Anda di halaman 1dari 35

Kontribusi Agama

Bab
dalam Kehidupan
11
Politik

Peta Konsep

Kontribusi Agama dalam Kehidupan Politik

Konsep Menjelaskan Memahami


kontribusi agama kontribusi agama kontribusi agama
dalam kehidupan dalam kehidupan dalam kehidupan
berpolitik politik politik

Standar Kompetensi: Setelah mengikuti mata kuliah ini,


mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
kontribusi agama dalam kehidupan politik.
Kompetensi Dasar: Menjelaskan dan memahami konsep
kontribusi agama dalam kehidupan politik.

359
“If someone is able to separate sugar from its sweetnes,
he will be able to separate Islamic religion from
politics”
-K.H. Abdul Wahhab Chasbullah-1

A. Peranan Agama dalam Politik


Beragama merupakan insting manusia yang sangat
mendalam dan orisinil, karena bersumber kepada dua hal
penting yang tidak mampu ditolak oleh manusia pada
umumnya. Pertama, perasaan akan kelemahan diri
manusia di hadapan fonemena diri dan alam semesta.
Kedua, perasaan bahwa terdapat sumber dari segala
kekuatan yang ada. Sumber kekuatan inilah yang
kemudian mengatur dan mengendalikan seluruh jagad
raya ini termasuk manusia. Menemukan dan menyakini
adanya sumber kekuatan yang disebut “Tuhan”, serta
tunduk kepada sumber kekuatan “Tuhan” itulah yang
disebut dengan agama. Sementara komunitas yang
meyakininya disebut komunitas umat beragama.
Secara Bahasa, agama berasal dari Bahasa
Sansekerta (a) yang berarti tidak dan (gama) yang berarti
rusak atau kacau. Sehingga agama berarti tidak rusak atau
tidak kacau. Hal ini bermakna bahwa agama dapat
membawa pengikutnya kepada kondisi jauh dari

1
Dikutif oleh Allan A. Samson, “Conceptions of Politics, Power and
Ideology in Ideology in Contemporary Indonesia,” dalam Political
Power and Communications in Indonesia, ed. Karl D. Jackson and
Lucian W. Pye (Berkeley: University of California Press, 1978), 214.

360
kerusakan atau kekacauan. Dalam Bahasa Inggris, lafal
“agama” merupakan terjemah harfiah dari kata “religion”
yang diartikan: (1) a strong belief in a supernatural power
or powers that control human destiny [‘keyakinan yang
kuat akan kekuatan supernatural yang dapat mengontrol
tujuan/nasib manusia’]; (2) an institution to express belief
in a drivine power [‘institusi yang mengekspresikan
kekuatan keyakinan tentang ketuhanan’].
Kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionery
mengertikan agama dalam tiga arti: (1) the belief in the
existence of a god or gods, and the activities that are
connected with the worship of them [‘keyakinan terhadap
eksistensi Tuhan atau Tuhan-tuhan, serta aktivitas yang
berkaitan dengan penyembahan terhadap mereka
(Tuhan/Tuhan-tuhan) tersebut’]; (2) (one of the system of
faith that are based on the belief ini the existence of
particular god or gods; (the jewish religion, Christianity,
Islam and other world religions – the law states that
everyone has the right to practice their own reliogion)
[‘salah satu sistem kepercayaan (keimanan) berdasarkan
keyakinan terhadap eksistensi atau sifat-sifat khas
Tuhan/Tuhan-tuhan’]; (3) a particular interest or
influence that is very important in your life: for him,
football in an absolute religions [‘kesenangan
(minat/hoby) yang khas (istimewa) yang sangat penting
dalam kehidupan kamu (yang tidak bisa dikalahkan oleh

361
lainnya): Bagi dia, sepakbola merupakan minat dia yang
absolut (tidak bisa digantikan oleh yang lain)’].2
Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan
oleh Bernard Lewis, guru besar di Universitas Princeton
Amerika serikat, bahwa salah satu ciri yang membedakan
agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah
perhatian besar dan keterlibatan langsung yang
ditujukannya terhadap tata kelola negara dan
pemerintahan, hukum dan perundangan: “The religion of
Islam, in contrast to both Judaism dan Christianity, was
involved in the conduct of government and the enactment
and enforcement of law from the very beginning”.
Tulisnya dalam buku Islam: The Religion and The
People.3
Dengan kata lain, Islam adalah satu-satunya agama
yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik
sebagai tujuan, akan tetapi politik sebagai sarana
mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih
mulia, yaitu kebahagian manusia di dunia dan di akhirat.
Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW berdakwah,
berdagang, dan berperang. Pun para Sahabat beliau yang
melihat kekuasaan politik sebagai amanah (trust) dan
fitnah (test). Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai

2
M. Khalid Muslih, Konsep Agama – Worldview Islam, (Ponorogo,
Pusat Islamisasi Ilmu (PII) – Universitas Darussalam (UNIDA)
Gontor), 2018, Hal. 63 – 66.
3
Bernard Lewis, Islam: The Religion and People (New Jersey:
Pearson, 2009, Hal. 81.

