Anda di halaman 1dari 35

Latarbelakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari

segala pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak
mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Para tokoh aliran
Rasionalisme diantaranya adalah :

1. Rene Descartes ( 1596- 1650 M )

Descartes disamping tokoh rasionalisme juga dianggap sebagai bapak filsafat, terutama
karena dia dalam filsafat-filsafat sungguh-sungguh diusahakan adanya metode serta
penyelidikan yang mendalam. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu
kedokteran.

Ia yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang


dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya
sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak ada
metode berpikir yang pasti.

Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidak pastian merajalera ketika itu dalam
kalangan filsafat. Scholastic tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu
dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain.

Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Seakan- akan ia


membuang segala kepastian, karena ragu-ragu itu suatu cara berpikir. Ia ragu- ragu bukan
untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Adapun sumber kebenaran adalah
rasio. Hanya rasio sejarah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah
yang dapat memberi pemimpin dalam segala jalan pikiran. Adapun yang benar itu hanya
tindakan budi yang terang-benderang, yang disebutnya ideas claires et distinctes. Karena
rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, maka aliran ini disebut
Rasionalisme.

2. Spinoza (1632- 1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M. Nama aslinya adalah barulah Spinoza ia adalah
seorang keturunan Yahudi di Amsterdam. Ia lepas dari segala ikatan agama maupun
masyarakat, ia mencita- citakan suatu sistem berdasrkan rasionalisme untuk mencapai
kebahagiaan bagi manusia.menurut Spinoza aturan atau hukum ynag terdapat pada semua
hal itu tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Baik Spinoza maupun
lebih ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu, dua tokoh terakhir ini juga menjadikan
substansi sebagai tema pokok dalam metafisika, dan kedua juga mengikuti metode
Descantes.

3. Leibniz

Gottfried Eilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716
M. ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai
pemerintahan, pembantu pejabat tinggi Negara. Waktu mudanya ahli piker Jerman ini
mempelajari scholastik.

Ia kenal kemudian aliran- aliran filsafat modern dan mahir dalam ilmu. Ia menerima
substansi Spinoza akan tetapi tidak menerima paham serba Tuhannya (pantesme).
Menurut Leibniz substansi itu memang mencantumkan segala dasar kesanggupannya,
dari itu mengandung segala kesungguhan pula. Untuk menerangkan permacam- macam
didunia ini diterima oleh Leibniz yang disebutnya monaden. Monaden ini semacam
cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu dengan cara sendiri.

Referensi :

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40.html
Filsafat Ilmu Aliran Rasionalisme dan Empirisme

OPINI | 09 December 2012 | 10:31 Dibaca: 9951 Komentar: 0 0

RASIONALISME

Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah
tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18,
tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya
akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato,
Aristoteles, dan lainnya.

Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio
manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia.
Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari
pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.

Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain
adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi.
Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:

1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga
bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide
“sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat
tidak bisa melebihi penyebabnya.
3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu
dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran
yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar.
Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang
nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak
dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis
Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman.
Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama;
pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;
pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan
“kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi
dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari
rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan. Rasio itu
adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia
yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir
maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia
berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan,
dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.

Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses
pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam
berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung
sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja.
Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula
manusia itu kepada kesempunaan.

Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio
manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio
kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju
penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian
kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia
terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia
menuju penyempunaan dan kemajuan diri.

Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal


unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam
sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran
rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan
sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa
sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan
realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada abad ke-13 di Eropa sudah timbul sistem filsafat yang boleh disebut merupakan
keseluruhan. Sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dalam abab
ke-14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahuluan filsafat modern. Yang menjadi
dasar aliran baru ini ialah kesadaran atas yang individual yang kongkrit.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern,
dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran
pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme,
Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup,
Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.

Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Resionalisme (rene
Descartes, spiniza, Leibniz),

B. Rumusan Masalah

1. Apa arti rasionalisme ?


2. Siapa tokoh-tokoh rasionalisme ?
3. Bagaimana corak berfikir tokoh-tokoh filsafat ?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Arti rasionalisme

Rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengatahuan satu-


satunya yang benar adalah rasio (akal budi)

Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalh
alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. Jika
empiresme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh dengan alam mengalami
objek empiris, maka rasionalisme mengejarkan bahwa pengatahuan di peroleh
dengan cara berfikir alat dalam berfikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-
kaidah logika.

Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah
dirintis oleh para pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17.
Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian
yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang
besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal
segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami
dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada
perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap
kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan,
terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak
masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak
rasional.

Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang
lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan
terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk
suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang
luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal
dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme

2. Tokoh-Tokoh Rasionalisme

Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah:

1. Blaise Pascal
2. Cristian Wolf
3. Rene Descartes
4. Baruch Spinoza
5. G.W Leibnitz
3. Pemikiran Pokok Descartes, Spinoza, Dan Leibniz

Mereka adalah tokoh besar filsafat rasionalisme sebelum itu, pengertian


rasionalisme diuraikan lebih dahulu.

Rasionalisme ada dua macam dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat
rasionalisme adalah lawan otoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah
lawan empirisme

Sejarah rasionalisme sudah tau sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme


dalam filsafat. Pada zaman moderen filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah
Descartes yang dibicarakan setelah ini.

Setelah priodermi rasionalisme dikembangkan secara sempurna oleh liagu yang


kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah .

1. Deskartes ( 1596-1650)

Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. bukunya
di caurs deia methode ( 1537) dan meditations ( 1642) kedua buku ini
saling melengkapisatu sama lain. Didalam kedua buku inilah ia
menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode ini juga sering disebut
cogito Descartes, atau metode catigo saja.
Ia mengatahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokooh-tokoh gereja.
Bahwa dasar filsafat vharuslah rasio (akal) untuk meyakinkan orang
bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun orgumentasi yang sangat
terkenal.

Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan


(lebih dahulu segala sesuatu yang dapat diragukan. Didalam mimpi seolah
olah seorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis
seperti tidak mimpi (juga) begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi
dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga.
Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi.

Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan kejadian dengan roh halus
itu, bila dilihat dari posisi kita juga, itu tidak ada. Akan tetapi benda-benda
itu sunguh-sunguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi. Hausinasi.
Ilusi dan roh halus

2. Spinoza ( 1632-1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677
M. nama aslinya banich SPINOZA. Setelah ia mengucilkan dirinya dari
agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi benedictus de Spinoza ia
hidup dipinggiran kota dan baik Spinoza maupun leibniz ternyata
mengikuti pemikiran Descartes itu. Dua tokoh terakhir ini menjadi
substansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka
berdua juga mengikuti metode Descartes, tiga filosof ini, descartos,
spinozo dan leigniz, biasanya dikelompokkan dalam satu mazhab. Yaitu
rasionalisme.

