Anda di halaman 1dari 11

1

Teks untuk „Philosophy Underground“


Teater Utan Kayu (TUK),
Jakarta, 30 Agustus 2019
„Metakritik Hegel atas Filsafat Transendental Kant“

DETRANSENDENTALISASI RASIO
Metakritik HEGEL atas Filsafat Transendental KANT
Oleh Fitzerald Kennedy Sitorus
(Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang)

Agar dapat dengan tepat memahami metakritik yang dilakukan oleh Hegel terhadap Kant, maka
tulisan yang sangat singkat ini disusun dengan struktur demikian: Pada bagian I, saya akan
menggariskan filsafat transendental Kant, bagian II berisi metakritik Hegel terhadap Kant, bagian
III tentang „penduniaan“ atau detransendentalisasi rasio oleh Hegel serta Dialektika Tuan-Budak
yang merupakan momen dialektis dari mana kesadaran-diri muncul secara historis (III.a.). Bagian
terakhir (IV) berisi tanggapan kritis atas kritik Hegel atas Kant serta pengaruh filsafat Hegel.

I. Filsafat Transendental Kant

Kant sering disalahpahami. Salah paham itu biasanya menilai Kant sebagai „penghancur segala
sesuatu“, termasuk metafisika (Kant adalah der Alleszermalmer, kata Moses Mendelssohn), atau
bahwa filsafat teoretis Kant adalah sebuah epistemologi (teori pengetahuan) karena Kant hendak
menjelaskan proses terjadinya pengetahuan. Kant juga sering dikatakan hendak mendamaikan
pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah paham yang mengatakan
bahwa rasio adalah sumber pengetahuan, sebaliknya, empirisme mengatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman empiris.

Sesungguhnya, identifikasi-identifikasi demikian keliru. Intensi Kant bukanlah untuk


menghancurkan metafisika, melainkan justru untuk membangun-ulang metafisika di atas dasar
yang sama sekali baru, dengan maksud agar metafisika dapat menjadi ilmiah, sama seperti ilmu-
ilmu alam. Kant juga tidak hendak menjelaskan terjadinya pengetahuan, melainkan hendak
menjelaskan syarat-syarat yang memungkinkan terjadinya pengetahuan. Distingsi ini perlu
dipahami dengan cermat. Penjelasan tentang terjadinya pengetahuan itu termasuk dalam bidang
epistemologi (teori pengetahuan). Tapi penjelasan tentang syarat-syarat yang memungkinkan
terjadinya pengetahuan, itu masuk dalam wilayah filsafat transendental. Inilah yang diteliti oleh
Kant. Jadi, pertanyaan Kant bukanlah pertanyaan empiris-epistemologis: bagaimana terjadinya
2

pengetahuan? (wie ensteht die Erfahrung), melainkan transendental: bagaimana pengetahuan itu
mungkin, lebih tepat lagi: apa yang terdapat di dalam pengalaman itu? (wie ist Erfahrung möglich?
genauer: was in ihr liegt? (dalam Prolegomena, A 87, § 21). Kant menegaskan: „Kata transendental
bagi saya tidak menyangkut hubungan pengetahuan kita dengan benda-benda, melainkan hanya
menyangkut kemampuan pengetahuan kita“ (Prolegomena, A 71). Dan kalau kemudian
rasionalisme dan empirisme terdamaikan (tersintesakan) dalam filsafat Kant, itu adalah
konsekuensi dari proyek filsafat transendentalnya, dan bukan merupakan intensi Kant sendiri.

Pertanyaan yang menjadi titik-tolak seluruh filsafat Kant berbunyi: „Wie ist Metaphysik als
Wissenschaft möglich? Bagaimana metafisika sebagai ilmu pengetahuan itu mungkin? (Pengantar
Kritik der reinen Vernunft/Kritik Akal Budi Murni, B 23). Mengapa Kant mengajukan pertanyaan ini?
Jawabnya, karena Kant melihat bahwa sejak zaman Yunani Kuno metafisika tidak mengalami
kemajuan sama sekali. Para filsuf selalu saling menyangkal dan membatalkan pendapat filsuf
sebelumnya. Metafisika menjadi „medan pertarungan tanpa akhir“, katanya (Prakata, KdrV, A VIII).
Perkembangan sebaliknya terjadi pada ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini maju secara konstan dan
progresif. Sekali sebuah teori ditemukan maka teori itu dapat menjadi pijakan untuk penemuan
berikutnya. Tidak ada teori yang saling menyangkal dalam ilmu alam. Nah, Kant, yang sangat
mengagumi Newton, ingin agar metafisika juga dapat menjadi ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu alam.

