PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan peningkatan dari fiqh yang telah
dipelajari oleh siswa di Madrasah Tsanawiyah/SMP. Peningkatan tersebut
dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqih
baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqih serta menggali tujuan dan
hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi
dan untuk hidup bermasyarakat.
Secara substansial mata pelajaran Fiqih memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktikkan dan menerapkan
hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesame manusia, makhluk lainnya ataupun
lingkungannya.
Selaras dengan pernyataan di atas, mata pelajaran Fiqh di Madrasah
Aliyah bertujuan untuk: (1) Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip, kaidah-
kaidah dan tata cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek
ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan
pribadi dan sosial; (2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam
dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan
ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan
diri manusia itu sendiri, sesame manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan
dengan lingkungannya; (3)Mengenal, memahami, dan menghayati terhadap
sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqih sebagai metode penetapan
dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) Menerapkan kaidah-kaidah
dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari
dalil-dalilnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa materi fiqih kelas XII semester I di tingkat Madrasah
Aliyah?
2. Apa saja materi fiqih di Madrasah Aliyah kelas XII semester I?
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis materi fiqih kelas XII semester I di tingkat
Madrasah Aliyah.
2. Untuk mengetahui materi fiqih kelas XII semester I di tingkat Madrasah
Aliyah
2
BAB II
SIYASAH SYAR’IYAH
Pada Bab I semester I mata pelajaran FIKIH MA kelas IIX siswa akan
belajar tentang
“SIYASAH SYAR’IYAH” yang terbagi kedalam beberapa pembahasan dibawah
ini:
A. Tinjauan Umum tentang Siyasah
Asal kata ‘politik’ polis (bahasa Yunani) berarti kota atau negara kota.
Dari kata itu, kemudian diturunkan kata polites yang berarti warga negara.
Politikos sebagai kata ajektif berarti’kewarganegaraan’. Kata ini
menurunkan kata politike te akne yang berarti kemahiran politik. Secara
sederhana, politik dapat dimaknaisebagai sebuah usaha untuk mencapai
(mewujudkan) cita-cita atau ideologi. Untuk pertama kalinya, istilah ideologi
dicetuskan filsuf berkebangsaan prancis, Antoine Destutt de Tracy sewaktu terjadi
Revolusi Prancis.
Ideologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang mampu
memberikan penjelasan, sekaligus jastifikasi terhadap tertib politik yang ada
ataupun yang didambakan oleh masyarakat, termasuk didalamnya startegi untuk
merealisasikannya.
Politik dapat disimpulkan bahwa antara politik sebgai sebuah aktivitas dan
politik sebagai goverment (pemerintahan) tidaklah saling bertentangan, melainkan
saling menjelaskan. Para ahli politik menetapkan beberapa fungsi politik yang
meliputi empat hal pokok, yaitu
1. Menjaga ketertiban (maintaining order)
2. Penyelesaian pertikaian (resolving conflict)
3. Berkeadilan (achieving justice)
3
4. Pemenuhan kesejahteraan (providing a good life)
Adapun yang perlu kita pahami tentang pengertian politik adalah proses
sosial yang ditandai oleh berbagai pertentangan dan persaingan dalam perebutan
kekuasaan. 1
2. Siyasah Syar’iyah
Dalam tradisi Islam, istilah politik dikenal dengan siyasah. Siyasah adalah
kebijakan atau organisasi. Dengan kebijakan, rakyat diorganisasi atau diarahkan
dengan cara-cara tertentu menurut islam untuk kehidupan yang baik.
Dalam kitab-kitab fiqih, kata politik dikenal dengan istilah Dalam kitab-
kitab fiqih, kata politik dikenal dengan istilah siyasah. Kata tersebut berasal dari
akar sasa, yasusu, siyasatan berarti memerintah, mengadministrasi, mengatur,
management, atau mengarahka binatang (khususnya kuda).
Dari beberapa pengertian siyasah di atas, dapat kita simpulkan secra
sederhana dan mudah untuk memahami pengertian siyasah. Siyasah berarti suatu
organisasi yang dengannya rakyat diorganisir atau diarahkan dengan cara-cara
tertentu untuk kehidupan yang baik. Munculnya istilah siyasah sar’iyah, berarti
setiap kebijakan penguasa politik hendaknya didasarkan atas ketentuan syariat,
sebagaimana digariskan oleh Allah dan rasulnya.
