu fiqh,penggalian,perkembangan,dan penerapan hokum
islam (Jakarta : 2005), kencana, hlm. 73

19
3. Macam-Macam Ijma’

Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :

1. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu


terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-
masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa
atau memberi keputusan.

2. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu


mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu
kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
persesuaiannya atau perbedaannya.

Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya,


ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.

1. Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah


dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum
yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum
syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.

2. Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga


berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab
itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad
bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid

d. Qiyas

1. Pengertian

Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya


kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah

20
menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam
illat hukumnya.9 Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram
berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh
karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya
sama dengan khamr dan haram meminumnya.

2. Rukun-Rukun Al-Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut:

1. Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.


Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai
ukuran).

2. Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam


nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut
juga Al Maqis (yang diukur)

3. Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut


al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.

4. Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum


ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal
hukumnya.

3 . Sumber Hukum yang Tidak Disepakati

Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan
tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang
menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian
9
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama,
1999),hlm. 152

21
yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang
tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-
Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan
Syaru Man Qablana.

1. Isthisan

Istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada


hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar dalil syara”.

a. Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar


hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah
menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan
pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan


menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih
enak.

22
b. Kehujjahan Isthisan

Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh


menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan
bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena
adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati
mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah
bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan
segi Isthisan”.

2. Isthisab

Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-


istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang
disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-
Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya
suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad,


istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang
mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’
atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama
yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia
harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu
ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana),
maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik

23
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika
ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah
bahwa hukum itu tetap berlaku”.

a. Jenis-jenis Istishhab

Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini.


Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:

a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram
jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang
masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum
asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya
adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil
yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau
dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas

b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya


seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia
untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu

c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan


dengan masalah yang masih diperselisihkan.

b. Kehujjahan Isthisab

Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali


seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata
:”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia

24
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap
baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”

3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)

Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah.
Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat
dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa
maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat dan menjauhkan madharat
Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat”

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap


syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud
syari’at (ushulul khomsah).

Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak ‫ غير مقيد‬yaitu


maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah
maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa
menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.

Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3


syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.

1. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal,


maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-
perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.

2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah

3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan


(raf’ul haraj).

25
a. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur


Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah
adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’
atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang
dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas
dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti
pengakuan dari syara’”.

Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan


Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang
tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya
maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum.

Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas


maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka
akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti
mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.

Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada


prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam
menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan
maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau
ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan
itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau
jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash
sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah

26
menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas
menerapkannya.

4. ‘Urf

a. Pengertian

‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam


arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh
pikiran yang sehat.10 Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah
sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
maenjadikan tradisi.

b. Pembagian ‘Urf

1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam

a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan,


seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk
daging ikan

b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan,


seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa
mengucaplan akad jual-beli.

2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :

a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima,


karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’

10
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika,
hlm. 112

27
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena
bertentangan dengan hukum syara

3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :

a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat


sejaka dahulu hingga sekarang

b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal


pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat
tetentu.

c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum Islam

1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al
Qur’an atau as Sunnah.

2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at


termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau
kesempitan..

3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan


beberapa orang saja.

d. Kehujjahan ’urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan


perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan syara’

28
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya,
karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir
yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.

B. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad

Pengertian Ijtihad secara termologis adalah mencurahkan seluruh


kemampuan dalam mencari syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad termasuk
sumber-sumber hukum islam yang ketiga setelah Al-Qu'an, Hadist, yang memiliki
fungsi dalam menetapkan suatu hukum dalam islam. Orang yang melakukan
ijtihad disebut dengan mujtahid. Pengertian Ijtihad secara umum adalah sebuah
usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal
sehat dan juga pertimbangan matang.
Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah
kepada Allah di tempat dan waktu tertentu. sedangkan Fungsi Ijtihad adalah untuk
mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan
hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad
sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam,
namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang
tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid.11
2. Syarat-syarat ijtihad

Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad
Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :

11
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-
ijtihad.html. diakses pada hari senin tanggal 13 Maret 2017 pukul 22.00.