Tapi bagaimana menjawab pertanyaan mengenai: „Bagaimana metafisika sebagai ilmu


pengetahuan itu mungkin?“ Tentu, pertanyaan ini tidak bisa diteliti secara langsung. Strategi
penelitian yang dilakukan Kant adalah dengan mereformulasi pertanyaan tersebut, demikian:
Pertanyaan mengenai kemungkinan metafisika sebagai ilmu pengetahuan hanya bisa dijawab
dengan lebih dulu menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan ilmu pengetahuan: bagaimana
ilmu pengetahuan itu mungkin? Dan pertanyaan mengenai kemungkinan ilmu pengetahuan hanya
bisa dijawab dengan lebih dulu menjawab pertanyaan: bagaimana „pengetahuan yang bersifat
umum dan niscaya“ itu mungkin, karena yang disebut ilmu pengetahuan adalah proposisi-proposisi
yang bersifat umum dan niscaya. Dan pertanyaan mengenai kemungkinan pengetahuan yang
bersifat umum dan niscaya hanya bisa dijawab dengan meneliti: bagaimana „putusan-putusan
sintesis apriori“ itu mungkin, karena ilmu pengetahuan terdiri dari putusan-putusan sintesis
apriori. Contoh putusan sintesis apriori itu: „semua kejadian pasti ada penyebabnya“ atau „semua
benda jatuh dari atas ke bawah“ atau „air akan mendidih kalau dipanasi hingga 100 derajat celcius“.
Oleh karena itu Kant memulai penelitiannya dengan meneliti pertanyaan mengenai: „bagaimana
putusan sintesis apriori itu mungkin?“ (B 19).
3

Kant mengidentifikasi ada tiga jenis putusan:

1. Putusan analitis: putusan yang tidak menambahkan informasi apapun pada subyek putusan.
Mis: Bujangan adalah orang yang belum menikah. Putusan ini tidak menghasilkan pengetahuan
baru, tidak memperluas pengetahuan, dan karena itu tidak dapat menjadi prinsip pengetahuan.
Putusan ini khas putusan rasionalisme (mis: Descartes, Leibniz, Wolff). 2. Putusan sintetis:
putusan yang menambahkan sesuatu pada subyek berdasarkan pengalaman (= putusan sintetis
aposteriori). Misalnya: ruangan ini dingin. Dalam konsep „ruang“ tidak terkandung konsep „dingin“.
Konsep dingin diatributkan sebagai predikat kepada konsep ruang berdasarkan pengalaman.
Putusan ini khas empirisme (Hume, Locke). Tapi karena pengalaman bersifat partikular dan
kontingen, sementara ilmu bersifat universal dan niscaya (misalnya putusan di atas) maka putusan
ini tidak dapat menjadi dasar ilmu pengetahuan.

Putusan yang menjadi dasar ilmu pengetahuan itu disebut Kant 3. putusan sintetis apriori. Ini
adalah jenis putusan yang bersifat sintetis (artinya: predikat menambahkan sesuatu pada subyek),
tapi bersifat apriori (penambahan itu tidak diperoleh dari pengalaman) serta niscaya dan universal.
Keniscayaan dan universalitas putusan ini tidak mungkin diperoleh dari pengalaman karena
pengalaman selalu bersifat partikular dan kontingen. Putusan „semua kejadian pasti ada
penyebabnya“ bersifat sintetis karena predikat „penyebab“ tidak secara konseptual terkandung
dalam konsep „kejadian“, melainkan itu ditambahkan, tapi bukan secara aposteriori (karena kita
menghasilkan keputusan tersebut tanpa harus meneliti semua kejadian yang pernah ada di muka
bumi ini), melainkan secara apriori (mendahului pengalaman). Dan putusan itu juga universal
karena berlaku di mana-mana dan kapan pun (lihat kata „semua“). (KdrV, B 11/A 7 dst).

Fakta keberlakuan putusan sintetis apriori (sebagaimana terlihat dalam pernyataan-pernyataan


ilmu-ilmu alam) membuktikan bahwa ada struktur-struktur apriori dalam diri subyek yang
memungkinkan pengetahuan tersebut. Seperti dijelaskan di atas, putusan tersebut tidak mungkin
didasarkan atas pengalaman. Struktur apriori yang memungkinkan pengetahuan inilah yang diteliti
Kant dalam filsafat transendentalnya. „Tugas utama Akal Budi Murni terkandung dalam pertanyaan
ini: bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin?“ (KdrV, B 19).

