Anda di halaman 1dari 15

“AL-SULTAH AL-TASR’IYYAH, AL-SULTAH AL-TANFIZIYYAH, DAN AL-SULTAH

AL-QADAIYYAH (KEWENANGAN LEMBAGA DAN HUBUNGAN ANTAR SATU


DENGAN YANG LAINNYA)”

Suandi, Abdul Halim Talli


Dirasah Islamiyah/ Syariah Hukum Islam, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar

email: suandiwandhy40@gmail.com

Dosen Pengampu, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar


email:

Abstract:

This study examines and discusses the authority and institutional relations of al-sultah
al-tasyri'iyyah, al-sultah al-tanfiziyah and al-sultah al-qada'iyah and examines further the
condition and face of the justice system that exists in Indonesia today. Obstacles and
determinants of the independence of courts (judges) in determining fair decisions for all
people according to the mandate of the 1945 Constitution. The research conducted by the
author is included in the type of empirical legal research which is descriptive analysis and
historical sociology. The types of data used in this study are primary data and secondary data.
The primary data in this study are data obtained from observing events in the field, while the
secondary data are various laws governing the status and distribution of power in the state, as
well as other sources, both general and Islamic in nature, which pertain to power and justice
for support this primary source. The data collection technique used in this research is
observation and literature study. As for the authority of the legislature or in fiqh siyasah it is
called al-sultah al-tasyri'iyyah, executive or al-sultah al-tanfiziyah, and judicial or al-sultah al-
qada'iyah each having the authority sequentially to make, implement, as well as supervise and
maintain the existing regulations.

Abstrak:

Penelitian ini mengkaji dan membahas mengenai kewenangan dan hubungan lembaga
al- sultah al-tasyri’iyyah, al-sultah al-tanfiziyah dan al-sultah al-qada’iyah serta menelisik
lebih jauh keadaan dan wajah sistem peradilan yang ada di Indonesia hari ini. Hambatan –
hambatan dan faktor penentu independensi pengadil (hakim) dalam menentukan putusan yang
adil bagi seluruh masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian yang
dilaksanakan penulis termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif
analisis dan sosiologi historis. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
pengamatan peristiwa dilapangan, sedangkan data sekundernya adalah berbagai undang –
undang yang mengatur tentang status dan pembagian kekuasaan dalam negara, serta sumber
lain baik yang bercorak umum atau yang bernuansa Islam yang menyinggu tentang kekuasaan
dan peradilan untuk menunjang sumber primer tadi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengamatan dan studi pustaka. Adapun
kewenangan lembaga legislatif atau dalam fiqh siyasah disebut dengan al-sultah al-
tasyri’iyyah, eksekutif atau al-sultah al-tanfiziyah, dan yudikatif atau al-sultah al-qada’iyah
masing – masing mempunyai wewenang secara berurut membuat, melaksanakan, serta
mengawasi dan mempertahankan atas regulasi yang ada.

Kata Kunci: Fiqh Siyasah , Kekuasaan, Peradilan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama dan negara ibaratnya sisi mata uang yang tidak bida terpisahkan. Agama dan
negara erat kaitannya dalam pergumulan dan upaya membentuk dan menciptakan sebuah
kelompok masyarakat yang berbudaya dan bermartabat tinggi, kemudian mebghasilkan suatu
entitas yaitu terbentuknya suatu lembaga yang disebut dengan negara. Hal ini tercermin dalam
upaya Nabi Muhammad SAW. sebagai suri teladan sekaligus pengemban misi suci dari Allah
swt, yang dimana ajarannya yang dibawanya bertujuan untuk menciptakan atau penanaman
nilai-nilai kebaikan dan meningkatkan martabat kemanusiaan.

Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. sebagaimana dikatakan
oleh Robert N Bellah seorang ahli Sosiologi Agama terkemuka, yang dikutip oleh Nurcholis
Majid dalam sambutan buku berjudul Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam
bahwa negara Madinah dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah model bagi
hubungan antara agama dan negara Islam. 1

Muhammad Arkoun dalam hal ini pun menjelaskan bahwa eksperimen Madinah telah
menyajikan kepada ummat manusia contoh tatanan sosial politik yang mengenal
pendelegasian wewenang yang merupakan kekuasaan dan sumber wewenang tidak pada
keputusan dan lisan pribadi, tetapi pada suatau dokumen tertulis, yang prinsip-prinsipnya

1
Muhammad Ikbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet 1, (Jakarta: Prenada
Media,2014), h. 5.

2
disepakati bersama. 2 Wujud historis terpenting dari sistem sosial politik eksperimen Madinah
adalah dokumen yang termasyhur yaitu Piagam Madinah. 3

Bahasan sebelumnya erat kaitannya dengan proses dan perputaran sistem politik yang
ada di Indonesia secara umum. Indonesia juga mengenal yang namanya trias politika. Artinya
bahwa dalam hal menjalankan sebuah sistem negara, ketiga hal ini menjadi penopang dan
berperan penting dalam proses penciptaan negara yang berdaulat dan bermartabat. Ketiganya
yakni lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Lembaga Legislatif adalah sebuah
lembaga yang berperan dalam menentuan dan penetapan sebuah kebijakan dalam suatu negara
yang selanjutnya dilaksanakan oleh lembaga terkait. Sedangkan lembaga Eksekutif adalah
bisa dikatakan sebagai tim pelaksana dari pada kebijakan, ketetapan atau Undang-Undang
yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun lembaga terakhir adalah lembaga Yudikatif adalah
bisa dikatakan sebagai suatu badan atau tim yang memeliki fungsi sebagai pengawas atau
pengendali atas pelaksanaan Undang-Undang tadi. Lembaga ini bisa mengadili
penyelewengan konstitusi dan peraturan perundang-undnagan oleh institusi Pemerintah dalam
hal ini lembaga Eksekutif.

Sebagaimana di Indonesia, dalam Islam sebagaimana yang dibahas sebelumnya juga


tak luput dari adanya sebuah sistem politik baik pada masa Nabi SAW ataupun pada masa-
masa setelahnya. Ini dibuktikan dengan adanya konsep di atas yakni al-Sultah al-Tasry’iyyah,
al-Sultah al-Tanfiziyyah, dan al-Sultah al-Qadaiyyah. Bukti konkret selanjutnya adalah
dengan lahirnya Piagam Madinah.

Pasca Khulafaurrasyidin praktek kenegaraan umat Islam lebih diwarnai sistem


monarki yang sentralistik. Artinya bahwa sistem yang ada mengarah atau terstruktur dari
pemerintah kepada pemerintah pusat. Perkembangan berikutnya dalam Dunia Islam lahirlah
dinasti-dinasti, seperti Bani Abbas di Baghdad dan Turki Ustmani di Istanbul. Setelah datang
kekuatan barat yang mengancap kedaulatan Umat Islam, barukah umat Islam kembali
menyusun pola hubungan antara agama dan negara. Ini disebabkan oleh kebijakan Barat yang
mencoba menerapkan nilai-nilai politik mereka ke dunia Islam. Reaksi terhadap Ideologi

2
Muhammad Ikbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet 1, (Jakarta: Prenada Media,
2014), h. 5.
3
La Samsu, Al-Sultah al-Tasyri’iyyah, al-Sultah al-Tanfiziyyah, al-Sultah al-Qadaiyyah, Jurnal Tahkim Vol
XIII, No. 1, Juni 2017, (Toli-toli: STAI Al-Munawarah, 2017), h. 3.

