Anda di halaman 1dari 5

Korupsi, Sudahlah

 Kategori: Artikel Kompas


 Diterbitkan: Jumat, 30 September 2016 10:58
 Ditulis oleh Administrator
 Dilihat: 19

Saldi Isra

Kompas, 30 September 2016

Meski disadari praktik korupsi menjadi ancaman laten keberlangsungan masa


depan negeri ini, upaya memberantasnya dengan mudah terjebak dalam labirin
tak berujung. Bahkan, sejumlah fakta menunjukkan agenda pemberantasan
korupsi sangat mungkin berubah menjadi monumen kegagalan untuk kesekian
kalinya.

Betapa tidak, sejak genderang perang terhadap korupsi ditabuh, semua institusi
negara tidak ada yang mampu sepenuhnya menghindar dari isapan rayap
penyalahgunaan kuasa bernama korupsi. Dalam batas pengetahuan dan
penglihatan yang wajar, tidak ada lagi institusi negara yang benar-benar bersih
dari rayap korupsi. Boleh jadi, sekalipun dari luar masih kelihatan utuh, bukan
tidak mungkin tiang- tiang penyangga negeri ini telah keropos dilalap rayap
koruptif.
Karena itu, judul tulisan ini sengaja dipilih untuk menggambarkan betapa tidak
mudah memilih diksi yang dapat mewakili kemarahan terhadap kian ganasnya
praktik korupsi. Apabila diksi marah tidak mampu mengubah keadaan, siapa
tahu, pilihan kata yang bermakna perintah dan sekaligus tekad ini mampu
membangunkan kesadaran kolektif kita betapa praktik korupsi tengah
menggerogoti tiang-tiang bangunan besar bernama Indonesia.