Dalam gometri. Spinoza memulai dengan meletakkan defenisi- defenisi,


cobalah perhatikan beberapa contoh defenisi ini yang digunakan dalam
membuat kesimpulan-kesimpulan dalam metafisika defenisi ini diambil
dari Solomon : 73)

Beberapa defenisi

1. sesuatu yang sebabnya pada dirinya saya maksudkan esensinya


mengandung eksistensi, atau sesuatu yang hanya dipahami sebagai
adanya.
2. sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi oleh sesuatu yang
lain, misalnya tubuh kita terbatas, yang membatasinya ialah
besarnya tubuh kita itu.
3. substansi ialah sesuatu yang ada dalam dirinya, dipaham melalui
dirinya, konsep dapat dibentuk tentangnya bebas dari yang lain.
4. yang saya maksud dengan atribut (sifat)ialah apa yang dapat
dipahami sebagai melekat pada esensi substansi
5. yang saya maksud mede ialah perubahan-perubahan pada substansi
6. tuhan yang saya maksud ialah sesuatu yang terbatas secara
absolute (mutlak) sesutau saya sebut disebabkan oleh yang lain,
dan tindakan ditentu olehnya sendiri.
7. yang saya maksud dengan kekekalan (etermity) ialah sifat pada
aksistensi itu tadi

spinosa berpendapat bahwa apa saja yang benar-benar ada, maka adanya
itu haruslah abadi sama halnya dengan tatkala ia berbicara dalam
astronomi, defenisi selalu di ikuti oleh aksioma. Aksioma ialah jarak
terdekat antara dua titik ialah garis lurus. Cobalah lihat aksioma-aksioma
yang dipasangnya dalam metafisika berikut:

Aksioma-aksioma

8. segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau ada dalam sesuatu
yang lain.
9. sesuatu yang tidak dapat dipahami melalui sesuatu yang lain harus
di pahami melalui sesuatu yang lain harus di pahami melalui
dirinya sendiri
10. dari suatu sebab tentu di ikuti bila tidak ada sebab tidak mungkin
ada akibat yang mengikutinya
11. pengetahuan kita tentang akibat di tentukan oleh pengetahuan kita
tentang sebab
12. sesuatu yang tidak bisa di kenal umum yang tidaak akan dapat di
pahami konsep tentang sesuatu tidak melibatkan konsep tentang
yang lain.
13. ide yang benar harus sesuai dengan objeknya
14. bila sesuatu dapat di pahami sebagai tidak adanya maka esensinya
tidak ada.

Demikianlah kilasan tentang metafisika Spinoza. Ia juga berbicara tentang etika,


tetapi tidak kita bicarakan di sini. Kita hanya ingin melihat apa kira-kira
sumbangan Spinoza dalam kekalauan pemikiran pada zaman modern itu. Di sini
jelas smbngan adalah dalammetafisika.

Lleibniz (1646-1716)

Gotifried willheim von Leibniz lahir pada tahun 11646 dan meninggal pada tahun
1716 dan meninggal pada tahun 1718. ia filosofi jerman matamatikawan, menjadi
atasan, pembantu pejabat tinggi Negara. Pusat metafisikanya adalah ide tentang
substansi yang di kembangkan dalam konsep monad.
Metafisika leigniz sama memusatkanperhatian pada substansi. Bagi spinoz sama
memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza ,alam semesta ini mekanistis
dan keseluruhnya bergantung pada sebab, sementara substansi pada leignizadalah
tujuan. Penentuan prinsip filsafat (eiguiz ialah prinsip akan yang mencukupi, yang
secara sederhana dapat di rumuskan sesuatu harus mempunyai masalah bahkan
tuhan harus mempunyai masalah untuk setiap yang di ciptaan-nya. Kita lihat
bahwa prinsip ini menuntun filsafat leigniz.

Sementara sfinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz


berpendapat bahwa substansiitu monad, setiap monad berbeda satu dengan yang
lain dan tuhan (sesuatu yang super monad dan satu-satunya monad yang tidak di
cipta)adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya leigniz tentang ini di beri
judul menadologis (studi tentang monad / yang di seterusnya 1714. ini adalah
serusnya).

1. monad yang kita bicarakan di sini , adalah substansi yang sederhana, yang
selanjutnya menyusun substansi yang sederhana,yang selanjutnya menyusun
substansi yang lebih besar.
2. harus ada substansi yang sederhana karena ada susunan itu, karena susunan
tidak lain darisuatu koleksisubstansi sederhana.

Satu substansi sederhana ialah : substansi yang kecil yang tidak dapat di bagi.
Adapun substansi yang berupa susunan (Compositas)jenis dapat di bagi. Akan
tetapi, ada kesulitan di sini. Bila simple sub stance (monad) itu terletak dalam
ruang, maka akibatnya ia mesti dapat di bagi. Oleh karena itu,Leibniz
menyatakan bahwa semua monad itu haruslah material dan tidak mempunyai
ukuran,tidak dapat di bagi

3. sekarang, apa pun yang tidak mempunyai bagian – bagian terlentulah tidak
dapat di bagi monad itu adalah atau yang sebenarnya pada sifatnya dan
kenyataannya adalah unsure segala sesuatu.
4. kerusakan, karena itu, tidakkan menjadi pada substansi itunya, karena tidak
dapat di bagi karena immaterial itu.
5. Dengan cara yang sama tidak ada jalan untuk memahami simple substansiitu
di cipta (come into exintence) karena monad itu tidak dapat di bentuk dengan
menyusun .
6. Kita hanya dapat menatakan sekarang bahwa peniadaan, yang tersusun
mempunyai permulaan dan berakhir melalui peniadaan. Yang terusan
mempunyai permulaan dan berakhir secara berangsur
7. monad tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya tidak akan pernah ada.
8. Setiap monad harus di keadaan satu dengan lainnya karena tidak pernah ada
isi alam yang sama sekalipun kita tidak dapat mengetahui perbedaan itu.
9. tidak ada jalan masuk menjelaskan bagaimana monad-monad itu dapat
perubahan dalam dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya karena tidak ada
kemungkinan suatu yang masuk ke dalamnya.
Aniat surat mengatakan mana yang benar sepertinya sama-sama
benarnya.Akhirnya orang bergantung pada argument yang di anggapnya berat ada
juga yang bingung sama sekali, argument-argument filsafat itu tidak dipahaminya
sehingga surat untuk memiliki penam mana-mana yang akan di ambilnya. Murah
di tebak situasi ini akan melahirkan keraguan yang merata.Buat kita, situasi itu,
bila di pandang secara umum, adalah situasi rehativisma kebenaran.Orang
menyebutkannya secara keseluruhan filsafat modern itu skeptisme :saya
menyebutnya sofisme.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari apa yang telah kami uraikan diatas maka kami dapat menyimpulkan sebagai
beriku:

1. Rasionalisme adalah paham yang mengangap bahwa pikiran dan akal


merupakan dasar satu-satunya untuk memecahkan kebenaran lepas dari
jangkauan indra
2. descartes, spinoza dan Leibniz mereka adalah tokoh besar dalam filsafat
rasionalisme.
3. Pokok pemikiran s
4. Resionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang
filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas. Dalam
bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.

1. Saran

penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih belum
sempurna. Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, untuk kesempurnaan makalah ini, dengan meningkatkan wawasan
dan pengetahuan kita tentang filsafat umum khususnya rasionalisme (descarte,
spinoza dan Leibniz).

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Syadali Ahmad M.A 2004 filsafat umum. Bandung, pustaka setia

Frof. Dr. Tafsir Ahmad


2007 Filsafat Umum, bandung PT. Remaja Rasda Karya

.M. zulpajri kms lengkap BI aneka ilmu cet.2008 696.

BAB II : RASIONALISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM

2. Filsafat Rasional dalam Islam (Rasionalisme dalam Filsafat Islam)


Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal
pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami
ajaran agamanya. Pendekatan filosofis yang cocok dalam mempergunakan akal pikiran
adalah pendekatan rasional.
Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai
ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan falsafat
Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung pada abad ke IV
sebelum Kristen.[8] ) Dan filsafat ini mulai ber-kembang dengan pesat pada masa
Khalifah al-Ma’mun (813- 833 M), putra Harun al-Rasyid.
Dalam sejarah filsafat Islam terdapat perkembangan tentang istilah rasionalisme.
Rasionalisme Islam adalah suatu fenomena penggunaan akal sebagai sumber
pengetahuan. Dalam filsafat Barat rasionalisme adalah aliran secara independen berdiri
sebagai tesa terdahap perkembangan filsafat. Akan tetapi dalam filsafat Islam.
Rasionalisme dipahami semata-mata dari sudut penggunaan akal dalam epistemologi.
[9] )
Aliran-aliran dalam Islam banyak yang menentang falsafat Yunani. Lain halnya
dengan kaum Mu’tazilah yang lebih tertarik kepada falsafat Yunani. Para pemuda kaum
Mu’tazilah banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat
dalam pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’tazilah segera pula muncul
filosof-filosof Islam yang terkenal.