Secara singkat, Kant kemudian memperlihatkan bahwa struktur-struktur apriori yang


memungkinkan pengetahuan (putusan sintetis apriori) itu adalah 1. Ruang dan Waktu, 2. 12
kategori-kategori transendental dan 3. Saya transendental (das transzendentales Ich). Melalui
4

sintesis antara struktur-struktur apriori (struktur pikiran) dan keterberian obyek-obyek secara
aposteriori (empiris) inilah pengetahuan menjadi mungkin. Berdasarkan hal inilah maka sering
dikatakan bahwa Kant telah mendamaikan empirisme dan rasionalisme. (Lebih jauh mengenai hal
ini lihat buku saya: Das transzendentale Selbstbewusstsein bei Kant, Hamburg: Dr. Kovac, 2008, hal
63-106).

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa locus penelitian Kant bukanlah pada obyek
pengetahuan, melainkan pada struktur pikiran kita yang memungkinkan kita mengetahui obyek
tersebut. Tapi, bagaimana struktur pikiran bisa diteliti? Ya, tidak ada jalan lain kecuali dengan
melihat bagaimana pikiran bekerja untuk menghasilkan pengetahuan mengenai obyek itu. Jadi,
Kant „mempreteli“ proses terjadinya pengetahuan itu untuk melihat cara kerja dan instrumen
pikiran kita untuk menghasilkan pengetahuan itu. Jadi, fokus Kant adalah untuk meneliti struktur
pikiran yang menghasilkan pengetahuan mengenai obyek itu, tapi untuk meneliti itu ia harus
meneliti bagaimana pikiran bekerja dalam menghasilkan pengetahuan tersebut. Struktur pikiran
akan tercermin dan dapat diihat dari cara kerjanya dalam menghasilkan pengetahuan. Karena itu,
logika argumentasi Kant selalu demikian: „harus ada kategori ini atau itu, sebab kalau tidak,
pengetahuan (mengenai obyek tersebut) tidak mungkin.“

Nah, karena kategori-kategori itu menjadi syarat kemungkinan pengetahuan, maka kategori itu
sifatnya transendental. Artinya: dia harus dianggap ada, agar pengetahuan menjadi mungkin; tanpa
kategori-kategori itu pengetahuan tidak mungkin. Kategori-kategori itu juga tidak mungkin
dijadikan obyek pengetahuan sebab justru merekalah yang memungkinkan pengetahuan; syarat-
syarat kemungkinan pengetahuan tidak mungkin dijadikan obyek pengetahuan. Pengetahuan yang
kita peroleh mengenai kategori-kategori tersebut (yakni bahwa mereka merupakan syarat
kemungkinan pengetahuan) dinamai Kant pengetahuan transendental.

Secara singkat, Kant memperlihatkan bahwa semua pengetahuan bertolak dari keterberian obyek-
obyek empiris kepada subyek penahu, yang kemudian diresepsi oleh si subyek melalui kategori-
kategori apriori keindrawian (yakni Ruang dan Waktu) dan selanjutnya diproses oleh instrumen-
instrumen pikiran (yakni, 12 kategori transendental) dan semua pengalaman itu disintesakan oleh
Kesadaran Diri Transendental (transzendentales Selbstbewusstsein). Kant mengatakan: Gedanken
ohne Inhalt sind leer, Anschauungen ohne Begriffe sind blind; pikiran tanpa isi adalah kosong, intuisi
tanpa konsep adalah buta.(KdrV, B 75/A 51). Obyek empiris itu adalah isi atau materi pengetahuan,
sementara pikiran manusia memberi bentuk (konsep) kepada materi itu; pengetahuan adalah
5

sintesa antara materi dan bentuk/pikiran. Para filsuf dalam metafisika tradisional selalu bertengkar
mengenai konsep-konsep metafisika karena mereka hanya memiliki pikiran tanpa isi/materi
pengetahuan.