3
Barat ini melahirkan berbagai sikap pasca kolonial, dan umat Islam terpecah menjadi 3 (Tiga)
kelompok yakni:

1. Memandang Islam sebagai Agama lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, termasuk politik dan kenegaraan, sehingga umat Islam harus menerapkan pola yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
2. Memandang Islam tidak punya hubungan dengan Negara, sebab Nabi tidak punya
maksud untuk membentuk Negara dan tidak mempunyai kekuasaan politik.
3. Menganggap Islam tidak memiliki aturan baku tentang kenegaraan, tapi tidak pula
meninggalkan sama sekali. Karena itu Islam hanya memberi nilai-nilai universal yang
penerapannya sangat tergantung pada kondisi ruang dan waktu. 4
Dalam proses keberlangsungan negara, tentu peran penting lembaga peradilan sangat
diperhitungkan. Terkhusus kepada pengadilan agama Islam yang membawahi beberapa
persoalan yang mengatur tata kelola serta ketertiban masyarakat dalam bernegara dengan
agama. Dari latar belakang sejarah peradilam Islam, kini mengalami begitu banyak tantangan
dan hambatan terutama peradilan yang ada di negara kita Republik Indonesia dengan adanya
sistem yang dikenal dengan trias politika. Tiga lembaga ini sangat terkait antara satu dengan
yang lainnya. Maka dari itu, makalah kali ini akan mendeskripsikan bagaimana wewenang
lembaga al-Sultah al-tasyr’iyyah, al-Sultah al-Tanfiziyah, al-Sultah al-qadaiyah, hubungan
antar satu dengan yang lainnya, serta proses tumbuh kembangnya lembaga peradilan masa
sekarang.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian sebelumnya di atas, maka dapat dirumuskan beberapa sub masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana wewenang al-Sultah al-tasyr’iyyah, al-sultah al-tanfiziyah, dan al-sultah al-
qadaiyah?
2. Bagaimana hubungan antara ketiga lembaga tersebut?
3. Bagaimana perkembangan sistem peradilan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan

4
Muhammad Ikbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet 1, (Jakarta: Prenada Media,
2017), h. 9.

4
1. Untuk mengetahui apa saja wewenang al-Sultah al-tasyr’iyyah, al-sultah al-tanfiziyah,
dan al-sultah al-qadaiyah;
2. Untuk mengetahui hubungan antar lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif;
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan sistem peradilan di Indonesia sekarang ini.

PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Kekuasaan dan Pembagian Kekuasaan Dalam Islam

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam hal mempengaruhi, mengajak dan


membuat ikut dalam sebuah kelompok masyarakat. Istilah kekuasaan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diberi arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah),
kemampuan, kesanggupan, serta kekuatan. Sedangkan dalam hal kata kuasa diberi arti dengan
kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kekuatan (selain badan atau benda),
kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mengurus, mewakili) sesuatu
atau mengurus sesuatu yang ada pada diri seseorang karena jabatannya (martabatnya). 5

Dalam hal ini kekuasaan pada dasarnya telah ada dan melekat pada diri masing-
masing manusia yang ada di muka bumi ini. Jadi bisa dikatakan bahwa setiap manusia pada
dasarnya memiliki keinginan yang mutlak akan kekuasaan. Kekuasaan secara umum dapat
diartikan sebagai suatu kemampuan yang telah ada dan melekat dalam diri manusia atau
sekelompok manusia yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok
orang dalam interaksinya sehingga hasil dari interaksinya yang dilakukan secara aktif ini
dapat menimbulkan hasil yang sesuai dengan tujuan dan keinginan yang terdapat pada orang
atau sekelompok orang yang berkuasa itu. 6

Adapun kekuasaan dalam pandangan tokoh yakni Max Weber, beliau mengartikan
kekuasaan sebagai kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan
masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Dalam
pandangan tokoh lain memandang bahwa kekuasaan dikatakan sebagai kemampuan untuk

5
Abdul Mu’in Salim, Fiqf Siyasah:Konsep Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 52.
6
Deden faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2002), h. 21.

5
mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung memberi perintah, maupun
secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. 7

Menurut penulis, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan orang atau
kelompok dalam membuat orang lain sadar atau tidak sadar akan mengikut pada pengaruh
atau perintah orang tersebut, dilakukan secara langsung oleh orangnya atau melalui orang lain
dengan pengaruh pelaku utama atau orang pertama. Dalam hal kekuasaan dalam negara, tidak
menutup kemungkinan bahwa jabatan kekuasaan yang tampil atau terlihat pada khalayak
umum dia jugalah yang menjadi pemegang kendalinya, kekuasaan dalam hal ini bisa
dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai pengaruh besar dalam keikutsertaaannya dalam
sebuah kepentingan, tak terkecuali dalam proses menjalankan roda organisasi kenegaraan.