Sebagaimana filsafat Barat, dalam tradisi filsafat Islam terdapat fenomena


perkembangan pemikiran. Setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan yang biasa
disebut-sebut. Pertama, pengetahuan rasional (Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, hingga
Ibnu Rusyd dan lain-lain). Kedua, pengetahuan inderawi (terbatas kepada klasifikasi
sumber perolehan, sumber pengetahuan), tetapi bahwa ada filosof muslim yang
mengembangkan teori ini sebagaimana empirisme di Barat. Dan yang ketiga, adalah
pengetahuan Kasyf yang diperoleh lewat ilham. [10] )
Pertama, yang membicarakan akal secara sistematis adalah filosof al-Farabi,
yang terkenal sebagai penterjemah sekaligus sebagai komentator ulung terhadap filsafat
Yunani. Setelah melakukan penerangan yang mendalam, al-Farabi berusaha
menghubungka filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Mengenai filsafat ia berkeyakina
bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan dan untuk ini ia menulis sebuah
risalah tentang persaaan antara Plato dan Aristoteles.
Dalam filsafat rasional, akal menurut al-Farabi mempunyai tiga tingkatan, al-
haylani (potensial) bi al-fi’l (aktual) dan al-Mustafad (adeptus, aquired). Sedang dalam
falsafat emanasi, Harun Nasution menerangkan bahwa al-Farabi mencoba men-jelaskan
bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak
berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat
apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang
banyak ini dari yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi.
[11] )

Tuhan sebagai akal, berfikir tentang dirinya (Zatnya), dan dari pemikiran ini
timbul suatu maujud lain, maka keluarlah akal pertama, akal kedua, akal ketiga hingga
akal kesepuluh. Semua berhubungan dengan pemikiran tentang Tuhan. Akal yang me-
mancar dari Tuhan membawa alam-alam materi berupa benda-benda langit (planet-
planet) dan kesepuluh mewujudkan bumi dan materi yang pertama menjadi dasar alam.
Akal kesepuluh ini dalam konsep al-Farabi juga disebut akal fa’al (akal aktif) atau
wahidusuwar (pemberi bentuk dalam tempatnya jibriel). Akal inilah yang merupakan
sebab-sebab adanya jiwa di bumi. [12] ) Dan di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala
yang ada semenjak azal. Bahkan Harun Nasution menyatakan bahwa :
“Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan
matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari, akal manusia dapat
menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal aktif.” [13] )
Al-Farabi selanjutnya menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tentang
sesuatu melalui daya-daya yang ada dalam jiwa. Daya-daya itu adalah daya berfikir, daya
mengkhayal, dan daya mengindra. Secara spesifik bagi al-Farabi yang terpenting dari
daya-daya tersebut adalah daya berfikir, daya ini menduduki tempat paling tinggi,
sekaligus berperan sebagai pemimpin dalam proses mengetahui. Daya berfikir sendiri
dibagi menjadi tiga: akal potensial, akal aktual dan akan mustafad.
Ibnu Sina sebagai murid al-Farabi tampil lebih jelas dan terang dalam soal pengetahuan
manusia. Dalam analisis simbolis mengenai surat an-Nur :
“Di antara kemampuan-kemampuan intelektual menyangkut kebutuhan untuk
mentransendensi substansinya dari akal potensial ke akal aktual adalah sebagai
kemampuan reseptivitas karena hal-hal yang bisa terpahami sebagai akal material, ini
adalah cahaya-cahaya. Selanjutnya kemampuan akal ketika wujud-wujud terpahami
primer muncul di dalamnya. Munculnya wujud-wujud primer ini merupakan landasan
yang di atasnya wujud-wujudnya skunder bisa didapatkan. Proses perolehan ini melalui
kontemplasi yang disebut pohon Zaitun, jika pikiran tidak cukup tajam, atau dengan
dugaan disebut dalam bahan bakar (minyak dari pohon zaitun), jika pemikiran-pemikiran
benar-benar cerdik, bagaimanapun yang disebut akal kabitual sama tranparannya dengan
kaca illahi, seolah minyaknya menyala sendiri tanpa disentuh api.” [14] )

Kemudian datang kepada akal itu suatu kekuatan dan kesem-purnaan. Kesempurnaan ini
sangat penting bagi kemampuan untuk menyerap hal-hal yang terpahami dalam suatu
aksi sehingga pikiran dapat menyerap selama tergambar dalam pikiran. Inilah cahaya di
atas cahaya. Kemanapun tanpa perlu melakukan penyidikan, ia mampu menyerap wujud-
wujud terpahami yang sebelumnya telah diperoleh dan yang seolah terlupakan sekarang
terpersepsi, inilah kemampuan pikiran sebagaimana lampu dinyalakan.
Agama yang menyebabkan pikiran beranjak (sebagaimana nyala api) dari akal
material ke aksi yang tuntas adalah akal aktif, ini adalah api. Ibnu Sina berusaha
membebaskan pikiran dari segala aktivitas dan menisbatkan semua operasi intelektual
kepada akal aktif yang terpisah tersebut, dengan menyebutkan akal terpisah itu sebagai
api.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd akal aktif atau agent intelect adalah penyebab
segala sesuatu yang dapat dipahamkan dengan terang, yang paling berbahaya bagi
manusia (intellectnya) adalah apa yang diperolehnya yaitu kemampuan untuk
mengetahui. Adalah perlu bagi intelect material mengetahui intellect yang terpisah, oleh
karena itu mengetahui secara potensial dan potensialitas seperti itu harus berada dalam
alam semestinya. [15] )
Kerja akal bagi Ibnu Rusyd adalah menyerap gagasan konsep yang bersifat
universal dan yang hakiki. Akal memiliki tiga kerja dasar; mengabstraksi,
mengkombinasikan, dan menilai. Kalau kita menyerap suatu gagasan yang bersifat
universal, kita mengabstraksinya dari materi, sebagaimana titik dan garis. Tetapi akal
tidak hanya mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, juga
mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dinyatakan secara aksiologis benar
atau salah.[16] ) Kerja yang pertama disebut sebagai proses pencerahan (intelligere) yang
kedua disebut sebagai pembenaran (credulitas).
Jadi bagi Ibnu Rusyd kerangka secara keseluruhan kerja akal adalah sebagai
berikut :
1. Manusia mendapatkan di dalam akal satu gagasan atau maksud tunggal sebagai proses
abstraksi.
2. Mengkombinasikan dua pengertian atau lebih untuk mendapatkan konsep seperti konsep
manusia yang terdiri atas hewanial dan rasionalitas, genus dan defferentis dan ini
membentuk essensi sesuatu. Dengan demikian tinggal membentuk definisi.
3. Karena konsep tidak benar atau tidak salah, bila dibenarkan atau disangkal dalam suatu
proposisi maka manusia mempunyai penilaian. [17] )
Datanglah filosof berikutnya yang berbicara tentang akal secara lebih menarik.
Ibnu Khaldun mencoba menerangkan proses kerja akal dengan berfikir. Berfikir dalam
pandangannya adalah proses penerjmahan bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi
akal untuk membuat analisa dan sintesis. Kesanggupan manusia terhadap segala sesuatu
yang ada di luar alam semesta. Dengan tatanan yang berubah-ubah dengan maksud
supaya ia mengadakan seleksi kemampuan diri. Bentuk pemikiran semacaram itu
kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah yang disebut akal pembeda yang membantu
manusia dengan idea-idea dan perilaku yang dibutuhkan dalam pengenalan. Kedua, ialah
kemampuan akal manusia untuk memikirkan melakukan apresiasi-apresiasi terhadap
pengalaman manusia yang dicapai satu persatu sehingga dapat menjadikan manfaat
baginya. Inilah yang disebut sebagai akal eksperimental. Ketiga, pengetahuan manusia
yang dilengkapi dengan pengetahuan hipotesis mengenai sesuatu yang me-nyertainya.
Inilah akal spekulatif yang merupakan persepsi dan apersepsi tasawuf dan tasdiq, yang
tersusun dalam tatanan khusus, sehingga membentuk pengalaman lain yang berkembang
mencapai pengetahuan intelektual murni sebagai tingkat yang sempurna dalam
realitasnya. [18] )
Adapun dalam kemampuan akal, Ibnu Khaldun mengatakan sebagai berikut :
“Akal adalah timbangan emas, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya, tetapi
mempergunakan akal untuk menimbang tentang ke-Esa-an Allah, atau hidup di akhirat
atau hakikat sifat-sifat Tuhan di luar jangkauan akal maka sama saja dengan menimbang
gunung, tetapi tidak berarti timbangan itu tidak dapat dipercaya.” [19] )