3. Ruang Lingkup Kajian Siyasah Islam
Ibnu ‘Aqil dan dikutip kembali oleh Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan
bahwa politik islam sebagai sarana bagi umat manusia menuju kebahagiaan yang
1
Rizal Qosim, Pengamalan FIKIH 3, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
Solo, 2009, hlm. 3-4.
4
Dalam karya besar Abdul Wahhab Khallaf, persoalan fungsi politik atau
pemerintah Islam, dibahas dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul as-
1. Pengertian Khilafah
Kata khilafah sinoni dengan kata imamah (imam) berarti orang yang
mengurus pemerintahan. Menurut ibnu khaldun, khalifah adalah orang yang
memerintah rakyat sesuai dengan hukum syara’ demi kebaikan akhirat mereka,
juga kebaikan dunia yang kembali pada kepentingan akhirat. Dengan demikian
khilafah pada hakikatnya menggantikan pembuat syara’ (sahib as-syara’) dala
menjaga agama dan politik dunia.
Penjeasan tersebut menunjukn bahwa khilafah berdiri pada posisi
rasulullah saw. Yang sepanjang hidunya bertindak mengurusi persoalan agama,
yang diturunkan kepadanya dari allah yang mahakuasa dan menugaskan
2
Ibid., hlm... 4-6.
5
kepadanya atas pelaksanaan dan pemeliharaannya, sebagaimana halnya
pelimpahannya agar menyampaikannya dan mendakwahkannya kepada manusia.
Prof. Dr. Khurshid Ahmad dalam tulisannya The Political Framework Of
Islam, mengungkapkan bahwa dimensi demokrasi dan hak asasi manusia
mendapat perhatian yang sangat serius.
Pemerintahan Islam (khilafah) sangat menjunjung nilai-nilai demokrasi
dan hak asasi manusia. Demokrasi islam memberika hak sepenuhnya kepada umat
islam untuk pengurusan negara, terutama persamaan hak dalam memilih dan
untuk di Pilih. Demikian juga, Islam menghormati hak-hak asasi warga negara
yang meliputi adanya persamaan nyata dalam penghidupan, makana, pakaian,
tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
Lebih lanjut A. Hasymi dalam bukunya DI Mana Letaknya Negara Islam,
menyebutkan beberapa ciri demokrasi Islam sebagai berikut.
1. Islam tidak mencegah wanita ikut serta dalam urusan negara.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dalam politik.
2. Islam tidak melarang golongan budak ikut dalam urusan negara.
Mereka memiliki hak yang sama dalam politik seperti warga lainnya.
3. Islam tidak melarang angkatan perang aktif dalam politik.
3. Sumber Hukum Khilafah dalam Islam
Al-Qur’an tidak membicarakan bentuk pemerintahan islam secara jelas.
Artinya, Al-Qur’an tidak mewajibkan untuk adanya suatu negara atau institusi
politik islam. Namun demikian, terdapat ulama yang berpandangan bahwa
pemerintahan islam merupakan ketentuan nas Al-Qur’an.
Sumber hukum yang sering dipakai sebagai dasar perlunya khilafah dalam
islam adalah Surah An-Nisa’ ayat 59, hadis Rasulullah saw, dan ijma’ para
sahabat Nabi saw.
a. Surah An-Nisa’ ayat 59
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah allah dan taatilah rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada allah (Al-Qur’an) dan
6
rasul (sunahnya), jika dan kamu beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa’/4:59)
b. Hadis Rasulullah saw.
ِ ق إِنَّ َما ال َّطاعَةَ فِي ا ْل َم ْع ُر ْو
ف ٍ الَ َطاعَةَ ِل َم ْخلُ ْو
ِ ق فِ ْي َم ْع ِصيَ ِة ا ْل َخا ِل
Artinya:
Tidak ada ketaatan terhadap kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan itu
pada kebaikan. (H.R. al-Bukhari dari ‘Ali: 6716)
c. Ijma’ Sahabat
Ijma’ para sahabat nabi muhammad saw. Dan tabiin (setelah wafatnya
Rasulullah saw.) dapat dijadikan sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-
Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Mengenai perlu adanya Khilafah. Hal tersebut
pernah dilakukan para sahabat ketika membaiat Abu Bakar As-Siddiq untuk
diserahi berbagai urusan masyarakat. Demikian pula yang terjadi pada periode-
periode berikutnya. Kenyataan sejarah ini ditetapkan sebagai Ijma’ dan dijadikan
dalil atas wajibnya mengangkat seorang khalifah, sekaligus berdirinya badan
khalifah, yakni Khilafah. Kekhalifahan pada dasarnya pelimpahan kekuasaan dari
peletak syariat untuk memelihara agama dan dunia.
