Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS LEMBAGA PERADILAN AGAMA MENURUT PENDEKATAN

HISTORICAL INSTITUTIONALISM

MATA KULIAH: Pengelolaan Kelembagaan

DOSEN PENGAMPU: Ahmad Zaki Fadlur Rahman, S.IP., M.A.

Disusun Oleh:

Laga Ya Estetika (155120600111039)


Muammar Sazaly (155120601111066)
Devina Kezia TB (165120601111039)
Eka Arianto (165120601111044)
Bagastya Paramawisesa P (165120607111009)
Jefri Nizar A (165120607111020)
Viona Ellen Maulida (165120607111034)
Ririn Husnul Khotimah (165120619111001)

A-5 Ilmu Pemerintahan

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
Pendahuluan

Teori receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib menyatakan bahwa
hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya[ CITATION Ari07 \l 1057 ].
Kemudian daripada teori inilah peradilan agama di Indonesia dibentuk, dan mengalami pasang
surut karena mengalami proses pelembagaan dari rezim ke-rezim. Peradilan agama sebenarnya
telah berdiri sejak era kolonialisme, dan telah banyak menyelesaikan sengketa pada masyarakat
muslim. Fenomena pasang surutnya pelembagaan peradilan agama nampaknya menarik untuk
dikaji, maka paper ini dibuat untuk mengetahui Path of Dependency dari pasang surutnya
lembaga tersebut. Menggunakan pisau analisis Historical Institutionalism untuk membedah
konteks historis dinamika pelembagaaanya.

Tulisan ini akan menganalisis beberapa perubahan yang substansial mengenai kekuasaan
mengadili Pengadilan Agama dari masa ke masa. Keberadaan lembaga peradilan agama di
Indonesia adalah merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragama Islam dalam
melaksanakan ajaran agamanya yang berupa hukum Islam. Dalam konsepsi ilmu fikih, masalah
peradilan atau al-qadla’ merupakan kewajiban kolektif atau fardhu kifayah yang disamakan
dengan fardhu kifayah lainnya, seperti mendirikan jama’ah dan shalat jama’ah,
menyelenggarakan kesejahteraan umum dan mencegah kemungkaran.[CITATION ari \l 1057 ]

Rumusan Masalah

Bagaimana membahas Peradilan Agama menurut pendekatan historical institusionalism?

Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dijelaskan tujuan dari
paper ini adalah untuk mengetahui bagaimana Peradilan Agama jika dikaji menurut pendekatan
historical institusionalism.
Pembahasan
 Paradigma New Institutionalism
Paradigma ini hadir sebagai kritik dari pengelolaan kelembagaan pasca Perang
Dunia ke-2, didasarkan pada asumsi individualistik: behaviouralisme dan rational
choice[ CITATION MFa16 \l 1057 ]. Menurut 2 pendekatan ini individu bersifat otonom
dan didasari atas perhitungan rasional untung dan rugi. 2 pendekatan ini yang kemudian
menjadi titik tolak dari paradigma New Institutionalism. Munculnya paradigma ini
menambah khasanah pengetahuan dan membuka gap-gap pengetahuan baru untuk
ditelisik. Alasan sosio-psikologis dalam pendekatan perilaku dan pilihan rasional dalam
pendekatan rasional diasumsikan menjadi penggerak individu untuk melakukan sebuah
tindakan[ CITATION Pet04 \l 1057 ].
Pemahaman ini mulai bergeser di tahun 1980-an karena banyak fakta
menunjukkan bahwa alasan tindakan politik individu justru muncul karena perilaku
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor luar (eksogen) yang ada di masyarakat. Ketika
Old Institutionalism membicarakan mengenai perbedaan signifikan sistem presidensil
dengan parlementer, New Institutionalism mencoba mencari tahu apakah perbedaan itu
benar-benar berbeda, jika demikian bagaimana kemudian cara mengatur/menyelaraskan
perbedaan tersebut? Apakah kemudian mempengaruhi kinerja pemerintah? Refleksi
tersebut secara kritis menyebutkan bagaimana interaksi antar lembaga-lembaga
direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu.
Pendekatan institusionalisme baru pun memiliki variasi yang beragam. Hal ini
menyesuaikan dengan fokus utama dari setiap variasi pendekatan baru ini yang meliputi:
normative institutionalism, sociological institutionalism, rational choice institutionalism,
historical institutionalism, empirical institutionalism, constructivist institutionalism, dan
interest based institutionalism [CITATION Dou90 \l 1057 ]; [ CITATION Pet04 \l
1057 ]; [CITATION RPe96 \l 1057 ]. Tulisan ini akan menggunakan pendekatan
Institutionalisme historis sebagai alat analisis.