Pendapat tersebut adalah suatu apresiasi terhadap penggunaan akal secara proporsional.
Karena dalam al-Qur’an sendiri ter-dapat ayat yang terang dan sembunyi sebagai refleksi
pemikiran manusia.
Dalam tradisi pemikiran Islam atau filsafat Islam sendiri terdapat kecenderungan
menggunakan rasio sebagaimana filosuf al-Farabi hingga Ibnu Rusyd, hal tersebut
sebagai penganut filsafat Yunani dengan teori-teori akalnya dan pengetahuan yang
bersifat rasional. Dan pemikiran-pemikiran para filosuf Islam ini adalah sebagai bukti
perkembangan dari kemajuan para filosuf muslim terhadap filsafat rasional dalam Islam
yang sering kita sebut “Filsafat Islam”.

C. Pengetahuan Rasional dalam Pendidikan Islam


Sebelum membicarakan pengetahuan rasional maka penulis mengemukakan
pendapat Harun Nasution tentang epistemologi. Epistemologi sebagai filsafat
pengetahuan menurut Harun Nasution adalah ilmu yang membahas apa itu pengetahuan,
bagaimana memperoleh pengetahuan. [53] )
Sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah keadaan mental (mental state).
Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain,
akal.[54] ) Pengetahuan itu akan menjadi problem atau masalah apabila dikaitkan dalam
permasalahan agama. Karena berkaitan dengan keimanan atau kepercayaan. Oleh karena
itu, Harun Nasution membagi pengetahuan umum dan pengetahuan agama.
Dengan perbandingan yang jelas bahwa akal bekerja dalam lapangan apapun,
tetapi dalam agama, akal adalah di bawah wahyu, walaupun demikian akal sangat
membantu dalam penafsiran wahyu, pembaktian wahyu dan argumen-argumen
kepercayaan dalam agama. Pengertian pengetahuan ilmiah (umum) adalah pengetahuan
yang didapat dari pengalaman, kerja akal atau observasi, dan eksperimen yang
merupakan satu kesatuan sehingga menghasilkan kesimpulan memadai. Sedangkan
pengetahuan agama dalah suatu apresiasi teks agama, dalam arti agama yang dimiliki
merupakan ajaran yang harus dibuktikan secara rasional sebagaimana Nabi Muhammad
saw yang membawa al-Qur’an harus dibuktikan secara historis. Agama juga memerlukan
argumen-argumen rasional dalam memperoleh pengetahuan keagamaan. Disamping
pengetahuan agama juga memerlukan pembuktian secara pribadi nyata atau
eksperimental terutama tentang pembuktian adanya Tuhan. Pengalaman tersebut bukan
hanya dialami oleh satu, dua orang akan tetapi terbukti secara umum. [55] )
Pengetahuan rasional berpijak pada kemurnian dari pemikiran yang bersumber
dari rasio atau akal. Dalam pendidikan, biasanya ditanamkan pola pikir yang bersifat
logis, dengan harapan anak didik dapat berfikir sesuai dengan kadar atau kemampuan
akal dalam mengajukan suatu persoalan dan berusaha memenuhi solusi yang dapat
diterima oleh akal.
Menanamkan pengetahuan rasional dalam dunia pendidikan adalah salah satu
cara menumbuhkan pola pikir pada diri anak didik ke dalam dunia keintelektualan,
tentunya tanpa ada unsur paksaan. Karena intelegensi (kecerdasan) anak didik akan
muncul sendiri tanpa disadar oleh seorang pendidik. Ini merupakan daya respon anak
didik ketika menerima materi pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Mencerdaskan akal merupakan hasil penanaman pengetahuan rasional dalam
pendidikan. Dalam pendidikan Islam, mencerdaskan akal merupakan pengarahan
intelegensi untuk menemukan kebenaran dan ini merupakan bagian dari tujuan
pendidikan akal (ahdaf al-aqliyah) dalam pendidikan Islam. [56] )
Hal ini sejalan dengan seruan Islam melalui al-Qur’an dan as-Sunnah kepada
manusia untuk mempergunakan akal dan perintah untuk berfikir. Abdurrahman al-
Baghdadi menulis “tujuan pendidikan Islam adalah mencerdasakan akal dan membentuk
jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim sejati yang berbekal
pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.” [57] )
Jadi aspek akal menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan Islam dan
pembentukan jiwa yang islami merupakan interpretasi pengetahuan rasional dalam sistem
pendidikan Islam.