Secara normatif, Al-Qur’an, sunah, dan ijma’ masih diperdebatkan sebagi
sumber khilafah. Namun, sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Dalam
nuansa politis tidak dapat perdebatkan lagi.
4. Negara Islam dalam Lintasan Sejarah
Dalam sejarah panjang teori kenegaraan, ada teori negara disebut teokrasi
Islam. Teokrasi islam adalah pemerintah tidak diperintah oleh lapisan ulama, raja
atau orang tertentu, melainkan oleh seluruh masyarakat muslim termasuk rakyat
jelata. Semuanya mengendalikan negara sesuai dengan kitab Allah dan sunnanya.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan mengenai ciri-ciri negara
islam, antara lain
1. Undang-undang negara berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.
2. Kedaulatan ada di tangan rakyat di bawah kekuasaaaan tuhan.
3. Musyawarah terhadap persoalan yang tidak ada hukumnya.
7
4. Menghormati hak asasi manusia.
5. Sifat Negara Islam
Sifat negara islam adalah universal. Artinya, negara islam tidak semata
tertuju untuk kepentingan golongan saja, terutama bangsa Arab, melainkan islam
bersifat mondial, yakni ditujukan pada seluruh dunia. Bentuk universal itu diakui
oleh Al-Qur’an berdasarkan pada persamaan derajat, suku bangsa dihadapan
Tuhan (Allah swt), dan kesetiaan pengikut pada kepala negara (khilafah).
Dalam sistem politik islam, semua rakyat merupakan kesatuan (ummah),
saling menghormati antara satu dan lainnya. Mereka membuat ketentuan-
ketentuan bersama untuk keamanan dan ketentraman dalam bernegara.
Berdasarkan uraian mengenai sifat negara islam, dapat disimpulkan
beberapa hal berikut.
1. Negara bersifat universal.
2. Islam sebagai rahmat bagi umat manusia.
3. Mengutamakan keadilan dan saling menghormati.
4. Ada kebebasan bagi individu.
5. Mendahulukan yang hak, menolak yang batil.
6. Rakyat merupakan satu kesatuan.
7. Adanya kebebasan menentukan teologi.
6. Tujuan negara Islam
Tujuan didirikannya negara islam, antara lain sebagai berikut.
1. Menciptakan keadilan bagi seluruh umat manusia dengan ukuran yang
disyariatkan oleh syariat islamiah. Allah swt. Berfirman dalam surah ar
Rahman ayat 7-10.
Artinya:
Dan langit telah ditinggikannya dan dia ciptakan keseimbangan agar
kamu jangan merusak keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurani keseimbangan itu dan bumi dibentangkannya untuk
makhluknya. (Q.S. ar-Rahman/55:7-10) .
2. Membasmi segala bentuk kemaksiatan dan menganjurkan segala
bentuk kebaikan. Allah swt. Berfirman dalam surat Ali ‘imran ayat 104
8
Artinya:
Dan hendaknya di antara kamu ada segolongan orang yng menyeru
kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah
dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(Q.S. Ali Imran/3:104)
3. Sarana memperjuangkan nilai-nilai luhur islam dan mengatur umat
manusia agar terhindar dari penindasan. Allah swt. Berfirman dalam
surah al-Isra’ ayat 33.
Artinya:
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan satu (alasan) yang benar. Dan barang
siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, kami telah memberi
kekuasaan kepada walinya, tetapi jangnlah walinya itu melampaui
batas dalam pembunuhan. Sesunggunhya dia adalah orang yang
mendapat pertolongan. (Q.S. al-Isra’/17:33)
4. Menciptakan kehidupan dialogis dan egalitrian. Allah swt. Berfirman
dalam surah Ali “Imran ayat 159.
Artinya:
...dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian,
apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah, kepada
Allah...(Q.S. Ali ‘Imran/3:159)
7. Karakteristik Figur Khalifah
9
Artinya:
Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan”agar kamu menjadi saksi...(Q.S. al Baqarah/2:143)
Selain ayat di atas, Allah swt. Berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat
110.
Artinya:
Kamu (umat Islam)adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makuf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah... (Q.S.