 Historical Institutionalism
Kerangka analisis paper ini menggunakan paradigma historical institutionalism,
guna menganalisis transformasi kelembagaan dan proses politik serta pembuatan
kebijakan dalam parameter kelembagaan. Historical institutionalism dalam melakukan
analisis berawal dari pemahaman yang menjelaskan bahwa pilihan terhadap sebuah
kebijakan yang dibuat akan berpengaruh terhadap kebijakan selanjutnya dan pola
tersebut akan berulang dan bertahan (Peters, 2004; 19-20). Ada 4 aspek dalam
pendekatan ini untuk memahami suatu permasalahan, yakni: a) pendekatan ini berupaya
untuk mengkonseptualisasi hubungan antara institusi dengan perilaku individu secara
luas, b) pendekatan ini menekankan pada hubungan kekuasaan asimetris dengan operasi
dan pengembangan institusi, c) pendekatan ini berupaya memiliki pandangan
pengembangan institusi yang menekankan pada pola ketergantungan (path dependence)
dan hasil yang tidak terencana (unintended consequences), dan d) pendekatan ini secara
khusus memperhatikan perpaduan analisis institutional dengan sumbangan faktor-faktor
lain yang bisa memberikan manfaat secara politik (R, 1996:7). Keempat aspek tersebut
membuat pendekatan ini menjadi lebih Holistik dalam proses analisis terhadap Institusi.
Atas dasar aspek path-dependence (jalur ketergantungan) sebagai pisau analisis
mencoba mengidentifikasi status quo dalam setiap perubahan kelembagaan, serta
berusaha mengidentifikasi bounded rationality atau pembatasan rasionalitas dari waktu
ke-waktu. Gagasan ini menganggap bahwa individu membuat keputusan dan rasionalitas
individu dibatasi oleh pengambilan keputusan maupun keterbatasan kognitif yang
bertindak mencari solusi yang memuaskan daripada yang optimal. Sebagai institusi
politik Peradilan Agama tidak dapat di alienasi dari konteks sejarahnya, bagaimana
perubahan/transformasi-transformasi dilakukan dengan legitimasi konstitusi yang terus
diproduksi. Paper ini ditujukan untuk melacak kerangka historis dibentuknya peradilan
agama dan kedudukannya dari masa ke-masa.

 Pra Kemerdekaan
1. Kewenangan
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir
secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima
dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan
penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya
komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang
memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari
proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
DaIam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu,
maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap
memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai
otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak
terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh
menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif
bentuk hukumnya) dan ta‘zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat). Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk
pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang
mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak
dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan
wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang
ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan
mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa
perkembangan qadla al-syar’i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode
Tahkim, yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan
dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang
Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah
terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri
menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja
Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke
dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan
demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat,
yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula
adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari perkembangan peradilan agama adalah periode
tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah
terbentuk kerajaan Islam, maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali
al-amri.

Zaman kerajaan Islam.


Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di
masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan
Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah
kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada
akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti:
Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan
Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-
kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka
pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar
wilayah Indonesia.
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada
masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula
disebut “Pengadilan Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja
Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan,
penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan
atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat
dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami
pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk
bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang
mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan.
Islam sesungguhnya mengandung dua dimensi ajaran pokok, yaitu ajaran yang
berdimensi keyakinan (i’tiqadiyah) dan ajaran yang berdimensi penerapan (‘amaliyah),
kedua dimensi ini harus berjalan beriringan karena satu sama lain saling mempengaruhi.
a. Kewenangan Peradilan Agama di Jawa
Masa ini dikenal adanya Pengadilan Surambi yang mempunyai dua
kewenangan, pertama, perkara-perkara yang akan diselesaikan menurut hukum
Islam semata. Kedua, perkara yang akan diselesaikan menurut hukum adat dan
tradisi Jawa.
b. Kewenangan Pengadilan Agama di luar Jawa
Beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Jambi, Palembang,
Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung kesemuanya memiliki Pengadilan Agama
yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara perkawinan,
perceraian serta harta peninggalan atau warisan. Di Sulawesi integrasi ajaran
Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih
lancar karena peranan raja, sehingga raja dominan sebagai pemutus perkara, salah
satu contohnya adalah kerajaan Bone dimana raja adalah penghulu tertinggi
dalam kerajaan, yang berwenang memutus perkara keagamaan yaitu pernikahan
dan kewarisan di luar perkara-perkara kerajaan lainnya. Sama halnya
kewenangan Pengadilan Agama di Jawa, kewenangan Pengadilan Agama di luar
Pulau Jawa zaman kerajaan Islam, menurut penulis tidak terlepas dari putusan
perkara perkawinan dan kewarisan.
Zaman penjajahan Belanda
Pada awalnya kedatangan Vereenigde Oost Indesche Campagnie (VOC) sekitar
tahun 1596 semula bermaksud untuk berdagang, akan tetapi melihat kekayaan Indonesia
yang melimpah ruah maka haluannya berubah untuk menguasai Indonesia. Untuk
mencapai maksud tesebut pemerintah Belanda memberi kekuasaan untuk mendirikan
benteng-benteng dan melakukan perjanjian dengan raja-raja dalam menjalankan fungsi
perdagangan dan fungsi pemerintahan. Untuk memantapkan pelaksanaan kedua
fungsinya tersebut VOC membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesia
dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawah. Akan tetapi badan peradilan
tersebut tidak mendapat respon dari masyarakat pribumi, karena itu pemerintah VOC
menyusun sebuah compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam untuk dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
dikalangan umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC. Masa ini pula mulai
berlaku Staatsblad (Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda) yang mengatur
wewenang Pengadilan Agama antara lain terdapat pada:
 Staatsblad No. 22 Tahun 1820 pasal 13: bupati wajib memerhatikan soal-soal
agama dan untuk menjaga para pendeta dapat melakukan tugas mereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka,
dan sejenis itu.
 Staatsblad No. 12 Tahun 1823 wewenang Pengadilan Agama Palembang
meliputi perkawinan, perceraian, pembagian harta, pada siapa anak diserahkan
kalau orang tua bercerai, dan wasiat.
 Staatsblad No. 53 Tahun 1931 yang isinya meliputi wewenang Pengadilan
Agama yang dibatasi hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan
dengan nikah, talak, dan rujuk. Hadanah, wakaf, dan lain-lain dicabut dan
diserahkan kepada landraad (Pengadilan Negri).
 Staatsblad No. 116 Tahun 1937 pasal 2a ayat (1): a. Perselisihan antara seorang
suami istri yang beragama Islam; b. Perkara-perkara tentang nikah, talak, dan
rujuk dan perceraian antara orang yang beragama Islam yang memerlukan
perantara hakim agama (Islam); c. Memberikan putusan perceraian; d.
Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah
berlaku,dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal
mengenai tuntutan, pembayaran atau penyerahan harta benda adalah wewenang
Pengadilan Biasa; e. Dalam perkara mahar (maskawin), sudah termasuk mut’ah;
f. Perkara pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri. Staatsblad ini
memiliki pembatasan yakni;
1) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Burgerlijk Wetboek (BW) atau
(KUH Perdata) zaman Belanda) seperti suami istri dari golongan Eropa
atau Cina yang beragama Islam;
2) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut perkawinan campuran
Staatsblad No. 158 Tahun 1898, yaitu perkawinan orang-orang yang
tunduk pada hukum yang berlainan diatur menurut hukum suaminya;
3) Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Staatsblad No. 74 Tahun 1933
(Ordonansi Nikah Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon)
walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya
masuk Islam.