362
berikut ini. Di hadapan orang banyak. Abu Bakar as-
Shiddiq berpidato: “Sesungguhnya aku telah dikalungi
tanggung jawab yang amat besar (laqad qullidu amran
‘azhiman), padahal aku bukanlah yang terbaik diantara
kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar, dan
betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat
kepada Allah dan Rasul Nya. Namun, jika aku menyalahi
perintah Allah, maka aku tidak perlu kalian patuhi!”.
Terlepas dari segala keterbatasan dan
kesederhanaan mereka, apa-apa yang telah digariskan dan
dijalankan oleh Rasulullah maupun para Sahabat
(khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan
konseptualisasi dan implementasi dari apa yang
dikehendaki Allah swt. Dan inilah yang kita maksud
dengan ‘politik Islam’ dalam arti negara berpandukan
agama dan pemerintahan berasaskan hukum Tuhan
pencipta jagad raya, langit dan bumi, termasuk manusia.
Kita boleh menyebutnya ‘al-madinah al-fadhilah’ (the
virtuous polity) atau as-siyasah as-syar’iyyah’ (state
governance based on Devine Law) – meminjamkan
ungkapan al-Farabi dan Ibn Taymiyyah. 4
Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan
berabad-abad lamanya, istilah ‘Islam politik’ terbilang
baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan
istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya.

4
Syamsuddin Arif, Islam dan Diabolisme Intelektual, (Jakarta,
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilzations
(INSISTS)), 2017. Hal. 49 - 50.

363
Menurut mereka, ‘Islam politik’ adalah sikap dan perilaku
politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa
Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu
mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah
kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara
sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap
sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.5

B. Studi Politik Islam


Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak
awal, di mana Nabi Muhammad saw bukan sekedar
urusan Allah dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin
bangsa dan negara, sebagai leader dan ruler, kajian politik
Islam secara ilmiah, teoritis dan sistematis baru bermula
pada kurun kedua hijriah. Secara umum, pemikiran politik
Islam merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-
konsep kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat
Arab pra Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni al-
Qur’an dan Sunnah) dengan tradisi bangsa-bangsa yang
ditaklukan seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan
Mongol.
Sejauh ini, karya pertama yang diketahui secara
sistematis membahas ketatanegaraan dari perspektif Islam
adalah bab politik dari kitab as-Siyar al-Kabir yang ditulis
oleh Muhammad ibn al Hasan as-Syaybani (w. 189/804),
seorang ulama besar Iraq abad kedua/Sembilan. Ini diikuti

5
Ibid, Hal. 53.

364
oleh bagian pertama (kitab as-Sultan) dari ‘Uyun al-
Akhbar karya Ibn Qutaybah (w. 276/885) dan bagian
pertama dari kitab al-Iqd al-Farid karya Ibn ‘Abd Rabbih.
Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan
dalam tiga wilayah besar. Pertama, kajian traditional-
normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-
norma perpolitikan yang diuraikan oleh para ulama.
Termasuk dalam kategori ini tiga kitab yang kita dipilih
lagi menjadi beberapa kategori. (i) ulama ahli teologi atau
mutakallalimun dari golongan Ahlus Sunnah (al-Asy’ari,
al-Baqillani, al-Baghdadi) maupun Mu’tazilah (al-Jahizh
dan al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar) yang menyediakan bab
khusus dalam karya masing-masing mengenai masalah
imamah atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak,
dengan proses pemilihan ataukah penunjukan, dan
sebagainya; (ii) ulama ahli hadits atau muhadditsun
(seperti Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi) yang
menaruh perhatian terhadap hadits-hadits politik (seperti
Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi) yang menaruh
perhatian terhadap hadits-hadits politik (contohnya ‘kitab
al-imama dalam Sahih Muslim).
Selanjutnya (iii) ada ulama ahli hukum alias fuqaha
semisal al-Mawadi, al-Farra’, al-Juwayni, yang masing-
masing menulis buku khusus untuk mengupas fikih
politik dan pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba
(Ibn al-Muqaffa’, al-Jahsyiyari, at-Tsa’alabi, at-Tartusyi);
(v) ulama ahli filsafat atau falasifah (al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi pemikiran atau filsafat

365
politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Cara khas
dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran
yang perlu dipahami dan dilakukan oleh pemimpin agar
dihormati oleh bawahan, dicintai oleh rakyat, dan
disegani oleh kawan maupun lawan. Walau diselingi
dengan contoh-contoh kasus, namun kebanyakan isinya
merupakan pernyataan-pernyataan induktif-normatif
yang masih bisa dan perlu dikukuhkan dengan penelitian
empiris atau bahkan uji-coba lapangan.6
Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan
pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran
(orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah

Gambar 11.1 Masjid adalah salah satu tempat yang digunakan


untuk mengupas dan membahas fikih politik dan pemerintahan.
(Sumber foto: kajianpemikiranislam.com)

