Anda di halaman 1dari 11

Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes

Dery Andika Dirmi


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
deryrebon@gmail.com

Pendahuluan
Allah menjadikan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah. Penentuan ini tidak lain
karena manusia diberi kecerdasan nalar yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Dengan
kecerdasannya, manusia diharapkan dapat mengatasi problematika kehidupan umat baik dari
aspek agama, sosial, budaya maupu politik yang kemudian menjadi lebih baik secara
kondusif.
Pemgetahuan filsafat dibahas dalam epistimoligi. Dari epistimologi, lahirlah dua
madzhab besar sumber sumber pengetahuan yang sangat terkenal, yaitu rasionalisme dan
empirisme. Dalam tulisan ini, akan diuraikan tentang rasionalisme. Latar belakang
munculnya rasionalisme adalah adanya keinginan untuk membebaskan diri dari segala
pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu
mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Pada took aliran rasionalisme
diantaranya adalah Descartes (1596-1650 M). tema yang kerap kali muncul dalam filsafat
adalah hubungan antara pikiran kita dan dunia. Descartes dan John Locke, telah setuju bahwa
alam pikiran kitalah yang membedakan manusia dan binatang.

Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu epistememe yang berarti pengetahuan,
dan logos yang berarti perkataan, pikiran, dan ilmu. Epistemology bermaksud secara kritis
mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional
terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.1

1
A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, h. 3-5 dalam Hardono Hadi,
Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: 2002, h. 18
Jadi, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Dengan Bahasa lain, menurut Mohammad Adib, Epistemologi adalah suatu
cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik atau prosedur
mendapatkan ilmu dan keilmuan.2 Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa epistemologi
membahas tentang bagaimana suatu pengetahuan atau keilmuan dapat diperoleh manusia.
Berbicara tentang bagaimana macam-macam epistemologi, berarti berbincang tentang
bagaimana macam-macam cara atau metode memperoleh pengetahuan, ilmu pengetahuan,
ilmu aau keilmuan. Menurut Kiith Lehre, ada tiga macam metode dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, yaitu: dogmatic epistemology, critical epistemology, dan scientific
epistemology.3

Rasionalisme
1. Pengertian Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menetes pengetahuan. 4 Rasionalisme tidak
mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera
diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal
dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata
karena akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan
kacau. Bahan ini kemudian dipertimmbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal
dapat bekerja dengan bantuan indera, tetapi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang
tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi, akal dapat dapat menghasilkan
pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.5
2. Sejarah Rasionalisme
Perintis awal paham rasionalisme adalah Heraclitus, seorang pionir yang getol
mengembar-gemborkan akal sebagai sumber utama ilmu pengetahuan melebihi panca indera

2
Mohammad Adib,Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2011, h. 74

3
Mohammad Adib,Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. h. 76-78

4
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. h.127

5
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. h.25
yang lain. Kemudian pada masa skolasik, rasionalisme berkembang dibawah peran kontribusi
tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Puncaknya adalah Ketika Aristoteles
menangkis serangan pemikiran aliran Sufastaiyyun (subyektifisme) yang menyebarkan
pandangan bahwa suatu perkara apapun dianggap baik manakalan manusia menganggapnya
baik. Dengan kata lain, manusia adalah penentu terhadap segala sesuatu. Aristoteles
kemudian meresponnya dengan memperkenalkan rasionalisme serta menyusun kaidah ilmu
logika seara sistematis dalam karyanya yang populer, yaitu Organaon. Upaya Aristoteles ini
lalu dilanjutkan oleh Rene Descartes, sosok yang dikenal sebagai bapak filsafat modern.6
Rasionalisme lahir adalah sebagai reaksi terhadap dominasi Gereja pada abd
pertengahan Kristen di Barat. Munculnya rasionalisme ini menandai perubahan dalam sejarah
filsafat, karena aliran yang dibawa Descartes ini adalah cikal bakal zaman modern dalam
sejarah perkembangan filsafat. Kata “modern” disini hanya digunakan untuk menunjutkkan
suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak
filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak berbeda yang dimaksud disini adalah dianutnya
kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu disertai argument yang
kuat oleh Descartes. Oleh karena itu, pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak
renaissance, yaitu kebangkitan rasionalisme seperti pada masa Yunani terulang kembali.
Pengaruh keimanan Kristen yang begitu kuat pada abad pertengahan, telah membuat para
pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan tokoh Gereja. Descartes
merasa tidak puas dengan perkembangan filsafat yang sangat lamban dan memakan banyak
korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia
ingin filsafat dikembalikan pada semangat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. 7
Zaman rasionalisme berlansung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang
ekslusif daya akal budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi
yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat
perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-
abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai
sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.8
3. Metode Rasionalisme
6
Muhammad Bahar Akkase Teng, “Rasionalisme dalam Perspektif Sejarah”, dalam Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4,
No. 2, Desember 2016, h. 15-16