Zaman penjajahan Jepang


Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada jepang,
dimana Indonesia pada saat itu pula diduduki oleh Jepang. Pada masa ini pemerintahan
Jepang menetapkan bahwa semua UU dan peraturan yang berasal dari pemerintah Hindia
Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang.[13]
Perubahan yang dilakukan pemerintahan Jepang sebatas pergantian nama-nama badan
peradilan kedalam bahasa Jepang, seperti; Pengadilan Distrik menjadi Gun Hooin,
Pengadilan Kabupaten menjadi Ken Hooin, Landraad menjadi Tihoo Hooin, Pengadilan
Banding menjadi Kootoo Hooin, Pengadilan Kasasi menjadi Saikoo Hooin, Mahkamah
Islam Tinggi menjadi Kaikyoo Kootoo Haooin, dan Rapat Agama menjadi Sooryo
Hooin.
2. Landasan Hukum
1) Kitab Hukum Islam “Shirath al-mustaqin” yang ditulis Nurudin Ar-Raniri yang
menjadi rujukan hakim di Indonesia.
2) Staatsblad 1937 No. 116 yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Kolonial
Belanda yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi peradilan agama
dan hukum islam di Indonesia.

 Pasca Kemerdekaan
Di masa revolusi sejak tahun 1945-1950 Pengadilan Agama masih berdasarkan
kepada peraturan perundang-undangan pemerintah kolonial yaitu:
1. Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Stbl. Tahun 1882
No. 152 dihubungkan dengan Stbl Tahun 1937 No. 116 dan 610)
2. Peraturan tentang kerapatan qadhi dan kerapatan qadhi besar untuk sebagian
residen Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Stbl Tahun 1937 No 638
dan 639). Hal ini disebabkan oleh bangsa Indonesia pada waktu itu dihadapkan
kepada revolusi fisik di mana Belanda akan menjajah Indonesia serta konstitusi
yang menjadi dasar penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara
menyangkut penundaan dan perubahan.1
Pada tahun 1957, berdasarkan ketentuan Pasal 98 Undang-undang Dasar
Sementara dap Pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syari'at di luar Jawa dan Madura. Menurut ketentuan Pasal 1 PP tersebut
menyatakan ditempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan
Negeri Sedangkan menurut ketentuan Pasal 11, apabila tidak ada ketentuan lain, di
Ibukota Propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah Propinsi yang
wilayahnya meliputi satu atau lebih daerah Propinsi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Agama.2
Adapun kekuasaan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah itu menurut ketetapan
Pasal 4 PP No. Tahun 1954 adalah sebagai berikut:

