Anda di halaman 1dari 138

KOMISI PEMILIHAN UMUM

REPUBLIK INDONESIA

ELECTORAL
VOL.1
NO. 1 | NOVEMBER 2019
Re-Desain Penjaminan Hak Pilih Untuk Pasien

GOVERNANCE
Rumah Sakit Sebagai Upaya Mencapai Pemilu
yang Inklusif

DIWANGKARA NAFI AL MUFTI


Program Tata Kelola Pemilu Batch II 2018 Universitas Gadjah Mada
KPU Kabupaten Bantul

Permasalahan Daftar Pemilih Tetap Pada


Pilkada Sampang Tahun 2018 Dalam Perspektif
Pemilu Berintegritas

DINA LESTARI

JURNAL
Program Tata Kelola Pemilu Batch III 2019, Universitas Airlangga
KPU Provinsi Jawa Timur

TATA KELOLA Analisis Beban Kerja Kelompok Kerja Panitia

PEMILU INDONESIA
Pemungutan Suara (KPPS) menggunakan
metode FTE (Full Time Equivalent) Pada
Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di
Kabupaten Bangka Tengah

RICKY FEBRIANSYAH & ANA HUSNAYANTI


Program Tata Kelola Pemilu Batch IV Universitas Lampung
KPU Bangka Tengah

Efektivitas Kotak Suara Berbahan Dupleks Pada


Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Pulau
Legundi Kabupaten Pesawaran

IMA NUR IMANI


Program Tata Kelola Pemilu Batch IV 2018 Universitas Lampung
KPU Pesawaran

Literasi Pemilih Penyandang Disabilitas:


Identifikasi Permasalahan dan Solusinya di
Kabupaten Sleman

VIERA MAYASARI SRI RENGGANIS


Program Tata Kelola Pemilu Batch III 2017 Universitas Gadjah Mada
KPU Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Malpraktek Pemilu di Tempat Pemungutan


Suara Pada Pemungutan dan Penghitungan
Suara Pemilu Serentak Tahun 2019

AWALUDIN
Program Tata Kelola Pemilu Batch III 2018 Universitas Airlangga
KPU Kota Buton
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia adalah jurnal resmi yang
diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia bekerja sama dengan
konsorsium tata kelola pemilu dari 12 Universitas Negeri di Indonesia. Jurnal ini
berfungsi sebagai media untuk menyebarluaskan makalah ilmiah atau tinjauan
literatur tentang sistem pemilihan umum, tahapan pemilihan umum, perilaku memilih
(voting behavior), badan manajemen pemilihan umum (election management bodies),
pembiayaan pemilu (election financing), teknologi pemilu (election technology), sistem
peradilan pemilu (free and fair system), perwakilan politik (house of representatives)
dan partai politik (political party) serta isu-isu kontemporer lainnya tentang pemilihan.

Publikasi jurnal ini bertujuan untuk berkontribusi pada pengembangan tata kelola
pemilu di Indonesia. Diterbitkan dua kali setahun: pada bulan Mei dan November,
Dewan Editorial jurnal terdiri dari para ahli, cendekiawan, praktisi dari universitas-
universitas papan atas di Indonesia. Editor akan memilih setiap naskah yang dikirim
ke jurnal menggunakan mekanisme blind reviewer dari peer reviewer yang ditunjuk
oleh editor. Reviewer atau Mitra Bestari berasal dari pakar nasional dan internasional
tentang pemilihan dari universitas atau lembaga akademik.

ELECTORAL GOVERNANCE Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia tersedia dalam versi
cetak dan daring. Versi daring dapat diunduh di:
https://journal.kpu.go.id/index.php/TKP/index

e-ISSN: 2714-8033

Citation is permitted with acknowledgement of the source


Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia

KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA


Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, Volume 1, Nomor 1, November 2019

DEWAN REDAKSI

Editor-in-Chief
Abdul Gaffar Karim
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor-in-Section
Muryanto Amin
Universitas Sumatera Utara, Medan
Nur Hidayat Sardini
Universitas Diponegoro, Semarang
Dwi Windyastuti Budi
Universitas Airlangga, Surabaya
Aidinil Zetra
Universitas Andalas, Padang
Ferry Daud Liando
Universitas Sam Ratulangi, Manado
Dian Rahadian
Universitas Cendrawasih, Jayapura

Reviewer
Arizka Warganegara
Universitas Lampung, Bandar Lampung
Ari Ganjar
Universitas Padjajaran, Bandung
Bakaruddin Rosyidi Ahmad
Universitas Andalas, Padang
Gustiana Kambo
Universitas Hasanuddin, Makassar
Laurensius Sayrani
Universitas Nusa Cendana, Kupang
Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia
Dari Redaksi

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia bekerjasama dengan


Konsorsium Tata Kelola Pemilu dari 12 Universitas Terbaik Indonesia
mempersembahkan Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
edisi perdana, November 2019. Dalam edisi perdana ini, terdapat enam artikel
yang akan memberikan sumbangsih terhadap bidang tata kelola pemilu di
Indonesia:

Pada artikel pertama yang berjudul “Re-Desain Penjaminan Hak Pilih


Untuk Rumah Sakit Sebagai Upaya Mencapai Pemilu yang Inklusif” oleh
Diwangkara Nafi Al Mufti menguraikan bahwa hak politik pasien di rumah
sakit harus tetap terjamin untuk menyalurkan suara pada Pemilu. Artikel ini
bertujuan untuk menyusun rekomendasi berupa re-desain lewat regulasi
Pemilu untuk memudahkan pasien di rumah sakit menyalurkan hak pilihnya.
Desain penjaminan hak pilih pasien ini dapat ditata ulang agar pemilu dapat
berjalan secara inklusif. Sehingga kajian ini akan berkontribusi pada upaya
penjaminan hak pilih pasien rumah sakit, utamanya dengan menempatkan
warga yang sakit sebagai pemilih yang berkebutuhan khusus dan mempunyai
mekanisme penjaminan hak pilih yang fleksibel. Permasalahan dalam
penjaminan hak pilih pasien rumah sakit pada dasarnya adalah tidak adanya
regulasi yang mengatur secara khusus penjaminan hak pilih para pasien ini.
Regulasi yang ada hanya bersifat umum. Artinya regulasi didesain untuk
semua pemilih, tidak memandang kebutuhan kelompok khusus seperti pasien
RS. Temuan penelitiannya adalah sejak Pemilu 2014 hingga Pemilihan
serentak 2017 tidak ada peraturan yang mendasari adanya TPS Khusus untuk
melayani pasien di rumah sakit. Bahkan sampai Pemilu 2019 pun TPS khusus
tidak diatur dalam undang-undang ataupun peraturan KPU. Saat ini pilihan
yang ada hanya menggunakan TPS terdekat di sekitar wilayah rumah sakit
untuk melayani pasien rumah sakit.
Pada artikel kedua yang berjudul “Permasalahan Daftar Pemilih Tetap
Pada Pilkada Sampang Tahun 2018 Dalam Perspektif Pemilu Berintegritas”,
Dina Lestari membahas pemutakhiran data pemilih pada Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang Tahun 2018 menyisakan
permasalahan yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi menjatuhkan
putusan pemungutan suara ulang pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU) yang diajukan oleh salah satu pasangan calon. Dalam
pertimbangan keputusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
terdapat permasalahan yang mendasar adalah berkaitan dengan DPT pada
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sampang 2018 yang menurut Mahkamah
terdapat ketidakwajaran. Penilaian tersebut didasari dengan bukti jumlah
DAK2 (Data Agregat Kependudukan per Kecamatan) Semester I Tahun 2017
dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk Kabupaten Sampang
sejumlah 844.872. Berdasarkan data tersebut, Kemendagri menentukan DP4
(Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) sejumlah 662.673. Namun Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sampang menetapkan DPT berdasarkan
data terakhir pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
sejumlah 805.459 yang disesuaikan dengan perkembangan kependudukan
terkini sehingga jumlah DPT menjadi 803.499 yang berarti bahwa jumlah
pemilih tetap Kabupaten Sampang adalah 95% dari jumlah penduduk
Kabupaten Sampang. Hal itu sulit diterima akal apabila dikaitkan dengan
rasio jumlah penduduk dalam suatu daerah antara yang berusia dewasa dan
belum dewasa tidak sesuai dengan struktur demografi penduduk Indonesia
pada umumnya. Penulis memaparkan temuan penelitian salah satunya
adalah terjadi kesenjangan antara standar kualitas pemutakhiran data
pemilih dengan pelaksanaan pemutakhiran data pemilih di Kabupaten
Sampang, terutama pada aspek akurat dan mutakhir. Dua aspek ini saling
terkait karena data pemilih yang akurat maka akan semakin mendekati
mutakhir. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya data ganda dan orang yang
telah lama meninggal dunia dalam DPT meskipun telah melalui proses coklit
data pemilih menjadi DPS, perbaikan DPS menjadi Daftar Pemilih Sementara
Hasil Perbaikan (DPSHP) hingga penetapan DPT. Selain pada proses
pemutakhiran data, sumber data yang digunakan sebagai bahan turut
menentukan kualitas dari data pemilih tersebut. Ketidaksinkronan aturan
mengenai sumber data pemilih antara satu undang-undang dengan yang lain
menimbulkan ambigu di kalangan stakeholder. Akibatnya timbul berbagai
penafsiran dengan membandingkan data pemilih dengan data kependudukan.
Padahal kedua data tersebut sifatnya berbeda karena tujuan penggunaannya
juga berbeda.

Artikel selanjutnya yang berjudul “Analisis Beban Kerja Kelompok Kerja


Panitia Pemungutan Suara (KPPS) menggunakan metode FTE (Full Time
Equivalent) pada Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Kabupaten
Bangka Tengah”, oleh Ricky Febriansyah dan Ana Husnayanti. Dalam artikel
tersebut membahas tentang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 menjadi
beban kerja yang sangat berat dan luas bagi Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Hal ini karena KPPS harus melayani pemilih
memberikan suara sebanyak 5 (lima) surat suara. Terdapat fenomena menarik
yang dirasakan oleh KPPS dengan adanya beban kerja yang sangat berat.
KPPS dituntut bekerja secara profesional dan berintegritas dengan dibuktikan
surat pernyataan. Tetapi beban kerja yang sangat berat melebihi standar kerja
pada umumnya yang belum tentu bisa dilaksanakan oleh manusia pada
umumnya. Hal ini terbukti dengan telah diselenggarakan simulasi
pemungutan suara di salah satu TPS di Desa Sungai Selan Kecamatan Sungai
Kabupaten Bangka Tengah. Walaupun pelaksanaan dilakukan oleh PPS, PPK
dan KPU Kabupaten Bangka Tengah. Tetap saja tidak bisa dilaksanakan tepat
waktu dan tepat sasaran. Pemungutan dan Penghitungan suara terlaksana
selama 24 (dua puluh empat) jam lebih atau satu hari satu malam, hal ini
tidak memungkinkan tercapainya target selesainya pemungutan,
penghitungan pada tanggal 17 April 2019 (24 jam). Beban KPPS dirasakan
sangat berat karena mereka bekerja bukan hanya pada hari pencoblosan
tetapi sebelum dan sesudah pelaksanaan pemungutan. Seperti pada buku
panduan KPPS pemungutan dan penghitungan suara pemilu tahun 2019
tahapannya meliputi persiapan, pelaksanaan dan pengumuman hasil
penghitungan suara. Bahkan jika terjadinya kesalahan dan temuan di TPS
yang dilakukan oleh KPPS maka akan dilaksanakan Pemungutan dan
Penghitungan Suara Ulang (PSU). Kedua penulis menggunakan metode Full
Time Equivalent (FTE) untuk mengukur beban kerja KPPS. Full Time Equivalent
(FTE) adalah salah satu metode analisis beban kerja yang berbasiskan waktu
dengan cara mengukur lama waktu penyelesaian pekerjaan kemudian waktu
tersebut dikonversikan ke dalam indeks nilai FTE. Metode perhitungan beban
kerja dengan Full Time Equivalent (FTE)adalah metode dimana waktu yang
digunakan untuk menyelesaikanberbagai pekerjaan dibandingkan terhadap
waktu kerja efektif yang tersedia. FTE bertujuan menyederhanakan
pengukuran kerja dengan mengubah jam beban kerja ke jumlah orang yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Secara umum hasil
yang didapat adalah beban kerja KPPS yang overload terletak di proses
penghitungan dan rekapitulasi. Penghitungan dengan mencocokan jumlah
hasil pemilihan dan data pilih. Terlebih pada penghitungan suara anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Bangka Tengah.

Dalam artikel yang berjudul “Efektivitas Kotak Suara Berbahan Dupleks


Pada Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Pulau Legundi Kabupaten
Pesawaran”, Ima Nur Imani mengkaji tentang kotak suara berbahan dupleks
pada Pemilu Tahun 2019. Kekhawatiran sebagian kalangan menyeruak dan
menyangsikan daya tahan kotak suara kardus dapat menjaga integritas hasil
pemilu. Selama ini, publik lebih familiar dengan kotak suara dari
alumunium/seng sedangkan kotak suara yang digunakan pada Pemilu
serentak 2019 kemarin adalah kotak suara yang terbuat dari karton dupleks.
Kotak suara ini diragukan kualitasnya oleh sejumlah kalangan, lantaran
dianggap tidak kokoh sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya
kecurangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
mengamanatkan kotak suara Pemilu 2019 dibuat transparan. Untuk
menjalankan ketentuan itu, KPU menimbang berbagai model, bahan,
spesifikasi, dan ukuran. Setelah melalui proses pertimbangan yang panjang,
"kardus" atau disebut juga sebagai karton kedap air, dinilai paling cocok
digunakan sebagai bahan kotak suara. KPU juga mengusulkan supaya kotak
suara itu bisa dibuat transparan pada salah satu sisinya. Salah satu faktor
penggunaan kotak suara kardus dapat mendukung terselenggaranya pemilu
yang efektif yaitu hemat. KPU Kabupaten Pesawaran tidak membutuhkan
anggaran dalam hal penyewaan gudang untuk menyimpan kotak suara dan
tidak perlu melakukan stock opname (perawatan fisik barang). Karena jika
setiap tahun biaya sewa gudang untuk penyimpanan selalu naik dan KPU
melakukan dengan anggaran yang dibiayai negara. Sistem penyewaan gudang
diberlakukan saat kotak suara berbahan alumunium masih dipakai.
Sementara itu, untuk kotak suara berbahan duplek tidak perlu disimpan
karena akan dimusnakah setelah tahapan pemilu selesai. Faktor lainnya
adalah mudah didistribusikan dan dirakit kembali. Kotak suara duplek ini
hanya sekali pakai saja sehingga lebih murah dari alumunium. Dengan
berbahan dupleks, merakit kotak suara bisa dilakukan secara mudah tidak
perlu bantuan orang lain untuk merakit. Kesimpulan dari penelitian ini
berdasarkan hasil observasi, kotak suara berbahan dupleks yang diadakan
oleh KPU sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di
tambah dikeluarkannya PKPU yang terkait No 15 Tahun 2018 tentang Norma,
Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Selain itu juga menurut Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 999 / HK.03.1-Kpt / 07
/ KPU / VII / 2018 Tentang Kebutuhan Dan Spesifikasi Tekhnis Perlengkapan
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pada Lampiran II.

Dalam artikel yang berjudul “Literasi Pemilih Penyandang Disabilitas:


Identifikasi Permasalahan dan Solusinya di Kabupaten Sleman”, yang ditulis
oleh Viera Mayasari Sri Rengganis, membahas kondisi literasi pemilih
Penyandang Disabilitas, hambatan yang terjadi dalam pembentukan literasi
pemilih tersebut, serta merancang sebuah desain kebijakan untuk
membangun literasi pemilih Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman.
Kabupaten Sleman dipilih sebagai lokasi penelitian karena kabupaten ini
memiliki sebuah program yaitu Pilot Project Desa Melek Politik (PPDMP)
berlokasi di desa Sendangsari, Minggir, Sleman yang diresmikan pada tanggal
22 Oktober 2016. Secara spesifik, Desa Melek Politik merupakan forum yang
mendorong terbentuknya kesadaran, meningkatnya pengetahuan politik,
tingginya partisipasi politik, kemampuan meningkatkan peran pembangunan,
keahlian dalam memecahkan permasalahan-permasalahan pembangunan
desa, kemampuan dalam mengejar kepentingan dan kesejahteraan secara
luas. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Sleman sebagian besar sudah memiliki pengetahuan terkait
pemilu, utamanya berkaitan dengan teknis pemberian suara. Namun, fakta
lain menunjukkan bahwa peranan Penyandang Disabilitas di Kabupaten
Sleman dalam dunia politik masih terbatas. Walaupun adaupaya untuk
terlibat dalam Musrenbang, namun jumlahnya masihterbatas pada desa-desa
yang dilakukan pendampingan. Selain itu,tingkat pendidikan Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman jugaturut mempengaruhi pengetahuan
mereka dalam hal politik. Sebagianbesar Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Sleman memiliki tingkatpendidikan SD-SMP, dan bukan sekolah
umum, tapi Sekolah Luar Biasa.Keinginan untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif belum terlaksana, karena kendala sarana dan prasarana,
serta sulitnya menumbuhkan empati terhadap keberadaan Penyandang
Disabilitas.

Artikel terakhir berjudul “Malpraktik Pemilu di Tempat Pemungutan


Suara Pada Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Serentak Tahun
2019” oleh Awaludin, malpraktik Pemilu dapat dilakukan oleh siapa saja. Baik
itu dilakukan oleh peserta pemilu, pemilih, penyelenggara pemilu, pejabat
pemerintah, partai politik atau media. Sementara tindakan aktornya bisa
dilakukan dengan sengaja namun bisa juga karena kelalaian atau
kecorobohan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab terkait Pemilu.
Fokus dari penelitian ini adalah tindakan malapraktik yang dilakukan oleh
penyelenggara Pemilu atau petugas KPPS. Asas Pemilu dan prinsip Pemilu
berintegritas adalah menjadi tuntutan dan implementasinya paling banyak
dijumpai dalam proses menyelenggarakan tahapan pemungutan dan
penghitungan suara suara di TPS. Sehingga proses pemungutan dan
penghitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratis dan prinsip pemilu
berintegritas menjadi salah satu dari sekian parameter pemilu demokratis.
Temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa penyelenggaraan pemilu
serentak berkontribusi terhadap meningkatnya kuantitas malapraktik pemilu
pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Pemilu serentak
2019 dengan memilih 5 jabatan politik sekaligus, menjadikan beban kerja
KPPS meningkat. Sementara peningkatan beban kerja KPPS tidak disertai
dengan penambahan jumlah KPPS. Penerapan asas pemilu dan pemilu
berintegritas paling banyak dilaksanakan pada proses pemungutan dan
penghitungan suara di TPS. Asas pemilu demokratis tersebut adalah asas
langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil serta periodik. Sedangkan
prinsip pemilu berintegritas adalah penyelengaraan pemungutan dan
penghitungan suara yang transparan, akuntabel, akurat, dan jujur.
Penerapan asas pemilu dan pemilu berintegritas dalam proses pemungutan
dan penghitungan suara, tidak hanya menjadikan penyelenggaraan pemilu
menjadi demokratis, tapi juga untuk melindungi suara raykat sesuai dengan
kehendak aslinya (genuine).
Akhir kata redaksi berharap semoga kehadiran Electoral Governance
Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia dapat memperkaya khasanah
pengetahuan dan wawasan pembaca di bidang kepemiluan Indonesia serta
bermanfaat dalam upaya membangun tata kelola pemilu yang lebih baik di
masa mendatang.

Redaksi Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia


Kata Kunci dan Abstrak
RE-DESAIN PENJAMINAN HAK PILIH UNTUK PASIEN RUMAH
SAKIT SEBAGAI UPAYA MENCAPAI PEMILU YANG INKLUSIF

Diwangkara Nafi Al Mufti

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui upaya penjaminan hak pilih pasien rumah
sakit dalam pemilu. Peneliti memiliki beberapa alasan yang menjadikan
permasalahan ini menarik untuk diteliti, pertama, problem empiris dimana tidak ada
kesesuaian antara fakta dengan hal yang diidealkan, yaitu hak pilih yang masih
diabaikan meskipun dipandang sebagai pilar demokrasi. Kedua adalah problem
formal yaitu tidak ada regulasi yang secara jelas mengatur penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit. Penelitian ini menggunakan landasan teori mengenai
inklusivitas dalam demokrasi dan konsep prosedur administrasi pemilu yang
inklusif. Kemudian untuk menganalisa permasalahan, penelitian ini diperkuat
dengan konsep-konsep pemilu dalam kondisi darurat. Dengan mengambil studi
kasus penjaminan hak pilih pasien rumah sakit pada Pilkada Kota Yogyakarta tahun
2017. Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan. Pemasalahan itu
diantaranya adalah akses pemilu untuk pasien rumah sakit sangat terbatas. Seperti,
tidak ada TPS khusus, prosedur pemilih khusus yang ketat, fasilitas tambahan
pemilih rumah sakit yang minim. Penelitian ini merekomendasikan kepada
stakeholder terkait, bahwa untuk penjaminan hak pilih pasien rumah sakit,
diperlukan sebuah aturan khusus yang lebih flexibel menjamin hak pilih pasien
rumah sakit.
Kata Kunci; Hak Pilih, Pasien Rumah Sakit, Regulasi Khusus, Pemilu
Inklusif
This research focuses on the efforts to ensure citizen’s right to vote, particularly for
hospital patients that their right to vote have not been met. There are some reasons that
causes these problems are interested to be studied. First, empirical problem of irony
between right to vote as democratic pillar and citizens whose right to vote is not fulfilled.
Second, there is formal problem of no regulation that clearly regulate securing right to
vote for hospital patient. Therefore, author considered this study is important to do. This
research used inclusive principle in democratic system and inclusive election
administrative procedure concept. This research also used concept of election in disaster
emergency condition. By taking case study of securing right to vote for hospital patient
in Yogyakarta city election in 2017, the research found some problems. The problems
were limited access to the polling station, strict procedure for special voter, minimal
additional facility for inpatient voter. This research recommend that related
stakeholders should make special regulation to secure right to vote for hospital patient.
This regulation should cover flexibility of patient to be special voter.
Keywords: Voting Right, Patients, Special Vote, Inclusive
Kata Kunci dan Abstrak
PERMASALAHAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN BUPATI DAN
WAKIL BUPATI SAMPANG TAHUN 2018 DALAM PERSPEKTIF INTEGRITAS
PEMILU

Dina Lestari
Pemutakhiran data pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Sampang Tahun 2018 menyisakan permasalahan yang menyebabkan Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan putusan pemungutan suara ulang pada sidang Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh salah satu pasangan calon.
Mahkamah menilai bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan KPU
Kabupaten Sampang invalid dan tidak logis, apabila dibandingkan dengan Data
Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) yang diterima KPU semester I tahun
2017 berjumlah 844.872, sedangkan DPT sebanyak 803.499, berarti jumlah pemilih
tetap sebanyak 95% dari jumlah penduduk. Metode penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan KPU Kabupaten
Sampang, Panitia Pemilihan Kecamatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Sampang. Hasil penelitian menunjukkan problema pemutakhiran data
pemilih di Kabupaten Sampang terjadi karena: 1) tidak sinkronnya peraturan yang
mengatur sumber data pemilih, 2) Patugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) tidak
profesional dalam pelaksanaan tugasnya karena mendapatkan tekanan atau
pengaruh elit lokal, 3) kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengecek data
pemilih, 4) petugas pemutakhiran masih belum memahami perpindahan basis data
pemilih dari de facto menjadi de jure yang menyebabkan munculnya data ganda antar
TPS, Desa, maupun Kecamatan, 5) kurangnya supervisi dan monitoring dalam proses
pemutakhiran data pemilih karena ketidakakuratan data pemilih namun ditetapkan
hingga DPT. Implikasinya adalah rendahnya integritas pemilu.
Kata Kunci: pendaftaran pemilih, pemutakhiran data pemilih, integritas pemilu
Updating voter data in the 2018 Sampang Regency Election leaves a problem that
caused the Constitutional Court decision ordering the General Election Commission
(KPU) to conduct a re-voting at all polling stations in Sampang. The Court considered
that the Permanent Voter List (DPT) determined by the Sampang Regency KPU was
invalid and illogical when compared to the DAK2 received by the KPU in the first
semester of 2017, amounting to 844,872 while the DPT was 803,499, this meant that
the number of permanent voters was 95% of the population.The type of research is
descriptive qualitative and data collected through in-depth interviews with the Sampang
Regency KPU, PPK and Sampang Regency Dispendukcapil. The results of the study
showed that the voter data updating problem in Sampang District was due : 1) the
problem of voter registration in Sampang are unsynchronous regulations governing the
source of voter data, 2) PPDP is not professional in carrying out their duties due to
pressure or influence from the local elite, 3) lack of community participation in checking
voter data, 4) the updating officer still does not understand the shifting of the voter
database from de facto to de jure which causes the emergence of double data between
polling stations, villages, and districts, 5) the lack of supervision and monitoring in the
voter data updatingprocess due to the inaccurate voter data.The implication is the low
integrity of elections.
Keywords: voter registration, updating voter list, electoral integrity
Kata Kunci dan Abstrak
ANALISIS BEBAN KERJA KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA
(KPPS) MENGGUNAKAN METODE FTE (FULL TIME EQUIVALENT)
PADA PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019
DI KABUPATEN BANGKA TENGAH

Ricky Febriansyah, Ana Husnayanti

Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 menjadi beban kerja yang sangat berat dan
luas bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hal ini karena KPPS
harus melayani pemilih memberikan suara sebanyak 5 (lima) surat suara. Beban
KPPS terjadi pada sebelum pemungutan dan penghitungan suara dan sesudahnya.
Beban berat KPPS menyebabkan mereka kelelahan sehingga mengganggu proses
pemungutan dan penghitungan suara, bahkan sampai ada mengalami kecelakaan
kerja seperti sakit dan meninggal dunia. Untuk itu diperlukan penghitungan beban
kerja dengan metode FTE (Full Time Equivalent). Metode FTE dengan cara membagi
hasil kerja dengan waktu realnya. Metode penelitian ini berlokasi di Tempat
Pemungutan Suara (TPS) 02 Desa Padang Baru Kecamatan Pangkalan Baru
Kabupaten Bangka Tengah, sebab KPSS mengalami kesalahan penghitungan
sehingga harus dilakukan pembukaan kotak suara pada saat pleno di tingkat PPK
(Panitia Pemilihan Kecamatan). Metode yang digunakan dengan menggunakan work
sampling pada proses penghitungan suara yang dikerjakan KPPS di TPS. Dari hasil
penghitungan FTE, beban kerja KPPS masuk dalam katergori overload, rata-rata
diatas 2. Dengan adanya data FTE ini maka sebagai rekomendasi bagi
penyelenggaraan pemilu agar tidak memberikan beban kerja yang berat bagi KPPS.
Menyederhanakan sistem pemilu dan memperhatikan dengan menyiapkan tenaga
medis agar dapat memberikan pertolongan jika ada anggota KPPS yang mengalami
kecelakaan kerja.
Kata Kunci : KPPS, Beban Kerja, Pemilihan Umum Serentak
The 2019 Simultaneous Elections became a very heavy and broad workload for the
Voter Organizer Group (KPPS). This is because KPPS must serve voters as many as 5
(five) ballots. KPPS expenses occur before and after the vote count and afterwards. The
heavy burden of KPPS causes them to be exhausted, thus interfering with the voting
and counting process, even to the point of having an occupational accident such as
illness and death. For this reason, it is necessary to calculate the workload using the
FTE (Full Time Equivalent) method. FTE method by dividing the work with real time.
This research method is located at the Polling Station (TPS) 02 Padang Baru Village,
Pangkalan Baru Subdistrict, Central Bangka Regency, because KPPS has miscalculated
so that the ballot box must be opened at the plenary level at the PPK (District Election
Committee). The method used by using work sampling in the process of counting votes
conducted by KPPS at the TPS. From the FTE calculation results, the workload of the
KPPS is included in the overload category, averaging above 2. With this FTE data as a
recommendation for organizing elections so as not to provide a heavy workload for the
KPPS. Simplify the electoral system and pay attention by preparing medical personnel
so that they can provide assistance if a KPPS member has an occupational accident.
Keywords: KPPS, Workload, Simultaneous Election
Kata Kunci dan Abstrak
EFEKTIVITAS KOTAK SUARA BERBAHAN DUPLEKS PADA PEMILIHAN
UMUM SERENTAK TAHUN 2019 DI PULAU LEGUNDI KABUPATEN
PESAWARAN

Ima Nur Imani

Agar terciptanya pemilu yang berkualitas dan berintegritas diperlukannya faktor-


faktor pendukung perlengkapan pemungutan suara di antaranya yakni kotak suara.
Kotak suara pada Pemilu Serentak Tahun 2019 berbahan dupleks ini diragukan
kualitasnya oleh sejumlah kalangan, lantaran dianggap tidak kokoh sehingga
menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kecurangan. Di dalam penelitian ini
penulis ingin melihat apakah penggunaan kotak suara berbahan dupleks di
Kepulauan Legundi Kabupaten Pesawaran pada Pemilu Serentak Tahun 2019
berjalan secara effektif. Mengingat pulau Legundi merupakan daerah kepulauan yang
memerlukan kehati-hatian dalam pendistribusian logistik terutama kotak suara yang
berbahan dupleks. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif
dengan menelaah berbagai sumber data yang diperoleh mengenai penggunaan kotak
suara berbahan dupleks pada Pemilihan Umum Serentak 2019. Hasil dari penelitian
penulis menyimpulkan bahwa penggunaan kotak suara dupleks di Pulau Legundi
berjalan secara effektif dengan tercapainya aspek-aspek Efektivitas yakni tugas dan
fungsi, rencana dan program, ketentuan dan peraturan, serta tujuan dan kondisi
ideal.
Kata Kunci : Efektivitas, Kotak Suara, Pemilu Serentak
In order to create a better quality and a more integrity election, a various factor are
needed to be prepared such as the support on voting equipment including the ballot box.
The quality especially the strength of the ballot box in 2019 simultaneous are made
from duplexes is doubted by a number of people, because it is considered not sturdy
so that it raises fears of potential of the fraud. In this study, the author would like to
see whether the use of ballot boxes made from duplex in the Legundi Islands Pesawaran
District in the 2019 Election runs effectively. Legundi Island is an archipelago that
requires more attention on the process of logistics distribution. This research uses
descriptive qualitative analysis method. This research uses a descriptive qualitative
analysis method by examining various data sources obtained regarding the use of
duplex ballot boxes in the General Election. he results of the author's study conclude
that the use of duplex ballot boxes on Legundi Island runs effectively with the
achievement of aspects of effectiveness namely tasks and functions, plans and
programs, rules and regulations, as well as goals and ideal conditions.
Keywords: Effectiveness, Ballot Box, Simoultaneous Elections
Kata Kunci dan Abstrak
LITERASI PEMILIH PENYANDANG DISABILITAS: IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA DI KABUPATEN SLEMAN

Viera Mayasari Sri Rengganis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi literasi pemilih Penyandang


Disabilitas, hambatan yang terjadi, serta merekomendasikan desain kebijakan untuk
membangun literasi pemilih Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman. Metode
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif. Fokus
penelitian ini adalah program-program sosialisasi dan pendidikan pemilih yang telah
dilakukan oleh KPU Kabupaten Sleman, serta program Pemerintah Kabupaten
Sleman dalam rangka membentuk literasi pemilih Penyandang Disabilitas. Peneliti
melakukan wawancara dengan Komisioner KPU Kabupaten Sleman dan perwakilan
organisasi Penyandang Disabilitas. Selain itu dilakukan observasi terhadap kegiatan
Perencanaan dan Proses Pembangunan Desa yang melibatkan komunitas
Penyandang Disabilitas. Kesimpulannya berupa 4 (empat) hal, yaitu: (1) Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman belum memiliki literasi politik yang memadai; (2)
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman masih terbatas pada tahap literasi
pemilih; (3) Hambatan dalam pembentukan literasi pemilih disebabkan adanya
diskriminasi dari keluarga, masyarakat dan pemerintah; (4) Proses pembentukan
literasi pemilih diperoleh dari sosialisasi dan pendidikan pemilih yang dilakukan KPU
Kabupaten Sleman. Rekomendasi yang bisa ditawarkan adalah: (1) Menciptakan
regulasi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang tidak terbatas pada pemilihan
umum; (2) Melakukan pendidikan politik dengan melibatkan keluarga Penyandang
Disabilitas; (3) Mengoptimalkan konsep sosialisasi dan pendidikan pemilih
Penyandang Disabilitas sebagai agen yang aktif; (4) Mengoptimalkan peranan
SIPARMAS (Sistem Informasi Partisipasi Masyarakat).
Kata Kunci: literasi politik, literasi pemilih, sosialisasi, pendidikan pemilih,
Penyandang Disabilitas.
This study aims to determine the condition and create a policy to build the voter literacy
of persons with disabilities in Sleman Regency. The method used is a qualitative
approach, with descriptive methods. The focus is the voter education and socialization
programs by the General Electoral Commission of Sleman Regency, and the Sleman
Regency Government program. Researchers conducted interviews with the
Commissioner of the General Electoral Commission of Sleman Regency and
representatives of organizations of people with disabilities. Observations also made on
the Village Development Planning and Process (Musrenbang). The conclusion are: (1)
Persons with disabilities in Sleman Regency do not yet have political literacy; (2)
Persons with disabilities in Sleman Regency only have voter literacy; (3) The problems
of voter literacy are caused by discrimination from family, community and government;
(4) The process of forming voter literacy is obtained from voter education and
socialization by the General Electoral Commission of Sleman Regency.
Recommendations are: (1) Creating regulations on voter education and socialization that
are not limited to elections; (2) Conducting political education by involving families of
people with disabilities; (3) Optimizing people with disabilities as active agents; (4)
Optimizing the role of SIPARMAS (Information Systems for Community Participation).
Keywords: political literacy, voter literacy, socialization, voters education, people with
disability.
Kata Kunci dan Abstrak
MALPRAKTIK PEMILU DI TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA
PADA PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA
PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Awaluddin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk malapraktik Pemilu yang terjadi
pada proses pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara
(TPS) dalam penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 di Kabupaten Buton.
Selain itu, studi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa yang
mempengaruhi terjadinya Malapraktik Pemilu di Kabupaten Buton, fokus pada
proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah description research. Hasil penelitian menunjukkan adanya
malapraktik pemilu pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS
berupa ghost voters, double voting, penulisan fomulir C1 yang tidak akurat,
manipulasi perolehan suara peserta Pemilu, kekurangan logistik, data pemilih yang
tidak akurat, pemungutan suara yang tidak memberikan kenyamanan bagi semua
kelompok pemilih serta pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dalam
taraf tertentu tidak transparan dan tidak akurat. Sementara faktor yang
mempengaruhi terjadinya malapraktik berupa beban kerja yang berat, minimnya
kompetensi petugas KPPS, regulasi yang berubah-ubah dan tidak berkepastian
hukum, saksi peserta Pemilu kurang memahami tugas dan perannya di TPS, dan
jumlah logistik yang banyak.
Kata Kunci: Pemilu, Malapraktik, Pemungutan dan Penghitungan Suara
This study aims to determine the forms of Election malpractice that occur in the process
of voting and counting at polling stations (TPS) in the implementation of simultaneous
elections in 2019 in Buton District. Other than that, this study also aims to identify what
factors influence the occurrence of Election Malappractice in Buton District, focus on the
process of voting and counting at polling stations. The method used in this study is
description research. The results of the study showed that there were malpractices in
the election in the process of voting and counting at polling stations in the form of ghost
voters, double voting, writing inaccurate C1 form, manipulation of vote acquisition of
Election participants, lack of logistics, inaccurate voter data, voting that does not provide
comfort for all groups of voters and the implementation of voting and counting in a
certain degree it is not transparent and inaccurate. While the factors that influence the
occurrence of malpractice are in the form of heavy workload, lack of competency of KPPS
officers, changing regulations and no legal certainty, witnesses to the Election
participants did not understand their duties and roles at the polling station, and a large
amount of logistics.
Keywords: Elections, Malpractice, Voting and Vote counting
DAFTAR ISI

RE-DESAIN PENJAMINAN HAK PILIH UNTUK …………………. 1


PASIEN RUMAH SAKIT SEBAGAI UPAYA
MENCAPAI PEMILU YANG INKLUSIF
(Diwangkara Nafi Al Mufti)

PERMASALAHAN DAFTAR PEMILIH TETAP …………………. 23


PADA PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL
BUPATI SAMPANG TAHUN 2018 DALAM
PERSPEKTIF INTEGRITAS PEMILU
(Dina Lestari)

ANALISIS BEBAN KERJA KELOMPOK …………………. 42


PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA
(KPPS) MENGGUNAKAN METODE FTE (FULL
TIME EQUIVALENT) PADA PEMILIHAN
UMUM SERENTAK TAHUN 2019 DI
KABUPATEN BANGKA TENGAH
(Ricky Febriansyah, Ana Husnayanti)

EFEKTIVITAS KOTAK SUARA BERBAHAN ………………….. 61


DUPLEKS PADA PEMILIHAN UMUM
SERENTAK TAHUN 2019 DI PULAU LEGUNDI
KABUPATEN PESAWARAN (Ima Nur Imani)

LITERASI PEMILIH PENYANDANG ………………….. 82


DISABILITAS: IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA DI
KABUPATEN SLEMAN (Viera Mayasari Sri
Rengganis)

MALPRAKTIK PEMILU DI TEMPAT …………………... 104


PEMUNGUTAN SUARA PADA PEMUNGUTAN
DAN PENGHITUNGAN SUARA PEMILU
SERENTAK TAHUN 2019 (Awaluddin)
RE-DESAIN PENJAMINAN HAK PILIH UNTUK PASIEN RUMAH
SAKIT SEBAGAI UPAYA MENCAPAI PEMILU YANG INKLUSIF

Diwangkara Nafi Al Mufti


Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bantul, Jawa Tengah
E-mail: diwangdian@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui upaya penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit dalam pemilu. Peneliti memiliki beberapa alasan yang
menjadikan permasalahan ini menarik untuk diteliti, pertama, problem empiris
dimana tidak ada kesesuaian antara fakta dengan hal yang diidealkan, yaitu hak
pilih yang masih diabaikan meskipun dipandang sebagai pilar demokrasi. Kedua
adalah problem formal yaitu tidak ada regulasi yang secara jelas mengatur
penjaminan hak pilih pasien rumah sakit. Penelitian ini menggunakan landasan
teori mengenai inklusivitas dalam demokrasi dan konsep prosedur administrasi
pemilu yang inklusif. Kemudian untuk menganalisa permasalahan, penelitian ini
diperkuat dengan konsep-konsep pemilu dalam kondisi darurat. Dengan
mengambil studi kasus penjaminan hak pilih pasien rumah sakit pada Pilkada
Kota Yogyakarta tahun 2017. Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan.
Pemasalahan itu diantaranya adalah akses pemilu untuk pasien rumah sakit
sangat terbatas. Seperti, tidak ada TPS khusus, prosedur pemilih khusus yang
ketat, fasilitas tambahan pemilih rumah sakit yang minim. Penelitian ini
merekomendasikan kepada stakeholder terkait, bahwa untuk penjaminan hak
pilih pasien rumah sakit, diperlukan sebuah aturan khusus yang lebih flexibel
menjamin hak pilih pasien rumah sakit.
Kata Kunci; Hak Pilih, Pasien Rumah Sakit, Regulasi Khusus, Pemilu
Inklusif

RE-DESIGN GUARANTEE OF RIGHTS SELECT FOR HOSPITAL


PATIENTS AS AN EFFORT TO ACHIEVE AN INCLUSIVE ELECTION
ABSTRACT
This research focuses on the efforts to ensure citizen’s right to vote, particularly for
hospital patients that their right to vote have not been met. There are some reasons
that causes these problems are interested to be studied. First, empirical problem of
irony between right to vote as democratic pillar and citizens whose right to vote is
not fulfilled. Second, there is formal problem of no regulation that clearly regulate
securing right to vote for hospital patient. Therefore, author considered this study is
important to do. This research used inclusive principle in democratic system and
inclusive election administrative procedure concept. This research also used concept
of election in disaster emergency condition. By taking case study of securing right to
vote for hospital patient in Yogyakarta city election in 2017, the research found some
problems. The problems were limited access to the polling station, strict procedure
for special voter, minimal additional facility for inpatient voter. This research
recommend that related stakeholders should make special regulation to secure right
to vote for hospital patient. This regulation should cover flexibility of patient to be
special voter.
Keywords: Voting Right, Patients, Special Vote, Inclusive

1
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

PENDAHULUAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji penyelenggaraan pemilu
berdasarkan prinsip-prinsip pemilu yang inklusif dan aksesibel. Tujuannya
agar semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah mempunyai hak pilih
dalam pemilu dapat terpenuhi haknya dan mendapatkan pelayanan yang
sama. Di tengah banyaknya studi atau tulisan yang mengkaji tentang
upaya pemenuhan hak pilih warga negara, fokus penelitian ini tertuju pada
pelayanan hak pilih bagi pasien rumah sakit (RS). Penelitian ini juga
berusaha untuk menggambarkan pelaksanaan pelayanan hak pilih bagi
orang yang sakit dan kemudian mengevaluasinya. Pada pelaksanaannya
tentu terdapat berbagai kendala, sehingga akan dibahas mengapa kendala
itu bisa terjadi serta apa rekomendasinya.
Ada beberapa alasan mengapa upaya penjaminan hak pilih pasien
rumah sakit ini layak untuk dijadikan sebuah penelitian. Pertama, problem
empiris yaitu ironi antara hak pilih sebagai pilar demokrasi namun masih
saja terdapat warga yang tidak terpenuhi hak pilihnya. Faktanya dalam
beberapa kali perhelatan pemilu, masalah penjaminan hak pilih pasien
seringkali berulang. Tentu saja dalam demokrasi hal itu tidak boleh terjadi.
Dengan mengambil contoh studi kasus Pemilihan Kota Yogyakarta
Tahun 2017 misalnya, selisih diantara peserta adalah 1.183 suara dari
total surat suara yang sah sebesar 199.475 suara, maka isu mengenai
kehilangan hak pilih seharusnya menjadi sangat menarik dalam konteks
elektoral. Sebab dalam sistem demokrasi kita mengenal prinsip OPOVOV
(One Person One Vote One Value) yaitu sebuah prinsip representasi di mana
tiap-tiap perwakilan yang terpilih mewakili jumlah pemilih yang sama
(Reynolds, et al, 2005: 200). Artinya satu suara pemilih bisa jadi sangat
menentukan hasil akhir dari kontestasi elektoral.
Disaat yang sama seperti yang diberitakan oleh media massa, masih
ada rumah sakit di kota Yogyakarta tidak diberikan penjaminan hak pilih.
Sebagai contoh, RSUD Kota Yogyakarta pada pemilihan Wali Kota
Yogyakarta Tahun 2017 tidak mendapatkan pelayanan hak pilih untuk
pasiennya (Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 2017). Namun, di tengah
adanya berita tidak diberikannya pelayanan hak pilih pasien di rumah
sakit, penyelenggara pemilu atau bahkan pengawas pemilu sendiri tidak
bisa memastikan sebenarnya berapa jumlah pasien di rumah sakit yang
bisa menggunakan hak pilihnya secara pasti. Padahal potensi pemilih
pasien sendiri sebenarnya cukup besar dan disayangkan apabila tidak
dilayani dengan baik. Dengan mengacu pada data jumlah tempat tidur di
masing-masing rumah sakit dan rerata tempat tidur yang terisi dalam
rumah sakit per satu hari yang diukur melalui Bed Occupancy Rate (BOR)
didapatkan angka sebanyak 1.071 pasien pemilih. Bahkan jika
digabungkan dengan potensi pemilih lain yaitu penunggu pasien dengan
asumsi 1 pasien 1 penunggu maka total menjadi 2.142 pemilih. Dengan
potensi pemilih yang cukup banyak, seharusnya penjaminan hak pilih
pasien di rumah sakit harus diperhatikan.

