Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pandangan etika, pada dasarnya seorang manusia itu baik.
Politik dalam pandangan etika hanyalah sebagai alat, sama halnya dengan
negara, keduanya hanya berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia
dalam suatu wadah. Dunia politik tidak terlepas dari citra negatifnya, cara-
cara yang digunakan dalam praktik politik terkadang tidak baik dan
melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan
kelompok hingga pribadi. Para elite politik banyak yang sudah melupakan
prinsip dasar nilai-nilai etika dan moralitas dalam berpolitik, seharusnya
berpolitik itu dijalankan dengan cara yang jujur, demokratis, penuh
tanggungjawab, dan dengan jalan yang damai.
Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Kehidupan
Berbangsa, yang berbunyi bahwa etika kehidupan berbangsa dan tidak
terkecuali juga kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber
dari ajaran agama, yang bersifat universal, serta nilai-nilai luhur bangsa
yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,
bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.1
Politik merupakan suatu hal terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, tanpa adanya sistem atau unsur politik suatu
negara tidak akan berjalan, walaupun terkadang politik menjadi hal negatif
karena penuh dengan cara-cara kotor dan amoral.
Menurut Franz Magnis Suseno, etika politik pada dasarnya
merupakan salah satu cabang dari filsafat. Sebagai sebuah usaha ilmiah,
filsafat terbagi kedalam beberapa cabang, dua diantaranya adalah filsafat
teoritis dan filsafat praktis. Sedangkan filsafat praktis bagi manusia adalah

1
Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001

1
2

etika. Etika politik mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban


manusia bukan hanya sebagai warga negara, melainkan juga terhadap
hukum yang berlaku. Etika berfungsi sebagai metode penyelidikan tentang
nilai dan tingkah laku manusia.2

1.2 Rumusan Masalah


 Apa arti penting (urgensi) etika politik?
 Apa saja gagasan etika politik?
 Bagaimana etika berpolitik setelah dilaksanakannya pemilu?
 Mengapa kejujuran penting dalam berpolitik?
1.3 Tujuan
 Mengetahui arti penting etika politik
 Mengetahui apa saja gagasan-gagasan etika politik
 Memahami sikap berpolitik pasca pemilu
 Mengetahui makna kejujuran dalam berpolitik

2
Romdhon Prihatin, Konsep Etika Politik dalam Pemikiran Franz Magnis Suseno (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014) hlm. 6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Etika Politik


Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, salah satu hal terpenting dari
reformasi yaitu adanya ketersedian ruang kebebasan yang cenderung tidak
bertepi.3 Setiap suara, keinginan, dan kepentingan memiliki hak yang sama
untuk di aktualisasikan oleh berbagai kalangan, namun suara itu akan
berubah menjadi riuh, keinginan akan menjadi gaduh, bahkan kepentingan
akan berubah menjadi rusuh, ketika upaya mewujudkannya dilakukan
tanpa aturan. Inilah yang belakangan ini sering terjadi terkait dengan
kepentingan elite dan menguatnya aspirasi masyarakat yang cenderung tak
terkendali. Politik menjadi pintu masuk bagi pemuas hasrat kekuasaan
dengan menghalalkan berbagai cara. Akibatnya demokrasi mengalami
penyimpangan makna akibat dari tindakan dan aksi yang mengatas
namakan demokrasi sering berujung kekacauan. Semua ini merupakan
ujung dari perilaku politik yang melewati batas mekanisme dan sistem
yang terdapat dalam konstitusi dan tata tertib hukum (law and order).
Jika melihat pada sistem pemerintahan sebagaimana tercantum
dalam konstitusi, negara kita menganut sistem presidensial. Namun dalam
pratiknya sistem presidensial tersebut berada dalam dominasi parlementer.
Bahkan tidak jarang otoritas yang dimainkan anggota parlemen cenderung
mendominasi seluruh lingkungan eksekutif yang secara struktural
berdasarkan prinsip separation of power, memiliki kedudukan yang sama.
Akibatnya tidak jarang para anggota parlemen terjebak kedalam korupsi
dan kolusi. Kenyataan tersebut merupakan dominasi dari fungsi dan tugas
anggota parlemen sebagai dasar dalam penegakan demokrasi.
Proses politik dalam sistem demokrasi tidak hanya mengharuskan
adanya aturan sebagai sumber kolektif, tetapi juga ketundukan untuk

