Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan kontribusi yang cukup signifiksn terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai yang berazaskan Islam, serta partai
nasionalis yang berbasis umat Islam. Kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-tokoh
politik Islam dandan umat Islam terhadap keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia
sejak proses awal kemerdekaan hingga zaman reformasi. Piagam Jakarta merupakan hadiah
umat Islam kepada bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia. Tetapi masih tetap dirasakan adanya sesuatu yang
mengganggu kalimat yang menyatakan : “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya…” telah melewati saat-saat yang cukup kritis, maka pada tanggal 18
Agustus 1945 wakil-wakil Islam akhirnya usul penghapusan anak kalimat tersebut dari
Pancasila dan Batang tubuh UUD 1945.
Sila pertama yang pertama Ketuhanan mendapat atribut yang fundamental, sehingga
menjadi penting, sebab dengan jalan demikian wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan
dengan politik umat Islam, tetapi pada tahun 1978 mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu
Perwira Negara memberi tafsiran itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa dan
kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan. Pernyataan Alamsyah tersebut bisa dibaca
dalam konteks politik Indonesia waktu itu, barangkali dapat di artikan sebagai usaha untuk
meyakinkan pihak-pihak tertentu, bahwa loyalitas umat Islam kepada Pancasila tidak perlu
diragukan lagi.
Berkaitan dengan keutuhan Negara, Mohammad Natsir pernah menyeru umat Islam
agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, rumusan
Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Karena
nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila, juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa umat Islam rela
menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Pancasila yaitu kata-kata “kewajiban
melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya
atas dua pertimbangan : pertama, nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam; dan, kedua,
fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan atas berbagai golongan, untuk mewujudkan
kesatuan politik bersama.
SISTEM POLITIK ISLAM
A. PENGERTIAN SISTEM POLITIK ISLAM
Dalam terminologi politik Islam, politik diidentikkan dengan siasat dalam mengatur.
Kedudukannya dalam ilmu Fiqih, siyasah atau politik merupakan pokok ajaran Islam yang
mengatur system kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan
tindakan (policy atau kebijakan siasat dan sebagianya) tenteng pemerintahan suatu negara
terhadap Negara lain. Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu Negara
dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Dalam ilmu fiqih siyasah disebutkan bahwa garis besar fiqih siyayah itu meliputi :
1. Siyasah Dustutiyyah (berisi tata Negara dalam Islam )
2. Siyasah Dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara suatu Negara Islam
dengan Negara Islam yang lain atau dengan Negara lainnya).
3. Siyasah Maaliyyah (mengatur system ekonomi negara)
Sistem kedaulatan bararti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-
kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Dalam konsepsi Islam,
kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT, ekspresi kekuasaan Allah SWT tersebut tertuang
dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan
yang mutlak. Ia hanyalah wakil Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan atau
menerjemahkan, menafsirkan ayat-ayat Allah dan sifat-sifat-Nya dalam kehidupan yang
nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak
memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
B. Prinsip-Prinsip Dasar atau Siyasah Dalam Islam
Prinsip-Prinsip Dasar atau Siyasah Dalam Islam meliputi:
1. System musyawarah (Al-Syuraa)
Musyawarah dalam istilah Al Qur’an adalah Syuuraa. Dalam QS.Al Imron :159
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah lembut pada mereka.
Sekiranya engkau kasar dank eras mereka niscaya akan menjauhkan diri darimu karena itu
ma’afkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawarahalah dengan
mereka tentang urusan (yang penting) itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menciptakan orang-orang yang
bertawakal.”
Pemikiran mengenai konsep musyawarah dapat dijumpai diberbagai tempat, misalnya
di Yunani dan di romawi. Dalam kaitannya orang sudah mengenal karya Plato yang berjudul
Republik yang mengutarakan gagasan-gagasannya tentang suatu pemerintahan yang adil
sesuai dengan kepentingan mereka yang diperintah dan yang dipimpin orang-orang yang
bijaksana.
Contoh kongkrit system demokrasi yang dikenal dalam sejarah adalah Republik
Athena pada abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi. Dalam system itu rakyat berkumpul untuk
bermusyawarah membuat Undang-Undang dan memilih pimpinan pemerintah. Seorang ahli
tafsir dari aliran Syi’ah dalam menjelaskan sebab-sebab ayat 38 surat As-Syura menyatakan
bahwa kaum Ansor telah melakukan musyawarah ssebelum jaman Islam juga sebelum
kedatangan Nabi SAW ke Madinah.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an sebenarnya
adalah legitimasi terhadap tradisi yang sudah ada pada waktu itu dan dianggap baik.