2
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Table 1.
Perkiraan Potensi Pemilih RS di Kota Yogyakarta
No Rumah Jumlah BOR Potensi Potensi Total
Sakit Tempat % Pemilih Pemilih Potensi
Tidur pasien sakit Penunggu Pemilih
Pasien
1 RS. 445 64, 288 288 576
Bethesda 75 %
2 RS 50 35, 18 18 36
Bethesda 37 %
Lempuyang
wangi
3 RS DKT 72 18, 13 13 26
Soetarto 02 %
4 RS 39 28 11 11 22
Happyland %
5 RSI 92 71, 66 66 132
Hidayatulla 63 %
h
6 RSUD 200 53, 107 107 214
Yogyakarta 34 %
7 RS 50 30, 15 15 30
Ludirahusa 10 %
da
8 RS Panti 378 79, 300 300 600
Rapih 35 %
9 RS Mata Dr. 38 48, 18 18 36
Yap 02 %
10 RS PKU 205 67, 139 139 278
Muh. 80 %
11 RSB 24 37, 9 9 18
Soedirman 5%
12 RS Bersalin 26 7,4 2 2 4
Fajar 7%
13 RS KIA 25 47, 12 12 24
Rachmi 33 %
14 RS KIA PKU 44 54 24 24 48
%
15 RS KIA P. 25 6,6 2 2 4
Bunda 5%
16 RS KIA 30 49, 15 15 30
Anak 45 55 %
17 RS Puri 37 74 27 27 54
Nirmala %
18 RS Pratama 48 11, 5 5 10
24 %
Jumlah 1.828 1.071 1.071 2.142
Sumber data bed dan BOR: Diolah oleh penulis dari website Kementrian
Kesehatan http://sirs.yankes.kemkes.go.id
3
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Kedua adalah problem formal dimana tidak regulasi yang secara


gamblang mengatur penjaminan hak pilih pasien rumah sakit. Beberapa
aturan memang mencantumkan bahwa pasien diberikan jaminan hak
pilihnya, namun secara teknis kemudian regulasi tidak mengatur secara
eksplisit bagaimana penjaminan itu dilakukan. Regulasi yang ada hanya
mengatur penjaminan hak pilih warga negara diatur secara umum. Tidak
ada regulasi khusus ataupun regulasi yang mengatur penjaminan hak pilih
itu dilakukan ketika dalam kondisi darurat. UU ataupun peraturan KPU
yang ada tidak menjamin kemudahan bagi pemilih yang memiliki
kebutuhan khusus untuk memberikan suaranya, seperti TPS Khusus, dan
TPS Mobile. Juga tidak ada jaminan kemudahan bagi pemilih yang
berhalangan hadir di TPS pada hari pemungutan suara, seperti
memberikan suara beberapa hari sebelum hari pemungutan suara
(absentee voting) atau mengirimkan surat suara yang sudah diberi tanda
pilihan melalui pos (Surbakti, et al, 2011: 11). Pada akhirnya pasien rumah
sakit harus menyalurkan hak pilihnya melalui TPS yang disediakan oleh
KPU. Dari hal diatas, penulis beranggapan bahwa terdapat kekosongan
peraturan yang benar-benar diperuntukkan khusus untuk penjaminan
hak pilih pasien di rumah sakit. Dari peraturan-peraturan yang ada,
seakan-akan pasien rumah sakit disamaratakan dengan pemilih lain dalam
kondisi “normal”.
Alasan yang ketiga, problem pengetahuan dimana kajian yang
membahas secara spesifik tentang penjaminan hak pilih warga yang sakit
masih minim. Dari penelusuran peneliti yang ditemui, riset penjaminan
hak pilih dilakukan lebih banyak memfokuskan pada objek yang bersifat
mapan dan predictable. Keadaan “mapan” yang dimaksud disini dalam
artian pemilih dikerangkai dalam kondisi yang general atau sudah
berlangsung lama sehingga berdampak pada penanganan yang bersifat
general dan bisa disiapkan lebih dini. Walaupun sebenarnya beberapa
kajian sudah mendefinisikan beberapa kondisi warga yang “khas” kedalam
pemilih berkebutuhan khusus seperti yang dilakukan Prince (Prince, 2007:
11).
Lebih mendalam kajian mengenai pemilih berkebutuhan khusus
juga dilakukan oleh Ramlan Surbakti dan kawan-kawan (Surbakti et al,
2011: 26). Pada pokoknya Surbakti memandang perlunya pengaturan
khusus bagi pemilih berkebutuhan khusus seperti pasien rumah sakit,
agar bisa menyalurkan hak pilihnya. Surbakti dkk merekomendasikan
pendirian TPS khusus dan membuat alternative vote seperti absentee voting
dan mail voting untuk menjamin hak pilih warga yang tidak bisa datang ke
tempat pemungutan suara pada hari pelaksanaan. Menyambung
rekomendasi Surbakti dkk yang merekomedasikan adanya alternative vote
dalam proses pemungutan suara. Ada banyak kajian yang mengambil isu
ini. Salah satunya kajian yang dilakukan oleh Fortier (Fortier, 2006:105).
Kajian ini memperdebatkan antara aksesibilitas dengan integritas
penggunaan fasilitas alternative vote ini. Di satu sisi fasilitas ini
menjadikan pemilih lebih akses namun di sisi lain muncul kekhawatiran
4
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

bahwa penggunaan fasilitas ini dapat mengancam integritas pemilu melalui


kecurangan dan pemaksaan. Bagaimanapun, Fortier masih menyimpulkan
bahwa alternative vote sangat diperlukan dalam pelaksanaan pemilu,
namun tentunya harus ada perbaikan dalam perihal keamanan.
Kajian yang mempunyai objek yang hampir sama dilakukan oleh
Kartikasari (Kartikasari, 2017). Dengan mengambil studi kasus mengenai
proses pemungutan suara bagi pasien rumah sakit di Surabaya,
Kartikasari fokus pada upaya menciptakan proses pemungutan suara yang
lebih inklusif bagi pasien rumah sakit. Sedikit berbeda dengan yang
dilakukan oleh Kartikasari, peneliti mengupayakan desain penjaminan hak
pilih pasien rumah sakit secara menyeluruh, mulai dari pendaftaran
hingga proses akhir pemungutan suara.
Sementara itu kajian-kajian yang menyangkut hak pilih kelompok
rentan dan khusus seperti Surbakti dkk, secara umum sudah
menjabarkan faktor-faktor penghambat dan rekomendasi untuk perbaikan
penjaminan hak pilih kelompok rentan dan khusus. Kajian ini
berkontribusi terhadap bangunan desain penjaminan hak pilih pasien
rumah sakit yang akan ditawarkan peneliti. Pada dasarnya kajian yang
dilakukan Surbakti dkk tidak berbeda jauh dengan penelitian ini. Peneliti
justru ingin memperdalam lagi apa yang telah dikaji oleh Surbakti dkk
dengan memfokuskan pada satu kelompok pemilih saja yaitu pasien rumah
sakit. Dengan mengambil studi kasus penjaminan hak pilih pasien rumah
sakit di Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota di Kota Yogyakarta tahun
2017. Harapannya dengan menambahkan data update riset di lapangan,
maka desain penjaminan hak pilih pasien akan semakin baik.
Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kartikasari, peneliti
mengupayakan desain penjaminan hak pilih pasien rumah sakit secara
menyeluruh, mulai dari pendaftaran hingga proses akhir tahapan
pemungutan suara. Berbeda dengan kajian Kartikasari yang memberikan
rekomendasi secara parsial dan temporal, studi yang dilakukan penulis
akan membangun desain penjaminan hak pilih secara utuh, artinya dapat
digunakan dengan jangka waktu pendek dan panjang serta mencari model
yang benar-benar berfungsi tepat. Logika yang digunakan Kartikasari
sebenarnya sama dengan yang dijalankan oleh peneliti. Perlunya menata
ulang regulasi yang benar-benar memudahkan penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit. Lebih lanjut, Kartikasari lebih mengedepankan
perbaikan sistem yang ada. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan peneliti.
Peneliti berpandangan bahwa model penjaminan hak pilih pasien ini harus
benar-benar mampu memberikan akses kemudahan, jika perlu
mengadopsi model yang digunakan negara-negara lain
Berdasarkan hal-hal diatas, menurut peneliti menjadi penting bahwa
desain penjaminan hak pilih pasien ini dapat ditata ulang agar pemilu
dapat berjalan secara inklusif. Sehingga kajian ini akan berkontribusi pada
upaya penjaminan hak pilih pasien rumah sakit, utamanya dengan
menempatkan warga yang sakit sebagai pemilih yang berkebutuhan
khusus dan mempunyai mekanisme penjaminan hak pilih yang fleksibel.
5
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penelitian ini berupaya
untuk menganalisa lebih lanjut tentang penjaminan hak pilih untuk orang
yang sakit di Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota di Kota Yogyakarta
tahun 2017 sebagai upaya untuk re-desain penjaminan hak pilih yang lebih
aksesibel. Kemudian berangkat dari hal tersebut maka rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengapa pelayanan hak pilih bagi pasien rumah sakit belum terpenuhi?
2. Apa saja permasalahan dalam penyelenggaraan penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit?
3. Bagaimana desain penjaminan hak pilih pasien rumah sakit agar dapat
terjamin hak pilihnya?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
penelitian studi kasus pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota di
Kota Yogyakarta Tahun 2017. Namun, sebagaimana diketahui tujuan
penelitian ini untuk mendapatkan desain penjaminan hak pilih pasien
rumah sakit yang inklusif, maka penelitian ini juga tidak lepas dari
pengalaman penjaminan hak pilih pasien rumah sakit di masa pemilu-
pemilu sebelumnya baik itu melalui studi regulasi maupun data yang lain.
Pengambilan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan
prinsip purposive sampel dimana lokasi yang diambil disesuaikan dengan
kebutuhan yang ada. Lokasi yang dipilih adalah Kota Yogyakarta.
Kemudian data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan
dari data primer dan sekunder yang akan diuraikan dalam table dibawah;
Tabel 2.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis Teknik Bentuk Data Sumber Data
Data Pengumpulan
(Kualitatif) Data
Primer Observasi Gambaran Peneliti
Langsung penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit
pada Pemilihan Wali
Kota dan Wakil Wali
Kota di Kota Yogyakarta
Tahun 2017 yang
dirasakan langsung oleh
peneliti. Penelitian
dilakukan di RS.
Pratama
Wawancara Gambaran mengenai 1. KPU RI
kebijakan dan regulasi 2. KPU Kota
Yogyakarta
6
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

penjaminan hak pilih 3. LSM


pasien rumah sakit (Perludem)
Gambaran 1. KPU Kota
penjaminan hak pilih Yogyakarta
pasien rumah sakit 2. Panwaslu
pada Pemilihan Wali Kota
Kota dan Wakil Wali Yogyakarta
Kota di Kota Yogyakarta 3. PPK dan PPS
Tahun 2017 yang
• Proses koordinasi mengampu
antar instansi dalam rumah sakit
upaya melayani hak yang diteliti
pilih pasien rumah 4. Humas
sakit. Rumah Sakit
• Proses pendaftaran Panti Rapih
pemilih pasien rumah dan RSUD
sakit yang akan Yogyakarta
menggunakan hak
pilihnya di rumah
sakit.
• Proses pemungutan
suara yang melayani
pasien rumah sakit.

Sekunder Studi Undang-undang JDIH KPU,


Dokumen pemilu dan PKPU, Berita Media Cetak
penjaminan hak pilih dan Online
pasien RS

Kerangka Teori
Pemilu Inklusif
Berbicara mengenai demokrasi tidak bisa lepas dari hak pilih. Syarat
untuk menciptakan sistem yang demokratis diantaranya adalah
kesetaraan dalam memilih dan inklusif (Dahl, 1982: 6). Lebih lanjut Dahl
menjelaskan bahwa inklusif berarti seluruh warga yang telah dewasa
diberikan hak memilih. Pentingnya prinsip inklusif dalam demokrasi juga
diungkapkan oleh Birch (Birch 2011: 17–21). Birch memasukkan inklusif
ke dalam salah satu dari 3 prinsip untuk mewujudkan demokrasi. Inklusif
dalam demokrasi menurut Birch mempunyai dua elemen penting yaitu
semua orang berhak untuk dipilih dan memilih tanpa hambatan apapun.
Selanjutnya Birch mengemukakan bahwa untuk dapat mewujudkan hal
tersebut pemilu yang demokratis harus menjamin setidaknya tiga hal
yaitu; hak pilih, kesempatan untuk memilih, dan hak untuk dipilih.
Menariknya dari tiga hal tersebut Birch menjelaskan bahwa pentingnya
sebuah administrasi pemilu sebagai suatu hal yang menjadi kunci untuk
menjamin hak pilih dan dipilih.
7
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Inklusif dan administrasi pemilu kemudian menjadi kata kunci


dalam kajian yang dilakukan penulis. Gambaran keterkaitan antara dua
aspek ini bisa dilihat dari beberapa kajian mengenai pemenuhan hak pilih
kelompok warga yang rentan, semisal pemenuhan hak pilih tahanan di
Afrika Selatan yang terabaikan karena masalah konstitusi dan
administrasi yang rumit (Abebe, 2013: 438). Sedikit berbeda memang
dengan kondisi penjaminan hak pilih pasien yang ada selama ini. Pada
dasarnya hak pilih pasien diakui di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,
hanya saja pada prakteknya sering terkendala dengan administrasi pemilu,
sehingga tidak jarang pasien rumah sakit dipaksa menjadi golput by system.
Kegagalan penjaminan hak pilih pasien rumah sakit akibat
pembatasan administrasi dalam pemilu seharusnya tidak boleh terjadi.
Apabila ada pembatasan kemudian harus dilihat apakah hal tersebut
dibenarkan oleh keadaan yang luar biasa dan atas norma-norma yang telah
diakui (IDEA, 2002). Padahal pasien rumah sakit bukanlah orang yang
diperbolehkan dihilangkan hak pilihnya sehingga seharusnya tidak ada lagi
peristiwa pasien rumah sakit kehilangan hak pilihnya.
Pemilih Dengan Kebutuhan Khusus
Secara gamblang memang sangat jarang studi kepemiluan yang
memfokuskan pada upaya penjaminan hak pilih bagi orang yang sakit.
Namun beberapa kajian yang mendekati penjaminan hak pilih untuk
pasien rumah sakit yaitu mengenai kajian pemilih berkebutuhan khusus
sudah marak dilakukan.
Salah satu studi yang sudah dilakukan diantaranya oleh Prince
(Prince, 2007: 11) adalah membahas partisipasi pemilih yang
berkebutuhan khusus. Dalam konsep pemilih berkebutuhan khusus ini,
kemudian Prince membagi lagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu;
penyandang disabilitas, orang dengan tingkat literasi rendah, dan
tunawisma. Tujuan dari studi ini adalah menetapkan prosedur voting yang
mudah diakses dan inklusif.
Studi lain yang yang dilakukan oleh Smith dan Sabatino (Smith and
Sabatino, 2004: 666) menyoroti tentang upaya penjaminan hak pilih yang
berkebutuhan khusus juga menyentuh pada warga yang sudah lanjut usia
yang tinggal di panti jompo atau warga penyandang disabilitas yang berada
dalam perawatan. Warga-warga tersebut masih sering diabaikan hak
pilihnya. Berangkat dari hal tersebut, ada beberapa rekomendasi yang
perlu dilakukan untuk menjamin hak pilih orang-orang tersebut, yaitu
tanggung jawab penyelenggara di tingkat lokal dan persyaratan memilih
yang lebih dipermudah serta flexibel.
Pendapat yang lebih terang mengenai hak pilih pasien rumah sakit
dikemukakan oleh Ramlan Surbakti. Dalam tulisannya di opini Kompas
(12/01/2018), menurut Ramlan untuk mewujudkan Pemilu yang lebih
inklusif tersebut Ramlan menawarkan dua macam pengaturan yang dapat
mendorong pemilih datang ke TPS. Pertama, pengaturan pemungutan
suara yang nyaman dan aman (adequate polling arrangement) bagi pemilih.
Pengaturan ini termasuk meliputi jarak antara tempat tinggal pemilih dan
TPS yang tidak jauh. Kedua, pengaturan pemungutan suara yang
8
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

memungkinkan semua pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus


dapat menggunakan hak pilihnya (equitable polling arrangement). Ramlan
membagi pemilih berkebutuhan khusus dalam enam kategori. Dua dari
enam kategori pemilih khusus tersebut erat kaitannya dengan penjaminan
hak pilih di rumah sakit. Diantaranya adalah pasien rumah sakit yang
tidak mampu datang ke TPS dan Dokter serta karyawan rumah sakit yang
tentu tidak dapat meninggalkan tugasnya (Surbakti, 2018).
Berpijak dari penelitian yang dilakukan diatas maka penulis
memandang bahwa perlunya menempatkan pasien di rumah sakit sebagai
pemilih yang berkebutuhan khusus. Jika dilihat dari hambatan yang
dimiliki maka warga atau orang yang sakit sama dengan penyandang
disabilitas, bahkan bisa jadi lebih, karena orang yang sakit akan sangat
kesulitan datang langsung menuju TPS.
Prosedur Penjaminan Hak Pilih Saat Keadaan Darurat
Masih berkaitan dengan studi yang dilakukan oleh Smith dan
Sabatino, salah satu hal yang penting yang dijadikan kajiannya adalah
adanya prosedur daruratmengenai penjaminan hak pilih. Prosedur darurat
ini merupakan upaya tambahan untuk menjangkau pemilih yang berada
dalam kondisi darurat semisal berada di rumah sakit. Studi yang
dilakukan Smith dan Sabatino ini penting untuk dijadikan acuan
khususnya tentang model penjaminan hak pilih dalam kedaruratan dan
ketidakpastian. Hal ini berkaitan erat dengan upaya penjangkauan untuk
warga yang tiba-tiba sakit ataupasien yang sudah sembuh dan kembali lagi
ke rumahnya, sesuatu hal yang tidak bisa diprediksi. Warga bisa
kehilangan kesempatan hak untuk memilih jika prosedur yang ada tidak
menyediakan situasi "darurat".
Studi penjaminan pemilih saat dalam kondisi darurat juga bisa
ditemukan dalam tulisan Stein (Stein, 2015: 6). Menurut Stein alternative
voting seperti postal vote dapat mengurangi dampak dari bencana. Lebih
lanjut Stein mengemukakan pentingnya lokasi penempatan TPS pada saat
bencana terjadi. Tujuannya adalah mengurangi dampak signifikan dari
bencana alam yang dapat mengurangi tingkat partisipasi pemilih akibat
TPS yang tidak bisa diakses oleh pemilih. Selain itu Stein mengungkapkan
bahwa pentingnya regulasi yang mampu mengatur masalah ini.
Re-Desain Penjaminan Hak Pilih Untuk Orang Yang Sakit
Mengelaborasi penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti
diatas, utamanya Smith dan Sabatino (Smith and Sabatino, 2004: 663–
665), terdapat empat instrumen yang dapat membantu untuk menilai
suatu pemilu berjalan secara aksesibel dan inklusif. Empat instrumen
tersebut adalah;
1. Akses terhadap Pemungutan Suara (Access to Voting).
2. Bantuan Untuk Pemilih Berkebutuhan Khusus (Assistance in
Completing the Ballot)
3. Fasilitas Tambahan Bagi Pemilih Khusus Dalam Pemungutan Suara
(Additional Voting Support Efforts)

9
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

4. Prosedur Untuk Pemilih Khusus (Relationship to General Absentee


Balloting Procedures)
Berkaitan dengan akses pasien untuk pemungutan suara, peneliti
berusaha menggali bagaimanakah pelaksanaan pelayanan hak pilih pasien
rumah sakit, apakah mendapatkan fasilitas TPS mobile, TPS Khusus, atau
hanya mendapatkan TPS reguler. Kemudian adakah bantuan dari petugas
atau orang lain untuk pasien yang tidak mampu melaksanakan proses
pemungutan suara sebagaimana mestinya.
Dalam hal fasilitas tambahan, peneliti juga menggali informasi
apakah pasien rumah sakit mendapatkan fasilitas tambahan agar bisa ikut
berpartisipasi dalam pemungutan suara. Kemudian untuk mendapatkan
fasilitas tambahan tersebut adakah prosedur yang khusus untuk melayani
pasien rumah sakit. Singkatnya penelitian ini mengacu pada empat
instrument diatas, ditambah dengan beberapa hal seperti hubungan atau
kerjasama dengan instansi lain serta sosialisasi mengenai penjaminan hak
pilih. Dengan empat instrument ini, peneliti akan melihat sejauh mana
pelaksanaan penjaminan hak pilih pasien dilakukan selama ini. Apakah
sudah sesuai dengan prinsip aksesibel dan inklusif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan Dalam Penjaminan Hak Pilih Pasien

Permasalahan Regulasi
Permasalahan dalam penjaminan hak pilih pasien rumah sakit pada
dasarnya adalah tidak adanya regulasi yang mengatur secara khusus
penjaminan hak pilih para pasien ini. Regulasi yang ada hanya bersifat
umum. Artinya regulasi didesain untuk semua pemilih, tidak memandang
kebutuhan kelompok khusus seperti pasien RS.
Regulasi dalam penjaminan hak pilih pasien di rumah sakit juga
sering berubah-rubah. Perubahan ini mengakibatkan penyelenggara
pemilu juga “terkesan” bingung dan tidak seragam dalam hal pelaksanaan
di lapangan. Akibatnya terjadi beberapa pola penjaminan hak pilih pasien
rumah sakit dan beberapa perlakuan berbeda yang diterima oleh pasien di
beberapa rumah sakit. Seharusnya penyelenggara memiliki Standar
Operasional Prosedur yang sama. Regulasi penjaminan hak pilih pasien
rumah sakit mengalami beberapa kali perubahan semenjak pemilu tahun
2004. Beberapa perubahan yang menonjol adalah tidak adanya TPS
khusus yang ditempatkan di rumah sakit.
Perubahan regulasi terjadi pada pemilu legislatif tahun 2009. KPU
tidak lagi mendirikan TPS khusus di rumah sakit. Alasannya tidak ada
peraturan yang mengatur hal tersebut. Namun terjadi inkonsistensi
kemudian manakala Pilpres 2009 menggunakan aturan yang berbeda, KPU
kemudian memberlakukan kembali lagi TPS khusus di rumah sakit.
Aturan kembali lagi berubah pada pilkada 2010 hingga saat ini, pendirian

10
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

TPS khusus di rumah sakit dalam pemilu tidak lagi dilakukan dengan
alasan tidak ada peraturan yang mengaturnya.
Hal ini Sesuai dengan apa yang disampaikan juga oleh Titi Anggraini
Mashudi (Direktur Eksekutif Perludem) dalam wawancara dengan peneliti.
Menurut Titi, belum ada pengaturan yang bisa “ajeg” dalam rangka
melayani pemilih di rumah sakit. Kebijakan yang dikeluarkan selama ini
masih kebijakan yang sifatnya standar, dimana pemilih bisa menggunakan
hak pilihnya sepanjang memiliki A.5. Padahal prosedur pengurusan A.5
butuh waktu yang dalam banyak hal tidak bisa selalu diprediksi kapan
seseorang itu akan berada di rumah sakit atau menjadi pasien di rumah
sakit. Pada intinya regulasi yang sifatnya ajeg yang lebih bisa ramah
terhadap pasien belum ada di dalam peraturan kepemiluan.

Tabel 3.
Perubahan Peraturan Penjaminan Hak Pilih Pasien
No Undang- Pasal Syarat/Prosedur Model Penjaminan
Undang/ Pindah Memilih Hak Pilih Yang
Peraturan Digunakan

1 UU No 12 - 58 - Pindah memilih - TPS Khusus


Thn 2003 - 83 lapor PPS
(Pileg 2004) - 85 - Bisa
menggunakan
kartu pemilih
2 Keputusan - 28 - Pindah memilih - KPU bisa
KPU No 37 - 30 lapor PPS membentuk TPS
Thn 2004 - 52 - Jika tidak bisa Khusus
(Pilpres 2004) melapor, bisa - petugas PPS
menggunakan setempat Min 3-5 .
kartu pemilih.
3 PP No 6 - 75 - Pindah memilih - TPS Khusus untuk
Tahun 2005 - 76 lapor PPS pasien rumah
(Pilkada - 77 - Jika terpaksa sakit, tahanan
Langsung - 78 karena keadaan lapas, pekerja lepas
2005) tertentu tidak bisa pantai
melapor bisa
pakai kartu
pemilih
4 PKPU No - 3 - Pemilih tambahan - TPS Mobile
3Thn 2009 - 4 - Pemilih tambahan - Pelayanan mulai
(perubahan - 30 dirinci termasuk jam 12.00
dari PKPU no - 31 pasien RS - Dilayani oleh 2
35 Tahun - 65 - Keluarga atau Petugas dan 1
2008) pasien melapor ke Linmas
PPS/KPPS
terdekat max hari
H

11
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

5 PKPU No 29 - 3 - Pemilih tambahan - TPS khusus


Thn 2009 - 4 - Pemilih tambahan - Dapat didatangi
(Pilpres 2009) - 31 dirinci termasuk sampai ke kamar
- 32 pasien rumah pasien
- 52 sakit
- 53 - Dengan form A.7
- 54 minta ke
penyelenggara
paling lambat
pada Hari H
6 PKPU No - 8 - Pemilih tambahan - TPS terdekat
26 Tahun - 9 - Keluarga atau - TPS mobile
2013 (Pileg - 13 pasien melapor ke - Petugas dua orang
2014) - 40 PPS/KPPS KPPS didampingi
- 41 terdekat max PPL dan saksi
-103 pada hari H Surat suara
- Form A.5 max H-3 memakai cadangan
Jika tidak ada, dari TPS terdekat
bisa
menggunakan
KTP/KK dilayani
setelah jam 12.00
7 PKPU No 10 - 9 - Keluarga atau - TPS terdekat
Thn 2015 - 12 pasien melapor ke - PPS/PPK meminta
(Pemilihan - 22 PPS/KPPS data pasien ke RS
Serentak - 40 terdekat max H-3
2015) - 41 pada hari H - Petugas dua orang
- 82 - Pengurusan Form KPPS didampingi
A.5 max H-3 PPL dan saksi
- Pengurusan A.5 - Dilayani setelah
bisa di KPU jam 12.00
Kab/Kota tujuan
max H-10
8 PKPU No 14 - 7 - Sama dengan
Thn 2016 - 12 Pemilihan 2015
(Pemilihan
Serentak
2017)
Tabel1.2. Permasalahan Dalam Penyelenggaraan Penjaminan Hak
Pilih Pasien Rumah Sakit

a) Prosedur Pemilih Khusus Yang Ketat


Dalam peraturan perundang-undangan pemilu dan pemilihan di
Indonesia sejak pemilu 2004 hingga 2019 yang akan datang sebenarnya
telah mengatur tata cara pindah memilih bagi warga negara yang tidak
dapat memilih di tempat yang telah ditentukan. Pada dasarnya undang-
undang ini sudah mengatur tentang suatu hal yang bersifat khusus dan
suatu hal yang bersifat unpredictable seperti pemilih yang sakit.
Permasalahannya kemudian hal-hal yang bersifat unpredictable ini
kemudian dibatasi dengan pengaturan administrasi surat pindah memilih

12
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

(A.5) diurus paling lambat H-3 sebelum pemungutan suara. Pembatasan


ini juga berlaku bagi pemilih lain yang pindah memilih. Jadi secara
eksplisit memang disebutkan pemilih yang sakit, namun secara prosedur
disamakan dengan pemilih yang lain.
Temuan peneliti dalam gelaran Pemilihan tahun 2017 di Kota
Yogyakarta, pasien yang gagal terjamin hak pilihnya salah satunya karena
terkendala form A.5. Sebagai contoh di RS. Panti Rapih, meskipun
penjaminan pasien rumah sakit relatif lebih baik. Namun menurut
penuturan PPS Terban, masih terdapat pemilih di rumah sakit yang tidak
terpenuhi hak nya karena tidak memiliki surat pindah memilih (A.5).
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dialami pasien di RS. Bethesda,
menurut penuturan PPS Kota Baru beberapa pasien yang tidak terpenuhi
haknya dikarenakan tidak membawa A.5. Bahkan di RSUD Yogyakarta
pasien rumah sakit tidak terlayani hak pilihnya. PPS yang mengampu
wilayah tersebut beralasan bahwa tidak terdapat data pemilih pindahan
(A.5) yang melapor atau dilaporkan, sehingga tidak menyediakan TPS
mobile. Pada akhirnya pasien yang mempunyai hak pilih tidak bisa
menggunakan hak pilihnya karena tidak ada TPS yang melayani.

Gambar 1.
Bagan Alur Pindah Memilih

DPT Pindah memilih (A.5)

SYARAT A.5
Prosedur
- Pasien rawat inap
- Lapor PPS asal max H-3
- Tahanan
- Pindah domisili / Tugas - Bisa di KPU Kab/Kota
tujuan max H-10
- Tertimpa Bencana

Pemilih mendapatkan Form A.5


sebagai syarat untuk bisa memilih di
TPS yang dituju (dengan catatan surat
suara tersedia)

b) Akses TPS Yang Terhambat


Praktis sejak Pemilu 2014 hingga Pemilihan serentak 2017 yang
telah dilaksanakan kemarin tidak ada peraturan yang mendasari adanya
TPS Khusus untuk melayani pasien di rumah sakit. Bahkan sampai Pemilu
13
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

2019 pun TPS khusus tidak diatur dalam undang-undang ataupun


peraturan KPU. Saat ini pilihan yang ada hanya menggunakan TPS
terdekat di sekitar wilayah rumah sakit untuk melayani pasien rumah sakit.
Dari TPS terdekat ini kemudian timbul beberapa variasi pelayanan hak pilh
pasien. Dalam pelaksanaan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota di
Kota Yogyakarta Tahun 2017, terdapat tiga variasi yaitu pertama; TPS
terdekat yang ditempatkan di rumah sakit seperti RS. Panti Rapih. Kedua;
TPS mobile dari TPS terdekat yang melayani rumah sakit seperti RS.
Bethesda. Ketiga; pasien rumah sakit dilayani di TPS terdekat di luar
wilayah RS seperti di RSUD Yogyakarta.
Pada contoh kasus TPS reguler yang ditempatkan di rumah sakit
seperti RS. Panti Rapih, penjaminan pasien rumah sakit relatif lebih baik.
Pendirian TPS reguler yang berada di wilayah rumah sakit ini, atas dasar
inisiatif dari penyelenggara adhoc (PPS) dan pihak rumah sakit. Pada
awalnya TPS ini hanya berusaha mengakomodir penghuni rumah sakit
khususnya suster yang berdomisili di wilayah rumah sakit. Namun pada
akhirnya dengan adanya TPS ini, justru mampu membantu pelayanan hak
pilih kepada pasien.
Kondisi yang sedikit berbeda terjadi pada TPS mobile yang melayani
hak pilih pasien. PPS (Panitia Pemungutan Suara) harus mengkoordinir
beberapa TPS di wilayahnya untuk melayani penjaminan hak pilih pasien.
Hal ini tidak mudah, banyak hal yang bisa mengakibatkan pasien tidak
mendapatkan hak pilihnya. Dari penuturan PPS yang mengampu di
wilayah RS Bethesda, mereka terkendala dengan waktu untuk melayani
pasien yang harus dilakukan pasca jam 12.00.
Berbeda jauh dengan pelaksanaan penjaminan hak pilih pasien yang
dilakukan di TPS sekitar, yang artinya pasien harus keluar dari wilayah
rumah sakit. Seperti yang terjadi di RSUD Yogyakarta, PPS yang
mengampu wilayah tersebut beralasan bahwa tidak terdapat data pemilih
pindahan yang melapor atau dilaporkan, sehingga tidak menyediakan TPS
mobile. Namun, PPS tetap melayani pemilih pindahan dari rumah sakit
untuk disalurkan ke TPS di sekitar wilayah RS tersebut. Pada akhirnya hal
ini tidak efektif dilakukan, pasien tentu tidak bisa keluar rumah sakit,
persis seperti yang diberitakan di media massa bahwa pasien di RSUD
Yogyakarta tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak ada petugas
yang mendatangi.
Penggunaan model TPS terdekat untuk melayani pemilih di rumah
sakit memang pada dasarnya sangat membatasi akses para pemilih ke TPS
tersebut. Pemilih di rumah sakit bukanlah pemilih yang cukup atau bisa
dengan mudah datang ke tempat TPS yang letaknya bukan di rumah sakit.
Ada beberapa alasan mengenai hal tersebut, diantaranya adalah
kemampuan pasien untuk bisa keluar, baik itu secara fisik maupun izin
dari rumah sakit. Sementara itu untuk penunggu pasien dan perawat tentu
tidak bisa serta merta untuk meninggalkan pasien.
c) Minimnya Fasilitas Tambahan Untuk Pemilih Pasien RS.
Terdapat dua masalah dalam fasilitas tambahan untuk pemilih
pasien rumah sakit. Pertama, fasilitas tambahan yang berkaitan dengan
14
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

model pemungutan suara bagi para pasien. Model pemungutan suara


untuk pasien rumah sakit, saat ini memang hanya menggunakan model
TPS mobile yang didatangkan dari TPS terdekat. Tidak ada TPS khusus
yang benar-benar melayani pasien rumah sakit.
Kegagalan para pasien rumah sakit untuk menyalurkan hak pilihnya,
salah satu penyebabnya adalah model pemungutan suara yang hanya
memberikan satu opsi saja, yaitu TPS mobile dari TPS terdekat. Padahal
pada faktanya seringkali TPS mobile justru tidak menjangkau para pemilih
dengan kebutuhan khusus. Berbeda dengan negara-negara yang sudah
mapan demokrasinya. Disana terdapat fasilitas yang biasa digunakan
untuk orang yang tidak bisa datang langsung di TPS yaitu melalui postal
vote (Kelly,2012:131). Hal ini berarti perangkat untuk menuju pemilu yang
akses dan inklusif sudah ada, tinggal bagaimana menjaga integritasnya
kemudian. Sementara itu, di Indonesia instrument seperti postal vote baru
dilakukan di pemilu luar negeri (Hafizy, 2017: 78) sementara di dalam
negeri fasilitas tersebut belum ada.
Bahkan penggunaan TPS mobile pun masih dibatasi oleh jam
pelayanan. Hal ini sesuai dengan penuturan PPS yang mengampu di
wilayah RS Bethesda, mereka terkendala dengan waktu untuk melayani
pasien yang harus dilakukan pasca jam 12.00. Akibatnya beberapa pasien
tidak bisa dilayani. Sedikit berbeda dengan kondisi di RS. Panti Rapih.
Menurut humas panti rapih, petugas kekurangan surat suara sehingga
harus mencari surat suara di TPS sekitar. Kondisi ini bisa saja terjadi,
mengingat tidak ada alokasi khusus surat suara untuk warga yang pindah
memilih termasuk pasien rumah sakit.
Kedua, batas pengurusan surat pindah memilih yang singkat.
Seperti yang dibahas dalam poin sebelumnya, yaitu syarat utama untuk
menjadi pemilih dalam keadaan tertentu yang memilih di luar TPS yang
telah ditentukan, salah satunya adalah mempunyai surat pindah memilih
(A.5). Untuk mendapatkan surat pindah memilih ini, selain harus
mengurus di tempat penyelenggara pemilu, seperti KPU dan PPS, pemilih
juga dibatasi waktu pengurusan A.5 nya. Dalam pemilu 2014 dan pilkada
serentak tahun 2015 dan 2017, batas pengurusan surat pindah memilih
harus dilakukan maksimal 3 hari sebelum hari H pemungutan suara. Hal
tersebut sangat membatasi hak pilih para pasien yang bisa datang tiba-
tiba. Beberapa pasien di RSUD Yogyakarta, tidak bisa menggunakan hak
pilihnya karena masuk rawat inap pasca H-3. Oleh karena itu suatu hal
yang diluar logika, jika orang sakit bisa diprediksi 3 hari sebelumnya.
d) Rawannya Kerahasiaan dan Keamanan Pemungutan Suara di RS
Secara fisik, pasien di rumah sakit sangat dimungkinkan
membutuhkan pertolongan untuk menggunakan hak pilihnya.
Permasalahan bantuan memilih ini, dalam gambaran yang ditemui dalam
penelitian terutama dalam hal aspek kerahasiaan dan keamanan. Aspek
kerahasiaan menjadi penting ketika pemilih justru tidak meminta untuk
dibantu, namun KPPS bisa mudah melihat proses pencoblosan oleh pasien.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Panwaslu Kota
15
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Yogyakarta yang sudah memonitoring pelaksanaan di RS. Bethesda


Lempuyangwangi. Dalam temuannya, bahwa KPPS dengan mudah dapat
melihat pilihan pasien. Terkait dengan aspek kerahasiaan ini, sebenarnya
dari segi peraturan sudah spesifik mengatur tentang kerahasiaan ini.
Namun permasalahan bisa jadi terkait dengan logistik yang kurang semisal
bilik, sementara di rumah sakit belum tentu terdapat tirai untuk menutup
bed para pasien. Sementara terkait dengan aspek keamanan, berkaitan
dengan Linmas yang tidak bekerja dengan optimal, Linmas diharapkan
bisa mengamankan proses pemilihan dari ancaman-ancaman intimidasi
untuk pemilih, baik dari luar, maupun dari penyelenggara. Sebagai contoh,
menurut penuturan PPS Terban terdapat gejala mengarahkan pilihan dari
tim sukses kepada pemilih, namun linmas tidak bisa bertindak lebih jauh.
Dalam hal sisi pengawasan, sesuai dengan peraturan setiap TPS
hanya terdapat satu pengawas, oleh karena itu dalam penjaminan hak pilih
pasien khususnya pada TPS mobile, pengawas harus meninggalkan TPS
reguler untuk mendampingi KPPS yang keliling melayani pemilih di bangsal.
Tentu hal ini akan meningkatkan kerawanan di TPS yang ditinggalkan
pengawas.
Pihak pengawas daerah juga tidak melakukan pengawasan secara
khusus terhadap penjaminan hak pilih pasien di seluruh rumah sakit. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa kasus di rumah sakit yang tidak
mendapatkan pelayanan, pengawas tidak memberikan rekomendasi
kepada penyelenggara. Padahal ketiadaan penjaminan hak pilih di RS
seperti di RSUD Yogyakarta sudah diketahui lewat berita di media massa.
e) Minimnya Sosialisasi Untuk Pemilih Pasien Rumah Sakit
Pada bahasan sebelumnya terungkap bahwa pasien dan keluarga
pasien tidak bisa menggunakan hak pilihnya dikarenakan tidak mengurus
A.5 atau surat pindah memilih. Kemudian daripada itu, salah satu sebab
pemilih tidak mengurus A.5 karena tidak tahu bagaimana prosedur
memilih di rumah sakit.
Ketidaktauan masyarakat dalam prosedur penjaminan hak pilih di
rumah sakit menjadi salah satu penyebab mengapa penjaminan hak pilih
di rumah sakit minim partisipasinya. Dari data peneliti, di RSUD
Yogyakarta, beberapa pasien sebenarnya ingin menggunakan hak pilihnya
di rumah sakit, terbukti dengan dibawanya C.6 oleh beberapa pasien
dengan harapan dapat digunakan untuk memilih. Namun hal itu ditolak
oleh penyelenggara yang tetap berpegang teguh pada aturan yang
mengharuskan pasien dan keluarga pasien harus membawa A.5 dahulu.
Dari hal ini dapat dilihat bahwa sosialiasi mengenai prosedur pindah
memilih dan prosedur lainnya yang berkaitan dengan pemilu sangat
penting dilakukan untuk warga. Selain itu untuk menghindari hilangnya
hak pilih, sosialiasi juga dapat memberikan edukasi kepada warga agar
peduli dengan haknya sehingga dapat mengetahui persyaratan dan
prosedur yang berlaku.
f) Koordinasi Lintas Instansi Yang Tidak Berjalan
Dalam upaya menjamin hak pilih para pasien rumah sakit.
Penyelenggara pemilu tidak bisa bekerja sendiri. Pemilih pasien ini berada
16
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dalam kewenangan penuh pihak rumah sakit. Penyelenggara tidak bisa


serta merta datang ke rumah sakit kemudian memberikan pelayanan hak
pilih kepada para pasien.
Pentingnya peran instansi terkait seperti rumah sakit dalam upaya
penjaminan hak pilih pasien, dapat dilihat dari beberapa pernyataan-
pernyataan KPU Kabupaten/Kota tentang respon dari rumah sakit di
daerahnya. KPU Kota Yogyakarta misalnya, melakukan koordinasi dengan
berbagai instansi terkait, seperti dinas kesehatan dan rumah sakit. Namun
hasil dari koordinasi itu, juga tergantung dari respon rumah sakit. Bahkan
KPU tidak bisa memaksa apabila rumah sakit tidak bisa bekerja sama
dengan baik. Salah satu contohnya adalah, RSUD Yogyakarta yang tidak
mengirimkan wakilnya dalam rapat koordinasi antara rumah sakit dengan
KPU Kota Yogyakarta. Akibatnya karena tidak ada koordinasi yang intens,
RSUD Yogyakarta tidak mendapat pelayanan hak pilih pada Pemilihan Wali
Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2017.

1. Re Desain Regulasi Penjaminan Hak Pilih Pasien di RS


Merujuk pada pendapat Surbakti (2018) ada dua hal yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan partisipasi kelompok pemilih yang rentan
seperti pasien rumah sakit. Pertama, pengaturan pemungutan suara yang
nyaman dan aman (adequate polling arrangement). Kedua, pengaturan
pemungutan suara yang memungkinkan semua pemilih terdaftar yang
memiliki kebutuhan khusus dapat menggunakan hak pilihnya (equitable
polling arrangement). Dari dua hal tersebut kemudian dapat disimpulkan
bahwa untuk menjamin hak pilih pasien rumah sakit dibutuhkan prosedur
yang khusus. Terkait dengan itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan,
diantaranya adalah;
a) Membuat TPS Khusus.
Penyelenggara pemilu dan stakeholder terkait harus mulai
merancang prosedur penjaminan hak pilih di kala darurat. Untuk saat ini
perlu dipertimbangkan TPS khusus untuk pasien rumah sakit, serta
mekanisme baku TPS mobile yang mensupportnya. Dengan adanya TPS
Khusus tentunya fasilitas dan perangkat untuk menjamin hak pilih pasien
rumah sakit akan lebih lengkap dan terpenuhi. Seperti logistik, hingga
petugas dan pengawas yang melekat. Bahkan, kedepan jika
memungkinkan fasilitas mail voting.
b) Prosedur Pindah Memilih Yang Mudah.
Batas waktu H-30 yang akan diterapkan dalam pemilu 2019 ini tidak
rasional untuk pasien rumah sakit. Oleh karena itu batas waktu
pengurusan bisa dilakukan hingga H-1 dengan dukungan layanan
pendaftaran online akan mempermudah pasien dan penyelenggara dalam
memetakan kondisi.
c) Waktu Pemungutan Suara Melalui Mobile Voting Yang
Diperpanjang
TPS keliling hanya bisa dilakukan pada pukul 12.00 hingga pukul
13.00. Dengan alokasi waktu selama 1 jam, petugas tidak akan mampu

17
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

melayani seluruh pasien yang dirawat di ruang rawat inap. Oleh karena itu
TPS mobile, harus dilakukan sejak pagi.
d) Alokasi Surat Suara Khusus Untuk Pasien Rumah Sakit
Selama ini hal yang menjadi “momok” mengenai TPS di rumah sakit
adalah bagaimana mengatur logistik terutama surat suara yang tersedia.
KPU selama ini menggunakan alokasi surat suara cadangan dari TPS
sekitar rumah sakit. Sebagai solusinya perlu adanya surat suara khusus
untuk pasien rumah sakit. Perhitungan alokasi surat suara bisa
didasarkan pada BOR (Bed Occupancy Rate) atau rerata kamar rawat inap
masing-masing rumah sakit. Meskipun tidak 100 persen akurat, namun
penggunaan BOR ini dapat menjadi acuan. Kerjasama dengan pihak
Kemenkes, Rumah Sakit, dan Pemda menjadi penting untuk dilakukan
guna mendapatkan data valid. Senada dengan hal tersebut, menurut
Viryan (Anggota KPU RI) sebagaimana diungkapkan ketika diwawancarai
oleh peneliti, upaya penjaminan hak pilih pasien di rumah sakit harus
mempunyai perencanaan penggunaan pemilih yang akurat. Perencanaan
ini diantaranya memuat data-data pasien, data average pasien yang
dirawat, transparansi data bed atau kamar per kelas sehingga proses
pemilihan dapat dipertanggungjawabkan.