1
https://media.neliti.com/media/publications/240320-sejarah-peradilan-agama-di-indonesia-pen-11ca9011.pdf
2
ibid
1. Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah memeriksa dan memutuskan
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan semua perkara
yang menurut hukum yang hidup diputus menurut agama Islam yang
berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasak, nafakah, mas kawin (mahar),
tempat kediaman, mut’ah dan sebagainya; hadhanah, perkara waris mal
waris, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan
itu Demikian pula memutuskan perkara perceraian dan pengesahan bahwa
syaratta'lik talak sudah berlaku
2. Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tidak berhak memeriksa perkara-
perkara tersebut dalam ayat (I) Jika untuk perkara itu berlaku lain dari
pada hukum agama Islam. Apabila dibandingkan antara kekuasaan
pengadilan-pengadilan agama di Jawa dan Madura yaitu hadhanah,
perkara waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang
berhubungan dengan itu Kelihatannya kekuasaan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah lebih luas daripada kekuasaan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura.
Menurut ketentuan Stbl. 1937 No. 116, lingkungan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura tidak berwenang menangani perkara kewarisan Namun pelaksanaan PP No
45 Tahun 1957 tidaklah langsung mencapai kesempurnaan. Faktor politis maupun
administrasi menyebabkan pelaksanaan tugas badan-badan peradilan agama yang baru
ini berjalan secara bertahap Mula-mula dengan penetapan Menteri Agama/Mahkamah
Syariah Tingkat Pertama dan tingkat banding di Sumatera, kemudian dengan ketetapan
Menteri Agama No 4 dan 5 Tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958 untuk daerah Kalimantan.
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat.
Dalam hal itu, dirasakan adanya kesulitan dalam melayani masyarakat yang
berperkara, disebabkan daerah hukum pengadilan-pengadilan Negeri di luar Jawa dan
Madura tidak bersamaan dengan daerah hukuin administrasi pemerintahan (Kabupaten),
perkembangan wilayah administrasi yang masih belum mantap dengan tumbuhnya
propinsi dan kabupaten bani. maka untuk mengimbangi perkembangan itu dibentuklah
cabang-cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah baru secara berturut-turut di
berbagai daerah seperti:3
a. Keputusan Menteri Agama No 25 tahun 1959 di daerah Lampung

3
https://media.neliti.com/media/publications/240320-sejarah-peradilan-agama-di-indonesia-pen-11ca9011.pdf
b. Keputusan Menteri Agama No. 23 tahun 1960 meliputi 18 cabang di
daerah Sumatera Barat,Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur. NTB
dan Maluku.
c. Keputusan Menteri Agama No. 62 tahhun 1961 untuk cabang
Lhokseumawe dan Balai Selasa (Aceh)
d. Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1966 penambahan pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di daerah Sulawesi dan Maluku
e. Keputusan Menteri Agama No. 195 tahun 1968 penambahan
pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di daerah Riau,
Aceh dan Sumatera Utara.
Mulai saat itulah terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur pengadilan Agama di Indonesia, yaitu: Stbl. 1882 No 152 jo, Stbl. 1937 No.
116 dan 610 yang mengtur Pengadilan di Jawa dan Madura, Stbl. 1937 No. 638 dan 639
yang mengatur Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan. No. 45 tahun 1957 yang
mengetur Pengadilan Agamadi luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Dengan
adanya Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dimulai pada tahun 1958
maka sekarang ini sudah ada 305 Pengadilan Agama dan 25 Pengadilan Tinggi Agama
yang tersebar dari Sabang sampai Marauke dengan personil sebanyak kurang lebih
6.000.753 orang dan tenaga hakim sebanyak 140 orang Balai sidang Pengadilan Agama
seluruhnya telah dibangun melalui anggaran Pelita sejak eera pembaharuan Orde Baru
dan setiap tahunnya kurang lebih 220.000 perkara yang ditangani oleh Pengadilan
Agama.4
Berdasarkan ketiga Undang-undang tentang Peradilan Agama tersebut, selain dari
kekuasaannya yang berbeda, pengadilan-pengadilan Agama tidak dapat pula
melaksanakan keputusannya sendiri karena dalam susunannya tidak terlepas Juru Sita
dan dinyatakan pula bahwa putusan-putusan badan Pengadilan agama tidak dapat pula
melaksanakan keputusannya sendiri karena dalam susunannya tidak terlepas Juru Sita
dan dinyatakan pula bahwa putusan-putusan badan Pengadilan Agama memerlukan suatu
pernyataan dapat dijalankan (fiat eksekusi) dari Pengadilan Negeri jika putusan tersebut
tidak dipatuhi oleh pihak yang dikalahkan atau pihak tersebut tidak mau membayar
ongkos perkara. Ketua Pengadilan Negeri menyatakan putusan tersebut "dapat