Mujadalah atau diskusi merupakan salah satu bentuk musyawarah. Faktor-faktor dalam
musyawarah :
a. Masalah yang diangkat adalah apakah konsep as-syuuraa itu sama dengan konsep
demokrasi dijaman modern.
b. Kenyataan bahwa pada jaman sekarang ini bentuk dan system penyelenggaraan dan
pemeritah di negara-negara islam tidak semuanya republic demokrasi.
Di lain pihak, negara-negara yang menyatakan sebagai republic demokrasi atau
demokrasi rakyat belum tentu memiliki tradisi demokrasi. Kenyataan menunjukan bahwa di
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Isalam umumnya berada ditangan
penguasa yang mengekang demokrasi. Salah satu pandangan yang moderat adalah bahwa
Islam sebenarnya walaupun dalam prinsipnya mengutamakan sifat pemerintahan jumhurriyah
atau reepublik membenarkan juga pemerintahan mulkiyah (atau kerjaan) jika rakyat
menghendakinya dan dengan catatan kerajaan itu dibawah dasar permusyawaratan
berdasarkan parlementer. Islam mengingkari pemerintah sewenang-wenang, pemerintahan
yang tidak mementingkan permusyawaratan suara rakyat, walaupun bercorak apa saja.
Tegasnya Islam menghendaki pemerintahan yang demokratis ala Islam. Karena itu jika rakyat
menghendaki pemerintahan yang bersifat mulkiyah diperintah oleh raja, maka Islam sekedar
membolehkan, bukan mengutamakan. Dalam hal kerajaan ini, raja tidak dipandang sebagai
orang yang memiliki negera melainkan hanya sebagai pemangku amanah.
2. KEADILAN (al-adl)
Keadilan menurut al-qur’an meliputi lima hal:
a. Keadilan Allah yang bersifat mutlak. Dalam al Qur’an dijelaskan bahwa allah
adalah zat yang menegakkan keadilan(QS.Ali Imron/3:18)
b. Keadilan firmann-nay atau ayat-ayat-Nya tertuang didalam Al Qur’an. Dinyatakan
bahwa Allah SWT telah menurunkan AL-Kitab dalam neraca keadilan, agar supaya manusia
dapat menegakkan keadilan (QS Al Maida/5:25)
c. Keadilan syariatnya yang dijelaskan oleh rosul-nya. Didalam Al-Qur’an dinyatakan
bahwa agama Allah, agama yang dibawa oleh Muhammad adalah agama yang benar yang
berasal dari agama Nabi Ibrahim yang lurus (QS. Al An’am/6:161)
d. Kedilan pada alam ciptaannya. Didalam Al-Qur’an diterangkan bahwa Allah telah
menciptakan manusia di dalam keseimbangan, keserasain yang sangat indah (QS.At-Tin : 4).
Juga diterangkan bahwa Allah menjadikan alam semesta serba berimbang (QS. Ar-
Ra’d/13:2).
e. Keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Di
dalam Al-Qur’an diserukan agar orang-orang beriman dapat menegakkan keadilan semta-
mata Karena Allah dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi.
Lima prinsip itulah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an. Dalam hal ini akan dijelaskan
lebih lanjut tentang keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan social. Keadilan social merupakan
suatucita luhur yang lahir dari hati nurani manusia. Ia merupakan kualitas masyarakat ideal
yang diharapkan tercipta di dalam mewarnai kehidupan bersama., suatu kehidupan di mana
angota-angotannyahidup rukun, saling memerlukan dan saling mendukung, tak ada
yangberlaku aniaya dan tak ada pula yang diperlakukan dengan aniaya. Cita-cita luhur ini
telah mengilhami dan menyemangati berbagai pemikiran manusia dan gerakan masyarakat
yang merasa terpanggal jiwanya untuk membangunsebuah masyarakat yang ideal, yaitu
masyarakat yang berkeadilan sosial. Berbagai kelompok masyarakat ingin membentuk
kelompoknya yang berkeadilan sosial tersebut denngan cara mereka sendiri. Dalam hal ini,
Indonesia menjadikan keadilan social menjadi dasar dan ideology kehidupan bermasyarakat
dan negara, yang juga merupakan cita-cita.