7
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. h.128-129
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan metode yang
baik, demikian pendapat Descartes (tokoh utama rasionalisme). Hal ini mengingat bahwa
terjadinya kesimpangsiuran dan ketidak pastina dalam pemikiran filsafat disebabkan oleh
karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi
berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sudah menemukan metode-metode yang
dicarinya, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya, atau keagu-raguan. Kemudiaan, ia
menjelaskan untuk mendapatkan hasil yang sahih dari metode yang hendak dicanangkannya,
ia menjelaskan perlunya 4 hal, yaitu :
a. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa
hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehinga tidak ada suatu keraguan apapun yang
mampu merobohkannya.
b. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian,
sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
c. Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dengan mulai dari hal yang sederhana dan
mudah diketahu, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
d. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna seta pertimbangan-pertimbangan diabaikan dalam
penjelajah itu.9

Biografi Rene Descartes


Rene Descartes merupakan sederet tokoh rasionalisme yang diberi gelar predikat
sebagai bapak filosofis modern. Ia lahir di Francis pada 31 Maret 1596, tepatnya di La Haye,
sebuah kota kecil yang terletak di antara Tours dan Poitiers. Kota ini kemudian berganti nama
menjadi Descartes. Hal ini sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasa Descartes yang telah
mengharumkan tanah kelahirannya di kancah dunia melalui pemikiran-pemikiran filsafat
dikembangkannya bagi generasi yang akan dating.10
Descartes lahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya, Joachim, meerupakan
staf anggota parlemen di Paris. Sementara ibunya, Jeanne Brochard, adalah berasal dari
keluarga saudagar dan pegawai kerajaan. Semasa kecil, Descater akrab disapa temen-

8
http://mdsutriani.wordpress.com/2012/06/23/aliran-filsafat-rasionalisme/, diunduh pada tanggal 11 Mei 2017