Kekuasaan dalam konteks negara sangat erat kaitannya dengan elemen-elemen yang
ada di dalamnya. Tegaknya negara harus dibarengi dengan kekuasaan tertinggi yang tunduk
kepadanya para individu sebagai rakyat arau bangsa. Sedangkan kekuasaan tertinggi
hakekatnya berada pada tangan rakyat karena pemerintah tidak lain hanyalah representatif
atau sebatas alat pelaksana kekuasaan. Negara dengan konsep perundang-undangan adalah
sebagai pemilik kekuasaan, sedangkan pemerintah merupakan pelaksana kekuasaan atas nama
negara. Adapun konsep pembagian kekuasaan secara umum sebagai berikut:

1. Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif atau di Indonesia disebut dengan lembaga legislatif adalah sebuah
lembaga yang membuat Undang-Undang dan didalamnya dianggap sebagai represetatif dari
rakyat. Dalam hal adanya aspirasi rakyat, maka wewenang lembaga atau kekuasaan legislatif
inilah yang menjadi penyambung dan perumus atas aspirasi tersebut dengan menentukan
peraturan-peraturan yang mengikat secara keseluruhan. Adapun fungsi dan wewenang
kekuasaan eksekutif adalah:
a. Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat Undang-undang, dengan demikian
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberi hak inisiatif dan hak untuk mengadakan amandemen
terhadap rancangan Undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.

7
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Cet. 4, h. 115.

6
b. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan eksekutif sesuai
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan.

Lembaga atau kekuasaan legislatif dalam hal menyerap aspirasi rakyat biasanya
diadakan program yang namanya reses dan temu konstituente. Hal ini dilakukan dengan
maksud dan tujuan untuk mengetahui keinginan dan aspirasi masyarakat terkait kepentingan
ataupun keberlangsungan kehidupan di masing-masing daerah. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa dibalik program itu tentu banyak budget yang digelontorkan, nah dari sinilah biasanya
ada cela untuk para penguasa di legislatif untuk bermain. Sehingga banyak dewan kita yang
hanya termotivasi untuk menjabat dengan alasan banyaknya penganggaran dana dilingkungan
legislatif. Maka tak heran jika kita banyak menyaksikan adanya caleg-caleg yang
berlatarbelakang pengusaha, entertainment, artis tertarik masuk dalam lingkungan
pemerintahan dalam hal ini pada kekuasaan legislatif atau dunia parlemen.

2. Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif ini dipegang oleh atau terdiri dari kepada negara dan menteri-
menterinya. Kekuasaan atau lembaga eksekutif secara umum juga memuat para Pegawai
Negeri Sipil (PNS), Militer, serta hal lain sejenisnya. 8 Lembaga eksekutif berarti suatu
lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana atau eksekutor dari Undnag-undang yang telah
ditetapkan oleh lembaga legislatif.

Lembaga eksekutif yang terdiri dari kepala negara dan bawahannya yang mutlak
menjalankan roda pemerintahan yang berdasar atau berpedoman pada kebijakan-kebinakan
atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Adapun menteri-
menterinya merupakan pembantu yang langsung dipimpin oleh presiden, namun hal ini
tergantung pada sistem pemerintahan dalam suatu negara.

Menurut tafsiran tradisional azas Trias Politica, tugas lembaga eksekutif adalah
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif,
serta menyelenggarakan undag-undnag yang dibuat oleh lembaga legislatif, namun dalam

8
Rohaniah Yoyo, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, (Malang: Intrans Publishing,
2005), h. 292.

7
pelaksanaannya, lembaga eksekutif sangat luas ruang geraknya. Adapun fungsi eksekutif
secara garis besarnya adalah sebagai berikut:

a. Kepala negara (Chief Of State)


b. Kepala pemerintahan (Head of Goverment)
c. Party Chief
d. Commander in Chief
e. Chief Diplomat
f. Dispensen Appoitment
g. Chief Legislation9
3. Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif merupakan suatu badan yang memiliki sifat tekhnis yuridis yang
berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan peraturan perundang-
undangan oleh in stitusi pemerintahan secara luas serta bersifat independen (bebas dari
intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. 10 Kekuasaan yudikatif ini
masuk dalam hal kekuasaan kehakiman yang merupakan tahapan atau pilar ketiga dalam
sistem kekuasaan negara.

