4. Menganalisis ahlil halli wal ‘aqdi dan majlis syura dalam Islam
POKOK-POKOK MATERI
POKOK-POKOK MATERI
1. Konsep sistem pemerintahan dalam Islam
2. Bentuk-bentuk pemerintahan dalam Islam
3. Konsep hak dan kewajiban warga negara
4. Konsep Ahlil halli wal ‘aqdi dan majlis syura dalam pemerintahan
1
DAFTAR ISI
CAPAIAN PEMBELAJARAN ........................................................................................ 1
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN ............................................................................... 1
POKOK-POKOK MATERI ............................................................................................. 1
DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2
URAIAN MATERI .......................................................................................................... 3
A. Sistem Pemerintahan dalam Islam ......................................................................... 4
1. Pengertian Pemerintahan dalam Islam ............................................................... 4
2. Dasar, Nilai dan Cara Pengangkatan Pemimpin dalam Islam ........................... 7
B. Bentuk-bentuk Pemerintahan dalam Islam ............................................................ 9
C. Hak dan Kewajiban Rakyat ................................................................................. 13
D. Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi .............................................................. 18
1. Majlis Syura dalam Pemerintahan ................................................................... 18
2. Syarat-Syarat Menjadi anggota majlis syura ................................................... 19
3. Ahlul Halli wa al-Aqdi .................................................................................... 20
CONTOH SOAL ............................................................................................................ 24
TINDAK LANJUT BELAJAR ...................................................................................... 24
GLOSARIUM ................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 25
2
URAIAN
URAIAN MATERI
MATERI
Islam mengatur kebutuhan manusia sebagai individu dan masyarakat.
Tujuannya adalah agar kehidupan manusia lebih terkendali, disiplin dan
terlindungi dari kejahatan manusia lain. Karena itu, pemerintah diperlukan
hadir untuk mengatasi setiap persoalan masyarakatnya. Pada KB 4 ini,
mahasiswa akan memahami konsep pemerintahan dalam Islam, bentuk-bentuk
pemerintahan dalam Islam, hak dan kewajiban warga negara dan konsep ahlil
halli wal ‘adi.
3
A. Sistem Pemerintahan dalam Islam
1. Pengertian Pemerintahan dalam Islam
Secara etimologi, pemerintahan berasal dari: (a) Kata dasar "pemerintah"
berarti melakukan pekerjaan menyeluruh. (b) Penambahan awalan "pe" menjadi
"pemerintah" berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. (c)
Penambahan akhiran "an" menjadi "pemerintahan" berarti perbuatan, cara, hal
atau urusan dari pada badan yang memerintah tersebut.
Dalam literatur kenegaraan Islam dikenal dengan istilah Imamah, khilafah
dan Imarat. Sehubungan dengan hal ini Abdul Muin Salim mengatakan:
"Pemerintahan sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakan
lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut "wali" atau "amir" atau dengan
istilah lainnya yang dikenal dalam perpustakaan politik dan ketatanegaraan
Islam.
Menurut Hasan al-Banna bahwa Islam menganggap pemerintahan
sebagai salah satu dasar sistem sosial yang dibuat untuk kebaikan manusia.
Islam tidak menghendaki kekacauan atau anarkis dan tidak membiarkan satu
masyarakat tanpa Imam (pemimpin) yang memiliki tugas dan kewajiban sebagai
berikut: pertama, menjaga keamanan dan melaksanakan undang-undang;
kedua, menyelenggarakan pendidikan; ketiga, mempersiapkan kekuatan;
keempat, memelihara kesehatan; kelima, memelihara kepentingan umum;
keenam, mengembangkan kekayaan dan memelihara harta benda; ketujuh,
mengokohkan akhlak; kedelapan, menyebarkan dakwah.
Istilah pemerintahan dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah khilafah,
imamah dan imarah. Kata khilafah merupakan bentuk masdar dari khalafa, yang
berarti menggantikan atau menempati tempatnya. Khala’if merupakan bentuk
plural dari khalifah, sedangkan kata khulafa adalah bentuk plural dari khalif.
Khalifah adalah penguasa tertinggi (as-sultan ala’zam). Dalam pandangan kaum
muslimin, khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan
4
agama dan dunia yang menggantikan kepemimpinan pemimpin sebelumnya.