6
Ibid, Hal. 51.

366
(intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno
dikaji oleh ahli arkeologi. Politik Islam itu masa lalu,
sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam
sebagai aksi, proses, regulasi, maupun diskursus,
semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang
mungkin relevan dan mungkin tak relevan, mengapa tak
ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya?
Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa
semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk
pertanyaan ini tidak cukup beragam; dari sekedar
memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan
wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi
merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan
dengan negara-negara Islam.
Ketiga, Kajian sekuler-modernis yang muncul
sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasi oleh bangsa-bangsa
Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan
keyakinan-yang sesungguhnya boleh jadi keliru – bahwa
ketidakmampuan Umat Islam menghadapi kolonialisme
Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan
ini disebabkan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal
pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah
gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh
Kemal Atarturk.7 Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut
dalam arus ini. Dapat disebut misalnya ‘Ali ‘Abd al-Raziq
(1967) yang menulis buku al-Islam wa Usul al-Hukm

7
Ibid, Hal. 52-53.

367
(Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan), Khalid
Muhammad Khalid (1953), penulis Min Huna Nabda
(Dari Sini Kita Mulai), dan ad-Dimuqratiyyah Abadan
(Demokrasi Selamanya), Abd al-Ghani Sani (1924) yang
menulis al-Khilafah wa Sultat al-Ummah (Khilafah dan
Kedaulatan Rakyat). Mereka ini tanpa berpikir panjang
menerima konsep-konsep dan sistem politik Barat modern
seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru
sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan
kuat, begitulah bayangan mereka. Kelompok apologetik
ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem
demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima
dan diamalkan oleh umat Islam.

Gambar 11.2 Ilustrasi demokrasi Sumber: felsefe-


alemi.blogspot.com

368
Alam leksikon politik Islam sering muncul istilah
Islam politik. Apakah Islam politik itu? Apa bedanya
dengan politik Islam? Dari ideologi dan praktik sejarah,
Islam politik sekurang-kurangnya bertolak dan dikenali
dari empat cara pandang. Pertama, Islam adalah
agama kâffah, agama sekaligus negara (‫)الدين والدولة‬,
ibadah dan politik. Kadar paling radikal meletakkan
politik dan penegakan sistem politik sebagai pokok dan
rukun agama. Dengan paradigma ini, orang Islam yang
tidak berjuang menegakkan sistem politik Islam adalah
kafir karena mengabaikan pokok agama. Mereka harus
diperangi, meski mengucapkan syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji.
Kedua, tujuan penegakan sistem politik Islam ( ‫دولۃ‬
‫ اسالميۃ‬atau ‫ )خالفۃ اسالميۃ‬adalah formalisasi syariat
Islam dalam pengertian sempit yaitu penerapan hukum
jinâyat Islam (hudûd) seperti potong tangan, jilid,
rajam, qishâs, ta’zîr, dan semacamnya. Di berbagai
tempat, syariat Islam telah dijalankan secara swadaya
tanpa intervensi negara seperti shalat dan puasa. Di
Indonesia, negara memfasilitasi pelaksanaan syari’at
Islam lain seperti haji, zakat, perkawinan, dan keuangan
berbasis syariah. Namun, pelaksanaan syariat Islam
dianggap belum kâffah karena belum mengadopsi hukum
pidana Islam. Orang Islam yang berhenti berjuang
menegakkan hudûd adalah pembela thâghût

369
(‫ )انصارالطاغوت‬karena menerima selain hukum Allah.
Mereka belum dihitung menegakkan syari’at Islam, meski
rajin shalat, selalu bayar zakat, tekun puasa, haji, dan
menabung perbankan syariah. Dalilnya paten (QS. al-
Maidah/5: 44, 45, 47):
Ketiga, selain menghendaki formalisasi Islam dan
positivisasi syariah, Islam politik menghendaki
representasi dan nominasi pemimpin/politisi Muslim serta
alokasi kue ekonomi kepada umat Islam. Islam dalam
“politik biting” (nominal politics) adalah bentuk. Ukuran
keberhasilannya adalah sejauh mana umat Islam
mendominasi politik dan pengusaha Muslim
mendominasi ekonomi. Perkara politiknya berisi
kebajikan umum atau ekonominya berkeadilan adalah
urusan lain.
Politik cacah ini, misalnya, menjelma dalam Pilkada
DKI 2017 dalam slogan #MuslimLebihBaik. Pidato
Gubernur DKI terpilih soal pribumi menyiratkan pesan
serupa. Makna pribumi di situ tidak lain adalah pribumi
Muslim yang bukan Tionghoa. Golongan keturunan Arab
dianggap pribumi karena Muslim. Penghayat kepercayaan
dan aliran kebatinan bukan maksud “saatnya pribumi
menjadi tuan rumah” karena dia bukan Muslim. Ini mirip
dengan politik perkauman Malaysia di mana Islam
bercampur dengan kemelayuan.
Dibanding dua yang pertama, asumsi ketiga ini
paling moderat. Mereka yang setuju nominasi,
representasi, dan afirmasi umat Islam dalam politik dan

370
ekonomi belum tentu setuju konsep Khilâfah dan adopsi
syariah Islam sebagai hukum positif negara. Namun,
mereka yang setuju afirmasi politik Islam dapat “naik
kelas” menjadi pendukung positivisasi syariah
dan Khilâfah.8