KESIMPULAN
Potensi pemilih pasien rumah sakit pada dasarnya cukup besar.
Dengan potensi yang besar ini maka seharusnya penjaminan hak pilih
pasien ini menjadi isu yang penting. Oleh karena itu sudah selayaknya
semua pihak, khususnya penyelenggara pemilu, agar senantiasa
mengupayakan penjaminan hak pilih para pasien. Masalah utama dalam
penjaminan hak pilih pasien rumah sakit adalah belum ada yang mengatur
secara detail bagaimana penjaminan hak pilih pasien rumah sakit itu
dijalankan.
Regulasi yang ada lebih bersifat umum, atau untuk seluruh
masyarakat dan tidak mempertimbangkan kebutuhan orang-orang yang
terkendala situasi dan kondisi. Ada beberapa pertimbangan mengapa
regulasi ini tidak bersifat khusus untuk pasien. Pertama adalah masalah
kepastian. Logika yang digunakan penyelenggara pemilu adalah tertib
administrasi, hal ini demi menghindari masalah dan kecurigaan beberapa
pihak. Kondisi pasien rumah sakit yang unpredictable dinilai oleh
penyelenggara pemilu sangat menghambat mereka untuk berupaya
menjamin hak pilih pasien. Kedua, kecurigaan dari pihak pembuat regulasi
akan adanya upaya kecurangan-kecurangan apabila pemilu dilaksanakan
di rumah sakit membuat peraturan hingga saat ini belum sepenuhnya
mengakomodir hak pilih pasien rumah sakit.
Problem regulasi ini mengakibatkan serentetan masalah pada
pelaksanaan penjaminan hak pilih pasien. Rentetan masalah itu
diantaranya adalah sebagai berikut;
Pertama, prosedur atau syarat menjadi pemilih khusus yang ketat.
Dalam undang-undang pemilu maupun PKPU, syarat untuk menjadi
pemilih khusus atau “keadaan tertentu” yang didalamnya termasuk pasien

18
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

rumah sakit, diharuskan menggunakan surat pindah memilih. Tanpa form


itu, meskipun pasien sudah mendapatkan C.6 (surat undangan memilih)
atau ber KTP tetap tidak diperkenankan memilih.
Kedua, akses TPS yang terhambat. Dihapuskannya TPS khusus di
rumah sakit menjadikan pasien rumah sakit harus dilayani oleh TPS
reguler atau TPS sekitar. Pada pelaksanannya penggunaan TPS sekitar ini
menyulitkan pasien untuk menyalurkan hak pilihnya karena letaknya yang
jauh. Kesulitan ini coba diantisipasi dengan layanan TPS mobile dari TPS
sekitar tersebut. Namun, konsekuensinya, petugas harus bekerja keras
karena personel yang ditugaskan hanya berjumlah dua orang anggota
KPPS yang diharuskan melayani pasien di kamarnya serta di wilayah
rumah sakit yang cukup luas. Konsekuensi lainnya adalah tidak adanya
logistik pemilu yang khusus diperuntukkan pelayanan hak pilih. Logistik
pemilu itu meliputi kotak suara dan surat suara, padahal 2 komponen
tersebut vital untuk pemungutan suara.
Ketiga, kerawanan dalam proses pemungutan suara para pasien.
Secara fisik pasien rumah sakit sangat dimungkinkan meminta bantuan
kepada orang lain untuk memberikan suaranya. Temuan pengawas pemilu
menyatakan bahwa petugas KPPS dengan mudah mengetahui pilihan para
pasien. Aspek kerahasian dalam pemilu menjadi hilang. Selanjutnya,
pemungutan suara di rumah sakit, juga tidak terlepas dari intimidasi dan
tekanan dari pihak luar, agar pasien menjadi terpengaruh. Penyelenggara
di lapangan berpendapat bahwa salah satu penyebab masih adanya
intimidasi adalah petugas keamanan yang ditugaskan juga tidak berfungsi
dengan semestinya.
Keempat, tidak adanya fasilitas tambahan disaat kondisi darurat.
Salah satu kesulitan pasien rumah sakit untuk menyalurkan hak pilihnya
adalah tidak adanya model alternative tambahan selain mencoblos surat
suara melalui TPS. Fasilitas tambahan seperti early voting dan mail voting
tidak diberikan untuk penyelenggaraan pemilu di dalam negeri termasuk
pasien rumah sakit. Selain itu pengurusan pindah memilih yang tidak
fleksibel menjadi salah satu sebab banyaknya pasien yang tidak bisa
menggunakan hak pilihnya. Batas waktu pengurusan yang dilakukan jauh
hari sebelum hari H serta harus diurus di tempat penyelenggara pemilu
menjadi penyebabnya.
Kelima, kurangnya sosialiasi dan koordinasi dengan instansi terkait.
Sosialisasi mengenai prosedur penjaminan hak pilih pasien di rumah sakit
minim dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Tidak se massive tahapan
pemilu lainnya yang gencar dilakukan oleh penyelenggara. Sosialiasi yang
dilakukan oleh penyelenggara hanya sebatas “kulo nuwun” kepada pihak
rumah sakit, selanjutnya sosialiasi dipasrahkan kepada pihak rumah sakit
yang sekaligus mencatat data pemilih pasien yang akan mencoblos di TPS
yang mengampu rumah sakit. Selain itu koordinasi antar instansi tidak
berjalan dengan baik, masing-masing pihak saling menggantungkan, tidak
ada yang re check kembali lagi mengenai ada atau tidaknya pelayanan hak
pilih pasien di sebuah rumah sakit.
19
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

REKOMENDASI
Hasil dari penelitian ini adalah rekomendasi kepada para stakeholder
terkait, diantaranya ditujukan kepada;

DPR RI dan Pemerintah


Fokus penelitian ini adalah terwujudnya desain penjaminan hak pilih
pasien rumah sakit melalui cara perubahan pada aspek-aspek regulasi
yang bersifat khusus dan mampu menjangkau kondisi darurat yang
dialami oleh pasien rumah sakit. DPR dan Pemerintah memiliki peran yang
sangat vital kaitannya dengan desain ini. Selain aspek perubahan regulasi,
penulis juga memberikan saran terkait aspek-aspek yang bersifat praktis.
Untuk itu penulis menyarankan agar DPR dan Pemerintah melakukan hal
sebagai berikut;
a. Melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap pelaksanaan
penjaminan hak pilih pasien rumah sakit yang telah berlangsung
saat ini. Terutama terhadap pelaksanaan pasal-pasal yang dinilai
menyulitkan pasien RS.
b. Bersama KPU dan Bawaslu mengevaluasi dan membahas tentang
pendirian TPS khusus di rumah sakit agar bisa diterapkan pada
pemilu yang akan datang. Selain itu perlu disinkronkan peraturan-
peraturan mana saja yang menghambat adanya pendirian TPS
khusus ini. Pembahasan mengenai TPS khusus juga harus
mengikutsertakan mengenai perangkat-perangkatnya seperti
petugas yang melayani, surat suara, dan perlengkapan pemungutan
suara lainnya.
c. Bersama KPU dan Bawaslu mengevaluasi dan membahas tentang
pemungutan suara melalui pos yang telah dilakukan di luar negeri
agar bisa dilaksanakan juga di dalam negeri.
d. Pemerintah memfasilitasi KPU terutama dalam hal koordinasi
dengan pihak Kementrian Kesehatan. Bentuknya berupa dari
keterbukaan dan pemberian fasilitas ini berupa pemberian tempat
untuk TPS, pemberian data pasien dan petugas yang valid, data rata-
rata jumlah pasien yang dirawat inap atau BOR, pemberian waktu
dan dukungan untuk sosialiasi, serta bantuan petugas.

KPU RI
Sebagai lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan pemilu,
KPU diberi kewenangan untuk membuat peraturan teknis. Berikut
beberapa langkah yang direkomendasikan;
a. Membuat PKPU Pemungutan Suara yang mengatur batas
pengurusan pindah memilih yang lebih mendekati hari H khusus
untuk pasien rumah sakit, bisa H-3 sebelum hari H bahkan H-1.
b. Membuat PKPU Pemungutan Suara atau Surat Edaran mengenai
batas waktu pelayanan pemungutan suara di rumah sakit agar lebih
lama bisa saja melebihi jam 13.00 asalkan sudah berada dalam
lingkungan RS.

20
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

c. Membuat PKPU Pemungutan Suara yang memuat bahwa


pengurusan pindah memilih bisa dilakukan oleh pasien atau warga
lewat sistem online.
d. Membuat PKPU Rekapitulasi Penghitungan Suara yang memuat
adanya jumlah partisipasi pemilih pasien yang dirawat inap di rumah
sakit.
e. Membuat Surat Edaran agar PPS dan KPPS menempatkan salah satu
TPS nya di rumah sakit. Penempatan TPS sekitar di wilayah rumah
sakit ini merupakan solusi jangka pendek ketika peraturan khusu
TPS belum ada.
f. Membuat aplikasi pendaftaran pindah memilih secara online.

KPU Kabupaten/Kota
Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh KPU
Kabupaten/Kota;
a. Melakukan kerjasama dengan pihak rumah sakit swasta dan
pemerintah serta pihak pemda yang menaungi RSUD dan puskesmas.
Bentuk kerjasama bisa dengan kesepakatan atau MoU. KPU
Kab/Kota juga perlu membentuk Helpdesk atau petugas yang
khusus menangani penjaminan hak pilih di RS.
b. Melakukan sosialisasi penjaminan hak pilih pasien RS. Setelah ada
kerja sama dengan pihak RS, KPU secara masif melakukan sosialiasi
hak pilih pasien baik itu di RS dan di tempat lain.
c. Melakukan bimtek yang intens kepada PPK, PPS, dan KPPS tentang
prosedur penjaminan hak pilih pasien di RS.
d. Meminta data rata-rata pasien rumah sakit yang dirawat inap kepada
pihak rumah sakit sebagai dasar untuk menentukan perlu atau
tidaknya menempatkan TPS sekitar di rumah sakit tersebut.
e. Menginstruksikan kepada jajaran penyelenggara adhoc agar
menempatkan TPS reguler/sekitar di wilayah RS.
f. Menyiapkan logistik pemungutan suara di rumah sakit secara tepat.
Jika secara peraturan belum mengatur secara khusus, maka KPU
Kabupaten/Kota harus menginventaris TPS yang diprediksi bisa
memberikan surat suara cadangannya ke TPS RS.
Bawaslu RI
Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu mempunyai peran
dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu agar berjalan sesuai dengan
aturan dan norma yang berlaku serta aman dan nyaman. Peran penting
Bawaslu dalam penjaminan hak pilih pasien rumah sakit ini bisa dilakukan
dengan menempatkan minimal 2 (dua) pengawas pada penjaminan hak
pilih di rumah sakit. Penulis juga menyadari bahwa terdapat kendala
sumber penganggaran yang digunakan apabila menggunakan dua
pengawas dalam TPS rumah sakit, oleh karena itu sebagai solusinya,
pengawas tingkat desa atau kecamatan bisa diperbantukan untuk
mengawasi jalannya TPS mobile.

21
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

DAFTAR PUSTAKA

Abebe, A. K. (2013). In pursuit of universal suffrage : the right of prisoners


in Africa to vote In pursuit of universal suffrage : the right of prisoners
in Africa to vote. Institute of Foreign and Comparative Law, 46(3), 410–
446. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/23644811
Birch, S. (2011). Electoral Malpractice. Oxford University Press.
Dahl, R. A. (1982). Dilemmas of Pluralist Democracy : AutonomyVs. Control.
Yale University Press.
Fortier, J. C. (2006). Absentee and Early Voting: Trends, Promises, and Perils.
American Enterprise Institute Press.
Hafizy, W. (2017). Penjaminan Hak Pilih Warga Negara di Luar Negeri: Kajian
Instrumentasi Pemilu. Universitas Gadjah Mada.
IDEA. (2002). Standar-Standar Internasional Untuk Pemilihan Umum:
Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu.
Kartikasari, W. (2017). Menjamin Pemilu Inklusif : Studi Tentang
Pemungutan Suara Bagi Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit. Jurnal
Politik Indonesia, 2, 1–11.
Kelly, N. (2012). Directions in Australian Electoral Reform ; Chapter 9 .
Postal Voting. In ANU Press. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/j.ctt24hbxv.12%0AJSTOR
Prince, M. J. (2007). The Electoral Participation of Persons with Special
Needs. In Working Paper Series on Electoral Participation and Outreach
Practices. Elections Canada.
Reynolds, A., Reylli, B., & Elis, A. (2005). Desain Sistem Pemilu: Buku
Panduan Baru International IDEA. International IDEA, terjemahan
Perludem.
Smith, A., & Sabatino, C. P. (2004). Voting by Residents of Nursing Homes
and Assisted Living Facilities: State Law Accommodations. American
Bar Association, 28(5), 663–670. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/20786525
Stein, R. M. (2015). Election Administration During Natural Disasters and
Emergencies: Hurricane Sandy and the 2012 Election. ELECTION LAW
JOURNAL, 14(1). https://doi.org/10.1089/elj.2014.0271
Surbakti, R. (2018). Pemilu Inklusif. Kompas, p. 12 Januari 2018 Diambil
kembali dari. Retrieved from
https://aipi.or.id/frontend/opinion/detail/556a734359564e6b
Surbakti, R., Supriyanto, D., & Asy’ari, H. (2011). Menjaga Kedaulatan
Pemilih. Kemitraan Pembaruan Tata Pemerintahan.

22
PERMASALAHAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN BUPATI
DAN WAKIL BUPATI SAMPANG TAHUN 2018 DALAM PERSPEKTIF
INTEGRITAS PEMILU

Dina Lestari
Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Pemutakhiran data pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Sampang Tahun 2018 menyisakan permasalahan yang menyebabkan Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan putusan pemungutan suara ulang pada sidang
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh salah satu
pasangan calon. Mahkamah menilai bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
ditetapkan KPU Kabupaten Sampang invalid dan tidak logis, apabila
dibandingkan dengan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) yang
diterima KPU semester I tahun 2017 berjumlah 844.872, sedangkan DPT
sebanyak 803.499, berarti jumlah pemilih tetap sebanyak 95% dari jumlah
penduduk. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, data dikumpulkan
melalui wawancara mendalam dengan KPU Kabupaten Sampang, Panitia
Pemilihan Kecamatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Sampang. Hasil penelitian menunjukkan problema pemutakhiran data pemilih di
Kabupaten Sampang terjadi karena: 1) tidak sinkronnya peraturan yang mengatur
sumber data pemilih, 2) Patugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) tidak
profesional dalam pelaksanaan tugasnya karena mendapatkan tekanan atau
pengaruh elit lokal, 3) kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengecek data
pemilih, 4) petugas pemutakhiran masih belum memahami perpindahan basis
data pemilih dari de facto menjadi de jure yang menyebabkan munculnya data
ganda antar TPS, Desa, maupun Kecamatan, 5) kurangnya supervisi dan
monitoring dalam proses pemutakhiran data pemilih karena ketidakakuratan
data pemilih namun ditetapkan hingga DPT. Implikasinya adalah rendahnya
integritas pemilu.

Kata Kunci: pendaftaran pemilih, pemutakhiran data pemilih, integritas pemilu

PROBLEMS OF PERMANENT VOTER LIST ON SAMPANG REGENCY ELECTION


2018 FROM ELECTORAL INTEGRITY PERSPECTIVE

ABSTRACT
Updating voter data in the 2018 Sampang Regency Election leaves a problem that
caused the Constitutional Court decision ordering the General Election Commission
(KPU) to conduct a re-voting at all polling stations in Sampang. The Court considered
that the Permanent Voter List (DPT) determined by the Sampang Regency KPU was
invalid and illogical when compared to the DAK2 received by the KPU in the first
semester of 2017, amounting to 844,872 while the DPT was 803,499, this meant
that the number of permanent voters was 95% of the population.The type of research
is descriptive qualitative and data collected through in-depth interviews with the
Sampang Regency KPU, PPK and Sampang Regency Dispendukcapil. The results of
the study showed that the voter data updating problem in Sampang District was
due : 1) the problem of voter registration in Sampang are unsynchronous regulations

23
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

governing the source of voter data, 2) PPDP is not professional in carrying out their
duties due to pressure or influence from the local elite, 3) lack of community
participation in checking voter data, 4) the updating officer still does not understand
the shifting of the voter database from de facto to de jure which causes the
emergence of double data between polling stations, villages, and districts, 5) the lack
of supervision and monitoring in the voter data updatingprocess due to the
inaccurate voter data.The implication is the low integrity of elections.

Keywords: voter registration, updating voter list, electoral integrity

PENDAHULUAN
Pemilihan umum merupakan sarana dalam pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil serta 5 (lima) tahun sekali dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun setelah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 disahkan maka rakyat dapat memilih kepala daerah
secara langsung.
Setiap daerah menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
(Pemilihan Umum Kepala Daerah) ketika menjelang akhir masa jabatan
kepala daerah. Hal ini berlangsung hingga pengesahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, maka
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dilaksanakan secara serentak mulai
tahun 2015, 2017, 2018, kemudian tahun 2019 dijadikan tahun
pelaksanaan.

Provinsi Jawa Timur pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun
2018 melaksanakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta
Pemilihan Bupati/Walikota di 18 (delapan belas) Kabupaten/Kota.
Kabupaten Sampang merupakan salah satu daerah yang melaksanakan
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang diikuti oleh 3 (tiga) pasangan
calon yaitu H. Slamet Junaidi dan H. Abdullah Hidayat (nomor urut 1), Drh.
H. Hermanto Subaidi, M.Si dan H. Suparto (nomor urut 2), serta H. Hisan,
SE dan H. Abdullah, SE (nomor urut 3). Hasil pemungutan suara yang
dilaksanakan serentak pada tanggal 27 Juni 2018 adalah sebagai berikut :

24
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Diagram 1. Perolehan Suara Pasangan Calon pada


Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sampang 2018

Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2018

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa perolehan suara pasangan


calon nomor urut 1 dan nomor urut 2 hanya terpaut 0.65% dari jumlah
total suara sah yang masuk. Tim dari pasangan calon nomor urut 2
menolak menandatangani hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Sampang tahun 2018 karena mereka menemukan
indikasi kecurangan di kecamatan Omben, Camplong, Ketapang dan
Kedungdung.
Tim pasangan calon nomor urut 2 kemudian melayangkan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 38/PHHP.BUP-XVI/2018
dengan beberapa dalil, antara lain :
• Kehadiran di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) di
Kecamatan Ketapang mencapai 100%;
• Di Desa Ketapang Daya dan Desa Ketapang Barat wilayah
Kecamatan Ketapang tidak ada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati,
form C-6 tidak diberikan ke masyarakat tetapi pengguna hak pilih
100%, serta saksi pasangan calon nomor urut dua tidak bisa
masuk;
• Adanya pemilih ganda di beberapa TPS di Kecamatan
Kedungdung;
• Penyelenggara dianggap tidak netral karena KPU Kabupaten
Sampang memberikan hasil rekapitulasi penghitungan suara
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018 yang dilaksanakan pada
tanggal 5 Juli 2018, namun baru diserahkan ke tim pasangan
calon nomor 2 pada tanggal 9 Juli 2018 karena diminta (yang
merupakan batas akhir pengajuan gugatan perselisihan hasil
Pemilu di Mahkamah Konstitusi). Sedangkan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sampang yang telah menerima
laporan terkait kecurangan dari tim pasangan calon nomor urut 2
menindaklanjuti dengan membuat surat permohonan untuk
membuka form C-7 (daftar hadir pemilih) di beberapa TPS di
Kecamatan Omben, Camplong, Ketapang dan Kedungdung namun

25
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dianulir dengan surat yang dilayangkan pada hari yang sama


kepada pelapor yang menerangkan bahwa bukti tidak cukup.
Setelah dilaksanakan pemeriksaan dan beberapa persidangan,
Mahkamah Konstitusi memutuskan agar KPU Kabupaten Sampang
melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Kabupaten Sampang Tahun 2018 dengan mendasarkan pada DPT
yang telah diperbaiki. Dalam pertimbangan keputusannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa terdapat permasalahan yang mendasar
adalah berkaitan dengan DPT pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Sampang 2018 yang menurut Mahkamah terdapat ketidakwajaran.
Penilaian tersebut didasari dengan bukti jumlah DAK2 (Data Agregat
Kependudukan per Kecamatan) Semester I Tahun 2017 dari Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) untuk Kabupaten Sampang sejumlah 844.872.
Berdasarkan data tersebut, Kemendagri menentukan DP4 (Data Penduduk
Potensial Pemilih Pemilu) sejumlah 662.673. Namun Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kabupaten Sampang menetapkan DPT berdasarkan data
terakhir pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014
sejumlah 805.459 yang disesuaikan dengan perkembangan kependudukan
terkini sehingga jumlah DPT menjadi 803.499 yang berarti bahwa jumlah
pemilih tetap Kabupaten Sampang adalah 95% dari jumlah penduduk
Kabupaten Sampang. Hal itu sulit diterima akal apabila dikaitkan dengan
rasio jumlah penduduk dalam suatu daerah antara yang berusia dewasa
dan belum dewasa tidak sesuai dengan struktur demografi penduduk
Indonesia pada umumnya.
Menurut Pasal 58 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
menyebutkan bahwa DPT Pemilu terakhir digunakan sebagai sumber
pemutakhiran data pemilihan dengan mempertimbangkan DP4 dari
Dispendukcapil Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi,
dan divalidasi oleh Menteri. Data pemilih tersebut kemudian
dimutakhirkan oleh PPS (Panitia Pemungutan Suara) berdasarkan
perbaikan dari RT atau RW dan tambahan pemilih yang telah memenuhi
syarat namun belum terdaftar untuk ditetapkan menjadi DPS oleh KPU
Kabupaten/Kota. DPS kemudian diumumkan kepada masyarakat untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan. DPS yang telah diperbaiki
kemudian ditetapkan menjadi DPT oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pemutakhiran data pemilih yang bertahap tersebut dimaksudkan
agar dapat menjamin setiap warga negara yang berhak untuk memilih
dapat terdaftar di DPT. Namun kenyataannya pemutakhiran daftar pemilih
masih menyimpan banyak masalah baik dari hulu atau sumber data,
maupun hilir yaitu petugas pemutakhiran sebagai ujung tombak
penyempurnaan data. Permasalahan yang ada pada sumber data dapat
berupa data kependudukan yang tidak valid, tanpa Nomor Induk
Kependudukan (NIK) dan data ganda.
Penelitian tentang permasalahan pemutakhiran data pemilih pernah
dilakukan oleh Alexsander Yandra tentang penyelamatan hak pilih warga
perbatasan jelang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Penelitian ini
menghasilkan temuan adanya perbaikan upaya KPUD Riau dalam
penyelamatan hak pilih warga di daerah perbatasan meskipun masih
kurang efektif serta respon warga masyarakat di wilayah tersebut sangat
26
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

beragam dan terbelah berdasarkan kepentingan politik masing-masing.


Selanjutnya penelitian yang berjudul Manipulasi Pendaftaran Pemilih pada
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toba Samosir Tahun 2015 :
Suatu Studi tentang Malpraktik dalam Pemutakhiran Data Pemilih
Perspektif Pemilu Berintegritas oleh Josep Hasiholan Sianturi. Penulis
meneliti Daftar Pemilih Tetap di Kabupaten Toba Samosir yang bermasalah
karena masih terdapat pemilih ganda, meninggal dunia, dan pindah
domisili. Temuan dari penelitian ini adalah adanya malpraktik yang terjadi
dalam pemutakhiran data pemilih yang disebabkan oleh kualitas Data
Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang tidak valid, kelemahan
petunjuk teknis yang digunakan dan rendahnya profesionalitas
penyelenggara.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, kajian ini mencoba
mengungkap permasalahan pemutakhiran data pemilih di Kabupaten
Sampang. Pemutahiran data tersebut berimplikasi pada jumlah DPT yang
ditetapkan sebanyak 95% dari jumlah DAK2 yang secara resmi diserahkan
oleh Departemen Dalam Negeri. Hal ini dianggap tidak wajar oleh
Mahkamah Konstitusi. Berpijak pada munculnya problem tersebut, tulisan
ini berupaya mengkaji apakah problem yang muncul di KPU Kabupaten
Sampang dalam melakukan pemutakhiran data pemilih dan apa saja faktor
penyebab permasalahan tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitatif yang
merupakan studi untuk menggambarkan permasalahan dalam
pemutakhiran data pemilih di Kabupaten Sampang dengan menggunakan
data yang didukung oleh wawancara secara mendalam terhadap
narasumber. Metode ini digunakan dengan tujuan agar dapat menggali
lebih dalam informasi dari responden yang dipilih.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendaftaran Pemilih dan Pemilu Berintegritas : Pendekatan Teoritik
Hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
melalui pemilu yang bebas dan adil merupakan salah satu pilar dari
demokrasi. Untuk dapat menggunakan haknya, penyelenggara pemilihan
harus menyusun daftar pemilih yang komprehensif dan inklusif, serta
harus dipastikan bahwa tiap warga yang berhak memilih telah didaftar
sekali dalam setiap pemilihan. Terdapat beberapa prinsip pendaftaran
pemilih yang dapat dijabarkan sebagai berikut (Evrensel, 2010):
1. Integritas
Proses pendaftaran pemilih harus jujur dan adil, bebas dari manipulasi
dan intimidasi manapun.
2. Inklusif
Pendaftaran pemilih harus memastikan bahwa seluruh warga yang
berhak memilih mendapatkan kesempatan yang sama untuk
dimasukkan dalam daftar pemilih.
3. Komprehensif

27
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pendaftaran pemilih harus bertujuan untuk dapat mendaftarkan 100%


warga yang berhak memilih termasuk kelompok sosial yang cenderung
pasif seperti perempuan, pemilih pemula, maupun orang-orang yang
kurang memiliki akses.
4. Akurasi
Seluruh informasi data pemilih harus dicatat secara akurat dan
dimutakhirkan agar daftar pemilih yang digunakan dalam pemilu up to
date.
5. Mudah diakses
Proses pendaftaran pemilih harus mudah diakses dan mudah dipahami
oleh semua orang yang berhak untuk memilih.
6. Transparansi
Transparansi dapat meningkatkan integritas dalam proses dan hasil
pendaftaran pemilih.
7. Keamanan
Petugas pendaftaran pemilih harus dipastikan keselamatan dan
keamanannya. Mereka harus diawasi dan dilindungi dari tindakan atau
ancaman sehingga dapat bekerja secara jujur, profesional dan tidak
memihak.
8. Akuntabilitas
Penyelenggara harus memastikan bahwa tujuan pendaftaran pemilih
tercapai dan prinsip-prinsipnya telah diterapkan.
9. Kredibilitas
Partai politik dan publik membutuhkan keyakinan bahwa pendaftaran
pemilih telah dilaksanakan dengan berintegritas, adil, akurat dan efektif.
Dalam penelitian ini, konsep integritas pemilu yang digunakan sebagai
alat untuk menganalisa permasalahan menggunakan 4 indikator yang
dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (2016) yaitu transparan, akuntabel,
jujur dan akurat. Transparansi merupakan dasar dalam setiap kegiatan
penyelenggara pemilu yang bertujuan agar dapat mencegah persepsi dan
identifikasi adanya kecurangan finansial, kecurangan pemilu atau
keberpihakan pada kepentingan politik tertentu. Indikator kedua adalah
akuntabel yang berarti bahwa penyelenggara pemilu bertanggung jawab
atas kegiatannya dan secara berkala memberikan bukti kepada pemangku
kepentingan dan publik bahwa kegiatan telah berjalan efektif dan
memenuhi standar hukum yang berlaku. Indikator ketiga adalah jujur
yang menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya lurus hati, tidak
berbohong dengan berkata apa adanya, tidak curang dalam mengikuti
peraturan yang berlaku, serta tulus dan ikhlas. Indikator terakhir adalah
akurat, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan pemilihan harus
bekerja dengan cermat, teliti dan seksama agar hasil pemilu sesuai dengan
sebenarnya.

Pemutakhiran Data Pemilih Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati


Sampang 2018
KPU Kabupaten Sampang merupakan penyelenggara Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati di wilayah Kabupaten yang memiliki struktur hirarkis
terhadap penyelenggara di tingkatan yang lebih luas yaitu KPU Provinsi
Jawa Timur dan KPU RI. Sehingga seluruh pelaksanaan Pemilihan Bupati
28
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dan Wakil Bupati Tahun 2018 diwajibkan untuk mengacu kepada Undang-
Undang dan Peraturan yang berlaku khususnya Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemutakhiran Data Pemilih
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, yang digunakan sebagai dasar
pemutakhiran data pemilih oleh KPU Kabupaten Sampang. Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota Tahun 2018. Serta Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor:
3/PP.02.3-Kpt/35/Prov/IX/2017 tentang Pedoman Teknis Pemutakhiran
Data dan Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur 2018.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku diatas, bahan pemutakhiran
data Pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018 berasal dari
DPT Pemilu terakhir yang diadakan di Sampang yaitu Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden 2014 dengan jumlah pemilih sebanyak 806.340 orang
dengan mempertimbangkan DP4 dari Kementerian Dalam Negeri.
Kewajiban bagi KPU Kabupaten Sampang untuk patuh pada peraturan
yang berlaku dalam pemutakhiran data pemilih pad Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati 2018 dijelaskan oleh Anggota KPU Kabupaten Sampang yaitu
bapak Addy Imansyah selaku Divisi Perencanaan dan Data sebagai berikut:
“…kalau Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018 dasarnya DPT pemilu
terakhir dengan mempertimbangkan DP4. Jumlah DPT Pilpres 2014 adalah
sebanyak 805.459 pemilih, artinya mereka yang memenuhi syarat sebagai
pemilih sesuai dengan ketentuan minimal berumur 17 tahun pada hari
pemungutan atau sudah menikah, sepanjang tidak hilang ingatan dan
sebagainya…”

Dari hasil sinkronisasi data DP4 dengan DPT pemilu terakhir yang
dilakukan oleh KPU RI kemudian dibagikan kepada KPU Kabupaten/Kota
yang melaksanakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada Tahun 2018
untuk dijadikan bahan pemutakhiran data pemilih oleh Panitia
Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Seperti yang disampaikan oleh Bapak
Addy sebagai berikut :
“…jadi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Sampang termasuk juga KPU
Kab/Kota se Jawa Timur adalah apa yang diterima itu kita petakan ke dalam
TPS-TPS yang sudah kami alokasikan, kurang lebih ada 1.450 TPS untuk
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018. Kemudian kita cetak dalam form
model A yang ada di lampiran PKPU Nomor 2. Kita tidak punya kewenangan
untuk mengubah, menambah, mengurangi, mencoret dan lain sebagainya
sebelum dilakukan proses coklit, dilakukan proses verifikasi ke lapangan…”

Setelah data hasil sinkronisasi dicetak, PPDP mulai menjalankan


tugasnya untuk melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) ke lapangan
dengan mendatangi pemilih secara langsung, seperti yang dituturkan oleh
Bapak Addy :

29
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

“…proses coklit menemui langsung, mencoret pemilih yang tidak memenuhi


syarat kemudian menambahkan pemilih dalam form model khusus yang
disediakan. Secara teknis PPDP membawa dokumen yang sudah kita berikan
sebagai bahan coklit itu, jadi bukan softfile ya tapi hardcopy. Kemudian ada
form lain kosongan untuk menambahkan pemilih yang belum masuk pada form
model A itu, kemudian ada juga buku panduan coklit dan dilengkapi dengan
tanda pengenal dan stiker tanda sudah tercoklit di rumah-rumah yang sudah
dilakukan proses coklit termasuk juga bukti sudah dicoklit yang itu diberikan
kepada pemilih dan satu lagi dipegang petugas…”

Pada masa coklit (pencocokan dan penelitian), KPU Kabupaten


Sampang melakukan pengawasan dengan cara monitoring bersama
dengan PPK dan PPS. Selain itu ada laporan berkala 3(tiga) kali selama
coklit dengan disertai bukti foto pemutakhiran. Kemudian metode lain yang
digunakan untuk pengawasan pemutakhiran data pemilih adalah dengan
cara multistage random sampling sekitar 5% dari populasi data yang
dicoklit. Hal ini sesuai dengan keterangan dari Bapak Addy berikut :
“…ada laporan berkala ada tahap pertama tahap kedua kita minta untuk
melaksanakan pengawasan kan, monitoring dan itu harus melampirkan foto.
Kemudian kita sampling, kalo tidak salah kita sampling sekian persen dari
populasi yang dicoklit itu dengan cara multistage random sampling. Kita
sampling dengan pertimbangan daerah yang dengan geografis jauh, kemudian
dengan pertimbangan kepadatan penduduk, kemudian tingkat kerawanan dan
lain sebagainya. Sampling kurang lebih sekitar 5% dari seluruh data yang
dilakukan coklit…”

Proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU Kabupaten


Sampang melibatkan stakeholder terkait terutama Dispendukcapil
Kabupaten Sampang yang berwenang dalam pencatatan data penduduk di
wilayah tersebut. Sebagaimana penuturan dari Bapak Addy sebagai
berikut :
“…pada proses coklit itu kita secara intensif melakukan
monitoring…bahkan menemui langsung pemilih yang dicoklit oleh PPDP
bersama dengan Dispendukcapil. Dispendukcapil itu juga masuk bagian
dari KPU karena masuk dalam Pokja pemutakhiran data pemilih. Bahkan
sejak proses 2016 sebelum masuk pada tahapan coklit, kita sudah libatkan
Dispendukcapil dalam penyusunan daftar pemilih berkelanjutan. Ada
pertemuan berkala stakeholder misalnya yang itu didalamnya ada
Dispendukcapil. Kita berikan softcopy setiap tahapan bukan hanya
Dispendukcapil tetapi apa namanya Pemkab ya, Kesbangpol kita berikan
karena mereka bagian dari stakeholder…”

Setelah coklit selesai dilaksanakan Panitita Pemungutan Suara (PPS)


menyusun Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk disampaikan ke KPU
Kabupaten Sampang melalui Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). DPS
tersebut kemudian diumumkan di tempat strategis agar mendapatkan
masukan dan tanggapan dari masyarakat yang harus ditindaklanjuti oleh
PPS, PPK maupun KPU Kabupaten Sampang. Setelah coklit selesai, KPU
Kabupaten Sampang melakukan pengecekan secara manual dengan
menggunakan excel karena Sistem Informasi daftar Pemilih (Sidalih) belum

30
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

ada fitur untuk mengecek kegandaan pada saat itu, seperti yang
disampaikan oleh Bapak Addy sebagai berikut :
“…pada saat Sidalih belum membaca itu (ganda) semua masuk… proses
perbaikan sistem sidalih itu dilakukan pada saat pelaksanaan tahapan juga
kan. Malah pada saat penetapan DPS ini yang seharusnya pakai Sidalih karena
suatu hal itu Jawa Timur tidak menggunakannya. Tapi untuk siasati itu kita
bikin sistem tool excel sederhana untuk detect ganda antar TPS, antar desa
maupun antar kecamatan…terus terang seperti yang disampaikan oleh admin
Sidalih fitur ngecek kegandaan hanya beberapa hari sebelum penetapan DPT…”

KPU Kabupaten Sampang telah memerintahkan kepada PPK dan PPS


agar tetap melakukan pemutakhiran data pemilih hingga hari pelaksanaan
pemungutan suara. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Addy sebagai
berikut :
“…pasca penetapan DPT … kita keluarkan surat edaran internal untuk … tetap
melakukan pemutakhiran sampai hari H. Jadi dengan mekanisme ketika ada
TMS tapi masih tercatat di DPT itu ditandai, dicoret manual, diarsir. C6 nya
dikembalikan dengan bagian belakangnya ditulis sebab TMS nya. Kemudian
bagi yang tidak masuk itu disampaikan mekanisme penggunaan KTP elektronik
untuk digunakan pada saat datang ke TPS tanggal 27 Juni…”

Alur pemutakhiran data pemilih di Kabupaten Sampang dalam


Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat dilihat pada
gambar berikut :

Diagram 2. Alur Proses Pemutakhiran Data Pemilih


DP4

Sinkronisasi DP4 dengan


DPT Pemilu Terakhir

Coklit

Penetapan DPS

Pengumuman DPS, Masukan


dan Tanggapan Masyarakat

Penetapan DPT

Sumber : Diolah Dari Komisi Pemilihan Umum, 2017

31
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Permasalahan pada Pemutakhiran Data Pemilih Pemilihan Bupati dan


Wakil Bupati Sampang 2018
Permasalahan pemungutan suara yang muncul pada Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Sampang antara lain: Pertama, peraturan tentang
sumber data pemutakhiran tidak sinkron. Ketidaksinkronan peraturan
tentang sumber data pemutakhiran dapat dilihat dalam UU Nomor 24
Tahun 2013 menyatakan bahwa data kependudukan yang digunakan
untuk semua keperluan adalah data kpendudukan dari Kementerian yang
bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri, antara lain
untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan;
c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; dan e. penegakan hukum
dan pencegahan kriminal. Sehingga berdasarkan aturan ini Kementerian
dalam mengeluarkan data DP4 yang dijadikan data awal dalam
pemutakhiran data pemilih. Namun apabila mengacu pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pemerintah melalui
Kemendagri menyampaikan DP4 yang telah dikonsolidasi, diverifikasi dan
divalidasi kepada KPU.
Kedua, data mutasi pemilih kurang akurat, masih ada data pemilih
yang telah meninggal dunia namun masih terdaftar dalam DPT. Ketiga,
perpindahan basis data pemilih dari de facto menjadi de jure. Pada pemilu
yang dilaksanakan sebelumnya, sistem pendaftaran dan pemutakhiran
data pemilih terhadap warga yang dilakukan berdasarkan domisili de facto
dimana pendaftaran data pemilih di desa/kelurahan tempat tinggalnya
secara faktual sepanjang memiliki identitas yang jelas berupa salah satu
dari beberapa bukti identitas seperti KTP, KK, akta kelahiran, akta kawin,
paspor, atau surat keterangan domisili lurah/kepala desa. Sedangkan
pada Pemilihan Serentak Tahun 2018 berubah menjadi de jure yang
mengacu kepada penggunaan alamat yang terdapat di Kartu Keluarga atau
KTP sebagai dasar tempat pendaftaran pemilih.
Keempat, adanya data ganda dalam DPT. Salah satu penyebab adanya
data ganda dalam DPT adalah PPDP (Panitia Pemutakhiran Data Pemilih)
tidak memahami aturan yang berlaku. PPDP masih mencatat beberapa
pemilih baru berdasarkan data de facto, bukan de jure sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Kelima, adanya kepentingan tokoh lokal dalam
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati seperti klebun (kepala desa) dan blater.
Keenam, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pendaftaran pemilih
meskipun telah dilakukan sosialisasi oleh KPU Kabupaten Sampang
melalui media massa dan media sosial.
Kabupaten Sampang sebagai Troublespot Pemilu di Indonesia
Sejarah kecurangan yang terjadi di Sampang dimulai sejak tahun
1997 dimana terdapat rekayasa dan manipulasi suara oleh penguasa
untuk memenangkan partai Golkar. Praktek-praktek kecurangan yang
terjadi meliputi mencoblos surat suara sendiri, banyak warga yang tidak
terdaftar sebagai pemilih merupakan penyebab kemarahan dari para kyai
dan masyarakat Sampang. Kecurangan tersebut menyulut kerusuhan
massal yang terjadi pada tanggal 29 Mei 1997 di kota maupun desa, massa
membakar kotak suara dan beberapa tempat untuk menuntut
pemungutan suara ulang di Sampang. Setelah terjadinya kerusuhan

32
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

tersebut akhirnya pemerintah menggelar pemilu ulang pada tanggal 4 Juni


1997 meskipun dalam pelaksanannya masih ada kecurangan.
Pada Pemilu 2004, terdapat penghitungan ulang terhadap hasil
penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dalam dokumen-
dokumen model C yang dibuat oleh KPPS dan model D yang dibuat oleh
PPS (Panitia Pemungutan Suara) di 6 (enam) kecamatan yaitu Kecamatan
Sampang (khusus Desa Gunung Maddah), Kecamatan Sokobanah,
Kecamatan Robatal, Kecamatan Kedungdung, Kecamatan Ketapang, dan
Kecamatan Banyuates. Hal ini terjadi karena adanya laporan dari Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) bahwa terdapat kesalahan dalam hasil
penghitungan suara yang mengakibatkan berkurangnya perolehan jumlah
kursi pada Dapil X Jawa Timur. Dalam amar putusan nomor
031/PHPU.C1-II/2004, Mahkamah memerintahkan kepada KPU untuk
mengecek ulang agar memperoleh kepastian hasil penghitungan suara
yang diperselisihkan.
Selanjutnya pada tahun 2008, Sampang bersama dengan Bangkalan
mencatat rekor baru dalam kepemiluan di Indonesia dengan diadakannya
pemungutan suara putaran ketiga pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur. Menurut keterangan para saksi, telah terjadi
beberapa kecurangan pada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur
putaran kedua, antara lain surat suara dicoblos oleh oknum KPPS,
beberapa saksi diancam akan dibunuh di Desa Omben Kecamatan Omben,
penggelembungan suara di TPS 2 Desa Kedundung Kecamatan
Kedungdung, sehingga rekap saksi tidak sesuai dengan di TPS atau di PPK,
serta banyaknya kartu undangan untuk memilih yang tidak diberikan
kepada warga.
Setahun berikutnya, pada pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg)
Tahun 2009 terdapat kasus yang mengemuka karena adanya gugatan dari
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yaitu Abdul Jalil
Latuconsina yang menyatakan bahwa terdapat jual beli suara di Kabupaten
Sampang, hal ini dibuktikan dengan adanya SMS dari salah seorang PPK
(Panitia Pemilihan Kecamatan) di Sampang menawarinya jika ingin
mendapatkan suara maka harus membeli. Pernyataan tersebut diperkuat
oleh kesaksian dari seorang Caleg dari Partai Persatuan Pembangunan
yang diminta oleh oknum PPK untuk membayar 25 juta rupiah untuk
mendapatkan suara. Meskipun gugatan tersebut akhirnya ditolak oleh
Mahkamah, namun keterangan dari penggugat dan para saksi dapat
menjadi catatan mengenai manipulasi pemungutan dan penghitungan
suara di Sampang. Selanjutnya pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun 2013 terulang kembali permasalahan
masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan formulir model C-6
yang digunakan sebagai undangan untuk mencoblos. Selain itu menurut
saksi terdapat manipulasi pemungutan suara oleh KPPS terkait jumlah
pemilih yang datang dengan perolehan suara tidak sinkron, terdapat
penggelembungan suara. Namun gugatan tersebut akhirnya kandas
setelah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2014 yang lalu, terdapat beberapa
praktek manipulasi yang terjadi antara lain: pertama, TPS Fiktif dimana
33
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

sebanyak 17 TPS di Desa Bira Barat Kecamatan Ketapang tidak ada


seorang pun yang menggunakan hak pilihnya namun dalam formulir C1
tercantum seratus persen surat suara telah tercoblos untuk calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPD. Kedua, saksi tidak dilibatkan dalam
pembukaan kotak suara di Desa Pandiyangan Kecamatan Robatal.
Menurut keterangan saksi menyatakan bahwa kotak suara sudah dalam
kondisi terbuka ketika saksi tersebut datang ke TPS 13. Ketiga,
pencoblosan dilakukan tidak langsung, ada oknum yang mencobloskan
surat suara satu keluarga yang sedang keluar kota. Keempat, petugas
mengarahkan pemilih untuk mencoblos caleg tertentu di TPS 12 Desa
Pandiyangan Kecamatan Robatal. Kelima, politik uang dimana seorang
kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau berusaha membeli suara
agar pemilih mencoblos dengan imbalan yang bersifat finansial.
Pada pelaksanaan pemilu legislatif tersebut, Panwaslu Kabupaten
Sampang menemukan pelanggaran di TPS 8 dan TPS 10 Desa Bira Barat
Kecamatan Ketapang dimana proses pemungutan suara tidak dilakukan
sesuai tata cara dalam PKPU Nomor 26 Tahun 2013 tentang pemungutan
dan penghitungan suara di TPS dalam Pemilu Legislatif. Bawaslu Provinsi
Jawa Timur mengambil alih temuan tersebut dan menindaklanjuti dengan
merekomendasikan pemungutan suara ulang di 17 TPS di Desa Bira Barat
Kecamatan Ketapang.
Selain itu, Panwaslu Kabupaten Sampang juga menemukan
pelanggaran di TPS 12 dan TPS 13 Desa Pandiyangan Kecamatan Robatal
yang direkomendasikan untuk melakukan pemungutan suara ulang pada
tanggal 19 April 2014. Namun pemungutan suara ulang tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena petugas KPPS dan PPS mengundurkan diri satu
hari sebelum tanggal pelaksanaan. Hal ini ditindaklanjuti oleh KPU RI
dengan melaksanakan pemungutan suara ulang kembali pada tanggal 27
April 2014 dengan petugas KPPS diambilkan dari PPK se-Kabupaten
Sampang ditambah relawan demokrasi. Meskipun telah diadakan
pemungutan suara ulang namun tidak ada satu pun pemilih yang
menggunakan hak pilihnya sehingga perolehan suara nihil.
Permasalahan pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sampang
2018 ini merupakan hal yang baru, karena gugatan kecurangan yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi cenderung serupa dengan
permasalahan pada pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu seputar manipulasi
pemungutan dan penghitungan suara pada beberapa TPS. Namun dalam
putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan untuk pelaksanaan
pemungutan suara ulang di seluruh Kabupaten Sampang dengan syarat
perbaikan DPT harus dilakukan sebelumnya. Mahkamah menilai bahwa
DPT yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten Sampang tidak logis apabila
dibandingkan dengan DAK2 semester 1 Tahun 2017 adalah sebesar 95%
dari total jumlah penduduk.
Analisis Tahapan Pemutakhiran Data Pemilih
Penyelenggara pemilu dituntut agar bekerja secara profesional dan
akurat, bebas dari kesalahan dan manipulasi, dengan demikian
penyusunan daftar pemilih harus sesuai dengan standar kualitas yang
dilihat dari tiga aspek, yaitu :

34
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

1. cakupan (comprehensiveness), yaitu jumlah warga negara yang


berhak memilih baik di dalam negeri ataupun di luar negeri tercantum
dalam DPT;
2. kemutahiran, yaitu DPT disusun sesuai dengan berdasarkan
informasi terakhir mengenai pemilih, meliputi umur 17 tahun pada hari
pemungutan suara, status telah/pernah kawin, status pekerjaan bukan
anggota TNI/Polri, pindah alamat sebelum hari pemungutan suara, dan
meninggal;
3. akurasi, daftar pemilih diharapkan mampu memuat informasi
tentang pemilih, meliputi nama, umur/tanggal lahir, status kawin, status
bukan anggota TNI/Polri, dan alamat, tanpa kesalahan penulisan, tidak
ganda, dan tidak memuat nama yang tidak berhak.
Pada kenyataannya, terjadi kesenjangan antara standar kualitas
pemutakhiran data pemilih dengan pelaksanaan pemutakhiran data
pemilih di Kabupaten Sampang, terutama pada aspek akurat dan mutakhir.
Dua aspek ini saling terkait karena data pemilih yang akurat maka akan
semakin mendekati mutakhir. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya data
ganda dan orang yang telah lama meninggal dunia dalam DPT meskipun
telah melalui proses coklit data pemilih menjadi DPS, perbaikan DPS
menjadi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) hingga
penetapan DPT.
Selain pada proses pemutakhiran data, sumber data yang digunakan
sebagai bahan turut menentukan kualitas dari data pemilih tersebut.
Ketidaksinkronan aturan mengenai sumber data pemilih antara satu
undang-undang dengan yang lain menimbulkan ambigu di kalangan
stakeholder. Akibatnya timbul berbagai penafsiran dengan
membandingkan data pemilih dengan data kependudukan. Padahal kedua
data tersebut sifatnya berbeda karena tujuan penggunaannya juga berbeda.
Data kependudukan bertujuan untuk mencatat data warna negara
Indonesia berdasarkan domisilinya untuk digunakan sebagai bahan
pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran,
pembangunan demokrasi, serta penegakan hukum dan pencegahan
kriminal. Sifat data kependudukan adalah pasif, menunggu warga untuk
melaporkan kelahiran, kematian dan pindah domisili. Sedangkan data
pemilih digunakan sebagai dasar pelaksanaan mulai dari alokasi anggaran,
penentuan jumlah TPS dan KPPS, hingga untuk mengukur tingkat
keberhasilan pelaksanaan Pemilu di suatu wilayah. Sifat data pemilih
adalah aktif, dimana penyelenggara diwajibkan untuk mendaftar semua
warga yang berhak untuk memilih dalam DPT. Karena hak pilih
merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui secara universal
(universal suffrage) sehingga penyelenggara tidak boleh menghalangi atau
menghilangkan hak pilih seseorang dalam pemilu.
Pemutakhiran data Pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Sampang Tahun 2018 apabila dikaitkan dengan empat
indikator integritas pemilu yaitu transparan, akuntabel, jujur dan akurat,
maka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Transparan

35
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pemutakhiran data pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati


Sampang dapat disebut transparan karena beberapa hal, antara lain
adanya inisiatif dari KPU Kabupaten Sampang yang memerintahkan
PPK dan PPS untuk menemui opinion leader lokal yang ada di tingkat
desa maupun kecamatan dengan tujuan agar mau mengajak warganya
untuk berpartisipasi dan mensukseskan kegiatan coklit. Selain itu, KPU
Kabupaten Sampang melakukan sosialisasi secara langsung kepada
masyarakat agar mencermati, menyampaikan masukan dan tanggapan
terhadap DPS melalui media massa baik cetak maupun radio.
Selanjutnya, salinan DPS diumumkan di balai desa atau kelurahan atau
tempat strategis lainnya yang dipilih oleh PPS seperti pasar supaya
memudahkan masyarakat untuk mengecek daftar pemilih.
2. Akuntabel
KPU Kabupaten Sampang menyampaikan laporan secara berkala yaitu
pada tahap awal, pertengahan, dan akhir coklit. Laporan dilengkapi
dengan dokumentasi proses coklit yang dilakukan oleh PPDP. Laporan
tersebut merupakan bukti bahwa KPU Kabupaten Sampang telah
melaksanakan fungsi supervisi dan monitoring dalam tahapan coklit di
lapangan.
3. Jujur
Dalam indikator ini, ditemukan ketidakjujuran dalam proses
pemutakhiran data pemilih karena adanya kepentingan dari tokoh elit
lokal seperti Klebun dan Blater yang berafiliasi dengan salah satu
pasangan calon Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sampang 2018. Hal
ini mengakibatkan PPDP tidak dapat bekerja secara profesional karena
adanya tekanan dari tokoh-tokoh tersebut.
4. Akurat
Data pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Sampang 2018 terbukti tidak akurat karena masih ada data ganda
dalam DPT contohnya di TPS 2 Desa Angsokah Kecamatan Omben dan
TPS 08 Desa Ketapang Timur Kecamatan Ketapang. Serta masih ada
warga yang telah lama meninggal dunia tetapi terdaftar dalam DPT di
TPS 08 Desa Ketapang Timur Kecamatan Ketapang.
Selain itu, Bawaslu Kabupaten Sampang telah merekomendasikan
kepada KPU Kabupaten Sampang dengan Nomor Surat 148/BAWASLU-
PROV.Jl-23/VI/2018, untuk melakukan pencermatan kembali terhadap
data DPT yang disahkan pada tanggal 19 April 2018. Karena berdasarkan
hasil penilitian dari Bawaslu Kabupaten Sampang, masih ditemukan data
pemilih ganda identik, baik dalam satu TPS maupun di lain TPS, terdapat
data pemilih ganda non identik di semua Kecamatan, data pemilih ganda
non identik yang dimaksud adalah kesamaan data NIK atau NKK, atau
Nama, atau Alamat dalam satu TPS maupun lain TPS. Kemudian masih
ada data pemilih yang tidak lengkap seperti NIK kosong, dan NKK kosong.
Jumlah Data Pemilih yang harus diperbaiki oleh KPU Kabupaten Sampang
adalah sebagai berikut:
1. NIK dan Nama Ganda dalam Desa
Laki laki : 704 Orang
Perempuan : 781 Orang
Jumlah : 1485 Orang
36
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

2. NIK dan Nama Ganda Antar Desa


Laki laki : 120 Orang
Perempuan : 111 Orang
Jumlah : 231 Orang
3. Nama dan NIK Ganda Antar Kecamatan
Laki laki : 16 Orang
Perempuan : 4 Orang
Jumlah : 20 Orang
4. NIK Ganda Dalam Desa
Laki laki : 2253 Orang
Perempuan : 2513 Orang
Jumlah : 4766 Orang
5. NIK Ganda Antar Desa
Laki laki : 1192 Orang
Perempuan : 1124 Orang
Jumlah : 2316 Orang
6. NIK Ganda Antar Kecamatan
Laki laki : 68 Orang
Perempuan : 28 Orang
Jumlah : 96 Orang
Jumlah Total : 8914 Orang
Adanya ribuan data ganda yang ditemukan oleh Bawaslu Kabupaten
Sampang tersebut mengindikasikan bahwa data pemilih yang ditetapkan
oleh KPU Kabupaten Sampang masih belum akurat, sehingga apabila
dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam DAK2 dianggap invalid dan
tidak logis.