Kekuasaan kehakiman berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi


ganjaran sanksi atas setiap pelanggaran atasnya dalam hal ini pelaksana dari undang- undang
adalah lembaga atau kekuasaan eksekutif. Cakupan dalam fungsi yudikatif diantaranya
menagngani masalah perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak, masalah seputar
penafsiran konstitusi, hukum yang mengatur administrasi negara, dan perjanjian internasional.

a. Trias Politica atau Pembagian Kekuasaan Perspektif Islam

Islam merupakan agama yang komprehensif dan telah mengatur seluruh sendi
kehidupan manusia, tidak hanya dalam amsalah individual namun termasuk juga dalam
masalah kenegaraan. 11 Dalam Islam yang berkaitan dengan tata kelola kenegaraan ini

9
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 310.
10
Rohaniyah Yoyoh, Efriza, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, (Malang: Intrans
Publishing, 2005), h. 295.
11
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 40-41.

8
termaktub dalam fiqh siyasah tepatnya pada bagian siyasah dusturiyah. Adapun ruang lingkup
pembahasan dalam siyasah dusturiyah ini adalah pada aspek masalah imamah (pemimpin),
hak dan kewajibannya, rakyat dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan, ahlul halli
wal aqdi dan wazarah.

Siyasah dusturiyah ini membahas masalah perundang-undangan Negara agar sejalan


dengan nilai-nilai Syari’at. Artinya undang-undang itu mengacu pada konstitusinya yang
tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum Syari’at yang disebutkan di
dalam al-Qur’an dan yang dijelaskan sunnah Nabi, baik mengenai akidah, akhlak, ibadah,
muamalah, dan lain sebagainya. 12

Dalam khasanah Islam hal-hal yang mengatur tentang kenegaraan seluruhnya


diupayakan sejalan dengan misi Syari’at sesuai ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber
pada kitab al-Qur’an dan penjelasan Hadist. Baik itu mengenai hubungan dengan Tuhan,
hubungan dengan sesama ataupun hubungan dengan alam semesta. Semua itu hendaknya
berjalan dengan lancar sebagaimana tujuan pokoknya adalah adanya ketertiban, kedamaian
dan keselamatan, bukan hanya di dunia namun lingkup pengaruhn terapannya juga sampai
pada aspek akhirat.

Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-undang dasar adalah


jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota dan persamaan kedudukan semua orang dimata
hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan pendidikan, dan agama. 13
Ketika kita lihat dari perspektif teks yang tercantum dalam undang-undang dasar, maka hari
ini sudah tidak ada lagi warga Negara yang mengemis keadilan, mendekam dengan tidak
sewajarnya, serta legah dengan suap-menyuapnya. Ini menandakan bahwa implementasi
undang-undang atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh perwakilan rakyat masih jauh dari
keta sempurna dalam hal pengimplementasiannya.

Contoh kasus ketika seorang nenek mengambil bebrapa buah kakao untuk
keberlangsungan hidup atau seorang kakek yang mengambil kayu bakar di hutan yang
mendapatkan hukuman yang begitu tidak wajar sedangkan dalam Islam telah digaungkan

12
Yusuf al-Qardhawi, Fikih Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah Alih Bahasa Kathun Suhadi,
tth, tt, h. 46-47.
13
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 154.

9
sikap saling tolong-menelong, sedangkan para pejabat korup dengan asiknya menikmati
remisi atau penangguhan penahanan dengan berbagai kasus yang terjadi. Ini menjadi
cerminan bahwa proses penerapan nilai-nilai ajaran agama belum menyatu secara massif pada
undang-undang secara umum atau bisa jadi undang-undangnya terbilang bagus namun
eksekutornya yang masih kaku kurang memahami bahwa diatas undang-undang yang tercatat
ada makna, nilai, esensi yang tersirat.