Kita ingin membentuk masyarakat dan negara yang berdasarkan dan beriologi
keadilan sosial sebagaimana masyarakat dan negara yang berkehidupan sosial dimana adil
merupakan cita-cita kita bersama. Islan juga demikian sangat menekan keadilan. Al-Qur,an
sangat mengedeapkan temakeadilan manusia, bahkan Nabi SAW sendiri dengan tegas
diperintahkan agarvberlakunadil terhadap orng-orang yang Non-Islam sekalipun (QS. Asy-
Syura/42:15). Para aparat Pemerintah diperintahkan agar melaksanakan peraturan dengan adil
(Qs=S. Al-Hujarat/49:9). Bahkan seorang suami yang mempunyai istri dari satu
(POLIGAMI) disyaratkan agar bersikap adil terhadap istri-istrinya (QS. Ann-Nisa’/4:3). Oleh
karena itu jiwa perkawinan dalam Islam adalah monogamy.
3.PRINSIP KEMERDEKAAN (al-huriyyah)/KEBEBASAN YANG
NERTANGGUNG JAWAB
Kebebasan yang bertanggung jawab pada prinsipnya adalah kebebasan hati nurani.
Kebebasan dan kebahagiaan hati nurani tidak dapat dicapai dengan membebaskan diri dari
kenikmatan hidup di dunia, mengabaikan kehidupan dunia, dan hanya selalu mengahadap ke
arah Tuhan di langit. Dorongan-dorongan hidup tak dapat dikalahkan selama-lamanya, dan
sering manusia tunduk kepada dorongan-doronga hiduo tersebut di dalam banyak hal.
Menindas dorongan-dorongan hidup tak selamanya baik. Allah menciptakan kehidupan ini
adlah untuk dapat memanfaatkan dorongan hidup duniawi sehingga dapat mengalahkan
keinginannya demi segala sesuatuyang bermanfaat. Islam telah mulai membebaskan hati
nuranimanusia dari menyembah apa saja selain Allah dan dari tunduk kepada siapun juga
kecuali Allah. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat mematikan dan menghidupkan selain
Allah. Juga tak ada sesuatu apapun yang berkuasa untuk mendatangkan malapetaka dan
memberikan manfaat kecuali Allah. Tidak ada sesuatu apapun yang memberikan rezeki
kecuali Allah. Tidak ada perantara antara orang dengan Tuhan, Allah Yang Maha Esa, dialah
yang Maha Kuasa sedang yang lainnya bergantung kepada-Nya. Di dalam Al-Qur’an
( QS.Al-Ikhlas/112:1-4) Allah berfirman: “Katakanlah Dialah Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada berputar dan tidak diputrakan.
Dan tidak ada seorang pun yangsetara dengan-Nya”.
Apabila orang telah meng-esa-kan Allah, maka esa pulalah ibadahnya. Tidak ada
sesuatupun yang ditujukan kepada selain Allah. Seseorang tidak lebih utama daripada
lainnya, kecuali dengan amal dn taqwanya. Islam menekankan hal ini dengan sungguh-
sungguh dank arena para Nabi merupakan orang-orang yang mungkin menjadi sasaran
penyembahan dan penghormatan yang melebihi batas, maka Islam membebaskan hati nurani
manusia dari hal ini dengan pembebasan yang sempurna (QS.Ali Imran/3:144) Allah
berfirman: “Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa Rasul”. Dan Tuhan memerintahkan kepada Muhammad supaya menerangkan
kedudukannya dengan jelas: “sesungguhnya Aku (Muhammad) hanya menyembah Tuhanku
dan Aku tidak mempersekutukan sesuatu apappun dengan-nya”. “Sesungguhnya Aku tidak
kuasa mendatangkan sesuatu kata kemadharatan juga tidak pula mendatangkan sesuatu
kemanfaatan, katakanlah sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorangpun yang dapat
melindungiku dari azab Allah dan sekali-kali aku tadak akan memperoleh tempat
perlindungan selain dari pada-Nya”.