Pengetahuan transendental tentang struktur pikiran itulah yang dimaksud oleh Kant dengan
metafisika. „Metafisika“, katanya „adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum akal budi murni
manusia“ (Reflexion 3952) atau „sistem prinsip-prinsip semua pengetahuan apriori (AA XVIII, hal.
323). „Metafisika bukanlah sebuah filsafat mengenai obyek-obyek, karena hal ini hanya dapat
terberi melalui indra, melainkan filsafat mengenai subyek, yakni hukum-hukum pikiran-nya“
(Reflexion 3716). Metafisika pada Kant bukanlah filsafat mengenai hal-hal yang melampaui yang
empiris/fisika karena hal itu tidak mungkin, melainkan filsafat mengenai apa yang memungkinkan
(pengetahuan mengenai) yang physics itu. Dan apa yang memungkinkan pengetahuan tentang yang
physics itu pasti tidak lagi berada di dalam yang physics, ia pasti terletak di seberang (meta) yang
physics itu, yakni struktur pikiran manusia itu sendiri. Jadi metafisika pada Kant adalah filsafat
pengenai struktur pikiran manusia yang transendental itu.

II. Metakritik Hegel

Metakritik adalah kritik yang ditujukan bukan kepada apa yang dikatakan pihak lain, melainkan
kepada pengandaian-pengandaian atau asumsi yang mendasari apa yang dikatakan itu. Kritik Hegel
kepada Kant disebut metakritik karena Hegel mengkritik pengandaian-pengandaan filsafat
transendental Kant di atas.

Dalam metakritiknya, Hegel menuduh Kant jatuh dalam sebuah „sikap alamiah“ (eine natürliche
Vorstellung (Phänomenologie des Geistes, hal. 68) yang mengatakan bahwa sebelum kita mengetahui
maka kita harus lebih dulu memeriksa alat yang kita gunakan untuk mengetahui itu sehingga kita
tahu batas-batas dan kemampuan alat tersebut. Alat yang dimaksud Hegel adalah pikiran itu
sendiri, yang strukturnya diteliti oleh Kant. Sepintas ini sikap yang masuk akal, tapi nanti Hegel
akan memperlihatkan bahwa ini adalah sikap yang absurd. Dalam pandangan Hegel, Kant
memahami bahwa pikiran kita itu seperti alat yang kita gunakan untuk menangkap obyek. Kant
meneliti alat itu: strukturnya, cara kerjanya dan batas-batas kemampuannya. Hasilnya adalah
bahwa pengetahuan hanya terbatas pada obyek-obyek indrawi (dan karena itu metafisika
tradisional yang berbicara mengenai obyek-obyek supra-indrawi adalah tidak mungkin). Penelitian
Kant juga memperlihatkan, karena pikiran kita sudah selalu langsung bekerja untuk mem-frame
6

obyek yang kita persepsi maka, sebagai konsekuensinya, kita tidak lagi mengetahui obyek pada
dirinya sendiri (das Ding an sich atau noumena), yang kita ketahui hanyalah obyek yang terberi
kepada kita (das Ding für uns atau fenomena) melalui pikiran tersebut. Kita dapat mengandaikan
pikiran kita itu ibarat kaca mata biru yang telah selalu kita gunakan dalam melihat sesuatu. Karena
kita telah selalu mengenakan kaca mata biru itu, maka kita melihat semua obyek sesuai dengan
kaca mata itu, yakni berwarna biru. Padahal bisa saja obyek itu dalam kenyataannya tidak
berwarna biru.

Justru di sinilah absurditas Kant menurut Hegel. Penelitian Kant mengenai syarat-syarat
pengetahuan (dalam dua jilid tebal buku Kritik Akal Budi Murni) itu sudah merupakan pengetahuan,
yakni pengetahuan mengenai syarat-syarat pengetahuan. Karena itu, kalau Kant konsisten, kata
Hegel mengejek, Kant juga harus meneliti syarat-syarat dari syarat-syarat pengetahuan, begitu
seterusnya regressus in infinitum. Sikap absurd Kant itu, kata Hegel, sama seperti orang yang tidak
mau terjun ke dalam air sebelum tahu caranya berenang. Padahal berenang harus dipelajari dengan
terjun langsung ke dalam air.

Hegel juga menolak asumsi Kant yang melihat hubungan antara pikiran dan obyek pengetahuan
sama seperti hubungan antara alat/instrumen yang digunakan untuk menangkap sesuatu. Kalau
pikiran adalah alat yang kita gunakan untuk menangkap sesuatu, maka, demikian Hegel, obyek yang
kita ketahui/tangkap bukan lagi obyek sebagaimana adanya, melainkan obyek yang telah
terkontaminasi oleh alat yang kita pakai untuk menangkap obyek itu. Itu berarti, kita hanya akan
selalu menangkap obyek yang telah terdistorsi, padahal pengetahuan bertujuan untuk memahami
obyek apa adanya. Lalu bagaimana kita dapat menghilangkan pengaruh alat itu kepada obyek
pengetahuan agar kita memperoleh pengetahuan yang apa adanya mengenai obyek? Ini semakin
menambah absurditas filsafat Kant di mata Hegel.