C. Sistem Politik dalam Islam


Politik dalam Islam menjurus kegiatan ummah
kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan
syari’at bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut
Islam yang syumul melalui satu institusi yang mempunyai
sahsiah untuk merancang dan melaksanakan undang-
undang. Pengertian ini bertepatan dengan firman Allah:

َ‫َوقُل َرب أَ ۡدخ ۡلني ُم ۡد َخ َل ص ۡدق َوأَ ۡخر ۡجني ُم ۡخ َرج‬


ِّ ِّ ٖ ِّ ِّ ِّ ِّ
َ ٗ ۡ َ ُ َ َ ۡ ۡ
‫يرا‬ ِّ ‫صد ٖق َوٱجعل ل ِّي مِّن لدنك ُسل َطَٰنا ن‬
ٗ ‫ص‬ ِّ
Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula)
aku secara keluar yang benar dan berikanlah
kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.
(QS. Al-Isra’: 80)

8
https://geotimes.co.id/kolom/politik/membedah-islam-politik-
politik-islam-dan-khilafah/ (diunduh pada : 23 Juni 2019 pukul
23.07).

371
Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan
berabad-abad lamanya, istilah “Islam politik” terbilang
baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan
istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya.
Menurut mereka, “Islam politik” adalah sikap dan
perilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan
bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan
mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah
kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara
sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap
sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.
Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat
ataupun pelaku “Islam politik” yaitu paradigma pesimis
radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma
optimis moderat. Pertama, Paradigma pesimis radikal ini
diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy,
penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan
commons.wikimedia.or
g

372
Islam Politik).9 Menurutnya, aktivis “Islam politik”
sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya
mengikuti syahwat politik demi menggolkan agenda-
agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar
mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama
(anti clerical). Roy menjuluki mereka non-
fundamentalists yang tidak sama dengan kaum Islamists.
Aktivis “Islam politik” kalau pun mereka menang pemilu
dan berkuasa dapat dipastikan gagal menjalankan
pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru
bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat,
menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan
internasional. Demikianlah ramalan suram dari Roy, yang
diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat
termasuk Graham E. Fuller10 dan Kikue Hamayotsu.11
Paradigm kedua yang utopian radikal bercita-cita
mendirikan negara Islam, dan bukan sekedar berjuang
mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat
dalam bingkai demokrasi negara modern. Paradigma ini
diwakili, antara lain, oleh Abu A’la al-Mawdudi dan

9
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, terj. Carol Volk
(Cambridge Mass, Harvard University Press, 1994); versi asalnya
berjudul: L’Echec del ‘Islam Politique (Paris, Le Seuil, 1992).
10
Graham E. Fuller, The Future of Political Islam (New York, Palgrave
Macmillan, 2003).
11
Kikue Hamayotsu, “The End of Political Islam? A Comparative
Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of
Indonesia, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, vol.
30 No. 3 (2011), Hal. 133-159.

373
Sayyid Quttb yang mengendepankan konsep negara
bukan berdasarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan
tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan
kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi
berdasarkan hukum Allah atau syari’ah. Gagasan ini tentu
saja dianggap utopian karena amat sukar – untuk tidak
mengatakan mustahil – direalisasikan pada zaman
sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang
menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan.
Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana
lazimnya kelompok revolusioner disebut atau menyebut
diri mereka – for better or worse.
Ketiga adalah paradigma optimis moderat yang
menyangkal pendapat Oliver Roy. Bagi mereka, Islam

Gambar 11.3 Umat Muslim mengikuti peringatan Maulid Nabi


Muhammad SAW 1439 H/2017 M di kompleks Monumen Nasional
(Monas), Jakarta, Jumat (1/12). Peringatan tersebut turut
dihadiri sejumlah ulama dan tokoh politik. ANTARA
FOTO/Aprillio Akbar/foc/17.

374
dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan
negara mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng,
tetapi pengalaman dan pengalaman labih dari seribu tahun
lamanya. Dan, karenanya “Islam politik” bukan utopia
atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti M.
Natsir, misalnya, Indonesia bukanlah negara sekuler.
“Islam politik” tidak harus menempuh jalan revolusi.
Sebaliknya, melalui cara-cara yang konstitusional “Islam
politik” dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok-
kelompok lain dalam NKRI untuk sama-sama merawat
negeri dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba-
lomba meraih kebaikan) dan amar ma’ruf nahi munkar
(commanding good and prohibiting evil).12

D. Asas-asas Sistem Politik Islam


Asas-asas sistem politik dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1. Hakimiyyah Ilahiyyah - Hakimiyyah atau
memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan
hukum tertinggi dalam sistem politik Islam

َ ُۡ ۡ ُ َ َ ُ َ َ َٰ َ ٓ َ ُ َ َ ُ َ
hanyalah hak mutlak Allah.
ِِّۖ‫خ َرة‬ ‫ٱٓأۡل‬‫و‬َ َٰ
‫وَل‬ ‫أ‬‫ٱل‬ ‫ِّي‬ ‫ف‬ ُ
‫د‬ ۡ
‫م‬ َ
‫ح‬ ‫ٱل‬ ‫وهو ٱّلل لا إِّله إِّلا هو َۖ له‬
ِّ
َ ُ َ ۡ ۡ َ
‫َول ُه ٱل ُحك ُم ِإَول ۡيهِّ ت ۡر َج ُعون‬

12
Syamsuddin Arif, Islam dan Diabolisme Intelektual, (Jakarta,
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilzations
(INSISTS)), 2017. Hal. 53 - 55.

375
“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji
di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala
penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan”. (Al-Qasas [28}: 70)

Hakimiyyah Ilahiyyah membawa pengertian-


pengertian berikut:
a. Bahwasanya Allah pemelihara alam semesta yang
pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi
pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi
manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat
Ilahi-Nya Yang Maha Esa.
b. Bahwasanya hak untuk menghakimi dan meng
adili tidak dimiliki oleh sesiap kecuali Allah.
c. Bahwasanya hanya Allah sajalah yang memiliki
hak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu-satu-
Nya Pencipta.
d. Bahwasanya hanya Allah sahaja yang memiliki
hak mengeluarkan peraturan-peraturan sebab
Dialah satu-satu-Nya Pemilik.
e. Bahwasanya hukum Allah adalah suatu yang
benar sebab hanya Dia sahaja yang Mengetahui
hakikat segala sesuatu dan di tangan-Nyalah
sahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan
yang selamat dan lurus.

376
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa teras
utama kepada sistem politik Islam ialah tauhid kepada
Allah di segi Rububiyyah dan Uluhiyyah.

2. Risalah - Risalah berarti bahwa kerasulan


beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak
Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w
adalah suatu asas yang penting dalam sistem
politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka
para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah
dalam bidang perundangan dalam kehidupan
manusia. Para rasul meyampaikan, mentafsir dan
menterjemahkan segala wahyu Allah dengan
ucapan dan perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah
memerintahkan agar manusia menerima segala
perintah dan larangan Rasulullah s.a.w. Manusia
diwajibkan tunduk kepada perintah-perintah
Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain
daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim
dalam segala perselisihan yang terjadi di antara

َ َ َُۡ َۡ ۡ ُ َ ‫َما ٓ أَفَا ٓ َء‬


mereka. Firman Allah:
‫ى فلِّل ِّه‬ َٰ ‫ٱّلل َعلَ َٰي َر ُسولِّهِّۦ مِّن أهل ٱلقر‬
ِّ
‫ِّين‬ ‫ك‬ َٰ َ ‫َب َو ۡٱل َي َتَٰ َم َٰي َوٱل ۡ َم‬
‫س‬ َٰ َ ُۡۡ
‫ر‬‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫ي‬‫ذ‬ِّ ِّ ‫ل‬ َ ‫ِّلر ُسول‬
‫و‬ ِّ
َ َ
‫ول‬
ِّ
َٓ ۡ َۡ َ َۡ َ ُ َ ُ َ َ ۡ َ َ
ِّ‫يل كي لا يكون دولَۢة بين ٱلأغنِّياء‬ ِّ ِّ ‫ب‬‫ٱلس‬ ‫َوٱبۡ ِّن‬

377
ُ َ ُ ُ َ ُ َ ُ َ ٓ ُ
‫مِّنك ۡ ۚۡم َو َما َءاتىَٰك ُم ٱلر ُسول فخذوهُ َو َما ن َهىَٰك ۡم‬
َ ۡ ُ َ ََ َ ََ ْ َُ َ ْ َُ َ َُۡ
ِّ ِّ‫عنه فٱنته ۚۡوا وٱتقوا ٱّللَۖ إِّن ٱّلل ش ِّديد ٱلع‬
‫اب‬ ‫ق‬
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya”. (Al-Hasyr [59]:
7).

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada


hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (An-Nisa’: 65).

3. Khilafah - Khilafah berarti perwakilan.


Kedudukan manusia di atas muka bumi ini adalah

378
sebagai wakil Allah. Oleh itu, dengan kekuasaan
yang telah diamanahkan ini, maka manusia
hendaklah melaksanakan undang-undang Allah
dalam batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini,
maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik
tetapi hanyalah khalifah atau wakil Allah yang

َۡ
menjadi Pemilik yang sebenar.
ۡ‫ۡرض ِّم ۢن َب ۡع ِّدهِّم‬ َ َٓ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ ُ
ِّ ‫لئِّف ف ِّي ٱلأ‬
َٰ ‫ثم جعلنكم خ‬
َ ُ َ َ َ ُ
‫ل َِّننظ َر ك ۡيف ت ۡع َملون‬
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-
pengganti (mereka) di muka bumi sesudah
mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana
kamu berbuat.” (Yunus [10]: 14)

Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah


yang sah selama ia benar-benar mengikuti hukum-
hukum Allah. Ia menuntun agar tugas khalifah
dipegang oleh orang-orang yang memenuhi syarat-
syarat berikut:
a. Terdiri daripada orang-orang yang benar-benar
boleh menerima dan mendukung prinsip-prinsip
tanggungjawab yang terangkum dalam
pengertian khilafah.
b. Tidak terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq,
fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak

379
melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh-
Nya.
c. Terdiri daripada orang-orang yang berilmu,
berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan
serta kemampuan intelek dan fisikal.
d. Terdiri daripada orang-orang yang amanah
sehingga dapat dipikulkan tanggungjawab
kepada mereka dengan yakin dan tanpa
keraguan.13

E. Prinsip-prinsip Utama dalam Politik Islam


Dalam khazanah intelektuak Islam, ada tiga
persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan
politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang
kurang layak (imamatul mafdhul), Kedua, soal
kepemimpinan yang suka maksiat (imamatul fasiq), dan
Ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imamatul kafir).
Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan
kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus
yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang
sejarah Islam itu umumnya “kurang layak” (mafdhul)
daripada yang benar-benar layak (fadhil). Lebih banyak
yang tidak taat (fasiq) dari pada yang shaleh. Tentu saja
dengan pengecualian para Khulafa’Rasyidun (Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali – radhiallahu alaiyhim) dan

13
http://crescentia27.blogspot.com/2014/09/asas-asas-sistem-
politik-islam.html (diunduh pada : 23 Juni 2019, pukul 16:17).

380
beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal
Umar bin Abdil Aziz.
Untuk menjaga peranan agama dalam kehidupan
politik, berbangsa dan bernegara maka diperlukan
prinsip-prinsip utama sistem politik Islam, prinsip-prinsip
tersebut adalah;
1. Musyawarah - Asas musyawarah yang paling utama
adalah berkenaan dengan pemilihan kepala negara dan
orang-orang yang akan menjabat tugas-tugas utama
dalam pelayanan kepada ummat. Asas musyawarah
yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan
dan cara pelaksanaan undang-undang yang telah
dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan
dengan jalan-jalan bagi menentukan perkara-perkara
baru yang timbul di dalangan ummah melalui proses
ijtihad.
2. Keadilan - Prinsip ini adalah berkaitan dengan
keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan
sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang
luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem
politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis
perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia,
termasuk keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di
antara dua pihak yang bersengketa di hadapan pihak
pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di
antara ibu bapak dan anak-anaknya.kewajiban berlaku
adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah di antara

381
asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi
peranan utama sistem politik Islam untuk memelihara
asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama
kerana dengannya dapat dikukuhkan kehidupan
manusia dalam segala aspeknya.
3. Kebebasan - Kebebasan yang dipelihara oleh sistem
politik Islam ialah kebebasan yang berteruskan
kepada makruf dan kebajikan. Menegakkan prinsip
kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting
bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta
menjadi asas-asas utama bagi undang-undang
perlembagaan negara Islam.
4. Persamaan - Persamaan di sini terdiri daripada
persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak,
persamaan dalam memikul tanggungjawab menurut
peringkat-peringkat yang ditetapkan oleh undang-
undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah
kuasa undang-undang.
5. Hak menghisab pihak pemerintah - Hak rakyat
untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat
penjelasan terhadap tindak tanduknya. Prinsip ini
berdasarkan kepada kewajiban pihak pemerintah
untuk melakukan musyawarah dalam hal-hal yang
berkaitan dengan urusan dan kepentingan negara dan
ummat. Hak rakyat untuk menyuarakan adalah berarti
kewajiban setiap anggota dalam masyarakat untuk
menegakkan kebenaran dan menghapuskan

382
kemungkaran. Dalam pengertian yang luas, ini juga
berarti bahwa rakyat berhak untuk mengawasi dan
menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan
pihak pemerintah.14

F. Tujuan Politik dalam Islam


Tujuan sistem politik Islam adalah untuk
membangunkan sebuah sistem pemerintahan dan
kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melaksanakan
seluruh hukum syariat Islam. Tujuan utamanya ialah
menegakkan sebuah negara Islam atau Darul
Islam. Dengan adanya pemerintahan yang mendukung
syariat, maka akan tertegaklah Ad-Din dan segala urusan
manusia menurut tuntutan-tuntutan Ad-Din tersebut. Para
fuqaha Islam telah menggariskan 10 perkara penting
sebagai tujuan kepada sistem politik dan pemerintahan
Islam:
1. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang
telah disepakati oleh ulama salaf daripada kalangan
umat Islam.
2. Melaksanakan proses pengadilan dikalangan rakyat
dan menyelesaikan masalah dikalangan orang-orang
yang berselisih.
3. Menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar
manusia dapat hidup dalam keadaan aman dan
damai.

14
http://achbaidowi.com/prinsip-prinsip-dasar-islam/ (diunduh
pada : 23 Juni 2019, pukul 16.45).

383
4. Melaksanakan hukuman-hukuman yang telah
ditetapkan syari’at demi melindungi hak-hak
manusia.
5. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai
persenjataan bagi menghadapi kemungkinan
serangan daripada pihak luar.
6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang
menentang Islam.
7. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan
sedekah sebagaimana yang ditetapkan syarak
8. Mengatur anggaran belanja dan perbelanjaan
daripada perbendaharaan negara agar tidak
digunakan secara boros atau kikir.
9. Melantik pegawai-pegawai yang cakap dan jujur
bagi mengawal kekayaan negara dan menguruskan
hal-ihwal pentadbiran negara.
10. Menjalankan pengawalan dan pemeriksaan yang
rapi dalam hal-ihwal demi untuk memimpin negara
dan melindungi Ad-Din.