1. Kekuasaan Legislatif ( al-sultah al-tasyri’iyyah )


Kekuasaan legislatif dalam kajian fiqh siyasah seeringkali disandingkan dengan
sebutan majelis syuro atau al-sultah al-tasyri’iyyah, yaitu kekuasaan dimana pemerintah
Islam dalam membuat dan menetapkan Undang-undang (hukum). Kekuasaan legislatif dalam
teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam sebuah Negara. Abul A’la al-Maududi
dalam bukunya ”Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam” menyebutkan bahwa
kekuasaan legislatif diwajibkan memilih kepala Negara, disamping itu juga legislatif
menempatkan undang-undang dan ketetapan yang telah dikeluarkan oleh lembaga legislatif
ini akan dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan diperintahkan oleh
lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. 14
2. Kekuasaan Eksekutif ( al-sultah al-tanfiziyah )

Dalam kekuasaan ini mempunyai tugas melaksanakan undang-undang, selain itu juga
bisa menjabarkan dan mengaktualisasikan perundanng-undangan yang yang telah dirumuskan
oleh lembaga sebelumnya yakni lembaga legislatif. Adapun yang menjadi pelaksana tertinggi
kekuasaan adalah pemerintah (kepala Negara) dibantu oleh para menterinya.

3. Kekuasaan Yudikatif

Yudikatif dalam istilah ilmu politiknya adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan
dengan tugas dan wewenang peradilan atau dalam Islam disebut dengan al-sultah al-
qadaiyah.

B. Sistem Peradilan Di Indonesia

Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Terjemah. Drs. Asep Hikmat,
14

(Bandung: Mizan, 1990), h. 245.

10
Umat Islam telah menyebar diberbagai penjuru dunia termasuk Indonesia yang
pemeluknya mayoritas dibanding agama yang lain. Bagi umat Islam, dimana ada pemeluknya
disitulah harus ada lembaga peradilan. Keberadaan lembaga peradilan merupakan Conditio
Sine quanon, yakni sesuatu yang mutlak adanya. Ia ada dan berbanding lurus dengan
keberadaan pemeluknya. Indonesia merupakan sebuah negara yang penduduknya mayoritas
Islam tentu dan pasti juga terdapat lembaga peradilan didalamnya.

Fungsi lembaga peradilan sebagai lembaga yang akan menyelesaikan persengketaan di


antara pemeluk Islam. Hal ini tercermin dari preseden munculnya bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahkan sudah terlihat dalam bentuk
lembaga pada masa sahabat dan sesudahnya, tentunya dengan bentuk dan corak yang
sederhana.15

Proses tumbuh kembang lingkup peradilan terkhusus pada pengadilan agama dan
pengadilan Tinggi Agama sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan yang
signifiikan. Terbilang setelah proklamasi kemerdekaan menjeleng masa reformasi telah
banyak yang berubah. Pemerintah Indonesia menetapkan peraturan tentang Susunan dan
Kekuasaan badan-badan Kehakiman yakni UU No. 19 Tahun 1948, tanggal 8 juni 1948. 16

Undang-undang diatas adalah bentuk langkah serius pemeritah Indonesia dalam


menjamin eksistensi pengadilan Agama dalam kiprak tata Hukum Indonesia. Hikmah dari
perjalanan sejarah peradilan dengan adanya undang-undang yang mengatur pensatuatapan dan
menjadi di bawah naungan Mahkamah Agung yang sebelumnya juga Kementrian Agama juga
terkait. Kehadiran UU No. 7 Tahun 1989 membawa suasana b aru dalam sistem peradilan
Islam di Indonesia yang sebelumnya berada dibawah subkoordinasi Peradilan Umum berubah
menjadi peradilan yang berdiri sendiri, dapat menjalangkan fungsi peradilan sebagaimana
mestinya.17

Sebelum era reformasi, lingkup peradilan masih dianggap supremasi hukum yang
tidak tegak, maka setelah reformasi kalangan praktisi hukum dan para ahli hukum

15
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), h. 1.
16
Lomba Sultan dan Abd. Halim Talli, Peradilan Islam Dalam Lintas Sejarah, ( tt: tth, 2005), h. 78.
17
Lomba Sultan dan Abd. Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintas Sejarah, 2005, h. 80.