Hegel juga menolak setiap pengetahuan transendental (Ruang dan Waktu, ke-12 kategori
transendental, dan kesadaran diri transendental) dalam filsafat Kant. Transendentalitas konsep-
konsep ini tidak memuaskannya. Mengapa? Karena keberadaan konsep-konsep itu hanya berupa
pengandaian; apakah mereka sungguh-sungguh ada, kita tidak pernah tahu. Sistem filsafat
idealisme absolut Hegel menuntut bahwa semua bagian dari realitas harus dapat diketahui. Hegel
juga mengkritik Kant yang memahami subyek dan kesadaran diri secara ahistoris, seakan-akan
tidak tertanam pada dunia historis-empiris tertentu. Tidak ada subyek yang ahistoris, demikian
Hegel.
7

III. Detransendentalisasi Rasio

Lalu bagaimana alternatif yang diajukan Hegel? Hegel tidak lebih dulu meneliti syarat-syarat
pengetahuan, sebagaimana dilakukan Kant. Hegel langsung terjun ke dalam air, dan tanpa
mengandaikan apapun. Bagaimana caranya? Ia melakukan apa yang diistilahkan Habermas dengan
detransendentalisasi kesadaran diri atau rasio. Kesadaran diri yang bersifat transendental itu, yang
mengawang-awang itu, ditarik Hegel turun ke bumi, ke realitas empiris-historis, dan kemudian ia
dipahami dalam perkembangan historisnya. Itulah yang dimaksud dengan detransendentalisasi.

Filsafat, kata Hegel, tidak boleh mengandaikan apapun. Bila filsafat bertolak dari pengandaian
tertentu, maka filsafat demikian tidak sungguh-sungguh filosofis lagi, sebab hal itu berarti, masih
ada bagian dari realitas yang tidak sungguh-sungguh dipahami dan dijelaskan, yakni pengandaian
itu sendiri. Dalam Ilmu Logika (Wissenschaft der Logik)-nya kita kemudian dapat melihat kritik
sistematis Hegel terhadap setiap filsuf yang membangun filsafatnya dengan bertolak dari
pengandaian tertentu. Misalnya Descartes, Kant, Spinoza atau Leibniz. Bagaimanakah sosok filsafat
yang sungguh-sungguh tanpa pengandaian itu? Dengan apakah ia dimulai? Jawaban atas
pertanyaan ini dipaparkan Hegel dalam bukunya Fenomenologi Roh (Phänomenologie des Geistes) di
mana ia menggambarkan perkembangan Roh atau kesadaran mulai dari momen yang paling
universal dan dasariah hingga momen yang paripurna, yakni Roh Absolut.

Apakah momen yang paling dasariah, paling unversal dan tanpa pengandaian itu? Hegel
menyebutnya kepastian-indrawi (die sinnliche Gewißheit). Ini adalah pengetahuan yang kita peroleh
begitu saja dengan mata telanjang; pokoknya, apa yang tampak kepada kita secara indrawi. Bentuk
konseptual dari kepastian indrawi ini adalah: Ini (das Diese), karena segala hal bisa kita tunjuk
dengan Ini. Pengetahuan bertolak dari sini. Kemudian, secara fenomenologis-dialektis, dari Ini itu
muncullah konsep-konsep lain yang lebih spesifik dan kaya, antara lain persepsi (die
Wahrnehmung), penampakan (die Wahrnehmung), pikiran (die Verstand), kesadaran-diri (das
Selbstbewusstsein), roh (der Geist), agama (die Religion), seni (die Kunst), hingga pengetahuan
absolut (das absolute Wissen). Tidak mungkin memaparkan keseluruhan proses tersebut dalam
ruang yang sangat terbatas ini. Kiranya cukup dikatakan bahwa karakter utama filsafat Hegel,
terutama dalam kontra-distingsinya kepada Kant adalah bahwa Hegel selalu memahami segala
sesuatu dalam perkembangan historisnya. Tidak ada konsep yang muncul begitu saja, setiap konsep
adalah hasil perkembangan historis-dialektis dari konsep sebelumnya.
8

