Anda di halaman 1dari 31

Etika Politik

Studi Komparatif Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Max Weber

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Strata Satu Sosiologi (S. Sos)

Oleh:

Atiyah Rauzanah M
NIM: 13720044

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2017

1
A. Latar Belakang

Etika merupakan terminologi yang mengacu pada prinsip tindakan

manusia, sesuatu yang membedakannya dengan makhluk-makhuk lain di

sekitarnya. Dalam sebuah rumusan khas ilmu mantiq (logika) disebutkan “al-

insanu hayawanu nathiq -- manusia adalah hewan yang berpikir”.1 Secara

sederhana sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata

etika diartikan sebagai ilmu tentang baik dan buruk, hak dan kewajiban moral

(akhlak).2 Sebagai sebuah landasan etis, etika merujuk pada segala jenis tindak

tanduk manusia, baik sebagai individu (etika individu) maupun sebagai komunitas

(etika sosial). Misalnya saja, dalam memahami perilaku manusia, sebuah

perbuatan dikatakan beretika atau sebuah keputusan dapat dikatakan etis apabila

keputusan itu mampu dijelaskan pada khalayak sesuai prinsip yang diyakini

pelaku.3 Etika menurut Franz Magnis Suseno terdiri dari etika umum dan etika

khusus. Keduanya membahas prinsip-prinsip dasar bagi seluruh tindakan manusia,

serta kewajibannya atas lingkungan di sekitarnya.4

1
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Islam
dan Sistem Islam (Yogyakarta: Gema Insasi, 2004), hlm. 8
2
https://kbbi.web.id/etika. Diakses pada 26 Nopember 2017.
3
Patricia J. Parson, Etika Public Relation (Yogyakarta: Erlangga, 2006), hlm. 125
4
Franz Magnis Suseno, Etika Politik:Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 13

2
Etika sebagai sebuah landasan etis lahir pada era filsafat Yunani atau

sekitar 2500 tahun yang lalu, yaitu ketika struktur-struktur politik tradisional

mengalami keruntuhan sehingga memunculkan pertanyaan bagaimana masyarakat

harus ditata. Momen ini kemudian bertambah ketika paham tatanan hirarkis

kosmos kekuasaan raja tidak lagi mendapat legitimasi oleh rakyatnya sehingga

menuntut refleksi filosofis terhadap prinsip dasar kehidupan berpolitik. Era ini

disebut industrialisasi.5 Sebuah era dimana manusia tidak lagi bergatung pada

faktor-faktor alamiah dan produksi barang terjadi secara besar-besaran serta

jaringan informasi berkembang luas. Sebagai akibat dari perluasan itu, maka

permasalahan yang harus diputuskan pun bertambah luas karena tidak lagi

ditangani oleh alam. Meski tabiat manusia tidak bisa hidup sendiri dalam artian ia

selalu membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dalam mencapai hajat

hidupnya, namun sayangnya ia juga memiliki tabiat layaknya hewan yang suka

menyerang. Oleh karenanya agar hal itu tidak terjadi, diperlukan sosok figur yang

dominan untuk melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman sekaligus

menjamin hak-hak kebebasan mereka sebagai individu. Fungsi ini juga ditegaskan

Ibnu Khaldun saat menjelaskan peradaban manusia secara umum yang disitu ia

menekankan perlunya pihak yang mampu menolak kezaliman diantara mereka. 6

Dewasa ini manusia dapat dikatakan mencapai puncak peradabannya. Hal

ini dapat dilihat pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat dan

menjadi entitas yang tak bisa dilepaskan dari aktivitas manusia modern saat ini.

Beragam wacana pun hadir dan terpecah menjadi dua kelompok yaitu mereka

5
Ibid., hlm 3
6
Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 71

3
yang menolak terhadap kemajuan dan sebaliknya, mendukung kemajuan. Pihak

yang menolak beralasan kemajuan dunia tak ubahnya seperti awal kehancuran.

Sehingga jalan satu-satunya adalah kembali pada khittah awal yang

mengutamakan kesalehan daripada partisipasi sebagaimana hal ini pernah terjadi

pada peradaban beberapa abad silam. Problematika ini semakin menguat karena

mereka melihat peradaban manusia modern seringkali tidak sejalan dengan

perkembangan perilakunya yang lebih mengutamakan nilai-nilai individual

daripada nilai kebersamaan. Hal inilah yang kemudian menarik untuk dibahas Di

sisi lain peradaban bertujuan memanusiakan manusia, namun disisi lain peradaban

justru menghancurkan sisi kemanusiaan. Sudah seharusnya etika memerlukan

kajian dan penyesuaian terus menerus agar tetap relevan dan berguna bagi

peradaban manusia.

Manusia digambarkan Aristoteles sebagai zoon politicon (makhluk

politis).7 Secara sederhana ia adalah makhluk yang membutuhkan kekuasaan.

Kekuasaan identik dengan kesanggupan memerintah. Oleh karenanya ia

memerlukan kuasa (kemampuan), wewenang, maupun pengaruh yang hanya bisa

didapat bila ia hidup dalam asosiasi masyarakat. Dalam khazanah ilmu sosial

asosiasi masyarakat terbesar itu disebut negara. Sebagaimana disampaikan Weber

bahwa hanya di dalam negara sebuah monopoli kekerasan fisik dapat dilegitimasi

77
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), Hlm. 44

4
secara sah pada segenap warga negaranya. 8 Berangkat dari penjelasan ini

sampailah kita pada topik inti pembahasan yaitu etika politik.

Secara singkat etika politik dimaknai sebagai prinsip-prinsip moral dasar

kehidupan masyarakat.9 Prinsip-prinsip itu sifatnya normatif dan terwujud dalam

undang-undang atau konstitusi. Agar prinsip-prinsip etis itu mampu terealisasikan

sebagai sebuah pedoman hidup maka ia harus begandengan dengan negara yang

mempunyai akses kuasa. Hal ini dikarenakan sifat normatifitas etika itu sendiri

yang tidak akan bernilai manfaat jika tidak melalui pihak berwenang. Sebaliknya,

sebuah cita-cita negara tidak akan mampu tercapai bila ia menihilkan nilai-nilai

etika. Dengan demikian kita masuk pada pembahasan mengenai tugas etika

politik. Menurut Suseno, etika politik memiliki peran yang sifatnya subsider

sekaligus reflektif. Subsider dalam artian ia membantu memberi patokan dan

norma politik terhadap penyelenggaraan negara tanpa menawarkan sistem norma

sendiri, sekaligus menawarkan cara agar masalah kehidupan mampu dihadapi

dengan tetap menjunjung tinggi martabat manusia. 10

Akhlak siyasy adalah terminologi yang mengacu pada pembahasan etika

politik Islam. Sebagai sebuah prinsip etis yang khas ketimuran, jenis etika ini

sangat mengedepankan landasan normatif yang bersumber dari Al-Qur’an dan

Hadits. Berbeda dengan konsep Barat yang mengesampingkan aspek religius dan

mengedepankan sekularitas. Tentu bukan tanpa sebab mengapa kedua etika ini

lahir dan mampu berkembang dalam dunianya masing-masing. Meski tak bisa

8
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), Hlm. 40
9
Franz Magnis Suseno, op.cit. hlm 1
10
Franz Magnis Suseno, op.cit hlm 49-50