4. PRINSIP PERSAMAAN (al-Musaawah)
Persamaan yang dimaksud adalah persamaan kemanusiaan. Apabila rohani manusia
telah merasakan kebebasan maka ia akan dapat membebaskan diri dari perhambaan, ia
percaya bahwa mati, sakit, miskin dan kerendahan diri (rendah diri), tidak akan menimpa
dirinya kecuali dengan izin Allah. Orang yang demikian itu akan selalu merasa berkecukupan
di dalam hidupnya. Islam tidak menganggap cukup dengan pengertian-pengertian yang
tersimpan dari kebebasan rohani. Tapi islam meletakkan dasar-dasar persamaan dengan
kalimat dan nash, hingga dengan emikain bisa dipahami secara jelas. Islam menetapkan
tentang kesatuan jenis manusia sejak permulaan, baik lahir maupun batin pada waktu hidup
maupun mati, dalam hak dan kewajiban di depan undang-undang dan di depan Allah, baik
dunia maupun akhirat. Orang tidak dibedakan dari yang lain kecuali dengan amal salehnya.
Dan orang tidak akan lebih mulia dari lainnya kecuali dengan taqwa (inna akromakum
‘indallahi atqooqum).
Aadapun antara jenis laki-laki dan perempuan maka wanita menduduki tempat yang
sama dengan laki-laki dilihat dari segi jenisnya. Dan apabila ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan maka perbedaan itu terletak di dalam kesiapan masing-masing. Dalam hal
agama dan kerohanian maka antara laki-laki dan perempuan sama sekali tidak ada bedanya.
Allah berfirman (QS. An-Nisa’/4:124): “barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik ia
laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka masuk ke dalam surga
dan tidak dianiaya walau sedikitpun”. Juga dalam QS. An-Nahl/16:97 : “barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka kerjakan”.
Adapun tentang penerimaam warisan atau hokum waris, bahwa laki-laki menerima
dua kali lipat dari bagian perempuan maka masalahnya adalah keadaan orang laki-laki yang
bertanggung jawab di dalam kehidupannya. Ia mengawini seorang perempuan dimana ia
meanggung kehidupannya juga kehidupan anak-anaknya dalam menegakkan rumah tangga.
Oleh karena itu merupakan hak-haknya, ia memperoleh dua bagian dalam warisan itu. Jadi
masalahnya adalah karena perbedaan tanggung jawab sehingga ia menerima warisan lebih
daripada perempuan. Bahkan di dalam masalah hak perlindungan atau kehormatan, wanita
lebih banyak daripada laki-laki.
Pada suatu hari ada seorang sahabat dating kepada Nabi: “wahai rasulullah, siapakah
orang yang harus saya hormati?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?”. Rasulullah menjawab: ”Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi; “Lalu siapa setalah
itu?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasulullah baru
menjawab: “Bapakmu”.
Di dalam hadist lain dijelaskan Rasulullah pernah bersabda bahwa : “surge itu terletak
di bawah telapak kaki ibu”(al-Jannatu tahta aqdamil ummahaat)(al-Hadist). Dengan demikian
jelaslah bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat persamaan di dalam
agama,kesamaan-kesamaan dalam pemilikan dan kesamaan dalam mencari nafkah dan
sebagainya. Kita menghormati manusia oleh karena jenisnya sebagai manusia bukan karena
dirinya, bukan karena golongan, dan bukan karena sukunya. Kehormatan itu terdapat pada
semua orang dengan persamaan mutlak. Manusia berasal dari Adam dan Adam dari tanah.
Dan apabila Adam dimuliakan, maka anak cucunya juga dimuliakan. Seluruh manusia
mempunyai kehormatannya sendiri yang tidak dapat dilanggar oleh orang lain. Demikian
Islam mengatur kehidupan manusia baik dari segi rohani maupun social supaya dengan itu
kokohlaharti aspek persamaan.
Meskipun Jihad dalam bentuk perang dibenarkandi dalam Islam, namun pembenaran
tersebut sebatas di dalam mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas dalam
rangka menaklukkan lawan bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau
permusuhan. Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua dan
anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah dan sarana serta prasarana ekonomi
rakyat secara umum harus dilindungi.
Berkaitan dengan keutuhan negara, Mohammad Natsir pernah mennyeru umat Islam
agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, rumusan
Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Karena
nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila , juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Demi keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa umat Islam rela
menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Pancasila yaitu kata-kata “Kewajiban
melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya
atas dua pertimbangan: pertama, nilainya dibenarkan oleh ajaran agma Islam; kedua,
fungsinya sebagai noktah-nokttah kesepakatan atas berbagai golongan, untuk mewujudkan
kesatuan poliitik bersama.
Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya
bersifat rah}matan lil‘alamin (rahmat bagi semua) tapi juga bencana, karena melahirkan
fenomena-fenomena kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat
banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa
agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi
manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau
kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi kekerasan atas nama
agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan gambaran diatas,
wajar bila seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini
adalah pendidikan yang menciptakan manusia dengan kondisi kejiwaan labil, yang
menyebakan manusia mudah terprovokasi dalam keburukan yang di kemas dengan nilia-nilai
ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan pada diri manusia yang kemudian
menumbuhkan penyakit kejiwaan dan krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tersebut
disebabkan pendidikan yang diterimanya telah menjadi virus yang mematikan pada
kepribadiannya, yang jauh dari kebenaran yang ada dalam al-Qur‟an, dan berimplikasi,
ketenangan dan kebahagiaan hidup kian sulit didapat.
Hal di atas tidaklah sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang berfungsi sebagai
alat yang digunakan manusia untuk tetap survive baik sebagai individu maupun masyarakat.
Maka tujuan akhir dari pada pendidikan islam tidak lepas dari tujuan hidup muslim, karena
pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia menurut ajaran
Islam. Dengan demikian, tidaklah tepat kalau pendidikan Islam memberikan pengaruh buruk
terhadap kepribadian manusia akan tetapi sebaliknya pendidikan Islam memberikan dampak
yang sangat baik bagi perkembangan kepribadian manusia, sebagaimana yang akan diulas
dibawah ini.
Dari sinilah pendidikan Islam memiliki peran pendidikan sangat terlihat, misalnya
pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan
kesadaran akan makna hidup, memberikan rasa tenang dan memberikan dukungan psikologis
bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yang sedang mendapati dirinya dalam menghadapi
kegoncangan kejiwaan, dalam hal ini pesan agama menumbuhkan kesadaran akan makna
hidup dengan nilai ibadah, pengabdian kepada Tuhan baik secara personal maupun sosial
kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya
perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial
yang destruktif serta perekat sosial tanpa melihat berbagai latar belakang yang berbeda.
Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif istilah yang kerap dipakai untuk
menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan sebagai fenomena kultural
performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin
ditelaah dari dua prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan aplikasi-praktis. Prespektif pertama
mengantarkan pada pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya
dengan dasar yang diambil dari al-Qur‟an dan Hadis, serta sumber hukum Islam lainnya.
Melalui prespektif ini, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam memiliki “keluasan”
dan “kedalaman” makna, yang penuh alternatif dan menantang kreativitas dan kecerdasan
akal pikir manusia untuk merungkannya dan menyiasatinya dalam rangka mengubah yang
possible (mungkin) menjadi yang plausible (masuk akal).
Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan
dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara
“historis-sosiologis”.
Hal ini karena untuk menghindari terjadi pemaknaan yang salah terhadap ajaran
dalam pendidikan Islam, serta menjauhkan dari budaya yang tidak relevan dengan kehidupan
moderen ini, dengan kata lain dengan adanya pendidikan Islam mampu membawa peran
agama Islam sh}olih likulli zaman wa makan, dan menjauhkan manusia dari penyakit
kejiwaan akibat dari aktivitas kewajibannya sebagai mukmin.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam, pada umumnya mengacu pada terma al-
tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang dapat dipakai secara bersamaan, karena memiliki
kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara
tekstual maupun kontekstual. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabb yang bermakna, tumbuh,
berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-fatih}ah 1:2, yaitu
(alh}amdulilla>hi rabbil-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan
istilah al-tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata
yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh
alam semesta.
Uraian di atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya,
termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma
al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga
fitrah peserta didik menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi
menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat,
melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
Telah mendidik Aku waktu kecil".
Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam :
Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun mengungkapkan bahwa penggunaan istilah
al-tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam.
Sebab kata al-tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih
sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, tetapi digunakan memelihara binatang atau
makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya tidak hanya pada material saja, akan
tetapi juga pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan
terma yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan,
keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah
dan alta’lim sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.
Terlepas dari pemaknaan diatas, para ahli pendidikan Islam telah mencoba
memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif, adalah
sebagai berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan
oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah anakdidik,
baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang
utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil-ard}.
Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan
sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan
kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan
Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan
bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan kamil).
Melalui sosok yang demikian, peserta didik diharapkan mampu memadukan fungsi iman,
ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis baik di dunia
maupun akhirat.
Bila ditilik dengan apa yang menjadi dasar kesehatan jiwa, sebagai tolak ukur untuk
mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi
keduanya, baik itu berkaitan dengan aplikasi maupun teori mendasarnya. Sebagaimana
terlihat pada tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai
titikkemampuannya secara optimal.
Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk manusia dengan kejiwaan yang
stabil sesuai dengan fitrahnya, yang kemudian akan membentuk kepribadian atau perilaku
berlabelkan rah{matan lil ‘a>lami>n. Hal tersebut akan membentuk nilai positif terhadap
manusia sebagai pemeluk dan penganut agama Islam dengan tidak mudah terprovokasi
terhadap keburukan yang dapat menjauhkan dirinya dari kefitrahannya. Dari sini virus
keburukan, kesesatan, dengan doktrin menjadi bagian dari teroris, anggota NII, kemudian
melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk agama lain, akan menjauh
Kalau digali dan dicermati, indikasi kepribadian yang baik, terkonsep dalam
pendidikan Islam. Hal tersebut terlihat dari beberapa karakteristiknya, yang antara lain:
1). Mengedepankan tujuan agama dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai
karakteristik-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi pada tauh}id dan penanaman
nilai-nilai.
2) selaras dengan fitrah manusia termasuk berkenaan dengan pembawaan, bakat, jenis
kelamin, potensi, dan pengembangan psiko-fisik.
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan nyata individu dan masyarakat, serta
mengusahakan solusi terkait dengan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus
menerus.
4) fleksibel karena didorong dengan kesadaran hati, tanpa paksaan.
5) realistik, dengan mengembangkan keseimbangan dan proporsionalitas antara
pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual.
6) menghindarkan dari pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan agama dan
ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu dari pemahaman agama parsial
yang dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.
Akan tetapi lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal
tersebut, akan menyebabkan melemahnya keingian-keinginan positif, hilangnya loyalitas
ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menimbulkan perasaan
sedih, khawatir, gundah, gelisah, kecil hati, stres dan lain sebagainya.
Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan pada Allah merupakan
modal penting untuk menyembuhkan kejiwaan seseorang dari berbagai penyakit psikis yang
menjangkitinya, karena perasaan Iman dapat mewujudkan perasaan aman dan tentram,
mencegah perasaan gelisah, serta dapat berfungsi sebagai motivator peserta didik disetiap
aktivitasnya. Dengan kata lain bila keimanan kepada Allah telah tertanam dalam diri manusia
akan membantu menghalangi dan mencegah manusia dari penyakit-penyakit kejiwaan.
Buah dari hal itu, ia akan mempunyai keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan
begitu, pada taraf ini ia sudah mempunyai bekal yang cukup untuk mengaplikasikan nilai-
nilai Islam atas segala sikap, tindakan, dan keputusannya dalam menjalani kehidupan.
Dengan kata lain, keberadaan iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan
yang merupakan buah daripada iman dan islam. Oleh karenanya, pendidikan Islam
dimudahkan proses pembelajarannya, karena keimanan telah membentuk pondasi kebaikan
bagi setiap peserta didik dalam belajar Islam.
Dalam hal tersebut, Ibnu Sina berkata dalam al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan,
perhatian diarahkan pada pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar tidak
mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian seksama yang
dilakukan anak atas perihal dirinya dan apa yang dibutuhkannya. Hal ini mempunyai dua
kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak dan kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini
tumbuhkan dengan (kebiasaan) akhlak mulia sesuai bahan makanan yang dikonsumsinya dan
akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.
Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini disebut sebagai akhlaq tercela
(akhlaq mazmumah) kebalikan dari akhlaq yang terpuji (akhlaq mah{mudah), atau bisa juga
disebut dengan akhlaq yang buruk (akhlaq sayyi’ah) kebalikan dari akhlaq mulia atau baik.
Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela dan buruk
itu, akan membentuk kepribadian buruk yang merupakan bagian dari kelainan psikis, dan
kesemuanya ini akan menyebabkan jiwa manusia menjadi kotor dan jauh dari hidayah Allah.