Menurut al-Baydawi, imamah adalah ungkapan tentang penggantian seseorang
atas Rasul dalam menjalankan qanun-qanun syara’ dan menjaga wilayah agama,
dari sisi wajibnya ia diikuti oleh seluruh umat. Ibnu khaldun menjelaskan,
khilafah adalah memerintah rakyat sesuai aturan syara’ demi kebaikan dunia
dan akhirat.
Khilafah (the Caliphate), oleh sebagian kalangan merupakan sistem
politik dari ideologi Islam yang mewadahi aturan hukum, pemerintah
representatif, akuntabilitas masyarakat melalui mahkamah independen dan
prinsip konsultasi representatif. Kekhalifahan merupakan pemerintahan yang
dibangun di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, gender atau
kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif terhadap kelompok
religius atau etnis.
Definisi di atas menunjukkan hubungan timbal balik antara agama dan
negara yakni keduanya saling memerlukan. Meskipun antara memelihara
agama dan mengatur negara kelihatannya berbeda namun keduanya tidak bisa
dipisahkan. Politik membutuhkan agama begitu sebaliknya agama
membutuhkan politik, itulah khilafah dalam Islam. Imam al-Ghazali pernah
berkata agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah tiangnya. Tiang
akan runtuh jika tidak ada pondasi. Setiap sistem pemerintahan dapat dipastikan
mempunyai tujuan yang akan dicapainya.
Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga tujuan utama pemerintahan
dalam Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Kedua,
menegakkan sistem yang Islami melalui cara yang dimiliki oleh pemerintah.
Pemerintah berkuasa untuk menyebarkan kebaikan serta memerintahkannya
(amar ma’ruf) sejalan dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia. Ketiga,
menumpas akar-akar kejahatan dan kemungkaran yang merupakan perkara
yang paling dibenci oleh Allah swt.
5
Berdasarkan pada pengertian dan pendapat para ahli di atas, bahwa
khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan untuk mewujudkan keadilan,
menghentikan kezaliman, memberikan hak-hak kebebasan untuk mewujudkan
masyarakat yang aman, damai, dan bahagia lahirah dan batiniah tidak peduli
apapun bentuk negaranya baik sistem republik maupun kerajaan.
Dalam konteks Indonesia, pemerintahan dalam Islam telah sesuai dengan
nilai-nilai yang telah diterapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal
ini terbukti dari dasar negara yang menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa
menjadi dasar utama, dan dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas
menyatakan kemerdekaannya karena berkat dan rahmat Tuhan yang maha
kuasa dan didorong oleh keinginan luhur Indonesia. Selain itu, peraturan-
peraturan pemerintah yang telah dibuat telah memberikan kebebasan kepada
penganut agama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Menurut Abdurrahman Wahid bahwa konsep negara Islam sebenarnya tidak
pernah ada tetapi yang ada adalah tawaran-tawaran Islam tentang nilai-nilai
luhur untuk mengisi setiap sendi perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni,
dan lain-lain dalam kehidupan bangsa dan negara.
Senada dengan pemikiran di atas, Nurkhalis Majid mengungkapkan
bahwa konsep bentuk negara yang ditawarkan Islam adalah bentuk negara yang
mengayomi. Dalam artian, dasar negara dari sebuah negara haruslah disepakati
dan dapat diterima oleh semua rakyat negara tersebut. Adapun untuk konteks
Indonesia yang plural, agama tertentu tidak dijadikan dasar dalam negara.
Apabila dipaksakan akan terjadi benturan dalam pluralitas tersebut. Maka
mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua golongan menjadi sebuah
keharusan. Titik temu untuk Indonesia yaitu Pancasila.
Dengan demikian, Pancasila itulah representasi negara berdasarkan nilai-
nilai Islam karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip Tauhid
dalam Islam. Karena Islam hanya menawarkan nilai-nilai luhurnya untuk
mengisi setiap sendi perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni, dan lain-
6
lain dalam aktivitas masyarakat dan bangsa. Menurut Abdurrahman Wahid
bahwa Pancasila dan Undang-undang Dasar dipandang sebagai aktualisasi nilai-
nilai ajaran Islam yang dirumuskan para pendiri bangsa dengan
mempertimbangkan akidah, hukum dan akhlak Islam (Wahid 1991).
7
c. Ketauhidan (mengesakan Allah) yang mengandung arti taat kepada
Allah, rasul-Nya dan pemimpin negara sebagai kewajiban bagi setiap
orang beriman.
d. Adanya kedaulatan rakyat. Hal ini dapat dipahami dari adanya perintah
Allah agar orang yang beriman taat kepada ulil amri (pemimpin).
Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 58 yang
artinya “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah,
taatlah kepada rasul dan pemimpin diantara kamu”
8
(khalifah pendahulunya) yang kemudian disetujui oleh para sahabat lainnya.
Tampaknya dua cara pemilihan khulafa al-Rasyidin di atas lebih bersifat
demokrasi. ketiga, Pengangkatan khalifah melalui pemilihan yang langsung
dilakukan oleh rakyat. Seperti pangangkatan khalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Bani Umayyah. Keempat, pengangkatan khalifah berdasarkan persetujuan
secara bulat oleh rakyat karena calon khalifah dinilai memiliki jasa yang sangat
besar seperti pengangkatan sultan Salim di Mesir. Dan kelima, pengangkatan
khalifah berdasarkan keturunan. Bentuk ini dilakukan dalam sistem kerajaan
yang pernah dipraktekkan oleh dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiah dan
kerajaan Saudi sekarang ini.
Menurut Mawardi banyak cara pengisisan jabatan kepala negara melalui
pemilihan dalam berbagai ragamnya dan melalui penunjukan/wasiat tetapi
beliau tidak mengungkapkan mekanismenya, namun menurut pemikir lainnya,
seorang kepala negara sekali dipilih akan berlaku seumur hidup bahkan Ibnu
Taimiyah lebih ekstrem lagi, keberadaan kepala negara meskipun zalim adalah
lebih baik daripada hidup tanpa kepala negara.
Dari praktek pengangkatan pemimpin sebagaimana tersebut di atas maka
sedikitnya terdapat tiga cara pengangkatan pemimpin dalam Islam. Pertama
pemilihan langsung yaitu rakyat langsung memilih seorang pemimpin yang
mereka inginkan. Kedua pemilihan tidak langsung yaitu berbentuk perwakilan
rakyat dan ketiga adalah pengangkatan pemimpin berdasarkan keturunan yang
disebut dengan sistem kerajaan.
B. Bentuk-bentuk Pemerintahan dalam Islam
Pemerintahan yang diharapkan masyarakat yaitu pemerintahan yang
dalam pelaksanaannya dan pengimplementasiannya memakai sistem
pemerintahan yang jujur, adil, dan harmonis. Pemerintahan yang baik pada
hakikatnya dapat diterima dari semua lapisan baik itu dari lapisan masyarakat
maupun lapisan dari pemerintah itu sendiri. Hubungan pemerintahan dengan
negara tidak dapat dipisahkan karena pemerintah lah yang akan melaksanakan
9
dan mengerjakan segala urusan-urusan yang berkaitan kenegaraan sehingga
tidak dipedulikan apa bentuk negara dalam pemerintahan Islam.
Pemerintahan Islam tidak secara rinci mengatur tentang bentuk
pemerintahan. Turki menggunakan sistem Republik dan Arab Saudi
menggunakan sistem kerajaan. Karena menurut para pemikir Muslim, seraya
merujuk kepada sejumlah ayat dalam Al-Quran, mengatakan bahwa bentuk
pemerintahan bisa berbentuk kerajan maupun republik (Q.S. Al-Baqarah (2): 251;
Shad (38): 26). Praktik yang terjadi dalam perjalanan sejarah Islam
memperlihatkan dua bentuk pemerintahan ini.
Pemerintahan Islam yang berlangsung sepeninggal Nabi, khususnya pada
masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan
Ali ibn Abi Thalib), barangkali sepadan dengan bentuk republik dalam konsep
politik modern. Tetapi pada kurun berikutnya, sejak pemerintahan Umayyah,
Abbasiyyah, sampai dengan Turki Usmani, dan pemerintahan Islam di wilayah
yang lainnya, termasuk di Indonesia, adalah bercorak kerajaan atau monarki
(Muhammad Husein Haikal, 1983: 17-18). Ciri utamanya adalah semasa Nabi
dan Khulafa al-Rasyidin, pergantian kekuasaan tidak bersifat keturunan
(hereditas) dan satu sama lain tidak memiliki hubungan kekerabatan, sementara
pemerintahan selanjutnya pergantian kekuasaannya berlangsung secara turun-
temurun, meskipun tidak mesti antara bapak dan anak. Tidak jarang pula
pergantian itu terjadi berdasarkan pada seberapa kuat pengaruh seorang
anggota (pangeran) istana atas pusaran politik yang ada di istana atau pusat
pemerintahan
Islam hadir bukan hanya sebagai ajaran, namun Islam hadir sebagai
various atau jalan tengah dalam setiap sistem dianut setiap negara, silakan
menganut sistem Liberal, Kapitalisme, atau demokrasi. Namun itu semua
memiliki rambu-rambu yang dijadikan pedoman untuk menjalankan setiap
sistem dalam suatu roda pemerintahan. Semangat kesalehan, kejujuran,
10
keadilan, ketulusan, dan cinta adalah rambu-rambu untuk menjalankan suatu
sistem pemerintahan.