5
dipungkiri dalam sejarahnya mereka saling berkontribusi dalam memberikan

sumbangan baik melalui ilmu pengetahuan maupun peradaban. Pemikiran politik

Barat misalnya, terlepas dari sesekuler apapun bentuk pemikirannya, kelahirannya

merupakan hasil perkawinan tiga peradaban besar yaitu Yunani-Romawi, Judeo

(Yahudi)-Kristiani, dan Islam. 11

Bertolak pada wacana politik Islam khususnya etika politik Islam perlu

kiranya kita sedikit mengenal beberapa tokoh seperti Ibnu Abi Rabi, al-Farabi, al-

Mawardi, dan Ibnu Taimiyah.12 Keempat tokoh ini sepakat menekankan

pentingnya etika politik khususnya berkaitan dengan hal kepemimpinan, kejujuran

dan penyampaian amanat. Dalam hal kekuasaan negara misalnya, Ibnu Abi Rabi

dan al-Farabi menekankan kekuasaan Tuhan. Sejalan dengannya, al-Mawardi

menegaskan legitimasi khilafah atau imamah dilakukan dengan dua cara yaitu

melalui ahl al ihktiyar atau delegasi dari imam sebelumnya. Sedikit berbeda

dengan ketiganya, Ibnu Taimiyah lebih menekankan peran imamah dari pada

figuritasnya. Oleh karenanya ia lebih menekankan keadilan dan pelaksanaan


13
syariat yang merupakan amanat dari Allah Swt. Selain empat figur di atas Ibnu

Khaldun juga menekankan pentingnya seorang pemimpin sebagai figur yang

11
Penjelasan mengenai sejarah pemikiran politik barat ini dapat ditelurusi lebih lanjut dalam
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010)
12
Muh In ‘Amuzzahidin,”Etika Politik Dalam Islam”, dalam Wahana Akademika: Jurnal Studi
Islam dan Sosial Vol. 2 No. 2 tahun 2015 dalam
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/382/pdf diakses pada 26 Nopember
2017 pukul 22: 05 WIB
13
Pembahasan ini secara keseluruhan dapat dilihat dalam jurnal Ibid dan dalam Ayi Sofyan, Etika
Politik Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 257-276.

6
disegani sehingga mampu menolak kezaliman serta pertikaian diantara

sesamanya.14

Di Indonesia wacana etika politik sampai hari ini juga masih ramai

diperbincangkan, baik di kalangan akademisi, praktisi, maupun agamawan. Hal

ini disebabkan permasalahan etis dunia politik Indonesia seolah tidak mengenal
15
kata final. Namun demikian ada sebagian dari mereka yang mencurahkan

perhatiannya pada masalah ini seperti romo Franz Magnis Suseno,16 Nurcholis

Madjid,17 Amien Rais dan Akbar Tandjung.18Berangkat dari serangkaian

14
Ibidd., hlm. 288-294
15
Beberapa hal yang menjadi permasalah etika politik di Indonesia yaitu soal politik dinasti yang
selain karena tujuannya melanggengkan kekuasaan sepihak, juga menghambat rekruitmen partai
politik dan menghilangkan hak berpolitik sebagian orang yang jauh dari akses kuasa. Beberapa
kalangan juga menganggap sistem politik ini rentan korupsi. Seperti politik dinasti Bupati Klaten
Gubernur Banten yang keduanya cukup mengandalkan keluarga terdekat seperti suami dan
adiknya demi melanggengkan kekuasaan. Selain itu keduanya juga akhirnya terkena Operasi
Tangkap Tangan (OTT) KPK karena menerima gratifikasi. Kedua, korupsi pejabat daerah yang
berdasar data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2015 mencapai 183 orang dan terdiri dari
pejabat tingkat kabupaten dan propinsi. Ketiga, mekanisme kontrol atas pejabat korup di Indonesia
yang masih lemah yang menghasilkan para mantan narapidana korupsi ini kembali mencalonkan
diri di pemilihan kepala daerah dan berhasil seperti Bupati Solok (H Gusmal), Bupati Natuna
(Rusnadi) dan Bupati Minahasa Utara (Vonie Anneke Panambunan) Bupati Minahasa Utara (Data
ICW, 2016). Sumber: http://www.pikiranmerdeka.co/2017/11/25/dilema-populisme-dan-habitus-
korupsi/,http://www.tribunnews.com/nasional/2016/09/18/rekruitmen-parpol-tak-berjalan-akibat-
politik-dinasti,http://www.beritasatu.com/hukum/455771-icw-dinasti-politik-rentan-korupsi.html,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/12/31/oj1a2y354-perludem-dinasti-
politik-rentan-korupsi, https://nasional.sindonews.com/read/1167712/12/kasus-bupati-klaten-kian-
buktikan-politik-dinasti-rawan-korupsi-1483411052,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/21/ternyata-pejabat-swasta-paling-banyak-
tertangkap-korupsi-kpk. Diakses pada 26 Nopember 2017
16
Lihat Franz Magnis Suseno, op.cit. Buku itu membahas secara teoritis urgensi etika politik
sebagai prinsip moral dasar kenegaraan modern. Selain itu pembahasan serupa juga, ia buat dalam
judul 12 Tokoh Etika Abad ke-20 yang diterbitkan oleh Kanisius tahun 2000.
17
Nurcholis Madjid (Cak Nur) merupakan seorang tokoh intelektual pluralis di Indonesia sehingga
wajar bila perhatiannya pada etika politik di Indonesia juga menekankan semangat pluralitas yang
tertuang dalam pancasila. Lihat Eka Zuliana,”Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholis
Madjid” dalam Tesis Program Studi Pemikiran Islam (Medan: Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, 2015) dalam
http://repository.uinsu.ac.id/1741/1/TESIS%20Eka%20Zuliana.pdf diakses pada 26 Nopember
2017
18
Kedua tokoh ini sama-sama mencita-citakan adanya suatu model kepemimpinan tinggi (high
politics-high leadership). Bedanya Amien Rais lebih menekankan pada implementasi ajaran tauhid
sedangkan Akbar Tandjung pada pendekatan tiga dimensi (tujuan, sarana dan aksi). Lihat Dhanil

7
pembahasan inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam pemikiran dua

tokoh besar yang pernah eksis pada zamannya yaitu Ibnu Taimiyah dan Max

Weber. Hal ini karena pemikirannya khususnya berkenaan dengan permasalah

etika politik ini dalam konteks tertentu memiliki kesamaan bentuk meski lahir dan

hidup pada situasi dan latar yang berbeda. Ibnu Taimiyah merupakan ulama

fundamentalis abad ke-13 yang lebih dikenal dengan Syaikhul Islam sedangkan

Max Weber merupakan sosiolog besar Jerman abad ke-19. Beberapa buah

pemikirannya penulis yakini masih relevan bila diaplikasikan pada konteks saat

ini.

