Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.
Manusia, menurut aliran ini memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap obyek. Orang mengatakan aliran ini ialah Rene Descrates (1596-
1650) ini benar, akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh
sebelum itu. Orang-orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah
alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh
pengetahuan, pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja.akan tetapi untuk
sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Kerjasama
empirisme dan rasionalisme atau rasionalisme dan empirisme inilah yang
melahirkan metode sains (science, methode), dan dari metode inilah lahirlah
pengetahuan sains ( scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan

B.  Rumusan Masalah
            Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penyusunan makalah ini
adalah Rasionalisme (filsafat berbasis akal) sebagai berikut;
1.  Apa pengertian rasionalisme ?
2.  Siapakah tokoh-tokoh rasionalisme ?
3.  Apa pengertian pengetahuan dan kebenaran menurut rasionalisme ?

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Filsafat Umum. Dan untuk mengetahui pengertian Rasionalisme, tokoh-
tokohnya serta pengertian pengetahuan dan kebenaran menurut rasionalisme.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rasionalisme Descartes “cagito ergo sum”


Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal.
Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap objek. Orang mengatakan aliran ini ialah Rene Descartes (1596-
1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh
sebelum itu. Orang-orang yunani kuno telah menyakini juga bahwa akal adalah
alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar lebih-lebih  Aristoteles.[1]
Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason)
adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-
kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[2]
Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio
(akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai
untuk semua pengetahuan ilmiah.[3]
Kalau dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan
adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.  Akal tidak berfungsi banyak,
kalau ada, itu pun sebatas idea yang kabur. Lain halnya dengan rasionalisme,
bahwasannya rasionalisme berpendirian sumber pengetahuan terletak pada akal.
Betul, hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari
alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya,
sehingga terdapatlah apa yang dinamakan pengetahuan.[4] Dalam penyusunan ini
akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda
3

kongkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi.


Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.
Maka dari itu Aliran ini merupakan bantahan kuat atas aliran empirisme,
yang menekankan pencerahan indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Bagi seorang rasionalis, pada hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri
tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar
secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi terdiri atas pertimbangan-
pertimbangan yang benar, yang bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa
(sense) dan pengalaman yang kita peroleh dari indera penglihatan, pendengaran,
suara, sentuhan, rasa dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan.
Rasa tadi harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem, sebelum menjadi
pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep,
prinsip dan hukum, dan tidak dalam rasa.[5]
Dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan, Rasionalisme menempati
posisi yang penting. Biasanya paham ini di kaitkan dengan kaum rasionalis abad
ke-17 dan ke-18. Meski akar-akarnya dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf
klasik seperti Plato, aristoteles, dll. Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip
dasar dunia tertentu, yang di akui benar oleh rasio  manusia. Salah satu Filsafat
modern adalah aliran rasionalisme. Descartes merupakan salah satu tokoh filsafat
modern ia tidak puas dengan filsafat Scholastik karena di lihatnya saling
bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya tidak ada metode berfikir
yang pasti. Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan.
Jika orang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia
sedang berfikir. Sebab yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang
benerang. Cogito Ergo Sum (saya berfikir, maka saya ada).
Rasio merupakan adalah sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang
dapat membawa orang kepada kebenaran. Kebenaran hanyalah tindakan akal yang
terang-benderang yang di sebutnya Idaes Claires et Distinctes ( pikiran yang
terang benderang dan terpilih-pilih). Idea terang benderang ini pemberian Tuhan
sebelum orang di lahirkan ( Idea Innatae = ide bawaan ). Sebagai pemberian
Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
4

