Anda di halaman 1dari 7

A.

Aliran-Aliran Pramaterialistik
Tahapan sejarah pemikiran filsafat abad modern menurut versi barat dibagi
menjaditiga periode, yaitu:
1. Ancient atau zaman kuno; suatu zaman Ketika manusia memiliki kecerdasan yang
murni. Meskipun diawali oleh berbagai mitos, pada zaman ini, filsafat dilahirkan
dengan penuh kemurnian batin para filosof yang kemudian sebagai fondasi
perkembangan filsafat pada abad-abad selanjutnya. Pada zaman inilah, kemajuan
berfikir manusia mulaimenampakan diri, bahkan kemerdekaan berfikir tidak lagi
terkekang. Tidak ada kekuatan dengan dan atas nama siapa pun yang mampu
melumpuhkan pencaharian kebenaran filosofis pada zaman ini.
2. Medieval atau pertengahan, yakni zaman Ketika alam pikiran dikungkung dan
didominasi oleh kekuatan dan kekuasaan gereja. Pada zaman ini, kebebasan
berfilsafat benar-benar dibatasi, yang mengakibatkan ilmu pengetahuan terkebiri dan
filsafat pun jatuh bangun dari Hasrat radikalisasi pemikirannya.
3. Zaman modern, yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang
yang berbeda jauh dengan zaman-zaman sebelumnya. Kebebasan berfikir bukan
hanya menjadi hak setiap orang, bahkan menjadi ideologi kaum intelektual. Objek
pemikiran telah melintasi batas kejumudan intelektual sebagai akibat kekuatan dan
kekuasaan gereja. Agama yang “suci” pada zaman ini hanyalah objek pemikiran
filsafat yang kebenaranya tidak henti-hentinya diperdebatkan.
Zaman modern sebagai zaman yang dating setelah sekian lama dinantikan semua
manusia yang memiliki peradaban yang tinggi. Setelah beberapa ilmuan dan filosof
terkekang oleh kekuatan politik yang bergerak dengan mengatasnamakan agama, Tuhan,
atau para dewa. Pada zaman ini, perbudakan diluluhlantakan oleh kesadaran manusia
terhadap jati dirinya. Harga diri manusia bangkit dengan menjulangnya komunikasi
global dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak terdeteksi sebelumnya. Dunia
benar- benar “sebesar daun kelor”. Zaman modern sebagai zaman yang tepat umtuk
menuangkan dengan bebas segala pemikirannya.
Ciri-ciri pemikiran filsafat modern, antara lain menghidupkan Kembali rasionalisme
keilmuan subjektivisme (individualisme), humanism dan lepas dari pengaruh atau
dominasi agama (gereja). Menurut J.Burekhardt (1860 M), dari konsep sejarah sejarah
pemikiran yang menunjuk pada periode yang bersifat individualism, kebangkitan
Kembali kebebasan berfikir merupakan masa yang benar-benar kontroversial dengan
masa pada abad pertengahan.
Ahmad syadali dan mudzakir (2004 : 101) menguraikan secara Panjang lebar bahwa
filsafat abad modern pada pokoknya dimulai dengan tiga aliran yaitu:
a. Aliran rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1950 M)
b. Aliran empirisme dengan tokohnya francis Bacon 1210-1292 M)
c. Aliran kristisisme dengan tokohnya Imannuel kant (1724-1804 M)
Tiga aliran filsafat diatas, tergolong pada aliran pramaterialisme. Oleh karena itu,
dapat diambil pemahaman bahwa perkembangan filsafat pada aabd modern
memperlihatkan idealisme pemikiran yang luar biasa dilihat dari sisi perkembangan “cara
berfikir”manusia. Pengaruh eksternal terhadap pemikiran filosofis manusia belum banyak
tersentuh oleh pengaruh “kehidupan materialistik” yang sejak semula diangini oleh
kapitalisme. Semua gagasan masih berbasis pada pandangan tentang hakikat kekuatan
rasio dan pengalaman manusia, yang secara substansial merupakan hakikat filsafat itu
sendiri.