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedia Nasional Indonesia,


PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1994, hlm, 102
2 Zainal Abidin, Filsafat Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 37
3 Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, PT. Gramedia, Jakarta, 1983,
hlm.124
4 Frans Magnis Suseno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta,
1980, hlm. 18
5 Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1990,
hlm. 112
6 Ibid.
[1] )QS. AlMaidah [5]: 44. “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa
yang telah ditentukan Allah, adalah kafir.”
[2] )Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perkembangan, op. cit., hlm. 7.
[3] )Murtad atau apostate diartikan sebagai orang yang keluar dari agama yang
dianutnya, artinya orang tersebut menyatakan diri bukan sebagai orang yang beragama
yang pernah dianutnya dengan tegas, yaitu keluar dari Islam. Harun Nasution, Islam
Rasional, op. cit., hlm. 127.
[4] )H.M. Joesoef Sou’yb, Mu’tazilah Peranannya dalam Perkembangan Alam
Pikiran Islam, Al-Husna Zikra, Jakarta, 1982, hlm. 188-189.
[5] ) Teori-teori pemberian nama Mu’tazilah dikutip dari kitab Al-Farq bain
al-firaq (Abu Mansur al-Baghdadi), dan kotan Fi Ilm al-Kalam (Ahmad Mahmud
Subhi), Harun Nasution, Teologi Islam, Ibid., hlm. 38-39.
[6] ) Harun Nasution, Islam Rasional, op. cit., hlm. 177.
[7] )Prof. DR. Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam, Logos, Jakarta, 1996, hlm. 156.
[8] )Epistemologi Islam merupakan suatu pendekatan dalam memahami suatu
asal-usul atau dasar dalam sebuah teologi yang ada pada agama Islam.
[9] )Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,
UI Press, Jakarta, Cet. Vi, 1986, hlm. 46.
[10] )Fatimah, Ed., Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologi, Aksiologi,
Historis, Perspektif, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hlm. 35-36.
[11] )Prof. DR. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1998, hlm. 21.
[12] )Ahmad Dandy, Kuliah Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, cet.
II, hlm. 39.
[13] )Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Ibid., hlm. 24.
[14] )Mahdi Hariri Yazdi, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemologi Filsafat
Islam, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 35.
[15] )Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1989,
hlm. 159.
[16] )M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 216.
[17] )M.M. Syarif, Ibid., hlm. 216.
[18] )Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Terjemah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996,
hlm. 522-523.
[19] )Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, Tinta Mas, Jakarta, 1996,
hlm. 49.
[20] )W.J.S. Poerwadarminta, Ibid., hlm. 250.
[21] )Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Trigenda Karya, Bandung,
1993, hlm. 127.
[22] )Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam,
(Terj) Herry Noan Ali, Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 37.
[23] ) Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media,
Yogyakarta, 1992, hlm. 14-15.
[24] )Georger F. Kuellen, Logic adan Language of Education, John Wiley &
Group Inc., New York, 1996, hlm.
[25] )Syekh Mustafa al-Ghulayani, Idhatun Nasyi’in, Al-Maktabah al-
Miskriyah, Beirut, 1949, hlm. 189.
[26] )Drs. Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,
Kalam Mulia, Jakarya, 1986, hlm. 4.
[27] )Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut, Darul Fikr, Juz I, hlm.
30.
[28] )Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruhul Tarbiyah wa Ta’lim, Saudi
Arabiah, Darul Ahya’ K., hlm. 7.
[29] )Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs. Abdul Mujib, Ibid., hlm. 132.
[30] )Syekh Muhammad an-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam,
Mizan, Bandung, III/1998, hlm. 68.
[31] )Ibid.
[32] )Husain Bahreisi, Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Ghazali, Al-Ikhlas,
Surabaya, 1981, hlm. 74.
[33] )Ar-Riyadhah dalam konteks pendidikan Islam adalah mendidik jiwa anak
dengan akhlak mulia. Pengertian ar-riyadhah dalam konteks pendidikan Islam tidak dapat
disamakan dengan pengertian ar-riyadhah dalam pandangan ahli sufi dan ahli olah raga.
Ahli sufi menta’rifkan ar-riyadhah dengan menyendiri pada hari-hari tertentu untuk
beribadah dan bertafakur mengenai hak-hak dan kewajiban orang mukmin. Istilah ini
sering dipakai oleh orang sufi, tetapi ahli olah raga mendefinisikan ar-riyadhah dengan
aktivitas-aktivitas tubuh untuk menguatkan jasasnya.
[34] )H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara,
Jakarta, 1991, Ed. II, hlm. 3,4.
[35] )Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan
Islam, Terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 396.
[36] )Muhammad Fadlil l-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, Bina
Ilmu, Surabaya, 1986, hlm. 3.
[37] )Drs. Muhaimin, M.A., dan Drs., Abdul Mujib, op. cit., hlm. 145.
)
[38] æóÚóáøóãó (mengajar) diartikan sebagai suatu proses pendidikan Islam
yaitu pengetahuan alam (ciptaan Allah) yang disampaikan kepada Jabi Adam as dengan
mengenal nama-nama (buah-buahan ciptaan Allah), Departemen Agama Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, 1993, hlm. 14.
[39] )Ibid., hlm. 654.
[40] )Prof. T.M. Hasbi Ash-Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan
Bintang, Jakarta, 1953, hlm. 9.
[41] )Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, III/1991, hlm. 115.
[42] )Abdul Mujib H, Al-Qawaidl fiqhiyah (Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih), Nur
Cahaya, Yogyakarta, 1980, hlm. 41.
[43] )Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta, 1900,
hlm. 124.
[44] )Al-marhum Muhammad al-Hasyimi, Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyah,
Salim Nabhan, Surabaya, hlm. 13.
[45] )Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka al-Husna,
Jakarta, II/1988, hlm. 6, 7, 12.
[46] )Drs. Muhaimin, M.A., Konsep Pendidikan Islam, Sebuah telaah
Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo, 1991, hlm. 26.
[47] )Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ibid., hlm. 862.
)
[48] Abdurrahman an-Nabhani, Ibid., hlm. 162.
[49] )Fathimah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, Ali
Rahman Fathurrahman Msy, Syamsuddin Asyraf, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 24.
[50] )Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta,
1986, hlm. 61.
[51] )Abdurrahman Salwh Abdullah, Educational Theory Qur’anic Outlook,
Umm al-Qaru University, Mekah, 1982, hlm. 119-126.
[52] )Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ibid., hlm. 7.
[53] )Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 7.
[54] )Ibid.
[55] )Ibid., hlm. 12.
[56] ) Lihat footnote no. 52.
[57] ) Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam,
Al-Izah, Banjil, 1996., hlm. 30.

ISLAM DAN RASIONALISME

Dr. Yusuf Al Qordhowi

(disalin dari buku "Liqaat wa Muhawarat haula Qadhaya al Islam wa al 'Ashr", edisi Indonesia "Masalah-
Masalah Islam Kontemporer", Penerbit Najah Press, tahun 1994)
Di antara masalah-masalah yang sering diperdebatkan ialah hubungan Islam dengan akal,
sehingga muncul aliran pemikiran yang mengangkat panji rasionalisme, membelanya dan
menjadikan akal sebagai hakim yang tidak bisa dibantah. Pembawa panji ini lalu
berpecah menjadi dua kelompok pada agama-agama umumnya dan pada Islam
khususnya.

Kelompok Pertama : Menolak sama sekali agama dan menuduh pemikiran agamis
sebagai pemikiran dermagogi yang menyampingkan akal dan berdiri di atas khurafat.

Kelompok Kedua : Bergaul dengan agama, tetapi dengan ketetapan bahwa akal adalah
hukum yang menentukan dalam perkara-perkara agama, dan jika ada kontradiksi di
antara nash dengan akal, maka nash tersebut harus ditundukkan kepada akal, meskipun
nash tersebut qat'i dilalah wa tsubut pasti petunjuk dan wujudnya.

Ketika membuka lembaran agama mingguan ini, kita harus meletakkan masalah ini pada
pendahuluan masalah pemikiran Islam yang insya Allah akan kita bahas.

Kita mempunyai beberapa pertanyaan sekitar rasionalisme yang akan kita ajukan kepada
tetamu kita.

Kita menanyakan kepada mereka tentang hubungan Islam dengan akal rasionalisme.
Dengan alasan apakah kita mengesahkan sikap para pembela rasionalisme terhadap
agama. Juga tentang bidang yang tidak boleh dilampaui oleh akal supaya tidak hancur,
dan bagaimana mengkombinasikan kecenderungan akal dan hikmat syara'.

Masalah-masalah di atas telah kita paparkan kepada Dr. Yusuf Qardhawi yang bersedia
menerangkan beberapa dimensinya dan menjelaskan segala aspeknya, beliau berkata :
Kata-kata ini tidak boleh dibiarkan melekat, hanyut dan beredar tanpa kepastian arti,
dipergunakan oleh tiap-tiap kelompok untuk memperkuat pandangan, pendirian dan
falsafahnya dalam kehidupan masing-masing, maka di sini harus ditetapkan maksudnya.

Akal dan pecahan katanya adalah suatu kata yang disukai oleh manusia, tetapi terkadang
sebagian orang memberikan penafsiran yang tak dapat diterima.