Tesis utama filsafat Hegel adalah bahwa keseluruhan kenyataan ini adalah manifestasi-diri dari
Roh. Tapi bagaimana filsafat memahami Roh dan manifestasi diri-Nya itu, itu hanya dapat
dilakukan bila kita memahami keseluruhan proses itu dalam perkembangan historisnya. Dengan
demikian, pada Hegel, tidak ada lagi yang transenden, melainkan yang metafisis. Kalau Kant
mengatakan bahwa pengetahuan metafisika itu tidak mungkin, Hegel justru mengukuhkan
metafisika. Namun, pada Hegel, yang metafisis itu hanya dapat dipahami dalam perkembangan
historisnya. Tuhan hanya dapat dikenali berdasarkan manifestasi historisnya dalam dunia yang
empiris. Subyek atau kesadaran diri, agama, kimia, fisika, biologi, moralitas, negara, mekanika, seni
dan lainnya itu (semua itu dibahas Hegel dalam filsafatnya) hanya dapat dipahami secara tepat bila
ia diletakkan dalam sejarah yang historis.

Sejarah, pada Hegel, merupakan sejarah Roh. Roh memanifestasikan dirinya di dalam dan melalui
sejarah. Dan sistem filsafat Hegel yang disebut Idealisme Absolut itu tidak lain dari deskripsi
fenomenologis-dialektis atas momen-momen dialektis manifestasi diri Roh itu. Tentu kita dapat
bertanya: mengapa Roh harus memanifestasikan dirinya? Jawaban Hegel: karena itu sudah
merupakan hakikat-Nya. Roh hanya merupakan Roh kalau ia memanifestasikan diri-Nya. Artinya:
Roh yang non-material dan non-empiris itu bukanlah Roh yang tetap abstrak dan mengawang-
awang; ia mesti menjadi yang empiris dan material. Dan hanya dengan demikianlah ia dapat
menjadi Roh. Sama halnya: Tuhan bukanlah sebuah entitas yang sama sekali terasing dari dunia ini,
yang berada di luar dunia ini, yang sama sekali metafisis. Tuhan tidak beroposisi kepada dunia ini.
Tuhan mesti hadir di dunia ini, membuat dirinya menjadi dunia ini, menjadi manusia. “Tanpa dunia,
Tuhan bukanlah Tuhan,” tulis Hegel dalam Filsafat Agama-nya (lihat Fitzerald Kennedy Sitorus,
„Tanpa Dunia, Tuhan Bukanlah Tuhan“. Tentang Struktur Konseptual Tuhan dan Momen-Momen
Kesadaran Religius menurut Hegel, dalam: Tuhan, Manusia dan Kebenaran, Festchrift untuk 65
Tahun Prof. Dr. J. Sudarminta, SJ., Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2016, hal. 39-81.) Mengapa?
Sebab kalau ada yang bukan-Tuhan di dunia, artinya: kalau ada yang bukan hasil manifestasi-diri
Tuhan, maka secara logis sesuatu itu masih beroposisi dengan Tuhan, dan itu berarti, sesuatu itu
masih membatasi Tuhan, dan dengan demikian, Tuhan menjadi terbatas, dan itu berarti Tuhan
tidak sungguh-sungguh absolut dan tidak-terbatas. Oleh karena itu, demikian Hegel, segala sesuatu
harus dipahami identik dengan (tapi juga sekaligus berbeda dari) Tuhan/Roh. Itulah tesis utama
filsafat Hegel.

III.a. Dialektika Tuan-Budak.


9

Salah satu tema yang sangat menarik dan penting dalam Fenomenologi Roh adalah penjelasan Hegel
mengenai munculnya kesadaran-diri melalui proses historis-konfliktual, yakni dalam “Dialektika
Tuan-Budak” (Herrschaft – Knechtschaft). Hegel membahas ini dalam tema: Kebenaran Kepastian
Mengenai Diri Sendiri dalam FR. Di sini kita melihat konsepsi yang sangat berbeda antara Kant dan
Hegel mengenai kesadaran diri. Kant menjelaskan kesadaran diri secara ahistoris. Hegel
menjelaskannya secara historis, yakni melalui pertemuan diri dengan yang lain (other). Kesadaran
terbentuk berdasarkan pertemuan dengan yang lain. Yang lain itu menjadi obyek “keinginan”
(Begierde, desire) saya. Tujuan tertinggi dari keinginan atau kesadaran diri adalah pengakuan
(Anerkennung, recognition). Artinya “ kesadaran diri mencapai tujuan dan kepuasannya hanya di
dalam kesadaran diri yang lain”. Yang lain menjadi medium bagi pencapaian tujuannya. Konflik
tidak terelakkan: ada pihak yang berani mempertaruhkan kehidupan, menghadapi kematian, dia
menjadi Tuan. Sementara pihak sebaliknya menjadi Budak. Relasi konfliktual Tuan-Budak tercipta.
Budak bekerja melayani Tuan, mensuplai segala kebutuhannya. Tuan menjadi simbol bagi segala
bentuk penikmatan kehidupan dan konsumsi, sementara Budak menjadi simbol bagi segala kerja
keras, produksi dan transformasi alam.