4
Munawira Syadzali.landasan Pemikiran Hukum Islam dalam Rangka Menemukan Peradilan Agama di Indonesia,
dalam buku Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Prospeknya, Pengantar Juhaya S. Praja (Bandung PT. Remaja
Rosdakarva. 1994). Hl. 47
dijalankan" apabila ternyata tidak ada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang
termaktub dalam peraturan perundang-undangan pembentuukan badan Pengadilan
Agama itu. Kalau terdapat pelanggaran Ketua Pengadilan Negeri memberi pernyataan
"tidak dapat dijalankan" pada putusan Pengadilan Agama. Anehnya, jiwa mengendalikan
Pengadilan Agama tetap dilanjutkan dalam Undang-undang pengadilan Perkawinan
nasional (1974) yang menyertakan dalam Pasal 63 ayat (2)bahwa setiap keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Agama.5
Berbagai kekurangan yang melekat pada Pengadilan Agama telah menyebabkan
tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai kekuasaan kehakiman secara mandiri
seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang No 14 Tahun 1974 Selain itu, masalah
yang menghambat gerak langkah Pengadilan Agama yakni susunan, kekuasaan dan acara
Pengadilan Agama belum diatur dalam Undang-undang tersendiri sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: "Susunan
kekuasaan serta acara dari badan-badan tersebut dalam Pasal 10 ayat (I) diatur dalam
Undang-undang tersendiri.6
Untuk melaksanakan UU No 14 Tahun 1970 dan untuk menegakkan hukum
Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik Indonesia, pada tanggal
8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan rancangan Undang-undang Peradilan
Agama kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-undang mengganti
semua peraturan perundang- undangan tentang Peradilan Agama yang tidak sesuai
dengan UUD 1945 dan UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah dibicarakan
secara mendalam dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan dan peraturan yang
berlaku di negara Indonesia, akhirnya pada tanggal 14 Desember 1989 Undang-undang
tersebut disyahkan menjadi UU No. 7 Tahun 1989 oleh Presiden RI. diundangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara
No. 49 Tahun 1989.18. Akhirnya secara yuridis formal Pengadilan Agama telah sama
kedudukannya dengan Pengadilan yang lainnya.

1. Kewenangan
Berikut wewenang-wewenang Peradilan Agama pasca kemerdekaan menurut
masing-masing undang-undang yang berlaku:7

5
Republik Indonesia. Udang-undang No. 14 Tahun 1974 Tertang Perkawinan (Jakarta al-Hikmah.1993). hlm. 47
6
Republik Indonesia.Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Jakarta.al-Hikmah), hlm. 108
a. Peraturan Pemerintah No. V-SD 25 Maret 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian
Kementerian Kehakiman dipindahkan ke Kementerian Agama. Yakni, pemerintah
menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada
Kementerian Agama (sekarang Departemen Agama).
b. UU No. 22 Tahun 1946 untuk Jawa dan Madura, yang memuat tentang pencatatan nikah,
talak, dan rujuk khusus didaerah tersebut.
c. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan
Kejaksaan.
d. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949. Yang pokok disini
adanya Peradilan Federal dan Daerah Bagian.
e. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 dengan UU No. 7 Tahun 1950,
sedang bidang peradilan tetap sebagaimana masa RIS.
f. Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil yang berhubungan
dengan Peradilan.
g. UU No. 32 Tahun 1954 tanggal 26 Oktober 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU
Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak Rujuk di
Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.
Setelah ketujuh peraturan tersebut lahirlah beberapa peraturan perundang-undangan yang
lain yaitu:
a. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 (LN No. 73) tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh, yang memiliki kewenangan:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam;
2. Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama
Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, dan rujuk, fasakh, serta hadanah;
3. Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal, dan lain-lain
berhubungan dengan itu dan;
4. Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik talak sudah berlaku.
b. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Mahkamah
Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura, kewenangannya adalah:
1. Nikah;

7
Tongkrongan Islam, “Menelusuri Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia Sejak Zaman Kerajaan Hingga
Era Reformasi”, https://www.tongkronganislami.net/menelusuri-kewenangan-peradilan-agama-di-indonesia/
(diakses pada 15 Oktober 2018, pukul 18.24 WIB)
2. Talak;
3. Rujuk;
4. Fasakh;
5. Nafkah;
6. Maskawin (Mahar);
7. Tempat kediaman (Maskan);
8. Mut’ah;
9. Hadanah;
10. Perkara waris mewaris;
11. Wakaf;
12. Hibah;
13. Sedekah;
14. Baitulmal.
c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku bagi semua warga
Negara RI tanggal 2 Januari 1974.
d. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang diatur
juga dalam KHI pasal 215-227, yang kemudian diperbaharui dalam UU No.41 Tahun
2004 tentang Wakaf.
e. Peraturan terakhir yang hadir mengenai kewenangan Pengadilan Agama tertulis dalam
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Banyaknya perubahan dasar hukum Peradilan Agama pada era pasca kemerdekaan
menunjukkan bahwa butuh proses yang rumit jangka panjang bagi Peradilan Agama agar dapat
menjadi sebuah lembaga yang independen, stabil, serta menguasai kemampuannya untuk
menjalankan wewenangnya dalam mengurus masalah hukum Islam di Indonesia.