Lalu ap akah maksud 'aqlaniyah (rasionalisme) ?

'Aqlaniyah adalah mashdar shina'i dalam bahasa Arab yang ditambahkan padanya alif
dan nun seperti 'Alamaniyah. Ia adalah pecahan dari kata 'aqlun. Kita kaum Muslim
sangat memuliakan akal dan segala cabangnya serta apa yang bersumber kepada akal itu,
jika akal dipergunakan pada bidangnya dan dengan ketentuan serta batasnya.

DUA PERKARA PENTING

Bahkan para ulama peneliti kita mengatakan, bahwa akal itu bagi kita adalah asas naql
(nash). Artinya bahwa kita mendirikan nash itu atas dasar akal, karena akal-lah yang
menetapkan bagi kita dua perkara terpenting dalam agama.

Perkara Pertama : Masalah wujud Ta'ala. Masalah ini tidak mungkin dibuktikan dengan
wahyu naql. Jika ada materialis atau komunis yang menentang wujud Allah, saya tidak
akan mengatakan: "Allah berfirman demikian dan Rasulullah bersabda demikian", karena
ia tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana saya berhujjah kepadanya
dengan sabda Rasulullah sedang ia tidak percaya kepada Yang mengutus itu sendiri.
Maka saya harus membahas masalah ini bersamanya dari akar-akarnya dengan
pembahasan yang rasional, maka saya harus mengajukan bukti atas wujudnya Allah
dengan akal. Hal ini justru ditegaskan oleh Al-Qur'an sendiri, karena Al-Qur'an
menyebutkan bukti-bukti akal semata-mata atas kewujudan Allah Ta'ala dalam debatnya
dengan kaum musyrikin dan orang-orang yang ingkar, seperti firman Allah Ta'ala :
"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri) ? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu ? Sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)" (QS. Ath-Thur:35-36)

Dr. Yusuf Qardhawi menambahkan :

"Dengan demikian penetapan wujud Ilahi adalah masalah akal … benar ia merupakan
masalah fitrah juga … jadi ia adalah instink fitrah dan urgensi akal … kita tidak bisa
menafsirkan alam dan isinya, seperti kehidupan dan penciptaan serta keteraturan, jika kita
tidak berpendapat bahwa terdapat wujud Tuhan Maha Pencipta dan pengatur di belakang
makhluk-makhluk ini. Hukum sebab-musabab adalah hukum fitrah yang membuat kita
berpendapat bahwa di balik penciptaan ada penciptanya, di balik keteraturan ada yang
mengatur dan di balik gerakan ada yang menggerakkan, sebagaimana diungkapkan oleh
orang Arab Badui ketika berkata : "Kotoran unta menunjukkan unta dan jejak kaki
menunjukkan orang berjalan. Bagaimana dengan langit yang menjulang tinggi, bumi
yang dalam dan laut yang berombak, tidakkah ini menunjukkkan Yang Maha Tinggi lagi
Maha Berkuasa?". Oleh karen itu kita mengatakan bahwa wujud Allah Ta'ala dalilnya
adalah akal.

Perkara Kedua : Menetapkan Kenabian.

Kemudian ada masalah lain, setelah kita menetapkan bahwa ada Tuhan yang mempunyai
sifat-sifat sempurna. Tuhan yang Maha Agung lagi Tinggi ini dengan sebab hikmah dan
rahmat-Nya tidak membiarkan makhluk-Nya kebingungan dan tidak meninggalkan
mereka terlantar serta tidak menciptakan mereka sia-sia, tetapi Dia mengutus kepada
mereka Rasul-Rasul-Nya sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan
supaya manusia tidak lagi berhujjah kepada Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul tersebut.
Lalu bagaimana menetapkan kemungkinan wahyu, terjadinya wahyu, wujudnya Rasul-
Rasul dan bahwa si Fulan adalah seorang Rasul yang diutus oleh Allah Ta'ala … ini
adalah masalah akal, karena tidak bisa menetapkan wahyu dengan wahyu itu sendiri,
karena hal ini akan terus berputar dan menjadikannya batil. Jadi, kita harus menegakkan
bukti adanya wahyu dengan akal. Demikian pula adanya kenabian, risalah dari seorang
Rasul tertentu. Bagaimana menetapkannya ? Bagaimana menetapkan kenabian
Muhammad saw ? Kita menetapkannya dengan akal.

Allah menampakkan tanda-tanda dan bukti-bukti yang memastikan bahwa Dia tidak
berbicara dengan diri-Nya sendiri dan tidak mencerminkan irodah-Nya tetapi
mencerminkan irodah Ilahiyah … itulah mukjizat.
Oleh karena itu para ulama kita berkata: "Petunjuk mukjizat atas kebenaran Rasul adalah
petunjuk akal. Petunjuk Al-Qur'an atas kebenaran Muhammad saw adalah petunjuk akal."

Dengan demikian dua masalah pokok; yaitu masalah wujud Allah dan masalah penetapan
kenabian adalah dua masalah akal. Oleh karena itu para ulama berkata "Akal adalah dasar
naql".

Pada minggu yang akan datang insya Allah kita akan sambung semua pembicaraan kita
dengan Dr. Yusuf Qardhawi.

AL-QUR'AN MEMULIAKAN AKAL

Dr. Yusuf Qardhawi melanjutkan :

"Jadi kita, kaum Muslimin tidak takut kepada akal, bahkan sebaliknyakita menyambut
akal, dan di dunia ini tidak ada kitab suci yang memuji dan memuliakan akal
sebagaimana Al-Qur'an Al-Karim.

Tidak ada kitab suci yang memuliakan para cendekiawan sebagaimana Al-Qur'an. Di
dalam Al-Qur'an ada 16 ayat yang membicarakan tentang para cendekiawan. Ada hadits-
hadits mengenai para ilmuwan yang mencegah kemunkaran. Kata-kata 'aqola - ya'qilu -
ya'qiluun banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, kemudian pembicaraan mengenai hujjah,
penguasa dan bukti-bukti, juga banyak terdapat di dalam al-Qur'an. Al-Qur'an banyak
memuat hal-hal semacam ini. Al-Qur'an lah kitab yang mengatakan kepada manusia :
"Katakanlah : Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang
benar" (QS Al-Baqarah:111)

Ayat ini menunjukkkan bahwa sembarang masalah tidak akan dapat diterima melainkan
dengan bukti. Oleh karena itu kita mendapati al-Qur'an mengembangkan rasionalisme
ilmiah dan memerangi rasionalisme khurafat yang membenarkan sembarang dakwaan.
Rasionalisme ilmiah menolak kejumudan terhadap apa saja yang dilakukan oleh nenek
moyang, yaitu rasionalisme taqlid sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan


sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (QS Az-Zukhruf:23).

Rasionalisme taqlid ini ditolak oleh Al-Qur'an, baik taqlid kepada nenek moyang atau
taqlid kepada para pembesar dan penguasa sebagaimana firman Allah.

"Sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami


lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) (QS Al-Ahzab:67).

Islam juga menolak taqlid kepada orang awam. Rasulullah saw bersabda :

"Janganlah salah seorang dari kamu menjadi orang yang imma'ah (mem-beo, tidak punya
pendirian) dan berkata: Aku bersama orang-orang, jika mereka baik maka aku pun baik
dan jika mereka jahat maka aku pun ikut jahat"
Islam menghendaki agar seseorang berpikir dan mempergunakan akalnya, bukan
mempergunakan akal orang lain … Hendaknya ia berpikir bersama kawannya atau
berpikir sendiri … memikirkan secara mendalam terhadap apa yang dinamakan
"pengaruh akal kelompok". Inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an dalam firman-Nya :

"Katakanlah: Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu
supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlash) berdua-dua atau sendiri-sendiri,
kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad). Tidak ada penyakit gila sedikitpun pada
kawanmu itu" (QS Saba:46)

Yakni satu perkata saja ; hendaknya kamu menghadap Allah dengan ikhlash dalam
mencari kebenaran … berdua-dua dengan orang lain … atau sendiri-sendiri … kemduian
berpikirlah tentang masalah kenabian Muhammad saw. … tidak ada penyakit gila pada
kawanmu itu. Tidak mungkin orang yang mempunyai akhlak yang sangat mulia ini gila.