Taqi Ad-Din Abu Abas Ahmad Ibn Abi Al Halim Ibn Abd As-Salam Ibn

Taimiyah atau lebih populer dengan Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) adalah

seorang ulama berkebangsaan Syiria yang lahir tepat lima tahun setelah jatuhnya

Baghdad. Ia lahir dari keluarga besar ulama bermadzhab Hanbali. Saat berumur

tujuh tahun, bersama keluarganya ia lari ke Damaskus demi menghindari serangan

bangsa Tartar yang memporak-porandakan tanah kelahirannya di Harran. Karena

berada di keluarga ulama yang memberikan banyak pengaruh positif pada dirinya,

ia pun dikenal sebagai sosok yang pandai meski usianya masih belia, selain itu ia

juga dikenal cermat serta tegas dalam pendirian. Meski demikian ia tidak jarang

sering terlibat perdebatan karena perbedaan pendapat dengan ulama sekelilingnya

maupun dengan penguasa semasa ia hidup yaitu Dinasti Mamluk. Dalam salah

Septian,”Pemikiran Politik Amien Rais: Suatu study Analisis tentang Adiluhung/high politics dan
Aplikasinya di Indonesia” dalam Skripsi Departemen Ilmu Politik (Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2009) dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/14867/09E00696.pdf?sequence=1 diakses
pada 26 Nopember 2017 dan Abbas, “Etika Politik Akbar Tandjung” dalam Skripsi Aqidah
Filsafat (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008) dalam http://digilib.uin-
suka.ac.id/2415/ diakses pada 26 Nopember 2017

8
satu teori politiknya, ia sangat menentang teori Khilafah yang menurutnya tidak

sesuai dengan ajaran Alqur’an dan spirit kenabian. Begitu juga pendapatnya yang

kontroversial bahwa lebih baik dipimpin pemimpin kafir selagi adil daripada

dipimpin pemimpin muslim tetapi dzalim.19 Apabila ditelusuri lebih lanjut maka

dapat dipahami sebab keluarnya fatwa tersebut. Dalam karyanya Siyasah

Syar’iyyah fi Islahir-Ra’iy war-Ra’iyyah ia mengutip hadits Nabi Saw yang

berarti:

Sultan (Kepala Negara) adalah naungan Allah di atas Bumi”. Dan


diriwayatkan: “Enam puluh tahun di bawah kekuasaan Kepala Negara
yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa kepala Negara”.
(Hadits)20
Selain terjemahan hadits di atas Ibnu Taimiyah dalam teori politiknya juga

memaparka pentingnya pemerintah. Hanya saja teorinya memiliki perbedanya

dengan pemikir-pemikir sebelumnya yang mana ia lebih menekankan kapabilitas

pemimpin yang mampu menjalankan amanat serta merealisasikan syari’at

daripada figuritas pemimpin itu sendiri. Selain itu bila diperdalam lebih lanjut

berdasarkan riwayat hidupnya, fatwa ataupun teori politiknya merupakan respon

atas realitas sosial yang terjadi semasa hidupnya. Dengan berbagai fatwa yang ia

tawarkan meski menuai fitnah sejatinya ia hanya ingin mengembalikan segala

fungsi pemerintah pada sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat

dibuktikan dalam pembahasan pertama Siyasah Syar’iyyah ia mengutip Al-Qur’an

19
Pernyataan ini disampaikan oleh Khalik dalam studi mengenai pro-kontra pemimpin non
muslim dengan mengacu pada pemikiran Ibnu Taimiyah. Lihat Abu Tholib Khalik,”Pemimpin
Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Analis Vol. 14, No. 4, Juni 2004,
hlm. 60-61 dalam https://media.neliti.com/media/publications/58306-ID-pemimpin-non-muslim-
dalam-perspektif-ibn.pdf diakses pada 26 Nopember 2017
20
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara (terj. Assiyasatus Syari’ah fi islahir Ra’iy war
Ra’iyyah) (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977) hlm 230

9
surah an-Nisa ayat 58-59 yang berisi kewajiban pemimpin menunaikan amanah,

menetapkan hukuman (hudud) pada sesama manusia, serta berlaku adil.21

Adalah Baber Johansen, seorang profesor Universitas Harvard yang

pertama mengidentifikasikan keterkaitan konsep etika politik Ibnu Taimiyah

dengan etika tanggung jawab Max Weber.22 Dalam karyanya yang membahas

konsep pemerintahan syari’ah Ibnu Taimiyah dengan menekankan pada konteks

sosial-politiknya, di bagian akhir itu ia menyimpulkan dalam kondisi tertentu

seorang pemimpin wajib melakukan “tindakan positif” dengan

mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi demi maslahah yang lebih besar,

meskipun dilakukan dengan cara “negatif”. Hal ini menurut Johansen mendekati

etika tanggung jawab Weber yang perbedaannya ia (Weber) lebih menekankan

orientasi hasil dari pada cara seperti yang dihasilkan Ibnu Taimiyah dalam

Siyasah Syar’iyyah-nya. 23

Max Weber adalah ilmuan sosial berkebangsaan Jerman yang hidup pada

abad ke-20. Ia lahir di Erfurt, Thuringia, 21 April 1864 dan wafat pada 14 Juni

1920.24 Meski ayahnya seorang birokrat dan ibunya merupakan wanita protestan

terpelajar, kedua orang tua ini seringkali bertentangan satu sama lain yang

akhirnya mempengaruhi kepribadian Weber. The Protestan Ethic and the Spirit of

Capitalism (1905) adalah karya fenomenal Weber yang membahas pengaruh

21
Ibid., hlm. 9-10
22
Baber Johansen,” A Perfect Law in Imperfect Society: Ibn Taymiyya’s Concept of Governance
in the Name of the Sacred Law” p: 259-293 in The Law Applied: Contextualizing the Islamic
Shari’a, edited by B. G. W. Bearman, Peri, Wolfhart Heinrichs (London: I.B Tauris, 2008).
23
Ibid., hlm. 283
24
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm 194-197

10
ajaran protestan terhadap perkembangan kapitalisme di Eropa sekaligus

menunjukkan ketertarikan Weber pada studi agama. Dalam karyanya itu Weber

menunjukkan adanya konsepsi panggilan yang kemudian menghasilkan suatu

dogma bagi umat protestan sehingga menghasilkan etos (semangat) dalam

mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (Weber 2006). Weber muda hidup

dalam lingkungan kotapraja yang hari-harinya disibukkan oleh aktivitas

akademis-dan praktis kelas menengah sehingga hal itu memudahkan kedua

karirnya. Hari-hari Weber penuh dengan pergolakan psikologis serta penuh

dengan gejolak sosial di sekitarnya.