Untuk memperjelas kedudukan aliran-aliran yamg lahir pada masa modern, beberapa
penulis buku filsafat banyak mengupasnya dengan detail, di antaranya Ahmad Syadali
dan Mudzakir (2004), Juhaya S. Pradja (2004), Ahmad Tafsir (2004), Abdur Rozak dan
Isep ZA (2002), Sutardjo A. Wiramihardja (2006), Bertens (1986), Sidi Gzalba (1980),
Driyakarsa (1987), dan masih banyak yang lainnya .
Juhaya S. Pradja (2004) secara khusus Menyusun buku aliran-aliran filsafat dan
etika, yang didalamnya membahas berbagai aliran dalam filsafat, tidak terkecualai
aliran-aliran pramaterialisme yang lahir pada masa modern. Aliran-aliran dalam filsafat
modern, sebagai dikemukakan oleh Ahmad Syadali dan Mudzakir, Juhaya S. Pradja, dan
penulis buku filsafat lainnya.
B. Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenteng untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, yaitu suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Para tokoh aliran rasionalisme, diantaranya adalah Descartes (1596-1610), Spinoza
(1632-1677), dan Leibniz (1646-1716). Aliran rasionalisme ada dua macam, yaoitu
dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme
adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama.
Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering
berguna dalam Menyusun teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan
rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir,
pengetahuan dari ampirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah
kaidah-kaidah yang logis.
1. Metode Filsafat Rene Descartes
segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi perlu diperlakukan metode yang teapat untuk
mempelajarinya. Rene Descartes pun berpikir demikian, ia mengatakan bahwa
mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-
raguan. Karyanya yang bejudul A Discourse on Methode mengemukakan perlunya
memperhatikan empath al berikut:
1. Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya
tealah jeals dan tegas (clearly and distincictly), sehingga tidak ada keraguan
apapun yang mampu merobohkanny.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungki, sehingga
tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbingalah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan
mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan
kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal yang sulit, selamanya harus
dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurnaserta pertimbangan-pertimbangan
yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Juhaya S. Pradja, 2000 :
65)
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada
dasarnya, ia tetap bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan kebenaranya,
dan setiap yang telah terlihat jalas dan tegas harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-
bagian yang kecil. Atas dasar aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran
filosofisnya. Dia sendiri meragukan apakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas
yang tampak dimatanya atau dia sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan
dirinya apakah sedang sadar atau sedang gila.
Keraguan Rene Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan
antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan dalam Ketika terjaga, karena gambaranya
sama. Sebagaimana seseorang yang bermimpi dengan kakeknya, kemudian ia benar-
benar bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu Ketika tertidur atau terjaga,
tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan, Ketika seseorang pernah
melihat kuda dan melihat sayap, lalu ia melihat kuda yang sedang terbang dengan
sayapnya, sebuah kenyataan yang berawal dari dua kenyataan yang berbeda, karena kuda
dan sayap semua tida Bersatu, tetapi apa yang dilihat bisasaja menjadi satu. Oleh karena
itu, keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu
daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.
2. Ide-Ide Bawaan
Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senantiasa merujuk
kepada prinsip Cogito ergo sum. Hal tersebut disebabkan oleh keyakinan bahwa dalam
diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat tiga ide
bawaan saya sejak saya lahir, yaitu: (1). Pemikiran, (2). Allah, (3). Keluasan.
a. Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b. Allah Sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide
sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak
bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Allah.
c. Keluasan. Materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu
dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)
3. Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua substansi: Pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan
tetapi, karena descartes telah menyangsikan adanya dunia luar aku, ia mengalami banyak
kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi descartes, satu-satunya alas an untuk
menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Allah akana menipu saya kalua sekiranya ia
memberi saya ide keluasan, sedangkan diluar tidak ada sesuatu pun yang sesuai
dengannya. Dengan demikian keberadaan yang sempurna yang ada diluar saya tidak akan
menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan
bahkan sempurna. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)
4. Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua
substansi: jiwa dan tubuh. jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya,
tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang
satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa descartesmenganut
suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, descartes mempunyai banyak kesulitan
untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh.
