Anda di halaman 1dari 20

KONSEP ETIKA POLITIK MENURUT PEMIKIRAN PLATO

Proposal Penelitian

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai Salah Satu Syarat dalam


Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
Prodi Aqidah Filsafat Islam (AFI)

Oleh :

RUDHI QORI DAMSYAH


1715020021

PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISALAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1443 H / 2022 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia,

maka etika politik berarti suatu standar nilai yang disarikan dari nilai-nilai

kemanusiaan untuk dijadikan sebagai kerangka acuan teoritik dalam mempersoalkan

dan menjelaskan legitimasi politik serta budaya politik masyarakat. Dengan demikian

etika politik mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai

manusia, dan bukan hanya sebagai warga terhadap negara, hukum yang berlaku dan

sebagainya.1

Plato merupakan filosof Yunani pada zamannya yang menunjukkan

bagaimana filsafat mulai tersusun berdasarkan tema dan figur tertentu didalam

karyanya. Ia menempatkan Socrates sebagi figur penting untuk menyampaikan narasi

pemikiran filsafat. Filsafat moral Socrates merupakan titik pembuka dari maraknya

pemikiran sofis dalam menjelaskan etika secara rasional dan mendalam. Plato, dalam

Republic, memulai tulisannya dengan menjelaskan makna keadilan (justice) dalam

sebuah dialog yang dilakukan oleh Socrates. Dalam bagian pertama buku Republic

dijelaskan apa dan bagaimana suatu keadilan. Konsep mengenai keadilan tersebut

1 ?
Syafiee, Inu Kencana, Etika Politik, (Reka Cipta:2012), Hal. 3
akan mengarah kepada sosok pemerintaham dan pemimpin yang baik dibahas dalam

Republic.2

Setiap zaman mempunyai karakteristikfilsafat dan sistem politik tertentu yang

mengatur “Negara kota ‘ (ad-daulah al –madinah), atau “Negara Nasionalisme” (ad-

daulah al- madinah) atau imperium yang luas terbentang. Ada yang mengacu pada

filsafat politik idealisme da nada pula yang mengacu pada filsafat politik realisme.

Ada yang mendengungkan kebebasan dan ada pula yang memberlakukan sistem

dictator. Ada yang melandaskan pada etika dan agama dan ada pula yang

memisahkan politik dari etika dan agama. Ada yang memunculkan teori-teori radikal

dan revolutif dan ada pula yang mempertahankan teori-teori normatif, dan

seterusnya.3

Bangsa Indonesia yang beranggapan sebagai bangsa yang berbudi luhur ini

telah mengalami krisis moral. Kenyataannya kini telah berbalik: kekerasan, politik

uang dan korupsi mendominasi warna kehidupan politik di Indonesia. Itu semua

meninggalkan trauma, pengungsian, penderitaan berkepanjangan. Semua kekerasan

itu bukan terjadi spontan atau peristiwa insidental belaka. Peristiwa-peristiwa tragis

itu tidak lepas dari praktik politik kekuasaan kelompok tertentu.4

2
Muhammad Fadil, “ Gagasan Dasar Mengenai Etika dan Negara Menurut Plato ( Sebuah
Pengenalan Awal Filsafat Politik Klasik)” : Paradigma hal. 54
3
Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), h. 5
4
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014), h. Vii
Sebagai bukti nyata yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia adalah contoh

kasus isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang di lakukan oleh Front

Pembela Islam (FPI). Aksi unjuk rasa FPI di depan gedung DPRD DKI Jakarta dan

Balai Kota DKI Jakarta pada jumat, 03 Oktober 2014 yang berakhir rusuh. FPI

menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI

Jakarta mengantikan Joko Widodo. FPI menolak ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta

karena menurut FPI, kursi Gubernur DKI Jakarta harus diisi oleh kader muslim.