Berpikirlah, sesungguhnya Islam mengajak berpikir itu sebagai suatu ibadah.

Di dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbunyi :

"Tidakkah kamu berpikir ?" (QS Al-An'am:5)


"Bagi orang-orang yang berpikir" (QS Yunus:24)

Dan ayat-ayat lain yang semacamnya. Banyak seruan untuk berpikir … untuk melihat
kerajaan langit dan bumi serta segala ciptaan Allah.

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah" (QS Al-A'raf:185)

"Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi" (QS Yunus:101)

Proses memperhatikan dan berpikir … seruan untuk memperhatikan dan berpikir …


pengumuman perang terhadap taqlid dengan segala bentuknya, dan jumud dengan segala
macamnya, serta ajakan untuk menegakkan bukti … semuanya itu adalah masalah-
masalah yang berkaitan dengan panca indera. Allah berfirman :

"Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat?" (QS Az-Zukhruf:19).

Maksudnya, sesuatu yang tidak Anda saksikan, tidak akan bisa Nada tentukan hukumnya.
Dan masalah-masalah akal harus ada bukti-bukti akal, sedang masalah-masalah naqliyah
dan sejarah harus ada bukti-bukti naqli.
"Bawalah kepada-Ku Kitab sebelum (al-Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan
(orang-orang dahulu), jika kamu adalah oran-orang yang benar. (QS al-Ahaf : 4).

Inilah rasionalisme ilmiah …… rasionalisme yang menolak prasangka pada tempat


kepastian".

KEYAKINAN, BUKAN PRASANGKA

Dr. Yusuf Qardhawi melanjutkan pembicaraannya. Beliau berkata : " Dalam hal
penanaman aqidah dan nilai-nilai luhur, harus dengan keyakinan bukan dengan
prasangka, oleh karena itu kita mendapat al-Qur'an menghinakan kaum Musyrikin
sebagai berikut :

"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran" (QS Yunus : 36).

Dan menghinakan orang-orang Kristen dalam aqidah mereka sekitar Isa al_masih dan
penyalibannya sebagai berikut :

"Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka" (QS an-Nisa : 157).

Persangkaan itu tidak sedikit pun berguba untuk mencapai kebenaran. Al-Quran juga
menolak mengikuti persangkaan pada tmpat yang seharusnya mengikuti keyakinan,
karena ini berarti mengikuti hawa nafsu dan perasaan. Allah berfirman :

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini hawa
nafsu mereka". (QS an-Najm : 23).
"Dan siapakah yang lebih sesat adripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun" (QS al-Qashash : 50).

Demikianlah rasionalisme ilmiyah. Dan jika 'aqlaniyah (rasionalisme) itu berarti


demikian, bukan saja diterima oleh Islam, tetapi lebih dari itu, makna demikian sangat
disambut baik oleh Islam dan diserukan-Nya dan bahkan Islam menganggapkan sebagai
ibadah. Islam menghendaki agar setia manusia Muslim mempunyai rasionalismen ilmiah,
rasionalisme yang menolak khurafat, kepalsuan dan segala sesuatu tanpa dalil dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala ... Rasionalime ini sangat perlu, dan oleh karenanya kita tidak
mempunyai hal-hal yang dipunyai oleh para pengikut agama-agama lain seperti kata-kata
"Percayalah sedang kamu dalam keadaan buta" atau "Pejamkan matamu lalu ikutilah
aku" atau "Pilihlah; bodoh atau taat". Kita tidak mempunyai ajaran-ajaran semacam ini,
bahkan bagi kita iman itu harus dengan bukti dan da'wah itu harus dengan hujjah yang
nyata sebagaimana firman Allah :

"Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti
nyata (al-Quran) dari tuhannya" QS Huud : 17).

"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS Yusuf: 108)

"Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama
Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu
hatinya)?" (QS Az-Zumar : 22)

Kita menghendaki seorang Muslim yang hidup di atas kejelasan, bukan yang hidup di
dalam kegelapan taqlid tanpa mengetahui sesuatu pun di sekitarnya, dicekoki sesuatu
tanpa mengetahui sumbernya … Ini bukan ajaran Islam.

KITA ADALAH PENYERU RASIONALISME, TETAPI …


Pada minggu yang lalu dalam wawancara kami sekitar Islam dan Rasionalisme, Ustadz
Dr. Yusuf Qardhawi telah menerangkan, bahwa dua masalah aqidah yang terpenting,
yaitu wujud Allah dan pengutusan Rasul,harus dibuktikan dengan akal, karena akal
adalah dasar naql (nash) sebagaimana kata para ulama … dan beliau menegaskan bahwa
kaum Muslimin lebih banyak memuliakan akal jika ia dipergunakan pada bidangnya.
Pada hari ini kita mengikuti kembali pembicaraan Dr. Yusuf Qardhawi. Beliau berkata :

Kita adalah penyeru rasionalisme … Kita, kaum Muslimin adalah mengajak kepada
rasionalisme. Kita menolak khurafat dan kepalsuan. Melalui rasionalisme dan dibawah
naungannyalah peradaban Islam berdiri megah dengan memadukan ilmu dan iman, antara
akal dan naql."

Dalam hal akal dan naql, adakah kontradiksi di antara keduanya ? Dan bagaimanakah
menghindari kontradiksi ini ?

Para ulama sama sekali berpendapat adanya kontradiksi atau pertentangan atau
perlawanan di antara riwayat yang shahih dan logika yang terang. Dalam hal ini Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah telah mengarang satu buku dalam 10 bagian yang berjudul
Penolakan Kontradiksi di antara Akal dan Naql, karena memang tidak mungkin akal yang
terang itu bertentangan dengan naql yang shahih. Jika anda melihat kontradiksi, maka
yang anda sangka naql itu pasti tidak shahih atau yang anda sangka akal itu pasti tidak
terang.

Kontradiksi tidak mungkin terjadi, karena akal adalah salah satu rahmat dan anugerah
Allah terhadap manusia, sedang naql adalah wahyu Allah untuk manusia juga. Maka
bagaimana mungkin keduanya saling bertentangan ?

Tidak mungkin terjadi pertentangan kecuali dari segi lahiriyah dan bentuk. Tetapi ketika
dipikirkan secara lebih mendalam, akan terbuktilah bahwa tidak ada pertentangan, dan
bahwa apa yang disangka bertentangan itu pasti dapat dipadukan atau salah satu di antara
keduanya pasti ada yang tidak shahih.

Oleh karena itu kita tidak mempunyai masalah agama dan ilmu, yaitu yang mereka
namakan kontradiksi di antara agama dan ilmu atau di antara akal dan naql. Kita sama
sekali tidak mempunyai masalah semacam ini. Agama bagi kita adalah ilmu dan ilmu
adalah agama. Agama bagi kita berdiri di atas ilmu, dan ayat pertama yang turun di
dalam kitab kita adalah :

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya" (QS Al-'Alaq : 1-5)

Yang pertama kali turun ke dalam hati Muhammad saw adalah kata-kata ; membaca,
ilmu, belajar dan kalam. Oleh karena itu agama bagi kita adalah ilmu, dan ilmu adalah
agama. Mencari ilmu adalah kewajiban baik ilmu agama atau ilmu dunia. Bahkan belajar
ilmu-ilmu dunia dianggap fardhu kifayah jika diperlukan oleh kaum Muslimin.