Akhlaq menjadi barometer penilaian umum, baik dan buruknya kepribadian seseorang,
karena akhlaq berkaitan dengan hati nurani, maka sifat tersebut hanya dapat terukur dari
sikap, tindakan dan tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas
yang digunakan, berpijak pada norma-norma agama Islam, disamping adat-istiadat dan norma
sosial lainnya. Karena secara teoritik norma Islam tidak betentangan dengan norma sosial.
Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan dan mencerahkan pranata sosial. Maka
seseorang yang berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengah-
tengah lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini tentu berdampak positif bagi
perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya nalar bahkan terhadap prestasi akademik seseorang
anak di sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan
peserta didik.
Kesehatan jiwa memiliki peran dalam membentuk kepribadian peserta didik, dengan
menjalani kehidupan manusia normal pada umumnya dengan menghiaskan diri dengan
akhlaq yang terpuji, yang tidak terlepas dengan tiga esensi dasar yaitu; Islam, Iman dan
Ihsan, sebab anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis mempunyai ketaqwaan
yang tinggi.
Oleh karena itu, seorang anak harus mendapatkan pendidikan akhlak secara baik,
karena pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta
menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yang mengatur pola, sikap dan tindakan
manusia atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia
(termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam sekitar.
a) Akal: dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia
(peserta didik) dikenal istilah kognitif.
Tujuannya mengarah kepada perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia
sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Dengan usaha
pemberian ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan manusia atau peserta didik,
dalam hal ini aspek akal meliputi: rasio, qalb atau hati yang berpotensi untuk merasa serta
meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan dengan mendidik kejujuran dalam
diri sendiri untuk membedakan baik dan buruk.
b) Fisik: Kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, sesuai sabda
Rosulullah yang diriwayatkan oleh imam muslim;
المؤمن القوي خير واحب الى هلال من المؤمن ضعيف
Artinya; Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada
orang mukmin yang lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai
kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca indera, anggota badan,
system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan
pelatihan seperti mengkonsumsi gizi secara memadai dan berolah raga, melatih masing-
masing aspek sesuai dengan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan
modal awal untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada pada diri manusia.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): merupakan dimensi yang memiliki
pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan
bahagia. Bentuk pengembangannya, agar menjadikan manusia betul-betul menerima ajaran
islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yang terdapat dalam al-Qur‟an, peningkatan
jiwa dan kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata dan moralitas islami yang diteladani
dari tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yang merupakan bagian pokok dalam tujuan
pendidikan islami. Biasanya dilakukan dengan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah
dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, banyak berdzikir kepada-Nya,
membangun sikap rid}o terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini merupakan daya
manusia untuk mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, dan mencapai ilmu pengetahuan.
Sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian baik.
d) Keberagaman: manusia adalah makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang
beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa
pada diri manusia terdapat keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan
kebutuhan tersebut merupakan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Dalam pandangan Islam, sejak lahir seorang anak telah mempunyai jiwa agama, yaitu
jiwa yang mengakui adanya zat yang maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt.
Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua dan lingkungan-lah yang menentukan anak
tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.
Terdapat tiga ciri perilaku dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dianggap
matang, yaitu memiliki disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. Peserta didik yang
memiliki disiplin diri dapat mengatur diri, hidup teratur, menaati hukum dan peraturan.
Peserta didik yang memiliki determinasi diri akan dapat membuat keputusan sendiri dalam
memecahkan suatu masalah dan melakukan apa yang telah diputuskan, tidak mudah
menyerah dan menganggap masalah baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu
mandiri akan berdiri di atas kaki sendiri, Ia tidak banyak menggantungkan diri pada
bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan,
kemauan dan kekuatannya sendiri.
Kematangan emosional menjadikan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis dan
kreatif, serta dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karenanya, pendidikan
Islam akan menghasilkan output yang kritis dan kreatif, yang didalalamnya memiliki tiga ciri
utama yaitu; 1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), 2) mempunyai
keluwesan (flexibility), dan 3) menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah
daya fikir seseorang ini akan lebih maju.
Selain itu mereka juga tidak terlalu banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri,
yaitu perilaku emosional yang tidak tepat ketika menghadapi masalah yang mengganggunya
atau yang tidak ia kehendaki.
Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laku manusia yang dapat mengarahkan pada
terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hidup bukanlah sesuatu yang hanya dapat diamati
(observable) dan bersifat materialistik saja, tetapi juga sesuatu yang transenden yang tidak
dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian dan hal ini merupakan aspek-aspek
pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal manusia
merupakan satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an manusia itu adalah makhluk
istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.
Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui memiliki derajat yang paling tinggi
diantara sekian banyak mahluk yang Allah ciptakan, tetap ditempatkan secara proporsional
dalam relasi Makhluk dan Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah
mengembangkan semua sifat-sifat ini, membentuk manusia yang beriman yang memelihara
berbagai komponen dari sifat-sifat asal tanpa mengorbankan salah satunya. Dalam sistem
pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang harus ditegakkan, yaitu Allah,
manusia, dan lingkungannya.
Hubungan manusia dan Allah merupakan syarat pokok bagi keberhasilan dalam
hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bila hubungan antara Allah dan manusia lebih
tersusun, lebih tegas dan berjalan menurut kriteria yang ditetapkan Allah maka hubungan
antara manusia dengan lingkungan menjadi lebih berhasil, begitu pula dalam pendidikan
Islam
Klasifikasi Sistem Ekonomi Kontemporer Sistem ekonomi mendasari cara
manusia/masyarakat melakukan kegiatan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan atau
mencapai kepuasan. Sistem itu sendiri adalah totatiltas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur
yang saling terkait menuju tujuan tertentu. Sebuah sistem memiliki kekhususan tersendiri
yang membedakannya dari sistem yang lain, ada garis pemisah yang membedakan unsur-
unsur yang masuk dalam sistem tersebut dan unsur-unsur yang berada di luar sistem tersebut.
Sistem ekonomi terdiri dari unsur-unsur manusia (sebagai subjek), barang-barang ekonomi
(sebagai objek), dan seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam
kegiatan berekonomi.
Sistem ekonomi tidak terlepas dari seperangkat ide dan pranata baik sosial maupun
politik. Untuk memahami suatu sistem ekonomi di suatu negara perlu diperhatikan
keseluruhan pranata sosial maupun politik di negara tersebut. Winardi mencatat ada lima
kekuatan yang mempengaruhi pembentukan sesuatu sistem ekonomi; Pertama, Faktor
kesejarahan, budaya, cita-cita dan sikap masyarakatnya. Kedua, Faktor alam termasuk
iklimnya. Ketiga, faktor filosofis, yakni filsafat yang dipegangi oelh sebagian besar
penduduknya. Keempat, faktor cara pandang atau teoritesasi yang dilakukan penduduknya
mengenai cara mencapai cita-cita/tujuan/sasaran-sasaran yang ditentukan. Kelima, faktor uji
coba (trials and errors) yang dilakukan penduduknya dalam mengusahakan alat-alat ekonomi.
Pada konteks dunia modern terdapat berbagai sistem ekonomi yang mendasari perilaku
ekonomi yang dipraktekkan di negara-negara di berbagai belahan dunia. Secara umum ada
dua bentuk ekstrim sistem ekonomi yaitu sistem perekonomian bebas yang dikenal dengan
kapitalisme atau liberalisme, dan sistem perekonomian terpimpin yang dikenal dengan
sosialisme. Kedua aliran atau sistem ekonomi ini merupakan penyederhanaan perilaku
ekonomi berbagai negara, dimana pada era perang dingin kapitalisme dicerminkan oleh
Amerika Serikat dan sosialisme dicerminkan oleh Uni Sovyet. Sejalan dengan perkembangan
ekonomi dan politik antar negara, kedua aliran sistem ekonomi ini banyak mendapat kritik
sehingga lahirlah kapitalisme campuran atau sosialisme campuran. Berbagai sistem ekonomi
yang ada dewassa ini seringkali merupakan percampuran antara sosialis dan kapitalis, tidak
ada negara yang menerapkan sistem ekonomi sosialis murni atau kapitalis murni, kecuali
Korea Utara. Sistem ekonomi campuran mengandung beberapa elemen dari sistem ekonomi
kapitalis dan beberapa elemen dari sistem ekonomi sosialis. Berbagai bentuk perekonomian
campuran memperlihatkan perekonomian campuran yang lebih mendekati bentuk
perekonomian bebas (tipe perekonomian Amerika Serikat) dan perekonomian campuran yang
mendekati bentuk perekonomian terpimpin