Alasannya adalah sesuai dengan asas proporsional penduduk Jakarta yang mayoritas

muslim. FPI kemudian mendeklarasikan Fachrurozi Ishaq sebagai Gubernur DKI

tandingan. Kelompok FPI menyatakan bahwa Fachrurozi Ishaq adalah Gubernur DKI

yang sah.5

Dalam sistem politik di Indonesia ada beberapa penyakit yang merupakan

duka di Negara kesatuan Republik Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu

diantaranya; loyalitas terhadap atasan, di Indonesia begitu seseorang dilantik para staf

lalu berbondong memperlihatkan kedekatan, sehingga yang terjadi menutupi apa

yang terjadi, kemudian budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa Indonesia di

jajah kita melihat mereka berkulit putih sehingga menganggap mereka berdarah biru

maka derajat mereka ditinggikan, setelah Indonesia merdeka maka pegawai negeri

dianggap pemerintah yang menggantikan, oleh karena itu untuk menjadi pegawai

negeri orang menyogok sebanyak apapun, sehingga terjadilah KKN, biaya hidup

5
http://news.liputan6.com/demo-tolak-ahok-rusuh-2-kader-fpi-divonis-masing-masing-2-
bulan. Di akses pada hari Sabtu, 18 juni 2022, pada pukul: 21.00 WIB
yang tinggi (hedonisme), gagal tekhnologi, pelayanan lemah, mutu pegawai rendah,

staf senantiasa menunggu petunjuk.6

Kejahatan "kerah putih" tidak pernah menakutkan pelakunya karena pelaku

ini berdasi, berpangkat, bergelar, dan naik turun mobil mewah dengan sederetan para

pengawal dan para pembela, namun demikian sejak turunnya Jendral Soeharto dari

kursi kekuasaan yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang

sebagian besar terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia istilah dan spanduk

paling banyak diangkat adalah pemberantasan KKN, namun yang anehnya KKN ini

dianggap sudah menjadi budaya bangsa yang membuat negeri ini semakin terpuruk

kedalam kerendahan mutu sumber daya manusia di Indonesia, namun tetap saja

Indonesia berada pada peringkat teratas dalam KKN ini dan pelakunya tetap hidup

dalam kekuasaan.7

Dengan contoh kasus tersebut, jelas bahwa etika tidak lagi menjadi hal

penting dalam praktik perpolitikan di Indonesia. Sebagai bangsa yang plural, sudah

sepatutnya bangsa Indonesia menyikapi kemajemukan ini dengan sikap yang positif.

Dalam hal pemilihan pemimpin, sebagian kelompok masih mempermasalahkan

SARA sebagai pertimbangan. Padahal, berasal dari Suku, Agama, Ras atau kelompok

apapun calon pemimpin harus dipertimbangkan sesuai kriteria pemimpin yang

berlaku di Indonesia.

6
DR. Inu Kencana Syafiee, etika politik, Reka Cipta, April 2012 cet ke-1, h. 189
7
Ibid, h. 187
Perkembangan etika politik di Indonesia kini sangat mengandalkan ukuran-

ukuran material. Penyimpangan etika berpolitik menjadi suatu yang diterima dalam

pemerintahan dalam praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Keadaan itu tidak

hanya terjadi di kalangan pemerintahan pusat, tetapi hampir tersebar di seluruh

lembaga-lembaga politik dan birokrasi di bawahnya. Masyarakat Indonesia kurang

mempertimbangkan etika dalam berpolitik jika faktanya korupsi yang merajalela dan

penegakan hukum yang jauh dari keadilan.

Melihat kondisi perpolitikan Indonsia sebagaimana dijelaskan di atas, maka

penulis tertarik mengangkat tokoh filsafat barat klasik, yaitu Plato. Ada beberapa

alasan mengapa penulis tertarik mengangkat tokoh ini. Pertama, Plato merupakan

tokoh besar dan figur yang tersohor dalam dunia filsafat. Kedua Plato banyak

melahirkan pemikiran-pemikiran mengenai Negara dan seperti apa negara ideal itu,

juga Plato merupakan guru dan memiliki pemikiran fondasi etika politik.