29
1. Mengetahui Bahasa Arab

Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang


mujtahid. Sebab Al Quran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga
dipaparkan dalam bahasa arab. Keduanya merupakan sumber utama hukum islam,
sehingga tidak mungkin seseorang bisa mengistinbatkan hukum islam tanpa
memahami bahasa arab dengan baik.
2. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran

Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini


sangat diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran merupakan sumber
utama hukum syara’, sehingga mustahil bagi seseorang yang ingin menggali
hukum-hukum syara’ tanpa memeiliki pengetahuan yang memadai tentang Al
Quran.
3. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah

Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus


dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan sumber utama
hukum syara’ disamping Al Quran yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya.
Pengetahuan yan terkait dengan Al Sunnah ini yang terpenting antara lain
mengenai dirayah dan riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa ta’dil.
4. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf

Penegetahuan tentang hal-hal yang telah disepakati (ijma’) dan hal-hal


yang masih diperselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal
ini dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang
bertentangan dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik sahabat, thabi’in,
maupun generasi setelah itu. Oleh karena itu sebelum membahas suatu
permasalahan, seorang mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang akan
dibahas. apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman terdahulu atau
belum, jika persoalan itu belum pernah muncul sebelumnya, maka dapat
dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah tersebut.

30
5. Mengetahui Maqashid al-Syariah

Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi seorang


mujtahid, hal ini disebabkan bahwa semua keputusan hukum harus selaras dengan
tujuan syariat islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada
alam semesta, khususnya kemaslahatan manusia.
6. Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar

Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus
dimilki oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
7. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih

Penguasaan secara mendalam tentang ushul fiqih merupakan kewajiban


bagi setiap mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian ushul fiqih antara lain
memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja
yang ingin beristinbat hukum.
8. Niat dan I’tikad yang benar

Seorang mujtahid harus berniat yang ikhlas semata-mata mencari ridho


Allah. Hal ini sangat diperlukan, sebab jika mujtahid mempunyai niat yang tidak
ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan
pikirannya sangat besar, sehingga berakibat pada kesalahan produk ijtihadnya.
3. Metode Ijtihad
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad
dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Metode atau
cara berijtihad adalah:
a. Ijma, adalah persetujuan atau kessuaian pendapat para ahlu mengenai
suatu masalah pada suatu tempat disuatu masa.
b. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya di dalam Al-Quran dan As Sunnah dengan hal (lain) yang
hukumnya disebut dalam Al Quran dan sunnah Rasul karena persamaan
illatnya.

31
c. Istidlal, menetapkan dalil suatu peristiwa.
d. Mashlahah Mursalah, adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Quran maupun dalam kitab-
kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau
kepentingan umum.
e. Istihsan, adalah cara menemukan hukum dengan cara menyimpang dari
ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan
adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan.
f. Istihsab, adalah menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
g. Urf, adalah yang tidak bertentangan hukum islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Kehujjahan ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum berdasarkan :
a. Dalil dari Al Quran

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya).
Yang dimaksud mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut
ialah mengikuti sesuatu yang telah diketahui melalui nash Al Quran dan
As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Allah
dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah menghindari untuk
mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang telah di syariatkan Allah
dan Rasul-Nya dengan meneliti nash-nash yang kadang-kadang
tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum
atau merealisir maqashidu syariah.

32
b. Dari hadits Rasulallah SAW

Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang menerangkan sewaktu ia di utus ke


Yaman :
‫ كيف تقضي إذا عرض لك القضاء ؟‬: ‫قال النبى‬
‫ أقض بكتاب هللا‬: ‫قال معاذ‬
‫ فإن لم تجد فى كتاب هللا ؟‬: ‫قال النبى‬
‫ فبسنة رسول هللا‬: ‫قال معاذ‬
‫ فإن لم تجد فى سنة رسول هللا ؟‬: ‫قال النبى‬
‫ فضرب رسول هللا صلعم صدره وقال الحمد هلل وفق رسول هللا لما يرض‬. ‫ أجتهد رأيي والألوا‬: ‫قال معاذ‬
‫هللا ورسول هللا‬
c. Menurut logika
Allah menciptakan islam sebagai penutup agama-agama dan
menjadikan syariatnya cocok untuk setiap tempat dan waktu. Sebagaimana
kita ketahui nash-nash dari Al Quran dan Al Hadits terbatas jumlahnya.
Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para manusia selalu timbul
dengan tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa nash-nash
yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menentukan peristiwa-
peristiwa manusia yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang
tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa
baru tanpa melalui ijtihad.12
5. Tingkatan-tingkatan Mujtahid