Karena rasio saja yang di anggab sebagai sumber kebenaran, maka aliran
ini di sebut Rasionalisme. Adapun pengetahuan indera di anggap sering
menyesatkan.[6]
Para tokoh aliran rasionalisme, diantaranya adalah Rene Descartes (1596 –
1650 M), De Spinoza (1632 - 1677 M), dan Leibniz (1646 – 1716 M).
Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat.
Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya
digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun
teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir, pengetahuan dari
empirisme sering menyesatkan. Adapun alat berfikir adalah kaidah-kaidah yang
logis.
Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat
Descartes. Istilah modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu
filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan
corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak filsafat modern disini ialah
dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa yunani kuno. Gagasan itu
disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu,
gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance. Pada masa
ini rasionalisme lahir kembali, sebagai objek kajian yang harus dan menarik untuk
diamati. Sejak kezaliman intelektual dilakukan oleh gereja dan tidak sedikit para
filosof dikekang kebebasan berfikirnya, zaman ini memberi pintu lebar-lebar
kepada siapapun yang mau mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada
siapa pun yang mau berfilsafat.[7]
Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertnand
Russel, memang benar. Kata Bapak diberikan kepada Descartes karena dialah
orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang
pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat
yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan
5

perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, serta bukan yang lainnya. (Ahmad Syadali
dan Mudzakir, 2004 : 107).
Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen Inggris. Pada
tahun 1612 M, Descartes pergi ke Perancis. Ia termasuk orang yang taat
mengerjakan ibadah menurut ajaran katholik, tetapi juga menganut Galileo yang
ada pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Dari tahun 1629 M
samapi tahun 1649, ia menetap di Belanda.
Pendidikan pertama Rene Descartes diperoleh dari Yesult di La Fleche
dari tahun 1604 – 1612. Ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah
Latin dan Yunani, bahasa Perancis, music dan akting. Bahkan, ia mendapat
pengetahuan tentang logika Aristoteles dan etika nichomacus, fisika, matematika,
astronomi, dan ajaran metafisika dari Thomas Aquinas. Dalam masa
pendidikannya, Rene Descartes telah merasakan kebingungan dalam memahami
berbagai aliran dari filsafat yang saling berlawanan (Juhaya S. pradja, 2000 : 62 -
63).
Pada tahun 1612 M, Rene Descartes pergi ke Paris dan disana ia
mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke
Faobourg Sain German untuk mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617, Rene
Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Selama musim dingin antara tahun
1619 – 1620, dikota ini, ini mempunyai pengalaman, yang kemudian dituangkan
dalam buku pertamanya “Descours De La Metkode”. Salah satu pengalaman yang
unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam,
yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan ilham dari Tuhan. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 62 - 63).
Tahun 1621 M, Rene Descartes berhenti dari medan perang dan setelah
berkelana ke Italia, lalu ia menetap di Paris (1625). Tiga tahun kemudian, ia
kembali masuk tentara, tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya ia
memutuskan untuk hidup di Belanda. Di sinilah, ia menetap selama 20 tahun
(1629-1649) dalam iklim kebebasan berfikir. Di negeri inilah, ia dengan leluas
menyusun karya-karyanya dibidang ilmu dan filsafat.
Selain mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Rene Descartes
juga dikenal sebagai seorang polymath,  yaitu seorang yang mempunyai perhatian
6

yang luas dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu pasti sumbangannya
yang besar dalam dunia ilmu adalah keberhasilannya menemukan ilmu ukur
koordinator (coordinatgeometri).
 Karya lainnya ialah ; dioptrique; La Gfometrie; Les Meteors Meditationes
de Prima PHlosophia, Principia PlulasopHa, Le Monde, L’homme, Regular ad
Dirsctione De ia Formation dufoetus, dan sebagainya.[8]

B.  Tokoh-tokoh Rasionalisme De Spinoza, Leibniz


1.      De Spinoza
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M dan meninggal dunia pada tahun
1677 M. nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan dirinya dari agama
yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza ia hidup
dipinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene
Descartes itu. Dua tokoh terakhir ini menjadi substansi sebagai tema pokok dalam
metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes, tiga
filosof ini, Descartes, Spinoza dan Leibniz, biasanya dikelompokkan dalam satu
mazhab. Yaitu rasionalisme. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 109).
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa subtansi dari
sesuatu, bagaiman kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza
menjawabnya dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene
Descartes, yakni dengan pendekatan deduksi matematis, yang dimulai meletakkan
definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian
(penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu (Ahmad Syadali
dan Mudzakir, 2004 : 109)
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia
mengatakan bahwa kebenaran itu berpusat pada pemikiran dan keluasaan.
Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasaan adalah tubuh, yang ekstensinya
berbarengan.[9]
2.      Leibniz
Gottifried Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan
meninggal pada tahun 1716 M. ia filosofi jerman matamatikawan, fisikawan dan
7

