Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

SISTEM NEGARA, PEMERINTAHAN DI DALAM ISLAM

Disusun oleh Kelompok 4 (Empat):

Ahmad Khairudin 41901037


Aulia Dika Zahra 41901024
Hanifatul Ibtihal 41901076
Maisarah 41901071

PROGRAM STUDI AKUNTASI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM SEBI

2022 - 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
2.1 Urgensi Sistem Negara Dalam Islam..................................................................2
2.2 Islam Adalah Agama Dan Sistem Negara..........................................................2
2.3 Sistem Negara Islam adalah Orisinil, Bukan Suduran........................................2
2.4 Etika Islam Dalam Hubungan Antar Agama......................................................2
2.5 Etika Dalam Keadaan Perang.............................................................................2
BAB III PENUTUP...........................................................................................................3
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................3
3.2 Saran..................................................................................................................3

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam tidaklah semata-mata suatu agama atau sebutan keyakinan atau hanya pad
a pelaksanaan bentuk ibadah saja, pada kenyataannya Islam adalah suatu aturan lengkap
guna menuntun kehidupan individu secara utuh. Al-Qur’an meletakkan prinsip-prinsip k
ehidupan secara umum dan bersifat terpadu mempegaruhi semua aspek sisi kehidupan
manusia pembentukan individu, keluarga, masyarakat, rakyat, Negara dan umat manusi
a.
Sesungguhnya, keterkaitan antara agama dan Negara di masa lalu hingga zaman
sekarang bukan hal yang baru dalam pembicaraan Islam dan Negara selalu menjadi hal
yang mengesankan sepanjang peradaban Islam. Bahkan penyebutan dan penamaan Neg
ara Islam selalu menjadi perbincangan dikalangan umat Islam sehingga opini yang berk
embang dikalangan umat Islam pendirian Negara Islam menjadi penting untuk melaksan
akan ajaran Islam secara Kaffah. Oleh karena itu penting bagi umat Islam mempelajari t
elaah atas fiqh Siyasy (konsep pemerintahan Islam).

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Sistem Negara Dalam Islam


Menurut Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Qadir Ab
u Faris, pemerintahan Islam adalah pemerintah yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerin
tah yang beragama Islam, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama Islam dan tidak m
elakukan maksiat secara terang-terangan, melaksanakan hukum-hukum dan ajaran-ajara
n agama Islam.
Sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait denga
n kondisi konstektual yang dialami oleh masing-masing-umat. Dalam rentang waktu ya
ng sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempra
ktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khi
lafah berdasarkan syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Adapun mengenai sistem bahwa dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
W.J.S.Poerwadarminta, mengartikan sistem sebagai sekelompok bagian-bagian (alat
dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud.
Sementara menurut Acmad Sanusi, sistem adalah suatu keutuhan kaidah-kaidah yang
teratur dan mempunyai tujuan tertentu, sedang dengan kata pemerintahan dimaksudkan
suatu lapangan kerja,. suatu tugas, khususnya yang disebut pemerintah dan dalam
hubungannya dengan badan perundang-undangan.
Islam memandang bahwa politik merupakan tugas keamanan dan keduniawian
sekaligus yang dilaksanakan secara simultan. Politik sebagai aktivitas konkrit manusia
dalam kehidupannya di dunia, tidak dipahami atas pemenuhan tugas keduniawian saja
yang lebih banyak mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis dengan orientasi yang
bersifat jangka pendek. Politik haruslah diberi muatan keagamaan yaitu nilai-nilai
moralitas keagamaan, sehingga politik menemukan kenyataan hakikatnya sebagai
refleksi tanggung jawab atau amanah manusia, baik secara kemanusiaan maupun
ketuhanan.
Berdasarkan konsep politik demikian, maka orientasi politik dalam rangka
mendapatkan kekuasaan atau kekuatan diperoleh menggunakan pertimbangan moralitas
politik, tidak semata-mata dipergunakan untuk kekuasaan sendiri, tetapi lebih
dipergunakan bagi kemanusiaan secara universal. Kegiatan politik berdampingan
dengan seluruh sektor kehidupan manusia, dengan demikian akan mudah melihat
tempat agama dalam kerangka politik.
Integritas politik dalam Islam terlibat dalam keagamaan dan politik Nabi
Muhammad SAW., yang selanjutnya diikuti oleh al-Khalifah al-Rasyidin. Disusul
dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam wacana kehidupan politik Islam (mulai
dari kebangkitan Dinasti Umayyah hingga pengahapusan sistem khilafah oleh Mustafa

