Anda di halaman 1dari 7

Jawablah pertanyaan berikut:

1. Deskripsikan perkembangan ilmu di zaman now dan bagaimana sikap anda


Jawab:
Filsafat modern lahir melalui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan
munculnya abad Renaissance. Istilah ini diambil dari bahasa Perancis yang berarti
kelahiran kembali. Karena itu, disebut juga dengan zaman pencerahan (Aufklarung).
Pencerahan kembali mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia” terhadap
dirinya (yang selama ini dikungkung oleh gereja). Manusia menyadari bahwa dialah
yang menjadi pusat dunianya bukan lagi sebagai obyek dunianya.
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan
ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman
Renaissance. Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh usaha besar dari
Descartes untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Filsafat
berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya
(Zaman Modern).
Renaissance lebih dari sekedar kebangkitan dunia modern. Renaissance ialah periode
penemuan manusia dan dunia, merupakan periode perkembangan peradaban yang terletak
di ujung atau sesudah Abad Kegelapan sampai muncul Abad Modern. Zaman ini juga
disebut sebagai zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini ialah manusia diangkat dari
Abad Pertengahan yang mana manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang
dibuat manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia. Karena manusia
mempunyai kemampuan berpikir, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur
dirinya dan mengatur dunia.
Jadi, zaman Modern filsafat didahului oleh zaman Renaissance. Sebenarnya secara
esensial zaman Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman modern.
Ciri-ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat
modern adalah Descartes. Pada filsafat kita menemukan ciri-ciri Renaissance
tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali Rasionalisme Yunani
(Renaissance), Individualisme, Humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.
Filsafat modern menampakkan karakteristiknya dengan lahirnya aneka aliran-aliran
besar filsafat, yang diawali oleh Rasionalisme dan Empirisme. Selain kedua aliran
itu, juga akan diketengahkan aliran-aliran besar lainnya yang ikut  berperan
mengisi lembaran filsafat modern, yaitu idealisme, materialisme, positivisme,
fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme.
Filsafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:
1)            Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M).
2)            Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M).
3)            Aliran Kriticisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M).
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci
atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri.  Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat.  Aliran
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti
berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah
sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Sikap saya tentu harus cerdas dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan saat
ini. Manfaatkanlah ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut untuk menambah wawasan.
1. Jelaskan ciri-ciri berpikir kefilsafatan dan bagaimana mensikapi setiap
masalah
Jawab:
Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat
Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap
usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya
dengan bertitik tolah pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:
1. Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir.
Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat
dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus
bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi belakah. Ciri
pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran
filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal sehat, bukan sekedar
mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri pemikiran filsafat yang rasional
itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.
2. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis.
Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin
terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas kemanusiaannya yang
penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada
pada tataran sosial untuk melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai
fenomena patologis (penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan
represi yang cenderung mendistorsi akal sehat manusia.
3. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang
ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk
menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui
cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan
mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun
pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud,
mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran
sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia
tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan.
Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil
pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu sendiri
sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan
berbagai arus pemikiran baru apa pun.
4. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang
melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau
ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu berusaha membangun kejataman budi
untuk mampu mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki,
menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan
penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka,
dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh
kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat
tersebut mengandaikan sebuah kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi”
(kecerdasan) guna mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi
permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.
5. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat
selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang
benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide,
penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru, pemikiran
filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-golongkan, mensintesa
(mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari
pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan),
dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar.
Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran
(pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara
terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir
yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-
gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat.
Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas,
ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan
menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan
kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat
dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai
sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.
7. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat
menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna
daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-
lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat
yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah
dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan
tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah
eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab
hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta
pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan
oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka
kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam.
Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab
bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan
pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia,
karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga
dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.
8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide,
konsep atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan
taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik
yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk menempatkannya pada
sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi
pada tataran yang abstrak melalui bentuk –bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan
pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena
sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat,
didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada
taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan
menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu memberi
arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi
tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran
abstraktif, berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya
“menunjukkan” untuk makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan
“menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan
berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur guna
menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga
dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna.
9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri
berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi
ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada
informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada
taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu
dalam berbagai dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri
spekulatif memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif
yang luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang
spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan
(kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan
penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam
berbagai khasana pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar,
yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan
hukum yang ada. Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa
yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk
mengembangkannyadalam berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.
10. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan
penuh pertimbangan dan  penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan
mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa
pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka
membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam,
untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-
titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan
problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi (pembathinan)
setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu
mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya
kehidupan yang khas.
11. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan
hakikat pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai
titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian  pemikiran itu sendiri. Maksudnya,
pemikiran dan segala anak pinaknya, baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau
teknologi harus dapat menunjukkan sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas
kemanusiaan yang nyata. Bagi filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran
yang khas manusia, bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas
kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan
tanggungjawab kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat
pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi. Inti
kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses berpikir maupun
penerapan hasil pikiran itu sendiri.
12. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa
pikiran bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan
konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap  pemikiran filsafat, selalu
bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat
karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan cara bertindak manusia atau
masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara
nyata. Pemikiran kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam
membangun sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah
pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya
maupun sosial kemasyarakatannya.
13. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud
menunjukkan bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran
selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka
kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri
adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia
membudayakan diri dan memenuhi kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang
bermartabat. Berpikir eksistensial, mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas,
yang bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam
rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.
14. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk
menajamkan kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan
kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif
dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri
(menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri
berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa,
sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara
berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam
keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang
secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif
membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi
eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan
masyarakat yang beradab dan bermartabat.