sejarawan. lama menjadi menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu


pejabat tinggi negara pusat. Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di
kembangkan dalam konsep monad. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 109).
Metafisika leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi
Spinoza ,alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhnya bergantung pada sebab,
sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip filsafat (eiguiz ialah prinsip
akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat di rumuskan, “sesuatu harus
mempunyai ulasan” untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa hanya ada
subtansi, sedangkan Leibniz berpendapat bahwa subtansi itu banyak. Ia menyebut
subtansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu
yang supermonad  dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah
pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini diberi
judul monadology (studi tentang monad) yang ditulis pada tahun 1714 M. ini
singkatan metafisika Leibniz. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 109)
            Penganut aliran Rasionalisme yang lain diantaranya, yang terutama; Blaise
Pascal (1623 M – 1662 M), Nicole Malahrance (1678 M – 1718 M).[10]

C. Pengetahuan dan Kebenaran menurut Rasionalisme


1.  Metode Filsafat Rene Descartes
Segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperlukan metode yang tepat untuk
mempelajarinya. Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa
mempelajari filsafat membutuhkan metode sendiri agar hasilnya benar-benar
logis. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai tubuh,
kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian radikal, itulah
kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu
pengetahuan. Cogito Ergo Sum; saya yang sedang menyangsingkan, ada. Cogito
Ergo Sum yang berasal dari bahasa latin ini berarti; “saya berfikir,jadi saya ada”.
Akan tetapi yang disebut Descartes dengan berfikir disini ialah menyadari.  Jika
saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara
langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern, kata “cogito” sering
kali digunakan dalam arti kesadaran. Cogito Ergo Sum menurut Descartes suatu
kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Mengapa
8

kebenaran ini benar-benar bersifat pasti ? karena saya mengerti itu dengan jelas
dan terpilah-pilah (clearly and distincictly). Jadi, hanya yang saya mengerti
dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus diterima sebagi benar. Itulah
norma yang menentukan kebenaran (Juhaya S. Pradja, 2000 : 65).
Dalam karya Rene Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui
metode keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A Discourse on
methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut;[11]
1.         Kebenaran baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar inderawi dan
realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly), sehingga tidak ada suatu
keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.         Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin,
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.         Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana
dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang sulit dan
kompleks.
4.         Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yan
menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang
mengabaikannya atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Juhaya S. pradja,
2000 : 65).
Keraguan Rene Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan
signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena
gambarannya sama. Sebagaimana seseorang bermimpi bertemu dengan kakeknya,
kemudian ia benar-benar bertemu kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur
atau terjaga, tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika
seseorang pernah melihat kuda dan melihat sayap, lalu ia melihat kuda yang
sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua
kenyataan yang berbeda , karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa
yang dilihat bias menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadap semua yang
dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu saya terhadap pembuktian
kebenaran hakiki.
9