Penegak hukum
Secara hukum, langkah melawan korupsi hampir sama usianya dengan umur
Republik ini. Namun, upaya tersebut gagal menurunkan dan menghentikan laju
praktik korupsi. Karena itu, saat genderang perang ditabuh pada awal reformasi,
tindak pidana korupsi diberi predikat sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Pemberian status luar biasa tersebut dimaksudkan memberikan pesan
bahwa melakukan korupsi sangat mungkin dijatuhkan hukuman lebih berat
dibandingkan dengan pidana biasa (ordinary crime).
Guna mendukung pesan itu, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
juga dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary action). Jamak
diketahui, misalnya, bagi mereka yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi
dapat diancam dan dijatuhkan pidana mati. Bahkan, ihwal institusi, untuk
mendukung politik hukum yang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai
kejahatan luar bisa, dibentuk suatu lembaga khusus (yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi) dengan wewenang terbilang luar biasa dibandingkan dengan kepolisian
dan kejaksaan.
Segala status luar biasa yang ditempatkan pada tindak pidana korupsi menjadi
belum mampu mengurangi dan apalagi menghentikan laju penyalahgunaan
wewenang, terutama kalangan yang diberikan amanah menyelenggarakan
kepentingan publik. Bahkan, berkaca dari sejumlah kejadian, langkah
menghentikan laju praktik korupsi terbentur dinding tembok. Di antara
penyebabnya, memudarnya komitmen sejumlah pihak yang diberi otoritas untuk
menegakkan hukum, termasuk dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam batas penalaran yang wajar, mengurai secara tuntas masalah penegakan
hukum, termasuk dalam memberantas tindak pidana korupsi, jelas tidak
dipengaruhi satu faktor yang bersifat tunggal. Mengikuti tiga faktor yang
berpengaruh signifikan dalam penegakan hukum (substansi hukum, penegak
hukum, dan perilaku hukum masyarakat), semuanya memberikan kontribusi
luasnya tindak pidana korupsi. Namun, jika ditelusuri lebih komprehensif, faktor
penegak hukum memberikan kontribusi signifikan sulitnya
maknaextraordinary  menurunkan perilaku koruptif. Meluruhnya komitmen
penegak hukum itu berlangsung dari hulu hingga ke hilir, yaitu mulai dari proses
penyelidikan/ penyidikan hingga di lembaga pemasyarakatan.
Contoh mutakhir bisa dilacak dari penyalahgunaan wewenang Jaksa Farizal di
Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Diwartakan, Farizal mengakui menerima
sejumlah uang dari Xaveriandy Sutanto, tersangka kasus distribusi impor gula
tanpa SNI di PN Padang. Tak tanggung-tanggung, Farizal ditengarai mengatur
perkara dan bertindak seolah-olah sebagai penasihat hukum Xaveriandy. Berkaca
dari kejadian memalukan dan mencoreng institusi kejaksaan, amat mungkin
pengalaman ini merupakan puncak gunung es penyalahgunaan kuasa dalam
proses penyidikan. Dengan berkembangnya perilaku menggadaikan kuasa itu,
rasa takut melakukan korupsi pasti berkurang.
Sebagaimana dinukilkan dalam ”Korupsi (Tidak) Ada Matinya”
(Kompas,11/8/2010), tak hanya pengalaman yang terjadi pada proses awal, dalam
tahap persidangan, di antara hakim pun tak segan-segan menggadaikan
kemuliaannya untuk kepentingan nonhukum. Padahal, dengan predikat ”wakil
Tuhan”, hakim harus menjaga integritas dan kepribadian. Mengikuti logika dan
alur penyelesaian kasus, meski penegak hukum pada proses awal bermain-main
dengan pihak beperkara, penegakan hukum masih mungkin diselamatkan apabila
hakim mampu bertahan dari segala macam godaan yang merendahkan integritas
kepribadian hakim.
Merujuk pengungkapan perilaku menyimpang di lingkungan pengadilan selama
tahun 2015, hakim tidak lagi menjadi pemain tunggal. Berkaca dari kasus korupsi
yang menimpa mantan panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution, sangat mungkin
pelaku dari nonhakim merupakan jejaring yang menentukan dan sekaligus
mengendalikan ”arah” putusan hakim. Bahkan, bukan tak mungkin jejaring dari
kalangan nonhakim bekerja dengan sangat terstruktur, sistematis, dan masif.
Sejauh ini, jejaring yang bekerja dari jalur nonhakim nyaris tidak tersentuh
bidikan reformasi peradilan.
Kian melemah
Di luar kekhawatiran terhadap perilaku sebagian penegak hukum, dalam konteks
yang lebih luas, beberapa waktu belakangan terjadi pelemahan komitmen
terhadap agenda pemberantasan korupsi. Terkait dengan proses peradilan,
misalnya, salah satu fokus perhatian terkait dengan makin rendahnya rata-rata
vonis bagi koruptor. Merujuk catatan yang ada, pada semester I tahun 2011, rata-
rata hukuman bagi pelaku korupsi adalah 2 tahun 11 bulan. Angka itu menurun
tajam, di mana semester I tahun 2016, rata-ratanya menjadi 2 tahun 1 bulan
(Mahfud MD, 2016).
Bilamana dilihat dari aspek penjatuhan hukuman sebagai bagian dari strategi
penjeraan (deterent effect), rata-rata lama vonis yang dijatuhkan pasti sangat jauh
dari keinginan menimbulkan rasa takut (efek jera) melakukan korupsi.
Bagaimanapun bagi koruptor, hukuman dua tahunan tak akan berarti banyak.
Tambah lagi, dengan segala ”kemampuan dan kekuatan” yang dimiliki sebagian
koruptor, lembaga pemasyarakatan sangat mungkin mereka kendalikan. Sejumlah
bentangan empirik yang tersaji sejauh ini, banyak koruptor yang berleha-leha di
luar lembaga pemasyarakatan.
Bahkan, bagi pelaku politik, status pernah menjalankan pidana, termasuk kasus