KESIMPULAN
Berdasarkan prinsip integritas pemilu yang telah diuraikan sebelumnya,
maka pemutakhiran data pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Kabupaten Sampang Tahun 2018 termasuk tidak memenuhi
indikator jujur dan akurat. Dari temuan hasil penelitian dapat diketahui
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan tidak akuratnya data pemilih
antara lain :
1. Tidak sinkronnya peraturan yang mengatur sumber data pemilih,
dimana pada Undang-Undang nomor 24 tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan, bahwa Kementerian Dalam Negeri salah
satu kewenangan dalam penggunaan data kependudukan adalah untuk
pembangunan demokrasi yaitu pemilu. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa sumber data
pemilih adalah DP4 dari Kementerian Dalam Negeri yang telah
dikonsolidasi, diverifikasi dan divalidasi kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU);
2. PPDP tidak profesional dalam pelaksanaan tugasnya karena
mendapatkan tekanan atau pengaruh dari elit lokal seperti Klebun dan
Blater;
3. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengecek data pemilih,
apakah dirinya dan keluarga sudah terdaftar atau belum;
37
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

4. Petugas PPDP, PPS dan PPK masih belum memahami perpindahan basis
data pemilih dari de facto menjadi de jure yang menyebabkan
munculnya data ganda antar TPS, Desa, maupun Kecamatan;
5. KPU Kabupaten Sampang yang berperan dalam penetapan DPT pada
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018 dianggap turut bertanggung
jawab atas ketidakakuratan data tersebut, sesuai dengan keputusan
MK Nomor 38/PHHP.BUP-XVI/2018 dan keputusan DKPP nomor
272/DKPP-PKE-VII/2018.

Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dalam pemutakhiran data pemilih di
Kabupaten Sampang 2018, maka peneliti mengajukan rekomendasi
sebagai berikut :
1. Untuk mendorong kejujuran dalam penyusunan data pemilih, maka
Rekrutmen PPDP di Kabupaten Sampang sebagai ujung tombak
pemutakhiran harus dilakukan secara transparan dengan
mengumumkan daftar nama calon PPDP kepada masyarakat pada
periode waktu tertentu untuk mendapat masukan dan tanggapan dari
masyarakat. Sehingga diharapkan calon PPDP yang memiliki rekam
jejak tidak profesional pada pelaksanaan pemilihan sebelumnya dapat
tersaring;
2. Untuk meningkatkan akurasi data pemilih pada pemilihan di
Kabupaten Sampang, maka pengumuman DPS perlu metode lain yang
lebih ampuh dalam mendapatkan perhatian masyarakat. Peneliti
merekomendasikan agar PPS melakukan kerjasama dengan RT/RW,
terutama dalam forum pengajian dapat dimanfaatkan untuk melakukan
sosialisasi sekaligus pengamatan terhadap data pemilih sehingga
diharapkan masukan dan tanggapan dari masyarakat lebih maksimal.
3. Agar tidak ada kerancuan dalam acuan penentuan sumber data pemilih,
maka seyogyanya KPU mengusulkan kepada DPR agar ketentuan yang
mengatur tentang sumber data pemilih disinkronkan, sehingga tidak
ada lagi penafsiran yang berbeda mengenai hal tersebut. Apabila
disepakati bahwa sumber data pemilih adalah murni dari Kementerian
Dalam Negeri, maka aturan yang setara atau di bawahnya juga
mengatur bahwa DP4 yang digunakan untuk data awal pemutakhiran.
Demikian pula apabila disepakati sumber data dari KPU, maka semua
aturan tentang pemutahiran data pemilih juga mengatur demikian.
Sehingga jelas tanggung jawab data pemilih ada pada institusi KPU;
4. KPU perlu melakukan studi kasus di Kabupaten Sampang karena selalu
ada masalah dalam tiap pelaksanaan pemilu. Terdapat suatu hal yang
perlu diteliti lebih mendalam dengan melibatkan universitas atau LSM
Independen agar menghasilkan rekomendasi tepat untuk penyelesaian
akar permasalahan yang ada.
Berdasarkan rekomendasi diatas, peneliti menawarkan alur
pemutakhiran data pemilih yang dapat digunakan untuk meminimalisir
data pemilih yang kurang akurat sebagai berikut :

38
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Diagram 3. Rekomendasi Alur Proses Pemutakhiran Data Pemilih


DP4

Sinkronisasi DP4
Pengumuman dengan DPT Pemilu
Data Pemilih Terakhir

Coklit

Kerjasama dengan
Kantor Penetapan DPS
Desa/Kelurahan

Pengumuman DPS,
Masukan dan
Tanggapan Masyarakat

DPPH Penetapan DPT


DPTb

Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa data DP4 yang telah
disinkronisasi dengan DPT Pemilu terakhir langsung diumumkan kepada
masyarakat untuk mendapat masukan dan tanggapan di tahap awal
sebelum coklit dilaksanakan. Masukan dan tanggapan tersebut dicatat
oleh PPS sebagai bahan catatan khusus dalam melaksanakan coklit.
Selanjutnya pada tahapan coklit hingga pengumuman DPS, PPS
bekerjasama dengan kantor desa atau kelurahan dalam pencatatan
informasi kematian dan perpindahan penduduk baik yang masuk ataupun
keluar daerah. Dengan demikian diharapkan kualitas data pemilih yang
dihasilkan dapat lebih akurat dan mutakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
ACE-Electoral Knowledge Network (2012). The ACE Encyclopaedia: Voter
Registration. ACE Project

Catt, Helena, et al (2014). Electoral Management Design: The International


IDEA Handbook. Stockholm: International IDEA

Evrensel, Astrid (2010). Voter Registration in Africa: A Comparative Analysis.


Johannesburg: EISA

Rahayu, Paramita (2018). Manipulasi Pemungutan Suara dan


Penghitungan Suara di TPS pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 di
Kabupaten Sampang, Studi tentang Malapraktik Pemilu dari Perspektif
Asas-Asas Pemilu Demokratis”. Tesis.Surabaya: Universitas Airlangga

39
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Rozaki, Abdur (2004). Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kyai dan
Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta; Pustaka Marwa

Sianturi, Josep Hasiholan (2018). Manipulasi Pendaftaran Pemilih pada


Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toba Samosir Tahun
2015 : Suatu Studi tentang Malpraktik dalam Pemutakhiran Data
Pemilih Perspektif Pemilu Berintegritas. Tesis.Surabaya: Universitas
Airlangga

Surbakti, Ramlan dkk. (2011). Meningkatkan Akurasi Daftar Pemilih:


Mengatur Kembali Sistem Pemilih Pemutakhiran Daftar. Jakarta:
Kemitraan

Jurnal

Yandra, Alexsander. (2017). Penyelamatan Hak Pilih Warga Perbatasan


Jelang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Jurnal Politik Universitas
Nasional, Vol. 13 No. 1 hal. 1943

Artikel Online
Faisol Ramdhoni. (2014). Melihat Tradisi Kecurangan Pemilu di Sampang.
Diakses 21 Juli 2019, dari:
https://www.kompasiana.com/faisal1979/54f6ad83a333113b528b46
87/melihat-tradisi-kecurangan-pemilu-di-sampang.

Artikel dalam Konferensi

Ramlan Surbakti (2016). Tata Kelola Pemilu Sebagai Subkajian Pemilu


Terapan. Makalahdisampaikan inagurasi Anggota Baru Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI), tanggal 26 Desember 2016 di Universitas
Airlangga.

Risalah Sidang
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Putusan Perkara Nomor
272/DKPP-PKE-VII/2018, tanggal 16 Januari 2019

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Perselisihan Hasil Pemilihan


Bupati Sampang : Acara Pemeriksaan Pendahuluan.Risalah Sidang
Perkara Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018, Jakarta : 2018

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 031/PHPU.C1-II/2004,


tanggal 17 Juni 2004

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008,


tanggal 2 Desember 2008

40
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 96/PHPU.A-VII/2009,


tanggal 11 Juni 2009

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 117/PHPU.D-XI/2013,


tanggal 7 Oktober 2013

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Nomor 10-07-16/PHPU.DPR-


DPRD/XII/2014, tanggal 30 Juni 2014

41
ANALISIS BEBAN KERJA
KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA (KPPS)
MENGGUNAKAN METODE FTE (FULL TIME EQUIVALENT)
PADA PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019
DI KABUPATEN BANGKA TENGAH

Ricky Febriansyah, Ana Husnayanti


KPU Kabupaten Bangka Tengah
Politeknik Kesehatan Pangkalpinang
E-mail: ricky.febriyanti@gmail.com

ABSTRAK
Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 menjadi beban kerja yang sangat berat
dan luas bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hal ini karena
KPPS harus melayani pemilih memberikan suara sebanyak 5 (lima) surat suara.
Beban KPPS terjadi pada sebelum pemungutan dan penghitungan suara dan
sesudahnya. Beban berat KPPS menyebabkan mereka kelelahan sehingga
mengganggu proses pemungutan dan penghitungan suara, bahkan sampai ada
mengalami kecelakaan kerja seperti sakit dan meninggal dunia. Untuk itu
diperlukan penghitungan beban kerja dengan metode FTE (Full Time Equivalent).
Metode FTE dengan cara membagi hasil kerja dengan waktu realnya. Metode
penelitian ini berlokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 02 Desa Padang Baru
Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah, sebab KPSS mengalami
kesalahan penghitungan sehingga harus dilakukan pembukaan kotak suara pada
saat pleno di tingkat PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan). Metode yang digunakan
dengan menggunakan work sampling pada proses penghitungan suara yang
dikerjakan KPPS di TPS. Dari hasil penghitungan FTE, beban kerja KPPS masuk
dalam katergori overload, rata-rata diatas 2. Dengan adanya data FTE ini maka
sebagai rekomendasi bagi penyelenggaraan pemilu agar tidak memberikan beban
kerja yang berat bagi KPPS. Menyederhanakan sistem pemilu dan memperhatikan
dengan menyiapkan tenaga medis agar dapat memberikan pertolongan jika ada
anggota KPPS yang mengalami kecelakaan kerja.
Kata Kunci : KPPS, Beban Kerja, Pemilihan Umum Serentak

Work Load Analysis Voter Organizer Groups (KPPS)


Using The FTE (Full Time Equivalent)
Method In The General Election Of 2019
In Central Bangka Regency

ABSTRACT
The 2019 Simultaneous Elections became a very heavy and broad workload for
the Voter Organizer Group (KPPS). This is because KPPS must serve voters as many
as 5 (five) ballots. KPPS expenses occur before and after the vote count and
afterwards. The heavy burden of KPPS causes them to be exhausted, thus interfering
with the voting and counting process, even to the point of having an occupational
accident such as illness and death. For this reason, it is necessary to calculate the
workload using the FTE (Full Time Equivalent) method. FTE method by dividing the

42
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

work with real time. This research method is located at the Polling Station (TPS) 02
Padang Baru Village, Pangkalan Baru Subdistrict, Central Bangka Regency,
because KPPS has miscalculated so that the ballot box must be opened at the
plenary level at the PPK (District Election Committee). The method used by using
work sampling in the process of counting votes conducted by KPPS at the TPS. From
the FTE calculation results, the workload of the KPPS is included in the overload
category, averaging above 2. With this FTE data as a recommendation for organizing
elections so as not to provide a heavy workload for the KPPS. Simplify the electoral
system and pay attention by preparing medical personnel so that they can provide
assistance if a KPPS member has an occupational accident.

Keywords: KPPS, Workload, Simultaneous Election

PENDAHULUAN
Penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak berawal dari ide
akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu
Serentak yang menggugat Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) ke Mahkamah
Konstitusi (MK) pada tahun 2013 silam. Dengan gugatan teregistrasi nomor
14/PUU-XI/2013. MK pun mengabulkan permohonan tersebut dengan
alasan penyelenggaraan pilpres harus menghindari tawar menawar
(bargaining) politik bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga
terciptanya negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan
jangka panjang1.
Penyelenggara Pemilu seperti yang diatur dalam Undang-undang
nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka 7 adalah lembaga yang
menyelenggarakan pemilu yang terdiri dari KPU (Komisi Pemilihan Umum),
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan DKPP (Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu). KPU (Komisi Pemilihan Umum) adalah lembaga
penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dalam
melaksanakan pemilu. KPU terdiri dari KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS dan KPPSLN. Sementara Badan
Adhoc menurut PKPU Nomor 3 tahun 2018 tentang Pembentukan Badan
Adhoc Penyelenggara Pemilu 2019 terdiri atas PPK, PPS dan KPPS. PPK
bertugas di tingkat Kecatamatan, PPS ditingkat Kelurahan/Desa dan KPPS
ditingkat TPS.
Pada Penyelenggaraan pemilu tahun 2019 merupakan pemilu
pertama yang diselenggarakan secara serentak dengan memilih 5 (lima)
surat suara yaitu Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (Solihah, 2017: 84).
Pemilu serentak 2019 membutuhkan kertas suara yang lebih banyak serta
waktu yang dibutuhkan pemilih di dalam bilik suara menjadi lebih banyak.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan serentak
pada tahun 2019 kemarin menyisakan berbagai permasalahan.
Permasalahan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat.
Permasalahan dari penyelenggara pemilu khususnya di tingkat KPPS

1
https://m.cnnindonesia.com/nasional/2019042313537-32-388910/pemilu-serentak-bertaruh-nyawa-demi-
efisiensi-semu

43
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dimana banyak anggota KPPS mengalami kecelakaan kerja seperti sakit,


bahkan ada yang meninggal dunia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan total ada 527 petugas
KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang sakit2. Menteri Kesehatan Nila
Moeleok menjelaskan hasil investigasi kementerian kesehatan terkait
kematian petugas KPPS karena adanya riwayat penyakit yang diderita para
petugas KPPS seperti Hipertensi Emergency, Diabetes, Asma, Dispepsia,
Gastrits, infeksi saluran kemih, typoid, syncope, gagal ginjal, respiratory
failure, meningistis, sepsis, dan stroke. Kemudian ditambah lagi beban
kerja yang sangat berat. Dalam kajian (Pandiangan, 2019: 16) menyatakan
tanggung jawab dan beban kerja KPPS yang luas dan berat pada pemilu
2019, diharapkan adanya perubahan organisasi dan fasilitas serta
kesejahteraan yang diterima oleh Ketua dan Anggota KPPS. Pemilu 2019
kemarin kualitas dan peluang akan digugat oleh masyarakat dan peserta
pemilu, sangat ditentukan dari hasil kerja KPPS apabila tidak memenuhi
prinsip-prinsip yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib,
terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien.
Selanjutnya Kualitas kerja KPPS dalam jurnal dari (Gorantokan,
2017:18-19), menyimpulkan bahwa kualitas kerja kelompok penyelenggara
pemungutan suara dalam penyenggaraan pemilu legislatif di Kabupaten
Lembata Tahun 2014 belum optimal karena pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan terbatas. Salah satu yang menarik dalam penelitian
tersebut adalah adanya sebagian anggota KPPS yang mengkonsumsi
minuman berakhohol sehingga menghambat proses pelaksanaan kegiatan
serta pelaksanaan proses penghitungan perolehan suara tidak sesuai
dengan jadual yang sudah ditetapkan oleh KPU.
Disproporsionalitas Beban Tugas KPPS (Susanto, 2014: 12) pada
Pemilu legislatif tahun 2014 menunjukan beban pekerjaaan dalam
pemungutan suara adalah ketua, anggota kedua, ketiga dan keempat.
Tugas ketua KPPS sibuk dalam memimpin proses pemungutan suara,
mengatur pemberian surat suara kepada pemilih, mengisi formulir dan
menandatangani sejumlah dua ribu surat suara. Tugas anggota KPPS
kedua dan KPPS ketiga berat karena harus mengisi alamat dan nomor TPS
dalam surat suara sejumlah dua ribu surat suara. Tugas KPPS Keempat
sangat berat karena kuantitas pekerjaan banyak mengurusi pendataan
pemilih. Sedangkan tugas anggota KPPS kelima hanya mengawasi
penggunaan bilik suara, KPPS keenam mengawasi penggunaan kotak
suara dan KPPS ketujuh mengawasi pencelupan jari tangan ke dalam tinta
tanda pemilih. Terlebih ketika proses penghitungan suara, ketua KPPS
harus mengumumkan sah/tidak sah tanda coblos pada surat suara
sejumlah dua ribu surat suara dengan suara keras dan jelas. Sementara
anggota KPPS kedua dan ketiga juga berat karena harus mengisi formulir
C1 dengan proses pengisian yang rumit sejumlah 17 rangkap.
Beban kerja yang sangat berat bagi KPPS sehingga mengakibatkan
terjadinya irregularitas (Susanto, 2014: 14) yang dilakukan oleh KPPS
seperti kesalahan petugas KPPS dalam penulisan dan penjumlahan dalam

2
https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/16/17073701/data-kemenkes-
527petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit

44
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

formulir C1 yang banyak terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 yang
lalu di Yogyakarta. Kesalahan tersebut dapat menimbulkan ketidak
percayaan pemilih dan peserta pemilu terhadap hasil rekapitulasi yang
telah diumumkan oleh KPU Kota Yoyakarta. Hal ini terbukti dengan adanya
gugatan akibat kesalahan penjumlahan formulir C1 sebagai materi gugatan
ke Bawaslu Provinsi Yogyakarta terhadap 23 TPS di Kota Yogyakarta. Pada
Pemilu 2014 yang belum penggabungan antara Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dengan pemilu legislatif, banyak kesalahan yang dilakukan KPPS,
apalagi pada Pemilu Serentak 2019 kemarin.
Terdapat fenomena menarik yang dirasakan oleh KPPS dengan
adanya beban kerja yang sangat berat. KPPS dituntut bekerja secara
profesional dan berintegritas dengan dibuktikan surat pernyataan. Tetapi
beban kerja yang sangat berat melebihi standar kerja pada umumnya yang
belum tentu bisa dilaksanakan oleh manusia pada umumnya. Hal ini
terbukti dengan telah diselenggarakan simulasi pemungutan suara di
salah satu TPS di Desa Sungai Selan Kecamatan Sungai Kabupaten Bangka
Tengah. Walaupun pelaksanaan dilakukan oleh PPS, PPK dan KPU
Kabupaten Bangka Tengah. Tetap saja tidak bisa dilaksanakan tepat waktu
dan tepat sasaran. Pemungutan dan Penghitungan suara terlaksana
selama 24 (dua puluh empat) jam lebih atau satu hari satu malam, hal ini
tidak memungkinkan tercapainya target selesainya pemungutan,
penghitungan pada tanggal 17 April 2019 (24 jam).
Pada proses penghitungan suara calon anggota DPR, KPPS harus
mencatat hasil suara dengan mengisi di model C1-Plano-DPR kemudian
harus mencari nama calon anggota DPR yang disebutkan oleh ketua KPPS
ketika membaca hasil pemungutan surat suara. Dengan total ada 16 (enam
belas) partai politik peserta pemilu kemudian harus mencari partai politik,
kemudian mencari lagi calon anggota DPR di partai politik yang dituju. Hal
ini sangat memerlukan ketelitian bagi KPPS agar tidak terjadi kesalahan.
Beban KPPS dirasakan sangat berat karena mereka bekerja bukan
hanya pada hari pencoblosan tetapi sebelum dan sesudah pelaksanaan
pemungutan. Seperti pada buku panduan KPPS pemungutan dan
penghitungan suara pemilu tahun 2019 tahapannya meliputi persiapan,
pelaksanaan dan pengumuman hasil penghitungan suara. Bahkan jika
terjadinya kesalahan dan temuan di TPS yang dilakukan oleh KPPS maka
akan dilaksanakan Pemungutan dan Penghitungan Suara Ulang (PSU).
Kesalahan dan temuan yang dilakukan KPPS bukan karena hal
disengaja tetapi karena beban kerja meliputi fisik dan pikiran sehingga
mereka kelelahan tidak dapat membedakan mana E-KTP yang sesuai.
Sebelum pemungutan suara, KPPS diperintahkan untuk mempersiapkan
seperti pengumuman tempat dan waktu pemungutan suara, penyampaian
formulir Model C6-KPU kepada Pemilih, penerimaan logistik dari PPS
kepada KPPS dan persiapan TPS.
Fakta di lapangan, ketika pada tahapan persiapan beban kerja KPPS
yang dirasakan sangat berat adalah menyampaikan formulir model C6-KPU
kepada pemilih paling lambat 14 April 2019. Mereka berjalan door to door
ke rumah pemilih menyerahkah formulir C6-KPU. Apalagi jika pemilih
tidak berada di rumah karena kerja atau urusan lain, maka mereka harus

45
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

kembali lagi ke rumah pemilih untuk menyerahkan. Seperti kejadian yang


dialami Pranto, anggota PPS Desa Padang Baru jika di TPS 02 Desa Padang
Baru, ketika anggota KPPS menyerahkan formulir C-6-KPU, pemilih tidak
ada ditempat, maka mereka kembali lagi ke rumah pemilih tersebut.
Masalah lain sebelum hari pemungutan adalah penerimaan logistik
TPS dari PPS ke KPPS. Logistik diterima paling lambat 16 April 2019 tetapi
beberapa Desa/Kelurahan baru menerima logistik di kantor
Desa/Kelurahan pada tanggal 16 April 2019 malam hari. Seperti di desa
Beluluk, PPS baru menerima logistik pada H-1 malam hari. Pendistribusian
logistik dari PPS ke KPPS baru bisa dilaksanakan pada malam harinya,
bahkan penerimaan di TPS oleh KPPS baru jam 5 subuh pada tanggal 17
April 2019.
Persiapan sebelum pemungutan dan penghitungan sudah menjadi
beban kerja yang sangat berat bagi KPPS. Mereka sudah lelah sebelum hari
pemungutan dan penghitungan suara. Mereka ada yang belum istirahat.
Dampaknya, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada
tanggal 17 April 2019 tidak optimal. Banyak kesalahan dan temuan yang
dilakukan KPPS yaitu pada penghitungan di C1-Plano sehingga dilakukan
pembukaan kotak suara pada saat pleno di tingkat PPK dengan disaksikan
oleh Panitia pengawas pemilu kecamatan (Panwascam), saksi dan pihak
kepolisian. Pembukaan kotak suara bertujuan untuk melihat hasil C1-
Plano berhologram. Hampir semua KPPS se-Kabupaten Bangka Tengah
diwakili oleh masing-masing ketua datang untuk memperbaiki C1-Plano di
tingkat PPK. Salah satunya TPS 02 Desa Padang Baru, KPPS datang ke
kantor Kecamatan Pangkalan Baru untuk membuka kotak suara
memperbaiki C1-Plano karena ada kesalahan.
Beratnya beban kerja yang dialami oleh KPPS pada Pemilu Serentak
Tahun 2019 khususnya di Kabupaten Bangka Tengah harus dihitung
dengan metode FTE (Full Time Equivalent). Dengan perbandingan antara
jumlah total jam kerja berbayar dengan jumlah jam kerja dalam suatu
periode. Satuan ini digunakan untuk menilai anggota KPPS tanpa
memandang perbedaan total jam kerjanya. Dalam hal ini pada proses
penghitungan suara yang dimulai pada pukul 13;00 WIB sampai pukul
00:00 WIB (11 jam).
Dengan adanya data beban kerja KPPS sehingga dapat dievaluasi
kembali penyelenggaraan pemilu khususnya di tingkat KPPS agar tidak ada
lagi KPPS mengalami kelelahan yang berakibat kesalahan pada proses
pemungutan dan penghitungan suara. Dengan memperbaiki sistem pemilu
yang sederhana dan tidak membebankan kerja penyelenggara pemilu
terutama KPPS, khususnya pada proses penghitungan suara.
KONSEP DAN PENDEKATAN
A. Beban Kerja
Menurut (Gibson, dkk 1993:163) beban kerja adalah tekanan sebagai
tanggapan yang tidak dapat menyesuaikan diri, dipengaruhi oleh
perbedaan individual atau proses psikologis yakni suatu konsekuansi dari
setiap tingdakan ekstern (lingkungan, situasi, peristiwa yang terlalu
banyak mengadakan tuntutan psikologi atau fisik) terhadap seseorang.

46
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Menurut (Munandar, 2001), beban kerja adalah keadaan dimana pekerja


dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu.
Selain itu, menurut (Moekijat, 2004) beban kerja adalah volume dari
hasil kerja atau catatan tentang hasil kerjaan yang dapat menunjukkan
volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam bagian tertentu.
Penentuan Beban kerja menurut (Purnomo Hari 2015, 179) sesuai
dengan Kep.Men. PAN Nomor : Kep/75/M.PAN/7/2004 adalah didasarkan
pada standrar kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas. Standar
kemampuan rata-rata pegawai adalah standar kemampuan yang
menunjukkan ukuran energi rata-rata yang diberikan seorang atau
sekelompok pegawai untuk memperoleh satu satuan hasil.
Beban kerja atau workload (Puteri, 2017: 2) merupakan usaha yang
harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi “permintaan” dari
pekerjaan tersebut. Sedangkan kapasitas adalah kemampuan/kapasitas
manusia. Kapasitas ini dapat diukur dari kondisi fisik maupun mental
seseorang. Beban kerja yang dibutuhkan untuk melakukan kerja tertentu.
Menurut (Tarwaka, 2010: 1), pengukuran beban kerja dapat
digunakan untuk beberapa hal berikut yaitu :
1. Evaluasi dan perencanaan tata kerja keselamatan kerja;
2. Pengaturan jadwal istirahat;
3. Spesifikasi dan seleksi personil;
4. Evaluasi jabatan; dan
5. Evaluasi tekanan dari faktor lingkungan.

Beban kerja menurut Menpan (Dhania, 2010: 2) adalah sekumpulan


atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi
atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja dapat
disimpulkan sejumlah kegiatan yang membutuhkan proses mental atau
kemampuan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, baik
dalam bentuk fisik maupun psikis.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi beban kerja pada individu
pekerja, menurut (Prihatini, 2007: 2), faktor-faktor tersebut adalah :
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja,
seperti :
a. Tugas-tugas yang bersifat fisik, tata ruang, tempat kerja, alat dan
sarana kerja. Tugas-tugas yang bersifat psikologis, kompleksitas
pekerjaan, tingkat kesulitan, tanggung jawab pekerjaan.
b. Organisasi kerja, lamanya waktu bekerja, waktu istrihat, shift kerja,
kerja malam (lembur), sistem pengupahan, model struktur
organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.
c. Lingkungan kerja, lingkungan kimiawi, lingkungan kerja bioligis
dan lingkungan kerja psikologis yang termasuk dalam lingkungan
kerja fisik berdasarkan kegiatannya.
2. Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh pekerja
diakibatkan oleh reaksi dari beban kerja eksternal. Faktor internal
meliputi faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status
gizi, dan kondisi kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, presepsi,
kepercayaan, keinginan, dan kepuasan).

47
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Aspek dan Dimensi Beban Kerja

Menurut (Munandar, 2001:381), terdapat dua aspek yang menjadi


beban kerja, yaitu :

1. Beban kerja sebagai tuntuan fisik


Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal
di samping dampaknya terhadap kinerja pegawai, kondisi fisik
berdampak pula terhadap kesehatan mental seorang tenaga kerja.
Kondisi fisik pekerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi fatal dan
psikologi seseorang. Dalam hal ini bahwa kondisi kesehatan pegawai
harus tetap dalam keadaan sehat saat melakukan pekerjaan, selain
istirahat yang cukup juga dengan dukungan sarana tempat kerja yang
nyaman dan memadai.
2. Beban kerja sebagai tuntutan tugas
Kerja shift/kerja malam sering kali menyebabkan kelelahan bagi para
pegawai akibat dari beban kerja yang berlebihan dan beban kerja terlalu
sedikit dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
B. Analisis Beban Kerja
Analisis beban kerja (Puteri, 2017: 2) banyak digunakan dalam
penentuan kebutuhan pekerja (man power planning), analisis ergonomik,
analisis keselamatan dan kesehatan kerja (K3) hingga ke perencanaan
penggajian. Perhitungan baban kerja setidaknya dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu :
1. Fisik, aspek fisik meliputi perhitungan beban kerja berdasarkan
kriteria-kreteria fisik manusia;
2. Mental, aspek mental merupakan perhitungan beban kerja dengan
mempertimbangkan aspek mental (psikologis); dan
3. Penggunaan waktu, sedangkan pemanfaatan waktu lebih
mempertimbangkan pada aspek penggunaan waktu untuk bekerja.
C. Full Time Equivalent (FTE)
Full Time Equivalent (FTE) merupakan suatu metode analisis beban
kerja yang berbasiskan waktu dengan cara mengukur lama waktu
penyelesaian pekerjaan kemudian waktu tersebut dikonversikan ke
dalam indeks nilai FTE. Aplikasi metode FTE dalam dunia kerja yakni
antara lain untuk meramal/proyeksi terhadap kebutuhan tenaga kerja
untuk periode tertentu, untuk melakukan analisis terhadap kemampuan
tenaga kerja yang sekarang, untuk kebutuhan yang akan datang serta
sebagai pedoman dalam analisis kompetensi (Anisa and Prastawa, 2012:
2).
Menurut Dewi (Dewi, 2012: 3) Full Time Equivalent (FTE) adalah salah
satu metode analisis beban kerja yang berbasiskan waktu dengan cara
mengukur lama waktu penyelesaian pekerjaan kemudian waktu tersebut
dikonversikan ke dalam indeks nilai FTE.
Metode perhitungan beban kerja dengan Full Time Equivalent (FTE)
adalah metode dimana waktu yang digunakan untuk menyelesaikan
berbagai pekerjaan dibandingkan terhadap waktu kerja efektif yang
tersedia. FTE bertujuan menyederhanakan pengukuran kerja dengan

48
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

mengubah jam beban kerja ke jumlah orang yang dibutuhkan untuk


menyelesaikan pekerjaan tertentu (Adawiyah dan Anggraini Sukma,
2013: 11). Sedangkan menurut Fitri (Fitri et al., 2014: 3), FTE adalah
cara-cara untuk menghitung jumlah orang di suatu populasi organisasi.
FTE adalah cara mengukur orang yang bekerja ”full time” (sesuai standar
yang ditetapkan) sehingga merupakan jumlah aktual jam kerja sebagai
seorang pegawai tetap (full time employee).
Pada intinya FTE adalah jumlah orang yang dibutuhkan untuk
melakukan semua transaksi dari suatu proses pada periode waktu
tertentu (Tridoyo and Sriyanto, 2014: 3). FTE adalah rasio yang
mengambarkan jumlah jam dimana seorang karyawan bekerja selama
40 jam. Dengan kata lain, jumlah jam kerja karyawan per 40 jam
tersebut diasumsikan selama 1 minggu. Menurut Dewi (Dewi 2012, 2),
implikasi dari nilai FTE terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu overload,
normal dan underload. Berdasarkan pedoman analisis beban kerja yang
dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara pada tahun 2010, total
nilai indeks FTE yang berada di atas nilai 1,28 dianggap overload, berada
diantara 1 sampai dengan 1,28 dianggap normal sedangkan jika nilai
indeks FTE berada diantara nilai 0 sampai 0,99 dianggap underload atau
beban kerja masih kurang.
Untuk mendapatkan nilai FTE dari suatu proses kerja adalah sebagai
berikut :
Total working house per year+allowance
FTE =
Effeective working hours per years
Untuk melakukan analisis beban kerja dengan metode FTE terdapat
lima langkah yang perlu dilakukan (Dewi, 2012: 3):
a. Menetapkan unit kerja beserta katergori tenaganya;
b. Menetapkan waktu kerja yang tersedia selama satu tahun;
Data yang dibutuhkan untuk menetapkan waktu kerja dalam
satu tahun adalah :
1). Hari kerja,
2). Cuti Tahunan,
3). Pendidikan dan Pelatihan,
4). Hari libur nasional,
5). Ketidakhadiran kerja, dan
6). Waktu kerja.
c. Menyusun Standar Kelonggaran;
Tujuan dari menyusun data ini adalah untuk mengetahui faktor
kelonggaran (allowance) karyawan yang meliputi jenis kegiatan dan
kebutuhan waktu dalam menyelesaikan suatu kegiatan.
d. Menetapkan standar beban kerja;
Standar beban kerja merupakan volume beban kerja yang
dirasakan oleh karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (rata-rata
waktu).
e. Menghitung kebutuhan tenaga per unit kerja.
Pada tahap ini peneliti berusaha memperoleh jumlah dan kategori
karyawan yang sesuai dengan beban kerja.

49
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

METODE PENELITIAN
Metode Analisis Beban Kerja digunakan untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam analisis beban kerja ini: pendekatan organisasi dan
pendekatan analisis jabatan.
Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisis pekerjaan pada 7
(tujuh) anggota KPPS TPS 02 Desa Padang Baru Kecamatan Pangkalan
Baru Kabupaten Bangka Tengah. Kemudian, uraian aktivitas tersebut
(volume kerja) akan dikalikan dengan norma waktu atau lamanya aktifitas
tersebut diselesaikan sehingga akan dihasilkan beban kerja KPPS yang
sesungguhnya. Tahap selanjutnya yaitu melakukan penghitungan FTE
dengan dua pendekatan yaitu berdasarkan aktifitas dan berdasarkan
proses. Penghitungan FTE dengan pendekatan aktivitas dilakukan kepada
KPPS pada penghitungan suara di TPS meliputi mencatat, mengisi,
menjumlahkan dan menulis.
Setiap anggota KPPS akan mendapatkan pekerjaan pada proses
penghitungan melalui tabel penghitungan beban kerja sebagai dasar
penghitungan FTE.
Penghitungan FTE dilakukan dengan membagi beban kerja
sesungguhnya yang telah didapatkan dengan waktu kerja efektif dalam
periode tertentu yang dijadikan alat ukur dalam melakukan analisis beban
kerja. Melalui penghitungan suara di TPS 02 Desa Padang Baru Kecamatan
Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah, untuk menghasilkan beban
kerja ideal yang seharusnya dilakukan oleh KPPS.
Data yang digunakan adalah data primer bersifat kualitatif dan
kuantitatif serta data sekunder. Data primer diperoleh dari 7 anggota KPPS
di TPS 02 Desa Padang Baru, sebagai berikut :
Tabel 1.
Keanggotaan KPPS di TPS 02 Desa Padang Baru

No Nama Jabatan Jenis Kelamin


1. Agus Sani Ketua Laki-laki
2. Nindy Arlin Anggota Perempuan
3. Selly Anggota Perempuan
4. Sri Bahihi Anggota Perempuan
5. Berry Aprido Anggota Laki-laki
6. Erita Anggota Laki-laki
7. Evi Wati Anggota Perempuan
Sumber : SK Keanggotaan KPPS di Desa Padang Baru

Data terkait aktifitas penghitungan suara di TPS dengan wawancara.


Data sekunder diperoleh dari data hasil data melalui wawancara terbuka,
observasi dan metode work sampling.
Metode work sampling adalah suatu teknik untuk mengadakan
sejumlah besar pengamatan terhadap aktifitas kerja dari mesin, proses
atau operator (Sritomo, 1992).
Tahap pengolahan data selanjutnya yaitu memasukkan data
mengenai frekuensi rata-rata tugas pokok pekerjaan yang dilakukan dan
standar kemampuan rata-rata waktu penyelesaian tugas-tugas pokok

50
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

pekerjaan responden. Melalui data tersebut, kemudian dihitung Waktu


Penyelesaian Tugas (WPT) yang dikonversikan menjadi beban kerja
responden.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA

Pengertian KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)


menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah
Kelompok yang dibentuk oleh PPS atas nama KPU/KIP
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan
suara di TPS. Tugas KPPS dalam melaksanakan pemungutan dan
penghitungan suara di TPS, salah satunya adalah dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pemilih, melayani pemilih menggunakan hak
pilih, memberikan akses dan layanan kepada pemilih disabilitas dalam
memberikan hak pilihnya.
Setelah KPPS dibentuk oleh PPS, terdapat 3 (tiga) tahapan kegiatan
yang harus dilaksanakan oleh KPPS, yaitu persiapan, pelaksanaan dan
pengumuman hasil. KPPS wajib melaksanakan semua tahapan
berdasarkan jadwal yang telah diatur. Karena setelah itu akan
dilaksanakan rekapitulasi di tingkat kecamatan dan diperlukan
hasilnya berupa C1-Plano bersertifikat masing-masing pemilihan. Hal
tersebut untuk dikirim ke KPU Kabupaten/Kota untuk dimasukan
kedalam aplikasi SITUNG (Sistem Informasi Penghitungan Suara).
Berikut ini jadwal tahapan pemungutan dan penghitungan suara di
tingkat KPPS :
Tabel 2.
Tahapan Kegiatan KPPS Pada Pemilu Serentak 2019

No Kegiatan Jadwal
A. Persiapan
1. Pengumuman tempat dan waktu Paling lambat 12 April
pemungutan 2019
2. Penyampaian formulir Model C6-
KPU kepada pemilih Paling lambat 14 April
3. Penerimaan logistik TPS dari PPS 2019
kepada KPPS
4. Penyiapan TPS Paling lambat 16 April
2019

Paling lambat 16 April


2019
B. Pelaksanaan
Pemungutan dan Penghitungan 17 April 2019
Suara
C. Pengumuman
Pengumuman Hasil Penghitungan 17 April 2019
suara

51
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Sumber : Buku Pedoman KPPS Pemilu Serentak 2019

Berikut ini kegiatan dan pekerjaan pada proses penghitungan suara


sebagai dasar penentuan Analisis Beban Kerja.
1. Persiapan penghitungan suara.
Ketua KPPS dibantu anggota KPPS:
a. Mengatur tempat dan perlengkapan rapat penghitungan suara;
b. Memasang formulir model C1.Plano PPWP/DPR/DPD/DPRD
Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota di papan pengumuman;
c. Menempatkan kotak suara sesuai jenis pemilu di dekat meja ketua
KPPS dan menyiapkan kuncinya.
d. Menyiapkan perlengkapan dan alat keperluan administrasi yaitu:
1) Formulir pemungutan dan penghitungan suara sebagai berikut
yaitu: model C1-KPU, Model C1-PPWP, Model C1-DPR, Model C1-
DPD, Model C1-DPRD Provinsi, Model C1-DPRD
Kabupaten/kota, Model C2-KPU, Model C4 KPU, dan Model C4-
2) Sampul kertas/kantong plastik dan segel pemilu serta peralatan
lainnya.
e. Memastikan bahwa saksi yang hadir dalam rapat penghitungan
suara telah menyerahkan surat mandat.
f. Mempersilahkan saksi, dan pengawas TPS untuk menempati tempat
duduk yang telah disediakan;
g. Mengatur pembagian tugas anggota KPPS demi kelancaran
pelaksanaan rapat penghitungan suara.