Terkait permasalaha etika politik, menurut Plato negara itu adalah keadilan,

dan negara itu lahir karena manusia tidak mampu memenuhi kebutuahnnya sendiri,

Selanjutnya seorang yang memimpin negara haruslah seorang yang filsuf dan

hendaknya filsuf itu negarawan, artinya seseorang pemimpin di suatu negara

hendaknya memiliki sikap layaknya seorang filsuf, yang memiliki pemikiran yang

dilandasi dengan rasa keingintahuan yang tinggi serta rasa kritis terhadap suatu hal

sekecil apa pun.8

8
Sylvester G. Sukur, Republik, (Yogyakarta: Narasi Pustaka Promethea), Cet Ke-1
Untuk menilai ilmu pengetahuan politikus harus dipertanyakan intelektualnya

yang bisa disebut dengan IQ (Intelligence Question) dan dipilah-pilah keberadaan

kecerdasannya. Seorang politikus yang memiliki pengetahuan sudah barang tentu

berbeda dengan seorang politikus yang tidak tahu apa-apa, ada beberapa jenis untuk

membedakan orang yang tahu dengan tidak tahu, pertama berdasarkan tingkat

pengetahuan orang tersebut, kedua berdasarkan luas wilayah jangkauan sesuatu yang

perlu diketahui.9

Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang

keberagamaan manusia yang berbeda (heterogenitas-religiusitas) tentu akan didapat

adalah perbedaan cara pandang (perspektif) dan sangat tergantung dorongan dari

manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah manusia yang

diberikan akan mengarahkan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam

konteks ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap

kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar

manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan” yang secara harfiah berarti

kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral

atau etika.

Manusia sebagai makhluk sosial, tentu saja bergantung terhadap suatu

komunitas. Manusia, seperti halnya binatang, merupakan komunitas yang terdiri dari

individu-individu, bukan individu yang hidup oleh kalangan mereka sendiri dengan

9
Inu Kencana Syafiee, Etika Politik, April 2012, Bandung: Reka Cipta, h. 6
kata lain, bukan individu yang hidup sendiri-sendiri. 10 Dalam suatu kelompok suku

manusia, bahkan seperti sekarang di antara sekian bangsa, tingkah laku atau kelakuan

manusia dikuasai oleh penjagaan diri atau pemeliharaan diri dan penjagaan kelompok

atau pemeliharaan kelompok. Penjagaan diri tidak hanya seperti pemeliharaan

kelompok melainkan penjagaan terhadap sebuah keluarga. Orang-orang yang makan

secara bersama-sama, otomatis juga memelihara secara bersama-sama. Dari sinilah,

timbul adat-istiadat dan sistem-sistem kasta.

Seperti halnya anak-anak binatang, dalam waktu yang lama, anak-anak

manusia pun hanya berada di bawah perawatan ibu. Tetapi kehidupan di dalam semua

masyarakat primitif, yang ada hanyalah peperangan yang tiada henti. Dan ketika

kaum pria mengawini wanita dari suku lain, pertalian keluarga akan tergantung pada

pihak ayah. Di China sebuah negara dengan sistem kesukuan pra-eksistensi ide

mengambil istri dari lain suku telah lazim, sehingga perkawinan dalam sukuyang

sama sudah dilarang sejak lama.