Tata kelola pemerintahan dalam Islam menghendaki pemerintahan yang
bersih dan lembaga-lembaga pemerintahan menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dengan profesional. Tugas dan tujuan utama pemerintahan adalah
untuk melaksanakan ajaran agama ayang dianut oleh masyarakatnya demi
terwujudnya kesejahteraan umat, lahir dan batin, serta tegaknya keadilan dan
amanah dalam masyarakat.
Dengan demikian, John L. Esposito dan Muhammad Husain Haikal
menyatakan secara tegas bahwa tidak ada satu pun konsep mengenai negara
dalam Islam yang disepakati oleh semua sepanjang sejarah. Islam hanya
memberikan instrument etis, namun tidak memberikan rincian detilnya
bagaimana bentuk suatu negara dan bagaimana proses mengelola
kelembagaannya. Banyak individu Muslim yang menyatakan bahwa Islam itu
agama yang lengkap; ajarannya mencakup semua hal dalam bidang kehidupan,
termasuk masalah politik.
Hal ini harus diakui bahwa Al-Quran telah memberikan ajaran yang
lengkap mengenai kehidupan manusia. Namun yang perlu dicatat adalah,
ajaran-ajaran tesebut bersifat umum. Dasar-dasarnya telah ada, tapi
konseptualisasi konkretnya perlu mendapat sentuhan interpretasi atau ijtihad
dari kaum Muslim. Dalam membicarakan masalah negara misalnya, mengutip
Husain Haikal, Al-Quran tidak memberikan konsep mengenai negara. Islam
tidak memberikan petunjuk langsung dan rinci bagaimana umat Islam
mengurus persoalan negara. Negara dalam Islam masih berupa petunjuk sebagai
instrument etis. Bagaimana bentuk negaranya, sistem pemerintahannya, proses
pelaksanaannya, dan lain-lain tidak dijelaskan. Hal ini memungkinkan terus
dibukanya ijtihad politik di dalam diri umat Islam.
Dalam pandangan Al-Mawardi agar negara dapat ditegakkan, dari segi
politik hal itu mempunyai enam unsur pokok: pertama, agama yang dianut dan
11
dihayati sebagai kekuatan moral. Kedua, penguasa yang kharismatik,
berwibawa dan dapat dijadikan teladan. Ketiga, keadilan yang menyeluruh.
Keempat, keamanan yang merata. Kelima, kesuburan tanah yang
berkesinambungan. Keenam, harapan kelangsungan hidup melalui sendi dasar
etik yang demikian diharapkan negara benar-benar mengupayakan segala cara
untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka,
memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh
rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama
memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara
penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dan
lawan.
Dalam ajaran Islam, mendirikan sebuah negara merupakan sebuah
keharusan. Oleh karena itu ulama bersepakat bahwa hukum mendirikan negara
yang di dalamnya agama menjadi pondasi menjadi sebuah kewajiban kolektif
(fardhu kifayah). Hal ini didasari oleh alasan yang bersifat aqli dan naqli. Secara
aqli (akal sehat) keharusan mendirikan negara disebabkan karena tidak mungkin
untuk melaksanakan hak dan kewajiban seperti membela agama, menjaga
keamanan dan sebagainya tanpa adanya pemerintahan. Secara naqli, banyak
ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menegaskan bahwa umat Islam harus
menjadi negara yang berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Ha ini
diantaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Nur ayat 55
ين ِم ْن ِ ض َكما استخلَ ه ِ ِ ِ اَّلل اله ِذين ءامنُوا ِمْن ُكم وع ِملُوا ال ه
َ ْ َ ْ َ ِ هه ْم ِِف ْاْل َْر
َ ف الذ ُ صاِلَات لَيَ ْستَ ْخل َفن ََ ْ َ َ َ َُو َع َد ه
هه ْم ِم ْن بَ ْع ِد َخ ْوفِ ِه ْم أ َْمنًا ِ ِ ِ ِ ِ
َ َقَ ْبل ِه ْم َولَيُ َمكنَ هن ََلُْم دينَ ُه ُم الهذي ْارت
ُ ضى ََلُْم َولَيُبَدلَن
Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (al-Nur/24: 55).