3
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. iii

3
4

mematuhinya. Aturan seharusnya bukan hanya rangkaian prosedur saja,


melainkan nilai kultur (nilai atau norma) yang distrukturkan. Aturan
merupakan hasil dari nilai-nilai dan logika yang berkembang dalam
masyarakat yang dirumuskan dalam bentuk prosedur-prosedur. Sehingga
aturan seharusnya berjalan seimbang dengan kepatuhan warga negara
untuk mentaatinya (respek hukum). Ketika peraturan hanya menjadi
rangkaian prosedur yang tidak dihormati, khususnya oleh para elite politik,
maka dipastikan muncul berbagai masalah yang dapat menghambat
konsilidasi demokrasi.
Secara ideologis, Indonesia sebenarnya memiliki landasan yang
cukup kuat bagi terbentuknya etika politik. Ideologi Pancasila merupakan
landasan sintesis dari sekian ragam ideologi (nilai) yang mendunia.
Sayangnya, ketika peraturan bahkan konstitusi hasil amandemen hanya
dianggap sebagai kumpulan tata hukum dan prosedur tanpa diwujudkan
dalam kultur. Maka, persoalan aktualisasi dan perwujudan konsitusi
menjadi sangat penting, agar proses politik tidak hanya melahirkan tata
hukum dan prosedur yang hanya mengikat satu pihak dan ternodai di
pihak lain. Inilah permasalahan etika politik dalam masyarakat yang masih
terjadi.
Jika dilihat dari perkembangan politik yang masih jauh dari
landasan etika, sehingga diperlukan langkah-langkah konstruktif. Pertama,
reformasi perundangan. Dalam praktik politik akhir-akhir ini banyak
perdebatan tentang berbagai hal karena peraturan perundangan yang
kurang jelas, misalnya adanya peraturan-peraturan yang bertentangan
dengan ketentuan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena hasrat untuk
menempatkan konstitusi dan perundangan sebagai rujukan kolektif
terkalahkan kepentingan-kepentingan pragmatis dan partisan. Kedua,
reformasi budaya politik. Selama ini para elite masih menunjukkan budaya
politik tradisional dan parokial sehingga tidak membawa daya dorong
yang kuat bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat. Ketiga, pemberdayaan
masyarakat sipil menjadi terabaikan. Padahal pemberdayaan ini dapat
5

menjadi pintu masuk bagi menguatnya tingkat partisipasi sekaligus kontrol


terhadap perilaku politik elite. Dengan adanya kontrol publik yang kuat ini
di harapkan etika politik bisa cepat terwujud dalam sikap dan perilaku para
elite.4
Dengan demikian etika dan logika berpolitik dapat merawat dan
mengantarkan demokrasi menjadi sumber landasan bagi seluruh dinamika
kehidupan anak bangsa. Jika tidak, maka demokrasi tak lebih dari ritual
politik yang berlangsung secara periodik dan bergerak secara prosedural
tanpa landasan kultural dalam bentuk tindakan etis dan logis.

2.2 Gagasan-Gagasan Etika Politik


2.2.1. Obyek Etika
1. Tindakan Manusia
Tindakan manusia pada dasarnya akan dinilai oleh manusia
lainnya. Jika ‘tindakan’ ini diambil seluas-luasnya, maka ada
beberapa macam penilaian. Tindakan mungkin juga dinilai
sebagai baik atau buruk apa yang dilakukan para elite politik.
Jika tindakan elite politik dinilai atas baik-buruknya, maka
tindakan itu seakan-akan dilakukan secara sadar atau dengan
sengaja. Faktor kesengajaan ini mutlak bagi penilaian baik-
buruk, yang disebut penilaian etis atau moral.
2. Kehendak Bebas
Jika tidak ada kesengajaan, maka pada prinsipnya tidak ada
penilaian. Kesengajaan berarti adanya penentuan dari elite
politik itu sendiri apakah ia bertindak atau tidak bertindak.
Penentuan para elite politik terhadap tindakannya itu disebut
kehendak atau kemauan.5 Jadi, jika ingin diadakan penilaian
yang etis, maka kehendak lah yang dapat memilih (kehendak
bebas).