9
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 2, h. 95

10
Paul Strathern, 90 menit Bersama Descartes, terj. Fans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 4-5.
temannya dengan panggilan nama Latin, yaitu Renatus Cartesius. 11 Sejak usia 1 tahun, ia
tinggal, ia telah ditinggal mati ibunya akibat menderita penyakit tuberculosis. 12 Faktir genetic
dari ibunya ini tampaknya juga menjalar ke tubuh Descartes, sehingga sejak kecil fisiknya
terlihat sangat lemah. Pasca kematian ibunya, Descartes tinggal bersama sang nenek dan baby
sister, sebab ayahnya sering kali keluar kota terkait urusan profesi yang digelutinya.
Meninjak ke-4 tahun, sang ayah memutuskan untuk kawin dan dari perkawinanya ini
di beri keturunan 4 anak. Dari sini, Descartes seakan-akan tidak pernah mendapatkan kasih
saying dari orang tuanya sendiri. Sebagai bentuk pelampiasan, Descartes banyak
menghabiskan hari-harinya dengan mengurung atau menyendiri. Dalam kesendiriannya ini, ia
kerap kali berkontemplasi tentang prospek masa depannya kelak. Begitu seringnya
berkontemplasi, akal Descartes semakin terasah tajam dalam berfikir. Dan pasa saat itu dia
terbilang seabagai anak yang genius.13
Pada tahun 1604, tepat pada di usianya yang ke-8 tahun, Descartes memulai karir
intelektualnya di College Royal De La Fleche. Di instansi ini, selama 8 tahun (1612 M), ia
dengan sungguh-sungguh mempelajari disiplin ilmu logika, filsafat, dan fisika. 14 Descartes
selama hidupnya memuji tempat belajarnya sebagai lembaga Pendidikan paling terbaik di
Eropa, sebab kurikulumnya berpusat pada Aristoteles, Metafisika, Fisika dan etika, Bahasa
dan literatur yang di desain dalam kerangka tradisi skolastitisme.
Pada tahun 1615, Descartes bertolak dari Collige Royal De La Fleche untuk kemudian
melanjutkan studinya di Poitiers University hingga memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu
hukum di tahun 1616. Descartes kemudian melepas segala macam ilmu pengetahuan yang
telah di pelajarinya, sebab menurutnya ilmu-ilmu itu belum berhasil menetapkan fondasi
yang kebenarannya absolut. Dari sini, Descartes mulai meragukan segalanya, termasuk
dirinya sendiri. Ia kemudian mulai mencari pengetahuan yang pasti berdasarkan rasionya.
Bahkan, pada akhirnya ia mendeklarasikan bahwa hakikat sebuah pengetahuan adalah yang
diperoleh melalui rasio.
Selanjutnya, pada tahun 1618-1628, Descartes mengikuti Latihan kemiliteran di
Belanda dan berhasil menjadi anggota pasukan Duck de Baviera. Di Belanda inilah Descartes
11
Sholehah Yaacob dan Hairunnaja Najmuddin, “Rene Descartes dan Metode Cogito”, dalam Jurnal Ushuluddin,
vol. 27, 2008, h. 125.
12
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai organ atau jaringan tubuh. Penyakit ini
sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, tuberculosis sudah ada sejak zaman
Mesir Kuno yang dibuktikan dengan penemuan murni. Bahkan penyakit ini juga ada pada kitab pengobatan
Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang lalu. Lihat, Widoyo, Penyakit Kronis: Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan dan Pemberantasannya, (Jakarta:Erlangga, t.th,), h. 126.
13
Sholeha Yaacob dan Hairunnaja Najmuddin, “Rene Descartes dan Metode Cogito”, h. 126
14
Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h, 71.
merasakan iklim kebebasan berpikir yang tidak pernah ia rasakan di negara lain. Oleh karena
itu, tidak heran jika kemudian ia betah berdomisili selama 20 tahun (1629-1649) di negara
yang pernah menjajah Indonesia itu. Di negara ini pula, Descartes dengan leluasa menyusun
serta mengorbitkan karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat. Di antara karya-karyanya
adalah Discours de la Methode (1637), Meditation Metphysiques(1641), Principes de la
Philosophie (1644) dan Traite des Passions de I’Ame (1649).
Pada tahun 1649, Descartes meninggalkan Belanda dan berangkat sekolah ke
Stockholm, Swedia, atas undangan Ratu Cristina yang sebelumnya sempat ragu untuk
menghaidrinya. Di sana ia bergabung dengan sekelompok cendikiawan yang di kumpulkan
oleh Ratu Cristina untuk mengajarkan filsafat di istana kerajaan. Pada saat itu, musim dingin
disana sangat tidak menguntung Descartes untuk kondisi kesehatannya. Sejak masih duduk di
bangku sekolah, ia teerbiasa bangu tidur menjelang siang, sementara sang Ratu menyuruhnya
untuk hadir dilokasi setiap hari pada puku 5 pagi. Descartes tidak cukup kuat fisiknya
menghadapi sistem kerta yang diterapkan tersebut. Akibatnya, ia terserang pneumonia pada
Januari 1650. Dan pada bulan berikutnya, yakni 11 Februari 1650, ia meninggal dunia. Pada
tahun 1667, tulang-belulangnya dipindahkan ke Prancis.15

Validitas Pengetahuan Descartes


Klaim teerhadap validitas sebuah pengetahuan harus diukur bedasarkan teori-teori
kebenaran dalam filsafat ilmu. Termasuk dalam hal ini terkait validitas pengetahuan
Descartes. Dalam kajian filsafat, paling tidak ada tiga teori kebenaran yang populer untuk
menguji validitas sebuah pengetahuan. Tiga teori yang dimaksud adalah teori koherensi, teori
korespondesi, dan teori pragmatisme.
Teori koherensi menyatakan bahwa standar kebenaran itu tidak dibentuk oleh
hubungan antara pendapat dengan suatu yang lain (fakta atau realitas), tetapi di bentuk oleh
hubungan internal (internal relation) antara pendapat-pendapat atau keyakinan-keyakinan itu
sendiri. Dengan kata lain, sebuah pengetahuan itu dianggap benar jika ada kosistensi logis-
filosofi dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya.
Teori korespondesi menyatakan bahwa “suatu proposisi itu dianggap benar jika
terdapat suatu fakta yang memiliki kesesuaian dengan apa yang diungkapkannya”. Atau juga
di definisikan dengan bahwa kebenaran dalam teori korespondensi sebagai “kesepakatan atau