Juhaya S. pradja, (2000 : 66) mengatakan bahwa betapapun radikalnya


keragu-raguan Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui bahwa disana, ada satu hal
yang tidak bias diragukan, biar setan licik atau jin gundul yang berminat
menipunya. Yang dimaksudkannya ialah bahwa “aku yang sedang ragu-ragu
menandakan bahwa aku sedang berfikir dan karena aku berfikir, aku
ada”( cogito ergo sum). Mengingat bahwa aku yang berfikir ini adalah sesuatu,
dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras dan meyakinkan,
sehingga anggapan kaum skeptis yang paling hebat pun tidak akan menipu
menumbangkannya, sampailah aku pada kenyataan bahwa aku dapat
menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang kucari.
Al-Ghazali, pernah mengalami keragu-raguan (as-syak) jauh sebelum
munculnya Descartes. Bila perjalanan pemikiran filsafat Descartes berujung pada
kelahiran rasionalisme yang cenderung mengabaikan Tuhan dan agama, akhir
perjalanan pemikiran  fisafati Al-Gozali sampai pada keyakinan yang kuat adanya
Tuhan melalui jalan tasawuf yang puncak pada makrifat, yakni pengetahuan
intutif. (Juhaya S. pradja, 2000 : 66).
Kitab Ar-Risalah Al-Ghazali membagi hierarki atau klasifikasi ilmu
menjadi dua bagian besar, yaitu
a.  Ilmu syar’I (ilmu syariah yang berpedoman kepada wahyu)
b.  Ilmu aqli (ilmu rasio, yang berpatokan kepada akal)
Dalam Mizan Al-Amal, Al-Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh
ilmu, yaitu, cara pengilhaman dari Tuhan dan dengan cara belajar atau diusahakan
(iktisab). Dalam buku-buku filsafatnya, Al-Ghazali menilai ilmu yang diusahakan,
datang melalui limpahan akal aktif karena kemampuannya berada diatas al’-aqi bi
al-fi’li, tetapi di dalam Mizan Al-Amal dijelaskan bahwa ilmu itu diperoleh
dengan cara ilham. Kelihatannya ilham menggatikan kedudukan pengetahuan
yang sifatnya tidak diusahakan, dan ini berlanjut hingga Risalah.
2.   Ide-ide Bawaan
Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senantiasa
merujuk kepada prinsip  Cogito Ergo Sum. Hal tersebut disebabkan keyakinan
bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri
terdapat tiga ide bawaan saya sejak lahir, yaitu;
10

a. Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai mahluk yang berfikir,


harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.      Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya
mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu
karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak
lain daripada Allah.
c.   Keluasaan. Materi sebagai keluasaan atau ekstensi (extension), sebagaimana
hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur. (Juhaya S. pradja,
2000 : 67).
3.   Subtansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua subtansi;
a.   Jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran.
b.   Materi yang hakikatnya adalah keluasaan.
Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsingkan adanya dunia luar
aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi
Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa
Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasaan,
sedangkan diluar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian,
keberadaan yang sempurna yang ada diluar saya tidak akan menemui saya, artinya
ada dunia  materiil lain yang keberadaannya tidak di ragukan, bahkan sempurna.
(Juhaya S. Pradja, 2000 : 66).
4.   Manusia
Descartes memandang manusia sebagai mahluk dualitas. Manusia terdiri
dari dua subtansi; jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran sedangkan tubuh adalah
keluasaan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh
jiwa. Karena setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah dari subtansi yang
lain, sudah nyata bahwa Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk
mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya. Satu kali ia mengatatakan
bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam glandula
pinealis  (sebuah kelenjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil) akan tetapi,
akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja,
2000 : 67)
11

5.    Kritik atas Rasionalisme Descartes


Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah
menghinakan empirisme, sementara rasionalisme menyakini bahwa kebenaran itu
berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri
sendiri adalah fungsi-fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan empirisme.
Dalam kasus ini, Imanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya
menunjukkan bahwa rasionalisme murni barpijak atas dasar-dasar dan prinsip-
prinsip yang goyah sehingga cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang
memadai. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 68).[12]

III.   KESIMPULAN  

A.    Pengertian Rasionalisme Descartes “cagito ergo sum”


Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason)
adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-
kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[13]
Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertnand
Russel, memang benar. Kata Bapak diberikan kepada Descartes karena dialah
orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang
pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat
yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan
perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, serta bukan yang lainnya. (Ahmad Syadali
dan Mudzakir, 2004 : 107).
Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen Inggris. Pada
tahun 1612 M, Descartes pergi ke Perancis. Ia termasuk orang yang taat
mengerjakan ibadah menurut ajaran katholik, tetapi juga menganut Galileo yang
ada pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Dari tahun 1629 M
samapi tahun 1649, ia menetap di Belanda.
12