Ini akan menempatkan kita pada pengertian bahwa seluruh isi alam

mengalami evolusi bilai kebaikan suku, namun nilai-nilai itu ada dan dicari hanya

demi kesenangan belaka serta demi penjagaan diri, tidak didasarkan pada prinsip

seperti yang kita pahami sekarang. Sebagai contoh, membunuh seorang anggota suku,

akan dihukum dengan dendam berdarah atau dengan pembayaran onta yang sangat

banyak atau dibayar dengan kekayaan lain yang berhubungan dengan kematian, tetapi

10
H.G. Sarwar, Filsafat Al-Qur'an, Penerbit CV. Rajawali jakarta: 1988, hal 173
pembunuhan terhadap orang asing tidak hanya akan diampuni, malahan terkadang

sangat didukung.11

Manusia realitas memandang bahwa merampok dan membunuh orang asing

yang dilakukan oleh anggota suku, sebagai perbuatan yang tidak benar. Dia

memandang kepada kesatuan ummat manusia dia melihat kesatuan seluruh kehidupan

binatang melihat kesatuan alam semesta dia menyebarluaskan kebenaran. Dia

ditertawakan, dimusuhi bahkan dilumpuhkan, tetapi realitas dapat menaklukkan

semua itu. Umat manusia, pada akhirnya, melihat bahwa dialah yang benar sementara

lawan-lawannya salah.12

Democritus berpendapat bahwa tujuan hidup manusia ialah untuk mencapai

kesempurnaan batin (euthymia). Hal ini akan diperoleh ketika manusia hidup dalam

keseimbangan antara berbagai faktor, yaitu kesenangan dan kesusahan, serta

kenikmatan dan pantangan. Keseimbangan ini perlu di usahakan, dan yang bertugas

mengusahakan keseimbangan adalah rasio.13

Socrates mengatakan bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah

membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Yang dimaksudkan jiwa disini adalah

11
Ibid, hal 179

12
Ibid, hal 179

13
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, penerbit IRCiSoD. 2013, hal.

146
intisari kepribadian manusia. Adapun tujuan membuat jiwa sebaik mungkin ialah

untuk mendapatkan kebahagiaan (eudaimonia). Untuk mendapatkan kebahagiaan,

manusia dituntut mempunyai keutamaan (arete). Keutamaan disini dapat dimaknai

sebagai kebajikan. Oleh karena itu, keutamaan yang dimaksud bukan hanya

keutamaan sebagai manusia itu sendiri. Jadi, keutamaan termasuk moralitas, bukan

hanya sebuah keahlian tertentu.

Socrates memiliki pendirian terkenal mengenai keutamaan. Menurutnya,

"keutamaan adalah pengetahuan" atau "kebajikan adalah pengetahuan". Dengan

demikian, orang yang mempunyai keutamaan atau kebajikan adalah orang yang

memiliki pengetahuan. Misalnya, orang yang memiliki keutamaan sebagai pemain

sepak bola, tentu ia mengetahui bagaimana bermain sepak bola yang baik, tentu saja

ia mempunyai keutamaan sebagai pemain sepak bola. Demikian juga manusia yang

mempunyai keutamaan sebagai manusia, tentu ia memiliki pengetahuan tentang

bagaimana hidup yang baik. Jika ia melakukan dosa, berarti ia tidak mengetahui

bagaimana hidup yang baik.14

Sebagai akibat dari pendirian itu, Socrates memiliki tiga kesimpulan.

Pertama, manusia yang berbuat salah dengan sengaja berarti ia tidak memiliki

pengetahuan tentang keutamaan. Sebab, seandainya ia mempunyai pengetahuan yang

benar, ia tidak akan berbuat salah. Kedua, keutamaan itu menyeluruh. Sebagai

contoh, orang yang mempunyai keutamaan tidak bersifat sombong, maka pada saat

14
Ibid, hal. 146
yang sama, ia juga memiliki keutamaan-keutamaan yang lain, seperti keadilan,

kebaikan, dan sebagainya. Mustahil ia memiliki satu keutamaan dan tidak memiliki

keutamaan di bidang yang lain. Ketiga, karena keutamaan adalah pengetahuan, maka

keutamaan, sebagaimana pengetahuan yang lain, dapat diajarkan kepada orang lain.15

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik membahas dan

mengontribusikan sebuah pemikiran klasik, tokoh yang berasal dari Yunani, yaitu

Plato dengan judul “Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Plato”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, maka hal yang paling fundamental dikaji

adalah Bagaimana konsep etika politik menurut pemikiran Plato ?