Pembagian tugas KPPS:


1. Ketua KPPS:
a. Memimpin rapat penghitungan suara; dan
b. Meneliti dan mengumumkan hasil penelitian surat suara sah
atau tidak sah kepada saksi, Pengawas TPS, Pemantau Pemilu,
pemilih/masyarakat yang hadir.
2. KPPS 2
Membuka setiap surat suara untuk diteliti dan diumumkan oleh
ketua KPPS.
3. KPPS 3 dan KPPS 4
a. Mencatat hasil penelitian tiap lembar surat suara yang sudah
diumumkan oleh ketua KPPS ke dalam formulir Model C1.Plano-
KPU sesuai jenis pemilu; dan
b. Memeriksa dan memastikan hasil pencatatan sesuai dengan hasil
yang diumumkan oleh ketua KPPS.
4. KPPS 5
Melipat surat suara yang telah diteliti dan diumumkan oleh ketua
KPPS untuk masing-masing jenis pemilu.
5. KPPS 6 dan KPPS 7
Menyusun, mengelompokan dan mengikat dengan karet surat
suara yang sudah diteliti dan diumumkan :
a) surat suara yang dinyatakan sah untuk masing-masing peserta
pemilu; dan
b) surat suara yang dinyatakan tidak sah.

52
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Gambar 1.
Denah Penghitungan suara

Sumber : Buku Pedoman KPPS Pemilu Serentak 2019


2. Pelaksanaan Penghitungan Suara
Urutan penghitungan suara, proses penghitungan suara
dilakukan secara berurutan dimulai penghitungan suara untuk :
1) Surat suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
2) Surat suara pemilu Anggota DPR,
3) Surat suara pemilu DPD,
4) Surat suara pemilu DPRD Provinsi dan
5) Surat suara pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Tata cara penghitungan suara di TPS, dimana ketua KPPS
dibantu anggota KPPS, melakukan:
a. Membuka kotak suara,
b. Mengeluarakan surat suara,
c. Menghitung dan menyusun surat suara serta mengumumkan
dan mencatat jumlahnya; dan
d. Mencocokkan jumlah surat suara yang terdapat di dalam kotak
suara dengan jumlah pemilih yang hadir dalam formulir Model
C7.DPT-KPU, Model C7.DPTb-KPU, dan Model C7.DPK-KPU.

Anggota KPPS 3 dan KPPS 4 mengisi data pemilih, pengguna hak


pilih data pemilih disabilitas, dan data penggunaan surat suara hasil
pemungutan suara.
Anggota KPPS 2 membuka surat suara satu per satu untuk
diserahkan kepada ketua KPPS.
Ketua KPPS :
a. Meneliti tanda coblos yang terdapat pada surat suara dan
menentukan sah atau tidak sahnya surat suara, serta
menunjukkan kepada saksi, pengawas TPS, anggota KPPS,
Pemantau, pemilih/masyarakat yang hadir.

53
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

b. Mengumumkan hasil penelitiannya dengan suara yang terdengar


jelas.

Anggota KPPS 3 dan KPPS 4 mencatat hasil penghitungan suara


ke dalam formulir Model C1.Plano sesuai jenis pemilu dengan cara
tally (IIII) dan untuk setiap kolom maksimal 5 (lima suara) setelah
ketua KPPS mengucapkan: SAH/TIDAK SAH.
Anggota KPPS 5 melipat surat suara yang telah diumumkan
sah dan tidak sah. Anggota KPPS 6 dan 7 menyusun serta
mengelompokan:
a. Surat suara yang dinyatakan sah dengan cara :
1) Surat suara Presiden Wakil Presiden dikelompokan
berdasarkan masing-masing suara sah untuk Pasangan
Calon;
2) Surat suara DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota
dikelompokan berdasarkan :
a) Suara sah untuk calon dari masing-masing partai
politik
b) Surat suara untuk partai politik.
b. Surat suara yang dinyatakan tidak sah

Anggota KPPS 3 dan KPPS 4 mengisi data suara sah dan tidak
sah dalam formulir Model C.1-Plano. Ketua KPPS, anggota KPPS
dan Saksi Peserta Pemilu yang hadir menandatangani formulir
Model C1. Plano seluruh jenis pemilu. Ketua KPPS dibantu anggota
KPPS 2, KPPS 3, KPPS 4 dan KPPS 5 menyalin data masing-masing
formulir Model C1. Plano ke dalam masing-masing formulir Model
C1 Hologram beserta salinannya sesuai jenis pemilu dan
ditandatangani oleh ketua KPPS, anggota KPPS dan saksi Peserta
pemilu yang hadir.
Ketua KPPS dibantu anggota KPPS membuat catatan
kejadian khusus dan apabila tidak terjadi kejadian khusus maka
KPPS wajib menuliskan dengan kalimat “NIHIL” pada formulir
Model C2-KPU.
Ketua KPPS dibantu anggota KPPS membuat berita acara
pemungutan dan penghitungan suara di TPS menggunakan
formulir Model C-KPU Hologram beserta salinannya dan
ditandatangani oleh ketua KPPS, anggota KPPS dan saksi peserta
pemilu yang hadir.
Ketua KPPS menyerahkan salinana formulir Model C dan
C1 seluruh jenis pemilu dengan menggunakan formulir model
C5-KPU. Anggota KPPS 6 dan KPPS 7 memasukan seluruh surat
suara dan formulir hasil pemungutan dan penghitungan suara ke
dalam masing-masing sampul yang telah disediakan.

B. ANALISIS DENGAN MENGGUNAKAN FTE (FULL TIME EQUIVALENT)

Pada Pemilu Serentak Tahun 2019 di Kabupaten Bangka Tengah,


total tempat pemungutan suara berjumlah 477 TPS sehingga ada 3.339

54
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Anggota KPPS. Jumlah pemilih berdasarkan alokasi surat suara


(DPTb3) sebanyak 124.791. Peserta Pemilu 2019, ada 20 partai politik
dengan rincian 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh.
Kabupaten Bangka Tengah terdiri atas 3 (tiga) daerah pemilihan (dapil)
meliputi Bangka Tengah 1, Bangka Tengah 2 dan Bangka Tengah 3,
dengan total 25 alokasi kursi.
Sementara Calon DPR RI Dapil Bangka Belitung berjumlah 3 alokasi
kursi. Untuk DPRD Provinsi berjumlah 45 alokasi kursi, untuk Dapil
Bangka Tengah (Dapil II) sendiri berjumlah 6 alokasi kursi, terakhir
alokasi DPD Bangka Belitung sebanyak 4 orang.3
KPPS di TPS 02 Desa Padang Baru melaksanakan tugasnya
berpedoman pada buku panduan KPPS (KPU, 2019) Setiap pemilih yang
namanya terdaftar di DCT (Daftar Calon Tetap) di TPS membawa
formulir C6-KPU sebagai surat pemberitahuan pemungutan suara.
Pemilih akan memilih calon Presiden dan Wakil Presiden dengan 2
(dua) pasangan calon yaitu pasangan nomor urut no 01 H.Ir.Joko
Widodo dan Prof. Ma’ruf Amin dan pasangan nomor urut no.02 H.
Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno. Kemudian
memilih calon DPD yang berjumlah 15 calon DPD, selanjutnya memilih
calon DPR RI perwakilan Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 45
calon, dilanjutkan memilih calon anggota DPRD Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung berjumlah 14 orang dan memilih calon anggota DPRD
Kabupaten Bangka Tengah dalam hal ini Dapil Bangka Tengah 3
berjumlah 112, dengan rincian 14 partai politik mengirim masing-
masing 8 calon dan 2 partai politik tidak mengirimkan calon.
Setelah memilih, kemudian pemilih dipandu oleh KPPS memasukan
surat suara yang telah dipilih kedalam kotak suara masing-masing
pemilihan. Tepat pukul 13:00 WIB, Ketua KPPS menutup proses
pemungutan suara. Selanjutnya akan dilanjutkan pada proses
penghitungan suara.
Sebelum penghitungan suara, KPPS sudah dibebankan dengan
pengumuman hari dan tanggal pemungutan suara, mendistribusikan
formulir C6-KWK, penerimaan logistik pemilu, mempersiapkan TPS,
gladi bersih dan melayani pemilih dalam memberikan suara. Tepat pukul
13:00 WIB, KPPS sudah mengalami kelelahan dengan rutinitas tersebut
dan harus dilanjutkan dengan proses penghitungan suara. Walaupun
pukul 12:00-13:00 KPPS adalah waktu istirahat, sholat dan makan siang.
Tetapi mereka harus melayani pemilih yang DPTb (daftar pemilih
tambahan) dan DPK (daftar pemilih khusus).
Analisis beban kerja yang dirasakan oleh KPPS sebelum proses
penghitungan sangat berat, berdasarkan tiga aspek seperti di bawah ini:
1. Fisik, dimana idealnya manusia bekerja waktu normal yaitu 7,5 jam
(jika dilihat dari pegawai masuk kerja pukul 07:30 dan pulang kerja
pukul 16:00, istirahat 12:00-13:00). Fisik KPPS sudah terkuras
duluan terlebih jika ada permasalahan keterlambatan logistik yang
baru sampai malam harinya, persiapan TPS pada malam hari itu juga.
KPPS juga harus hadir dan siap pada pukul 06:00 WIB.
3
www.kpu-bangkatengah.go.id

55
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

2. Mental, mental KPPS sangat diuji pada pemilu serentak 2019, mental
dari tuntutan pekerjaan yang berat dan harus baik dan benar. Mental
dari desakan masyarakat apabila adanya protes dari pemilih yang
tidak bisa memilih karena beberapa faktor. Mental dari saksi calon
baik itu Presiden dan Wakil Presiden dan legislatif apabila adanya
kesalahan yang dilakukan KPPS.
3. Penggunaan waktu yang tidak ideal bagi petugas KPPS dimana pada
sebelum hari pemungutan sudah diberikan pekerjaan yang sangat
berat.

Sesuai dengan jadwal, tepat pukul 13:00 WIB. KPPS mulai


menghitung suara dan akan diumumkan pada hari ini juga tepat pukul
00:00 WIB. Dengan demikian KPPS hanya punya waktu 11 jam (39.600
detik) untuk melaksanakan proses menghitung suara, sedangkan dalam
Tridoyo (Tridoyo and Sriyanto, 2014) jika dihitung beban kerja KPPS
selama 1 (satu) hari kerja yaitu 408 menit/hari untuk total jam efektif
bekerja atau 24.480 detik. Perbandingan antara jumlah waktu yang
tersedia berbanding dengan alokasi waktu maka persentasenya adalah :
39.600 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
= 1,61
24.480 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
Berdasarkan hitung FTE secara umum, beban kerja menurut Badan
Kepegawaian Negara pada tahun 2010, total indeks FTE diatas 1,28
dianggap overload dimana FTE sebesar 1,61.
Jumlah suara (sah dan tidak sah), data pemilih, pengguna hak pilih
dan ada 5 formulir C1-Plano, sebagai berikut :
Tabel 3.
Hasil Data Pemilih dan Surat Saura di TPS 02 Desa Padang Baru.

No Nama Data Pemilih Pengguna Hak Pilih Suara Sah/Tidak


Pemilihan Sah
DPT DPTb DPK Total DPT DPTb DPK Total Sah TIdak Total

1 PPWP 258 1 14 273 222 1 14 237 229 8 237


.
2 DPR-RI 258 1 14 273 222 1 14 237 191 46 237
.
3 DPR- 258 1 14 273 222 1 14 237 213 24 237
. Provinsi
4 DPRD- 258 1 14 273 222 1 14 237 224 13 237
. Kabupaten
5 DPD 258 1 14 273 222 1 14 237 264 17 237
.
Sumber: Diolah dari situng KPU RI dan C1 Plano

Jika dilihat beban kerja KPPS pada proses penghitungan suara dengan
jumlah suarat suara dan formulir C1-Plano untuk setiap KPPS sebagai
berikut :

Tabel 4.
Beban Kerja Setiap KPPS

No. Aktifitas Ketua KPPS2 KPPS3 KPPS4 KPPS5 KPPS6 KPPS7


1. Pesiapan V V V V V V V

56
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

2. Membuka setiap V
surat suara untuk
diteliti dan
diumumkan
ketua KPPS
3. Menghitung. V V
Menyusun,
mengumumkan
dan mencatat
jumlah surat
suara
4. Mengisi data V V
pemilih,
pengguna hak
pilih dan pemilih
disabilitas dan
penggunan surat
suara hasil
pemungutan
5. Meneliti surat V
suara
6. Mengumumkan V
hasil surat suara
(SAH/TIDAK SAH)
7. Mencatat di V V
formulir C-Plano
8. Memeriksa dan V V
memastikan hasil
pencatatan sesuai
yang diumumkan
ketua KPPS
9. Melipat surat V
suara
10. Mengelompokan V V
surat suara
11 Mengisi data V V
suara sah dan
tidak sah ke
dalam formulir
Model C1-Plano
11. Menghitung V V
perolehan suara
dan data pemilih
12. Menyalin data V V V V V
model C.1-Plano
13. Membuat Berita V V V V V V V
Acara dan
menandatangani
model formulir
C1.Plano
14. Menyerahkan V
salinan model C
dan C1 seluruh
jenis pemilu
dengan formulir
C5-KPU

57
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

15. Memasukan hasil V V


pemungutan dan
penghitungan
suara kedalam
kotak suara
16 Mengumumkan V V V V V V V
salinan model C-
KPU,
C1,PPWP,C1-
DPR,C1-DPD,C1-
DPRD Provinsi
dan D1-DPDR
Kab/Kota
17 Menyampaikan V V V V V V V
kotak suara
(logistik hasil
pemilu) yang telah
digembok tersegel
ke PPS untuk
disampaikan ke
PPK
Beban kerja masing-masing KPPS dengan jumlah waktu yang ada dan
waktu yang diperlukan berikut ini hasil FTE untuk setiap KPPS :
Tabel 5.
Nilai FTE untuk setiap KPPS
No Jabatan Indeks Interprestasi Hasil
KPPS FTE
1. Ketua KPPS 2,9 Overload
2. KPPS 2 2,5 Overload
3. KPPS 3 2,4 Overload
4. KPPS 4 2,4 Overload
5. KPPS 5 2,1 Overload
6. KPPS 6 2,2 Overload
7. KPPS 7 2,0 Overload

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis beban kerja yang dimiliki oleh TPS 02 Desa
Padang Baru Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah pada
penyelenggaraan pemilu serentak 2019 kemarin menunjukan beban kerja
yang sangat overload di atas nilai FTE 2 secara umum. Untuk disimpulkan
beban kerja masing-masing KPPS sebagai berikut :
1. Beban kerja KPPS yang overload terletak di proses penghitungan dan
rekapitulasi. Penghitungan dengan mencocokan jumlah hasil
pemilihan dan data pilih. Terlebih pada penghitungan suara anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Bangka Tengah.
2. Jika terjadi kesalahan merupakan hal yang sangat wajar karena KPPS
sangat lelah dalam bekerja sehingga tidak bisa konsentrasi.
3. Dengan beratnya beban kerja anggota KPPS pada penyelenggaraan
pemilu khususnya pada penghitungan suara maka dapat
dipertimbangkan dalam penyederhanaan sistem pemilu.

58
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

4. Pada penyenggaraan pemilu diharapkan adanya upaya keselamatan


kerja misalnya dengan menyiapkan tenaga medis untuk memberikan
pertolongan pertama bagi anggota KPPS yang mengalami kecelakaan
kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Wildanur. (2013). “Analisis Beban Kerja Sumber Daya
Manusia Dalam Aktivitas Produksi Komoditi Sayuran Selada ( Studi Kasus :
CV Spirit Wira Utama ).” Managemen dan Organisasi IV(2): 128–43.
Anisa, Herdiana Nur, and Heru Prastawa. (2012). “ANALISIS BEBAN
KERJA PEGAWAI DENGAN METODE FULL TIME EQUIVALENT ( FTE )
( Studi Kasus Pada PT . PLN ( Persero ) Distribusi Jateng Dan DIY ).”
Dewi, U dan Satya A. (2012). “Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja
Berdasarkan Beban Kerja Karyawan Pada PT PLN(Persero) Distribusi
Jakarta Raya Dan Tangerang Bidang Sumber Daya Manusia Dan
Organisasi.” Universitas Indonesia.
Dhania, Dhini Rama. (2010). “Pengaruh Stress Kerja, Beban Kerja
Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota
Kudus).” Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus I(1): 15–23.
Fitri, Adelina, Andi Wahyuni Irma Mr, Syamsiar S Russeng, Titin Isna,
and Risma Adelina. (2014). “Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal
Terhadap Kelelahan Kerja Melalui Subjective Self Rating Test.” National
Conference of Indonesian Ergonomics Society 3(December): 239–47.
Gibson, Ivancevich & Deonnely, (1993). Organisasi dan
Manajemen :Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.
Gorantokan, Eduard Ola Babe. (2017). “Kualitas Kerja Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Pada Penyelenggaraan Pemilu Legislatif
Di Kabupaten Lembata Tahun 2014.” Universitas Samratulangi.
Moekijat. (2004). Manajemen Tenaga Kerja dan Hubungan
Kerja.Bandung: Pioner Jaya
Munandar. (2001). Stress dan Keselamatan kerja, Psikologi Industri
dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia
Pandiangan, Andreas. (2019). “Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) Pemilu 2019: Tanggungjawab dan Beban Kerja.” The Journal
of Society & Media 3(1): 17.
Prihatini. (2007). “Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Stress
Kerja Perawat di Tiap Ruang Rawat Inap RSUD Sidikalang.” Universitas
Sumatera Utara.
Purnomo Hari. (2015). “PENENTUAN BEBAN KERJA PADA FRONT
OFFICE DAN BACK OFFICE PERUSAHAAN PERBANKAN MENGGUNAKAN
UJI PETIK PEKERJAAN.” Seminar Nasional IENACO I(2006): 179–85.
Puteri, Renty. (2017). “Analisis Beban Kerja Dengan Menggunakan
Metode CVL Dan Nasa-TLX Di PT. ABC.” Spektrum Industri 15(2): 121–255.
Solihah, Ratniah. (2017). “Peluang Dan Tantangan Pemilu Serentak 2019
Dalam Perspektif Politik.” Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 3(1): 73–88.
Susanto, Andrie. (2014). “Disporprosionalitas Beban Tugas KPPS
Studi Integritas Pemilu.” Jurnal Politik Indonesia 2(1): 9–19.
Tarwaka. (2010). Harapan Press Solo Dasar-Dasar Pengetahuan
Ergonomi Dan Aplikasi Di Tempat Kerja. 2010.

59
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Tridoyo, and Sriyanto. (2014). “Analisis Beban Kerja Dengan Metode


Full Time Equivalent Untuk Mengoptimalkan Kinerja Karyawan Pada PT
Astra International Tbk-Honda Sales Operation Region Semarang.” Jurnal
Undip 3(2): 1–8.
Wignjosebroto, Sritomo.(1992). Teknik Analisis Kerja Institusi
Teknologi .Bandung: Bandung
PERATURAN
Kep.Men. PAN Nomor : Kep/75/M.PAN/7/2004;
KPU. (2019). Panduan KPPS KPU RI. Divisi Tek. Jakarta.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Pembentukan Badan Adhoc Penyelenggara Pemilu 2019 Undang-undang
nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

WEBSITE
www.kpu.go.id
www.kpu-bangkatengah.go.id
https://m.cnnindonesia.com/nasional/201904231353732388910/pemilu
-serentak-bertaruh-nyawa-demi-efisiensi-semu
diakses tanggal 19 September 2019
https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/16/17073701/data-
kemenkes-527petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit
diakses tanggal 19 September 2019

60
EFEKTIVITAS KOTAK SUARA BERBAHAN DUPLEKS PADA PEMILIHAN
UMUM SERENTAK TAHUN 2019 DI PULAU LEGUNDI KABUPATEN
PESAWARAN

Ima Nur Imani


KPU Pesawaran, Provinsi Lampung
Email : imafeter123@gmail.com

ABSTRAK
Agar terciptanya pemilu yang berkualitas dan berintegritas diperlukannya
faktor-faktor pendukung perlengkapan pemungutan suara di antaranya yakni
kotak suara. Kotak suara pada Pemilu Serentak Tahun 2019 berbahan dupleks
ini diragukan kualitasnya oleh sejumlah kalangan, lantaran dianggap tidak
kokoh sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kecurangan. Di
dalam penelitian ini penulis ingin melihat apakah penggunaan kotak suara
berbahan dupleks di Kepulauan Legundi Kabupaten Pesawaran pada Pemilu
Serentak Tahun 2019 berjalan secara effektif. Mengingat pulau Legundi
merupakan daerah kepulauan yang memerlukan kehati-hatian dalam
pendistribusian logistik terutama kotak suara yang berbahan dupleks. Penelitian
ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan menelaah berbagai
sumber data yang diperoleh mengenai penggunaan kotak suara berbahan
dupleks pada Pemilihan Umum Serentak 2019. Hasil dari penelitian penulis
menyimpulkan bahwa penggunaan kotak suara dupleks di Pulau Legundi
berjalan secara effektif dengan tercapainya aspek-aspek Efektivitas yakni tugas
dan fungsi, rencana dan program, ketentuan dan peraturan, serta tujuan dan
kondisi ideal.

Kata Kunci : EFEKTIVITAS, Kotak Suara, Pemilu Serentak

HE EFFECTIVENESS OF SOUND BOXES DUPLEXED IN THE GENERAL


ELECTION OF 2019 AT THE LEGUNDI ISLAND OF PESAWARAN DISTRICT
ABSTRACT

In order to create a better quality and a more integrity election, a various


factor are needed to be prepared such as the support on voting equipment
including the ballot box. The quality especially the strength of the ballot box
in 2019 simultaneous are made from duplexes is doubted by a number of
people, because it is considered not sturdy so that it raises fears of potential
of the fraud. In this study, the author would like to see whether the use of
ballot boxes made from duplex in the Legundi Islands Pesawaran District in
the 2019 Election runs effectively. Legundi Island is an archipelago that
requires more attention on the process of logistics distribution. This research
uses descriptive qualitative analysis method. This research uses a
descriptive qualitative analysis method by examining various data sources
obtained regarding the use of duplex ballot boxes in the General Election. he
results of the author's study conclude that the use of duplex ballot boxes on
Legundi Island runs effectively with the achievement of aspects of
effectiveness namely tasks and functions, plans and programs, rules and
regulations, as well as goals and ideal conditions.
61
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Keywords: Effectiveness, Ballot Box, Simoultaneous Elections

PENDAHULUAN
Sebagai salah satu parameter keberhasilan penegakan demokrasi di
Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia Pemilu menjadi upaya nyata
dalam merealisasikan kedaulatan rakyat dengan melaksanakan asas
sebagaimana dimaksud sehingga mewujudkan tegaknya demokrasi.
Pemilu dalam bentuk konteks demokrasi merupakan mekanisme
politik modern untuk memilih pemimpin berdasarkan keinginan rakyat
dan pemilihan kekuasaan secara damai agar terhindar dari konflik dan
kekuasaan. Selain itu, pemilu adalah suatu pemilihan pemberian jabatan
politik tertentu. Penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan pemilu
tersebut, diharapkan dapat melaksanakan pemilu dengan memenuhi
prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka,
proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien.
Adapun partai politik dalam memperoleh kekuasaan politik
(legislative, eksekutif) yang legitimasinya sah secara undang-undang dan
konstitusional, dapat saling berkompetisi untuk mendapatkan simpatik
rakyat melalui Pemilu.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan Pemilu merupakan sarana
lima tahunan pergantian kekuasaan dan kepemimpinan nasional yang
mana pelaksanaan pemilihan umum dalam sistem demokrasi juga
menjadi indikator karena rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan
pilihan politiknya terhadap pemerintahan dan negaranya.
Melalui pemilu rakyat bisa memilih para wakilnya untuk duduk
dalam parlemen maupun struktur pemerintahan. Agar terciptanya pemilu
yang berkualitas dan berintegritas diperlukannya faktor-faktor
pendukung perlengkapan pemungutan suara di antaranya yakni kotak
suara. Beberapa bulan jelang Pemilu 2019, proses persiapan pemungutan
suara menemui sandungan. Rencana KPU menggunakan kotak
suara berbahan dupleks atau kardus menjadi polemik.

Kekhawatiran sebagian kalangan menyeruak dan menyangsikan daya


tahan kotak suara kardus dapat menjaga integritas hasil pemilu. Selama
ini, publik lebih familiar dengan kotak suara dari alumunium/seng
sedangkan kotak suara yang digunakan pada Pemilu serentak 2019
kemarin adalah kotak suara yang terbuat dari karton dupleks. Kotak
suara ini diragukan kualitasnya oleh sejumlah kalangan, lantaran
dianggap tidak kokoh sehingga menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya kecurangan.
Menurut Pasal 341 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bahwa perlengkapan
kotak suara untuk pemungutan suara harus bersifat transparan, yang
bermakna bahwa isi kotak suara harus terlihat dari luar.

62
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Untuk bentuk, ukuran, spesifikasi teknis dan perlengkapan


pemungutan suara lainnya undang-undang memberikan keleluasaan
agar diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Selain
karena kebijakan dari Undang-undang diatas, jenis 'kardus' dipilih selain
karena memenuhi syarat, lantaran harga yang lebih murah. Sehingga
menghemat biaya penyimpanan, menghemat biaya produksi, distribusi
dan ramah lingkungan.
Seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPU RI, Arif Budiman jika
penggunaan kotak suara berbahan kardus karena KPU Daerah belum
memiliki gedung sendiri sehingga jika menggunakan kotak suara
berbahan alumunium, KPU akan terbeban dengan anggaran penyewaan
gedung. 1
Kebijakan penggunaan kotak suara berbahan kardus juga telah
sesuai dengan salah satu prinsip pemilu yaitu efektifitas karena kotak
suara berbahan kardus tersebut didesain transparan tetap menjamin
kerahasiaan pemilih dan penyelenggaraan pemilu dapat berjalan secara
jujur dan adil, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 huruf j dan
k Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Penggunaan kotak suara berbahan dasar karton juga bukan hal


baru dalam penyelenggaraan Pemilu. Kotak suara berbahan karton yang
kedap air sudah digunakan pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan tiga
kali Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yakni Pilkada 2015, 2017 dan 2018.
Hanya saja, ketika itu keberadaannya untuk melengkapi kekurangan
kotak suara utama alumunium.
Selain kedap air, kekuatan kotak suara berbahan karton tersebut
setelah diuji beban. Uji beban dilakukan dengan cara menduduki kotak
suara tersebut dengan berat kurang lebih 100 kilogram. Ini artinya bahwa
uji ketahanan dan keamanannya tak perlu diragukan lagi. Meskipun
memang, potensi kerawanan pada non tahapan logistik itu pasti ada, KPU
juga tetap menggunakan kotak suara berbahan alumunium untuk
melengkapi kekurangan kotak suara yang tersedia.
Adapun Penelitian tentang kotak suara kardus sejauh ini belum
ada, akan tetapi penelitian tentang kotak suara aluminium pernah
dilakukan oleh Wahiduddin, Gita Puspa Oktaviola dan Nur Hiqma Armi
pada Jurnal “Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pemilu Proporsional,
Akuntabilitas dan Efektif Melalui Sistem Pemilu Online dengan
Autentifikasi E-KTP” (Jurnal PENA/Volume I/Nomor I/ISSN2355-
3766/44) yang menyatakan bahwa pemilu kerap kali mengalami masalah
yang mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri seperti,
sistem pemilu manual yang menggunakan surat suara dan kotak suara
mampu menelan banyak biaya yang cukup besar hingga triliyunan
rupiah. Jumlah angka golput yang terus meningkat dari tahun ketahun,
berbagai kecurangan yang terjadi saat penyelenggaraan pemilu
berlangsung terutama pada perhitungan suara.

1
https://m.detik.com/news/berita/d-4345191/kpu-jelaskan-pertimbangan-pakai-kotak-suara-kardus

63
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Masalah-masalah yang terjadi pada pemilu manual dapat


diminimalisir oleh keberadaan sistem pemilu online dengan kelengkapan
hardware dan software yang dimilikinya. Kedua aspek tersebut sangat
berperan penting dalam mengaplikasikan sistem pemilu online dengan
autentikasi e-KTP karena tanpa kedua aspek tersebut maka sistem
tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan berkualitas.
Sementara penelitian dari Belton dan Kortum (2015) menjelaskan
uji coba dengan membandingkan dua jenis kotak suara dengan alat
pemindai yang tersembunyi di dalam kotak suara yang terpisah dengan
alat pemindai. Uji coba itu mengukur tingkat efektivitas, efisiensi dan
kepuasan partisipan selaku pemilih atas fungsi kotak suara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua jenis ktak suara di atas, pemilih gagal
menggunakan kedua kotak suara tersebut. Malah pemindai lebih
berfungsi maksimal ketika berdiri sendiri, tetapi tidak berfungsi dengan
baik ketika menjadi bagian dalam kotak suara.
Kabupaten Pesawaran sendiri sejak Pileg Tahun2014, Pilkada 2015,
Pilkada 2017, Pilkada 2018 dan terakhir pada Pemilu Serentak 2019
menggunakan kotak suara berbahan dupleks ini. Pada Pileg Tahun2014,
Pilkada Tahun 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 kotak suara dupleks
digunakan sebagai tambahan dari kotak berbahan aluminium yang sudah
mengalami banyak kerusakan. Sehingga perlu ditambahkan lagi dengan
kotak baru, dan kotak suara berbahan dupleks dianggap tepat sebagai
penambahannya.
Adapun penelitian ini akan mengkhususkan pada salah satu
kepulauan yang ada di Kabupaten Pesawaran yakni Kepulauan Legundi
pada Pemilu Serentak 2019 kemarin. Penulis ingin melihat Apakah
penggunaan kotak suara berbahan dupleks di Kepulauan Legundi
Kabupaten Pesawaran pada Pemilu serentak 2019 berjalan secara
effektif?

TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

A. KONSEP EFEKTIVITAS
1. Pengertian Efektivitas
Kata efektivitas berasal dari kata dasar efektif dan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kata efektif memiliki makna efek,
akibat, pengaruh atau membawa hasil. Sedangkan pengertian
efektivitas adalah daya guna, keaktifan dan adanya kesesuaian suatu
kegiatan seseorang dalam melaksanakan tugas dengan tujuan yang
telah dicapai.
Efektivitas pada umumnya memiliki hubungan antara hasil yang di
harapkan dengan kenyataan hasil yang telah dicapai. Dengan kata lain,
makna dari efektivitas adalah menunjukkan seberapa jauh pencapaian
hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan.
Berikut ini adalah beberapa definisi efektivitas menurut para ahli,
diantaranya :

64
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

1. Soewarno Handayaningrat S. (2006:16) yang menyatakan bahwa :


“Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya.”

2. Sondang dalam Othenk (2008: 4), Pengertian efektifitas adalah


Penggunaan sarana dan prasaran, sumber daya dalam jumlah
tertentu yang secara sadar telah ditetapkan dalam rangka
menghasilkan sejumlah barang atau jasa yang akan dijalankan oleh
suatu perusahaan atau seseorang. Efektivitas dapat menunujukkan
kesuksesan dari sisi tercapai atau tidaknya sasaran. Hal ini berarti
semakin kegiatan tersebut dapat mendekati sasaran maka semakin
tinggi tingkat efektivitasnya.

3. Effendy (2008:14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut:


”Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan
sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan
jumlah personil yang ditentukan”

4. Susanto (2005:156), “efektivitas merupakan daya pesan untuk


mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk
mempengaruhi”.

Menurut pengertian Susanto di atas, efektivitas bisa diartikan


sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya secara matang.
Lebih lanjut menurut Agung Kurniawan (2005:109) mendefinisikan
efektivitas, sebagai berikut:
“Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi
kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya
yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai Efektivitas, dapat
disimpulkan bahwa Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
seberapa jauh target (Kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai
oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih
dahulu.
2. Kriteria atau Ukuran Dalam Efektivitas
Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau
tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Sondang.P. Siagian (2008:77),
yaitu:
a) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya
karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah
dan tujuan organisasi dapat tercapai.
b) Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi
adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya
dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para
implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.
c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan

65
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuan dengan usaha-


usaha pelaksanaan kegiatan operasional.
d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan
sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu
dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab
apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman
bertindak dan bekerja.
f) Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indicator
efektivitas organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif.
Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan
oleh organisasi.
g) Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu
program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka
organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan
pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.
h) Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik
mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas
organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan
pengendalian.
3. Aspek Efektivitas
Menurut Muasaroh (2010:13), efektivitas adalah sebuah program yang
dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain :
1. Aspek tugas atau fungsi
Aspek tugas atau fungsi adalah sebuah lembaga dapat dikatakan
efektivitas apabila dapat melaksanakan tugas atau fungsinya dengan
baik.Begitu juga sebuah proses pembelajaran dapat dikatak efektif bila
tugas dan fungsi dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Aspek rencana dan program
Tujuan dari aspek ini adalah seluruh kegiatan dilakukan dengan
perencanaan yang terprogram dengan baik.
3. Aspek ketentuan dan peraturan
Efektivitas sebuah program dapat dilihat dari berfungsi atau tidak
peraturan yang telah dibuat untuk menjaga kelangsungan proses
kegiatan.Bila ketentuan dan peraturan ini dapat dilaksanakan dengan
baik maka ketentuan dan peraturan tersebut telah berjalan dengan
efektif.
4. Aspek tujuan dan kondisi ideal
Sebuah kegiatan dapat dikatakan memiliki efektivitas apabila tujuan atau
kondisi yang di inginkan dapat tercapai.

B. Pemilihan Umum Serentak


Untuk pertama kali dalam sejarah, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres) diselenggarakan secara serentak pada hari
yang sama yakni Rabu 17 April 2019. Dengan adanya Pemilu serentak
2019 kemarin, para pemilih harus mencoblos 5 surat suara sekaligus di
bilik suara. Lima surat suara itu untuk memilih anggota DPRD tingkat

66
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPR, anggota


DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.
Komisi Pemilihan Umum menetapkan 20 partai politik, termasuk di
dalamnya 4 partai lokal asal Aceh dalam pemilu yang telah dilaksanakan
pada 17 April 2019 kemarin.
Keputusan pelaksanaan pemilu serentak ini berawal dari
permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi pun
menyetujui pelaksanaan Pemilu Serentak melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa pengadaan pemilu legislatif
dan presiden yang terpisah bertentangan Undang-Undang Dasar 1945,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar penyelenggaraan pemilu. Ada 3 (tiga)
alasan Mahkamah Konstitusi perintahkan Pemilu Serentak :
1. Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan
mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.
2. Hak warga Negara untuk memilih secara cerdas dan efisien pada
pemilu serentak ini terkait dengan hak warga Negara untuk
membangun peta chek and balances dari pemerintahan presidensial
dengan keyakinannya sendiri.
3. Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang
dilakukan setelah Pileg, ditemukan fakta politik bahwa untuk
mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden, calon
Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar menawar
(bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat
sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.2
Tak hanya itu, penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 juga dinilai
sesuai dengan original intent dan penafsiran sistematik Pasal 22E ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”

C. KONSEP KOTAK SUARA


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
mengamanatkan kotak suara Pemilu 2019 dibuat transparan.
Untuk menjalankan ketentuan itu, KPU menimbang berbagai model,
bahan, spesifikasi, dan ukuran. Setelah melalui proses pertimbangan
yang panjang, "kardus" atau disebut juga sebagai karton kedap air, dinilai
paling cocok digunakan sebagai bahan kotak suara. KPU juga
mengusulkan supaya kotak suara itu bisa dibuat transparan pada salah
satu sisinya.
Kotak Suara pada Pemilu selalu mengalami perubahan dari tahun
ke tahun, dari bahan, harga maupun besarnya anggaran pengadaan
kotak suara tersebut seperti dalam Tabel berikut ini:
Tabel. 1. Bahan Kotak Suara pada beberapa pemilu

2
https://news.detik.com/berita/d-4523961/pemilu-2019-disoal-ini-lho-3-alasan-mk-
perintahkan-pemilu-serentak

67
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

PEMILU 2004 PEMILU 2009 PEMILU 2014

1.Menggunakan kotak suara 1.Berbahan kayu, 1. Berbahan plastik dengan warna


berbahan aluminium. kayu lapis atau buram dan bilik suara dari kardus.
metal.

2.Harga satuan kotak suara 2. Harga satuan 2.Harga satuan kotak suara sekitar
Rp.50.000,00 kotak suara Rp.50.000,00
sekitar
Rp.130.000,00
3.Anggaran pengadaan kotak suara 3.Anggaran 3.Anggaran pengadaan kotak suara
Nasional Rp 120M pengadaan kotak nasional Rp 119,6 Milliar.
suara nasional
Rp.55,46 Milliar.
(Di akses pada : https://mediaindonesia.com/read/detail/120701-kotak-transparan-siap-diuji-coba-2018
Pada Tanggal 03 September 2019 Pukul 08.25 WIB)

Berdasarkan Tabel di atas dapat diuraikan sebagai berikut :


1. Pemilu 2004
Pada pemilu ini masih menggunakan kotak suara yang terbuat dari
bahan aluminum. Harga satuannya kala itu Rp 50 ribu dan sudah
dipergunakan Pemilu 2004 (sebanyak tiga kali yakni pilpres, pilkada
gubernur dan pilkada kabupaten kota). Adapun anggaran pengadaan
yang di gunakan untuk pembuatan kotak suara Nasional saat itu Rp
120M.
2. Pemilu 2009
Pada pemilu ini kotak suara yang dipakai terbuat dari bahan kayu,
kayu lapis atau metal. Hal ini disebabkan karena takut terjadinya
pembengkakan dana. alasan lain kotak suara dari kayu karena bahan
baku di daerah mudah ditemukan dengan harga murah. Karena
sebelumnya semua dibuat terpusat secara nasional, sekarang dibuat di
daerah masing-masing. Akan tetapi kotak pemilu dari aluminium bekas
Pemilu 2004 tetap digunakan. Adapun harga satuan kotak suara
sekitar Rp.130.000,00 dengan anggaran pengadaan kotak suara
nasional Rp.55,46 Milliar.
3. Pemilu 2014
Kotak suara yang digunakan pada pemilu ini adalah kotak suara yang
terbuat dari bahan plastik dengan warna buram dan bilik suara dari
kardus. Harga satuan kotak suara sekitar Rp.50.000,00. Anggaran
pengadaan kotak suara nasional Rp 119,6 Milliar. Akan tetapi sebagian
juga masih menggunakan kotak suara aluminium sisa dari pemilu
2004.
Dan pada Pemilu 2019 di sepakati bahwa kotak suara yang akan
digunakan adalah berbahan dasar dupleks atau kardus.

D. KOTAK SUARA BERBAHAN KARDUS (DUPLEKS)

Usulan kotak suara berbahan karton itu mulanya dituangkan


dalam draf Peraturan KPU (PKPU) tentang logistik. Usulan itu dibahas
dalam RDP yang digelar Maret 2018. Ketika itu, tidak ada satu pun fraksi
yang keberatan atau protes. Begitu pula dengan sikap pemerintah. Jadi

68
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

secara politik dan hukum sudah memenuhi prosedur dan mendapat


persetujuan wakil rakyat.
KPU kemudian melakukan simulasi terhadap usulan yakni opsi
pertama kotak suara berbahan aluminium dengan satu sisi kaca
transparan namun biaya mahal, rawan pecah dan pengerjaanya lama
sehingga dikhawatirkan tidak selesai tepat waktu. Opsi kedua dibuat
dengan bahan karton kedap air dengan salah satu sisi transparan dinilai
lebih murah, dan pengerjaannya bisa tepat waktu serta simpel dalam
penyimpanan maupun pendistribusiannya seperti yang diterapkan pada
Pemilu 2014 di sebagian TPS.
Setelahnya, draf PKPU yang sudah disetujui melalui RDP diajukan
ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk diundangkan.
Akhirnya, Kemenkumham mengesahkan PKPU Nomor 15 tahun 2018
pada 24 April 2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan
Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan
Umum. Total ada 4,6 juta lebih kotak suara berbahan karton dupleks
yang dibikin dan telah selesai pembuatannya pada akhir November 2018
lalu dengan anggaran yang dipakai untuk produksinya mencapai Rp284,2
miliar. 3
Sesuai amanat Pasal 341 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bahwa perlengkapan
kotak suara untuk pemungutan suara harus bersifat transparan, yang
bermakna bahwa isi kotak suara harus terlihat dari luar. KPU
bertanggung jawab dalam merencanakan menetapkan standar serta
kebutuhan pengadaan pendistribusian perlengkapan pemungutan
suara.Lalu menurut Pasal 341 ayat 3 menyatakan untuk bentuk, ukuran,
spesifikasi teknis dan perlengkapan pemungutan suara lainnya undang-
undang memberikan keleluasaan agar diatur dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU).
Menurut Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2018Pasal 7 ayat
1 PKPU tersebut mengatur bahwa kotak suara Pemilu 2019 berbahan
dasar karton kedap air yang transparan satu sisi, atau disebut juga
duplex. Jenis 'kardus' dipilih, selain karena memenuhi syarat, lantaran
harga yang lebih murah. Sehingga menghemat biaya penyimpanan,
menghemat biaya produksi, distribusi.
Berikut bunyi Pasal di PKPU Nomor 15 Tahun 2018 yang mengatur
tentang Norma, Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan
Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum:
Pasal 7
1) Kotak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terbuat
dari bahan karton kedap air yang pada satu sisinya bersifat
transparan.
2) Kotak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
merupakan barang habis pakai.

3
https://www.bbc.com/indonesia Polemik kotak suara bahan karton, KPU: 'Ini
kecurigaan berlebihan

69
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

3) Kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk kotak


yang kokoh pada setiap sisinya, dengan ukuran panjang 40 (empat
puluh) sentimeter, lebar 40 (empat puluh) sentimeter, dan tinggi 60
(enam puluh) sentimeter.
4) Kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwarna putih.
5) Ukuran dan bahan kotak suara yang digunakan dalam
pemungutan suara bagi Warga Negara Republik Indonesia di luar
negeri disesuaikan dengan kondisi setempat di luar negeri.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, ukuran, dan spesifikasi
teknis kotak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan KPU.

Sedangkan Kotak Suara menurut Keputusan Komisi Pemilihan Umum


Republik Indonesia Nomor 999/HK.03.1-Kpt/07/KPU/VII/2018 Tentang
Kebutuhan Dan Spesifikasi Tekhnis Perlengkapan Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Pada Lampiran II.
a. Spesifikasi bahan:
1) Karton double wall dengan ketebalan karton minimal 6 mm (B/CFlute
Double Wall).
2) Bahan karton double wall:
a) Sisi luar : Duplex coated minimal 250gram/m2
b) Sisi tengah dan gelombang : Medium minimal 150gram/m2
c) Sisi dalam : Kraft minimal 200 gram/m2
3) Gambar double wall:

Gambar 1. Double Wall


4) Bentuk, ukuran, dan warna kotak suara yang terbuat dari karton
diproduksi dengan ketentuan:
a) berbentuk kotak dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm,dan
tinggi 60 cm;
b) pada salah satu sisi/bagian depan diberi jendela dari bahan plastik
polyvinyl chloride (PVC) berwarna bening/transparan dengan ketebalan
minimal 300 mikron;
c) pada sisi samping kanan dan kiri kotak suara diberi lubang
pegangan untuk mengangkat;
d) tutup kotak suara bagian tengah diberi celah/lubang untuk
memasukkan surat suara dengan panjang 18 cm dan lebar 1 cm;
e) pada sisi depan bagian tengah dipasang tempat untuk memasang
gembok atau pengaman lainnya;

70
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

f) kotak suara disambung dengan lem kardus dan dapat dijahit


kawat;
g) tampilan luar kotak suara berwarna putih;
h) pada kedua sisi di bawah lubang pegangan bertuliskan “KPU”; dan
i) desain kotak suara karton berjendela:

(1) Dimensi kotak suara

71
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di Kepulauan Legundi yang berada di


Kecamatan Punduh Pedada. Kecamatan Punduh Pedada adalah salah
satu bagian dari wilayah Kabupaten Pesawaran bagian selatan.
Kecamatan Punduh Pidada merupakan pemekaran dari Kecamatan

72
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Padang Cermin. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Marga


Punduh Kabupaten Pesawaran. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat
Sunda. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Lampung. Sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.
Kecamatan Punduh Pidada merupakan daerah pesisir dengan luas
110,46 Km2 .
Pulau Legundi adalah desa dan pulau di kecamatan Punduh
Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Indonesia. Pulai Legundi
terletak di lepas Selat Legundi. Meskipun tidak begitu jauh dari
daratan Sumatra, penduduk Legundi sangat sedikit, penduduknya
berjumlah sekitar 80 penduduk per kilometer persegi dan berprofesi
sebagai petani dan nelayan.
Pulau dengan luas wilayah 2.500 hektare itu dihuni sebanyak
2.008 jiwa yang secara administrasi pemerintahan merupakan desa
dengan nama Desa Pulau Legundi Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten
Pesawaran. Pulau Legundi juga terkena dampak Tsunami Selat Sunda
yang terjadi pada tanggal 22 Desember 2018 kemarin. Hal itu tak lepas
karena Propinsi Lampung dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Akibat
tsunami tersebut, ratusan kepala keluarga sempa terisolir dan puluhan
rumah rusak.
Pulau Legundi termasuk daerah Kepulauan yang cukup ekstrim.
Hal ini dikarenakan untuk mencapai Pulau Legundi harus melewati
perairan laut dengan faktor cuaca yang tidak menentu terkadang
membuat gelombang laut menjadi tinggi. Jarak Pulau Legundi sendiri
apabila di hitung dari Kantor KPU Kabupaten Pesawaran yang terletak di
Gedongtataan adalah berjarak 59Km.