12
Dengan demikian, khilafah dalam arti suatu sistem pemerintahan atau
negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat telah
diimplementasikan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
beridiologi Pancasila dengan Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan makna khalifah dalam arti suatu sistem yang mengharuskan dasar
atau landasan suatu negara dengan formalistik Islam sangatlah tidak mungkin.
Khilafah atau pendirian negara khilafah di Indonesia sudah ditentang oleh para
ulama.
13
sebuah janji yang disebut dengan baiat. Sebab baiat mengandung janji setia antara
rakyat dengan khalifah. Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan
oleh Ibnu Khaldun bahwa baiat adalah perjanjian atas dasar kesetiaan. Orang
yang berbaiat harus menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala negara
sebagai pemimpinnya untuk melaksanakan semua urusan umat. Menurut Hasbi
Ash-Shidiqi bahwa baiat merupakan sebuah bentuk pengakuan umat untuk
mematuhi dan mentaati imam (pemimpin). Ini dilakukan oleh ahlul halli wal
aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.
Dalam baiat, rakyat berjanji setia untuk mentaati kepala negara selama
pemimpin negara itu tidak melakukan sesuatu yang melanggar syariat.
Demikian juga kepala negara melaksanakan hak dan kewajibannya yaitu
melaksanakan undang-undang demi mewujudkan keadilan. Baiat dalam tatanan
politik, umat menyerahkan sebagian haknya untuk diatur sesuai dengan
ketentuan yang ada. Sebab baiat itu sendiri suatu kontrak sosial yang rakyat
sepakat untuk memberikan sebagian haknya kepada pemimpin untuk
diperintah dan diatur kehidupannya agar terjamin kebebasannya.
Baiat menjadi sebuah media perekat ikatan dalam bentuk solidaritas
seagama dan senegara. Keduanya memiliki hubungan simbiosis tersendiri lebih
dari sekedar ikatan komunal, etnis, bahkan keluarga sekalipun. Baiat dalam hal
keagamaan memberikan dampak terhadap pengekangan keganasan individual.
Meminimalisir semangat persaingan yang tidak sehat, perasaan iri antar sesama,
dan memberikan pandangan atas tujuan yang sama, yakni mendapat ridha dari
Allah swt. Sedangkan negara menjadi wadah pembentuk solidaritas yang
memberikan kenyamanan rakyat. Melalui berbagai peraturan, sehingga
mendorong semangat lahirnya nasionalisme yang pada akhirnya rakyat
memiliki kewajiban moral untuk melindungi negaranya tanpa memandang latar
belakang apa pun.
Adapun baiat dalam konteks politik Islam Indonesia lebih terlihat pada
saat sumpah jabatan. Baik lembaga eksekutif, legislatif dan yudhikatif saat
14
mereka dilantik. Mereka akan disumpah dan janji sesuai dengan agamanya
masing-masing sebelum menjalankan jabatannya. Mereka didampingi oleh
rohaniawan. Sumpah dan janji inilah yang kemudian dikenal dengan sumpah
jabatan.
Dalam sistem khilafah, rakyat sebagai kumpulan manusia yang dipimpin
memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara adil. Apa hak dan
kewajiban rakyat setelah melakukan janji setia (baiat)? Berikut ini adalah hak-
hak rakyat di satu sisi. Tapi di sisi lain merupakan kewajiban pemerintah.
Pertama, hak keselamatan jiwa dan harta. Dalam hal ini pemerintah
berkewajiban untuk melindungi keamanan hidup rakyatnya dan harta benda
yang mereka miliki sehingga mereka bisa hidup dengan tenang. Hal ini
ditegaskan oleh Allah swt. dalam surat al-Isra ayat 33.
Artinya: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membununya
kecuali denagn alasan yang dibenarkan (QS. 17:33).