Mujtahid terbagi kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil,


mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih .
1. Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi, disebut juga
sebagai al-mujtahid fi al-Syar’i, atau Mujtahid Mutlaq. Untuk sampai ke
tingkat ini seseorang harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka
disebut mujtahid mustaqil, yang berarti independen, karena mereka
terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat

12
http://www.kumpulanmakalah.com/2016/11/ijtihad-sebagai-sumber-
hukum-islam.html.diakses pada hari selasa taggal 14 Maret pukul 21.00.

33
(ushul fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri
mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang menerapkan
metode instinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fikig.
Contohnya, para imam mujtahid yang empat orang, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh,
meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun
tetap berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka
bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan seorang mustaqil. Menurut
Ibn ‘Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mashab Hanafi, seperti
dikutip Satria Efendi, termasuk dalam kelompok ini murid-murid Abu
Hanifah, seperti Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Qadhi Abu
Yusuf. Dari kalangan Syafi’iyah antara lain adalah al-Muzanni, dan dari
kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-Qasim, dan Abdullah
bin wahhab. Mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang
mujtahid mustaqil karena memakai metode istinbatnya.
3. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahd yang dalam Ushul Fiqh
dan furu’ bertaklid kepada imam mujahid tertentu. Mereka disebut
mujtahid karena mereka berijtihad mengistibatkan hukum pada
permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku
mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi
melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan
hukumnya dalam buku-buku fikhih mazhabnya. Misalnya, Abu Al-Hasan
karkhi (260 H-340H), Abu ja’far at – Thahawi (230 -321 H) dan al-Hasan
bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan hanafiyah, Muhammad bin Abdullah
al-Abhari (289 H-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid
al-Asfrini (344 H-406 H) dari kalangan syafi’iyah.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan
mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai
mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau
memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada,

34
dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama
mujtahid sebelumnya. Dengan metode ini, ia sanggup mengemukakan di
mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.13

13
http://zairifblog.blogspot.co.id/2010/11/tingkatan-tingkatan-
mujtahid.html. diakses pada hari selasa tanggal 14 Maret 2017 pukul 22.00.

35
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pada mata pelajaran fikih kelas XII semester I, peserta didik di Madrasah
Aliyah akan mempelajari Bab I yakni “SIYASAH SYAR’IYAH “ dimana sub-
sub materinya dibagi menjadi beberapa bagian seperti:
a. Tinjauan umum tentang Siyasah
b. Khilafah menurut Islam
c. Majlis Syura’ dan Halli wal ‘Aqdi dalam Islam

Dengan belajar materi-materi diatas maka siswa akan mengetahui sejarah


politik dalam Islam, Khilafah menurut Islam dan apa yang dimaksud dengan
majlis syura’.
Dan pada Bab II peserta didik akan belajar “SUMBER HUKUM
ISLAM” yang mempunyai sub-sub materi seperti:
a. Sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati ulama
b. Penerpan Sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati ulama
c. Ijtihad

Pada materi-materi di semester ini, peserta didik dituntut untuk


mengetahui dan memahami bagaimana “SIYASAH SYAR’IYAH “ dalam Islam
dan apa saja “SUMBER HUKUM ISLAM” yang kemudian boleh di jadikan
dalil dalam menentukan suatu hukum terhadap sesuatu.

36
DAFTAR PUSTAKA
Qosim, Rizal. 2009. Pengamalan FIKIH 3.Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri
https://spupe07.wordpress.com/2010/01/09/sumber-hukum-islam/. diakses pada
hari minggu 12 maret 2017 pukul 21.00.
Dahlan, Abdurrahman. 2014.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Djazuli. 2005. Ilmu fiqih,penggalian,perkembangan,dan penerapan hokum islam.
Jakarta : Kencana.
Wahab Kallaf, Abdul. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama.
Sulaiman, Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.

37

Anda mungkin juga menyukai