2
Kamal Attaturk di Turki pada tahun 1924 M) banyak timbul dan mencuat kepermukaan
idiom-idiom politik baru.
2.2 Islam Adalah Agama Dan Sistem Negara
Tafsir mengenai hubungan Islam dan negara di kalangan umat Islam sampai
sekarang terbagi menjadi tiga aliran. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yaitu tuhan yang menyangkut
hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik.
Para pendukung aliran ini berpendapat bahwa :
- Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain
sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu atau bahkan
jangan meniru ketatanegaraan barat
- sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan empat al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Tokoh-
tokoh utama dari aliran ini antara lain Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad
Rasyid Rida dan al-Maududi. Aliran ini sering disebut dengan aliran tradisionalis.
Aliran yang kedua adalah aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungan nya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-
rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan
mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur dan Nabi tidak pernah diutus
dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka
dari aliran ini antara lain Ali ‘Abd ar-Raziq dan Taha Husain. Aliran ini sering
dinamakan aliran sekularis.
Aliran yang ketiga adalah aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Akan
tetapi aliran juga menolak pengertian barat yang mengatur hubungan manusia dan
Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan , tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Diantara tokoh dalam aliran ini yang menonjol adalah Muhammad Husein Haikal.
Aliran ini dinamakan aliran modernis atau substansialis.
Berdasarkan pandangan tiga aliran di atas, paling tidak terdapat tiga paradigma
tentang relasi Islam dan negara. Pertama, paradigma integratif bahwa ada integrasi
antara Islam dan negara. Dengan bahasa lain, wilayah agama juga meliputi negara. Oleh
karena itu, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Kedua, paradigma simbiotik yang memandang bahwa Islam dan negara
mempunyai hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga, paradigma
instrumental, yaitu bahwa negara merupakan instrument atau alat bagi pengembangan
agama dan realisasi nilai-nilai agama, didasarkan kepada suatu anggapan bahwa Islam
tidak menentukan format tunggal tentang negara. Berdasarkan perspektif paradigma ini,
aktivitas politik muslim berada pada tatanan kultural yaitu mengembangkan landasan
budaya bagi terwujudnya masyarakat utama sesuai dengan nilai-nilai Islam.