Ali‘Imran/3:110)
Seorang yang tidak memiliki sifat kejujuran akan menciptakan kondisi
yang tidak sehat dalam tatanan hukum sosial. Demikian juga yang tidak berani
melawan kemungkaran.
Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyah menjelaskan
bahwa untuk mengangkat seorang pemimpin diperlukan beberapa syarat sebagai
berikut.
a. Seorang pemimpin harus adil.
b. Pemimpin harus berilmu dan mampu melakukan ijtihad.
c. Pemimpin harus sempurna pendengaran, pengelihatan, dan
ucapannya.
d. Pemimpin harus pandai berargumentasi dan membina politik
rakyat serta mengatur kemaslahatan.
e. Pemimpin harus berani berjuang melawan musuh.
f. Pemimpin harus dari nasab Quraisy.
Syarat pemimpin harus dari nasab Quraisy, tidak dapat dipakai lagi untuk
zaman sekarang, mengingat konsep nasab merupakan konsep fanatisme kesukuan
yang akan melahirkan perbedaan-perbedaan. Dan menurut Umar ibnu Sulaiman
ad-Damidji, seorang pemimpin yaitu beragama islam, berakal, laki-laki, merdeka,
adil, berilmu, memahami asalah dan mampu mencari jalan keluarnya, istikama,
10
dan berani, sabar dan mampu berlapang dada, tidak rakus jabaatan, dan dari
Quraisy.
8. Pengangkatan Dan Baiat Kepela Negara
Cara pengangkatan dan baiat kepala negara sebagai berikut.
a. Pengangkatan Kepala Negara
Pengangkatan kepala negara (khalifah) dapat dilakukan
melalui cara ikhtiari. Maksudnya diangkat melalui sistem
perwakilan, seperti lembaga MPR (di Indonesia) atau ahlul halli
wal-‘aqdi. Sistem tersebut, di masa sekarang sudah tidak berlaku
(tidak tepat), mengingat kondisi zaman sudah berubah. Demikian
juga rakyat lebih dewasa dan dapat bersikap demokratis.
Dalam sistem demokrasi, kepala negara diangkat melalui
pemilihan secara terbuka, seperti pada zaman Abu Bakar as-Siddiq.
Di Indonesia, seperti pengangkatan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
b. Baiat Khalifah
Istilah baiat berasal dari kata ba’a yang berarti menjual.
Baiat mengandung makna perjanjian, janji setia, atau saling
berjanji setia. Dalam pelaksanaannya, baiat selalu melibatkan dua
pihak secara sukarela.
Secara istilah, baiat berarti ungkapan perjanjian anatardua
pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang
dimilikinya, menyerahkan dirinya, dan kesetiaannya pada pihak
kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Artinya, dalam baiat
terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban
pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua
juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang
diterimanya.
Baiat mirip dengan teori kontrak sosial dalam teri politik
moderen, islam tidak menetapkan sebuah sistem baku dalam hal
baiat atau sumpah bagi kepala negara. Masing-masing kepala
11
negara membuat aturan baiat sendiri-sendiri dan tentu tidak akan
sama antara satu negara dengan negara lainnya, baiat biasanya
diatur dalam undang-undang dasar, bunyinya menyesuaikan
dengan negara masing-masing.
Baiat atau sumpah presiden (istilah sekarang) biasanya
dibacakan di hadapan wakil-wakil rakyat di parlemen, lembaga
negara, dan secara langsung didengar oleh seluruh rakyat.
9. Kewajiban Khalifah Terhadap Agama Dan Rakyat
Secara garis besar, tugas seorang khalifah adalah
a. Membela menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang
disepakati, memberi keleluasan, kebebasan kepada rakyat dalam
masalah ijtihadiah yang bersangkutan dengan amal masing-masing,
baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan
pekerjaan, baik berupa ibadah maupun urusan penghidupan.
b. Menyelesaikan perselisihan dan mendamaikannya dengan seadil-
adilnya.
c. Menjaga keamanan agar masyarakat terasa naman dalam
melaksanakan kebutuhan sehari-hari mereka dan beribadah.
d. Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam setiap urusan
yang tidak ada nasnya yang qat’i, terutama dalam hal pengaturan
negara dan pembentukan undang-undang.
10. Kewajiban Rakyat Menaati Kepala Negara
12
Hak memecat dapat diperlakukan jika kepala negara melakukan
pelanggaran kehormatan diri dan kesetiaan terhadap negara, termasuk kekurangan
pancaindra yang menyebabkan hilangnya kesanggupan dalam menjalnkan tugas
negara.3
C. Majelis Syura dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam Islam
Majelis syura’ dan ahlul halli “aqdi hendaklah diisi oleh orang-orang yang
memiliki pengetahuan baik tentang nas-nas Alqur’an dan sunah, mempunyai
pengertian yang mendalam (ulul albab), dan menyadari betul tuntutan-tuntutan
sosiologis masyarakat dan urusan keduniaan pada umumnya.
1. Majlis syura’
Syura’ diambil dari akar kata bahasa Arab (syawara-yusawiru) yang
berarti menjelaskan, menyatakan, mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-
bentuk lain yang berasal dari kata syawara adalah tasyawara bererti berunding,
saling tukar pendapat, syawir berarti meminta pendapat atau musyawarah. Syura’
atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling
meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara. Jadi kata syura’ dan
jenisnya dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi permusyawaratan atau hal
bermusyawarah dalam bahasa Indonesia.
Majelis syura’ juga dapat diartikan sebagai tempat atau majelis tukar-
menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam
memecahkan suatu masalah sebelum sampai kepada konklusi bagi keputusan-
keputusan prinsip konstitusional.
Dalam budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut majelis
syura, dan populer dengan istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau
badan legislatif. Majelis syura’ pada zaman Nabi saw. Lebih dikenal dengan
majelis sahabat. Nabi saw. Adalah sosok figur yang banyak bermusyawarah
dalam segala urusan dan menetapkan segala sesuatunya dengan adil. Asas
musyawarah dalam Islam didasarkanpada surah Ali Imran ayat 159.
3
Ibid., hlm...6-16
13
...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah...(Q.S. Ali
Imran/3:159)
2. Ahlul Halli wal ‘Aqdi
a. Pengertian Ahlul Halli wal ‘Aqdi
Pengertian Ahlul halli wal’aqdi diartikan dengan orang-orang yang
mempunyai wewenang melonggar dan mengikat,. Istilah tersebut
dirumuskan para ahli fikih sebagai sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
b. Karakteristik Anggota Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
Karakteristik anggota ahlul halli wal ‘aqdi, antara lain
1. Harus orang-orang yang jujur dan ikhlas dalam
menjalankan tugas.
2. Konsekuen, teratur , dan berdasarkan prosedur yang benar.
3. Bertakwa kepada Allah swt.
4. Berlaku adil, tidak memihak, dan tidak diskriminatif.
5. Memilikiketajaman berfikir dan berwawasan luas, dan tidak
picik.
6. Berjuang untuk kepentingan umat.
7. Kesetiaan yang tinggi terhadap agama Islam.
c. Tugas pokok ahlul halli wal ‘aqdi
Tugas pokok ahlul halli wal ‘aqdi, antara lain
1. Menjalankan tugas keamanan dan pertahanan, serta urusan lain
yang bertalian dengan kemaslahatan umat.
2. Berhak mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kepala negara
yang melanggar dan bertentangan dengan perintah agama.
3. Berhak membatasi kekuasaan kepala negra melalui pembentukan
undang-undang.4
4
Ibid., hlm... 17-18
14
BAB III
Dan pada bab II semester I siswa akan belajar materi tentang “SUMBER
HUKUM ISLAM” berikut ini:
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam
adalah al Qur’an dan Hadis. Rasulullah SAW bersabda: “aku tinggalkan bagi
kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya,
selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (al Qur’an) dan
sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi).5
5
https://spupe07.wordpress.com/2010/01/09/sumber-hukum-islam/.
diakses pada hari minggu 12 maret 2017 pukul 21.00.
15
2. Sumber Hukum yang Disepakati
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
a. Al-Qur’a n
1. Definisi
6
Abdurrahman dahlan, ushul fiqh, Jakarta: 2014),hlm 115
16
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
b. As-Sunnah
1. Definisi As-Sunnah
7
Ibid…hlm, 130
17
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan
memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat
kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2. Kehujjahan As-Sunnah
18
c. Ijma’
1. Definisi
2. Kehujjahan Ijma’
19
3. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
d. Qiyas
1. Pengertian
20
menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam
illat hukumnya.9 Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram
berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh
karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya
sama dengan khamr dan haram meminumnya.
2. Rukun-Rukun Al-Qiyas
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan
tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang
menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian
9
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama,
1999),hlm. 152
21
yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang
tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-
Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan
Syaru Man Qablana.