15
Fizerald Kennedy Sitorius, “Rasionalisme Rene Descartes: Saya Berpikir, maka Saya Ada”, makalah
disampaikan dalam kelas filsafat modern di Searmbi Salihara, Sabtu 12 November 2016, 4.
kesesuaian antara pernyataan suatu fakta (keputusan) dengan situasi lingkungan yang
diinterpretasikannya.
Teori pragmatism menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar sepanjang ia
berlaku atau memuaskan, yang digambarkan secara beragam oleh perbedaan pendukung dan
pendapat.16

Hubungan Rasionalisme Dengan Penafsiran Al-Qur’an


Dari deskripsi diatas, setidaknya disana ditemukan sekelumit onsep yang mempunyai
titik hubungan (relevansi) dengan diskursus penafsiran al-qur’an. Menurutnya, sumber yang
paling otoritatif untuk memperoleh sebuah pengetahuan adalah akal dan rasio. Ini jika
dikaitkan dalam ranah penafsiran al-qur’an, maka sama halnya dengan tafsir bilra’yi. 17
Namun perlu dicatat bahwa penafsiran bersifat relatif dan hakikat kebenarannya hanya Allah
yang mengetahui. Jadi, akal manusia hanya berperan menafsirkan ayat-ayat al-qqur’an sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing tanpa adanya pengakuan bahwa penafsirannya itulah
yang benar.
Di samping itu, jika konsep pemikiran Descartes hanya berpijak pada akal, maka tidak
halnya dengan tafsir bi al-ra’yi, sebab memurnikan peran akal saja dalam menafsirkan al-
qu’an tanpa mempertimbangkan aspek lain yang berkaitan dengan riwayat-riwayat
merupakan suatu langkah yang dianggap telah menyimpang dari kode etik penafsiran itu
sendiri. Terkait hal ini, Rasulullah bersabda:
‫من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار‬
“Barang siapa yang berkata (menafsirkan) al-quran tanpa ilmu maka siapkanlah tempat
duduknya di neraka” (HR. At Tarmidzi 2950).
Berdasarkan intruksi tersebut, sejumlah sarjana muslim mengecam keras praktik
penafsiran bil ra’yi. Bahkan, mereka mengklaim “sesat” atas akal yang digunakan sebagai
instrument utama dalam sebuah penafsiran, sehingga tidak jarang dalam model penafsiran ini
disebut dengan istilah tafsir bi al-hawa.18 Terlepas dari penolakan ini, sederet sarjana muslim
menerimanya meskipun dengan mengajukan beberapa syarat dan ketentuan yang harus

16
Abdul Mustaqim, Eoistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 291-297.
17
Tafsir bi al-ra’yi adalah suatu Langkah dimana seorang mufasir mengarahkan akalnya memahami al-qur’an
dan menggali pesan-pesan yang terkandung didalamnya degan menggunakan instrument berupa media ijtihad.
Term tafsir bi al-ra’yi bersinonim sama dengan tafsir aqli atau tafsir ijtihad. Lihat, Musa’id ibn Sulaiman al-
Tayyar, Muqalat fi ‘Ulum al-Qur’an wa Usul al-Tafsir, (Riyad: Dar al-Muhaddits, 1425 ah), h. 209.
18
Ahmad ibn ‘Abd al-Rahim al-Dihlawi, al-Fauz al-Kabir fi Usul al-Tafsir, (Damaskus: Dar al-Ghautsani, 2008), hal.
14.
dipatuhi. Al-Dzahabi misalnya, mengemukakan lima hal yang harus dihindari mufasir
manakala menafsirkan al-qur’an dengan bi al-ra’yi:
pertama, menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah didalam
firmannya, tanpa memiliki persyaratan seabagi mufasir.
Kedua, memaksakan diri menafsirkan ayat yang hanya menjadi wewenang Allah
dalam mengetahuinya.
Ketiga, menghindari dorongan dan keinginan hawa nafsu.
Keempat, menghindari penafsiran dengan tujuan untuk melegitimasi kepentingan
mazhab.
Kelima, menghindari penafsiran pasti (qat’i) dimana seorang mufasir mengklaim
bahwa hanya penafsirannya merupakan satu-satunya yang dimaksud oleh Allah.19
Penafsiran dengan menggunakan akal sebagai alat untuk mengungkapkan pesan-pesan
ilahi yang terkandung didalam al-qur’an, pada dasarnya tidak hanya bertumpu pada akal
secara mutlak. Dalam kenyataannya, para mufasir yang berangkat dari penafsiran ini juga
bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai sunnah Nabi. Hanya saaj mereka tidak
terlalu mengekang diri dengan mengharuskan merujuk pada riwayat-riwayat. Adanya
penafsiran bi al-ra’yi, justru memberikan angin segar bagi berkembangnya corak penafsiran
yang sangat variative, semisal corak tafsir falsafi, ‘ilmi, fiqhi dan yang lainnya. Banyaknya
corak penafsiran yang terlahir dari rahim tafsir bi al-ra’yi, membuat semakin marak
bermunculan karya-karya tafsir diberbagai kalangan. Tentu, hal ini tidak saja memberikan
perbendaharaan pengetahuan yang luas bagi masyarakat muslim, tetapi sekaligus juga
sebagai bukti tingginya khazanah peradaban muslim dalam aspek pengetahuan terhadap
interpretasi al-qur’an.
Dalam konteks kemajuan ilmu pengetahuan dan multikulturalisme, tafsir bi al-
ra’yi dipandang lebih mampu mengakodimir dalam menjawab isu-isu kekinian. Falam kajian
kontemporer, tafsir bi al-ra’yi secara operasional dapat dikategorikan sebagai cara pandang
penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern, semisal pendekatan
hermeunetika, stilistika, antropologi, sosio-linguistik, dan fenomelogi. Berbagai pendekatan
ini dipandang signifikan di era sekarang, sebab penafsiran yang dihasilkan akan lebih
akomodatif dan relevan li kulli zaman wa makan.