3
2.3 Sistem Negara Islam adalah Orisinil, Bukan Suduran
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017, saduran adalah hasil
gubahan yang disesuaikan dengan maksud pihak penggubahnya, termasuk mengganti
nama pelaku, tempat, waktu, dan suasana dalam sebuah cerita atau mengubah bentuk
penyajian.
Sebagai makhluk politik, sifat sosial manusia berasal dari kenyataan bahwa untu
k menolong dirinya sendiri dalam aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan hid
upnya, manusia harus menyandarkan diri kepada orang lain. Tak ada orang secara mutla
k mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. kebutuhan manusia hanya akan dapat
dipenuhi melalui kerjasama dengan manusia yang lain.
Oleh karena itu, adanya organisasi kemasyarakatan adalah suatu keharusan. Kod
rat manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendirian. Ia membutuhk
an orang lain untuk memenuhinya. Tanpa hal ini eksistensi manusia tidak akan sempurn
a. Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan, manusia pun memer
lukan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka. Dengan
kata lain diperlukannya seorang pemimpin yang paling kuat dan disegani oleh kelompo
knya. Seorang yang demikian disebut sebagai kepala negara atau dalam Islam disebut se
bagai khilafah dan yang menjalankannya yaitu khalifah.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia unt
uk menegakkan hukumhukum syari’at Islam. Dalam al-Qur’an, Allah SWT telah memer
intahkan Rasullullah SAW agar menegakkan hukum diantara kaum muslimin dengan hu
kum yang telah diturunkanNya.
Sistem khilafah pada hakekatnya merupakan pembahasan politik, sebab membic
arakan suatu jabatan yang paling tinggi dalam pemerintahan, dan tentunya merupakan p
embahasan tentang konsep pemerintahan. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem khil
afah, yang mempunyai pola pemerintahan unik yang sangat berbeda dari pola pemerinta
han lainnya. Syari’at yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan, pengaturan uru
san rakyat dan hubungan luar negerinya, itu berasal dari Allah SWT.
Terkait dengan hal ini, menurut Ibn Khaldun khilafah adalah pemerintahan yang
berlandaskan agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk agama baik
dalam hal keduniawian atau akhirat. Menurutnya model pemerintahan seperti inilah yan
g terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak
saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipaka
i sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran agama, khususnya Islam, m
aka kepala negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah penggant
i Nabi dalam memelihara kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Ima
m, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam shalat yang harus diikuti oleh rakyatnya se
bagai makmum. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama atau fardhu kifa
yah, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah.
2.4 Etika Islam Dalam Hubungan Antar Agama
Saat ini, orang-orang beragama di seluruh dunia menghadapi banyak konflik dan
bentrokan di antara mereka. Dan potensi konflik akan muncul pada permukaan ide dan
berpikir. Tesis Samuel P. Huntington menyimpulkan bahwa unsur-unsur yang

4
membatasi objektivitas adalah bahasa, sejarah, agama, tradisi, dan lembaga, sedangkan
unsur yang membatasi subjektivitas adalah sudut pandang kemanusiaan, bagaimana
mereka mengidentifikasi kasus ini. Keragaman ini jelas dan menjadi inti dari masalah.
Itu sebabnya, ini tidak dapat dipungkiri ketika beberapa orang dengan peradaban
mereka berkembang menjadi sebuah kelompok dengan berbagai identitas yang spesifik
dan unik masing-masing.
Sementara itu, dalam perspektif Islam, ada banyak ayat Alquran yang menyebut
Muslim dan non-Muslim yang mencari nilai yang kebenaran dan kemuliaan sebagai
dasar pijakan untuk menciptakan keharmonisan di antara mereka di luar aspek teologi.
Hal ini dapat diwujudkan dengan mengadakan dialog terus menerus dan konstruktif di
antara berbagai ulama. Ada banyak kasus yang akan dibahas dalam dialog, tetapi dalam
pandangan penulis, untuk berperilaku dengan etika mulia dalam kehidupan sehari-hari
adalah gagasan utama untuk menghilangkan konflik dan bentrokan antara masyarakat
beragama dan beradab. Dengan menghormati satu sama lain, dan tidak menunjukkan
ego dan keunggulan agama, akan menentukan komponen untuk mempertahankan
sentimen kolektif dan obyektif.
2.5 Etika Dalam Keadaan Perang
Seorang ahli perang, Carl von Clausewitz, menjelaskan bahwa perang adalah
pertempuran dalam skala besar. Kedua belah pihak yang terlibat dalam pertempuran
tersebut berusaha untuk mengalahkan pihak lawan dengan mengerahkan seluruh
kekuatan yang ada padanya. Seperti dua orang pegulat yang berusaha menekan
musuhnya sampai tidak berkutik lagi dan mengakui kemenangan lawan. Oleh karena
itu, menurut Clausewitz, “war is an act of force to compel our enemy to do ourwill.”
Di sini terlihat ada suatu force untuk mengalahkan musuh. Kekuatan itu dapat
berbentuk fisik peralatan perang (persenjataan dan alat fisik lain) atau kekuatan moral
(semangat) dari para prajurit yang ikut dalam perang. Tetapi, kekuatan tersebut tidak
serta merta dapat digunakan dengan seenaknya. Sang pemilik kekuatan terikat oleh
konvensi tentang maksimum penggunaan kekuatan (maximum use of force). Hal ini
untuk membatasi penggunaan kekuatan terhadap sasaran yang tidak secara langsung
berkaitan dengan peperangan. Masyarakat sipil, misalnya, tidak boleh diserang oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam peperangan.
Secara bahasa jihad bermakna berusaha secara sungguh-sungguh. Dalam kontek
s ajaran Islam, jihad adalah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyebarkan keimana
n dan firmanfirman Allah ke seluruh dunia. Jihad mewakili upaya total untuk menegakk
an keadilan: sejauh menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhan; interpersonal dala
m hubungannya dengan keluarga dan komunitas terdekat mereka; komunal dalam hubu
ngan negara dengan warganya; dan global dalam hubungan luar negeri negara. Oleh kar
ena itu, jihad dapat dimaknai dalam konteks pribadi, komunitas masyarakat, maupun ke
daulatan bernegara.
Dalam konteks diri pribadi, makna jihad adalah berusaha untuk membersihkan p
ikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam
diri, mengerjakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks komunita