G. Rangkuman
Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli
pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, akan
tetapi politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih
tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu kebahagian
manusia di dunia dan di akhirat. Itulah sebabnya Nabi
Muhammad SAW berdakwah, berdagang, dan berperang.

384
Pun para Sahabat beliau yang melihat kekuasaan politik
sebagai amanah (trust) dan fitnah (test).
Terlepas dari segala keterbatasan dan
kesederhanaan mereka, apa-apa yang telah digariskan dan
dijalankan oleh Rasulullah maupun para Sahabat
(khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan
konseptualisasi dan implementasi dari apa yang
dikehendaki Allah swt. Dan inilah yang kita maksud
dengan ‘politik Islam’ dalam arti negara berpandukan
agama dana pemerintahan berasaskan hukum Tuhan
pencipta jagad raya, langit dan bumi, termasuk manusia.
Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak
awal, di mana Nabi Muhammad saw bukan sekedar
urusan Allah dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin
bangsa dan negara, sebagai leader dan ruler, kajian politik
Islam secara ilmiah, teoritis dan sistematis baru bermula
pada kurun kedua hijriah. Politik dalam Islam menjurus
kegiatan ummah kepada usaha untuk mendukung dan
melaksanakan syari’at bertujuan untuk menyimpulkan
segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang
mempunyai sahsiah untuk merancang dan melaksanakan
undang-undang.
Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan
berabad-abad lamanya, istilah “Islam politik” terbilang
baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan
istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya.
Menurut mereka, “Islam politik” adalah sikap dan
perilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan

385
bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan
mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah
kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara
sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap
sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.
Politik Islam bukan dongeng, tetapi pengalaman dan
pengalaman labih dari seribu tahun lamanya. Dan,
karenanya “Islam politik” bukan utopia atau angan-angan
belaka. Bagi orang-orang seperti M. Natsir, misalnya,
Indonesia bukanlah negara sekuler. “Islam politik” tidak
harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara-
cara yang konstitusional “Islam politik” dapat dan mesti
berkompetisi dengan kelompok-kelompok lain dalam
NKRI untuk sama-sama merawat negeri dengan semangat
fastabiqul khairat (berlomba-lomba meraih kebaikan) dan
amar ma’ruf nahi munkar (commanding good and
prohibiting evil). Untuk menjaga peranan agama dalam
kehidupan politik, berbangsa dan bernegara maka
diperlukan prinsip-prinsip utama sistem politik Islam dan
tujuan politik dalam pandangan Islam.

oo0oo

386
H. Glosarium
 Amalgamasi - n proses melarutnya logam dengan
air raksa untuk membentuk amalgam
 Artefak - Bentuk tidak baku: artifak;
n Ark benda-benda, seperti alat, perhiasan yang
menunjukkan kecakapan kerja manusia (terutama
pada zaman dahulu) yang ditemukan melalui
penggalian arkeologi, n Ark benda (barang-
barang) hasil kecerdasan manusia, seperti
perkakas, senjata.
 Diskursus – 1. n rasionalitas; 2. n pertukaran ide;
gagasan secara verbal; bahasan; 3.
n pengungkapan pemikiran secara formal dan
teratur; wacana; 4. n cara mengorganisasi
pengetahuan, pemikiran, atau pengalaman yang
berakar dari bahasa dan konteksnya yang nyata.
 Empiris - a berdasarkan pengalaman (terutama
yang diperoleh dari penemuan, percobaan,
pengamatan yang telah dilakukan).
 Leksikon – 1.n Ling kosakata; 2. n Ling kamus
yang sederhana; 3. n Ling daftar istilah dalam
suatu bidang disusun menurut abjad dan
dilengkapi dengan keterangannya; 4.
n Ling komponen bahasa yang memuat semua
informasi tentang makna dan pemakaian kata
dalam Bahasa; 5. n Ling kekayaan kata yang
dimiliki suatu Bahasa; 6. n Komp pemrograman,
pengidentifikasi, kata kunci, konstanta, dan unsur-

387
unsur lain dari bahasa yang membentuk
kosakatanya.
 Mustahil - a tidak boleh jadi; tidak mungkin
(terjadi): -- pembangunan dapat tercapai tanpa
kerja keras para pelaksananya.
 Radikal – 1. a secara mendasar (sampai kepada
hal yang prinsip): perubahan yang--2. a Pol amat
keras menuntut perubahan (undang-undang,
pemerintahan), 3. a maju dalam berpikir atau
bertindak.

I. Evaluasi
Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c, d, atau e
yang dianggap sebagai jawaban yang paling tepat!

1. Di bawah ini tidak termasuk asas-asas dalam politik


Islam…
a. Hakimiyyah ilahiyyah
b. Risalah
c. Khilafah
d. Rububiyyah
e. Risalah dan Khilafah

2. Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah


selama mana ia benar-benar mengikuti hukum-hukum
Allah. Ia menuntun agar tugas khalifah dipegang oleh
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut,
kecuali..

388
a. Terdiri daripada orang-orang yang benar-benar
boleh menerima dan mendukung prinsip-prinsip
tanggngjawab yang terangkum dalam pengertian
khilafah.
b. Tidak terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq,
fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak
melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh-Nya.
c. Terdiri daripada orang-orang yang berilmu,
berakal sihat, memiliki kecerdasan, kearifan serta
kemampuan intelek dan cerdas.
d. Terdiri daripada orang-orang yang berilmu namun
tidak mesti satu aqidah Islam.
e. Terdiri daripada orang-orang yang amanah
sehingga dapt dipikulkan tanggungjawab kepada
mereka dengan yakin dan tanpa keraguan.

3. Dalam studi politik Islam, di bawah ini adalah kajian


dan pemikiran politik Islam yang dipetakan dalam tiga
wilayah besar, adalah..
a. Traditional – normatif, tekstual – historis, dan
sekuler – modernis.
b. Sekuler - modernis, tradinitional – historis, dan
tekstual – normatif.
c. Tekstual – modernis, traditional – normatif, dan
sekuler - historis.
d. Traditional – normatif, tekstual – modernis, dan
sekuler – historis.

389
e. Sekuler – modernis, traditional – historis, dan
tekstual – normatif.

4. Pernyataan para fuqaha Islam telah menggariskan 10


perkara penting sebagai tujuan kepada sistem politik
dan pemerintahan Islam.
(1) Melaksanakan hukum yang ditetapkan syari’at
untuk melindungi hak-hak manusia.
(2) Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat,
dan sedekah yang digunakan sebesar-besarnya
kepentingan untuk pemimpin Negara.
(3) Melaksanakan proses pengadilan dikalangan
rakyat dan menyelesaikan masalah dikalangan
orang-orang yang berselisih.
(4) Melancarkan jihad terhadap golongan yang
menentang Islam.
(5) Menjalankan pengawalan dan pemeriksaan yang
rapi dalam hal-ihwal demi untuk memimpin
negara dan melindungi Ad-Din.
Pernyataan yang benar dari pernyataan di atas
adalah…
a. (1), (3), (4), dan (5)
b. (1), (2), (4), dan (5)
c. (2), (3), (4), dan (5)
d. (2), (1), (4), dan (3)
e. (1), (4), (5), dan (2)

390
5. Agar tugas khalifah berlaku baik dan benar seuai
syrai’at Islam, maka syarat menjadi khalifah adalah,
kecuali,
a. Terdiri daripada orang-orang yang benar-benar
boleh menerima dan mendukung prinsip-prinsip
tanggungjawab.
b. Terdiri daripada orang-orang yang berilmu,
berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan serta
kemampuan intelek dan fisikal.
c. Tidak terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq,
fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak
melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh-Nya.
d. Terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq, fajir
dan lalai terhadap Allah serta bertindak melanggar
batas-batas yang ditetapkan oleh-Nya.
e. Terdiri daripada orang-orang yang amanah
sehingga dapat dipikulkan tanggungjawab kepada
mereka dengan yakin dan tanpa keraguan.

Jawablah soal-soal di bawah ini dengan tepat!

1. Jelaskan pengertian masyarakat dan apa yang


dimaksud dengan masyarakat beradab dan sejahtera ?
2. Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan
dalam tiga wilayah besar. Jelaskan, apa yang dimaksud
dengan kajian traditional-normatif?
3. Khilafah adalah asas-asas sistem politik dalam Islam.
Jelas khilafah sebagai asas sistem politik?

391
4. Untuk menjaga peranan agama dalam kehidupan
politik, berbangsa dan bernegara maka diperlukan
prinsip-prinsip utama dalam sistem politik Islam.
Sebutkan prinsip-prinsip politik Islam.
5. Jelaskan tujuan politik dalam pemerintahan Islam!

392
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama
Republik Indonesia, Tahun 1971
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, Edisi
Keempat, 2008.
M. Khalid Muslih, Konsep Agama – Worldview Islam,
(Ponorogo, Pusat Islamisasi Ilmu (PII) – Universitas
Darussalam (UNIDA) Gontor), 2018.
Syamsuddin Arif, Islam dan Diabolisme Intelektual,
(Jakarta, Institute for the Study of Islamic Thought
and Civilzations (INSISTS)), 2017.

Sumber Internet;

http://achbaidowi.com/prinsip-prinsip-dasar-islam/
(diunduh pada : 23 Juni 2019, pukul 16.45). Achmad
Baidowi, S.Sos., M.Si
http://crescentia27.blogspot.com/2014/09/asas-asas-
sistem-politik-islam.html (diunduh pada : 23 Juni
2019, pukul 16:17).
https://geotimes.co.id/kolom/politik/membedah-islam-
politik-politik-islam-dan-khilafah/ (diunduh pada : 23
Juni 2019 pukul 23.07).

393

Anda mungkin juga menyukai