Ayat yang berkaitan dengan dengan keselamatan hak milik. Allah berfirman
15
Ketiga, Hak untuk menolak kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam hal
ini pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari prilaku zalim dan kesewenang-
wenangan. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt:
ِ لس
وء ِم َن الْ َق ْوِل إِهَل َم ْن ظُلِ َم ُّ اْلَ ْهَر ِِب
ْ ُاَّلل
ب ه ُّ ََل ُُِي
Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus
terangkecuali oleh orang yang dianiaya. (QS. Al-Nisa/ 4:148).
Keenam, hak mendapatkan bantuan materi bagi rakyat yang lemah. Dalam hal
ini pemerintah berkewajiban untuk mebantu rakyat yang lemah. Hal ini didasari
oleh firman Allah swt:
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Qs. 51:19).
16
Demokrat, rendah hati, dan toleran; 2. Strong, clean, dan visioner; 3. Berani
merekonsiliasi perbedaan; 4. Bersedia menerima kesalahan; 5. Mempunyai
kompetensi dan log baik; 6. Memiliki kemampuan komunikasi baik, dan; 7.
Memiliki keluarga baik. Sebab tugas dari seorang pemimpin bukan hanya
sebatas mengelola pemerintahan, akan tetapi hal yang lebih urgen dan hal yang
lebih penting yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin adalah mampu
membimbing masyarakatnya menjadi manusia bermartabat dan menjunjung
tinggi nilai-nilai ethical dan religious terhadap masyarakatnya.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, rasul-
Nya dan para pemimpin di antara kamu. (Qs. Al-Nisa/4:59).
17
Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan
memperbaikinya (Qs. Al-A’raf/7:85).
Artinya: Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah (agama) dan
janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali-Imran/3:103).
18
bertugas untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Majlis ini memiliki tugas
utama yaitu mengangkat dan memberhentikan khalifah.
Pada masa Rasulullah istilah majlis syura belum ada. Namun praktek
melaksanakan musyawarah telah dilakukan oleh rasul sebagai seorang
pemimpin negara. Rasulullah sering memanggil para sahabatnya untuk
berunding mengambil keputusan dalam urusan negara dan masyarakat.
Demikian juga yang dilakaukan oleh khulafa al-rasyidin setelah rasul meninggal.
Mereka selalu bermusyawarah. Musyawarah merupakan cara untuk mengambil
keputusan. Karena dengan musyawarah sebuah keputusan lebih kuat dan jauh
dari kekeliruan karena antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Allah memerintahkan kepada kita untuk bermusyawarah. dalam segala urusan
terlebih pemimpin negara. Firman Allah swt.
Artinya:” Bermusyawarahlah kamu kepada mereka dalam segala urusan. (QS. Ali
Imran/3:159).
a. Berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan. Sikap ini mencerminkan
bahwa anggota majlis syura adalah mereka memiliki sifat jujur dan
bertanggung jawab.
19
c. Memiliki kearifan dan wawasan yang luas. Anggota majlis syura dalam
memutuskan sesuatu harus ditujukan untuk kemsalahatan ummat bukan
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dalam ilmu fiqh Ahlul halli wal aqdi diartikan orang yang dipilih sebagai
wakil ummat untuk menyuarakan hati nurani umat. Ahlul halli wal aqdi adalah
orang-orang pilihan. Mereka terdiri dari ulama, cerdik pandai dan pemimpin
yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Ahlul halli wal aqdi adalah wakil
rakyat yang menjadi anggota majlis syura. Mereka dipercaya oleh rakyat dan
keputusan mereka ditaati oleh rakyat. Imam al-Mawardi menyebut sebagai ahlul
20
ikhtiyar yaitu golongan yang berhak memilih. Penyebutan ini sangat beralasan
sebab tugas utama Ahlul hali wal-aqdi karena memilih dan memberhentikan
secara langsung seorang kepala negara (khalifah).
Ahlul halli wal aqdi memiliki beberapa hak atau wewenang sebagai berikut:
pertama, Ahlul halli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang
mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat khalifah. Kedua, Ahlul
halli wal aqdi mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat
kepada yang maslahat. Ketiga, Ahlul halli wal aqdi mempunyai wewenang
membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal
yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Quran dan Hadist. Keempat, Ahlul halli
wal aqdi tempat konsultasi khalifah di dalam menentukan kebijakannya. Kelima,
Ahlul halli wal aqdi mengawasi jalannya pemerintahan. Berdasarkan pada hak-
hak tersebut, hak-hak Ahlul halli wal aqd serupa dengan wewenang MPR dan
DPR dalam pemerintahan Indonesia.