5
s kemasyarakatan, jihad dapat dimaknai dengan berusaha agar agama Islam tetap tegak
berjalan pada masyarakat sekitar maupun keluarga, dengan dakwah dan membersihkan
mereka dari kemusyrikan. Sementara itu, dalam konteks kedaulatan bernegara, makna ji
had adalah berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun pengkhi
anatan dari dalam, agar terjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat dalam beribadah,
termasuk di dalamnya pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar.
Ada kesalahpahaman umum tentang penggunaan istilah jihad yang dikaitkan den
gan militer. Anggapan ini muncul dari dua masalah terjemahan yang mengartikan ”jiha
d” sebagai ”perang.” Kesalahpahaman pertama ini berasal dari fakta bahwa istilah “berj
uang” memiliki banyak sekali maknanya. Qital adalah istilah yang tepat untuk konflik b
ersenjata, yang secara kasar diterjemahkan menjadi ”pertempuran.” Al-Qur’an membuat
perbedaan yang jelas antara jihad dan qital. Yang pertama yaitu jihad adalah cara untuk
mencapai keadilan dengan berbagai ”upaya,” tanpa kekerasan; yang kedua (qital) adalah
cara untuk mencapai ”keadilan” dengan konflik bersenjata. Konflik bersenjata dimasukk
an dalam gagasan umum untuk mencari keadilan, sebagai cara terakhir (last resort) untu
k memengaruhi hasilnya.
Harb adalah istilah untuk ”peperangan,” dan digunakan untuk menunjukkan kea
daan qital yang berkepanjangan. Memang, keduanya dapat bermakna ”perang, pertempu
ran, pertarungan, atau konflik.” Perbedaannya adalah qital dapat berlangsung hanya seh
ari atau dua hari selesai, sedangkan harb adalah qital yang berkepanjangan dan dapat me
makan waktu bertahun-tahun. Keduanya sudah melibatkan unsur negara.
Rasulullah mengajarkan bahwa peperangan dapat terjadi sebagai last resort setel
ah berbagai usaha perdamaian tidak tercapai. Bagi Rasulullah, perang bukanlah tujuan,
melainkan sarana untuk berdakwah. Bila ada pilihan lain untuk dakwah yang tidak meni
mbulkan korban, cara itulah yang dipilih. Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu conto
h cara dakwah tanpa kekerasan.
Kalau kemudian terjadi peperangan, Rasulullah mengajarkan bagaimana berpera
ng yang baik dan benar. Etika perang dalam Islam mengenal hak kombatan dan hak no
n-kombatan. Agama Islam melarang seorang muslim memerangi orang yang tidak aktif
berperang. Begitu juga mereka yang terluka dan yang sakit masuk dalam kategori pihak
yang tidak aktif berperang. Oleh karena itu, pasukan Islam tidak boleh menyerang dan
membunuh mereka. Penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap kombatan yang terlib
at dalam peperangan. Terhadap para kombatan pun ada etika yang harus dipenuh, ketika
mereka menjadi tawanan atau terluka. Tawanan perang dapat dibebaskan tanpa syarat a
pa pun atau dibebaskan dengan membayar uang tebusan. Dapat juga tawanan perang no
n-muslim dibebaskan dengan menukar tawanan muslim yang ditawan oleh musuh. Mem
bunuh pun ada etikanya, yaitu seorang muslim dilarang membunuh musuhnya dalam pe
perangan dengan cara mencincang mayatnya.
Non-kombatan atau orang-orang yang tidak ikut dalam peperangan tidak boleh d
ibunuh atau diserang. Nabi Muhammad SAW melarang dengan keras membunuh anak-
anak dan wanita dalam peperangan.24 Dalam peperangan juga tidak diperkenankan mer
usak lingkungan, membakar, atau menebang pohon. Memang, Nabi pernah memerintah