Kuliahnya tentang “Politik Sebagai Sebuah Panggilan” disampaikannya

jelang akhir hayatnya pada Januari 1919 sebagai pemenuhan undangan rektor

Universitas Munich, Immanuel Birnbaum serta menurut editornya disampaikan

dalam konteks drama politik yang tinggi. 25 Dalam kuliah itu Weber menampilkan

sebuah materi yang lepas dari asumsi metodologisnya baik sebagai sosiolog

maupun ekonom serta menunjukkan keterbukaannya pada keinginannya untuk

mendidik para politisi yang tergerus oleh pendiriannya sendiri sebagai seorang

“politisi keyakinan”. Dalam kuliah itu juga Weber membedakan dua model etika

yaitu etika maksud baik (Jerman: Gesinnungsethik) serta etika tanggung jawab

(Jerman: Verantwortungsethik). Muara ceramah ini adalah weber menginginkan

kedewasaan berpolitik khususnya dalam pengambilan sikap dengan melepaskan

diri pada keyakinan akan maksud baik serta mengupayakan pengambilan jarak

25
Eric Thomas Weber, Morality, Leadership and Public Policy: On Experimentalism in Ethics
(London-New York: Continuum, 2011), hlm. xxxiv

11
atas dirinya sendiri dan berani bertanggung jawab dengan menerima konsekuensi

atas pilihannya.26

Dari pembahasan ini penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut konsep

etika politik Ibnu Taimiyah dan Max Weber yang mana kedua konsep ini

memiliki substansi yang sama yaitu dengan mengupayakan maslahah umum

namun dengan model orientasi yang berbeda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep etika politik Ibnu Taimiyah dan etika tanggung jawab

Max Weber ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

a. Mendeskripsikan konsep etika politik Ibnu Taimiyah dan etika tanggung

jawab Max Weber.

b. Membandingkan kedua konsep di atas berdasarkan konteks sosialnya.

2. Manfaat Penelitian:

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya terkait studi

sosiologis pemikiran tokoh.

26
Lihat Max Weber, Sosiologi terj. Noorkholis dan Tim Penerjemah Promothea (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009)

12
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan pada

masyarakat terkait urgensi moral terhadap tindakan kolektif khususnya

tindakan politik.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pemikiran Ibnu Taimiyah dan Max Weber sudah

banyak dikaji oleh banyak kalangan. Untuk Ibnu Taimiyah, kajian yang telah

dilakukan penulis petakan menjadi beberapa tema seperti bidang ekonomi yang

telah dibahas oleh Arskal Salim berjudul Etika Intervensi Negara Perspektif Etika

Politik Ibnu Taimiyah. Buku hasil tesis ini ingin melihat sejauh mana etika politik

Ibnu Taimiyah mampu diaplikasikan dalam mengukur peran pemerintah

melakukan intervensi di bidang ekonomi. Pembahasan ini menghasilkan

intervensi pemerintah boleh dilakukan asal berladaskan norma-norma etik dan

hanya dilakukan bila kondisi darurat serta dengan tujuan menjaga stabilitas

pasar.27 Selanjutnya Abdul Azhim Islahi berjudul Economics Concepts of Ibn

Taimiyah. Penulis buku ini sebenarnya ingin menunjukkan salah seorang ilmuan

islam klasik yang meski kurang diperhitungkan dalam pemikiran ekonominya

namun sebenarnya pemikirannya banyak memberikan kontribusi bagi bidang

ekonomi saat ini seperti persoalan hak milik, penetapan harga, uang, kepentingan,

27
M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah (Jakarta:
Logos, 1999), hlm. 13

13
kemitraan, perpajakan, regulasi negara yang semuanya bertujuan untuk menjamin

keadilan bagi seluruh masyarakatnya. 28

Dalam bidang politik, penulis klasifikasikan lagi dalam beberapa sub-

tema seperti pemikiran politiknya yang telah dibahas oleh Mehraj ud Din berjudul

Apprehending the Political Thought of Ibn Taymiyah. Artikel dalam jurnal ini

ingin merefleksikan pemikiran politiknya dengan bertolak pada pemikiran

politiknya yang kurang diperhitungkan baik di kalangan ulama semasa hidupnya

maupun setelahnya. Jurnal ini berkesimpulan bahwa Pandangan politik Ibnu

Taimiyah cenderung anti ektrimis, multidimensi, serta pragmatis dan sangat

intoleran pada ketidakadilan dan menekankan pentingnya sebuah negara demi

terselenggaranya syariat dan kesejahteraan sosial. Kedua, beberapa fatwa yang

sangat kontroversial itu dilakukannya dalam kondisi sangat berhati-hati dan penuh

pertimbangan.29 Kemudian Qamaruddin Khan yang juga membahas pemikiran

politiknya fokusnya lebih pada merekonstruksi pandangan Ibnu Taimiyah tentang

konsepsi negara dengan bertolak pada masa Nabi SAW di Madinah dan

kekhilafahan sesudahnya. Buku ini berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa apa

yang terjadi pada masa Nabi Muhammad itu merupakan nubuwwah dan bukan

imamah. Imamah hadir setelah kematian Nabi Saw. Kedua, menurut Khan

pemikiriannya yang demikian disebabkan ia (Ibnu Taimiyah) tidak ingin

mengembaikan tatanan ummah pada kondisi masa lalu disebabkan kondisi yang

28
Abdul Azhim Islahi, Economics Concepts of Ibn Taimiyah (Britain: The Islamic Foundation,
1988), hlm 11
29
Mehraj ud Din, “Apprehending the Political Thought of Ibn Taimiyah” in Islam and Muslim
Societies: A Social Science Journal, Vol 7, No. 2 (2014) p. 109-117

14
sudah sangat berbeda. Begitu juga dalam penyelenggaraan negara yang bisa

dilakukan asal dalam rangka realisasi syari’ah dan berlandaskan tauhid. 30

Temuan pemikiran Ibnu Taimiyah mengenai kepemimpinan politik juga


31
sudah terdapat dalam karya Risno, Khalik,32 dan Husnawati33. Perbedaannya

Risno membahas konsep kepemimpinan ideal, Khalik meninjau fatwanya

mengenai pemimpin non-muslim dan Husnawati membahas hukum ketaatan pada

penguasa dzalim. Dalam idealitas pemimpin menurut Risno, konsep yang

dibangun Ibnu Taimiyah mengacu pada konsep maslahah dan bertujuan untuk

merealisasikan syari’at.34 Kemudian terkait fatwa Ibnu Taimiyah mengenai

pemimpin non muslim menurut Khalik dikeluarkan karena Ibnu Taimiyah melihat

pemimpin lebih pada kebijakan dan kemampuannya dalam merealisasikan syari’at

dan bukan pada kesalehannya.35 Begitu juga terkait hukum taat pada penguasa

dzalim hal itu mutlak dilakukan demi terhindarnya kedzaliman yang lebih besar.36

Temuan teori pemerintahan Ibnu Taimiyah juga sudah dibahas oleh Baber

Johansen dalam sebuah jurnal berjudul A Perfect Law in Imperfect Society: Ibn

Taymiyya’s Concept of “Governance in the Name of the Sacred Law. Dalam

pembahasan ini ia menunjukkan hubungan teori pemerintahan Ibnu Taimiyah

yang tertuang dalam fatwa-fatwa dengan latar historis yang melingkupinya.