Satu kali ia mengatakan bahwa kontakantara tubuh dan jiwa berlangsung dalam glandula
pinealis (sebuah kelanjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya
pemecahan ini tidak memadai bagi descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)
5. Kritik atas Rasionalisme Descartes
Pandangan Rene Descartes tentang kebenaran berpusat pada “aku” adalah lahirkan
kenisbian, karena setiap orang yang memiki keakuan masing-masing akan memiliki hak
untuk menyatakan kebenaranya, alhasil, kenisbian akan beranak pinak.
Rasionalisme tidak lebih dari upaya semua “aku” untuk membuktikan kebenaran,
tetapi semua keakuan tidak berhasil menemukan titik temu alias terjebak oleh dunia
relativitas. Disisi lain, rasio setiap ”aku” berbeda-beda tingkat kecerdasannya, sedangkan
Rene Descartes tidak membedakan tingkat kecerdasan, karena setiap rasio memiliki
standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan demikian, kebenaran tidak pernah sampai atau
sampai pada yang selalu nisbi.
6. De Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran
tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana
kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinozamenjawabnya dengan pendekatan
yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yakni dengan pendekatan
dedukasi matematis, yang dimulai dengan meletakan definisi, aksioma, proposisi ,
kemudian barulah membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma,
atau proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berpikir yang sama dengan Rene Descartes , ia mengatakan
bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa,
sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
7. Leibniz (1646-1716 M)
Metafisika leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi spinoza,
alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab,
sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akalyang mencukupi, yang secara
sedehana dapat dirumuskan, “ sesuatu harus mempunyai alasan’’. Bahkan tuhan juga
harus mempunyai alas an untuk setiap yang diciptakannya. Kita lihat bahwa hanya
ada satu substansi. Sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia
menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad itu bebeda satudari yang lain,
dan tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang yang tidak
dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini diberi judul
monadology (studi tentang monad) yang ditulisnya pada tahun1714.
C. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya
dapat dipahami dalam kaitanya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata
idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan
pada filsafat modern dipelopori oleh J.G Fichte, Schelling, Hegel.
Idealisme mempunyai argument epistimologi tersendiri. Oleh karena itu tokoh-tokoh
teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis
karena mereka tidak menggunakan argument epistimologi yang digunakan oleh
idealisme. Mereka menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik
adalah akhirnya adalah ciptaan tuhan; argument orang-orang idealis mengatakan bahwa
objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.
Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah madzhab
epistimologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau deduktif dapat diperoleh
manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistimologi ialah empiris yang
mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh melalui rasio (akal), melainkan melalui
pengalaman empiris. Orang-orang empiris sangat sulit menerima paham bahwa semua
realitas adalah mental atau bergantung kepada jiwa atauroh karena pandangan itu
melibatkan dogma metafisik.
Plato sering disebut sebagai seorang yang idealis sekalipun ide nya tidak khusus
(spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal. Akan tetapi ia sependapat
dengan idealisme modern yang mengajarkan bahawa hakikat penampakan (yang tampak)
itu berwatak khas spiritual. Ini terlihat jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal.
Pandangan ini dikembangan oleh Plotinus.
D. Empirisme
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri . dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeira yang
berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari
rasionalisme.
Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber
pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio
tidak memliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu. Kalaupun
menggambarkan sedemikian rupa tanpa pengalaman hanyalah khayalan belaka.
Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil
pengindraan. Hal ini bahwa berarti bahwa semua pengetahuan manusia, betapapun
rumitnya, dapat dilacak Kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang
telah tersimpan rapi di dalam akal, jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya
ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil pengindraan yang
menjadi pengalaman manusia tidak lagidiaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi
sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat, hingga melahirkan positivisme.
Aliran ini diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Montpellier
pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negri yang bernama katholik, karya utama
Auguste Comte adalah Cours de Philosophie positive, yaitu “kursus tentang filsafat
positif” (1830-1857) yang diterbitkan dalam 6 jilid. Selain itu, karyanya yang pantas
disebutkan disini ialah Discour L’esprit Positive (1844) yang artinya “pembicaraan
tentang jiwa positif”. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-
pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan
mengenai tatanan dan kemajuan.

Anda mungkin juga menyukai