Berdasarkan masalah pokok di atas, diperlukan batasan masalah agar

penelitian ini tidak mengambang dari pembahasan pokok, maka yang menjadi batasan

masalah ini sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep etika politik menurut pemikiran Plato ?

2. Apa saja prinsip-prinsip etika politik yang digagas oleh Plato ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penenlitian

15
Ibid, hal. 147
Adapun tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan konsep etika politik menurut Plato

b. Mendeskripsikan prinsip-prinsip etika politik yang digagas oleh Plato

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan secara praktis adalah untuk :

1. Membumikan pemikiran Plato khusunya seputar etika politik

2. Bagi penulis sendiri, kegunaan penelitian ini sarana untuk

mendalami sebuah penelitian khususnya penelitian kepustakaan

(library research)

b. Kegunaan secara teoritis adalah untuk :

1. Memberitahukan bahwa pentingnya memahami etika politik

2. Menambah khazanah intelektual dalam membaca khusunya dalam

bidang pemikiran Plato

3. Untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat akademisi guna

mencapai gelar sarjana pada Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Fakultas Usluhuddin dan Studi Agama

D. Penjelasan Judul
Penelitian ini berjudul “Etika Politik Perspektif Plato”. Ada dua istilah yang

harus penulis jelaskan yaitu Etika Politik dan Plato.

Pertama, Etika secara etimologis berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang

berarti watak ataupun kesusilaan.16 Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai

suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senentiasa patuh pada seperangkat aturan-

aturan kesusilaan.17 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai

sebuah bidang ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan apa yang buru, serta

hak dan kewajiban moral (akhlak).18 Etika juga diartikan sebagai suatu sikap yang

menunjukkan kesediaan atau kesanggupan seseorang untuk menaati ketentuan serta

macam-macam norma kehidupan lainnya yang berlaku di dalam suatu masyarakat

maupun organisasi tertentu.19 Etika merupakan suatu cabang ilmu tentang kesusilaan

yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan terkait bagimana sepatutnya manusia

hidup dalam suatu lingkungan masyarakat, yang dapat memahami tentang baik dan

buruk.20

Kata “politik” berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut

proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-

16
K. Bertens, Keprihatinan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 2
17
Ibid.
18
Sugiyono, Yeyen Maryeni, kmus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
h.399
19
Eddy Kristiyanto (ed), Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), h. 23
20
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h.
278
tujuan itu.21 Berdasarkan pengertian-pengerian pokok tentang politik maka secara

operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan

Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian serta alokasi.22

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia

Dengan pertumbuhan kuantitas dan kualitas manusia, maka kebutuhan merekapun

semakin beragam. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan ini, maka manusia

memerlukan pengetahuan tepat untuk pencapaiannya. Gerakan pencerahan, yang

terjadi di Barat menyatu dalam kepercayaan bahwa kekuatan akal manusia untuk

memahami hakikat diri dan lingkugannya. Gerakan ini melahirkan perkembangan

ilmu pengetahuan yang semakin beragam. Secara umum dapat diartikan Etika Politik

berarti kesediaan jiwa seseorang untuk mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan untuk

mencapai kegiatan golongan atau organisasi tertentu.

Kedua, PLATO lahir sekitar 427 SM di Athena dalam keluarga bangsawan.