Kesimpulan

19
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid I (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th), h. 196.
Dari kajian singkat ini, penulis menyimpulkan bahwa rasionalisme adalah faham
fisafat yang menyatakan bahwa akal adlah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan
dan menetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara berfiki. Alat dalam berfikir itu adalah kaidah-kaidah logia tau aturan-
aturan logika.
Titik hubungan (relevansi) nya terletak pada akal untuk mengungkap pesan-pesan
ilahi terkandung didalam al-qur’an. Penggunaan akal ini dalam diskursus penafsiran biasanya
dikenal dengan istilah tafsir bi al-ra’yi atau bi al-‘aqli.

Daftar Pustaka

A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, h. 3-5 dalam
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: 2002

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra

Fizerald Kennedy Sitorius, “Rasionalisme Rene Descartes: Saya Berpikir, maka Saya Ada”,
makalah disampaikan dalam kelas filsafat modern di Searmbi Salihara, Sabtu 12
November 2016, 4.

Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)

http://mdsutriani.wordpress.com/2012/06/23/aliran-filsafat-rasionalisme/, diunduh pada


tanggal 11 Mei 2017

Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003)

Mohammad Adib,Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu


Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2011

Mohammad Adib,Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu


Pengetahuan

Muhammad Bahar Akkase Teng, “Rasionalisme dalam Perspektif Sejarah”, dalam Jurnal
Ilmu Budaya, Vol. 4, No. 2, Desember 2016

Paul Strathern, 90 menit Bersama Descartes, terj. Fans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2001)

Sholeha Yaacob dan Hairunnaja Najmuddin, “Rene Descartes dan Metode Cogito”

Sholehah Yaacob dan Hairunnaja Najmuddin, “Rene Descartes dan Metode Cogito”, dalam
Jurnal Ushuluddin, vol. 27, 2008

Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang berbagai organ atau jaringan
tubuh. Penyakit ini sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil
penelitian, tuberculosis sudah ada sejak zaman Mesir Kuno yang dibuktikan dengan
penemuan murni. Bahkan penyakit ini juga ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’
sekitar 5000 tahun yang lalu. Lihat, Widoyo, Penyakit Kronis: Epidemiologi,
Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya, (Jakarta:Erlangga, t.th,)

Abdul Mustaqim, Eoistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010)

Tafsir bi al-ra’yi adalah suatu Langkah dimana seorang mufasir mengarahkan akalnya
memahami al-qur’an dan menggali pesan-pesan yang terkandung didalamnya degan
menggunakan instrument berupa media ijtihad. Term tafsir bi al-ra’yi bersinonim
sama dengan tafsir aqli atau tafsir ijtihad. Lihat, Musa’id ibn Sulaiman al-Tayyar,
Muqalat fi ‘Ulum al-Qur’an wa Usul al-Tafsir, (Riyad: Dar al-Muhaddits, 1425 ah)

Ahmad ibn ‘Abd al-Rahim al-Dihlawi, al-Fauz al-Kabir fi Usul al-Tafsir, (Damaskus: Dar al-
Ghautsani, 2008)

Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid I (Kairo: Maktabah


Wahbah, t.th)

Anda mungkin juga menyukai