11
berkesimpulan bahwa untuk menciptakan supremasi hukum di Indonesia maka perlu adanya
penjaminan kebebasan hakim dari campur tangan pihak manapun termasuk dari pihak
eksekutif. 18

Titik terangnya dapa pada ketika adanya penyatuan atap oleh presiden BJ. Habibie
dengan dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan kehakiman. Inti daripada isi undang-undang ini adalah adanya pernyataan tegas
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah dan adanya pemisahan antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif sehingga
regulasi akan berlaku dengan lingkup atau lingkungan peradilan masing-masing.

Kekuasaan kehakiman telah diramu dalam regulasi-regulasi yang mempunyai tujuan


memperkuat dan mempertegas eksistensi daripada peradilan yang dikhususkan pada
persoalan-persoalan tententu. Secara umum hal yang menjadi penghambat atas terwujudnya
independensi Peradilan atau pengadil (hakim) adalah terletak pada integritas hakim itu
sendiri. Hal inilah yang menjadi benteng utama yang menjadi penentu dalam upaya
terwujudnya keadilan yang merata.

Demikian di Indonesia, independensi peradilan sangat ditentukan dari sikap dan


integritas hakimnya, selain itu infrastruktur pendukung juga sangat berperan penting dalam
hal hakim mengadili secara betul-betul adil, serta yang tak kala pentingnya adalah adanya
sistem kekuasaan yudikatif yang masih dianggap merdeka. Sebuah wacana kritik bagi praktek
lingkup persdilan di Indonesia ini dimana konsep dan realitas dilapangan kadang bersebelahan
sehingga rasa keadilan pada masyarakat tidak terwujud.

Pertaama adalah adanya kecemasan atau sikap perasaan tidak leluasanya hakim dalam
proses mengadili. Hal yang kerap kali kita saksikan sekarang ini adalah sebuah praktek
peradilan yang yang selalu terkait dengan atau dalam dikotomi kaya atau miskin, rakyat jelata
atau penguasa. Yang sering kali menonjol juga adalah dengan adanya nepotisme dalam
mencari dan menetapkan keadilan, nepotisme ini dimaksud antaranya ialah nepotisme

18
Lomba Sultan dan Abd. Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintas Sejarah, 2005, h. 83.

12
kekeluargaan dan bahkan sering dan acap kali sampai pada nepotisme kelembagaan atau
institusional.

Kedua adalah infrastruktur yang menjadi pendukung bekerjanya sang pengadil atau
hakim. Hal ini juga menjadi penentu dari independensi peradilan. Hal ini sangat berpengaruh
oleh karena dengan adanya infrastruktur pendukung yang memadai maka hakim dapat
melaksanakan tugas-tugas yudisialnya dengan baik. Terlepas dari itu, berbanding lurus
dengan keberlakuan teori sistem dari Lawrence M. Friedman, ketersediaan infrastruktur
pendukung disini juga harus dimaknai sebagai ketersediaan seperangkat norma dan kultur
kehidupan berhukum dalam arah yang mendukung tugas dan kemandirian si hakim atau
pengadil yang di maksud. 19

Ketiga adalah sistem atau kekuasaan yudikatif yang merdeka. Merdeka yang dimaksud
adalah secara prakteknya lembaga atau kekuasaan yudisial sekarang ini dengan berbagai
contoh yang nampak menandakan bahwa kekuasaan yudikatif masih memiliki peran kuat
dalam kehadirannya dalam mengganggu stabilitas independensi peradilan. Cukup banyak
sekali fenomena yang ada di negeri ini, dimana tidak dapat dipungkiri bahwa masih sangat
kental adanya pola-pola perilaku kekuasaan dan juga budaya atasnya yang seolah
melegitimasi (pengakuan atas kewenangan) hegemoni dua pilar kekuasaan yang lain diatas
kekuasaan yudikatif yang berimplikasi pada terganggunya independensi hakim mengadili
sebuah perkara.

Ketiga alasan diatas merupakan realitas yang terjadi dimana tidak berbanding lurus
dengan kehendak keadilan yang ada. Misalnya dalam kasus kemarin-kemarin dengan adanya
orang kejaksaan yang melakukan penggelapan dan pencucian uang yang notabenenya
perbuatan dengan putusan kasusnya tidak mencerminkan adanya konsep keadilah yang utuh
dan menyeluruh kepada masyarakat. Contoh lain tercermin pada adanya kasus seorang nenek
yang mengambil kayu bakar di hutan dengan tujuan konsumsi prioritassnya dalam hidup
sehari-harinya, adanya seorang kakek yang mengambil atau bahasa kasarnya mencuri kakao
milik orang lain. kedua kasus ini diputus dengan mengacu pada tututan jaksa tanpa melihat

19
Mario Parakas, merajut Independensi Peradilan dalam Skenario Perbaikan Kesejahteraan Hakim, (Arga
Makmur: Pengadilan Negeri Arga Makmur, 2012), h. 2.

13
nilai daripada sebab terjadinya tindakan kedua pelaku ini. Sudah tentu ini menjadi kemirisan
dalam praktek peradilan kita di era sekarang ini.

KESIMPULAN

Dari deskripsi, uraian dan penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
Pertama, wewenang dari lembaga legislatif ( al-sultah al-tasyri’iyyah ) secara singkatnya
adalah merekalah yang membentuk atau membuat undang-undang, selanjutnya wewenang
lembaga eksekutif ( al-sultah al-tanfiziyah ) adalah sebagai eksekutor atau yang menerapkan
dan melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga sebelumnya yakni
legislatif ( al-sultah al-tasyri’iyyah ), serta adapun wewenang lembaga terakhir yakni lembaga
yudikatif ( al-sultah al-qada’iyah ) adalah mempertahankan dan mengawasi atas pelaksanaan
undang-undang oleh lembaga sebelumnya.

Kedua, hubungan antara ketiga lembaga ini saling berkaitan satu sama lain. dalam
proses dan sistem yang ada di Negara Indonesia, jika salah satu dari ketiga ini tidak ada maka
secara otomatis fungsi dari yang lainnya juga terganggu. Konsep ini disebut dengan trias
political yang dimana masing-masing memiliki peran, fungsi dan wewenang yang tertera
dalam regulasi yang ada.

Ketiga, respon masyarakat di era modern ini terkait sistem dan realitas praktek
peradilan yang terjadi begitu bervariasi. Sebelumnya telah disingggung sedikit kasus yang
mencerminkan adanya keganjalan dalam praktek peradilan kita hari ini. Wajah baru peradilan
yang mulanya bertujuan agar terwujudnya pintu keadilan yang merata bagi masyarakat, hari
ini menurut pandangan penulis sedikit banyaknya masih menjadi pekerjaan rumah kita semua.
Singkatnya, sistem peradilan yang ada di Indonesia hari ini masih butuh perbaikan-perbaikan
entah itu perbaikan di lembaganya ataupun yang menjalahkan amanah untuk menjalankan
fungi kelembagaan tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu’in Salim, Fiqf Siyasah:Konsep Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002;
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Terjemah. Drs. Asep
Hikmat, Bandung: Mizan, 1990;
Deden faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2002;
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013;
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid , Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006;
Lomba Sultan dan Abd. Halim Talli, Peradilan Islam Dalam Lintas Sejarah, tt: tth, 2005;
La Samsu, Al-Sultah al-Tasyri’iyyah, al-Sultah al-Tanfiziyyah, al-Sultah al-Qadaiyyah, Jurnal
Tahkim Vol XIII, No. 1, Juni 2017, Toli-toli: STAI Al-Munawarah, 2017;

Mario Parakas, merajut Independensi Peradilan dalam Skenario Perbaikan Kesejahteraan


Hakim, Arga Makmur: Pengadilan Negeri Arga Makmur, 2012;

Muhammad Ikbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet 1, Jakarta:
Prenada Media, 2017;
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Cet 4, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2000;
Rohaniah Yoyo, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, Malang: Intrans
Publishing, 2005;
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994;
Yusuf al-Qardhawi, Fikih Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah Alih Bahasa
Kathun Suhadi, tt, Tth.

15

Anda mungkin juga menyukai