Sejak masa remaja Plato sudah aktif dalam lingkaran diskusi Socrates. Selanjutnya, ia

juga aktif dalam pergulatan polotik di Athena. Namun, sejak jatuhnya hukuman mati

dari rezim yang berkuasa kepada gurunya, Socrates, pada 399 SM Plato

mengesampingkan politik dan menyuntukkan diri dalam filsafat. Peristiwa itu teramat

melukai batinnya. Pada tahun 388 SM Plato bertolak ke Italia dan Sicillia. Di sana ia

bertemu dengan para eksponen mazhab Phytagoras dan mendapatkan pengaruh

intelektual darinya. Tahun 367 dan 361 SM ia berkunjung ke Syracuse, Plato


21
Budiardjo, Politik Dalam Kajian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 8.
22
Ibid., h. 9
mendirikan akademi yang menjadi pusat studi ilmu matematika dan filsafat. Plato

meninggal sekitar tahun 347 SM.23

Adapun maksud dari judul penelitian “Etika Politik Perspektif Plato” adalah

suatu kajian ilmiah terhadap suatu pemikiran Plato tentang bagaimana etika politik itu

berfungsi seharusnya dalam kehidupan manusia. Diharapkan menjadi bukti nyata

untuk peradaban manusia sehingga hidup dalam dinamika sosial yang membawa

kemajuan.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh pembacaan penulis terhadap literature ataupun karya ilmiah yang ada,

penulis belum menemukan pembahasan tentang topik yang sama dengan yang penulis

bahas pada penelitian ini. Namun terkait dengan objek kajian ada beberapa peneliti

yang sudah dilakukan terkait dengan pembahasan ini. Berikut uraian singkat terhadap

penelitian terdahulu.

Penelitian dan kajian yang sudah dilakukan oleh para peneliti tentang Plato

diantaranya; pertama, penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hakim dengan judul

Negara Dalam Perspektif Plato. Penelitian ini lebih mengarah kepada konsep Negara

ideal menurut Plato dan penjambaran mengenai pengertian dan hakikat Negara, asal-

mula Negara, dan tujuan Negara menurut Plato.24

23
Sylvester G. Sukur, Republik, (Yogyakarta: Narasi Pustaka Promethea), Cet Ke-1, h. 484
24
Abdul Hakim, Negara Dalam Perspektif Plato, Ilmu Ushuluddin, vol 9, 15 Dec, 2009, h.
72
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Hieronymous Simorangkir yang

berjudul Jiwa Manusia Dalam Pandangan Plato menemukan bahwa Plato

mengetahui jiwa manusia itu bersifat abadi. Bagi Plato kehidupan kini dan esok diatur

tertata berkat pelaksanaan kebaikan-kebaikan moral, yang berpuncak pada realisasi

keutaman-keutamaan.25

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Izul Haq Lidinillah dengan judul

Kesejajaran Idea Plato dengan Doktrin Islam menemukan bahwa teori idea Plato

adalah pemikirannya tentang alam semesta mengenai semua aspek baik segi

kehidupan penciptaan serta keabadian makhluk yang intinya di dalamnya adalah

semua yang ada karena ada satu, yang satu tersebut menyebabkan yang banyak

sehingga munculah sesuatu yang dapat dimengerti, dengan kata lain Plato

menyalahkan seseorang yang mengatakan kebenaran adalah sesuatu yang eksistensi.26

Melihat berbagai penelitian terdahulu sebagaimana sudah tersebut diatas,

belum ada penelitian yang mengkaji pemikiran Plato dalam bidang etika politik atau

belum ada penelitian yang mengkaji etika politik perspektif Plato secara spesifik.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang penulis angkat ini menjadi penelitian

yang berbeda dalam konteks kajian dari penelitian sebelumnya agar terhindar dari

plagiat dan unsur-unsur penipuan lainnya.