2. Latar Belakang Sosial dan Politik


Hukum Islam telah mulai memasuki Nusantara (Indonesia) pada abad pertama Hijriah
atau ketujuh Masehi bersamaan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara. Artinya, sebelum
era kolonial Eropa, bahkan jauh sebelum negara Indonesia resmi terbentuk. Hukum Islam yang
dianut rakyat Islam di Indonesia meliputi perkawinan, warisan, dan kekeluargaan. Pada masa itu,
Agama Islam masih jarang dianut oleh rakyat Nusantara. Namun seiring berjalannya waktu,
hingga saat ini, Agama Islam menjadi agama yang paling banyak dianut rakyat Indonesia.
Tentunya, hal itu membuat Hukum Islam menjadi salah satu landasan hukum yang mengikat di
Indonesia. Untuk itu, diperlukan lembaga untuk mengatur perkara Hukum Islam di Indonesia.
Pada masa kolonial Belanda, pada tahun 1742, Belanda (yang dikenal dengan VOC saat
itu) memperkenalkan sistem peradilan di Indonesia dalam ‘Statuta Jakarta’. Badan peradilan
dibentuk untuk berlaku bagi orang-orang Belanda juga di upayakan diberlakukan untuk orang-
orang pribumi Indonesia. Akan tetapi VOC tidak berhasil karena mendapat reaksi keras dari
masyarakat Islam di Indonesia, sehingga kemudian Belanda membiarkan lembaga-lembaga yang
hidup di masyarakat pribumi berjalan seperti biasa, di antaranya hukum perkawinan Islam, dan
Waris Islam.
Atas reaksi tersebut, akhirnya VOC pada tahun 1760 M menerbitkan Compendium Frijer
yang isinya menghimpun hukum perkawinan Islam dan hukum pewarisan Islam yang
diberlakukan di pengadilan-pengadilan guna menyelesaikan sengketa umat Islam di Indonesia.
Diterbitkan pula kitab “Muharrar” untuk pengadilan di Semarang yang memuat hukum-hukum
Jawa yang dijiwai hukum Islam. Di Cirebon diterbitkan Kitab “Papekam” yang berisikan
hukum-hukum Jawa kuno dan untuk luar Jawa untuk daerah Gowa dan Bone. Demikian hukum
Islam diberlakukan dari tahun 1602M-1800M.
Pada masa setelah Indonesia merdeka, Peradilan Agama sempat melalui proses legislasi
yang berubah-ubah. Melalui UU No. 19 Tahun 1948, Peradilan Agama pernah dicoba untuk
ditempatkan dalam peradilan umum yang istimewa. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam UU No.
19 Tahun 1948 yang berbunyi: “…perkara perdata antara orang islam yang menurut hukum
yang hidup harus diputus menurut Hukum Agama Islam, harus diperiksa dan diputus dalam
semua tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung)
terdiri atas seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan 2 orang hakim ahli agama
Islam”.
Melalui UU No. 19 Tahun 1948 ini, mulailah dikenal adanya 3 lingkungan lembaga
peradilan Khas Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni; Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Pemerintah, dan Peradilan Ketentaraan. Namun, UU No. 19 Tahun 1948 menyatakan
untuk menghapus susunan Peradilan Agama yang sudah ada dan dimasukkan ke Pengadilan
Negeri, tetapi penyelesaiannya materi hukumnya ditampung secara khusus agar keputusannya
tidak menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Akan tetapi, Setelah diterbitkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 , terbitlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti UU No. 19 Tahun 1948.

 Era Sentralistik
Lembaga peradilan agama di era sentralistik dimulai pada tahun 1967 dimana pada saat
itu presiden Soeharto menjabat sebagai presiden RI ke 2. Pada era tersebut lembaga peradilan
Agama mulai mengalami pembaruan dimulai sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian Pemerintah
lebih mempertegas keberadaan Peradilan Agama. Ada dua prinsip pokok dari pembaruan
Peradilan Agama yang diatur UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan Agama
sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara di samping tiga badan peradilan lainnya
(Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). 8 Kedua; penghapusan
sistem “fiat eksekusi” oleh Peradilan Umum atas putusan Peradilan Agama. Sehingga
menyebabkan kedudukan Peradilan Agama yang inferior di hadapan Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah menempatkan Peradilan Agama sebagai
salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara konstitusional. Pengadilan
Agama merupakan salah satu badan peradilan yang sederajat dengan lembaga peradilan yang
lainnya. Wewenang peradilan agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara tertentu, yaitu perselisihan diantara orang-orang yang beragama Islam.
Didalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa lembaga peradilan agama mempunyai
kekuasaan yaitu meliputi persoalan, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul
anak, dan izin menikah. Kemudian dijelaskan juga bahwa pembinaan dan pengawasan dari
fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sedangkan organisasi,
administrasi, finansial berada dibawah Departemen Agama.
Namun Undang-Undang tersebut dinilai masih jauh dari harapan. Hal itu sangat terlihat
tentang persoalan independensinya, mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih menganut sistem
dua atap , seperti ditegaskan pada Pasal 11 ayat 1. Selain masih berada di bawah bayang-bayang
kekuatan eksekutif, yakni Departemen Agama, lembaga peradilan agama juga belum bisa secara
langsung memutuskan perkara, melainkan harus mendapatkan putusan Peradilan Umum untuk
kasus-kasus tertentu, terutama menyangkut persoalan harta benda, termasuk juga adanya hak
opsi untuk persoalan kewarisan. Masuknya pihak eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman
disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman tidak independen. Alasan
itulah antara lain yang menyebabkan status dan kedudukan Peradilan Agama belum bisa
dikatakan sebagai Peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh, selama masa itu. Peradilan
Agama masih belum bisa disebut peradilan yang sesungguhnya, karena Peradilan Agama belum
diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan

8
Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970
Agama hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila mendapatkan izin dari
Peradilan Negeri.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tanggal 29 Desember 1989, Presiden
Republik Indonesia merancang dan mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perubahan sekaligus
perbaikan sistem. Salah satunya mengenani pemberian wewenang terhadap Peradilan Agama
untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri dan bukan lagi menunggu persetujuan dari
Pengadilan Negeri. Kemudian posisi Peradilan Agama dalam undang-undang tersebut juga
mendapat perluasan dalam hal, perwakafan tanah milik, serta dalam hal perkawinan tidak lagi
sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan,wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.
Dengan adanya undang-undang ini tidak saja memberikan keluasaan namun juga telah
memberikan kemandirian kepada Lembaga peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, sehingga peradilan Agama mulai mempunyai hukum acara sendiri, serta dapat
melaksanakan keputusannya sendiri dan mempunyai struktur dan perangkat yang kuat
berdasarkan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, pembinaan Peradilan Agama juga
diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum dalam bidang
kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama islam. Disamping itu, pembinaan Peradilan
Agama juga diarahkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan
Peradilan Agama dengan ketiga badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim
Peradilan Agama yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum, kepastian hukum,
dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, peradilan agama memiliki UU yang lebih
maju dari ketentuan-ketentuan UU yang ada sebelumnya. Namun, dari segi aspek kedudukan
dan status sebagai satu kesatuan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia pada saat itu,
lembaga Peradilan Agama belum bisa dikatakan mandiri, karena masih berada di bawah
Departemen Agama sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Akibatnya, proses dan perjalanan
peradilan agama menjadi tidak normal. Bukan saja karena adanya intervensi dari kekuatan
politik di eksekutif, tetapi juga perhatian pihak eksekutif terhadap peradilan agama tidak begitu
memadai.

 Era-Desentralistik
Pada masa ini posisi peradilan agama di Indonesia semakin kuat, dimana dalam UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang lahir untuk menggantikan UU Nomor
35 Tahun 1999. Pada UU tersebut peradilan agama dalam melakukan pembinaan organisasi,
administrasi, serta finansialnya harus dalam control Mahkama Agung. Namun dengan lahirnya
UU Nomor 4 Tahun 2004 peradilan agama tidak perlu melakukan hal tersebut, hal tersebut
dikarenakan dalam UU Nomor 2004 hubungan struktural dan keorganisasiannya telah bebas dan
terputus dengan Mahkama Agung. Oleh karena itu dalam memilih seorag hakim dalanm
Pengadilan agama pada era desentralisasi, Pengadilan agama dapat menentukan syarat,
pengangkatan, pemberhentian, serta sumpahnya sendiri dalam menggangkat hakimnya.9
Posisi Peradilan Agama lambat laun semakin kuat posisinya, menggingat Pengadilan
agama merupakan Lembaga yang berupaya untuk mencari keadilan atau menyelesaikan
perselisihan hokum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dalam agama.10 Oleh karena itu
perdailan agama pada masa desentralisasi posisi Pengadilan agama diperkuat dengan adanya UU
baru. Hal tersebut bisa dilihat dengan adanya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama. Lahirnya UU tersebut nantinya dapat kewenangan Pengadilan Agama, dengan dapat
melakukan penanganan pada bidang zakat, infak, dan ekonomi syari’ah. UU tersebut menjadi
angin segar bagi Pengadilan Agama, dimana dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang “hanya”
memperbolehkan Pengadilan Agama menangani perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadakah. Selanjutnya peraturan menyangkut Pengadilan Agama terus
disempurnakan sampai UU Nomor 50 Tahun 2009 dimana Perngadilan Agama diberikat
perincian penghentian dan pengangkatan hakim yang dapat melalui Mahkama Agung dan
Komisi Yudisial.
Pada dasarnya hakim agung memiliki kewenangan yudikatif pada bidang yang spesifik,
yakini bidang agama. Pengadilan Agama yang ada di Indonesia pada masa ini lebih memiliki
kewenangan yang lebih luas dimana Pengadilan Agama dapat mengadili permasalahan seperti
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadakah, zakat, infak, dan ekonomi syari’ah.
Namun dalam perkembangannya meskipun Pengadilan Agama secara structural dan
keorganisasiannya telah secara hokum terputus dengan Mahkama Agung, Pengadilan Agama
sebagai sebuah Lembaga yudisial masih membutuhkan MA dan KY.
Pada era ini Pengadilan Agama diberikan kewenangan yang lebih pada pengadilan
keagamaan. Hal tersebut tentunya sejalan dengan sila ke satu yang ada di Pancasila yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan adanya sila tersebut pengadilan agama tentunya
menjadi perwujudan nyata dari sila pertama Pancasila dimana sebagai negara yang