21
berdasarkan atas mandat dari rakyat, maka pemimpin harus bertanggungjawab
terhadap Ahlul halli wal aqdi ketika masa jabatannya berakhir. Ketiga, kedudukan
Ahlul halli wal aqdi hanya sebatas pemberi masukan, saran dan konsultasi kepada
pemimpin dalam rangka sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil
kebijakan yang berkaitan dengan berbagai bidang atau aspek keahlian yang
dimiliki oleh Ahlul halli wal aqdi. Keempat, pengangkatan pemimpin yang
dilakukan oleh Ahlul halli wal aqdi sangat berpotensi meminimalisir
kepentingan-kepentingan segelintir orang yang menyampingkan kepentingan
umat, karena komposisi Ahlul halli wal aqdi itu sendiri merupakan orang-orang
professional yang memiliki kapabilitas di bidangnya masing-masing dan
memiliki mandat rakyat, Kelima, pemimpin yang melakukan penyelewengan
kekuasaan (abuse of power), maka dalam penanganannya dilakukan oleh Ahlul
halli wal aqdi.
22
negeri ini hanya orang-orang yang tidak beretika, sebab ia lebih memilih
membuat orang lain terancam.
Selain itu, mereka juga orang-orang yang tidak memiliki sikap tasamuh
(toleran), merasa pendapatnya paling benar, merasa paling menegakkan islam,
merasa paling suci, dan perasaan-perasaan lainnya. Padahal ada orang lain yang
juga bisa berpandangan berbeda. Perbedaan adalah fitrah, perbedaan tidak
harus disatukan, tetapi perbedaan itu harus dihargai, dengan menghargai
perbedaan, hidup ini menjadi lebih indah dan aman. Tidak akan ada terror,
pembunuhan dan kekerasan. Marilah hargai setiap perbedaan. Inilah dua nilai
penting dari moderasi beragama.
Selain dari dua nilai tersebut, lakukan Analisa Saudara terhadap nilai-
nilai moderasi seperti nilai i’tidal (seimbang), muwathanah (cinta tanah air) dan
syura (musyawarah).
23
CONTOH SOAL
Contoh Soal
Perhatikan pernyataan di bawah ini:
Dalam piagam Madinah Rasulullah SAW diakui sebagai pemimpin tertinggi,
yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tapi
walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau
pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-
tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan
mampu.
Berdasarkan pada pernyataan di atas, pernyataan yang benar adalah:
A. Nabi Muhammad Saw bukan hanya seorang Rasul tetapi juga sebagai
seorang kepala negara yang mengatur semua urusan umatnya, tetapi
beliau menyadari bahwa seorang pemimpin perlu dibantu dengan
mengangkat orang tertentu untuk membantu urusan
kepemimpinannya.
B. Nabi Muhammad SAW hanya seorang Rasul, beliau mengatur urusan
negaranya berdasarkan wahyu,
C. Nabi Muhammad Saw hanya seorang kepala negara yang melaksanakan
urusan kenegaranya di bawah bimbingan wahyu.
D. Nabi Muhammad Saw seorang manusia biasa yang dipilih oleh Allah
untuk menjadi seorang kepala negara.
E. Nabi Muhammad SAW seorang rasul dan pemimpin yang dipilih oleh
Allah untuk mampu mengatur urusan rakyatnya berdasarkan wahyu dan
jiwa kepemimpinannya.
1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG.
Baca artikel kemudian lakukan analisis berdasarka isi artikel!
24
2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul
di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS
program PPG.
Glosarium
GLOSARIUM
Khilafah : Pergantian Kepemimpinan/Perwakilan
Imamah : Kepemimpinan
Imarah : Pemerintahan
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Terj. Drs. Asep
Hikmat, The Islamic Law and Constitution. Cet. 4; Bandung: Mizan, 1995.
al-Mawardi, Imam, al-Ahkam alSulthaniyyah. Cet. 1; Tnt: Dar al-Fikr, 1960.
al-Qardhawi, Dr. Yusuf, Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, terj.
Kathur Suhardi, Min Fiqh ad-Daulah Fil Islam. Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1997.
Majid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
25
Sirajuddin, Politik Ketatanegaraan Islam Studi Pemikiran A. Hasjmy, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Wahid, Abdurrahman. 2010. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia &
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. 2010
Wahid Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, Jakarta: Tha Wahid Institute. 2006.
26