Relasi ini menghasilkan situasi khas dialektika Hegel: “dunia yang terbalik” (die verkehrte Welt).
Budak mencapai kemajuan, merealisasikan dirinya, mentransformasi alam, menghasilkan produksi,
menemukan ilmu dan pengetahuan. Ini akar filsafat pekerjaan Hegel yang diteruskan oleh Marx dan
Feuerbach. Melalui kerja Budak menemukan dirinya. Dalam filsafat pekerjaan Hegel, kita kemudian
dapat mengatakan: Takut akan Tuan adalah sumber pengetahuan dan kemajuan. Sebaliknya, Tuan
mandek, tidak berkembang, bahkan tergantung sepenuhnya pada hasil kerja Budak. Tanpa Budak,
Tuan tidak ada apa-apanya. Ia mati. Karena Tuan tergantung pada hasil kerja dan manifestasi diri
dari Budak, maka Budak menjadi tuan dari Tuan, sementara Tuan menjadi budak dari Budak. Hegel
mengatakan: menjadi Tuan berarti memperbudak diri sendiri, menjadi Budak berarti mempertuan
diri sendiri. Demikianlah Budak memperoleh kesadaran diri sebagai subyek yang bebas melalui
realisasi-diri yang dilakukannya dalam pekerjaan.

DTB ini sangat terkenal dan mengandung sisi hermeneutis yang sangat kaya. Para komentator
mengatakan paradigma Tuan-Budak ini menjadi simbol segala dinamika sejarah baik pada level
individu maupun masyarakat. DTB ini telah ditafsirkan dari berbagai perspektif: marxis dan non-
marxis, historis, sosiologis, psikologis, ontoteologis. Contoh interpretasi psikologis: dalam diri
manusia selalu ada dorongan (desire) untuk menikmati (Tuan) dan juga dorongan untuk
merealisasikan diri (Budak). Masyarakat bergerak maju karena ada elemen Tuan (konsumsi) dan
10

Budak (produksi). Tanpa DTB ini, filsafat Marx pasti akan sangat berbeda (filsafat tentang
pekerjaan). Tema DTB bahkan telah mengalihkan kembali tradisi filsafat Prancis abad XX dari
tradisi subyektivitas Cartesian yang ahistoris ke pemahaman baru mengenai subyek yang historis.
Konsepsi yang baru mengenai subyek yang historis itu membuat Hegel disambut di Prancis dan hal
ini mempengaruhi perkembangan filsafat Prancis abad XX. Penemuan-kembali Hegel di Prancis itu
terjadi melalui filsuf Alexander Kojeve (dan para muridnya) Jean-Paul Sartre, Jacques Lacan dan
Merleau-Ponty. Para filsuf ini memahami kesadaran-diri sebagai hasil pertemuan dengan yang lain
(Being for others). Konsepsi Lacan mengenai desiring subject (yang kemudian diteruskan oleh
muridnya, Slavoj Žižek) dalam konstruksi psikoanalisisnya juga didasarkan atas DTB ini. Filsuf
Habermas dan Axel Honneth menafsirkan DTB ini dalam tema mutual-recognition (saling
mengakui) sebagai syarat komunikasi. Honneth mengembangkan filsafat sosialnya mengenai Teori
Pengakuan (Recognition) dari DTB ini. Filsuf Prancis Jean Hyppolite mengatakan bahwa DTB adalah
sebuah kategori kehidupan historis karena segala dinamika peradaban manusia bisa dikembalikan
kepada motif-motif yang terkandung dalam dialektika ini.