9
Harahap, M. Yahya (2007), Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm.117
10
Ramulyo, M Idris. (2000). Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Ind Hill Co,
Jakarta, Hlm.5
“mengharuskan” rakyatnya memiliki agama, tentunya Pengadilan Agama sangat diperlukan.
Kekuasaan peradilan agama pada masa selain hadir sebagai perwujudan sila perama, Pengadilan
Agama juga hadir dikarenakan aspek Historical. Dimana masyarakat Indonesia telah mengenal
adanya hukum agama sejak zaman dahulu. Namun pada masa tersebut Pengadilan Agama hanya
Lembaga yudikatif yang hanya bisa menangani masalah Nikah, Talak, dan Rujuk. Melalui
perkembangannya pun Pengadilan Agama memiliki cakupan kasus yang luas, dan tentunya akan
dapat lebih membantu masyarakat. Selain hal tersebut pemberiaan kewenangan lebih tersebut
juga dipengaruhi adanya Peradilan Agama di provinsi NAD, dimana hal tersebut mempengaruhi
proses perkembangan wewenang Pengadilan Agama di wilayah yang lain.

 Era Reformasi
Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tidak dapat
dikesampingkan pada negara demokratis seperti Indonesia dimana transparansi, supremasi
hukum dan promosi serta perlindungan HAM diperlukan. Sebagai contoh, pada badan peradilan
agama yang sejak lama berada dibawah Departemen Agama bahkan dalam hal-hal tertentu tidak
dapat dipisahkan hubungannya dengan Departemen Agama secara khusus dan dengan umum
termasuk majelis ulama. Maka dalam era reformasi khusus untuk bada peradilan agama
mengingat sejarah diperlukan mengingat sejarah peradilan agama yang spesifik dalam sistem
peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Meski seperti itu, sejak dialihkannya organisasi, administrasi dan finansial tersebut
semua pegawai Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi
pegawai Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini juga berlaku bagi pegawai
yang menduduki jabatan struktural Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen
Agama menjadi Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung. Bila dilihat
secara komprehensif, perubahan-perubahan tersebut sealan dengan semangat reformasi nasional
yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang bertujuan untuk menempatkan hukum pada
posisi paling tinggi atau supremasi hukum. Pada zaman reformasi, eksistensi dan kedudukan
Peradilan Agama semakin kokoh dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa semua lingkungan peradilan termasuk Peradilan Agama, pembinaan
organisasi, administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 hubungan antara Peradilan
Agama dengan Departemen Agama secara struktural dan organisatoris sudah terputus.
Selanjutnya, eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memperluas kewenangan Pengadilan Agama dengan
penanganan perkara zakat, infak, dan ekonomi syariah daripada yang sebelumnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yakni perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
shadakah. Diperkokoh lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 serta Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009.
KESIMPULAN

Dari penjabaran analisis diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga Peradilan Agama telah
beberapa kali mengalami penyesuaian yang dapat dilihat melalui pendekatan historical
institusionalism. Peradilan Agama telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dicapai. Jika
melihat dari sejarahnya, pada masa kerajaan pun peradilan agama ini telah masuk didalam
kehidupan bermasyarakat. Kemudian, seiring berjalannya waktu peradilan agama ini makin
berkembang dan tumbuh kuat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini
dikarenakan pemerintahan yang juga berkembang dan membentuk negara Indonesia menjadi
negara hukum. Dari hal tersebut akhirnya pemerintah menyesuaikan situasi dan kondisi didalam
masyarakat dan hukum yang berlaku. Amandemen mengenai peradilan agama ini pun telah
dilakukan beberapa kali sehingga di zaman reformasi peradilan agama mempunyai kedudukan
yang semakin kokoh.
REFERENSI
 https://media.neliti.com/media/publications/240320-sejarah-peradilan-agama-di-
indonesia-pen-11ca9011.pdf
 Munawira Syadzali.landasan Pemikiran Hukum Islam dalam Rangka Menemukan
Peradilan Agama di Indonesia, dalam buku Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan
Prospeknya, Pengantar Juhaya S. Praja
 Republik Indonesia. Udang-undang No. 14 Tahun 1974 Tertang Perkawinan
 Republik Indonesia.Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
 Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970
 Harahap, M. Yahya (2007), Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.
 Ramulyo, M Idris. (2000). Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama.
 Tongkrongan Islam, “Menelusuri Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia Sejak
Zaman Kerajaan Hingga Era Reformasi”,
https://www.tongkronganislami.net/menelusuri- kewenangan-peradilan-agama-di-
indonesia/ (diakses pada 15 Oktober 2018, pukul 18.24 WIB)

Anda mungkin juga menyukai