korupsi, tidak lagi menjadi halangan untuk kembali aktif di dunia politik. Sejak
putusan Mahkamah Konstitusi membuka ruang kepada bekas terpidana
mengikuti kontestasi politik tanpa adanya tenggang waktu, status pernah
terpidana kian kehilangan makna sebagai bentuk penjeraan. Celakanya, partai
politik sebagai sumber utama pengajuan calon dalam pemilihan kepala
daerah/wakil kepala daerah tidak pernah menjadikan status bekas terpidana
(termasuk korupsi) sebagai alasan untuk menolak seseorang dijadikan calon. Saat
ini, begitu bebas, bekas terpidana kasus korupsi segera masuk kontestasi politik.
Ujungnya, sejumlah daerah terpaksa menerima kepala daerah bekas terpidana
korupsi.
Tentu saja, vonis yang rendah tidak melulu menjadi tanggung jawab sepenuhnya
dari hakim. Sebagai sebuah rangkaian proses, vonis juga dipengaruhi oleh
optimalisasi kerja penyidik. Bilamana sejak proses awal penyidik main mata
dengan tersangka korupsi, arah putusan sangat mungkin dikendalikan. Begitu
pula di tahap penuntutan, penuntut amat mungkin membuat desain lamanya
putusan dengan memilih pasal-pasal tertentu yang putusannya berada dalam
rentang rata-rata tersebut. Biasanya, rekayasa begitu tidak mungkin dilakukan
secara gratis.
Bukti lain melemahnya komitmen untuk memberantas korupsi bisa dilacak dari
adanya keinginan melonggarkan ketatnya persyaratan memperoleh remisi bagi
koruptor sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Dengan segala pertimbangan, melihat fakta, mulai dari kemungkinan adanya
rekayasa vonis sampai pada perlakuan istimewa yang diterima sebagian
terpidana korupsi di lembaga pemasyarakatan, keinginan merevisi PP No 99/2012
melonggarkan syarat remisi jelas bertolak belakang dengan penetapan korupsi
sebagai salah satu pengecualian dari kejahatan biasa.
Sikap presiden
Sebetulnya, di tengah kekhawatiran sebagian kalangan terhadap melemahnya
upaya pemberantasan korupsi, publik masih bisa bersyukur karena Presiden Joko
Widodo mulai menunjukkan sikap yang lebih jelas dan tegas. Misalnya, ketika
mengundang 22 kalangan hukum dari sejumlah profesi bertandang ke Istana
Negara (22/9), Presiden membuka pertemuan dengan pernyataan yang amat jelas,
yaitu menolak setiap rencana yang dapat berujung pada meringankan syarat
remisi terpidana korupsi.
Tidak hanya soal syarat remisi bagi terpidana korupsi, Presiden secara eksplisit
menegaskan bahwa tidak akan melanjutkan rencana revisi UU No 30/2002 tentang
KPK. Penegasan ini menjadi jawaban melegakan di tengah kekhawatiran banyak
kalangan bahwa revisi akan terus dilanjutkan. Padahal, di dalam suasana dan
kecenderungan resistensi yang begitu besar terhadap KPK, revisi UU No 30/2002
mungkin pembonsaian sistematis dan bahkan persiapan peti mati bagi KPK.
Selain menegaskan kedua soal itu, Presiden Jokowi juga tengah mempersiapkan
peta jalan reformasi hukum. Dalam rencana peta jalan itu, Presiden mendengar
keinginan dari mereka yang diundang. Sebagai salah seorang yang diundang dan
hadir, saya termasuk yang mengingatkan Presiden untuk memenuhi janji
penegakan hukum dan pembangunan hukum dalam Nawacita.
Artinya, apabila untaian janji dalam Nawacita dilakukan, fokus perhatian atas
agenda hukum tidak akan tertinggal lagi dibandingkan dengan pembangunan
lain, terutama ekonomi.
Banyak kalangan percaya, Presiden Jokowi akan mengambil momen dua tahun
pemerintahannya menjadi titik memulai memberikan fokus terhadap agenda
hukum. Untuk itu, Jokowi mesti membuat langkah dan peta jalan lebih detail
terhadap institusi penegak hukum yang berada langsung di bawah kekuasaan
presiden. Jika perhatian tersebut bisa dilakukan, kita tidak akan mendengar
kepolisian dan kejaksaan menjadi pihak yang memberikan kontribusi besar
terhadap potret buram penegakan hukum.
Sementara itu, bagi KPK, Jokowi hanya perlu menjaga agar kuasa yang dimiliki
Presiden tidak dijadikan instrumen yang berujung membonsai dan melumpuhkan
KPK. Bagaimanapun, ketika Presiden Jokowi memberi respons terhadap kejadian
yang menimpa Ketua DPD Irman Gusman dan dengan bergetar menyatakan: ”Stop
korupsi. Korupsi, sudahlah”, sulit dibantah bahwa KPK tetap menjadi lembaga
yang paling mungkin bekerja optimal menghentikan laju praktik korupsi.
Bagi saya, memaknai kalimat ”korupsi, sudahlah”, Presiden membangun sistem
yang memperkuat pencegahan korupsi di jajaran eksekutif dan menghentikan
segala keinginan yang berpotensi dapat melemahkan agenda memberantas
korupsi. Kemudian, sesuai dengan janji Nawacita, Presiden Jokowi harus
membentengi KPK dengan cara mempertahankan dan memperkuat lembaga anti
rasuah ini. Jika peta jalan reformasi hukum bisa mempertahankan pola sederhana
itu, kalimat ”korupsi, sudahlah”, akan menjadi energi baru penegakan hukum ke
depan.
Saldi Isra, Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

0 Comments Saldi Isra Personal Website 


1 Login

Sort by Best
 Recommend ⤤ Share

Start the discussion…

Be the first to comment.

ALSO ON SALDI ISRA PERSONAL WEBSITE

Saldi Isra Parpol Tak Mandiri, Sedot Uang Negara


1 comment • a year ago• 1 comment • a year ago•
Alice Russell — I feel honored by reading nasir — PROPOSAL YAYASAN
your article. It has everything, feels good PERSAUDARAAN MUSLIM PAPUA:
to human eye, in short I read the whole REK.7530007660 BANK MUAMALAT
article when i … CAB DENPASAR BALINo : …
✉ Subscribe d Add Disqus to your site Add Disqus Add ὑ Privacy

back to top

Anda mungkin juga menyukai