4
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. v
5
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 15
6

3. Determinisme
Ialah aliran filsafat yang mengingkari adanya kehendak
bebas. Paham ini menganggap setiap kejadian atau tindakan,
baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan
konsekuensi dari kejadian sebelumnya dan berada di luar
kemauan.
4. Adanya Kehendak Bebas
Ditegaskan bahwa manusia itu dalam bertindak memang
terbatas oleh kodratnya, yaitu kemanusiaan.6 Pada dasarnya
elite politik itu mempunyai sifat yang sama dengan benda-
alam yang bukan manusia, sehingga elite politik juga terikat
pada hukum-alam yang sama pula. Para elite politik pada
dasarnya juga manusia yang memiliki sifat lainnya karena ia
mampu berpikir, maka elite politik harus mentaati hukum
berpikir jika ia tidak mau tersesat dan tujuannya mencapai
kebenaran. Arti ‘bebas’ disini adalah kebebasan untuk
melakukan tindakan, dan kebebasan ini adalah pilihan.
5. Gejala-gejala Tindakan
Penilaian kesalahan atau kesengajaan itu penting. Elite politik
dalam tindakannya dapat memilih, karena itu padanya
terdapat kehendak bebas. Penentuan terletak pada kita sendiri.
Penentuan merupakan unsur kehendak.
6. Penentuan Istimewa
Adanya kehendak bebas pada diri manusia, maka elite politik
dapat menentukan sendiri tindakannya. Yang harus diingat
bahwa kehendak bebas ini tidak akan mengurangi penentuan
dan pembatasan manusia pada kodratnya. Manusia memang
terbatas, tetapi keterbatasan manusia membuat ia menjadi
istimewa, yaitu ia dapat memilih. Manusia diberi oleh Tuhan
berupa keterbatasan supaya ia dapat bertindak dengan pilihan,

6
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 21
7

sehingga pengabdiannya kepada Tuhan itu sungguh suka dan


rela.7
2.2.2. Ukuran Baik
1. Hedonisme
Banyak tindakan elite politik yang cenderung dipengaruhi
oleh keinginan untuk mencapai kepuasan. Bahkan ada ahli
psikologi yang berpendapat, bahwa semua tindakan itu
berdasarkan atas cenderung yang tak tersadari, ialah
cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang disebut
libido seksualis (S. Freud), atau cenderung untuk mencapai
kepuasan dalam memiliki kekuasaan (Adler).8 Bagi penganut
hedonisme rasa puas dan bahagia itu dianggap sama. Bahagia
itu menenangkan manusia, jika hidupnya sudah tenang berarti
ia bahagia.
2. Utilitarisme
Bagi penganut aliran ini, ukuran baik yaitu ialah yang
berguna. Aliran ini berasal dari kata utilis, yang berarti
berguna. Mereka menganggap bahwa memang kegunaanlah
yang menentukan segala-galanya. Karena segala yang
berguna akan digunakan untuk mencapai tujuan.
3. Vitalisme
Bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam
hidup manusia. Ukuran baik disini yaitu kekuatan dan
kekuasaan untuk menaklukkan orang lain yang lemah.
Manusia yang berkuasa itulah yang baik.
4. Sosialisme
Dalam aliran ini berpendapat bahwa masyarakatlah yang
menentukan baik-buruknya tindakan manusia yang menjadi
anggotanya. Inilah yang disebut ukuran sosialistis dalam

7
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 25
8
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 44
8

etika. Namun adanya perbedaan di dalam adat-istiadat


menjadikannya sulit untuk dijadikan ukuran umum bagi etika.
5. Religionisme
Aliran ini berpendapat bahwa baik adalah yang sesuai dengan
kehendak Tuhan, sedangkan buruk adalah yang tidak sesuai
dengan kehendak Tuhan. Maka tugas theologialah yang
menentukan mana yang menjadi kehendak Tuhan.
6. Humanisme
Menurut aliran ini, yang baik itu terletak pada kodrat
manusia, yaitu kemanusiaan. Dalam konkritnya, bahwa
pikiran, rasa, dan situasi seluruhnya akan ikut menentukan
baik-buruknya suatu tindakan. Tindakan yang baik ialah
tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, jadi tidak
mengurangi atau menentang kemanusiaan.9 Benda dan
binatang tidak mungkin menyeleweng dari alamnya. Elite
politik seharusnya juga tidak menyeleweng dari kodratnya,
namun akibat dari keistimewaan manusia yang dapat
memilih, maka ia mampu memilih tindakan yang
menyeleweng itu. Itulah sebab utama keberadaan penilaian
etis.
2.2.3. Metode Etika Politik
1. Etika Politik dan Ilmu-Ilmu Politik Lain
Secara formal, filsafat politik termasuk ke dalam etika.
Filsafat pada umumnya merupakan bagian dari filsafat yang
secara tidak langsung menggarap realitas yang telah diangkat
ke dalam pengertian ilmiah oleh ilmu-ilmu yang spesifik. Hal
ini membantu untuk mendeskripsikan proses yang
berlangsung, penyediaan strategi alternatif ke dalam skema
tujuan sarana, pengamatan terhadap segala lembaga politis,
terhadap kegiatan-kegiatan dan hubungan antara mereka,