1. Isthisan
22
b. Kehujjahan Isthisan
2. Isthisab
23
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika
ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah
bahwa hukum itu tetap berlaku”.
a. Jenis-jenis Istishhab
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram
jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang
masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum
asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya
adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil
yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau
dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b. Kehujjahan Isthisab
24
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap
baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah.
Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat
dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa
maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat dan menjauhkan madharat
Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat”
25
a. Kehujjahan Maslahah Mursalah
26
menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas
menerapkannya.
4. ‘Urf
a. Pengertian
b. Pembagian ‘Urf
10
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika,
hlm. 112
27
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena
bertentangan dengan hukum syara
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al
Qur’an atau as Sunnah.
d. Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan
28
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya,
karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir
yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.
B. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad
Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
11
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-
ijtihad.html. diakses pada hari senin tanggal 13 Maret 2017 pukul 22.00.
29
1. Mengetahui Bahasa Arab
30
5. Mengetahui Maqashid al-Syariah
Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus
dimilki oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
7. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih
31
c. Istidlal, menetapkan dalil suatu peristiwa.
d. Mashlahah Mursalah, adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Quran maupun dalam kitab-
kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau
kepentingan umum.
e. Istihsan, adalah cara menemukan hukum dengan cara menyimpang dari
ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan
adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan.
f. Istihsab, adalah menetapkan hukum suatu hal menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
g. Urf, adalah yang tidak bertentangan hukum islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Kehujjahan ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum berdasarkan :
a. Dalil dari Al Quran
32
b. Dari hadits Rasulallah SAW
12
http://www.kumpulanmakalah.com/2016/11/ijtihad-sebagai-sumber-
hukum-islam.html.diakses pada hari selasa taggal 14 Maret pukul 21.00.
33
(ushul fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri
mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang menerapkan
metode instinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fikig.
Contohnya, para imam mujtahid yang empat orang, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh,
meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun
tetap berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka
bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan seorang mustaqil. Menurut
Ibn ‘Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mashab Hanafi, seperti
dikutip Satria Efendi, termasuk dalam kelompok ini murid-murid Abu
Hanifah, seperti Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Qadhi Abu
Yusuf. Dari kalangan Syafi’iyah antara lain adalah al-Muzanni, dan dari
kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-Qasim, dan Abdullah
bin wahhab. Mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang
mujtahid mustaqil karena memakai metode istinbatnya.
3. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahd yang dalam Ushul Fiqh
dan furu’ bertaklid kepada imam mujahid tertentu. Mereka disebut
mujtahid karena mereka berijtihad mengistibatkan hukum pada
permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku
mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi
melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan
hukumnya dalam buku-buku fikhih mazhabnya. Misalnya, Abu Al-Hasan
karkhi (260 H-340H), Abu ja’far at – Thahawi (230 -321 H) dan al-Hasan
bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan hanafiyah, Muhammad bin Abdullah
al-Abhari (289 H-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid
al-Asfrini (344 H-406 H) dari kalangan syafi’iyah.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan
mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai
mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau
memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada,
34
dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama
mujtahid sebelumnya. Dengan metode ini, ia sanggup mengemukakan di
mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.13
13
http://zairifblog.blogspot.co.id/2010/11/tingkatan-tingkatan-
mujtahid.html. diakses pada hari selasa tanggal 14 Maret 2017 pukul 22.00.
35
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada mata pelajaran fikih kelas XII semester I, peserta didik di Madrasah
Aliyah akan mempelajari Bab I yakni “SIYASAH SYAR’IYAH “ dimana sub-
sub materinya dibagi menjadi beberapa bagian seperti:
a. Tinjauan umum tentang Siyasah
b. Khilafah menurut Islam
c. Majlis Syura’ dan Halli wal ‘Aqdi dalam Islam
36
DAFTAR PUSTAKA
Qosim, Rizal. 2009. Pengamalan FIKIH 3.Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri
https://spupe07.wordpress.com/2010/01/09/sumber-hukum-islam/. diakses pada
hari minggu 12 maret 2017 pukul 21.00.
Dahlan, Abdurrahman. 2014.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Djazuli. 2005. Ilmu fiqih,penggalian,perkembangan,dan penerapan hokum islam.
Jakarta : Kencana.
Wahab Kallaf, Abdul. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama.
Sulaiman, Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
37