IV. Kritik dan Kesimpulan

Apakah kritik Hegel terhadap Kant itu dapat diterima? Duduk perkara filsafat Kant adalah usaha
untuk menjadikan metafisika sebagai ilmu, dan untuk itu ia mengajukan pertanyaan penelitian:
bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin. Penelitian tersebut membawa dia pada apa yang
disebut dengan pengetahuan transendental, yakni pengetahuan mengenai konsep-konsep yang
harus diterima sebagai syarat-syarat kemungkinan pengetahuan, sebab tanpa konsep-konsep
tersebut pengetahuan menjadi tidak mungkin. Hegel mengkritik bahwa penelitian mengenai syarat-
syarat pengetahuan itu sudah merupakan pengetahuan tersendiri. Itu benar. Tapi Hegel tidak
melihat atau lupa bahwa Kant tidak menyebut itu pengetahuan yang jenisnya sama dengan
pengetahuan yang kita peroleh melalui hasil kerja instrumen/alat itu. Keseluruhan hasil penelitian
itu adalah memang pengetahuan, tapi pengetahuan transendental (transzendentale Erkenntnis), dan
bukan pengetahuan empiris, sebagaimana dimaksudkan oleh Hegel, yakni pengetahuan mengenai
obyek-obyek empiris di hadapan kita. Jadi, menurut saya, kritik Hegel tersebut sesungguhnya tidak
tepat.

Lantas, apakah detransendentalisasi kesadaran-diri yang dilakukan oleh Hegel itu keliru? Sama
sekali tidak! Melalui metakritiknya, Hegel justru telah membuka wilayah berfilsafat yang baru,
yakni bahwa pemahaman yang tepat atas sesuatu mestilah dengan melihat sesuatu itu dalam
11

perkembangan historisnya. Historisitas adalah terminologi kunci pada Hegel; Filsafat adalah zaman
yang ditangkap dalam pikiran, katanya dan dengan prinsip inilah ia menjalankan pengaruh
mendalam atas perkembangan filsafat selanjutnya. Para Hegelian Muda/Kiri, seperti Karl Marx dan
Ludwig Feuerbach, juga para filsuf Teori Kritis, Soren A. Kierkegaard, dan lain-lain berusaha
meradikalkan dimensi historis dalam filsafat Hegel ini dan sekaligus menolak dimensi metafisisnya.
Karena itu Habermas selalu menekankan bahwa „secara filosofis kita sesungguhnya masih sezaman
dengan para Hegelian Muda“ (dalam Nachmetaphysisches Denken. Philosophische Aufsätze, hal. 277).

Dalam etika, historisitas dalam pemikiran Hegel itu tampak antara lain dalam komunitarisme, yakni
paham moral yang mengatakan bahwa setiap komunitas memiliki paham tersendiri mengenai apa
yang baik dan buruk. Ini bertolak belakang dengan etika deontologis Kant yang menentukan
pengertian baik dan buruk secara apriori, yakni bahwa yang baik adalah yang sesuai dengan hukum
moral. Hegel mengkritik bahwa etika Kant ini kosong karena semata-mata formal. Bagi Hegel,
setiap masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai apa yang baik dan buruk. Moralitas
sebuah masyarakat, katanya, juga tidak bisa dipaksa maju. Ia akan berkembang secara evolusioner.
Sejarah sendiri menurut Hegel berkembang menuju rasionalitas dan kebebasan yang semakin
besar. Kemajuan tersebut terjadi secara dialektis, yakni melalui peristiwa-peristiwa negatif
(perang, bencana alam, kelaparan, konflik) yang kemudian mendorong sejarah untuk bergerak
maju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya -- karena itu dalam konsep dialektikanya Hegel
mengatakan bahwa „yang negatif itu positif“, karena justru melalui hal-hal yang negatif itulah kita
mencapai kemajuan.

Tapi Hegel tidak mengatakan kapan sejarah akan berhenti dan dalam bentuk sistem sosial-politik
yang seperti apa. Karena itu, dilihat dari kaca mata Hegel, Francis Fukuyama keliru ketika ia
mengatakan bahwa, setelah bubarnya sistem komunis Uni Soviet, demokrasi yang berorientasi
liberal dan ekonomi pasar menandai akhir sejarah. Estetika (Marxis) yang melihat seni sebagai
artikulasi kesadaran historis juga bertolak dari Hegel. Ini bertolak belakang dengan pandangan
Kant yang mengatakan bahwa seni harus otonom dari dimensi-dimensi di luar seni (lihat tulisan
saya, „Estetika Hegel“ dalam Teks-Teks Kunci Filsafat Seni, Yogyakarta, 2005, hal. 11-39).

Anda mungkin juga menyukai