25
Hieronymous Simorangkir, Jiwa Manusia Dalam Pandangan Plato, Jurnal FIlsafat-
Teologi, vol 3, 2 Jun, 2004, h.90
26
Izul Haq Lidinilah, Kesejajaran Idea Plato dengan Doktrin Islam,Jurnal Aqidah dan
Fisafat Islam, vol 5, dec, 2020, h. 81
F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu

mengumpulkan data dengan cara mencari informasi yang terdapat di perpustakaan,

buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan yang ada hubungannya

dengan masalah yang dipecahkan. Dapat pula berupa pemikiran atau gagasan dari

seorang tokoh yang terdapat dalam karyanya maupun karya orang lain yang

membahasnya.27

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber primer, meliputi

karya Plato yang telah diterjemahkan yakni : Republik. Kemudian sumber sekunder

dalam penelitian ini adalah tulisan atau karya orang lain yang ada hubungannya

dengan pembahasan dalam skripsi ini, serta karya-karya yang mendukung yang

membahas tokoh yang diteliti oleh penulis baik secara keseluruhan maupun sebagian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini, penulis melakukan pengumpulan data dari sumber-sumber atau

literatur-literatur kepustakaan. Literatur kepustakaan yang dimaksud adalah literatur

27
M. Nazir, metode penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), cet. Ke-5, h. 27
yang didalamnya memuat atau terkait dengan pemikiran Plato dan penulis lain yang

juga membahas tentang pemikiran Plato. Setelah menelusuri dan mengumpulkan

literature, kemudian penulis mulai mengambil data yang diperlukan terkait dengan

penelitian ini. Selanjutnya dilakukan pengkajian, pemahaman dan telaah kritis juga

analisis teks buku yang tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok dan batasan

masalah dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode

untuk melakukan penganalisisan terhadap data yang terkumpul, yaitu :

a. Metode Heuristika

Metode heurustika adalah suatu metode untuk menemukan jalan baru

secara ilmiah untuk memecahkan masalah dan menemukan pandangan baru.28 Dari

metode ini penulis berusaha menggali realitas yang ada mengenai pemikiran Plato

yang ada pada dirinya sehingga menemukan pandangan dan konsep baru sebagai

sebuah pengetahuan ilmiah.

b. Deskriptif Analitis

28
Ibid., h. 51.
Deskriptif analitis adalah sebuah metode dalam mengelola data penelitian

dengan cara memberikan gambaran dan pemaparan secara umum kemudian dianalisa

secara filosofis sehingga dapat mencapai kesimpulan yang diharapkan. 29

Hubungannya dengan penelitian ini adalah penulis memberikan gambaran tentang

pemikiran Plato terhadap etika politik, kemudian dianalisa dan diambil kesimpulan.

c. Interpretasi

Metode interpretasi digunakan agar pemikiran tokoh (Plato) mudah

dipahami untuk menangkap makna yang dimaksud oleh tokoh secara khas. Dengan

metode interpretasi pemikiran Plato dapat di tela’ah dan dipahami secara mendalam.

Komprehensif dan holistik, sehingga menghasilkan pemikiran yang khas terutama

pemikiran Plato terhadap etika politik30

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan tersusunnya konsep yang jelas dari penulisa proposal

skripsi maka penulis merangkup dalam bentuk V bab pembahasan dan setiap bab

punya pembahasan tersendiri namun saling berkaitan antara satu dengan yang lain,

yaitu :

29
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, metodologi penelitian filsafat ( Yogyakarta:
Kanisius, 1992), Cet Ke-2, h. 54.
30
Ibid., h. 63.
Bab I : Bab ini mengulas tentang latar belakang masalah, rumusan dan

batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan

Bab II : Bab ini mengulas tentang latar konteks kehidupan Plato, yaitu

biografinya, latar belakang pemikirannya dan karya-karyanya

Bab III : Bab ini mengulas tentang konsep etika politik

Bab IV : Bab ini mengulas tentang pemikiran etika politik Plato

Bab V : Bab ini adalah penutup, dimana berisikan kesimpulan yaitu jawaban

dari persoalan-persoalan yang ada dalam penelitian, dan saran yang

diharapkan membangun paradigma terkait pembahasan terhadap etika

politik.

Anda mungkin juga menyukai