Sebelum melangkah lebih jauh pembahasan mengenai pemikiran Kant, perlu kita
ketahui bersama bahwa sebelum aliran Kant muncul, terdapat dua aliran yang juga
merupakan cikal bakal dari buah pemikiran Kant, yaitu aliran Empirisme dan
aliran Rasionalisme. Aliran Empirisme merupakan doktrin yaitu sumber seluruh
pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide
merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami,
pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal. 1
Sedangkan yang dimaksud dengan Rasionalisme yaitu aliran yang berpegang pada
prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan
akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul
atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. 2 Hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah.
Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal.
Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari
dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti 3
Dengan penjabaran tersebut sangatlah jelas bahwa kedua aliran tersebut sangatlah
kontradiktif. Awalnya Kant menganut aliran Rasionalisme Descartes yang
dilancarkan oleh Leibniz versi Wolfian, namun lambat laun ia terdorong untuk
meninggalkannya karena terpengaruh oleh Rousseau dan Hume. Hume, dengan
kritiknya terhadap konep kausalitas, membangkitkan dirinya dari tidur
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 197 – 198.
2
Ibid., hal. 929.
3
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hal. 18.
dogmatiknya. Namun kebangkitan itu hanyalah sementara, baginya Hume adalah
musuh yang harus ditentang, namun pengaruh Rousseau lebih mendominasi.
Kant berusaha mengatasi kontradiksi yang terjadi antara kedua aliran tersebut
dengan mengkomparasikan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang
berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant
menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar
sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk memunculkan pemikiran
alternatif. Kontradiksi yang terjadi inilah yang menyebabkan Kant ingin
memunculkan paradigma pemikiran baru yang lebih konstruktif dan
komplementer.
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan.
Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang
dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai
ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah
dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak
berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh
kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah
4
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme
dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 2003, hal. 101 – 102
teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan
kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk
membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan
kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya
merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.5
5
Ibid., Hal. 104
6
Bertrand Russell, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, London, George Allen and Unwin,
1946, hal. 922
tergantung pada bagaimana dunia sebagaimana adanya (a posteriori –setelah
pengalaman). Keunggulan dari jenis putusan yang bersifat sintesis – a posteriori
adalah mampu memberikan pengetahuan baru. Namun kelemahannya adalah
predikat tidak lebih dari fakta pengalaman, sehingga model putusan yang
semacam ini akan kehilangan aspek universalitasnya. Menurut Kant, ada satu
lagi jenis putusan yaitu sintesis – a priori. Jenis putusan ini akan memiliki ciri
universalitas dengan tanpa bersifat tautologis. Adapun syarat pembentukan
putusan sintesis – a priori adalah harus memiliki forma dan materi. “Forma”
diperoleh dari intelek yang bersifat independen dari semua pengalaman,
bersifat a priori, menandakan fungsi-cara-dan-hukum mengetahui dan bertindak
yang eksistensinya mendahului pengalaman. Sedangkan “materi” adalah
sensasi subjektif yang diterima dari luar. Forma dalam hal ini mewakili aspek
universalitas dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Sehingga jenis
putusan yang sintesis – a priori akan bersifat universal dan niscaya dengan tetap
absah dalam dunia empiris.
Analisa pemikiran yang coba dibangun ialah sama pentingnya bagi metodelogi
penelitian tema serta pendidikan hadap-masalah adalah usaha untuk menyajikan
dimensi bermakna dari konteks realitas seseorang, yang dengan menganalisisnya
akan memungkinkan orang tersebut dapat melihat interaksi dari berbagai unsur.
Sementara itu, dimensi bermakna yang juga terdiri dari bagian-bagian dalam
interaksi, harus dipahami sebagai dimensi-dimensi dari realitas secara
keseluruhan. Dengan cara ini, suatu analisa kritis terhadap dimensi eksistensial
bermakna memungkinkan lahirnya sikap baru yang kritis terhadap situasi-batas. 8
Kant mengatakan bahwa akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa
yang cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah
dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang
bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan
sebelumnya. Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu
nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio
murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya
pertimbangan. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif
mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.
7
Endang Daruni Asdi, “Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant”, Jurnal Filsafat, UGM,
Yogyakarta, 1995, Hal. 10 – 11
8
F. Danuwinata, “Pendidikan Kaum Tertindas”, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2008, Hal. 102
Dari pemikiran Kant yang muncul pada The Critique of Pure Reason, ada
persoalan yang tersisa yaitu masalah metafisika. 9 Hal ini dikarenakan sejak awal
epistemologi Kant meletakkan kategori-kategori formal akal dalam jangkauan
ruang waktu. Kategori harus digunakan dalam pengalaman inderawi. Berkaitan
dengan pemikiran Kant bahwa yang dapat dijangkau oleh indra hanyalah
fenomena dan bukan noumena, maka pertanyaan lebih lanjut, dapatkah kepastian
diperoleh dari padanya?
Pada pokok persoalan ini adopsi atas pemikiran Kant ini akan memberikan
peluang bagi kita untuk mengadopsi gagasan-gagasan tentang prinsip pertama.
Jawaban atas semua keraguan filosofis atas prinsip-prinsip pertama akan
didasarkan pada kodrat absolut dari ide mengenai “ada”. Sehingga pada tataran ini
perbedaan antara kesan dan kenyataan, ataupun fenomena dan noumena dapat
diatasi. Karena apapun yang dimaksud dengan kenyataan noumena pastilah di
dalam dirinya sendiri dapat diterapkan ide mengenai “ada”. Masih terkait dengan
pokok soal kepastian, bahwa untuk memperoleh kepastian maka diperlukan
evidensi. Adapun bentuk evidensi dapat bermacam-macam. Pikiran akan
mengalami diri secara esensial tunduk pada evidensi ini. Evidensi ini yang akan
menjamin tanggapan kognitif, entah berupa kepastian ataupun pendapat.
Namun adakah kepastian absolut?
Jika dianalisis lebih lanjut, hal tersebut tidak saja disebabkan karena keterbatasan
rasio, tetapi juga sifat pengetahuan yang analog. Pengetahuan yang ada
sesungguhnya lebih bersifat perspektival, sehingga kepastian sebagai
dukungan atas pengetahuanpun akan hadir dalam berbagai macam bentuk.
Kepastian pada ilmu-ilmu alam tentu berbeda dengan ilmu sosial.
Persoalannya adalah umumnya pemahaman atas kepastian ditempatkan pada
9
Amin, Miska. M., “Titik Tolak Epistemologis Filsafat Alam Semesta Immanuel Kant” dalam Jurnal
Filsafat Vol.17 No.3, 2007, UGM, Yogyakarta, Hal. 243
kepastian fisik semata. Tetapi bukanlah kepastian fisik ini akan bermasalah ketika
ditempatkan dalam relasi problem-problem kemanusiaan misalnya.
Pada hubungan sosial kemanusiaan, mungkin yang lebih banyak digunakan adalah
kepastian moral, atau bahkan sesungguhnya tidak ada yang disebut dengan
kepastian itu sendiri. Mengapa, karena hidup manusia tidak dapat dijalani seperti
hal nya rumus bangun. Hidup manusia lebih banyak dihabiskan dengan
berbagai tindakan yang didasarkan pada probabilitas. Ketika kita hanya menunggu
untuk sampai pada sebuah kondisi kepastian maka banyak hal akan lumpuh, dan
manusia tidak akan melakukan apapun. Tindakan tidak mensyaratkan kepastian,
karena hidup kita cukup dipuaskan dengan probabilitas saja. Justru dalam
tindakan-tindakan akan semakin ditemukan kepastian tersebut.
Pada titik tertentu Immanuel Kant sepakat dengan David Hume bahwa ilmu
pengetahuan tidak akan mampu mencapai kepastian. Meskipun Kant tidak
menolak prinsip kausalitas sebagaimana halnya Hume. Yang menarik justru
ketika Kant menemukan ada masalah dengan “metafisika” sebagai bentuk
keterbatasan rasio. Melalui Rasio Murni manusia tidak mampu menjangkau
pengetahuan metafisik. Oleh karena itu Kant mencoba untuk mengantisipasi
persoalan tersebut dalam karyanya yaitu The Critique of Practical Reason dan
The Critique of Judgment. Pada The Critique of Practical Reason dijelaskan bahwa
begitu subjek telah melampaui pengindraan melalui rasio praktis, Kant
kemudian memunculkan postulat yang membangun moralitas. 10 Postulat inilah
yang menurut Kant membuat moralitas menjadi mungkin. Tiga postulat yang
dimunculkan oleh Kant adalah kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah.
Penjelasannya adalah : (1) Kehendak bagi Kant bersifat melampaui dunia
fenomenal, karena kehendak bersifat otonom. (2) kebajikan adalah kebahagiaan
yang tertinggi. Dalam dunia fenomenal hal ini tidak selalu atau bahkan
mustahil terjadi. Jika dalam dunia fenomenal mustahil mencapai kebahagiaan
melalui kebajikan, maka kebahagiaan itu ada diluar dunia fenomenal. Akibat dari
hal ini adalah munculkan keyakinan akan keabadian jiwa. (3) karena ada
keyakinan bahwa kebajikan akan membawa pada kebahagiaan maka
muncullah keyakinan tentang Allah.
10
Baskara, Benny, “Interpretasi Kritisisme Immanuel Kant dalam Budaya Jawa Modern” dalam Jurnal
Filsafat Jilid 35, No.3, 2003, UGM, Yogyakarta, Hal. 264
Melalui rasio praktis inilah maka manusia akan mampu mencapai metafisika.
Immanuel Kant mempertahankan pandangannya tersebut di atas dengan
mengatakan bahwa sintesis – a priori seperti yang telah dilakukannya di atas
adalah mungkin melalui putusan atas perasaan (judgement of sentiment). Hal inilah
yang disajikan oleh Kant dalam The Critique of Judgment. Putusan atas perasaan
berbeda dengan putusan sintesis apriori, seperti yang telah Kant sebutkan pada
The Critique of Pure Reason. Putusan atas perasaan mengandaikan ada satu forma
kosong intelek yang ditentukan oleh elemen tertentu yang diperoleh melalui
proses pengindraan. Jika putusan yang diperoleh melalui sintesis – a priori
disebut dengan putusan penting (determining judgement) maka putusan atas
perasaan itu disebut dengan putusan hasil refleksi (reflecting judgement),
meliputi putusan teleologis dan putusan estetis. Putusan atas perasaan ini
berasal dari luar bentuk a priori intelek, yaitu berasal dari kekuatan afektif
kehendak subjek. Oleh karena itu menurut Kant, putusan yang semacam ini
tidak akan memberikan putusan yang tepat, melainkan hanya memanifestasikan
kemendesakkan.
Pemikiran Kant tersebut sangat menarik karena Kant membuka peluang ke arah
metafisika dan pengetahuan yang lebih esensial. Jika pada pemikiran Kant
dalam Kritik atas rasio murni ditegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui
objek sejauh dalam fenomen melalui persepsi inderawi, maka memang akan
menjadi pertanyaan besar terkait dengan objek-objek yang tidak berfenomen.
Konsep Cinta, Keabadian, Tuhan misalnya, tidak dapat dipenuhi dengan
pengalaman inderawi. Jika kemudian atas dasar rasio murni disimpulkan bahwa
karena tidak dapat ditangkap indra maka konsep-konsep tersebut tidak
memadai, tentu ini kesimpulan yang tidak tepat. Hal ini dikarenakan tetap ada
insight pengetahuan untuk hal-hal yang semacam itu.
Barangkali pengetahuan yang semacam ini memang belum lengkap atau belum
sempurna, namun bukankah pikiran manusia senantiasa terbuka dan terus
berkembang secara kreatif. Pengetahuan adalah bagian dari hidup dan
kehidupan manusia yang didalamnya terdapat dimensi historisitas dan sosialitas.
Oleh karena itu interaksi dengan waktu, lingkungan, dan sesamanya akan memacu
tumbuhnya pengetahuan secara terus menerus.