Dimana jarak tersebut perinciannya dari Kantor KPU Kabupaten


Pesawaran menuju Dermaga Ketapang adalah 50Km dengan waktu
1,5jam. Kemudian dari dermaga tersebut melewati laut dengan
menggunakan kapal selama 45 menit.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana
menurut Sugiyono (2018:9) metode penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme atau
enterpretif, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara trianggulasi (gabungan observasi, wawancara,
dokumentasi), data yang diperoleh cenderung data kualitatif, analisis data
bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif bersifat untuk
memahami makna, memahami keunikan.
Penelitian kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan berbagai
sumber referensi ilmiah dari sumber primer dan sumber sekunder
melalui penelusuran tulisan terkait seperti jurnal, paper, dan berita
media massa khususnya mengenai penggunaan kotak suara berbahan
kardus atau dupleks pada Pemilu Serentak 2019 kemarin.Sedangkan,
sumber data primer merupakan hasil wawancara, observasi.
Hasil observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis isi. Hasil wawancara, observasi dan

73
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dokumentasi tersebut selanjutnya penulis menganalisis data dengan


menggunakan teknik interprestasi mengenai maknanya.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan
dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun
ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain (Sugiyono, 2018 : 131).

Analisa data dilakukan dengan analisis deskriptif dengan menelaah


berbagai sumber data yang diperoleh mengenai penggunaan kotak suara
berbahan kardus atau dupleks pada Pemilu Serentak 2019 khususnya di
Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung, sebagai upaya
dalam memberikan kesimpulan tentang suatu pemikiran yang rasional
dan argumentative dalam memilah fakta dan konsep yang ada.
Nasution dalam Sugiyono menyatakan bahwa “Dalam penelitian
kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai
instrument penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya
belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian,
prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil
yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan
jelas sebelumnya.
Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian
itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada
pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang
dapat mencapainya” (Sugiyono, 2018 :102).
Pemilihan objek penelitian atau informan harus disertai
karakteristik yang mendetail dan memiliki argumentasi akademis
sehingga tepat sasaran. Dalam penelitian ini informan dipilih berdasarkan
metode purposive sampling atau dipilih berdasarkan kriteraia tertentu
dalam hal ini pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan pada
peran, pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan terkait objek
penelitian yang dimaksud

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kotak Suara Berbahan Dupleks Mendukung Pemilu Yang Efektif
Suksesnya pelaksanaan penyelenggaran pemilu yang efektif adalah
dengan terfasilitasinya hak rakyat untuk memilih dan/atau dipilih. Salah
satu fasilitas yang dimaksud berupa ketersediaan logistik pemilu di
tempat pemungutan suara (TPS) secara tepat jumlah, tepat jenis, tepat
mutu, tepat tempat tujuan dan tepat waktu. Adapun Kotak suara adalah
bagian dari logistik pemilu yang memiliki fungsi dan tujuan untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu. Efektivitas penggunaan
kotak suara tidak akan tercapai apabila kotak suara tersebut tidak dapat
digunakan sebagaimana fungsinya dalam proses pemungutan dan
penghitungan suara di TPS.

74
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Dalam hal anggaran kotak suara berbahan dupleks, pagu anggaran


awalnya yang dirancang sebesar Rp. 948 miliar, selanjutnya dilelang
kebutuhannya menjadi Rp.298 miliar. Jika dibandingkan, pengadaan
kotak berbahan aluminium lebih mahal tiga kali lipat dari kotak kardus.
Sedangkan biaya produksi bisa menghemat hingga 70% yaitu dengan
tidak perlu menyewa gedung untuk menyimpan kotak suara aluminium.4
Adapun salah satu faktor penggunaan kotak suara kardus dapat
mendukung terselenggaranya pemilu yang efektif yaitu hemat. KPU
Kabupaten Pesawaran tidak membutuhkan anggaran dalam hal
penyewaan gudang untuk menyimpan kotak suara dan tidak perlu
melakukan stock opname (perawatan fisik barang). Karena jika setiap
tahun biaya sewa gudang untuk penyimpanan selalu naik dan KPU
melakukan dengan anggaran yang dibiayai negara.
Sistem penyewaan gudang diberlakukan saat kotak suara berbahan
alumunium masih dipakai. Sementara itu, untuk kotak suara berbahan
duplek tidak perlu disimpan karena akan dimusnakah setelah tahapan
pemilu selesai.
Faktor lainnya adalah mudah didistribusikan dan dirakit kembali.
Kotak suara duplek ini hanya sekali pakai saja sehingga lebih murah dari
alumunium. Dengan berbahan dupleks, merakit kotak suara bisa
dilakukan secara mudah tidak perlu bantuan orang lain untuk merakit.
B. Pendistribusian Kotak Suara Berbahan Dupleks Dari Kantor KPU
Pesawaran Ke Pulau Legundi
Pada dasar pendistribusian kotak suara kesemua TPS (Tempat
Pemungutan Suara) baik TPS yang berbasis kepulauan, pegunungan dan
perairan memerlukan penanganan khusus. Hal ini juga dilakukan oleh
KPU Kabupaten Pesawaran dalam tahapan distibusi Logistik Pada Pemilu
2019.
Berdasarkan hal di atas Ketua KPU Kabupaten Pesawaran Amin
Udin sekaligus sebagai Ketua Divisi Logistik pada Pemilu Serentak 2019
menyatakan bahwa :
“Pendistribusian ke Pulau Legundi pada Pemilu Serentak 2019
kemarin dilakukan pada hari terakhir pendistribusian atau tepatnya
H-3 yakni tanggal 14 April 2019. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi resiko kerusakan pada kotak suara. Pendistribusian
dilakukan menggunakan mobil Truck dan di kawal sampai di tempat
tujuan oleh aparat kepolisian sebanyak 10 orang. Untuk kepulauan
Legundi diperlukan penanganan khusus pendistribusian kotak suara
berbahan kardus tersebut yakni dengan cara membungkus kotak
suara dengan menggunakan plastik sebanyak 2 (dua) rangkap.
Kemudian selanjutnya pendistribusian tersebut menggunakan kapal
yang dianggap layak dan aman serta kotak suara kembali ditutupi
plastik terpal menuju Pulau Legundi dengan pengawasan
pengamanan.”
(Wawancara dengan Amin Udin, S.HI, M.Pd.I, 09 September 2019)

4
https://m.detik.com/news/berita/d-4347983/ketua-kpu-sebut-kotak-suara-kardus-hemat-biaya

75
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pada umumnya distribusi logistik di lakukan berjenjang pada


kecamatan lain yakni penyerahan dari kantor KPU kepada PPK (Panitia
Pemilihan Kecamatan), dari PPK menginap di gudang logistik PPK selama
1 malam dan selanjutnya di distribusikan ke PPS (Panitia Pemilihan
Suara ) , dari PPS menginap sampai H-1.
Selanjutnya baru di distribusikan ke TPS (Tempat Pemungutan
Suara) sehingga menginap selama 1 malam. Tetapi Khusus untuk
Kepulauan Legundi dan kepulauan lainnya, pendistribusian terjadi H-3
dan distribusinya langsung ke TPS setempat.
Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Edi Sutanto, S.P,MM
selaku Anggota Komisioner sekaligus Wakil Divisi Logistik KPU
Kabupaten Pesawaran:
“untuk mengurangi resiko dan biaya pengamanan di tingkat PPK dan
PPS, maka pendistribusiannya tidak melewati Kecamatan Punduh
Pidada akan tetapi melalui dermaga terdekat yakni Dermaga Ketapang
yang berada dikecamatan Teluk Pandan. Padahal Pulau Legundi
terletak di Kecamatan Punduh Pidada. Hal itu dimaksudkan untuk
menjaga Efektivitas dan effisiensi dari kotak suara tersebut dengan
perjalanan yang lebih dekat dan dapat mengurangi resiko
(Wawancara,10 September 2019).”

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka pemilihan distribusi kotak


suara berbahan dupleks ke Pulau Legundi tidak dilakukan melalui
Dermaga pada kecamatan Punduh Pedada. Akan tetapi dipilih Dermaga
terdekat yaitu Dermaga Ketapang yang terletak pada Kecamatan Teluk
Pandan. Hal tersebut dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Pesawaran dengan maksud untuk mengurangi resiko dan biaya
pengamanan pada tingkat PPK dan PPS. Sedangkan untuk penyebrangan
itu sendiri menggunakan kapal lokal dari Dermaga Ketapang, dengan
memerlukan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.

C. JUMLAH TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA (TPS), KOTAK SUARA DAN


HASIL PEMUNGUTAN SUARA DI PULAU LEGUNDI PADA PEMILU
SERENTAK 2019
Jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Pulau Legundi adalah
sebanyak 7 (tujuh) TPS yang tersebar di berbagai daerah tersebut.

Tabel. 2. Jumlah TPS di Pulau Legundi

NO KECAMATAN DESA TPS L P JML

1 MARGA PUNDUH Pulau Legundi 001 113 103 216

002 102 92 194

003 72 81 153

004 55 54 109

005 71 57 128

76
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

006 101 75 176

007 110 61 171

Jumlah 7 624 523 1147

Sumber : KPU Kabupaten Pesawaran

Jumlah Kotak Suara di Pulau Legundi pada Pemilu Serentak 2019.


Terdapat 5 surat suara pada Pemilu Serentak 2019 kemarin yang terdiri
dari :
a. surat suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. surat suara Pemilu anggota DPR;
c. surat suara Pemilu anggota DPD;
d. surat suara Pemilu anggota DPRD Provinsi; dan
e. surat suara Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Dikarenakan terdapat 7 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Pulau
Legundi, sedangkan surat suara yang dibutuhkan ada 5 maka dapat
disimpulkan kotak suara yang dibutuhkan adalah :
7 TPS * 5 surat suara = 35 kotak suara.

D. EFEKTIVITAS PENGGUNAAN KOTAK SUARA BERBAHAN


DUPLEKS PADA PEMILU SERENTAK 2019 DI PULAU LEGUNDI
KABUPATEN PESAWARAN.
Pengukuran efektivitas penggunaan kotak suara berbahan dupleks
pada Pemilu Serentak Tahun 2019 di Pulau Legundi Kabupaten
Pesawaran dapat dilakukan dengan melihat dari pencapaian suatu
organisasi atau juga dapat dilihat dari keberhasilan dalam mencapai
tujuan.
Dalam hal ini pengukuran efektivitas penggunaan kotak suara
berbahan dupleks di Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran dengan di
tandai aspek-aspek efektivitasi telah tercapai dengan baik, meliputi:
1. Aspek tugas atau fungsi
Aspek tugas atau fungsi adalah sebuah lembaga dapat dikatakan
efektivitas apabila dapat melaksanakan tugas atau fungsinya dengan
baik. Begitu juga sebuah proses pembelajaran dapat dikatakan efektif bila
tugas dan fungsi dapat dilaksanakan dengan baik. Bahwa Kotak Suara
berbahan dupleks atau kardus sudah teruji dan dijamin kualitasnya
sehingga dapat menjalankan fungsi dengan baik dan benar. Sehingga
tidak ada alasan untuk meragukan kualitasnya. Jenis 'kardus' dipilih,
selain karena memenuhi syarat, lantaran harga yang lebih murah.
Sehingga menghemat biaya penyimpanan, menghemat biaya produksi
serta distribusi. Bahwa dengan keberhasilan para penyelenggara pemilu
dalam pendistribusian dan penggunaan kotak suara berbahan dupleks,
maka itu merupakan hasil kerja yang telah dicapai oleh para
penyelenggara pemilu dengan terlaksananya tugas yang telah
dibebankan. Hasil kerja tersebut dapat dikategorikan sebagai prestasi
kerja dimana tugas tersebut didasarkan pada pengalaman, kecakapan,
kesungguhan dan waktu yang dimiliki oleh para penyelenggara pemilu,
serta tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya. Prestasi kerja

77
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dapat membuat kepuasan tersendiri yang pada akhirnya adanya


keinginan untuk mempertahankan prestasi kerja tersebut.

2. Aspek rencana dan program


Tujuan dari aspek ini adalah seluruh kegiatan dilakukan dengan
perencanaan yang terprogram dengan baik. Dalam hal penggunaan kotak
suara berbahan dupleks atau kardus dapat terlaksana dan memberikan
hasil yang baik serta bermanfaat bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,
itu artinya aspek rencanadan program telah terpenuhi. Tercapainya aspek
ini membuat kepuasan kerja yang dirasakan para penyelenggara pemilu
dan juga masyarakat di kepulauan Legundi atas berhasilnya
pendistribusian dan penggunaan kotak suara berbahan dupleks.
Kepuasan kerja disini di maksudkan adanya kepuasan kerja yang
dirasakan para penyelenggara pemilu dan juga masyarakat di kepula uan
Legundi atas berhasilnya pendistribusian dan penggunaan kotak suara
berbahan dupleks. Selain itu tingkat kepuasan juga dapat berupa
imbalan yang layak atas pekerjaan para penyelenggara pemilu dan juga
situasi dan kondisi yang nyaman tempat mereka bekerja.
Selain itu kotak suara berbahan dupleks dalam pendistribusian dan
penggunaannya membutuhkan koordinasi dan kerja sama antar pihak-
pihak yang terkait yakni baik para penyelenggara pemilu, masyarakat dan
juga aparat kepolisian. Dalam hal ini dibutuhkan adaptasi yang baik
antar pihak-pihak yang terkait tersebut sehingga kelancaran dari rencana
dan program yang hendak dicapai dapat di raih dengan mudah oleh
semua pihak yang terlibat di dalamnya.

3. Aspek ketentuan dan peraturan


Efektivitas sebuah program dapat dilihat dari berfungsi atau tidak
peraturan yang telah dibuat untuk menjaga kelangsungan proses
kegiatan. Bila ketentuan dan peraturan ini dapat dilaksanakan dengan
baik maka ketentuan dan peraturan tersebut telah berjalan dengan
efektif. Penggunaan kotak suara berbahan dupleks yang diadakan oleh
KPU sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum di tambah dikeluarkannya PKPU yang terkait No 15 Tahun 2018
tentang Norma, Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan
Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Selain
itu juga menurut Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
Nomor 999 / HK.03.1-Kpt / 07 / KPU / VII / 2018 Tentang Kebutuhan
Dan Spesifikasi Tekhnis Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Pada Lampiran II.

4. Aspek tujuan dan kondisi ideal


Sebuah kegiatan dapat dikatakan memiliki efektivitas apabila
tujuan atau kondisi yang di inginkan dapat tercapai. Pada akhirnya ke-
Efektifitasan dalam penggunaan kotak suara berbahan dasar dupleks
atau kardus di Pulau Legundi dapat tercapai karena telah tercapainya
tujuan dan kondisi ideal seperti :

78
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

• Pemahaman program
Bahwa ketika kotak suara dupleks tiba di kantor KPU Kabupaten
Pesawaran, seluruh pegawai KPU Kabupaten Pesawaran memahami
proses perangkaian kotak suara. Selain itu mereka juga memahami
merawat kotak suara dengan cara menempatkan di gudang logistik yang
aman dari gangguan cuara. Mereka juga melalui arahan dari Anggota
KPU Kabupaten Pesawaran Divisi Logistik memahami tentang pengaturan
penyimpanan kotak suara.

• Tepat sasaran
Bahwa kotak suara berbahan dupleks yang didesain dengan salah
satu sisi yang transparan, sehingga masyarakat khususnya pemilih dapat
melihat langsung surat suara yang telah dimasukkan ke dalam kotak
suara. Hal tersebut tentu dapat mengurangi tingkat kecurangan.
• Tepat waktu
Bahwa pendistribusian kotak suara dari KPU Kabupaten Pesawaran
berjalan dengan baik dan lancar ketika H-1 dan sesudah pemungutan
suara pengembalian kotak juga dapat kembali dengan baik.

• Tercapainya tujuan
Bahwa kotak suara berbahan dupleks sejumlah 35 kotak dapat
digunakan sebagaimana mestinya sebagai penyimpan surat suara hasil
pemungutan suara yang terdiri 5 surat suara. Selain itu kotak suara
tersebut juga menyimpan hasil rekapitulasi C1 plano.

• Perubahan nyata
Bahwa sebelum ini Pemilu menggunakan kotak suara berbahan
aluminium, kayu dan juga pernah plastik buram dimana belum ada
kotak suara yang mempunyai sisi transparan.
Pendistribusian logistik khususnya kotak suara berbahan dupleks
atau kardus dan penggunaannya berjalan dengan baik dan lancar. Semua
tak lepas dari peran aktif para penyelenggara Pemilu yakni KPU
Kabupaten Pesawaran, PPK, PPS dan KPPS yang menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pendistribusian kotak suara tersebut. Sehingga
kotak suara sampai dengan aman dan selamat di lokasi TPS tanpa ada
suatu kekurangan apapun. Pelaksaanaan pemilu Kepulauan Legundi pun
berjalan dengan lancar dan masyarakat disana bisa memberikan hak
pilihnya dengan baik. Begitupun dalam hal pengembalian kotak suara di
Kecamatan yang difasilitasi oleh PPK dapat berjalan dengan baik.

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan


yakni :
1. Pada prinsipnya pendistribusian logistik untuk Tempat Pemungutan
Suara (TPS) pada daerah yang rawan, baik karena wilayah geografis,

79
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

cuaca dan lain sebagainya, jika dilaksanakan dengan penuh


kecermatan, kehati-hatian dan perencanaan yang matang dapat di
laksanakan dengan baik. Pada bagian lain, KPU juga harus
memastikan bahwa lokasi penyimpanan kotak suara karton memenuhi
standar keamanan. Kontrol tempat penyimpanan logistik secara
periodik satu minggu sekali.
2. Jaminan keamanan pada penyimpanan dan distribusi logistik
khususnya kotak suara tidak hanya menjadi tugas penyelenggara
pemilu, tetapi juga beberapa pihak terkait termasuk rakyat sebagai
pelaku utama dalam pemilu.
3. Selain itu dengan adanya koordinasi yang baik antara penyelenggara
pemilu dalam hal ini KPU Kabupaten Pesawaran, para PPK, PPS dan
KPPS serta pihak Kepolisian maka pelaksanaan distribusi ke Pulau
Legundi yang di nilai rawan dan ekstrim dapat terlaksana dengan baik
hingga kotak kembali ke kabupaten melalui kecamatan masing-masing.
4. Penelitian juga menyimpulkan berdasarkan hasil observasi, kotak
suara berbahan dupleks yang diadakan oleh KPU sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di tambah
dikeluarkannya PKPU yang terkait No 15 Tahun 2018 tentang Norma,
Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian
Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Selain itu juga
menurut Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
Nomor 999 / HK.03.1-Kpt / 07 / KPU / VII / 2018 Tentang Kebutuhan
Dan Spesifikasi Tekhnis Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Pada Lampiran II.

Adapun saran yang dapat penulis berikan pada penelitian ini adalah :
1. Pada masa yang akan datang sebaiknya harus ada anggaran khusus
yang cukup dan memadai untuk pendistribusian daerah-daerah yang
di anggap rawan. Hal tersebut dimaksudkan untuk optimalisasi
pendistribusian logistik ke daerah kepulauan sesuai dengan
kebutuhan. Karena ada kalanya terdapat pengeluaran yang tidak
terduga.
2. Bahwa sebaiknya kotak suara untuk kepulauan di daerah ekstrim
menggunakan kotak suara yang terbuat dari Mika yakni setipe dengan
plastik tetapi tidak tembus air. Hal ini dimaksudkan agar dapat
mengurangi resiko apabila terkena basah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agung, Kurniawan. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Pembaharuan.
Effendy, Onong Uchjana. (2008). Ilmu Komunikasi, Teori & Praktik.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Handayaningrat, Soewarno. (2006). Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan
Manajemen. Gunung Agung, Jakarta.

80
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Hidayat. (2006). Teori Efektifitas Dalam Kinerja Karyawan. Yogyakarta :


Gadjah Mada Universsity Press.
Muasaroh, L.J. (2010). Aspek-Aspek Efektivitas. Yogyakarts: Literatur
Buku.
Othenk, (2008). Pengertian Efektvitas dan Landasan Teori Efektivitas.
Siagian, Sondang,P. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta :
Bumi Aksara.
Tangkilisan, Nogi Hessel. (2005). Manajemen Publik.. PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia : Jakarta.

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif. Bandung:


Alfabeta CV
Susanto, A. (2005). Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Ghaila
Indonesia.

Jurnal
Balton, M.Gren, Krtum, Philip & Claudia. (2015).”How Hard Can It Be
To Place a Ballot Into a Ballot Box? Usability of Ballot Boxes in
Tamper Resistantd Voting Systems”. Journal Of Usability Studies.
Vol. 10 Issue 4, August 2015, p 123-139

Wahiduddin, dkk (2014) “Peningkatan Kualitas Penyelengaraan Pemilu


Proporsional, Akuntabilitas dan Efektif Melalui Sistem Online
dengan Autentifikasi E-KTP.” Jurnal PENA Vol. I.

Artikel Online
Di akses pada tanggal 02 September 2019 Pukul 22.15 WIB, dari :
https://news.detik.com/berita/d-4523961/pemilu-2019-disoal-
ini-lho-3-alasan-mk-perintahkan-pemilu-serentak

Di akses pada Tanggal 03 September 2019 Pukul 08.25 WIB, dari :


https://mediaindonesia.com/read/detail/120701-kotak-
transparan-siap-diuji-coba-2018

Di akses pada tanggal 03 September 2019 Pukul 09.50 WIB, dari :


https://www.bbc.com/indonesia Polemik kotak suara bahan karton,
KPU: 'Ini kecurigaan berlebihan

Peraturan
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum;
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2018 Tentang
Norma, Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian
Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 999/HK.03.1-


Kpt/07/KPU/VII/2018 Tentang Kebutuhan Dan Spesifikasi Tekhnis
Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

81
LITERASI PEMILIH PENYANDANG DISABILITAS:
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA
DI KABUPATEN SLEMAN

Viera Mayasari Sri Rengganis


KPU Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
E-mail: viera.mayasari81@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi literasi pemilih
Penyandang Disabilitas, hambatan yang terjadi, serta merekomendasikan desain
kebijakan untuk membangun literasi pemilih Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Sleman. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif,
dengan metode deskriptif. Fokus penelitian ini adalah program-program
sosialisasi dan pendidikan pemilih yang telah dilakukan oleh KPU Kabupaten
Sleman, serta program Pemerintah Kabupaten Sleman dalam rangka
membentuk literasi pemilih Penyandang Disabilitas. Peneliti melakukan
wawancara dengan Komisioner KPU Kabupaten Sleman dan perwakilan
organisasi Penyandang Disabilitas. Selain itu dilakukan observasi terhadap
kegiatan Perencanaan dan Proses Pembangunan Desa yang melibatkan
komunitas Penyandang Disabilitas. Kesimpulannya berupa 4 (empat) hal, yaitu:
(1) Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman belum memiliki literasi politik
yang memadai; (2) Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman masih terbatas
pada tahap literasi pemilih; (3) Hambatan dalam pembentukan literasi pemilih
disebabkan adanya diskriminasi dari keluarga, masyarakat dan pemerintah;
(4) Proses pembentukan literasi pemilih diperoleh dari sosialisasi dan pendidikan
pemilih yang dilakukan KPU Kabupaten Sleman. Rekomendasi yang bisa
ditawarkan adalah: (1) Menciptakan regulasi sosialisasi dan pendidikan pemilih
yang tidak terbatas pada pemilihan umum; (2) Melakukan pendidikan politik
dengan melibatkan keluarga Penyandang Disabilitas; (3) Mengoptimalkan
konsep sosialisasi dan pendidikan pemilih Penyandang Disabilitas sebagai agen
yang aktif; (4) Mengoptimalkan peranan SIPARMAS (Sistem Informasi Partisipasi
Masyarakat).

Kata Kunci: literasi politik, literasi pemilih, sosialisasi, pendidikan


pemilih, Penyandang Disabilitas.

LITERATION OF DISABILITY VOTERS:


IDENTIFICATION OF PROBLEMS AND SOLUTIONS
IN SLEMAN REGENCY

ABSTRACT
This study aims to determine the condition and create a policy to build the
voter literacy of persons with disabilities in Sleman Regency. The method used is a
qualitative approach, with descriptive methods. The focus is the voter education
and socialization programs by the General Electoral Commission of Sleman
Regency, and the Sleman Regency Government program. Researchers conducted
interviews with the Commissioner of the General Electoral Commission of Sleman
Regency and representatives of organizations of people with disabilities.
Observations also made on the Village Development Planning and Process

82
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

(Musrenbang). The conclusion are: (1) Persons with disabilities in Sleman


Regency do not yet have political literacy; (2) Persons with disabilities in Sleman
Regency only have voter literacy; (3) The problems of voter literacy are caused by
discrimination from family, community and government; (4) The process of forming
voter literacy is obtained from voter education and socialization by the General
Electoral Commission of Sleman Regency. Recommendations are: (1) Creating
regulations on voter education and socialization that are not limited to elections; (2)
Conducting political education by involving families of people with disabilities; (3)
Optimizing people with disabilities as active agents; (4) Optimizing the role of
SIPARMAS (Information Systems for Community Participation).
Keywords: political literacy, voter literacy, socialization, voters
education, people with disability.

PENDAHULUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana kondisi literasi pemilih Penyandang Disabilitas, hambatan
yang terjadi dalam pembentukan literasi pemilih tersebut, serta
merancang sebuah desain kebijakan untuk membangun literasi pemilih
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman.
Sejak Orde Reformasi bergulir, Indonesia telah menyelenggarakan
pemilihan umum sebanyak 5 kali ditahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan
2019. Dalam rentang waktu tersebut juga telah dilakukan Pilkada
Serentak di tahun 2015, 2017 dan 2018. Pemilu Legislatif Indonesia
tahun 2014 bisa jadi merupakan kegiatan yang paling kompleks di dunia.
Paling tidak terdapat empat juta petugas di 550.000 TPS, yang tersebar di
seluruh Indonesia yang memiliki 17.000 pulau. Para KPPS ini
bertanggungjawab mengelola 700 juta surat suara dengan 2.450 desain
yang berbeda untuk memfasilitasi pemilihan sekitar 19.700 kandidat
dalam Pemilihan Legislatif. Kompleksitas ini semakin bertambah pada
pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, dimana jumlah TPS bertambah
menjadi 813.350 dan pemilih akan mencoblos 5 surat suara dengan
desain yang berbeda, kemudian memasukkan surat suara tersebut
kedalam 5 kotak suara dengan 5 penanda warna yang berbeda pula.
Kompleksitas pemilu Serentak ini tentunya membutuhkan pengetahuan
terkait tahapan pemilihan dan teknis memberikan suara yang harus
dimiliki oleh setiap pemilih. Kompleksitas pada penyelenggaraan Pemilu
Serentak Tahun 2019 mengharuskan KPU harus lebih intens melakukan
sosialisasi dan pendidikan pemilih sejak awal, tak terkecuali kepada
Penyandang Disabilitas. Dengan keterbatasan yang mereka miliki,
tentunya dibutuhkan sebuah kebijakan yang lebih mengakomodasi
kebutuhan para Penyandang Disabilitas dan dukungan dari instansi
terkait. Berbagai kajian yang telah dilakukan belum banyak menyentuh
aspek tingkat literasi pemilih Penyandang Disabilitas, yaitu pemahaman
tentang tahapan Pemilu, pengenalan terhadap profil calon atau kandidat,
pengetahuan tentang visi misi kandidat serta pemahaman terhadap
teknis pemberian suara.

83
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pelaksanaan Pilkada Serentak juga memiliki kompleksitas


tersendiri, terutama dari sisi partisipasi yang cenderung turun, masifnya
politik uang serta menguatnya fenomena calon tunggal. Pada tanggal 9
Desember 2015, untuk pertama kalinya Indonesia menggelar pemilihan
kepala daerah secara serentak di 264 daerah yang terdiri dari 8 Provinsi,
222 kabupaten, dan 34 kota. Di DIY sendiri, kabupaten yang
melaksanakan Pilkada Serentak di tahun 2015 adalah Kabupaten
Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul. Salah satu hal
terpenting yang perlu disoroti dalam penyelenggaraan Pilkada adalah
partisipasi warga lokal yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, tidak
terkecuali pemilih Penyandang Disabilitas.
Kabupaten Sleman dipilih sebagai lokasi penelitian karena
kabupaten ini memiliki sebuah program yaitu Pilot Project Desa Melek
Politik (PPDMP) berlokasi di desa Sendangsari, Minggir, Sleman yang
diresmikan pada tanggal 22 Oktober 2016. Secara spesifik, Desa Melek
Politik merupakan forum yang mendorong terbentuknya kesadaran,
meningkatnya pengetahuan politik, tingginya partisipasi politik,
kemampuan meningkatkan peran pembangunan, keahlian dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan pembangunan desa,
kemampuan dalam mengejar kepentingan dan kesejahteraan secara luas.
Dengan tujuan tersebut, Desa Melek Politik tidak lain merupakan forum
yang secara konseptual dikenal sebagai forum yang merepresentasikan
sebuah deliberasi publik. Gagasan untuk membentuk Desa Melek Politik
ini merupakan upaya KPU Kabupaten Sleman untuk melakukan
identifikasi aktivitas-aktivitas pendidikan politik dan kewargaan yang
dilakukan pihak-pihak lain, melakukan identifikasi metode pendidikan
politik yang ideal untuk setting masyarakat Sleman, serta melakukan
assesmen secara berkala untuk mengetahui tingkat literasi politik
warganya. Selain itu, Kabupaten Sleman merupakan pilot project Desa
Inklusi yang telah dilaksanakan di bulan Juni tahun 2015 di 2 (dua) desa
yaitu Desa Sendangtirto (Berbah) dan Desa Sendangadi (Mlati).
Keberadaan desa inklusi ini penting untuk mendorong keterlibatan
Penyandang Disabilitas dalam kegiatan di desa baik itu berupa kegiatan
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga penelitian ini kemudian
merupakan sebuah upaya untuk mengetahui secara berkala tingkat
literasi pemilih sebagai bagian dari literasi politik warga Kabupaten
Sleman, khususnya Penyandang Disabilitas sebagai perwujudan
komitmen KPU Kabupaten Sleman untuk membangun literasi pemilih
pada seluruh segmen masyarakat.
Secara sederhana, literasi dipahami sebagai sebuah kemampuan
untuk membaca dan menulis. Pemaknaan literasi (literacy) dalam bahasa
Inggris, jika berdasarkan Chambers English Dictionary adalah the ability
to read and write, the ability to use language in an accomplished and
efficient way. Dengan berkembangnya waktu, istilah literasi ini kemudian
diperluas untuk mencakup hal yang berkaitan dengan kemampuan dalam
menggunakan bahasa, angka, gambar dan cara-cara lain untuk

84
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

memahami dan menggunakan sistem simbol yang dominan dalam budaya


(UNESCO, 2006)
Terkait dengan literasi politik secara singkat didefinisikan oleh
sebagai “the state of having political information”, suatu keadaan dimana
seorang individu memiliki informasi politik (Krosnick, 2006). Definisi ini
memuat hubungan antara literasi politik dengan aspek kognisi individu
terkait dengan politik. Sementara Porter dan Crick kemudian
menambahkan aspek sikap kedalam definisi literasi politik. Dalam
penjelasannya tentang hubungan antara pendidikan politik dengan
literasi politik, mereka berkesimpulan bahwa tujuan utama dari
pendidikan politik adalah untuk meningkatkan “melek politik”, yaitu
suatu kondisi yang berkaitan dengan bukan hanya aspek pengetahuan,
namun juga terkait dengan keterampilan dan sikap yang diperlukan
untuk membuat seseorang dapat memperoleh informasi yang memadai
tentang politik, dapat turut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat
serta dapat mengenali dan mentolerir keragaman nilai-nilai sosial dan
politik (Yan, 1993).

Kajian terkait literasi politik dan literasi pemilih

Konsep literasi pemilih dalam kajian ini kemudian diletakkan


sebagai salah satu dimensi dari literasi politik. Literasi pemilih
merupakan kombinasi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperlukan oleh seseorang untuk mendapatkan informasi terkait pemilu.
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, literasi pemilih merupakan
kondisi dimana seseorang memiliki informasi terkait pemilu. Informasi ini
berupa tahapan pemilu, profil partai politik dan kandidat, serta teknis
pemberian suara. Studi terkait literasi pemilih belum banyak dilakukan,
karena sebagian besar studi masih berfokus pada dimensi yang lebih
besar yaitu literasi politik.
Penelitian terdahulu terkait literasi politik dilakukan dengan cara
menguji mobilisasi kognitif, peran struktural dan teori agen tradisional
dalam literasi politik yang dikonseptualisasikan sebagai sebuah bentuk
partisipasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa literasi politik
adalah hasil dari motivasi dan kemampuan individu, serta melibatkan
peran eksternal. Secara keseluruhan, faktor orang tua hanya memiliki
efek yang sangat kecil. Selain itu, meskipun ada upaya pemerintah untuk
mengajarkan literasi politik di sekolah, namun tidak mengubah literasi
politik dalam masyarakat secara signifikan. Faktor psikologis ternyata
lebih memiliki dorongan kuat pada individu untuk menerima, memproses,
dan mengambil sebuah informasi politik (Cassel & Lo, 1997).
Faktor psikologis dalam memproses sebuah informasi politik ini
terbukti berpengaruh pada golongan perempuan di India yang dalam
posisi termarginal. Fokusnya mengenai hak berpolitik dalam kondisi
perempuan di Rajasthan yang terdiskriminasi dan memperdebatkan
faktor moral mengenai hak berpolitik. Penelitian ini dilakukan pada kaum

85
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

wanita Rajasthan yang hidup di pedesaan dan hubungannya dengan hak


berpolitik dengan cara menjelaskan ide dan hak berbicara pada
sekelompok perempuan yang disebut sathins. Hasil penelitian
menemukan adanya dinamika proses refleksi yang pada akhirnya
mengarah tidak hanya pada moral yang kreatif, namun juga aktivitas
linguistik. Penelitian ini mengungkapkan kesulitan yang dialami wanita
pedesaan dalam hal akses politik maupun partisipasi. Penulis kemudian
merekomendasikan untuk menciptakan ruang bagi perempuan dalam
institusi politik melalui kebijakan publik yang positif (Madhok, 2005).
Adanya sekelompok orang yang mengalami kesulitan dalam
mengakses informasi politik inilah yang kemudian menegaskan peranan
negara dalam melakukan pendidikan politik dan kewarganegaraan.
Penelitian mengenai hal tersebut telah dilakukan terhadap strategi yang
diterapkan pemerintah Amerika Serikat untuk mendidik warganegara
dalam berdemokrasi. Penelitian dilakukan selama 2 tahun, dengan
mempelajari 10 kebijakan di Amerika Serikat yang dibuat untuk
memajukan demokrasi (Westheimer & Kahne, 2004).
Di Indonesia sendiri, peranan negara dalam membangun literasi
politik khususnya bagi Penyandang Disabilitas, salah satunya
diwujudkan dengan melibatkan kelompok ini dalam pemilu. Hal ini dapat
dilihat dalam penelitian terkait Literasi Politik Para Pemilih Tunanetra di
Kabupaten Banjarnegara pada Pemilihan Umum DPR/DPD dan DPRD
serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun
2014. Penelitian ini membatasi aspek pengetahuan mengenai politik yang
dibutuhkan seseorang untuk menjadi melek politik. Temuannya adalah
bahwa segala keterbatasan terhadap akses informasi yang dialami kaum
tunanetra dan keragaman kondisi literasi politiknya, ternyata tidak
menyurutkan keinginan mereka untuk mengikuti pemilu. Hal ini
disebabkan karena menurut mereka, berpartisipasi dalam memilih
merupakan tugas sebagai warga negara. Dapat disimpulkan bahwa
tingkat literasi yang rendah tidak menyebabkan partisipasi rendah karena
berpartisipasi dalam pemilu merupakan kewajiban semua warga negara
tanpa terkecuali. Penelitian ini memberikan rekomendasi agar KPU
Banjarnegara tidak hanya melakukan sosialisasi pemilu, akan tetapi
melakukan pendidikan politik terkait pemahaman konsep dasar dan
informasi faktual politik yang perlu ditingkatkan intensitasnya. Penelitian
ini memberikan gambaran bahwa Penyandang Disabilitas tunanetra yang
kondisi literasi politiknya beraneka ragam tetap menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu (KPU Banjarnegara, 2014).
Sedangkan untuk konteks Kabupaten Sleman sendiri, penelitian
terkait literasi politik pernah dilakukan oleh PolGov UGM. Dalam
penelitian ini PolGov melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan
melibatkan unsur dari CSO, penyelenggara pemilu, partai politik, guru
dan mahasiswa. Hasil yang direkomendasikan terkait upaya untuk
meningkatkan literasi politik di Kabupaten Sleman adalah:

86
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

1. Dengan melakukan civic education (pendidikan kewarganegaraan)


dalam literasi politik yang dilakukan mulai dari level tertinggi
hingga level paling bawah seperti RT/RW;
2. Melakukan revolusi mental, peran partai politik dan
penyelenggara pemilu untuk menghalau politik uang;
3. Pentingnya sinergi penyiapan materi pendidikan politik/pemilu;
4. Pentingnya strategi yang tepat dalam penyampaian pendidikan
politik/pemilu.
Dalam penelitian PolGov ini menyimpulkan bahwa di Kabupaten
Sleman ada sebagian besar masyarakat yang mungkin telah memiliki
literasi politik yang cukup baik namun memiliki kendala dalam hal
ketersediaan informasi tentang kandidat. Para peserta FGD juga
merekomendasikan adanya upaya perbaikan pendidikan politik/pemilu
yang tidak saja terbatas pada memperbanyak pendidikan politik/pemilu
untuk pemilih, namun juga memikirkan strategi yang tepat untuk tiap-
tiap kelompok masyarakat sesuai dengan karakternya masing-masing.
Dengan kata lain, diperlukan sebuah identifikasi terkait karakter
masyarakat dan mengevaluasi efektivitas program-program yang selama
ini telah dijalankan (PolGov UGM, 2015).
Dari penelusuran beberapa literatur tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penelitian mengenai literasi politik sudah mencakup berbagai
aspek dalam kehidupan masyarakat, mulai dari peranan orang tua
(Cassel dan Lo, 1997), literasi politik pada perempuan (Madhok, 2005),
kebijakan di AS terkait pendidikan kewarganegaraan (Westheimer dan
Kahne, 2004), literasi politik pemilih tunanetra (KPU Banjarnegara, 2014),
dan literasi politik masyarakat di Kabupaten Sleman (PolGov UGM, 2015).
Aspek literasi pemilih sebagai bagian dari literasi politik, sebetulnya
sudah diulas dalam penelitian yang dilakukan oleh KPU Banjarnegara.
Namun penelitian tersebut tidak secara tegas menyebutkan hasil
penelitiannya sebagai manifestasi literasi pemilih, dan cenderung
membingkai hasil penelitiannya dengan bingkai yang lebih umum, yaitu
literasi politik. Sedangkan penelitian ini akan lebih fokus pada aspek
literasi pemilih, sebagai bagian dari literasi politik. Selain itu, penelitian
ini juga merupakan assesmen secara berkala untuk mengetahui tingkat
literasi pemilih Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman. Dengan
mengetahui kondisi literasi pemilih Penyandang Disabilitas di Kabupaten
Sleman tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran terkini
mengenai literasi pemilih, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
literasi pemilih serta hambatan yang terjadi dalam proses pembentukan
literasi pemilih tersebut. Hasil akhirnya, diharapkan akan ada sebuah
desain kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan Penyandang
Disabilitas untuk meningkatkan literasi memilihnya.

Kewarganegaraan (Citizenship)
Paradigma kewarganegaraan memiliki akar sejarah yang panjang,
yaitu sejak model negara kota/polis diperkenalkan di Yunani. Dalam

87
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

model ini warga negara melaksanakan hak-hak politiknya didalam


sebuah polis secara langsung yang dikenal sebagai sistem demokrasi
langsung. Kemudian dalam perkembangannya, ide kewarganegaraan dari
Yunani tersebut kemudian diambil alih oleh Romawi yang kemudian
berganti dengan sistem perwakilan melalui Senat. Gagasan
kewarganegaraan kemudian muncul kembali pada zaman Pencerahan,
dimana konsep kewarganegaraan dianggap sebagai esensi keterlibatan
seseorang didalam komunitas politik yang hak-haknya diakui dan
dilindungi (Hikam, 1999:162).
Kewarganegaraan juga merupakan sebuah hal yang berhubungan
dengan perkembangan pemenuhan hak-hak dasar pada abad 19, serta
hak sosial dan ekonomi pada abad 20. Hal ini merupakan kondisi
masyarakat Inggris pada akhir abad ke-17 hingga abad 20 dan melihat
pertumbuhan kewarganegaraan yang bersamaan dengan bangkitnya
kapitalisme sebagai efek dari revolusi industri. Paham kewarganegaraan
membawa persamaan di satu sisi dan sistem kapitalisme membawa
ketidaksetaraan di sisi yang lain. Dalam kondisi ini, demokrasi kemudian
dihambarkan sebagai:
1. Keberadaan status kewarganegaraan yang terdiri atas unsur-unsur
yang merupakan hak sipil, sosial dan politik;
2. Adanya kesetaraan bagi semua orang dalam hal kewarganegaraan;
3. Berkembangnya status kewarganegaraan seiring dengan keberadaan
sistem sosial (Marshall, 1950).
Ide-ide kewarganegaraan ini kemudian dielaborasi oleh para ahli
dan dipilah setidaknya menjadi enam pengertian. Pertama,
kewarganegaraan sebagai konstruksi legal, seperti yang dikembangkan
oleh Dahrendorf, Shuck dan Smith. Kedua, kewarganegaraan diartikan
sebagai posisi netral seperti yang digunakan oleh Rawls dan Rorty.
Ketiga, kewarganegaraan sebagai sebuah keterlibatan dalam sebuah
kehidupan komunal yang dikembangkan oleh Tocqueville, Barber, dan
Walzer. Keempat, kewarganegaraan dikaitkan dengan upaya pencegahan
terhadap terjadinya konflik-konflik berdasarkan perbedaan kelas yang
dipopulerkan oleh TH. Marshall dan Turner. Kelima, kewarganegaraan
sebagai upaya pemenuhan diri (self-sufficiency) seperti yang diungkapkan
oleh Mead dan Fullinwinder. Keenam, kewarganegaraan sebagai sebuah
proses “hermeneutik” yang berupa dialog dengan tradisi, hukum, dan
institusi seperti yang diungkapkan oleh Gadamer, Habermas, Arendt dan
Alejandro (Hikam, 1999:163-164).
Paradigma kewarganegaraan setidaknya harus mencakup tiga
dimensi utama yaitu: (1) dimensi keterlibatan aktif dalam sebuah
komunitas; (2) dimensi pemenuhan hak-hak dasar yaitu hak politik,
ekonomi dan hak sosial-kultural, serta (3) dimensi dialog dan keberadaan
ruang publik yang bebas.

Kewarganegaraan inklusif

88
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dalam bidang politik


merupakan esensi kewarganegaraan inklusi, atau dengan kata lain, yang
bisa disebut warga negara dan menerima hak-haknya adalah mereka
yang berada dibawah sebuah negara. Pernyataan tersebut menegaskan
bahwa pengakuan atas hak-hak warga negara adalah sesuatu yang
bersifat universal dan bersifat setara.
Paradigma inklusif ini merupakan sebuah upaya untuk memerangi
dimensi eksklusi dalam konsep kewarganegaraan. Eksklusi ini mewarnai
pergulatan konsep kewarganegaraan sejak jaman Yunani Kuno, dimana
mereka yang disebut sebagai warga negara hanyalah orang-orang Athena,
orang kaya, para prajurit dan laki-laki. Sehingga siapapun yang tidak
termasuk kategori tersebut otomatis akan terseksklusi. Di era sekarang,
menurut Bellamy, keanggotaan dalam sebuah negara demokrasi modern
dipahami tidak lagi sebagai siapa yang memenuhi syarat untuk mengikuti
pemilihan umum dan memberikan suaranya. Kepemilikan atas hak suara
adalah sebuah bukti bahwa seseorang merupakan warga negara atau
anggota resmi dari suatu negara, yang berjalan seiring dengan
kepemilikan dokumen lain, seperti KTP, kartu keluarga, dan lain-lain
(Nilam, 2015). Terbentuknya eksklusifisme merupakan sebuah proses
yang tidak bisa dihindari dalam ranah sebuah hubungan sosial
masyarakat. Hal inilah yang kemudian memunculkan adanya kelompok
minoritas, yang pada kondisi ini negara seharusnya berada dalam posisi
yang netral dan memiliki 3 tugas pokok:
Pertama, melakukan penghormatan (obligation to respect). Negara
harus memberikan penghormatan pada hak asasi manusia yang melekat
pada diri setiap individu. Negara tidak boleh melakukan tindakan yang
menghambat pemenuhan hak asasi warga negara, terutama pada hak-
hak yang merupakan non derogable rights (hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Kedua, memberikan
perlindungan (obligation to protect). Negara harus berperan aktif dalam
memberikan jaminan perlindungan hak asasi setiap warga negaranya.
Ketiga, negara harus melakukan pemenuhan hak (obligation to fulfill)
(Sujatmoko, 2015). Sehingga peranan negara adalah melakukan
penghormatan, memberikan perlindungan dan melakukan pemenuhan
hak setiap warga negaranya, termasuk hak Penyandang Disabilitas.
Ketiga peranan ini harus dilakukan negara disetiap aspek kehidupan
warga negara, termasuk dalam upaya untuk membangun literasi pemilih
pada semua segmen masyarakat, tak terkecuali untuk para Penyandang
Disabilitas.

Istilah Penyandang Disabilitas sebagai upaya untuk memperoleh


persamaan hak kewarganegaraan
Perjuangan melahirkan istilah Penyandang Disabilitas dimulai
pertama kali oleh Mansour Fakih pada tahun 1996 dengan menggunakan
kata difabel. Dengan pengertian seperti ini, diharapkan masyarakat tidak
lagi memandang para difabel sebagai manusia yang memiliki kekurangan

89
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

dan ketidakmampuan, namun dipandang sebagai manusia pada


umumnya yang memiliki potensi yang berbeda-beda. Penggunaan kata
difabel merupakan kependekan dari different abilities atau memilik arti
seseorang dengan kemampuan yang berbeda. Menurut Mansour Fakih,
kata cacat yang selama ini sering digunakan sangatlah tidak layak untuk
dilekatkan pada manusia, sebab kata cacat lebih cocok digunakan untuk
benda-benda yang rusak. Melalui istilah difabel ini Mansour Fakih
berupaya menempatkan para penyandang cacat pada posisinya sebagai
manusia, sehingga menurutnya istilah difabel ini lebih humanis
dibandingkan dengan kata penyandang cacat (Fakih, 1999).
Dengan adanya istilah difabel ini, tidak akan ada lagi pembedaan
antara “manusia yang normal” dengan mereka yang dilabeli “penyandang
cacat”. Pembedaan ini dalam praktiknya telah menimbulkan setidaknya
lima dampak yang menimbulkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi
bagi difabel, yaitu pertama berlangsungnya diskriminasi dalam bidang
ekonomi sehingga melahirkan “pemiskinan” ekonomi terhadap kaum
difabel. Kedua, terjadi subordinasi terhadap kaum difabel baik dalam
rumah tangga, masyarakat maupun negara dalam bentuk banyaknya
kebijakan yang dibuat tanpa sama sekali menganggap eksistensi mereka.
Ketiga, adanya pelabelan negatif (stereotype) terhadap kaum difabel yang
berakibat pada munculnya diskriminasi serta ketidakadilan lainnya.
Misalnya adanya anggapan bahwa “manusia normal” adalah produktif,
dan manusia difabel dinilai tidak produktif, sehingga mereka dibayar
dengan upah yang lebih rendah. Keempat, terjadi berbagai kekerasan
(violence) terhadap difabel, baik berupa fisik maupun psikologis seperti
sikap yang merendahkan kemampuan mereka maupun adanya kekerasan
yang dilakukan oleh negara dalam bentuk tidak dibukanya akses publik
untuk kaum difabel. Kelima, sempitnya akses sosial dan budaya serta
sarana fisik bagi kaum difabel yang mempersulit ruang gerak kaum
difabel sehingga menyebabkan beban kerja yang luar biasa bagi kaum
difabel baik dalam lingkungan domestik maupun urusan publik
(Fakih, 1999).
Kemudian pada tanggal 19-20 Maret 2010 Komnas HAM menggelar
“Diskusi Pakar Untuk b disahkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang telah memasukkan perspektif
hak asasi manusia, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa
“pelaksanaan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas bertujuan
untuk:
a) Mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar
Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara;
b) Menjamin upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada diri
Penyandang Disabilitas;
90
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

c) Melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan


eksploitasi, pelecehan, dan segala tindakan diskriminatif serta
pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan transformasi istilah tersebut, maka istilah yang
digunakan dalam tulisan ini adalah Penyandang Disabilitas, yaitu orang
yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, maupun sensorik
yang tetap memiliki hak yang sama dalam segala bidang dan hak tersebut
dilindungi oleh negara.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi dan penggunaan
kerangka penafsiran/teoritis yang membentuk atau mempengaruhi studi
tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan
oleh individu atau kelompok pada suatu permasalahan sosial atau
manusia. Pengumpulan data dilakukan dalam sebuah lingkungan
alamiah yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dan
analisis data yang bersifat induktif maupun deduktif serta pembentukan
berbagai pola atau tema. Laporan akhir mencakup berbagai suara dari
para partisipan, refleksivitas dari peneliti, deskripsi dan interpretasi
tentang masalah penelitian, dan kontribusinya pada literatur atau bagi
perubahan (Creswell, 2015:59). Sedangkan metode yang digunakan
adalah deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, pertanyaan dengan kata
tanya mengapa, bagaimana, alasan apa dan bagaimana terjadinya
biasanya sering digunakan oleh peneliti, sehingga peneliti tidak akan
memandang sebuah fenomena memang sudah demikian keadaannya
(Moleong, 2017:11). Sedangkan fokusnya pada evaluasi program-program
pendidikan pemilih yang telah dilakukan oleh KPU Kabupaten Sleman
dalam rangka membentuk literasi pemilih Penyandang Disabilitas.
Evaluasi ini dilakukan pada elemen rancangan program, monitoring
program, dan evaluasi yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan
dari program tersebut atau menilai apakah program yang berjalan sudah
sesuai dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas. Tindak lanjutnya
berupa penelitian tindakan (action research), yaitu sebuah proses untuk
memperoleh hasil perubahan dan pemanfaatan hasil perubahan yang
diperoleh dalam penelitian tersebut oleh pihak yang berkompeten
(Moleong, 2017:240).
Kabupaten Sleman dipilih sebagai lokasi penelitian dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Sleman merupakan pilot project
pembentukan Desa Inklusi yang dirintis bersama dengan SIGAB (Sasana
Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel). Dengan adanya Desa Inklusi ini
diharapkan dapat memberdayakan Penyandang Disabilitas tanpa
memperhatikan perbedaan latar belakang, status dan kondisinya.
Pemberdayaan ini mencakup semua aspek kehidupan, baik itu politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu, Kabupaten Sleman merupakan
91
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pilot Project Desa Melek Politik (PPDMP) yang telah diresmikan pada tahun
2016 oleh KPU RI. Sebagai pionir dalam pembentukan Desa Melek Politik,
sudah menjadi kewajiban KPU Kabupaten Sleman dan instansi terkait
untuk mewujudkan melek politik disemua segmen masyarakat, tak
terkecuali Penyandang Disabilitas. Assesmen secara berkala terhadap
literasi politik, lebih spesifik lagi yaitu literasi pemilih Penyandang
Disabilitas diperlukan untuk mengetahui keberhasilan program-program
yang telah dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Sleman, serta untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangannya, kemudian merumuskan
rekomendasi terkait program yang akan dievaluasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan KPU
Kabupaten Sleman dan LSM pegiat disabilitas. Wawancara dilakukan
secara individual dengan metode in depth interview dan informan yang
dipilih menggunakan metode purposive sampling, yaitu informan yang
digunakan adalah informan-informan yang mewakili dan terkait dengan
informasi yang dibutuhkan terkait literasi pemilih Penyandang Disabilitas
di Kabupaten Sleman. Selain itu, juga dilakukan observasi terhadap
partisipasi Penyandang Disabilitas dalam kegiatan Musrenbang. Data
juga dikumpulkan dari sumber lain, yaitu: (1) Arsip terkait kebijakan
sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada Penyandang Disabilitas yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Sleman; (2) Dokumen kebijakan instansi
terkait mengenai pendidikan politik Penyandang Disabilitas. Data juga
diperoleh melalui berita online, jurnal-jurnal penelitian terkait literasi
politik Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman. Data yang
dikumpulkan adalah data sampai dengan awal tahun 2019.
Pada tahap analisis data, dilakukan dengan model interaktif seperti
yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman. Dalam analisis data model
interaktif ini, komponen-komponen analisis data yang mencakup
(1) Pengumpulan data, yaitu berupa kegiatan mencari dan
mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan penelitian, baik itu
berupa wawancara, observasi, maupun dokumentasi; (2) Reduksi data,
yaitu merupakan sebuah proses menggolongkan, membuang data yang
tidak diperlukan, dan mengorganisasi data sehingga diperoleh
kesimpulan yang dapat ditarik dan diverifikasi; (3) Penyajian data, yaitu
kegiatan menyusun sekumpulan informasi yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan;
(4) Penarikan kesimpulan, yaitu mencari arti/makna, alur sebab akibat
yang kemudian dituangkan secara lebih rinci.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sebagai warga negara
merupakan perwujudan prinsip kewarganegaraan inklusif, dimana semua
warga negara dipenuhi hak-haknya secara adil tanpa memandang
identitasnya. Pemenuhan hak-hak ini termasuk pada aspek pemenuhan
hak politik, dimana KPU tidak sebatas menyediakan pemilu yang
aksesibel, namun juga memiliki tanggungjawab untuk membentuk literasi

92
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

pemilih Penyandang Disabilitas tersebut. Dengan terwujudnya literasi ini,


maka KPU telah menjalankan salah satu kewajibannya, yaitu obligation to
fulfill. Dalam penelitian ini, faktor literasi memilih pada Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman diletakkan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari literasi politik, dan jika ditarik lebih luas lagi merupakan
bagian dari literasi kewarganegaraan. Literasi kewarganegaraan berkaitan
dengan pengetahuan dan kemampuan mengidentifikasi hak dan
kewajiban sebagai warganegara. Kemudian jika dijabarkan lagi kedalam
lingkup yang lebih kecil, adalah pemenuhan hak di bidang politik melalui
proses pembentukan literasi politik. Didalam literasi politik tersebut
terdapat satu dimensi yang sering dimaknai sebagai manifestasi politik,
yaitu keterlibatan dalam pemilihan umum. Keterlibatan Penyandang
Disabilitas dalam pemilihan umum merupakan implementasi tugas
negara dalam menjamin hak politik semua warga negara. literasi memilih
memegang peranan penting. Dengan memiliki literasi yang baik, maka
akan menciptakan pemilih yang cerdas dan mengurangi kesalahan pada
saat pemberian suara. Secara garis besar, hasil penelitian ini dapat dibagi
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Literasi pemilih dan keterlibatan dalam proses elektoral
Temuan menunjukkan bahwa Penyandang Disabilitas di Kabupaten
Sleman sebagian besar sudah memiliki pengetahuan terkait pemilu,
utamanya berkaitan dengan teknis pemberian suara.
“Soal teknis pemberian suara, kami sudah clear. Besok pemilu
serentak itu temen-temen ada yang bingung, tapi bukan karena
tidak tahu teknis pemberian suaranya, namun lebih pada faktor
money politic”. (Ratna Dewi S, 16 Agustus 2018).

“KPU Kabupaten Sleman itu membuat template, alat bantu.


Sehingga kami bisa mencoblos secara mandiri. Untuk teknis
pencoblosan, temen-temen tunanetra yang sering ikut kegiatan ya
80-90% sudah paham” (Supriyatno, 21 Agustus 2018).

Hal ini disebabkan karena sejak tahun 2004, KPU Kabupaten Sleman
sudah rutin melaksanakan sosialisasi dan simulasi pemberian suara
terhadap Penyandang Disabilitas.
“Jika terkait tentang kesadaran politik pada Penyandang
Disabilitas, khususnya perempuan, kesadaran politik itu sudah
ada. Karena sejak tahun 2004, KPU sudah gencar melakukan
sosialisasi dan simulasi. Jadi menurut saya, kesadaran terkait
partisipasi politik itu sudah bagus, namun ya masih ada keluarga
yang menganggap sepele masalah suara. Mereka malas membawa
Penyandang Disabilitas ke TPS, jadi banyak yang memilih untuk
tinggal dirumah” (Ratna Dewi S, 16 Agustus 2018).

93
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

“Kalau yang kami rasakan selama ini, dari sisi penyelenggara


pemilu (KPU Kabupaten Sleman) sudah melakukan upaya untuk
memfasilitasi Penyandang Disabilitas. Upaya tersebut juga sudah
dilakukan sampai di tingkat KPPS (Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara). Sejak tahun 2004 sudah mulai dilakukan
pendidikan pemilih. Diawal-awal tahun 2004 itu kami sempat
heran, kok tumben kami dipedulikan, karena pada pemilu-pemilu
sebelumnya isu terkait disabilitas tidak pernah disenggol” (Nuning
Suryatiningsih, 17 Agustus 2018).

“Jika terkait pemilu, alhamdulilah KPU Kabupaten Sleman


memberikan perhatian khusus pada kami penyandang tuna netra.
Walaupun kendala di lapangan saat nyoblos itu banyak, namun
setidaknya sudah ada kesadaran terkait hak pilih. Kami
memperoleh pengetahuan politik itu ya dari KPU Kabupaten
Sleman, mereka rutin sebulan sekali melakukan sosialisasi, ikut
hadir dalam pertemuan di komunitas kami. Kalau dari pihak lain,
kayak instansi pemerintah atau parpol itu malah belum pernah
melakukan sosialisasi. Kalau parpol itu sosialisasinya hanya
sekedar nyuruh nyoblos caleg A, B, C..bukan ke pendidikan
politiknya” (Supriyatno, 21 Agustus 2018).

Pada saat memberikan suara, Penyandang Disabilitas di Kabupaten


Sleman juga sudah cukup cerdas untuk memilih calon tersebut
berdasarkan program kerjanya.
“Temen-temen itu sebetulnya sudah cukup cerdas, mau berapa
banyak calon legislatif (caleg) yang masuk ke mereka, sudah bisa
dipilah berdasarkan program-programnya. Namun jeleknya, para
caleg ini kasih berapapun ya diterima. Kadang mereka ikut dalam
pertemuan di organisasi, dan tau-tau ngisi kas, kita diberi
seragam..ya tetap diterima. Masalah mereka mau memilih caleg
yang mana, selalu kita himbau agar memilih caleg yang program-
programnya berperspektif disabilitas”
(Ratna Dewi S, 16 Agustus 2018).

“Rekan-rekan itu sebetulnya sudah semakin kritis, mereka mau


menggunakan hak pilihnya atau tidak, mereka sudah punya
jawaban. Mereka sudah punya alasan untuk memilih seorang
kandidat karena memiliki perspektif disabilitas atau tidak.
Kesadaran terkait pemilu itu sudah tinggi, karena pemilu sudah
dilakukan beberapa kali, jadi mereka tahu tentang hak pilih.
Walaupun masih ada juga yang apatis, karena merasa tidak ada
pengaruhnya. Selain itu faktor keluarga juga berpengaruh. Banyak
yang tidak mendukung/mendorong untuk menggunakan hak pilih”
(Nuning Suryatiningsih, 17 Agustus 2018).

94
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Yang masih menjadi kendala contohnya adalah informasi terkait


kandidat. Informasi terkait kandidat ini masih terbatas pada sosialisasi
yang dilakukan KPU Kabupaten Sleman dan dari para kandidat saat
berkampanye. Selebihnya, Penyandang Disabilitas harus aktif mencari
informasi sendiri. KPU sudah berinovasi dengan mencantumkan kandidat
yang pernah terlibat korupsi, namun ketersediaan informasi yang
utamanya ada di website KPU ini masih belum banyak diakses oleh
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman. Mereka mengakui jika
pengetahuan terkait teknologi informasi masih terbatas, karena tidak
semua Penyandang Disabilitas bisa mengoperasikan internet. Website
KPU sendiri sudah mengakomodir pengakses dari Penyandang Disabilitas,
namun diakui oleh beberapa narasumber jika belum pernah dilakukan
pelatihan sehingga banyak yang tidak tahu cara mengaksesnya. Bagi
Penyandang Disabilitas yang aktif berorganisasi, informasi terkait pemilu
ini bisa dengan mudah diperoleh karena KPU Kabupaten Sleman sering
melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih. KPU juga memberikan
jaminan bahwa Penyandang Disabilitas dapat menggunakan hak pilihnya
dengan mudah. Panduan untuk mewujudkan pemilu yang aksesibel dan
non diskriminasi ini juga telah dituangkan dalam Modul Ringkas Pemilu
Akses Bagi Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Pusat Pemilihan
Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA-Penca). Selain itu, Penyandang
Disabilitas juga sudah dilibatkan sebagai Relawan Demokrasi. Yang saat
ini masih menjadi masalah adalah Penyandang Disabilitas yang tidak
tergabung dalam organisasi. Penyandang Disabilitas yang belum
bergabung dengan organisasi ini justru yang membutuhkan sosialisasi
dan pendidikan pemilih lebih intens. Apalagi kendala utamanya adalah
faktor mobilisasi dan keluarga yang tidak berperan aktif untuk
mendorong Penyandang Disabilitas agar bersosialisasi, maka diperlukan
sinergi dengan pihak-pihak terkait.
b. Literasi politik dan keterlibatan dalam proses non elektoral
Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam kegiatan non elektoral
utamanya berkaitan dengan kegiatan Musrenbang, walaupun masih
terbatas. Masih terbatasnya partisipasi Penyandang Disabilitas dalam
kegiatan Musrenbang ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang
masih rendah, sehingga belum memiliki kapasitas untuk mencalonkan
diri. Selain itu, ada ketakutan dalam diri Penyandang Disabilitas untuk
terjun ke dunia politik karena khawatir keberadaan mereka hanya
dipergunakan untuk meraup suara.
“Jika terkait dengan hak politik (menjadi calon legislatif), belum
semua berani terjun ke dunia politik, karena takut jangan-jangan
hanya dijadikan alat meraup suara saja. Selain itu, tingkat
pendidikan temen-temen Penyandang Disabilitas di 17 kecamatan
Kabupaten Sleman itu semakin keatas jumlahnya semakin sedikit.
Yang lulus Perguruan Tinggi itu hanya 2 orang, sisanya lulusan SD-
SMP-SMA itu LB, bukan umum. Tau sendiri kurikulumSekolah Luar

95
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Biasa seperti apa, kapasitas temen-temen seperti apa. Akhirnya


seringkali temen-temen itu jadi bahan mobilisasi parpol, sering
dijanjikan ini itu, diberi uang. Kalau temen-temen yang masuk
parpol itu ya lumayanlah, berpendidikan SMA dan Perguruan
Tinggi. Di pemilu 2019 ada beberapa temen yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif. Ini sudah merupakan sebuah kemajuan
yang besar” (Nuning Suryatiningsih, 17 Agustus 2018).

Jika hak politik masih dimaknai dengan keikutsertaan dalam pemilu,


maka pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Ketua Komite Disabilitas
DIY:
“Jika berbicara terkait pemenuhan hak politik bagi Penyandang
Disabilitas, itu menarik. Menurut saya, politik itu adalah suatu
upaya untuk ikut didalam pengelolaan sumber daya suatu
negara/suatu daerah untuk sebesar-besarnya ditujukan kepada
kemakmuran bersama. Sehingga, politik itu bagi siapapun, adalah
bagaimana mereka paham dengan peran mereka dalam tata
pemerintahan. Ini yang menurut saya mengalami penyempitan
luarbiasa, sehingga politik hanya dipahami sebagai ikut mencoblos,
atau ikut dipilih. (Setia Adi Purwanta, 4 Januari 2019).

Lebih lanjut, Setia mengungkapkan:

“Politik itu bisa berupa ikut berpartisipasi dalam menentukan


anggaran, ikut berperan dalam rapat. Itu yang namanya peran
politik. Dia paham jalur-jalur yang bisa digunakan untuk
menyuarakan HAM, itu juga politik. Ini yang tidak dipahami.
Penyandang Disabilitas di satu sisi tidak memahami, sementara di
sisi lain pemerintah juga tidak melakukan proses pendidikan politik
yang seperti ini. Kesbangpol tidak pernah melakukan itu. KPU, saya
lihat hanya melakukan sosialisasi terkait pemilu akses. Bagaimana
surat suara untuk pemilih tuna netra dibuat, bagaimana bilik
suara dibuat agar kursi roda bisa masuk. Politik itu tidak hanya
soal pemilu. Saat ini kami baru sampai pada tahap literasi memilih.
Masalah teknis pencoblosan, visi misi, kami sudah clear, karena
KPU sudah sering melakukan sosialisasi. Jika berbicara tentang
literasi politik..masih jauh”

“.....yang penting bagi Penyandang Disabilitas adalah paham dulu


dengan suara yang akan diberikan. Suara itu apa harus benar-
benar paham. Masalah dia memberikan suara atau tidak, itu bukan
persoalan, karena memilih itu adalah hak. Jadi ketika mereka
memilih, itu harus benar-benar ada kesadaran. Kesbangpol itu
tidak pernah melakukan sosialisasi, lha wong mereka paham saja
belum. Yang sudah melakukan itu KPU, tapi terbatas hanya pada
sosialisasi pemilihan. Cakupannya hanya pada teknis-teknis

96
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

pemilihan. Sedangkan membangun kesadaran politik itu bukan


ranah KPU, negara yang seharusnya hadir untuk melakukan
pendidikan politik kepada semua warga negara, termasuk pada
Penyandang Disabilitas” (Setia Adi Purwanta, 4 Januari 2019).

“untuk kesadaran dan pengetahuan terkait politik, masih jauh


panggang dari api. Instansi terkait (Kesbangpol) itu tidak pernah
melakukan sosialisasi, karena mereka paham saja belum. Yang
sudah melakukan itu ya KPU, tapi masih sebatas pada sosialisasi
pemilihan. Cakupannya hanya pada teknis-teknis pemilihan, dan
pemilu akses” (Setia Adi Purwanta, 4 Januari 2019).

Selain itu, keterlibatan Penyandang Disabilitas dalam bidang politik


seperti Musrenbang juga diakui masih sangat terbatas. Kalaupun sudah
ikut dalam Musrenbang, itupun masih sebatas dihadirkan. Jika sudah
hadir, maka sudah terpenuhi kewajiban pemerintah desa untuk
melibatkan Penyandang Disabilitas tersebut.
“kalau di Musrenbang, kita sudah dilibatkan. Walaupun masih
terbatas, namun sudah ada kepedulian terkait pengembangan
wilayah (Ratna Dewi S, 16 Agustus 2018).

“selama ini Penyandang Disabilitas masih sekedar dihadirkan,


masih sebatas pelengkap. Kalau sudah hadir, ya sudah. Selama
proses Musrenbang itu mereka tidak pernah ditanya ada usulan
apa. Akhirnya kami dorong agar aktif berperan dalam Musrenbang,
seperti di desa Sinduadi itu, akhirnya dilakukan mengundang
komunitas Penyandang Disabilitas untuk mengikuti diseminasi
Peraturan Desa (Perdes)” (Nuning Suryatiningsih, 17 Agustus 2018).

“Kalau saya sih belum pernah dilibatkan sama kelurahan kalau ada
kegiatan-kegiatan desa (Musrenbang, dll). Hanya temen-temen tuna
netra yang sering ke kelurahan itu yang biasanya dilibatkan. Jadi,
kita tertinggal sekali untuk informasi terkait pengembangan
wilayah” (Supriyatno, 21 Agustus 2018).

Fakta menunjukkan bahwa peranan Penyandang Disabilitas di


Kabupaten Sleman dalam dunia politik masih terbatas. Walaupun ada
upaya untuk terlibat dalam Musrenbang, namun jumlahnya masih
terbatas pada desa-desa yang dilakukan pendampingan. Selain itu,
tingkat pendidikan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman juga
turut mempengaruhi pengetahuan mereka dalam hal politik. Sebagian
besar Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman memiliki tingkat
pendidikan SD-SMP, dan bukan sekolah umum, tapi Sekolah Luar Biasa.
Keinginan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif belum
terlaksana, karena kendala sarana dan prasarana, serta sulitnya
menumbuhkan empati terhadap keberadaan Penyandang Disabilitas.

97
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

“Saya sudah melakukan advokasi terkait pendidikan inklusif di


Jogja, dan itu berat. Pemerintah masih merasa bahwa pendidikan
inklusif itu beban. Padahal, kalau kurikulum di Sekolah Luar Biasa
itu bisa menyamai sekolah pada umumnya, kan ga masalah. Tapi
karena kurikulumnya belum sama, maka kami upayakan agar
temen-temen Penyandang Disabilitas agar bisa sekolah di sekolah
inklusif. Kenyataannya, di beberapa sekolah inklusif yang ada di
DIY itu masih menganggap sebagai beban, dan fasilitas-fasilitasnya
belum sesuai dengan kebutuhan temen-temen Penyandang
Disabilitas. Selain itu, dari sisi pendamping juga belum memiliki
empati. Mereka tidak mau mengulang-ulang saat menjelaskan”
(Nuning Suryatiningsih, 17 Agustus 2018)

Permasalahan sekolah inklusif ini juga mendapat perhatian dari


Komite Disabilitas DIY.
“Ada anggapan bahwa Penyandang Disabilitas itu tidak bisa apa-
apa, makanya harus dilatih dan diberi pendidikan agar bisa
bersaing. Sehingga muncullah pendidikan dan pelatihan, yaitu SLB.
Pendidikan kita itu masih dikotak-kotakkan. Orang buta
dikumpulkan dengan orang buta, padahal pengetahuan manusia
itu 83% berasal dari penglihatan. Bayangkan saja jika orang buta
dan orang miskin berkumpul dalam satu sekolah, akan sulit untuk
berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan inklusif.
Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas itu tidak sebatas diberi
keterampilan, setelah itu dibiarkan. Maka tidak heran kalau
Penyandang Disabilitas itu tetap terpinggirkan, dan itu dibiarkan...”
(Setia Adi Purwanta, 4 Januari 2019).

KESIMPULAN
Beberapa poin yang dapat disimpulkan dari keseluruhan penelitian ini
adalah:
1. Tingkat literasi politik Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman.
Apabila berpijak pada pengertian sederhana tentang literasi politik,
yaitu “the state of having political information”, maka Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman belum memiliki pengetahuan terkait
politik yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan dalam
pengembangan wilayah yang terbatas, tidak menolak money politic, dan
keterlibatan sebagai calon legislatif masih minim.
2. Kondisi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman saat ini masih
terbatas pada memiliki pengetahuan tentang pemilu (literasi pemilih).
Tingkat literasi pemilih Penyandang Disabilitas ini memiliki
tingkatan yang beragam. Ada sebagian Penyandang Disabilitas yang
memiliki literasi pemilih yang cukup baik, namun terkendala dengan
98
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

permasalahan sulit untuk mengakses informasi pemilu. Kemudian ada


juga sebagian Penyandang Disabilitas yang pasif, tidak berinisiatif
mencari informasi terkait pemilu, sehingga informasinya diperoleh secara
terbatas.
3. Dalam proses pembentukan literasi pemilih tersebut, Penyandang
Disabilitas masih menghadapi banyak hambatan. Hambatan yang
tersebut utamanya adalah diskriminasi, baik yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat maupun oleh pemerintah. Diskriminasi oleh
keluarga berupa adanya rasa malu karena memiliki anggota keluarga
difabel. Diskriminasi dari masyarakat berupa adanya stigma negatif
dan anggapan bahwa Penyandang Disabilitas ini tidak memiliki
kapasitas/kemampuan seperti masyarakat pada umumnya.
Sedangkan diskriminasi dari pemerintah tercipta dari kebijakan yang
belum mengakomodir kepentingan Penyandang Disabilitas.
4. Proses pembentukan literasi pemilih diakui lebih banyak diperoleh dari
sosialisasi dan pendidikan pemilih yang dilakukan oleh KPU Kabupaten
Sleman. Namun Program-program sosialisasi dan pendidikan pemilih
ini masih terbatas pada upaya untuk mencapai target angka
partisipasi.

REKOMENDASI
Dengan adanya beberapa temuan terkait literasi pemilih
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman tersebut, maka kajian ini
dapat menyumbangkan beberapa rekomendasi bagi penyempurnaan
model sosialisasi dan pendidikan pemilih yang sudah dilakukan oleh KPU
RI pada umumnya, serta KPU Kabupaten Sleman pada khususnya.
Rekomendasi tersebut adalah:
1. KPU harus mendorong terciptanya regulasi yang mengatur sosialisasi
dan pendidikan pemilih yang tidak hanya berkutat pada segala
persoalan terkait pemilihan umum.
KPU sebagai leading sector dalam kegiatan sosialisasi dan
pendidikan pemilih dapat didorong lebih jauh untuk melakukan
pendidikan politik. KPU sudah saatnya mendesain model pendidikan
politik yang hasil akhirnya adalah pembentukan kesadaran masyarakat
akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (civic education). KPU
Kabupaten Sleman sebagai pelaksana kebijakan KPU tentunya tidak bisa
menjalankan kebijakan tanpa dirumuskan terlebih dahulu di tingkat
pusat, mengingat lembaga ini sifatnya hierarkhi. Selain itu, KPU juga
harus didukung oleh lembaga lain untuk melakukan pendidikan politik,
misalnya dengan Kementerian Pendidikan (terkait kurikukulum
pendidikan kewarganegaraan). Karena literasi politik bukan merupakan
proses instan, maka harus dimulai sejak dini, tidak hanya pada
Penyandang Disabilitas namun juga pada masyarakat disekitarnya.
Dengan dilakukannya pendidikan politik kepada Penyandang Disabilitas,
99
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

maka negara telah menjalankan upaya pemenuhan hak/obligation to


fulfill dan manifestasi dari kewarganegaraan inklusif, dimana prinsip-
prinsip pemenuhan hak warga negara dilakukan secara adil tanpa
memandang identitasnya.
2. Untuk menanamkan kepedulian akan pemberdayaan Penyandang
Disabilitas, maka sosialisasi dilakukan dengan berbasis keluarga.
KPU Kabupaten Sleman sebetulnya sudah melakukan pendidikan
politik berbasis keluarga, namun belum ada pendidikan politik berbasis
keluarga khusus untuk Penyandang Disabilitas. Selama ini yang
dilakukan adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada Penyandang
Disabilitas, belum ada upaya penyadaran kepada pihak keluarga. Secara
konkret, sosialisasi berbasis keluarga ini dapat dilakukan melalui forum
warga di tingkat desa. LSM pegiat disabilitas di Kabupaten Sleman selama
ini sudah melakukan pertemuan dengan melibatkan keluarga
Penyandang Disabilitas. Namun hal tersebut belum dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan KPU Kabupaten Sleman. Untuk Penyandang
Disabilitas yang tidak mengikuti forum warga dengan alasan mobilitas
maupun tidak diizinkan oleh keluarga, maka solusinya adalah dengan
melakukan sosialisasi door to door. Hal ini bisa mulai dilakukan dari
lingkup masyarakat terkecil yaitu apabila dalam sebuah RT/RW terdapat
warga Penyandang Disabilitas yang tidak bisa mengikuti sosialisasi.
Untuk melakukan sosialisasi door to door ini KPU Kabupaten Sleman
memakai istilah Multi Level Socialization. Konsep ini mirip dengan Multi
Level Marketing (MLM). Pada tahap awal, dilakukan Training of Trainer
(ToT) agen-agen sosialisasi di setiap kecamatan di wilayah Kabupaten
Sleman. Agen-agen sosialisasi inilah yang nantinya akan melakukan
rekrutmen agen-agen lainnya sampai ke wilayah terkecil di tingkat dusun.
Model sosialisasi seperti ini memerlukan sinergi antara KPU, LSM pegiat
disabilitas dan Pemerintah Daerah, sehingga perlu dirumuskan dalam
sebuah kebijakan bersama. Semua upaya ini penting, karena mayoritas
keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas kurang
berperan aktif dalam pemberdayaan Penyandang Disabilitas tersebut.
Bagi Penyandang Disabilitas yang terbatas mobilitasnya, tentu sangat
bergantung pada keluarganya untuk bisa beraktivitas. Saat keluarga
tidak aktif membantu, maka yang terjadi adalah Penyandang Disabilitas
tersebut menjadi kurang mandiri. Saat pemilu pun, jika keluarga tidak
mau mendampingi ke TPS maka hak pilih Penyandang Disabilitas akan
terbuang percuma. Demikian pula dengan pendidikan, jika keluarga tidak
mendukung, maka kemampuan Penyandang Disabilitas tidak bisa
ditingkatkan, sehingga berpengaruh pada setiap aspek kehidupannya,
termasuk aspek pengetahuan politik. Dengan level pendidikan yang
masih rendah, Penyandang Disabilitas sangat rentan untuk dimobilisasi
saat pemilu dan tidak bisa berkontribusi dalam pembangunan wilayah.
Selain itu, keluarga merupakan entitas pertama yang berinteraksi dengan
individu, serta merupakan tahapan awal terjadinya sosialisasi politik.
100
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Seorang individu tidak serta merta lahir dengan memiliki pengetahuan


politik. Pengetahuan politik ini selalu bertambah melalui interaksi dengan
lingkungan sekitarnya, diawali dengan lingkungan keluarga. Dengan
melibatkan keluarga didalam proses pendidikan politik, maka akan
tercipta kesadaran pada keluarga bahwa pemberdayaan dan partisipasi
Penyandang Disabilitas di bidang politik adalah suatu hal yang dijamin
oleh negara.
3. Melakukan optimalisasi konsep-konsep sosialisasi dan pendidikan
pemilih dengan melibatkan Penyandang Disabilitas sebagai agen yang
aktif, bukan pasif.
Konsep warga masyarakat sebagai agen sosialisasi sebetulnya sudah
dijalankan didalam Pilot Project Desa melek Politik (PPDMP), yaitu dengan
melibatkan vocal point (agen sosialisasi) yang berasal dari warga desa
setempat. Namun keberlangsungan program ini tidak terarah karena
tidak memiliki kerangka kerja yang jelas. Program ini bisa dimulai
kembali dengan memulai merancang konsep sosialisasi dan pendidikan
pemilih yang tertuang dalam sebuah rencana aksi, sehingga parameter
keberhasilan bisa diukur dan dievaluasi. Selain itu, PPDMP juga harus
menyasar semua segmen dalam masyarakat, termasuk melibatkan
Penyandang Disabilitas. Selain itu. Penyandang Disabilitas juga sudah
dilibatkan sebagai Relawan Demokrasi di setiap penyelenggaraan pemilu.
Program Relawan Demokrasi ini harus dipertahankan karena merupakan
manifestasi keterlibatan Penyandang Disabilitas dalam tahapan pemilu.
4. Mengoptimalkan peranan SIPARMAS (Sistem Informasi Partisipasi
Masyarakat)
KPU RI telah memiliki aplikasi SIPARMAS (Sistem Informasi
Partisipasi Masyarakat) yang fungsinya untuk merekam seluruh aktivitras
atau kegiatan pendidikan pemilih untuk mendorong partisipasi politik
masyarakat dalam pemilu maupun pemilihan yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu maupun pihak lain. Aplikasi ini akan merekam
setiap kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Pintar Pemilu (RPP) di setiap
tingkatan. Dengan aplikasi ini, bisa diukur kinerja dan keaktifan KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pendidikan
pemilih dan pemanfaatan RPP. Sistem ini sudah cukup ideal jika
difungsikan sebagai alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi
kegiatan pendidikan pemilih. Yang perlu dilakukan adalah
mengoptimalkan fungsi sistem ini dengan menambah informasi terkait
tata cara memilih serta ajakan untuk memilih. Jika merujuk gambaran
idealnya adalah aplikasi yang dimiliki oleh ECI (Electoral Commision of
India). ECI memiliki program yang dinamakan SVEEP (Systematic Voters
Education and Electoral Participation). SVEEP ini merupakan sebuah
sistem yang dibuat bekerjasama dengan civil society, institusi pendidikan,
dan relawan untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Pendekatan yang digunakan adalah Information, Motivation and
Fasilitation (IMF). Informasi yang disajikan adalah tata cara memilih.
101
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Sedangkan motivasi berupa pesan yang menggugah pemilih untuk


memiliki kesadaran agar terlibat langsung dalam pemilu, dan alasan
kenapa seseorang akhirnya harus memberikan suara.
5. Perlu dilakukan riset yang berkelanjutan terkait literasi pemilih
Penyandang Disabilitas pada Pemilu 2019, sebagai evaluasi lanjutan
terhadap program-program sosialisasi dan pendidikan pemilih KPU
Kabupaten Sleman.
DAFTAR PUSTAKA

A Soeprapto, DN Susilastuti, BA Suparno (2015). Komunikasi Dalam


Proses Pendidikan Politik Pemilih Pemula Dalam Pemilihan Umum
2014. Jurnal Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta, volume
12.
Cassel, C., & Lo, C. (1997). Theories of Political Literacy, Political Behavior
19 (4), p.321.
Creswell, J.W. (2015) Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Memilih
Diantara Lima Pendekatan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Haryanto (2018). Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal. Yogyakarta:
PolGov UGM.
Hikam, M.(1999). Politik Kewarganegaraan Landasan Redemokratisasi di
Indonesia, Jakarta : Erlangga.
HWDI (2017). Profil Penyandang Disabilitas Yang Responsif Gender.
KPU Banjarnegara. (2014). Literasi Politik Pemilih Tunanetra pada Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2014.
KPU RI (2015). Buku Partisipasi Pilkada Serentak 2015
KPU RI (2015). Buku Pedoman Pendidikan Pemilih
Krosnick, J.A. (1990). Expertise and political psychology. Social Cognition,
p.1-8.
Madhok, S. (2005). Autonomy, political literacy and the social woman
:towards a politics of inclusion. Rethinking Indian Political Science,
The London School of Economic and Political Science.
Marshall, TH. (1950). Citizenship and Social Class, Cambridge University
Press.
Moleong, L. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nilam, H.S (2013). Merebut Kewarganegaraan Inklusif. Yogyakarta: PolGov
UGM.
PolGov UGM (2015). Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten
Sleman.
Sunarsih (2018). Evaluasi Pilot Project Desa Melek Politik KPU Kabupaten
Sleman. Tesis Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
UNESCO. Understanding of Literacy : Education for All Global Monitoring
Report 2006.

102
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Westheimer, J., & Kahne, J.(2004) : What kind of citizen? The politic of
educating for democracy. American Educational Research Journal,
Vol. 41 No. 2.
Yan, M.(1993). Study of Political Literacy of Women Group Members in
Community Development Service in Hong Kong, Disertasi PhD,
University of Hong Kong.

Website:

http://chambers.co.uk/book/the-chambers-dictionary/diakses 13
Oktober 2017 pukul 07.20.
https://suryaden.com/syahadat-indonesia/analisis-kritis-diskriminasi-
terhadap-kaum-difabel pada tanggal 12 Oktober 2017 pukul 10.15
https://eci.gov.in/sveep/ diakses 17 Mei 2019 pukul 11.30 WIB
https://ecisveep.nic.in/ diakses 17 Mei 2019 pukul 11.00 WIB

Wawancara:

Wawacara penulis dengan Ratna Dewi Setyarini, Ketua HWDI (Himpunan


Wanita Disabilitas Indonesia) pada tanggal 16 Agustus 2018 di
Balai Desa Sendangadi, pukul 14.00 WIB.
Wawacara penulis dengan Nuning Suryatiningsih, Direktur CIQAL (Center
For Improving Qualified Activities In Life of People With Disabilities)
pada tanggal 17 Agustus 2018 di Danukusuman Gk IV/1305
Yogyakarta, pukul 10.30 WIB.
Wawacara penulis dengan Supriyatno, Ketua Pertuni (Persatuan Tuna
netra Indonesia) pada tanggal 21 Agustus 2018 di Ngaran RT 05 RW
11 Godean Sleman, pukul 10.00 WIB.
Wawacara penulis dengan Setia Adi Purwanta, Ketua Komite Disabilitas
DIY pada tanggal 4 Januari 2019 di kantor Dria Manunggal, Jalan
Wates Km 2,5 Gang Lurik Kingkin No. 1 RT 08 Nitipuran,
Sonosewu, Ngestiharjo Kasihan Bantul, pukul 10.30 WIB.

103
MALPRAKTIK PEMILU DI TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA
PADA PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA
PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Awaluddin
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara
E-mail: awaluddin-2017@fisip.unair.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk malapraktik Pemilu
yang terjadi pada proses pemungutan dan penghitungan suara di Tempat
Pemungutan Suara (TPS) dalam penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 di
Kabupaten Buton. Selain itu, studi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor apa yang mempengaruhi terjadinya Malapraktik Pemilu di Kabupaten
Buton, fokus pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah description research. Hasil penelitian
menunjukkan adanya malapraktik pemilu pada proses pemungutan dan
penghitungan suara di TPS berupa ghost voters, double voting, penulisan fomulir
C1 yang tidak akurat, manipulasi perolehan suara peserta Pemilu, kekurangan
logistik, data pemilih yang tidak akurat, pemungutan suara yang tidak
memberikan kenyamanan bagi semua kelompok pemilih serta pelaksanaan
pemungutan dan penghitungan suara dalam taraf tertentu tidak transparan dan
tidak akurat. Sementara faktor yang mempengaruhi terjadinya malapraktik
berupa beban kerja yang berat, minimnya kompetensi petugas KPPS, regulasi
yang berubah-ubah dan tidak berkepastian hukum, saksi peserta Pemilu kurang
memahami tugas dan perannya di TPS, dan jumlah logistik yang banyak.

Kata Kunci: Pemilu, Malapraktik, Pemungutan dan Penghitungan Suara

MALPRACTIC ELECTIONS IN VOTING VOTES ON VOTING AND COUNTING


SOUND GENERAL ELECTION IN 2019

ABSTRACT
This study aims to determine the forms of Election malpractice that occur in
the process of voting and counting at polling stations (TPS) in the implementation of
simultaneous elections in 2019 in Buton District. Other than that, this study also
aims to identify what factors influence the occurrence of Election Malappractice in
Buton District, focus on the process of voting and counting at polling stations. The
method used in this study is description research. The results of the study showed
that there were malpractices in the election in the process of voting and counting at
polling stations in the form of ghost voters, double voting, writing inaccurate C1 form,
manipulation of vote acquisition of Election participants, lack of logistics, inaccurate
voter data, voting that does not provide comfort for all groups of voters and the
implementation of voting and counting in a certain degree it is not transparent and
inaccurate. While the factors that influence the occurrence of malpractice are in the
form of heavy workload, lack of competency of KPPS officers, changing regulations
and no legal certainty, witnesses to the Election participants did not understand
their duties and roles at the polling station, and a large amount of logistics.

104
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Keywords: Elections, Malpractice, Voting and Vote counting

PENDAHULUAN
Pemilihan Umum (election) di Indonesia telah menjadi rutinitas setiap
lima tahun. Jika dihitung sejak masa kemerdekaan yakin Orde Lama, Orde
Baru hingga masa reformasi dan pascareformasi, setidaknya telah
dilaksanakan pemilu di Indonesia sebanyak 11 kali. Selain pemilu untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD,
Pemilu lima tahunan di Indonesia juga dilakukan untuk memilih kepala
daerah baik itu di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
Meskipun demikian, kuantitas penyelenggaraan pemilu tersebut
tidak dengan sendirinya menghasilkan pemilu yang bebas dari
pelanggaran-pelanggaran pemilu. Sejumlah pelanggaran-pelanggaran
pemilu menjadi sajian di ruang publik dan menjadi bahan kajian akademik
pada setiap pergelaran lima tahunan tersebut. Pelanggaran pemilu terus
terjadi mulai dari masa persiapan pemilu, masa pelaksanaan pemilu, pun
masa pascapelaksanaan pemilu.
Peluang pelanggaran terbuka lebar terjadi pada setiap pemilu. Majalah
Time pada tahun 2004 menyebut Pemilu Legislatif di Indonesia merupakan
paling rumit di dunia (Didik, 2019). Bagaimana tidak, sekali masuk bilik
suara, seorang pemilih harus membuka empat lembar surat suara,
memilih empat nama calon diantara ratusan calon. KPU harus
menyediakan ratusan juta lembar surat suara dalam waktu singkat hingga
di seluruh pelosok negeri. Sehingga Pemilu di Indonesia disebut Pemilu
terbesar di dunia yang dilaksanakan dalam satu hari.
Jika Pemilu di tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 saja sudah
dianggap rumit oleh dunia, maka pemilu 2019 akan lebih rumit lagi. Sebab,
Pemilu 2019 tidak hanya memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwailan Rakyat Daerah Provinsi
(DPRD Prov) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
(DPRD Kab/Kota). Tapi juga memilih presiden dan wakil presiden sekaligus
dalam sehari.
Kuantitas dan modus pelanggaran yang terjadi selama hari
pemungutan dan penghitungan suara adalah sebagai dampak dari pemilu
itu sendiri. Pemilu adalah persaingan. Persaingan antar peserta pemilu
untuk memperebutkan kursi di lembaga legistlatif (DPR, DPD dan DPRD)
maupun di lembaga ekesekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Karena
pemilu sebagai persaingan, maka kontestasi akan melahirkan konflik.
Konflik yang terjadi bukan saja karena peserta pemilu memperebutkan
kursi/jabatan yang sama, atau jumlahnya yang terbatas, tetapi konflik
juga terjadi karena peserta pemilu menganggap kursi/jabatan yang
diperebutkan amat sangat penting bagi mereka. Semakin penting
kursi/jabatan bagi peserta pemilu, maka akan semakin ketat persaingan
dalam memperebutkan kursi/jabatan tersebut, dan pada gilirannya akan
mendorong peserta pemilu untuk melakukan segala cara dalam merebut
kursi tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan pemilu, sangat berpotensi

105
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

terjadi pelangaran-pelanggaran baik dilakukan oleh peserta pemilu,


pemilih, penyelenggara pemilu, pemerintah maupun pihak terkait.
Terjadinya pelanggaran dalam proses pemungutan dan penghitungan
suara, dapat berdampak terhadap delegitimasi dan ketidakpercayaan
masyarakat akan proses dan hasil pemilu itu sendiri. Sehingga ketika
terjadi pelanggaran, maka hak-hak dari pihak terlanggar dapat
dikembalikan melalui penegakan hukum yang adil dan tepat waktu.
Pelanggaran terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara dapat
ditegakkan, salah satunya dengan keputusan melakukan pemungutan
suara ulang. Undang-Undang Pemilu mengatur bahwa pemungutan suara
di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan
Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan: (1) pembukaan kotak suara
dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilaksanakan
menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan; (2) petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus,
menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara
yang sudah digunakan; (3) petugas KPPS merusak lebih dari satu surat
suara yang sudah digunakan oleh pemilih seihinggg surat suara tersebut
menjadi tidak sah; dan/atau (4) pemilih yang tidak memiliki kartu tanda
penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar
pemilih tambahan.
Selain proses pemungutan suara, proses penghitungan suara di TPS
pun dapat diulang apabila terjadi pelanggaran atau kecurangan yang
berupa: (1) kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak
dapat dilanjutkan; (2) penghitungan suara dilakukan secara tertutup; (3)
penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang
kurang mendapat penerangan cahaya; (4) penghitungan suara dilakukan
dengan suara yang kurang jelas; (5) saksi Peserta Pemilu, Pengawas TPS,
dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan
suara secara jelas; (6)penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar
tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau (7) ketidaksesuaian
jumlah hasil penghitungan surat suara yang sah dan surat suara yang
tidak sah dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih.
Terdapat banyak faktor sebab terjadinya pelanggaran Pemilu di TPS.
Diantaranya dari penelitian yang dilakukan oleh Andrie Susanto dengan
judul “Disproporsionalitas Beban Tugas KPPS Studi Integritas Pemilu”
(Andrie, 2017:9-19). Dalam penelitiannya, ia mengatakan bahwa KPPS
sebagai penyelenggara Pemilu dihadapkan pada beberapa persoalan,
misalnya dalam hal SDM, jam kerja, informasi, pelatihan, bahkan
pembagian tugas yang tidak proporsional. Pembagian tugas yang tidak
proporsional dapat memicu terjadinya ketidak teraturan dan malapraktik
yang menggangu kelancaran kegiatan pemungutan dan penghitungan
suara.
Penelitian selanjutnya dari Ratna Solihah dengan judul “Peluang dan
Tantangan Pemilu Serentak 2019 dalam Perspektif Politik” (Ratnia,
2018:73-88). Ratnia mengatakan Pemilu serentak memerlukan modifikasi
pada sistem pemilihan legislatifnya. Tanpa perubahan sistem, Pemilu
Tahun 2019 bisa lebih buruk kualitasnya dibanding dengan Pemilu

106
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

legislatif 2014. Sistem proporsional terbuka memberikan keleluasaan


kepada calon anggota legislatif untuk berkampanye menarik simpati
Pemilih. Karena masing-masing calon mengkampanyekan dirinya sendiri,
maka kompetisi merebut suara rakayat tidak hanya terjadi di antara partai
politik, tetapi juga kompetisi akan terjadi antar calon legislatif dalam partai
politik yang sama. Pada gilirannya akan melahirkan maraknya praktik
politik uang (money politics), “perang saudara” antar caleg, kecurangan-
kecurangan yang dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara
dan/atau dilakukan oleh peserta dan penyelenggara.
Pemilu 2019 yang menggabungkan Pemilu Calon Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilu Calon Presiden
dan Wakil Presiden membuka ruang terjadinya malapraktik Pemilu. Sebab,
bukan hanya pemilih yang akan membutuhkan waktu lebih banyak di
dalam bilik suara jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Tapi juga di pihak penyelenggara, petugas KPPS dituntut untuk menguasai
semua jenis dan cara penggunaan setiap logistik yang jumlahnya ikut
bertambah. Petugas KPPS membutuhkan tambahan waktu untuk
mengatur, menghitung, mencatat dan mengepak logistik TPS. Potensi
malapraktik Pemilu kian terbuka jika KPPS mendapat tekanan dari peserta
Pemilu atau pemilih.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang diangkat pada
penelitian ini adalah: bentuk malapraktik pemilu apa saja yang terjadi
pada proses pemungutan dan penghitungan suara di tingkat tempat
pemungutan suara (TPS) pada penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 di
Kabupaten Buton serta faktor apa yang mempengaruhi terjadinya
malapraktik Pemilu di TPS.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative
research), dengan metode deskriptif. Tujuannya untuk mengungkapkan
bentuk malapraktik Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu
pada proses pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS pada
penyelengaraan Pemilu 2019 di Kabupaten Buton.
Adapun teknik pengumpulan data melalui studi dokumen, wawancara
dan observasi. Peneliti melakukan observasi langsung di 2 TPS dalam
wilayah Kabupaten Buton. TPS pertama di TPS 001 Desa Bungi Kecamatan
Wolowa yang dianggap mewakili TPS di wilayah terpencil, dan TPS 004
Kelurahan Kombeli, Kecamtan Pasarwajo yang dianggap mewakili TPS di
wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Peneliti juga
melakukan observasi terhadap proses rekapitulasi hasil penghitungan
suara di tingkat PPK Kecamatan Wolowa dan PPK Pasarwajo.
Sementara itu, studi dokumen dilakukan terhadap dokumen hasil
pemungutan dan penghitungan suara di seluruh wilayah Kabupaten
Buton, surat dinas dan surat keputusan serta regulasi yang mengatur
tentang pemungutan dan penghitungan suara. Sedangkan wawancara
dilakukan kepada penyelenggara Pemilu dan peserta Pemilu dan pemilih di
Kabupaten Buton.

107
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kriteria pemilu demokratis pada setiap negara berbeda-beda, begitu
juga definisi pemilu demokratis, yang diuraikan secara berbeda oleh
ilmuwan kepemiluan dunia. Kendatipun demikian, terdapat sejumlah
kesepakatan dunia internasional yang menjadi rujukan negara demokrasi
dalam menyelenggarakan demokrasi elektoral.
Kesepakatan internasional tentang Pemilu demokratis sebagaimana
tersebut diatas seperti The Universal Declaration of Human Right (UDHR),
International Covenant of Civil and Political Right (ICCPR), Inter
Parliamentary Union (IPU). Ukuran Pemilu yang demokratis dalam UDHR,
ICCPR dan IPU masih dianggap belum cukup. Sehingga masyarakat
internasional masih mengganggap perlunya indikator lain dalam
menyelenggarakan Pemilu yang demokratis. Sebut saja Kelompok Pemilu
Berintegritas (The Electoral Integrity Group) yang mendeklarasikan sebelas
prinsip proses penyelenggaraan Pemilu dikatakan berkeadilan dalam
pernyataan electoral justice yang diberi judul Towords an International
Statement of Principles of Electoral Justice. Komisi Global untuk Pemilu,
Demokrasi dan Keamanan (Global Commission on Election, Democracy and
Security) pun mengeluarkan pernyataan yang diberi judul Deepening
Democracy: A Strategy for improving the integrity of election worldwide.
Komisi ini menawarkan Pemilu Berintegritas (electoral Integrity) sebagai
kriteria tambahan untuk mencapai demokrasi yang lebih mendalam.
Indonesia mengadopsi kriteria Pemilu Demokratis ini dalam konstitusi
UUD 1945 Pasal 22E yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
serta periodik.
Dari berbagai kriteria Pemilu Demokratis dan Pemilu Demokratis yang
dikemukakan di atas, Ramlan Surbakti merumuskan delapan parameter
Pemilu Demokratis yang relevan dengan di Indonesia. Parameter Pemilu
Demokratis terebut adalah: (1) hukum Pemilu dan Kepastian Hukum; (2)
kesetaraan antar Warga Negara; (3) persaingan yang bebas dan adil; (4)
partisipasi pemilih dan pemilu; (5) penyelenggara pemilu yang mandiri,
berintegritas, efisien dan dengan kepemimpinan yang efektif; (6) proses
pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan asas Pemilu
Demokratis dan prinsip Pemilu Berintegritas; (7) keadilan; dan (8) prinsip
nirkekerasan dalam proses Pemilu (Ramlan, 2016:4-33).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan lebih terhadap
parameter ke-6 yakni proses pemungutan dan penghitungan suara
berdasarkan asas pemilu demokratik dan prinsip pemilu berintegritas.
Indikator proses pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan
asas Pemilu demokratis dan prinsip pemilu berintegrias dapat dilihat dari
(Ramlan, 2016:216):
a. Tata Letak Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjamin
pelaksanaan asas-asas Pemilu;
b. Menjamin pengaturan pemberian suara yang aman dan nyaman
(adequate polling arrangement);
c. Menjamin pengaturan pemberian suara yang memfasilitasi semua
kategori pemilih (equitable polling arrangement) seperti difabel,

108
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

pasien di RS, pemilih yang bermukim di Luar Negeri, pemilih yang


karena sesuatu hal tidak bisa memberikan suara di TPS;
d. Pelaksanaan pemungutan suara dilakukan sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan dalam UU, dan peraturan KPU (upacara
pembukaan, waktu, dan pencatatan);
e. Pemberian suara dilakukan oleh pemilih secara langsung tanpa
perantara;
f. Tidak ada pemberian suara oleh pemilih yang tidak berhak
(persoation);
g. Tidak ada pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali baik
di TPS yang sama maupun di TPS berbeda (double voting);
h. Pemberian suara secara bebas tanpa intimidasi;
i. Pemberian suara dilakukan atas kehendak sendiri, bukan karena
menerima uang atau materi lainnya dari calon;
j. Penentuan surat suara yang sah dan tidak sah dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang secara konsisten;
k. Penghitungan suara/rekapitulasi hasil penghitungan suara data
dilihat dan didengar oleh setiap orang yang hadir di sekitar TPS
(transparan);
l. Panitia/penyelenggara memberikan jawaban/penjelasan atas
pertanyaan ataupun keberatan yang disampaikan oleh saksi
ataupun pengawas pemilu (akuntabel);
m. Pengisian berita acara dan sertifikat hasil penghitungan dilakukan
secara akurat;
n. Saksi peserta Pemilu yang hadir menerima salinan sertifikat hasil
penghitungan suara/sertifikat hasil rekapitulasi penghitungan
suara;
o. Salinan sertifikat hasil penghitungan suara ditempelkan di tempat
umum; dan
p. Setiap pihak dapat merekam dan menyebarluaskan hasil
penghitungan suara setiap TPS.
Dalam negara demokrasi yang memfungsikan sistem Pemilu sebagai
piranti untuk mendapatkan legitimasi rakyat, malapraktik adalah penyakit
(Ramlan, et al., 2019:28). Dalam bukunya yang berjudul Integritas Pemilu
mengibaratkan demokrasi adalah manusia, sistem pemilu adalah organ
tubuh, maka malapraktik pemilu adalah penyakit yang menggorogoti organ
tersebut. Untuk mencegah penyakit tersebut menyerang maka perlu
dibangun sistem imun yang disebut dengan sistem integritas Pemilu.
Sarah Birch menggolongkan segala macam pelanggaran pemilu
dengan tiga bentuk aktivitas utama yang dibedakan menurut obyeknya:
pertama, manipulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
mengatur Pemilu (manipulation of election legal framework), penyimpangan
ini biasanya terjadi sebelum pemilu dilaksanakan (pre-election
manipulation). Kedua, manipulasi pilihan pemilih (manipulation of vote
choice), bertujuan untuk mengarahkan atau mengubah pilihan pemilih
dengan berbagai cara yang bersifat manipulatif. Penyimpangan ini terjadi
mulai tahapan awal pemilu sampai sesaat sebelum pemberian suara (mid

109
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

election period). Ketiga, manipulasi terhadap proses pemungutan dan


penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan suara,
penyimpangan ini terjadi mulai dari pemungutan suara sampai
pengumuman hasil pemilu (manipulation of electoral administration). Proses
ini terjadi mulai dari pemungutan suara sampai pengumuman hasil pemilu
(Sarah, 2011:27-29).
Sementara Rafael Lopez Pintor mendefinisikan malapraktik pemilu
sebagai tindakan pelanggaran terhadap integritas pemilu, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja, baik legal maupun ilegal (Ramlan,dkk,
2014:31). Pintor juga mengatakan bahwa kecurangan Pemilu adalah
bentuk malapraktik pemilu yang paling serius, karena dilakukan dengan
melanggar prosedur dan merubah hasil pemilu, baik oleh penyelenggara
pemilu, pejabat pemeritah dan partai politik serta caleg/tim sukses (Pintor,
2010:9).
Pandangan lain dikemukakan oleh Chad Vickery dan Erica Shein yang
mengkategorikan antara sifat dan aktor pemilu. Malapraktik pemilu adalah
pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu yang bersifat tidak
sadar, atau tidak sengaja, seperti lalai, ceroboh, tidak teliti, kekurangan
sumber daya, atau ketidakmampuan dari pihak penyelenggara dan
pelaksana pemilu. Sementara pelanggaran yang secara sadar atau sengaja
dilakukan partai dan aparatnya, kandidat dan staf yang membantu dalam
pemilu, ataupun penyelenggara dan pelaksana pemilu dimasukkan ke
dalam konsep baru yang disebut electoral fraud (Vickery dan Shein, 2012:9-
12).
Dari penjelasan beberapa ahli tersebut diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa malapraktik pemilu merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu (penyelenggaa tetap maupun
sementara), peserta pemilu (termasuk tim sukses dan caleg), pejabat
pemerintah (termasuk ASN), maupun pemilih baik sengaja ataupun tidak,
merekayasa/memanipulasi atau karena kelalaian/kecorobohan terhadap
proses dan hasil pemilu (integritas pemilu).
Manipulasi pemilihan terdiri atas 2 tipe (Ramlan, dkk, 2014:5), yaitu
mencegah warga yang berhak memilih untuk memberikan suara secara
bebas (bahkan ada kalanya mencegah warga untuk memilih) serta dapat
pula terjadi dalam bentuk mengubah hasil pemungutan dan penghitungan
suara. Akan tetapi tujuan manipulasi pemilihan ini hanya satu, yaitu
memenangkan suatu parpol/calon tertentu dan/atau mencegah suatu
parpol/calon memenangkan pemilihan.
Hal yang lebih jauh adalah lingkup manipulasi hasil penghitungan
suara tersebut, yaitu terkait dengan mekanisme material dan psikologis
macam apakah yang digunakan untuk manipulasi hasil penghitungan
suara. Mekanisme material tidak saja menyangkut intervensi terhadap
aspek fisik pemilu, seperti DPT, surat suara, kotak suara, sertifikat hasil
penghitungan suara, dan perangkat komputer, tetapi juga campur tangan
dalam bentuk penawaran pekerjaan, ancaman pemecatan dari pekerjaan,
pembayaran komisi atas jasa yang diberikan, janji (secara lisan atau
tertulis) akan mendapatkan proyek dari pemerintah yang akan datang,
menawarkan uang dalam jumlah kecil ataupun makan, dan jual-beli suara.

110
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Dengan mengacu pada kategorisasi pelanggaran pemilu yang


ditawarkan oleh Sarah Birch, Ramlan Surbakti merinci jenis pelanggaran
pada setiap kategori penyimpangan Pemilu, sebagai berikut (Ramlan, 2016:
38-42):
Tipologi pertama, manipulasi kerangka hukum Pemilu
(manipulation of election legal framework). Bentuk dari pelanggaran ini
adalah:
a. Malapportionment dalam alokasi kursi DPR kepada
provinsi/negara bagian;
b. Garrymandering dalam proses pembentukan daerah pemilihan;
c. Manipulasi demografi dalam pembentukan daerah pemilihan;
d. Manipulasi atas kreteria eligibilitas pemilih, eligibilitas peserta
Pemilu, atau eligibilitas seorang calon;
e. Manipulasi terhadap peraturan yang mengatur kampanye pemilu;
f. Menipulasi terhadap dasar hukum proses pemungutan dan
penghitungan suara;
g. Manipulasi terhadap formula konversi suara pemilih menjadi
kursi.

Tipologi kedua, manipulasi pilihan pemilih (manipulation of voter


choice), bentuk dari pelanggarannya adalah:
a. Penyalahgunan sumber daya negara untuk kampanye, seperti: (a)
manipulasi fiskal sebelum Pemilu (pre-election fiscal manipulation);
(b) Manipulation Pemilu melalui komposisi pengeluaran negara
(electoral manipulation via expendeture composition); (c) manipulasi
pemilu melalui alokasi anggaran kepada pemilih pendukung
(manipulation of election via voter friendly spending); dan (d)
penggunaan anggaran publiksasi dinas untuk publikasi pribadi
(misuse of official publication budget for personal publication).
b. Jual beli suara atau intimidasi atau ancaman terhadap pemilih
karena tidak bersedia disuap (undue influence: vote buying or voter
coercion/intimidation);
c. Mengkritik rekam jejak lawan tanpa bukti pendukung atau memuji
rekam jejak diri atau calon yang didukung tetapi tanpa bukti
pendukung (black campaign dan black arts);
d. Kekerasan Pemilu terhadap (electoral violence against): (a) partai,
calon, saksi partai, kantor partai, tim sukses, alat peraga
kampanye partai; (b) pemilih; (c) penyelenggara Pemilu dan pantia
pemilihan: KPU, KPU provinsi, KPU kab/kota, PPK, PPS dan KPPS,
Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kab/kota, Panwas
kecamatan, dan pengawas Pemilu lapangan; kantor; dan TPS; (d)
organisasi masyarakat sipil: wartawan, pemantau Pemilu, lembaga
survei, dan sebagainya.
e. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang dana kampanye Pemilu
(violation against campaign finance regulation);
f. Pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur iklan kampanye
Pemilu (violation against regulation on campaign advertisement).

111
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Tipologi ketiga, manipulasi proses pemungutan dan


penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan suara, dan
pelaporan hasil Pemilu (manipulation of electoral administration).
Bentuk pelanggarannya adalah:
a. Penyelenggara Pemilu dan panitia pelaksana Pemilu yang tidak
independen dan tidak profesional;
b. Manipulasi pendaftaran pemilih;
c. Kegagalan menjamin pengaturan pemungutan suara yang nyaman
dan aman (the failure to provide adequate polling arrangement);
d. Kegagalan menjamin pengaturan pemungutan suara yang
melayani semua kelompok pemilih tanpa kecuali (the failure to
provide equitable polling arrangement);
e. Manipulasi pemungutan suara (proses pemungutan suara yang
tidak sesuai dengan asas-asas Pemilu), seperti tidak adil
(personation, double voting), tidak langsung (illegal proxy), tidak
rahasia (open voting, family voting), dan yang tidak sesuai prinsip
Pemilu berintegritas seperti tidak transparan (kotak suara dan isi
kotak suara tidak dibuka dan dihitung secara terbuka di depan
saksi dan pemilih), dan tidak akuntabel (pertanyaan dan keberatan
dari saksi tidak direspon secara memuaskan, pertanyaan dan
keberatan saksi tidak dijawab oleh pelaksana);
f. Manipulasi proses penghitungan suara: (a) penghitungan suara
(pembacaan, pencatatan, dan penghitungan) dilakukan secara
tidak transparan (suara yang tidak jelas, tidak bisa dibaca, dan
tanpa penerangan yang memadai); (b) penerapan kriteria surat
suara sah dan tidak sah secara tidak konsisten; (c) salah hitung
secara tidak sengaja atau dengan sengaja (penambahan suara
partai/calon dengan atau tanpa mengurangi suara partai/calon
lain); (d) pertanyaan atau keberatan saksi tentang proses
penghitungan suara tidak direspon secara memadai oleh panitia
pelaksana; (e) salinan berita acara dan sertifikat hasil
penghitungan suara tidak diberikan kepada saksi Partai yang
hadir; (f) salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan
suara tidak ditempelkan di kantor desa/kelurahan atau di tempat
yang dapat dilihat umum.
g. Hambatan terhadap akses pemantau pemilu: proses akreditasi
yang lambat, pemantau mengalami kesukaran mendapatkan
informasi dari penyelenggara Pemilu, pemantau tidak diberi
kesempatan memantau proses pemungutan dan penghitungan
suara di TPS, dan lainnya;
h. Maladministration dalam proses penyelesaian sengketa Pemilu,
seperti pengaduan direspon secara lambat, proses penyelesaian
sengketa yang tidak tepat waktu.

Dari ketiga tipologi malapraktik yang telah diuraikan diatas, yang


menjadi fokus penelitian ini adalah tipologi malapraktik yang ke-3 yaitu
manipulasi proses pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil

112
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

penghitungan suara, dan pelaporan hasil pemilu (manipulation of electoral


administration).
Malapraktik Pemilu dapat dilakukan oleh siapa saja. Baik itu
dilakukan oleh peserta pemilu, pemilih, penyelenggara pemilu, pejabat
pemerintah, partai politik atau media. Sementara tindakan aktornya bisa
dilakukan dengan sengaja namun bisa juga karena kelalaian atau
kecorobohan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab terkait
Pemilu. Fokus dari penelitian ini adalah tindakan malapraktik yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu atau petugas KPPS.
Asas Pemilu dan prinsip Pemilu berintegritas adalah menjadi
tuntutan dan implementasinya paling banyak dijumpai dalam proses
menyelenggarakan tahapan pemungutan dan penghitungan suara suara di
TPS. Sehingga proses pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan
asas pemilu demokratis dan prinsip pemilu berintegritas menjadi salah
satu dari sekian parameter pemilu demokratis.
Pelanggaran terhadap asas pemilu dan integritas pemilu dalam proses
pemungutan dan penghitungan suara disebut dengan malapraktik Pemilu.
Hal ini sesuai dengan pembagian tipologi malapraktik Pemilu yang
dirumuskan oleh Sarah Birch yang membagi menjadi 3 tipologi.
Temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa penyelenggaraan
pemilu serentak berkontribusi terhadap meningkatnya kuantitas
malapraktik pemilu pada proses pemungutan dan penghitungan suara di
TPS. Pemilu serentak 2019 dengan memilih 5 jabatan politik sekaligus,
menjadikan beban kerja KPPS meningkat. Sementara peningkatan beban
kerja KPPS tidak disertai dengan penambahan jumlah KPPS.
Berikut bentuk malapraktik Pemilu yang terjadi pada proses
pemungutan dan penghitungan suara di TPS pada Pemilu serentak 2019
di Kabupaten Buton.
Kesalahan Penulisan dan Penjumlahan pada Sertifikat Hasil
Penghitungan Perolehan Suara (Formulir C1)
Bentuk malapraktik pemilu yang paling banyak terjadi pada proses
pemungutan dan penghitungan suara di TPS adalah kesalahan penulisan
dan penjumlahan sertifikat hasil penghitungan perolehan suara (formulir
C1). Bentuk malapraktik pemilu serpeti ini, Sarah Birch menyebutnya
sebagai manipulasi proses penghitungan suara karena kelalaian yang
mengakibatkan perubahan suara peserta pemilu (ballot stuffing). Dimana
tindakannya dilakukan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja.
Sementara berdasarkan indikator pemilu berintegritas melanggara prinsip
akurasi.
Penyusunan fomulir C1 yang akurat sejatinya tidak hanya pada
fomulir C1 Plano tapi juga pada C1 berhologram maupun salinan C1.
Dalam penyusunan formulir C1, harus terjadi kesesuaian penulisan
jumlah data pemilih, jumlah pengguna hak pilih, jumlah pemilih dan
pengguna hak pilih pemilih disabilitas, jumlah penggunaan surat suara,
dan jumlah perolehan suara sah dan tidak sah peserta Pemilu.
Kesalahan dalam penyusunan formulir C1 pada proses pemungutan
dan penghitungan suara Pemilu serentak 2019 cukup banyak terjadi. Di
Kecamatan Wolowa, sebanyak 10 TPS dari 20 TPS terjadi kesalahan dalam

113
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

penulisan dan penjumlahan angka pada fomulir C1. Jumlah ini sama
dengan 50% dari jumlah TPS yang ada di kecamatan tersebut. Sementara
di Kecamatan Pasarwajo terdapat sebanyak 15 TPS dari 127 TPS atau
sebanyak 12% TPS yang terjadi kesalahan dalam penulisan fomulir C1.
Selain di 2 kecamatan di atas, kesalahan dalam pengisian formulir C1 juga
merata terjadi di kecamatan lainnya dalam wilayah Kabupaten Buton.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan pengisian formulir C1
adalah: Pertama, karena minimnya kompetensi petugas KPPS; Kedua,
beban kerja yang banyak; Ketiga, tekanan psikologis yang dialami petugas
KPPS; dan Keempat, insentif anggota KPPS sebagai salah satu yang
memotivasi mereka dalam melaksanakan tugasnya dinilai kecil, bahkan
tidak seimbang dengan risiko yang tengah mereka hadapi.
Daftar Pemilih Tidak Akurat
Malapraktik Pemilu yang paling banyak berikutnya adalah daftar
pemilih yang tidak akurat. Akurasi data pemilih menjadi sangat penting
dan menjadi parameter dalam melaksanakan Pemilu yang demokratis.
Data pemilih sejatinya telah memuat semua penduduk yang telah berhak
untuk memilih, tidak ada lagi nama pemilih yang tidak memenuhi syarat
sebagai pemilih. Data pemilih disusun secara akurat tanpa ada kesalahan,
serta proses penyusunan data pemilih dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Problem yang terjadi pada Pemilu 2019 di Kabupaten Buton adalah
tingkat akurasi data pemilih masih rendah. Seperti ketidaksesuain NIK
yang tertera dalam daftar pemilih tetap (DPT) dengan yang tertulis pada
identitas kependudukan, ketidaksesuaina nama pemilih dalam DPT,
ketidaksesuaian penulisan jenis kelamin pemilih, adanya pemilih di bawah
umur, pemilih telah meninggal dunia, serta ketidakpastian jumah pemilih
terdaftar dalam DPT. Ketidakakurasian data pemilih ini menyebabkan hak
pilih pemilih terhalangi. Ketidakakurasian data pemilih menyebabkan
pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Misalnya beberapa pemilih
di TPS 004 Kelurahan Kombeli tidak dapat menggunakan hak pilihnya
karena ditemukan sejumlah pemilih yang telah memenuhi syarat sebagai
pemilih namun tidak terdaftar dalam DPT maupun DPK. Terdapatnya
nama pemilih dalam DPT namun namanya salah ketik. Juga terdapat NIK
yang invalid.
Faktor yang menyebabkan ketidakakurasian pada daftar pemilih tetap
adalah: Pertama, bersumber dari data kependudukan yang tidak mutakhir
serta akurat. Faktor Kedua, sistem informasi pemilih (SIDALIH) yang
digunakan KPU sebagai alat bantu teknologi pemutakhiran data pemilih
masih belum mampu mendeteksi pemilih yang terdaftar dilebih dari satu
TPS. Faktor Ketiga, proses pemutakhiran data pemilih dalam bentuk
pencocokan dan penelitian (coklit) di lapangan yang dilakukan oleh
Pantarlih diduga masih terdapat petugas yang bekerja di atas meja atau
tidak turun ke lapangan. Tidak melakukan pencocokan element data
pemilih dalam daftar pemilih dengan elemen data pemilih pada identitas
kependudukan yang mutakhir. Faktor, keempat, diduga human error
petugas entri data pemilih.

114
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Pemilih Siluman (Ghost Voters)


Malapraktik Pemilu yang terjadi berikutnya adalah Pemilih Siluman
atau ghost voters. Dalam istilah lain disebut dengan personation atau
pemberian suara dilakukan oleh pemilih yang tidak berhak. Demikian juga
pemilih yang belum memenuhi syarat sebagai pemilih karena belum cukup
umur (ineligible voters). Modus malapraktik jenis ini yang terjadi pada
proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS berupa pemilih yang
belum cukup umur, pemilih yang menggunakan C6 milik orang lain dan
pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT maupun DPTb namun memilih
dengan menggunakan identitas kependudukan yang bukan beralamat di
TPS, desa atau kecamatan tempat memilih.
Di TPS 004 Kelurahan Kombeli Kecamatan Pasarwajo terdapat pemilih
dibawah umur atau belum cukup umur, memilih dengan menggunakan C6
milik pemilih lain. Atas kejadian tersebut maka Panwaslu Kecamatan
Pasarwajo dalam rekomendasinya, memerintahnya PPK Kecamatan
Pasarwajo untuk melaksanakan pemungutan suara ulang.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya malapraktik ini adalah
ketidakkonsistennya regulasi tentang syarat pemilih terdaftar dalam
menggunakan hak pilihnya di TPS. Dalam peraturan KPU tentang
pemungutan dan penghitungan suara di TPS mensyaratkan, untuk dapat
memilih, pemilih selain menunjukan formulir model C6 juga wajib
menunjukan identitas kependudukan. Akan tetapi pengaturan tersebut
diubah melalui surat edaran bersama antara KPU RI dan Bawaslu RI yang
membolehkan pemilih memilih cukup dengan menunjukan formulir model
C6 (surat pemberitahuan) tanpa harus menunjukan identitas
kependudukan sepanjang anggota KPPS meyakini bahwa C6 yang
ditunjukan pemilih adalah C6 miliknya. Selain itu, minimnya kompetensi
petugas KPPS dalam melaksanakan tugas pemungutan dan penghitugan
suara berdasarkan ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan dalam
regulasi Pemilu.
Pemilih Memilih Lebih dari Satu Kali (double voting)
Malapraktik Pemilu berikutnya adalah double voting. Pemilih memilih
satu jenis pemilihan sebanyak 2 kali sebagai akibat dari kelalaian Ketua
KPPS dalam memberikan jenis surat suara. Banyaknya tugas Ketua KPPS
dalam proses pemungutan suara, membuat ketua KPPS kehilangan
konsentrasi, sehingga lalai dalam memberikan jenis surat suara di TPS.
Kelalaian Ketua KPPS dalam memberikan jenis surat suara kepada
pemilih salah satunya terjadi di TPS 001 Desa Bungi Kecamatan Wolowa.
Di TPS tesebut, salah seorang pemilih menerima dua lembar surat suara
untuk pemilihan anggota DPD, sementara surat suara pemilihan anggota
DPRD Provinsi tidak diterima. Dalam keadaan demikian, pemilih ragu
untuk menyampaikan perihal kekeliruan tersebut. Sehingga terjadi
keadaan seorang pemilih memilih dua kali (double voting) untuk pemilihan
anggota DPD dan haknya untuk memilih anggota DPRD Provinsi tidak
diberikan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya malapraktik jenis ini
adalah profesionalitas dari petugas KPPS. Banyaknya surat suara yang
harus diberikan kepada pemilih menjadikan ketua KPPS lalai dalam
meneliti surat suara yang akan digunakan oleh pemilih. Sehingga

115
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

membuka ruang ketua KPPS keliru dalam memberikan suarat suara


kepada pemilih.
Kekurangan Logisik Pemilu
Malapraktik Pemilu lainnya adalah kekurangan logistik pemungutan
dan penghitungan suara. Hasil temuan penelitian bahwa jenis logistik yang
mengalami kekurangan di TPS adalah surat suara dan formulir
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. Misalnya di TPS 02 Desa
Tumada Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton pada saat ketua KPPS
membuka kotak suara, terdapat kekurangan logistik surat suara pemilihan
presiden dan wakil presiden sebanyak 100 lembar. Di TPS 02 Kamelanta,
Kecamatan Kapontori, kekurangan logistik surat suara pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden sebanyak 75 lembar. TPS 01 Desa Todanga Kecamatan
Kapontori kekurangan formulir model C1 Plano. Di TPS 003 Desa Kondowa
Kecamatan Pasarwajo terdapat kekurangan surat suara Presiden dan Wakil
Presiden sebanyak 25 lembar. TPS 001 Desa Tuangila Kecamatan
Kapontori kekurangan lembaran halaman C1 Plano.
Kekurangan logistik menyebabkan penundaan pelaksanaan
pemungutan suara hingga tersedianya logistik yang akan digunakan
berupa surat suara maupun formulir hasil penghitungan suara. Tentu ini
tidak memberikan kenyamanan bagi pemilih untuk menggunakan hak
pilihya. Bentuk malapraktik seperti ini disebut dengan iregularitas. Faktor
yang mempengaruhi terjadinya kekurangan logistik di TPS adalah karena
kurangnya profesionalitas atau tidak cermatnya KPU Kabupaten dalam
merencanakan, mengelola dan mendistribusikan logistik ke TPS.
Tata Letak TPS tidak menjamin Pelaksanaan Pemungutan Suara
berdasarkan asas rahasia dan prinsip transparansi
Malapraktik Pemilu selanjutnya adalah tata letak TPS tidak menjamin
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan asas
pemilu demokratis dan pemilu berintegritas. Diantaranya tata letak TPS
yang dibuat oleh KPPS di sejumlah TPS tidak menjamin pelaksanaan
pemungutan suara secara rahasia, karena pihak lain dapat dengan leluasa
lalu lalang di belakang bilik suara. Hal tersebut terjadi di TPS 001 Desa
Bungi Kecamatan Wolowa.
Faktor yang menyebabkan adanya TPS yang tidak menjamin
kerahasiaan pilihan pemilih, proses pemungutan dan penghitungan suara
yang transparan, serta tidak terjaminnya TPS yang ramah terhadap semua
jenis pemilih adalah petugas KPPS tidak patuh atau dengan sengaja
melanggar tata letak atau denah TPS yang telah ditetapkan oleh KPU. KPU
sudah menetapkan standar TPS namun denah TPS tersebut enggan
dilaksanakan oleh sejumlah petugas KPPS. Pembuatan TPS yang tidak
sesuai standar telah dilakukan secara berulang dari Pemilu ke Pemilu.
Sudah menjadi kebiasaan dengan bentuk TPS yang demikian karena tidak
ada pihak yang menyampaikan protes atau mempersoalkan tata letak TPS
tersebut sehingga masyarakat mengganggap sebagai hal yang wajar.
Kesalahan Menghitung dan Inkonsistensi dalam Penentuan Kriteria
Surat Suara Sah dan Surat Suara Tidak Sah peserta Pemilu

116
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

Malapraketk Pemilu berupa kalalaian yang dilakukan oleh Ketua KPPS


dalam melakukan penelitian dan menghitung perolehan suara perserta
Pemilu pada kertas surat suara. Penghitungan surat suara harus diulang
karena adanya ketidaksesuaian jumlah surat suara yang digunakan
dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih. Di Kecamatan
Wolowa harus dilakukan penghitungan suara ulang pada rapat pleno
tingkat kecamatan untuk 2 TPS dari 20 TPS karena terdapat
ketidaksesuaian jumlah pengguna hak pilih dengan surat suara yang
terpakai serta perolehan suara sah dan tidak sah peserta Pemilu.
Faktor yang menyebabkan terjadinya malapraktik pemilu jenis ini
adalah karena faktor kelelahan petugas KPPS khususnya Ketua KPPS.
KPPS menghitung 5 jenis surat suara dari jam 14.00 hingga jam 23.00
tanpa waktu jeda. Tekanan pertanyaan dan sanggahan dari saksi peserta
pemilu, membuat konsentrasi petugas KPPS dalam meneliti surat suara
tercoblos menjadi menurun.
Hak Pilih Pemilih Terhalangi
Malapraktik Pemilu berikutnya berupa hak suara Pemilih terhalangi.
Terhalanginya pemilih menggunakan hak pilih karena tingkat akurasi data
pemilih yang rendah. Pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya
karena terdapat perbedaan elemen data kependudukan yang tertulis dalam
DPT dengan yang tertulis dalam identitas kependudukan. Di TPS 004
Kelurahan Kombeli terdapat pemilih yang tidak dapat menggunakan hak
pilihnya karena elemen data pemilih yang tertera di KTP elektronik tidak
sesuai dengan elemen data pemilih yang tertulis pada DPT.
Pelanggaran Terhadap Prosedur dan Tata Cara Pemungutan dan
Penghitungan Suara meskipun Tidak Merubah Hasil Pemilu (non-
outcome determitative fraud)
Mapraktek Pemilu berikutnya adalah pelanggaran terhadap prosedur
dan tata cara pemungutan dan penghitungan suara meskipun tidak
mengubah hasil Pemilu (non-outcome determitative fraud). Petugas KPPS
tidak menjalankan prosedur dan tata kerja pemungutan dan penghitungan
suara yang telah ditetapkan oleh KPU RI.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya malapraktik Pemilu non-
outcame determintavie fraud adalah kompetensi dari petugas KPPS dalam
memahami dan mematuhi prosedur dan tata cara pemungutan dan
penghitungan suara yang telah ditetapkan oleh KPU RI. Malapraktik jenis
ini sudah dilakukan setiap penyelenggaraan Pemilu, tidak ada yang protes
sehingga menganggap prosedur demikian sebagai sesuai yang lumrah.

KESIMPULAN
Penerapan asas pemilu dan pemilu berintegritas paling banyak
dilaksanakan pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Asas pemilu demokratis tersebut adalah asas langsung, umum, bebas,
rahasia jujur dan adil serta periodik. Sedangkan prinsip pemilu
berintegritas adalah penyelengaraan pemungutan dan penghitungan suara
yang transparan, akuntabel, akurat, dan jujur. Penerapan asas pemilu dan

117
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

pemilu berintegritas dalam proses pemungutan dan penghitungan suara,


tidak hanya menjadikan penyelenggaraan pemilu menjadi demokratis, tapi
juga untuk melindungi suara raykat sesuai dengan kehendak aslinya
(genuine).
Temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa penyelenggaraan
pemilu serentak berkontribusi terhadap meningkatnya kuantitas
malapraktik Pemilu pada proses pemungutan dan penghitungan suara di
TPS. Pemilu Serentak Tahun 2019 yang memilih 5 (lima) jabatan politik
sekaligus menjadikan beban kerja KPPS meningkat. Sementara
peningkatan beban kerja KPPS tidak disertai dengan penambahan sumber
daya.
Dari temuan penelitian, diajukan rekomendasi sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan anggota KPPS yang kompeten, perlu meninjau
kembali persyaratan untuk menjadi KPPS yaitu: (a) menghapus
persyaratan berupa belum pernah menjabat 2 kali dalam masa jabatan
yang sama sebagai anggota KPPS; (b) surat keterangan berbadan sehat
harus dikeluarkan oleh puskesmas atau rumah sakit pemerintah
sehinga anggota KPPS adalah orang-orang yang dinyatakan sehat oleh
dokter; (c) perlu adanya pembatasan syarat usia maksimal anggota
KPPS misalnya maksimal 50 tahun; (d) perlunya peningkatan besaran
honorarium petugas KPPS, honorarium anggota KPPS Pemilu Serentak
2019 sebelum di potong pajak sebesar Rp.450.000,- dinilai sangat
minim jika dibandingkan dengan beban kerja dan resiko pekerjaan bagi
anggota KPPS.
2. Untuk meningkatkan kompetensi petugas KPPS, perlu menambahkan
sarana transfer pengetahuan melalui pembuatan buku saku KPPS yang
diperuntukan untuk semua pihak, video simulasi pemungutan dan
penghitungan suara di TPS, poster dan leaflet tata cara dan prosedur
pemungutan dan penghitungan suara. Begitu pula jumlah anggota
KPPS yang mengikuti bimbingan teknis dan intensitas pelaksanaan
bimbingan teknis bagi KPPS perlu ditingkatkan misalnya jumlah yang
mengikuti bimbingan teknis sebanyak lima orang, dan dilaksanakan
dalam dua kegiatan.
3. Meninjau kembali masa kerja anggota KPPS. Pada Pemilu 2019 diatur
masa kerja anggota KPPS dimulai sejak 7 hari sebelum hari
pemungutan suara dan berakhir 23 hari setelah hari pemungutan
suara. Direkomendasikan masa kerja anggota KPPS dimulai 15 hari
sebelum hari pemungutan dan penghitngan suara dan berakhir 15 hari
setelah hari pemungutan suara. Rekomendasi ini dimasudkan agar
KPU kabupaten/kota memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
bimbingan teknis kepada petugas KPPS sebelum pelaksanaan
pemungutan suara.
4. Dalam upaya meningkatkan akurasi data pemilih: (a) mendorong
pemerintah untuk memutakhirkan data kependudukan secara
mutakhir dan akurat sehingga pada setiap penyelenggaraan Pemilu,
semua warga negara yang telah wajib KTP-el telah memilikinya; (b)
mengoptimalkan pelaksanaan pemutakhiran data pemilih
perkelanjutan; (c) memberikan hak kepada KPU untuk mengakses data

118
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

kependudukan setiap waktu dalam melaksanakan pemutakhiran data


pemilih berkelanjutan.
5. Perlunya konsistensi pengaturan syarat untuk dapat menggunakan
hak pilih. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur
bahwa yang berhak untuk mengikuti pemungutan suara di TPS adalah
pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar dalam daftar
pemilih. Sejalan dengan itu peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019
tentang pemungutan dan penghitungan suara di TPS mengatur bahwa
untuk dapat memilih, pemilih harus menunjukan identitas
kependudukan, yang dapat berupa KPT-el, SIM, KK atau Suket.
Namun, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2019 mengatur pemilih dapat
memilih dengan menggunakan C6 tanpa harus menunjukan identitas
kependudukan sepanjang KPPS meyakini bahwa C6 yang ditunjukan
adalah miliknya.
6. Menyederhanakan jenis dan jumlah logistik Pemilu berupa: (a) sampul
berita acara yang akan diserahkan oleh KPPS kepada PPS dan KPU dari
lima sampul menjadi cukup satu sampul dengan menggabungkan
semua jenis berita acara ke dalam satu sampul berita acara dan
sertifikat hasil penghitungan perolehan surat suara; (b) menambahkan
uraian kolom pindahan pada setiap lembaran sertifikat hasil
penghitungan perolehan suara anggota DPD atau C1-DPD.
7. Mewajibkan Peserta Pemilu untuk mengutus anggotanya dalam
kegiatan bimbingan teknis pemungutan dan penghitungan suara yang
diselenggarakan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota. Sementara jumlah
saksi yang dimandatkan untuk setiap TPS maksimal 2 (dua) orang.
8. Untuk mengurangi beban kerja anggota KPPS pada saat penghitungan
suara, penghitungan suara di TPS dapat dilakukan secara paralel
dalam 2 tim.
9. Untuk meningkatkan akurasi dalam penghitungan suara dan
pembuatan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan perolehan
suara, perlunya penggunaan e-recapitulation dalam penghitungan
perolehan suara di TPS. Dengan mempertimbangkan efisiensi,
infrastruktur e-recapitulation di TPS dapat dilakukan dengan menyewa
laptop dan printer. Prosedur kerja e-recapitulation dapat berupa
memindahkan data hasil penghitungan perolehan suara dari formulir
Model C1-Plano ke aplikasi e-recapitulation yang tersedia. Hasil input
data di aplikasi e-recapitulation diprint menjadi hasil penghitungan
suara (C1) yang akan ditandatangani oleh KPPS, Saksi dan pengawas
TPS pada setiap lembarannya. Hasil penghitungan suara yang telah
dicetak dan ditanda tangani selanjutnya disampaikan kepada: (a) saksi
peserta pemilu, (b) pengawas TPS, (c) untuk diumumkan di TPS dan
PPS, (d) untuk dimasukan dalam kotak suara; dan (e) untuk
disampaikan kepada KPU melalui PPK sebagai bahan publikasi hitung
cepat dengan cara dipindai. Hasil pindai kemudian dibaca oleh software
menjadi angka untuk kemudian dipublikasikan dalam hasil tabulasi
bersamaan dengan hasil pindai di situs situng.

119
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Vol. 1 No. 1, November 2019
www.journal.kpu.go.id

DAFTAR PUSTAKA
Chard Vickery dan Erica Shein, (2012). Assessing Electoral Froud in New
Democracies: Refining the Vocabulary, Washington: IFES
Lopez-Pintor, Rafael. (2010) Asseing Electoral New Democracies: A Basic
Conceptual Framework. Elecctoral Fraud in White Paper Series
dalam Ramlan Surbakti, dkk. Integritas Pemilu. Jakarta: Kemitraan
Rafael Lopez Pintor, (2010). Assessing Electoral Fraud in New Democracies
A Basic Canceptual Framework, Washington DC: IFES
RamlanSurbakti, dkk, (2014). Integritas Pemilu 2014 Kajian Pelanggaran,
Kekerasan, dan penyalahgunaan Uang pada Pemilu 2014, Jakarta:
Kemitraan
Sarah Birch, (2011). Electoral Malpractice, Oxford: Oxford University Press

JURNAL
Andrie Susanto, Disproporsionalitas Beban Tugas KPPS Studi Integritas
Pemilu, Jurnal Politik Indonesia Vol. 2 No. 1, Juli-September 2017,
hal. 9-19

Ratnia Solihah, Peluang dan Tantangan Pemilu Serentak 2019 dalam


Perspeketif Politik, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 3, No. 1,
2018, hlm 73-88

ARTIKEL ONLINE
Didik Suprianto, (2019) Pemilu Paling Rumit di Dunia dan Akhirat.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/13/22052131/pemi
lu-paling-rumit-di-dunia-dan-akhirat. diakses tanggal 4 Maret 2019

120

Anda mungkin juga menyukai