9
Prof. I.R. Poedjawijatna, ETIKA: Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT Bina Aksara, 1982) hlm. 49
9

klasifikasi berbagai ideologi dan sistem nilai politik yang


merupakan tugas ilmu-ilmu politik.
2. Pendekatan Kritis-Negatif
Etika politik dan etika normatif pada umumnya, berada dalam
kedudukan yang lain daripada ilmu-ilmu eksak disatu pihak
dan ilmu-ilmu empiris dilain pihak. Ilmu empiris melihat
sesuai hipotesis-hipotesis mereka dengan mengusahakan
klasifikasi pada data empiris.
Induksi dan metode-metode ilmu empiris secara prinsipil
tidak mencukupi bagi etika normatif, karena suatu
pengamatan empiris selalu menghasilkan informasi tentang
fakta, tetapi tidak pernah membahas tentang bagaimana fakta
harus dinilai.
Etika politik tidak mulai dalam ruang kosong. Realitas politik
selalu menjadi bidang yang dipersoalkan. Etika politik akan
mempertanyakan argumentasi masing-masing, memeriksa
logika. Dan implikasi-implikasi etisnya, dan mengambil suatu
sikap tegas yang bersifat tentatif, dan sikap itu berdasarkan
prinsip hukum positif.10
Metode ini disebut kritis negatif. Kritis tidak dimulai dengan
pendapat sendiri, melainkan berdasarkan teori dan paham-
paham relevan yang ada. Kritis disini berarti memisahkan
unsur-unsur yang kita nilai tepat dari yang dinilai tidak tepat.
3. Pengandaian Normatif
Etika politik mengandaikan prinsip-prinsip etika dasar dengan
beberapa implikasi langsung pada kedudukan manusia. Salah
satu prinsip dasar yang diandaikan ialah bahwa elite harus
bersikap baik terhadap siapa dan apa saja yang ada, dengan
bersikap mendukung, membela, menyetujui, memajukan,

10
Franz Magnis Suseno, ETIKA POLITIK: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016) hlm. 25
10

melindungi, serta memberi ruang seluas-luasnya. Prinsip itu


terwujud dalam kesejahteraan umum yang menyatakan bahwa
semua tindakan dan kebijakan harus mengutamakan
keuntungan yang sebesar-besarnya dari banyak orang, asalkan
tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar lainnya, yaitu
prinsip keadilan yang menyatakan kita wajib memperlakukan
semua orang dengan adil, dengan menghormati hak-hak
mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi
yang sama.
Implikasi-implikasi etika politik menyatakan bahwa semua
orang harus diperlakukan sama sebagai manusia, mereka
berkedudukan sama dalam masyarakat, serta memiliki hak-
hak dasar yang sama. Manusia berhak atas kebebasannya dan
kebebasan hanya boleh dibatasi oleh kebebasan yang sama
luasnya dari setiap anggota masyarakat dan demi kepentingan
bersama. Implikasi ini sebagai wujud usaha perdamaian dan
mencegah perang dan konflik politik.

2.3 Etika Berpolitik Pasca Pemilu


Fenomena politik yang terjadi belakangan ini cenderung mengarah
kepada hal yang negatif, sehingga mengotori demokrasi. Tata aturan yang
disahkan oleh para wakil rakyat dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri.
Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan berbagai
tafsir untuk mengutamakan kepentingannya. Tak jarang mereka juga
menempuh berbagai cara untuk memuaskan hasratnya.
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan
akan merangsang terjadinya guncangan (distruption).11 Guncangan
tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara nilai baru dengan nilai
lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock
11
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 20
11