Kapankah akal mengasingkan dirinya ?

Dr. Yusuf Qardhawi menambahkan:

Kita kaum Muslimin tidak mengalami problema yang dialami oleh Kristen dalam
masyarakat Barat, yaitu masalah kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama,
sehingga oleh karenanya berdirilah mahkamah pemeriksa, pembakaran para ulama /
cendekiawan dan terjadilah apa yang terjadi … Kita sama sekali tidak mengalami tragedi
ini.

Jika rasionalisme itu, maka sebagaimana saya katakan, kita adalah penyeru rasionalisme.
Tetapi jika rasionalisme itu berarti menolak wahyu Allah Ta'ala, atau mengutamakan akal
atas naql secara terus menerus meskipun nash-nya qath'iyuts-tsubut dan qath'iyud-dilalah
(pasti wujud dan petunjuknya), maka ini sama sekali bukan rasionalisme. Karena
sebagaimana kata Imam Al-Ghozali : Jika telah terbukti wujud Allah dengan akal, dan
kita telah membuktikan serta telah menetapkan kenabian Muhammad saw dengan akal,
dan bahwa beliau tidak berbicara dengan hawa nafsu, dan bahwa Al Qur'an adalah Kitab
dari sisi Allah … Jika semua perkara itu telah terbukti dengan akal Imam Ghozali berkata
; maka pada waktu itu akal mengasingkan dirinya dan menerima petunjuk dari wahyu.
HAI AKAL … BERHENTILAH DI SINI !

Dalam konteks ini, apakah ada kawasan-kawasan yang tidak boleh dilanggar oleh akal,
dalam arti harus bersikap sebagai penerima ?

Kita telah menetapkan bahwa agama kita terkadang membawa hal-hal yang dianggap
aneh / jauh oleh akal, tetapi ia sama sekali tidak membawa hal-hal yang mustahil. Apa
yang dibawa oleh agama dalam hal-hal ghaib yang berkaitan dengan alam yang tidak
terlihat, seperti yang berkaitan dengan malaikat, jin, setan, al-'arsy, al-kursi, al-lauh, al-
kalam dan keadaan dalam alam barzakh, seperti ; alam kubur dan kenikmatan serta
siksaannya, atau keadaan akhirat dan isinya seperti ; kebangkitan, perhimpunan,
penghisaban, pertanyaan, penimbangan, shuhuf, shirat, sorga dan neraka … perkara-
perkara ini harus diterima oleh akal selama wahyu membawanya.

Kewajiban akal di sini adalah menerima perkara-perkara ini jika ia menghormati dirinya.
Tetapi jika akal tidak mau menerimanya, maka ia telah mendustakan dirinya dalam hal
membenarkan wahyu, ini yang pertama kemudian ada beberapa hal yang harus diterima
oleh akal, yaitu yang sudah pasti dari segi tsubut (wujud) dan dari segi dilalah (petunjuk).

Apa yang sudah qath'iyuts-tsubut dan dilalah (pasti wujud dan petunjuknya) harus
diterima oleh akal, akal tidak boleh berkata : "Mengapa kita shalat lima kali sehari?",
"Mengapa tidak tiga atau empat kali saja?", "Kenapa sebagian sholat itu dua raka'at dan
sebagian yang lain ada yang tiga dan empat raka'at?", "Kenapa ruku' itu sekali saja
sedang sujud dua kali ?". Perkara-perkara semacam ini tidak dapat dicampuri oleh akal.
Dan Imam Al-Ghazali telah mengumpamakannya dengan obat-obatanyang diterangkan
oleh seorang dokter kepada pasiennya. Pasien tersebut tidak bisa memahami, kenapa
dokter tersebut menyuruh makan obat ini sebelum makan, dan yang lainnya setelah
makan, yang ini satu tablet saja dan yang lain dua tablet … Keterangan semacam ini
untuk semua pasien di luar batas pengetahuannya. Ibadat-ibadat itu semacam obat-obatan
ruhaniah bagi manusia, maka jika manusia percaya kepada pengetahuan dan pengalaman
dokter, ia wajib berkata : "Ini pasti tidak kosong dari hikmah" yang barangkali sebagian
lainnya tidak diketahui.
Ada beberapa perkara yang harus kita terima dalam hal-hal ghaib dan bidang-bidang
ibadah. Sampai dalam hukum-hukum syariat pun ada yang demikian pula, karena ada
hukum-hukum qath'iyah (pasti) sehingga manusia tidak boleh menggunakan akalnya
dengan mendakwa bahwa mereka lebih mengetahui mashlahat mereka … tidak …
mereka lebih mengetahui mashlahat mereka, tetapi mereka itdak lebih tahu dari Allah
atas hamba-hamba-Nya.

Allah berfirman :

"Katakanlah : Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah? "

Seringkali akal manusia jatuh terjerumus ke dalam kebinasaan yang beraneka ragam.
Sebagian orang pada suatu masa dengan rasio mereka berkata : "Mengapa kita
menghalalkan pelacuran … daripada kita membiarkan orang-orang berzinah tanpa
pengawasan negara". Dan banyak lagi orang-orang yang ingin menghalalkan khamar
meskipun akal manusia mendapati bahaya khamar terhadap individu, masyarakat dan
ekonomi serta bahayanya bagi akal dan akhlak, tetapi meskipun demikian akal kalah di
hadapan hawa nafsu.

AKAL PERLU BANTUAN

Orang-orang yang ingin menundukkan nash-nash kepada akal manusia adalah salah,
karena akal tidak boleh dibiarkan sendiri, akal memerlukan bantuan sebagaimana
dijelaskan Imam Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid. Beliau dalam Risalah ini
mengisyaratkan bahwa akal memerlukan bantuan, karena terkadang ia diliputi oleh hal-
hal yang menyebabkannya samar-samar dalam menghukum perkara-perkara.

Dalam masalah ini ada satu lagi masalah penting yaitu ; Jika kita mengatakan akal, maka
akal siapa yang dimaksud ? Akal orang-orang tertentu atau akal orang-orang awam ? Kita
telah melihat para filsuf saling berbeda pendapat sehingga sampai kepada kontradiksi,
yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, yang satu membangun dan yang lain
merubuhkan. Siapakah yang benar di antara mereka ; para filsuf idealis atau realis ?
Materialis atau yang bersifat ketuhanan ? Ataukah para filsuf ?
Ini telah kita lihat … akal itu saling berbeda pendapat … dan kita telah melihat akal
orang-orang Arab sebelum Islam, membenarkan penguburan anak perempuan hidup-
hidup … manusia mengubur anak perempuan hidup-hidup, akal apakah ini ?

Oleh karena itu kita mengatakan : Sesungguhnya akal manusia saja tidak bisa dijamin
jika dibiarkan sendiri, tetapi ia harus dibantu dan dijaga dengan wahyu Allah Ta'ala,
untuk meluruskan langkahnya dan menjaganya dari kesalahan, sehingga ia melanjutkan
perjalanannya di jalan yang lurus. Akal tanpa wahyu bisa ditimpa kesalahan, kelemahan
dan bahaya sebagaimana yang kita saksikan terhadap orang-orang yang berjalan di
belakang akalnya saja, jauh dari petunjuk Allah Ta'ala. Inilah yang harus dipahami dalam
masalah besar ini, masalah rasionalisme tanpa melampaui batas.

Back to List of Articles" Page

Anda mungkin juga menyukai