30
Lihat Qamaruddin Khan, The Political Though of Ibn Taimiyah (Delhi: Adam, 1992), hlm. 181-
185
31
M. Risno,”Konsep Kepemimpinan Negara yang Ideal Menurut Ibnu Taimiyah” dalam Skripsi
Jurusan Jinayah Siyasah (Yogyakarta: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2006)
32
Abu Tholib Khalik,”Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal
Analis Vol. 14, No. 1 2014
33
Luluk Husnawati,”Hukum Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah” dalam
Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015)
34
Op.cit., hlm. 108-110
35
Lihat Op.cit., hlm 1-32
36
Op.cit., hlm 58-60

15
Hasilnya teori pemerintahan Ibnu Taimiyah ini dilatari oleh berbagai konflik yang

melanda Dinasti Mamluk dimana ia juga sering terlibat konflik baik dengan

sesama ulama maupun dengan penguasa. Selain itu seorang pemimpin dalam

kondisi apapun dituntut kedewasaannya dalam hal pengambilan keputusan

meskipun keputusan itu tidak disetujui oleh banyak kalangan. Dengannya ia

(pemimpin) dituntut pertanggung jawabannya atas keputusan yang diambilnya. 37

Pemikiran etika politik Ibnu Taimiyah dibahas dalam berbagai perspektif

seperti perspektif studi agama oleh Amuzzahidin berjudul Etika Politik Dalam

Islam. Dalam jurnal ini ia membandingkan Ibnu Taimiyah dengan beberapa

pemikir muslim seperti Ibnu Abi Rabi, Al Farabi dan Al Mawardi. Jurnal ini

berkesimpulan keempatnya sama-sama menekankan kapabilitas pemimpin yang

adil, jujur, amanat, mengapresiasi keilmuan serta mengutamakan kesejahteraan.38

Selain itu studi komparatif yang membandingkan konsep etika politiknya dengan

etika politik Ibnu Khaldun. Secara garis besar skripsi ini berkesimpulan bahwa

konsep etika politik Ibnu Khaldun tertuang dalam konsep ashabiyah yang lebih

menekankan tabiat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan

organisasi sedangkan Ibnu Taimiyah lebih menekankan maslahat (kesejahteraan)

bagi seluruh umatnya.39 Berikutnya tesis Dedi Syaputra membahas konsep etika

politik Ibnu Taimiyah dengan menggunakan perspektif studi agama dan etika

37
Baber Johansen, “A Perfect Law in Imperfect Society: Ibn Taymiyya’s Concept of Governance
in the Name of the Sacred Law.” in The Law Applied: Contextualizing the Islamic Shari’a, edited
by B. G. W. Bearman, Peri, Wolfhart Heinrichs (London, UK: I.B Tauris, 2008) p. 259-293
38
Muh In’Amuzzahidin, “Etika Politik Dalam Islam.” Dalam Jurnal Wahana Akademika Vol. 2
No. 2 tahun 2015 dalam Retrieved
(http://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/382 diakses pada 26 Nopember
2017
39
Lihat Asep Sholahuddin, “Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun” dalam
Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm. 72-75

16
global Hans Kung. Tesis ini berkesimpulan bahwa etika politik Ibnu Taimiyah

dibangun atas keinginan mengembalikan konsep ini pada Qur’an dan Hadits.

Kedua, ijtihad sosialnya dilakukan Ibnu Taimiyah atas dasar menghindari taqlid

serta demi kebebasan manusia. Ketiga, kehadiran ruang publik disebabkan

orientasi kepentingan serta tujuan bersama seluruh manusia. 40

Tinjauan penelitian mengenai pemikiran Max Weber penulis

temukan dalam beberapa judul berikut. Seperti dalam tema studi biografi yang

mana telah dilakukan oleh Mianto41, Syamsuddin42, dan Paul43. Kajian Miyanto

lebih terpusat pada sosok Weber sebagai Nabi etika protestan dan bapak

Verstehen. Kajian obituarif ini berakhir dengan kesimpulan kematian Weber

disebabkan virus influenza tipe A subtipe H1N1 dan telah diidapnya sejak

menjalani wajib militer44. Syamsuddin melihat Weber atas sumbangsihnya pada

studi ilmu sosial. Jurnal ini lebih membahas secara kronologis kehidupan Weber

disertai karya-karyanya45. Adapun Paul yang merupakan kolega Weber lebih

40
Dedi Syaputra, “Etika Politik: Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah Dalam Kitab Al-Siyasah Al-
Syar’iyyah Fi Islah Al-Ra’i Wa Al-Ra’iyyah.” Dalam Tesis (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2011) , hlm. 104-105. Dedi, dalam pembahasan ini selain bertolak bada buku Siyasah
Syari’ah Ibnu Taimiyah juga bertolak pada tesis sejenis seperti Politik kenegaraan: Pemikiran
Ibnu taimiyah dan Al Ghazali dengan perspektif maslahan mursalah karangan Jeje Abdul Razak
(1999), Politik Hukum dalam Islam. Telaah Kritis Kitab Siyasah Syari’ah karangan Giyarso
Widodo (2010), dan tesis M. Nur (1997) tentang Realisme Ibn Taimiyah: Telaah Kritis Pemikiran
Islam Era Skolastik . Lihat ibid hlm 8-11
41
Miyanto Nugroho Agung, “Weber: Nabi Etika Protestan, Bapak Verstehen” dalam Pax Humana:
Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol. III No. 1 tahun 2006
42
Syamsuddin Abdullah, “Max Weber: Hidupnya, Karya-karyanya dan Sumbangannya” dalam
Jurnal Al-Jami’ah No. 21 tahun 1979 dan dimodifikasi 24 Mei 2013 pada http://digilib.uin-
suka.ac.id/445/ dan diakses pada 30 Nopember 2017.
43
Paul Honigsheim, The Unknown Max Weber, edited by A. Sica (New Brunswick USA-London
UK: Transaction, 2003).
44
Miyanto Nugroho Agung, op.cit., Hlm. 57-64
45
Syamsuddin Abdullah, op.cit, hlm. 31-59

17
membahas sisi lainnya yaitu sebagai seorang sosiolog pedesaan, antropolog

terapan dan sejarawan bidang pertanian dan masyarakatnya46.