culture akibat ketidaksiapan dalam menjalani perubahan yang berada di


luar nalarnya. Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di
tengah perubahan yang begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah
dalam kerangka kebersamaan (a weakening of social bonds and common
values).12
Yang menandakan demokrasi semakin matang adalah makin
kuatnya konstitusionalisme. Termasuk di dalamnya check and balances,
pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan, serta dipatuhinya aturan
main dan etika politik yang dikonsekuensikan.13
Di negara demokrasi manapun, pemilihan umum haruslah ada tata
aturan mainnya. Di Indonesia misalnya, pemilu (pilpres, pileg, pilkada)
dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemberian mandat selama lima
tahun dianggap cukup untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Tugas-tugas konstitusional itu harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin,
juga untuk rakyat.
Karena sikap mental dan sikap politik pasca pemilu yang
mengancam keberadaan peraturan, tentu bukanlah sikap yang sehat dan
demokratis. Bagi yang tidak berhasil memenangkan pemilu haruslah
menerima kenyataan dan bersikap legowo. Tentu mereka boleh melakukan
kritik terhadap kebijakan politik golongan yang berkuasa, membangun
kekuatan kembali, dan siap berkompetensi kembali pada periode pemilu
berikutnya. Sikap politik yang berniat dan bertujuan untuk menjatuhkan
golongan yang sedang berkuasa di tengah jalan dalam menjalankan
mandatnya merupakan hal yang tidak demokratis dan amoral.
Di sisi lain, jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah
jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, maka bangsa

12
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 20
13
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 111
12

ini akan memiliki masa depan yang suram, merugi, dan mengancam nasib
demokrasi yang kita bangun saat ini.

2.4 Kejujuran dalam Berpolitik


Politik kewarganegaraan selama ini terancam oleh perilaku politik
yang menyimpang. Wajah politik menjadi menyeramkan akibat perilaku
elite politik yang hanya memanfaatkan rakyatnya. Bahkan para wakil
rakyat yang seharusnya menjadi garda terdepan penyalur aspirasi
masyarakat, lebih sibuk mengurusi urusan internalnya, mulai dari studi
banding ke luar negeri tanpa henti, sampai aliran dana yang entah kemana
arah alirannya. Jika kenyataan ini terus dibiarkan, maka kampanye-
kampanye politik hanya lah kiasan semata.
Yang dibutuhkan negara ini bukan lah mengumbar kesalahan orang
lain demi menutupi kekurangan diri sendiri. Tapi cara pandang yang
mengutamakan kejujuran (transparansi) politik, yang berarti jujur
mengakui keberhasilan pihak lain sebagaimana mengakui kekurangan diri
sendiri. Kejujuran itu penting, karena pada dasarnya keberhasilan dan
kegagalan itu merupakan ranah kognitif yang dirasakan langsung oleh
masyarakat.14 Karena keduanya tidak bisa ditutup-tutupi atau dibesar-
besarkan. Akibatnya, jika kita membesar-besarkan kesalahan orang lain
justru akan menjadi kontraproduktif dan mengancam proses pendidikan
politik kewarganegaraan (civic education).

14
Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan
Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 109
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Etika politik merupakan hasil dari penalaran logika politik warga
negara itu sendiri. Secara ideologis, Indonesia sebenarnya memiliki
landasan yang cukup kuat bagi terbentuknya etika politik, melalui ideologi
Pancasila sebagai landasan sintesis dari sekian ragam ideologi (nilai) yang
mendunia.
Politik merupakan suatu hal terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, tanpa adanya sistem atau unsur politik suatu
negara tidak akan berjalan, walaupun terkadang politik menjadi hal negatif
karena penuh dengan cara-cara kotor dan amoral.
Fenomena politik yang terjadi belakangan ini cenderung mengarah
kepada hal yang negatif, sehingga mengotori demokrasi. Tata aturan yang
disahkan oleh para wakil rakyat dilanggar, bahkan oleh mereka sendiri.
Mereka memainkan tata tertib yang mereka susun sendiri dengan berbagai
tafsir untuk mengutamakan kepentingannya. Tak jarang mereka juga
menempuh berbagai cara untuk memuaskan hasratnya.
Yang dibutuhkan negara ini bukan lah mengumbar kesalahan orang
lain demi menutupi kekurangan diri sendiri. Tapi cara pandang yang
mengutamakan kejujuran (transparansi) politik, yang berarti jujur
mengakui keberhasilan pihak lain sebagaimana mengakui kekurangan diri
sendiri.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prihatin, Romdhon. 2014. Konsep Etika Politik dalam Pemikiran Franz Magnis
Suseno. Yogyakarta; Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Ihsan, Bakir. 2009. Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik,
Kekuasaan, dan Demokrasi. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.

Poedjawijatna. 1982. ETIKA: Filsafat Tingkah Laku. Jakarta; PT Bina Aksara.

Suseno, Franz Magnis. 2016. ETIKA POLITIK: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.

14

Anda mungkin juga menyukai