6
kan penebangan dan pembakaran pohon-pohon kurma, ketika perang terhadap kaum Ya
hudi Bani Nadzir, tetapi hal itu adalah strategi untuk memancing musuh keluar dari pers
embunyiannya di kebun kurma agar mau bertempur secara langsung. Dalam berbagai ke
sempatan perang yang lain, Nabi Muhammad melarang perusakan lingkungan tanpa ala
san yang jelas.
Dari sana, kemudian ada beberapa larangan dalam berperang. Secara sederhana,
larangan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Membunuh binatang peliharaan
2. Merusak pepohonan
3. Membunuh/mengganggu perempuan, anak-anak, pendeta dan pertapa, orang lanj
ut usia, orang buta, orang gila, serta orang tidak turut berperang
4. Membawa penggalan kepala musuh yang terbunuh
5. Berperang pada bulan suci (Syawal, Dhulqaidah, Dhulhijjah, dan Muharram) (li
hat QS. 9: 5). Aturan tersebut semula berasal dari masa pra-Islam. Kemudian atu
ran itu berubah ketika terjadi perang Fijar (585 M) yang memperbolehkan peran
g pada bulan suci/haram. (QS. 2: 217)
6. Membunuh secara keji dan kejam terhadap tawanan perang

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Islam sangat memperhatikan pemerintahan, dalam islam penuh dengan aturan ya
ng mengatur kehidupan individu maupun kehidupan suatu komunitas sosial. Tentunya u
ntuk menerapkan aturan-aturan yang ada mestilah di bentuk suatu sistem pemerintahan
yang termasuk di dalamnya adalah sebuah negara yang mengatur kehidupan banyak ora
ng. Maka islam menghedaki terbentuknya suatu negara dan sistem pemerintahan di dala
mnya.
Adapun tujuan dari Negara Islam dan Pemerintahan dalam Islam yaitu agar dapa
t menerapkan setiap aturan yang ada dalam Islam, menegakan keadilan, mensejahteraka
n rakyat dan menghilangkan penjajahan dan perbudakan yang mungkin saja terjadi dala
m suatu komunitas sosial yang tentunya akan membawa kepada kemadhorotan termasuk
dalam tujuan Negara dalam Islam yaitu memberikan keamanan dan mengadili setiap tin
dakan yang menyimpang dengan asas keadilan dan kemanusiaan.

3.2 Saran
Melalui makalah ini kami berharap semoga pembahasan mengenai sistem
negara, pemerintahan di dalam islam sedikit banyaknya dapat dipahami oleh pembaca, s
elain itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila masih terdapat kesalahan-kesalahan
dalam penyusunan makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari p
embaca, untuk kesempurnaan dari makalah kelompok ini.

Anda mungkin juga menyukai