Sumbangsih pemikirannya tentang pengaruh agama terhadap perubahan

sosial juga sudah dikaji oleh Ajat47 dan Sumintak.48 Hasilnya dalam Sumintak

agama selain berperan positif dalam memberikan pedoman hidup manusia di sisi

lain memicu konflik sehingga menyebabkan terhambatnya perubahan sosial.


49
Adapun Ajat dengan melihat manusia sebagai homo religius maka ia ingin

memastikan hubungan itu dalam perilaku politik. Hasilnya, selain faktor agama,

faktor sipil berupa keadilan politi, ekonomi, sosial, budaya juga mendorong

manusia untuk partisipasi politik.50 Tulisan Stainslav juga memb

ahas hal serupa hanya saja ia lebih meringkas karya-karya pilihan Weber seputar

hubungan ketiganya (kapitalisme, birokrasi, agama) yang mencirikan kekhasan

masyarakat Barat. Menurutnya, rangkuman ini untuk menjawab kesalahpahaman

atas tesis Weber mengenai pengaruh agama (Protestan) terhadap perkembangan

kapitalisme.51

46
Paul Honigsheim, op.cit., hlm, 3-33
47
Ajat Sudrajat, “Agama dan Perilaku Politik” dalam Jurnal Humanika UPT-MKU UNY, No. 1
Th. 1 tahun 2002 dalam
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/penelitian/Agama+dan+Perilaku+Politik.pdf diakses
pada 30 Nopember 2017
48
S Sumintak, “Agama dan Perubahan Sosial: Studi Kritis Pemikiran Max Weber” dalam Skripsi
(Palembang: UIN Raden Fatah, 2015) dalam http://eprints.radenfatah.ac.id/219/ diakses pada 30
Nopember 2017
49
Ajat Sudrajat, op.cit., hlm. 1-15
50
S Sumintak, op.cit., hlm 105-106
51
Stainslav Andreski, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989) Hlm. 1-11

18
Telaah pemikiran sosio-historis Weber juga sudah dilakukan oleh Roth

dan Schluchter.52 Tulisan ini berkesimpulan bahwa analisis historis Weber

dihasilkan oleh persepsinya tentang nasib beserta segala kemungkinannya.

Persepsi ini hadir karena perubahan situasi intelektual saat itu yang di sisi lain

mengarah kepada sekularisasi serta sisi lain muncul skeptisisme atas hukum

ilmiah. Kedua, pandangan historis Weber sendiri merupakan inisiatifnya untuk

menjaga masa depan sebagai sejarah, sehingga terbuka terhadap kehendak dan

resolusi manusia.53Analisis Giddens mengenai hubungannya dengan Marx dan

Durkheim juga telah dilakukannya dalam konteks kapitalisme serta lahirnya teori

sosial modern. Ia berkesimpulan ketiganya sama-sama berhubungan meski

ketiganya hidup dalam konteks yang berbeda-beda yaitu Marx dengan

materialisme historis, Weber dengan tindakan rasionalitas, dan Durkheim dengan

pembagian kerja.54

Dalam tema moralitas dan politik, kajian tentang Weber juga sudah

dilakukan oleh Brunn,55 Turner,56Mayer,57 Mommsen,58Kalyvas,59dan Brubaker.60

52
Guenther Roth and Wolfgang Schulchter, Max Weber’s Vision of History: Ethics and Methods
(USA: University of California Press, 1984 )
53
Ibid., hlm. 195-206
54
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisa Karya Tulis Marx,
Durkheim dan Max Weber (Jakarta: UI-Press, 1986). Lihat juga dalam buku ini di bab 4 terkait
analisa Giddens.
55
Hans Henrik Brunn, Science, Values and Politics in Max Weber’s Methodology (Great Britain:
Ashgate, 2007)
56
Charles Turner, Modernity and Politics in the Work of Max Weber (London-New York:
Routledge, 1992)
57
J.P. Mayer, Max Weber and German Politics: A Study in Political Sociology (London: Faber
and Faber, 1944)
58
Wolfgang J. Mommsen, The Political and Social Theory of Max Weber (Chicago: The
University of Chicago Press, 1989)
59
Andreas Kalyvas, Democracy and the Politics of the Extraordinary (New York: Cambridge
University Press, , 2008)
60
Roger Brubaker, The Limit of Rationality: An Essay on the Social and Moral Thought of Max
Weber (London-New York: Routledge, 1984)

19
Perbedaanya Brunn lebih meninjau tulisan metodologis Weber dengan

mengangkat isu utama seputar nilai serta di bagian akhir ia membahas


61
hubungannya terhadap penyelidikan ilmiah serta politik. Adapun Turner lebih

mengungkap teori modernitas Weber yang mana ia berkesimpulan dari situasi

politik yang dialami Weber terdapat pelajaran bahwa tugas sebagai pribadi ideal

dalam menghadapi sebuah tragedi bukan dengan cara berpikir bagaimana lari dari
62
kenyataan itu namun dengan siasat agar bisa menghadapinya. Mayer menelaah

Weber dalam kajian sosiologi politik Jerman dimana Weber terlibat langsung

dalam dinamika struktur politiknya.63 Mommsen dengan bertolak pada hubungan

pemikiran politik, sosial, dan historisnya ia berkesimpulan ketiganya tidak bisa

dianalisis secara terpisah karena hal itu merupakan cerminan dari realita yang

sama.64Kalyvas dalam menjelaskan demokrasi dan politik luar biasa dengan

mengacu pada tulisan-tulisan Max Weber, Hannah Arendt, dan Carl Schmitt, ia

berkesimpulan gagasan ketiganya terutama tentang karisma, kekuasaan konstitutif

serta permulaan awal (new beginnings) ditujukan untuk mendeskripsikan asal usul

politik yang bermuara pada kelahiran konstitusi serta berakhir pada harapan akan

lahirnya teori demokrasi baru dengan tujuan radikal.65Adapun Brubaker dengan

meninjau kekayaan serta interaksi ambigu antara karya emipiris serta pandangan

61
Hans Henrik Brunn, op.cit., Hlm 239-274
62
Charles Turner, op.cit., hmn 122-123.
63
Tulisan ini berakhir dengan kesimpulan panjang mengenai refleksi akan kuatnya ideologi kristen
yang memuat dorongan pertaubatan sehingga hal ini seharusnya bisa disadari segenap masyarakat
Jerman agar bangkit dari kekalahan PD I serta pengandaian para sekutu: Perancis, Inggris, USA,
dan Russia untuk bersama-sama membangun kembali Jerman dengan mengesampingkan elitisme
masing-masing. Lihat J.P. Mayer, op.cit., hlm 92-94
64
Selain itu dalam pembahasan keterkaitan teori politik-sosialnya, menurut Mommsen, Teori
sosialnya merupakan cerminan dari realitas politik yang dialaminya meski ia sudah berusaha keras
untuk tetap objektif dalam merumuskannya. Lihat Wolfgang J. Mommsen, op.cit., hlm vii-x
65
Lihat Andreas Kalyvas, op.cit., hlm 292-300

20
moralnya berkesimpulan tesis empiris serta moral Weber tentang masyarakat

modern menyisakan kesan menarik untuk selalu direkonstruksi ulang dalam

sketsa pada rasionalitas dan rasionalisme yang membekas pada karya Weber. 66

E. Kerangka Teoritik
Sebuah pemikiran tidak mungkin lahir dari ruang hampa. Oleh karenanya

dalam rangka memahaminya sebagai sebuah kesatuan utuh seorang peneliti perlu

kembali konteks sosial dimana sebuah pemikiran itu lahir baik melalui

penelusuran biografi maupun karya-karyanya. Hal ini bertujuan mengembangkan

ruang imajinasi sehingga peneliti mendapatkan pemahaman utuh mengenai bentuk

pemikiran beserta sebabnya. Sejalan dengan hal itu, penelitian pemikiran politik

Ibnu Taimiyah dan Max Weber juga memerlukan pemahaman atas konteks sosial

yang selain mendapatkan gambaran utuh juga diharapkan dapat menemukan

persamaan model pemikiran dalam konteks tertentu. Hal ini dapat dilihat skema

kerangka teoritik berikut 67:

66
Rogers brubaker, op.cit. hlm vi
67
Sumber gambar: Olahan peneliti

21
Pemikiran Ibnu Taimiyah tidak terlepas dari unsur ketimuran yang sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai normativitas yang bersumber dari Al-Qur’an dan

Hadits. Begitu juga dengan Max Weber yang pemikirannya tidak terlepas dari

konteks Barat yang mengedepankan positivisme dan universalisme dengan

berakar pada ajaran Kristen. Hubungan dialogis antara konteks sosial dengan

subjek inilah yang akan menjadi sasaran pembahasan sebab kelahiran pemikiran

keduanya.

Emilio Betti sebagaimana dijelaskan Fazlur Rahman mengatakan:

“Suatu kebalikan dari proses penciptaan yang asal: Bentuk-bentuk yang


kita coba pahami dan tafsirkan harus dibawa kembali kepada pikiran yang
menciptakannya, dimana bentuk-bentuk tersebut merupakan kandungan
yang orisinal, tidak sebagai butir yang terpisah-pisah, tapi sebagai suatu

22
keseluruhan yang koheren, dan dihidupkan kembali dalam pikiran subyek
yang melakukan pemahaman atasnya”. 68
Sejalan dengan hal itu, seorang ilmuan sosial Inggris Anthony Giddens

juga menjelaskan bahwa sebuah praktek sosial memuat hubungan dualitas antara

agen dan struktur. Kedua unsur ini (agen-struktur) memuat watak hubungan itu.

Selanjutnya juga dikatakan bahwa objek kajian ilmu sosial sendiri merupakan apa

yang sudah, sedang atau akan dilakukan seseorang melalui tindakannya. Pada

poin yang terakhir ini meski baru sebatas rencana namun didalamnya telah

termuat berbagai motivasi serta kepentingan tertentu. Ia juga mengatakan kalau

praktik-praktik itu sendiri adalah “gugus tindakan yang melibatkan skema


69
hubungan tertentu dimana ilmu sosial sendiri turut merumuskannya”. Skema

inilah yang dirumuskan Giddens dan dinamakan “Hermeneutika Ganda-double

hermeneutic” yaitu sebuah teori yang menjelaskan hubungan timbal balik antara

praktik sosial yang dilakukan subjek kajian dengan wacana ilmiah yang
70
dibangunnya. Teori ini akan dipakai dalam menganalisis hubungan pemikiran

etika politik Ibnu Taimiyah dan Max Weber.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi pustaka (library

research). Menurut Sutrisno Hadi penelitian ini merupakan jenis penelitian yang

68
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka
Setia, 1985), hlm 9-10. Rahman kemudian menambahkan lagi perlunya pertimbangan konteks
sosial yang menjadi respon subjek dalam melakukan pemahaman itu. Ibid., hlm. 10
69
B. Herry Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2016), hlm 51-52
70
Ibid., hlm. 52

23
seluruh data-datanya dihimpun dari dokumen tertulis baik itu buku, jurnal,
71
majalah, dan sejenisnya. Dilanjutkan Nursapia bahwa jenis penelitian ini

dilakukan karena permasalahan yang dikaji bersumber dari gejala yang ada dalam

masyarakat salah satunya adalah pemikiran tokoh.72

2. Pendekatan Penelitian
Mengingat penelitian ini berhubungan dengan sejarah pemikiran tokoh,

maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan historis dengan mengacu pada

kronologi masa lampau sebagai setting pemikiran tokoh. Selain itu metode

hermeneutika untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh atas konteks sosial

yang menjadi dasar pemikiran tokoh sehingga diharapkan dapat memudahkan saat

melakukan interpretasi maupun analisis data.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi ke dalam data primer dan data

sekunder dengan rincian sebagai berikut:

a. Data Pimer:

Data Primer disandarkan pada karya utama tokoh berkaitan dengan

pemikiran yang akan dikaji yaitu “Siyasah Syar’iyah” Ibnu Taimiyah dan

diktat kuliah Weber berjudul “Politics as a Vocation” Max Weber.

b. Data Sekunder:

Data sekunder adalah data-data pendukung kepustakaan yang berasal dari

buku maupun artikel yang relevan dengan topik penelitian.

71
Nursapia Harahap,”Penelitian Kepustakaan” dalam Jurnal Iqra’ Vol. 8, No. 1(2014), hlm. 68
72
Nursapia Harahap, loc.cit

24
4. Metode Pengumpulan Data.
Metode pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan riset pustaka

(library research) yaitu dengan pengindentifikasian sistematis dokumen-dokumen

yang memuat informasi tentang topik penelitian. Data penelitian yang merupakan

sumber tertulis ini didapat dari dokumen, maupun arsip tertulis seperti buku, dan

lain sebagainya.

5. Metode Analisis Data


Metode analisis data akan dilakukan sebagaimana pedoman analisis data

dalam penelitian kualitatif73 dengan urutan sebagai berikut:

1. Pengumpulan data: Mengumpulkan data mentah penelitiaan sehingga

menjadi informasi.

2. Olah data: Mengolah data dan mempersiapkannya menjadi informasi

3. Membaca keseluruhan data: Membaca ulang keseluruhan data untuk

mendapat validitas informasi.

4. Coding data: Mengkoding data berdasarkan tema serta

menghubungkannya pada kasus tertentu.

5. Interpretasi data: Mengintepretasi data berdasar data-data yang telah

dihimpun dan dikoding .

73
John W. Cresswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed , edisi ke-3
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 277

25
G. Sistematika Pembahasan

Sistematika proposal ini disusun berdasarkan panduan penulisan proposal

skripsi yang diterbitkan Program Studi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga 74 dengan

susunan sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian dan sistematika pembahasan. Bab Kedua, mendeskripsikan kajian

biografis Ibnu Taimiyah dan Max Weber yang terdiri dari daftar riwayat hidup

dan karya-karyanya. Bab Ketiga, merupakan pembahasan inti mengenai

pemikiran Ibnu Taimiyah dan Max Weber tentang etika politik. Bab Keempat,

berisi analisis komparatif pemikiran kedua tokoh dengan menggunakan teori yang

telah diajukan. Bab kelima, adalah penutup yang sekaligus berisi konklusi atas

seluruh pembahasan dan disertai saran.

74
Achmad Zainal Arifin, Pedoman Penulisan Proposal/ Skripsi Sosiologi. edited by Musa.
(Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).

26
DAFTAR PUSTAKA

Abbas. 2008. Etika Politik Akbar Tandjung. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Aqidah
Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Abdullah, Syamsuddin. 1979. Max Weber: Hidupnya, Karya-Karyanya Dan
Sumbangannya. Dalam Al-Jami’ah No. 21 Dimodifikasi 24 Mei 2013.
Retrieved (http://digilib.uin-suka.ac.id/445/).
Agung, Miyanto Nugroho. 2006. Weber: Nabi Etika Protestan Bapak Verstehen.
Dalam Pax Humana: Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma. Vol 3. No. 1
Andreski, Stainslav. 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama terj.
Hartono Hadikusumo Yogyakarta: Tiara Wacana.
Anshari, Endang S. 2004. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma Islam & Sistem Islam. Yogyakarta: Gema Insani.
Arifin, Achmad Zainal. 2013. Pedoman Penulisan Proposal/ Skripsi Sosiologi.
Editor Musa. Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Fishum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Brubaker, Roger. 1984. The Limits of Rationality: An Essay Oh the Social and
Moral Thought of Max Weber. London-New York: Routledge.
Brunn, Hans Henrik. 2007. Science, Values and Politics in Max Weber’s
Methodology. Great Britain: Ashgate.
Budiharjo, Miriam. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Cresswell, John. W. 2015. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif
dan Mixed , edisi ke-3 Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisa
Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber terj. Soeheba Kramadibrata.
Jakarta: UI-Press.
Harahap, Nursapia. Penelitian Kepustakaan. Dalam Jurnal Iqra’ Vol. 8, No. 1
Husnawati, Luluk. 2015. Hukum Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim Menurut
Ibnu Taimiyyah. Skripsi. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah.
In’Amuzzahidin, Muh. 2015. Etika Politik Dalam Islam. Jurnal Wahana
Akademika 2 (No 2). Retrieved
(http://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/382).
Islahi, Abdul Azim. 1988. Economics Concepts of Ibn Taimiyah. 3rd ed. Britain:
The Islamic Foundation.

27
Johansen, Baber. 2008. A Perfect Law in Imperfect Society: Ibn Taymiyya’s
Concept of Governance in the Name of the Sacred Law. Dalam The Law
Applied: Contextualizing the Islamic Shari’a. Editor Peri Bearman, Wolfhart
Heinrichs, Bernard G. Weiss London-UK: I.B Tauris.
Kalyvas, Andreas. 2008. Democracy and the Politics of the Extraordinary. New
York: Cambridge University Press.
Khaldun, Ibnu. 2011. Muqaddimah terj. Masturi Ilham, Malik Supar, Abidun
Zuhri. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Khalik, Abu Tholib. 2014. Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu
Taimiyah. Jurnal Analis Vol 14 No. 4.
Mayer, J. P. 1944. Max Weber and German Politics: A Study in Political
Sociology. London, UK: Faber& Faber.
Mommsen, Wolfgang J. 1989. The Political and Social Theory of Max Weber.
Cambridge: Polity Press.
Parsons, Patricia J. 2006. Seni Praktik Pr: Etika Public Relation: Panduan Praktik
Terbaik terj. Sigit Purwanto. Yogyakarta: Erlangga.
Priyono, B.Herry. 2016. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam Dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual
terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka.
Risno, M. 2006. Konsep Kepemimpinan Negara Yang Ideal Menurut Ibnu
Taimiyah. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syarah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Roth, Guenther dan Wolfgang Schulchter. 1984. Max Weber’s Vision of History:
Ethics and Methods. USA: University of California Press.
Salim, M.Arskal. 1999. Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu
Taimiyah. Jakarta: Logos.
Septian, Dhanil. Pemikiran Politik Amien Rais: Suatu study Analisis tentang
Adiluhung/high politics dan Aplikasinya di Indonesia. Skripsi. Medan:
Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2009)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/14867/09E00696.pdf
?sequence=1
Sholahuddin, Asep. 2014. Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah Dan Ibnu
Khaldun. Skripsi. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah.

28
Sofyan, Ayi. 2012. Etika Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Sudrajat, Ajat. 2002. Agama dan Perilaku Politik. Dalam Jurnal Humanika UPT-
MKU UNY No. 1.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/penelitian/Agama+dan+Perilaku
+Politik.pdf.
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat Dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Sumintak, S. 2015. Agama Dan Perubahan Sosial: Studi Kritis Terhadap
Pemikiran Max Weber. Skripsi. Palembang: Universitas Islam Negeri Raden
Fatah. Retrieved (http://eprints.radenfatah.ac.id/219/).
Suseno, Franz Magnis. 2001. ETIKA POLITIK: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syam, Firdaus. 2010. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.
Syaputra, Dedi. 2011. Etika Politik: Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah Dalam Kitab
Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Islah Al-Ra’i Wa Al-Ra’iyyah. Tesis.
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Taimiyah, Ibnu. 1977. Pedoman Islam Bernegara terj. Firdaus. Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Turner, Charles. 1992. Modernity and Politics in the Work of Max Weber. London-
New York: Routledge.

ud Din, Mehraj. 2014. Apprehending the Political Thought of Ibn Taymiyah.


Dalam Islam and Muslim Societies: A Social Science Journal Vol.7 No. 2 .
Retrieved
(http://www.muslimsocieties.org/Vol7_2/Apprehending_the_Political_Thou
ght_of_Ibn_Taymiyah.pdf).

Weber, Eric Thomas. 2011. Morality, Leadership and Public Policy: On


Experimentalism in Ethics. London-New York: Continuum.
Weber, Max. 2009. Sosiologi terj. Noorkholis dan Tim Penerjemah Promothea.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zuliana, Eka. 2015. Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholish Madjid.
Tesis. Medan: Program Studi Pemikiran Islam Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara.
http://repository.uinsu.ac.id/1741/1/TESIS%20Eka%20Zuliana.pdf

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai