Moderasi Beragama kerap dipahami sebagai gerakan simplifikasi agama. Tak jarang, ia juga
sering dituduh sebagai cara untuk “menyamaratakan” agama yang ada di Indonesia. Tentu
saja tuduhan-tudahan itu tidaklah benar. Moderasi Beragama adalah strategi dan cara untuk
mengelola sikap beragama di tengah-tengah masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Karennya untuk memahami urgensi Moderasi Beragama, perlu dilihat secara cermat tentang
dinamika kehidupan keberagamaan di Indonesia saat ini. Dengan melihat dinamika
kehidupan keberagamaan di Indonesia saat ini, akan ditemukan menguatnya fenomena
eksklusivisme beragama (religious exclusivism), intoleransi dan ekstremisme kekerasan
keagamaan (religious violent extremism), serta merebaknya narasi keagamaan yang
menghadaphadapkan antara kesetiaan terhadap agama dan kesetiaan terhadap negara.
Selain eksklusivisme beragama, di tengah masyarakat yang plural dari sisi pemahaman
keagamaan seperti Indonesia, masih juga adanya sikap intoleransi intoleransi, sebuah
pandangan dan sikap yang tidak menyukai, memusuhi, dan secara sengaja mengganggu
kelompok lain yang berbeda suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan,
ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, jenis kelamin, dan disabilitas.
Faham lainnya adalah ekstremisme beragama, suatu keyakinan keyakinan dan/atau praktik
beragama ultra-konservatif yang bertujuan meniadakan kehadiran pandangan dan
keyakinan kelompok lain yang berbeda keyakinan dengan atau tanpa kekerasan.
Hal lain juga munculnya gangguan dari kelompok ekstremisme kekerasan, suatu keyakinan
keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman
kekerasan ekstrem dengan tujuan politik, agama, sosial, maupun ekonomi.
Begitu juga gangguan terhadap kerukunan kehidupan beragama di Indonesia kerap datang
melalui Tindakan terorisme. Suatu Tindakan dan perbuatan yang menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan
atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik,
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Selanjutnya adalah radikalisme, suatu pandangan dan/atau tindakan yang berupaya
membongkar sistem yang sudah mapan dan ada dalam kehidupan bernegara dengan cara
kekerasan dan/atau melawan hukum. Radikalisme Beragama: Keyakinan dan/atau praktik
beragama yang berupaya membongkar sistem yang sudah mapan dan ada dalam kehidupan
bernegara dengan cara kekerasan dan/atau melawan hukum.
Secara umum, dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, ada dua sikap pemahaman
beragama yang bisa dihadap-hadapkan, yaitu sikap keberagamaan substantif-inklusif
berhadapan dengan sikap keberagamaan legal-eksklusif.
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif-inklusif, secara umum ditandai
dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis
yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran
substantif-inklusif ada empat.
Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan
aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan
detail pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari
pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al-Qur’an yang
menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat
bahwa Al-Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin
masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan,
demokrasi, dan lain-lain.
Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan
artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam
dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di
antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu di antara kekuatan kultural yang
bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi
haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi. Sementara itu, paradigma
legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut.
Pertama, paradigma legal-eksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam
bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi
universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh
permasalahan kehidupan umat manusia. Para pendukung paradigma legal-eksklusif
sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah
(negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi,
paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal
remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial,
politik, dan sebagainya.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan
jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan
sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan
konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi
pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan
adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang
implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan
visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at,
apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku.