Anda di halaman 1dari 9

CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam mempelajari filsafat ilmu, kita akan menemukan banyak hal yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari. Filsafat ilmu itu sendiri mempelajari tentang kajian ilmu dari sudut
pandang filsafat. Di dalam mempelajari filsafat ilmu kita akan menemukan salah satu materi,
yaitu cara kerja ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, saya akan membahas sedikit tentang cara
kerja ilmu pengetahuan.

A. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan topik pembahasan tentang cara kerja ilmu pengetahuan, maka saya
membuat rumusan masalah adalah sebagai berikut :

A. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN

Ilmu berasal dari bahasa arab Alima-yalamu, dan dari science dari bahasa latin scio yang
artinya to know. Secara etimologi ilmu artinya tahu atau pengetahuan. Sedangkan secara terminilogi
ilmu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia ilmu adalah suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersitem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu
ekonomi dan sebagainya. Menurut definisi oxford university pengetahuan adalah keahlian, atau
ketrampilan yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan; pemahaman teoritis atau
prakti dari suatu subjek. Jadi pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sendiri adalah suatu pengetahuan yang
didapat oleh seseorang melalui pengalaman ataupun pendidikan.
Gaston Bachelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia
yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Atau dengan kata lain,
ilmu pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu subjektif dan objektif, sekaligus memerlukan kesamaan
di antara keduanya. Oleh karena itu sesungguhnya manusia tidak mungkin mengubah hukum-hukum
pemikiran dengan mengubah hukum-hukum alam semesta. Bachelard menengarai bahwa adanya dua
aspek tersebut (subjektif dan objektif) melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam epistemologi.
Pertama, pandangan rasionalisme yang memandang bahwa hukum alam itu direfleksikan kedalam
hukum-hukum pemikiran, lebih memihak pada sikap subjektif. Hal ini dapat dikatakan senada dengan
pernyataan Hegel yang berbunyi semua yang rasional adalah real. Kedua, pandangan realisme
universal yang memandang bahwa hukum-hukum pemikiran secara mutlak mencontoh hukum-hukum
pemikiran.

B. CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN

1. Rasionalisme
Corak berpikir dengan melulu mengandalkan atau berdasarkan atas kemampuan akal (rasio),
dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat,
bahwa sumber pengetahuan yang memadahi dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan
nyang diperoleh dari akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak,
yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai
untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal. Menurut aliran ini akal
memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan
kebenaran itu dari dirinya sendiri. Metode yang diterapkan oleh para filsuf rasionalisme ialah metode
deduktif, seperti yang berlaku pada ilmu pasti.
Secara ringkas dapatlah dikemukakan dua hal pokok yang merupakan ciri dari setiap
bentuk rasionalisme, yaitu,:
a. Adanya pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat
diperoleh dengan menggunakan akal sebagai saranannya.
b. Adanya suatu penjabaran secara logic atau deduksi yang dimaksudkan untuk
memberikan pembuktian seketat mungkinmengenai lain-lain segi dari seluruh sisa
bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran
hakiki tersebut di atas.
Tokoh-tokoh aliran fisafat rasionalisme ini ialah Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Dari
ketiga tokoh ini yang dibicarakan dalam rangka aliran ini adalah Descartes.
Tokoh penting aliran filsafat rasionalisme adalah Rene Descartes (1598-1650) yang juga
adalah pendiri filsafat modern. Ia pantas untuk mendapatkan kedudukan itu dengan alasan,
pertama, karena usaha untuk mencari satu-satunya metode dalam seluruh penyelidikan manusia;
kedua,karena dia memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian dan konsep dalam
filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam perkembangan filsafat modern. Metode Descartes
dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan
sebagai metode penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu sama.
Sistem filsafat yang dikembangkan Descartes tak dapat dipisahkan dari sikap kritik yang
berkembang dalam pergolakan Renaissans, kebangkitan budaya yang sekaligus membawa suatu
skeptisisme terhadap dogma agama dan praktek politik yang sampai saat itu menjamin ketahanan status
gereja dan negara. Skeptisme ini meluas menjiwai Descartes yang dengan konsekuen meragukan

pengetahuan yang kita peroleh secara inderawi. Tetapi metode keraguan ini akhirnya dapat
menumbangkan skeptisisme yang berkelanjutan (ekstrim), karena menemukan suatu landasan kebenaran
baru.
2. Empirisisme
Para penganut aliran empirisisme dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut alira
rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang berdasarkan
kepastian-kepastian yang bersifat a priori. Menurut penganut empirisisme metode ilmu pengetahuan itu
bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori. Yang dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode
yang bedasarkan atas hal-hal yang dating atau trjadinya atau adanya kemudian.
Aliran empirisisme pertama kali berkembang di inggris pada abad ke-15 dengan Francis Bacon
sebagai pelopornya. Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam penyelidikan atau penelitian.
Menurut Bacon, manusia melalui pengalaman dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi
antara benda-benda. Ia juga memberikan sejumlah petunjuk agar seorang ilmuwan berhati-hati terhadap
idola-idola, yaitu: (a) idola tribus yaitu menarik kesimpulan secara terburu-buru; (b) idola specus yaitu
menarik kesimpulan sesuai dengan seleranya; (c) idola fori yaitu menarik kesimpulan berdasarkan
pendapat orang banyak; (d) idola theatri yaitu menarik kesimpulan berdasar pendapat ilmuwan
sebelumnya. Filosof empiris lainnya adalah Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau
pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, Jhon Locke lebih terdorong
untuk mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta-fakta, menguji
kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia.
Paham empirisisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), ia menegaskan
bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman, dan ia sangat
menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prisip a priori, yang bertitik tolak pada ide-ide
bawaan. Sumber pengetahuan adalah pengamatan, melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua
hal, yaitu: kesan-kesan (impresion) dan pengertian-pengertian (ideas). Kesan-kesan (impresion) adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Kesan-kesan ini
menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat terhadap pengamat. Pengertian-pengertian (ideas)
merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan
merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui
pengamatan langsung.

Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan yang bersifat a priori terdiri dari analitik,
yakni proposisi yang predikatnya sudah tercakup dalam subjek. Sebagai contoh, semua angsa itu putih,
semua jejaka itu laki-laki, es itu dingin, linkaran itu bulan, dan lain-lain. Dan pendapat ini merupakan
ciri khas pemikiran yang bercorak rasionalistik. Sebaliknya ciri khas yang empiristik adalah a
prosteriori, dan proporsisinya adalah sintetik, yakni yang tak dapat diuji kebenarannya dengan cara
menganalisis pernyataan, tetapi harus diuji kebenarannya secara empiris. Misal: rumah mahal, motor
baru, dan lain-lain.
3. Kritisisme
Filsafat Immanuel Kant, yang disebut dengan aliran filsafat kritisisme. Kritisisme adalah sebuah
teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam fisafat rasionalisme
dan filsafat empirisisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang
lain. Menurut Kant pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di
antara dua komponen, yaitu di satu pihak merupakan bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi,
dan di lain pihak cara mengolah kesan-kesan yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga terdapat
suatu hubungan antara sebab dan akibatnya. Sesungguhnya relasi anta sebab dan akibat tidaklah terdapat
di dalam dunia seperti yang terhampar di depan kita yang adanya tidak tergantung pada kita, melainkan
merupakan bentuk-bentuk penafsiran manusia yang gunanya ialah agar gejala-gejala yang begitu
beraneka ragam yang kita hadapi, dapatlah dijadikan suatu yang dapat kita pahami dan kalau dapat kita
pergunakan untuk kepentingan kita.
Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan antara rasionalisme dan empirisisme ini, Kant
mengemukakan bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori. Yang dimaksud dengan pengetahuan
yang sintetis a priori ini ialah pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat
a priori dan a posteriori. Di sini akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. Selanjutnya
Kant mengatakan bahwa pengetahuan selalu bersifat sintetis. Pengetahuan inderawi misalnya
merupakan sintetis hal-hal dari luar dan dari bentuk-bentuk ruang dan waktu di dalam saya. Sedangkan
pengetahuan akal merupakan sintetis dari data inderawi dan sumbangan dari kategori-kategori.
Dengan fisafat kritisnya Immanuel Kant telah menunjukkan jasanya yang besar, karena
berdasarkan atas penglihatannya yang begitu jelas mengenai keadaan yang saling mempengaruhi di
antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Ia telah memberikan pembetulan terhadap sikap
berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut rasionalisme dan empirisisme. Sehingga ia telah
membuka jalan bagi perkembangan filsafat di kemudian hari.

4. Idealisme
Permulaan pemikiran idealisme dalam sejarah filsafat barat biasanya selalu dihubungkan dengan
plato (427-347 SM). Akan tetapi istilah idelisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai
pada abad ke-19. Aliran fisafat idealisme dalam abad ke-19 merupakan kelanjutan dari pemikiran filsafat
rasionalisme pada abad ke-17. Para pengikut aliran idealisme ini pada umumnya filsafatnya bersumber
dari filsafat kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut idealisme
subyektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan Scelling yang filsafatnya disebut
dengan idealisme obyektif. Kemudian kedua idealism ini (subyektif dan obyektif) disintesiskan dalam
filsafat idealisme mutlaknya Hegel (1770-1831).
Bagi Hegel pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang
diobyektifkan. Alam adalah proses pemikiran yang memudar, yang adalah juga akal yang mutlak
(absolute reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk luar. Oleh karena itu menurut Hegel
hukum-hukum pikiran merupakan hukum-hukum realitas. Sejarah adalah cara zat yang mutlak
(absolute) itu menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat
mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu berwatak pikiran. Jika kita memikirkan keseluruhan
tata tertib yang mencangkup unorganik dan organik, tahap-tahap keberadaan spiritual dalam suatu tata
tertib yang mencangkup segala-galanya, pada waktu itulah kita membicarakan tentang yang mutlak, jiwa
yang mutlak atau Tuhan.
5. Positivisme
Pendiri sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivisme adalah Auguste Comte (17981857). Filsafat Comte anti metafisis, hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah,
dan menjauhkan diri dari semua pernyataan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan comte
yang terkenal adalah savoir pour previor (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia
harus menyelidiki hal-hal ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Semenjak Hegel dank
arena Hegel mucul mode dikalangan para filsuf untuk meramalkan perkembangan dunia
sebagaimana dikembangkan oleh Aguste Comte, Karl Marx, Emille Durkheim, Talcot parson, Amitai
Etzioni, Van Peursen, Alvin Toffler, Jhon Naisbitt, dan lain-lain.
Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan
teoriberjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas
dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan tanpa terisolasi, dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori. Metode positive Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada

hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan
masalah hakikat atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan
antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Filsafat Auguste Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep,
prisip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte. Comte membagi
masyarakat atas statika social dan dinamika social. Statika sosial adalah teori tentang susunan
masyarakat, sedangkan dinamika sosial adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini
sekaligus suatu filsafat sejarah, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual
sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintetis yang menerangkan fakta-fakta itu. Fakta-fakta
itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious, atau cultural.
6. Marxisme
Sampai dengan decade 1990-an tidak kurang sepertiga penduduk dunia terpengaruh oleh filsafat
Marxisme, sekurang-kurangnya menjadi simpatisannya. Pendiri aliran fisafat ini adalah Karl Marx
(1818-1883). Filsafat Marx adalah perpaduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat materialism
Feuerbach. Marx terutama mengkritik Hegel yang menurutnya berjalan atas kepalanya, oleh karena itu
filsafat ini harus diputarbalikkan. Fisafat abstrak harus ditinggalkan, karena teori, interpretasi, spekulasi
dan sebagainya tidak menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Sama halnya dengan Hegel, Marx
mengajarkan bahwa sejarah dijalankan oleh suatu logika tersendiri, namun ia tidak sependapat dengan
Hegel yang mengatakan bahwa motor sejarah adalah ide atau rohyang sedang berkembang. Bagi
Marx motor sejarah terdiri dari hukum-hukum sosial ekonomis dan hukum ini tidak merupakan sesuatu
yang transender yang mengatasi manusia dan dunia, melainkan justru merupakan hasil kerja dan
perjuangan manusia sendiri.
Pemikiran Marx menghubungkan dengan sangat erat ekonomi dengan fiilsafat. Bagi Marx
masalah filsafat bukan hanya masalah pengetahuan dan masalah kehendak murni yang utama, melainkan
tindakan. Para filosof menurut Marx selama ini hanya sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara,
namun menurutnya yang terpenting adalah mengubahnya. Hal yang perlu diubah itu ialah keadaan
masyarakat yang tertindas oleh kaum borjuis dan kapitalis yang menghisap kaum proletar. Oleh karena
itu menurut Marx kaum proletar harus merebut peranan kaum borjuis dan kapitalis itu melalui revolusi.

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Muntasir Rizal M.hum, Drs. Misnal Munir M.hum :Filsafat Ilmu, Yogyakarta, pustaka pelajar, 2006
Drs H Muhammad adib MA :Fisafat ilmu, ontology, epistimologi, aksiologi, dan logika ilmu
pengetahuan, Yogyakarta, pustaka pelajar, 2006

Anda mungkin juga menyukai