B.     Tokoh-tokoh Rasionalisme De Spinoza, Leibniz


1.      De Spinoza
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M dan meninggal dunia pada tahun
1677 M. nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan dirinya dari agama
yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza ia hidup
dipinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene
Descartes itu. Dua tokoh terakhir ini menjadi substansi sebagai tema pokok dalam
metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes, tiga
filosof ini, Descartes, Spinoza dan Leibniz, biasanya dikelompokkan dalam satu
mazhab. Yaitu rasionalisme. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 109).
2.      Leibniz
Gottifried Eilhelm von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan
meninggal pada tahun 1716 M. ia filosofi jerman matamatikawan, fisikawan dan
sejarawan. lama menjadi menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu
pejabat tinggi negara pusat. Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di
kembangkan dalam konsep monad. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 109).
C.     Pengetahuan dan Kebenaran menurut Rasionalisme
1.      Metode Filsafat Rene Descartes
Segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperlukan metode yang tepat untuk
mempelajarinya. Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa
mempelajari filsafat membutuhkan metode sendiri agar hasilnya benar-benar
logis. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai tubuh,
kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian radikal, itulah
kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu
pengetahuan. Cogito Ergo Sum; saya yang sedang menyangsingkan, ada. Cogito
Ergo Sum yang berasal dari bahasa latin ini berarti; “saya berfikir,jadi saya ada”.
Akan tetapi yang disebut Descartes dengan berfikir disini ialah menyadari.  Jika
saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara
langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern, kata “cogito” sering
kali digunakan dalam arti kesadaran. Cogito Ergo Sum menurut Descartes suatu
kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Mengapa
kebenaran ini benar-benar bersifat pasti ? karena saya mengerti itu dengan jelas
13

dan terpilah-pilah (clearly and distincictly). Jadi, hanya yang saya mengerti


dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus diterima sebagi benar. Itulah
norma yang menentukan kebenaran (Juhaya S. Pradja, 2000 : 65).
2.      Ide-ide Bawaan
Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senantiasa
merujuk kepada prinsip  Cogito Ergo Sum. Hal tersebut disebabkan keyakinan
bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga.
3.      Subtansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua subtansi;
a.       Jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran.
b.      Materi yang hakikatnya adalah keluasaan.
4.      Manusia
Descartes memandang manusia sebagai mahluk dualitas. Manusia terdiri
dari dua subtansi; jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran sedangkan tubuh adalah
keluasaan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh
jiwa. Karena setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah dari subtansi yang
lain, sudah nyata bahwa Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk
mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya. Satu kali ia mengatatakan
bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam glandula
pinealis  (sebuah kelenjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil) akan tetapi,
akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja,
2000 : 67)
5.      Kritik atas Rasionalisme Descartes
Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah
menghinakan empirisme, sementara rasionalisme menyakini bahwa kebenaran itu
berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri
sendiri adalah fungsi-fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan empirisme.
Dalam kasus ini, Imanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya
menunjukkan bahwa rasionalisme murni barpijak atas dasar-dasar dan prinsip-
prinsip yang goyah sehingga cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang
memadai. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 68).[14]
Penutup
14

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
pembahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis berharap  para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah dikesempatan berikutnya. Semoga  makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
15

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Filsafat
Umum dari Mitologi sampai teofilosofi, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008).
Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah,
1994)
Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999 ).
Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar  (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005).
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2009).

[1] . Prof.Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai


Capra, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 17, hal. 25
[2] . Ibid, hal. 127
[3] . Drs. Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar  (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005),
hal. 66
[4] . Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999 ), cet.
II, hal. 45
[5] . Djaelani, Abdul Qodir, Sekitar Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Media Da’wah,
1994) hal. 13-14

[6] . Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Filsafat
Umum dari Mitologi sampai teofilosofi, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008), cet. ke 1.
Hal. 247
[7] . Ibid, hal. 248
[8] Ibid, hal. 250
[9] . Ibid, hal. 259
[10] . Ibid, hal. 260
[11] . Ibid, hal. 251
[12] . Ibid, hal. 257
[13] . Ibid, hal. 127
[14] . Ibid, hal. 257

Anda mungkin juga menyukai