1. Jelaskan jenis-jenis pengetahuan dan bagaimana implementasinya


Jawab:
Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya:
2.2.1 Pengetahuan langsung (immediate)
Pengetahuan immediate adalah pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa
melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme)
mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui
sesuatu itu sebagaimana adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-
realitas yang telah dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah,
binatang, dan beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku
pada realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali
meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit
mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian
adanya.
2.2.2 Pengetahuan tak langsung (mediated)
Pengetahuan mediated adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir
serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda
eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.
2.2.3 Pengetahuan indrawi (perceptual)
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra
lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-
objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui indra penglihatan akan membentuk
pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui
media indra-indra lahiriah ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto
dimana gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan
didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh,
seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota
indra badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah
benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial
(seperti adat istiadat). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa
pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
2.2.4 Pengetahuan konseptual (conceptual)
Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran
manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang
objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal.
Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di
antara keduanya merupakan aktivitas pikiran
2.2.5 Pengetahuan partikular (particular)
Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu, atau
realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau
individu tertentu, maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu
sendiri.
2.2.6 Pengetahuan universal (universal)
Pengetahuan yang meliputi keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusian misalnya;
agama dan filsafat.
Jenis-jenis pengetahuan ditinjau dari sudut bagaimana pengetahuan itu diperoleh,
bukan pada bahasan value atau nilai dari pengetahuan tersebut antara lain:
2.2.1 Pengetahuan biasa (common sense)
Pengetahuan biasa (common sense) Pengetahuan yang digunakan terutama untuk
kehidupan sehari-hari,  tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya. Seorang yang dulunya belum tahu tentang cara belajar sesuatu hal
dan setelah melalui suatu proses seseorang tahu tentang sesuatu hal tersebut, maka
orang tersebut disebut memiliki pengetahuan biasa. Dalam bahasa lain disebut
sebagai pengetahuan yang dimiliki dengan kadar sekedar tahu. Memenuhi faktor
ketidaktahuannya.
2.2.2 Pengetahuan ilmiah atau Ilmu pengetahuan
Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan
hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas mengetahui
kebenarannya,  tetapi masih berkisar pada pengalaman. Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu
(Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan
dengan suatu pemikiran  cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Dari
pengetahuan tentang misal hewan komodo yang sekedar tahu, kemudian menggunakan
beberapa langkah dan metode yang jelas untuk mengetahui lebih dari sekedar tahu,
dan dilakukan secara sistematis  maka orang yang mengetahui dan memahami secara
mendalam tentang hewan komodo tersebut dan disebut sebagai pengetahuan ilmiah
tentang hewan komodo. Dalam batasan ini, seseorang yang memiliki pengetahuan
ilmiah  atau ilmu pengetahuan, maka semua proses yang dilewatinya jika dilakukan
oleh orang lain akan memiliki pengetahuan yang sama dengan yang dimilikinya.
(Syarat Ilmiah). Sebagian yang mendefinisikan pengetahuan sebagai sebuah ilmu. Ilmu
merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk  menggambarkan
dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan
klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan
sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.
2.2.3 Pengetahuan filsafat
Pengetahuan filsafat, pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari
adalah sebab-sebab yang paling  dalam dan hakiki sampai diluar dan diatas
pengalaman biasa. Pengetahuan Filsafat biasanya berkenaan dengan hakikat sesuatu
(transenden) sehingga kadang  perbincangannya seputar hal-hal yang abstrak terhadap
banguan sebuah pengetahuan. Objek pembahasannya selalu mengedepanan aspek ontologi,
epistimologi dan aksionlogi. Pembahasan tentang Pengetahuan Filsafat akan di
uraikan pada postingan tentang Hakikat Filsafat.
2.2.4 Pengetahuan agama
Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para
Nabi dan Rosul-Nya  yang bersifat mutlak dan wajib diikuti para pemeluknya. Dengan
menjadikan ajaran agama sebagai tolak ukur kebenaran, maka pengetahuan agama sangat
sarat dengan nilai baik dan buruk, benar dan salah.  Sepanjang pengetahuan itu
tidak bertentangan dengan ajaran yang tertuang dalam kitab yang diperpegangi, maka
pengetahuan itu dianggap benar.

1. Jelaskan arti kebenaran dan tingkatannya serta bagaimana mensikapi


setiap kebenaran itu
Jawab:
Term “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun
abstrak. Dalam bahasa Inggris “Kebenaran” disebut “truth”, Anglo-Saxon “Treowth”
(kesetiaan). Istilah latin “varitas”, dan Yunani “eletheid”, dipandang sebagai
lawan kata “kesalahan”, “kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini”.Dalam
bahasa „Arab “Kebenaran” disebut “al-haq” yang diartikan dengan “naqid al-
batil”.Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia kata “Kebenaran”, menunjukkan kepada
keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh
adanya.
Menurut „Abbas Hamami, jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah
proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu
pernyataan atau statement. Dan, jika subyek menyatakan kebenaran bahwa proposisi
yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan
nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari
kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri. Dengan adanya berbagai macam
katagori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya
setiap subjektif yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian
yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.
Setelah membicarakan pengertian kebenaran dari beberapa ahli di atas, maka
kebenaran itu juga tidak terlepas dari 3 (tiga) hal:
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Maksudnya ialah bahwa
setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek
ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun.
Kedua, kebenaran yang dikaitkan dengan sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau
dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu. Apakah ia membangunnya
dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi atau keyakinan.
Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu
akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu,
akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika seseorang
membangunnya melalui indera atau sense experience, maka pada saat itu ia
membuktikan kebenaran pengetahuan itu harus melalui indera pula. Demikian juga
dengan cara yang lain, seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang
dibangun oleh cara intuitif, kemudian dibuktikannya dengan cara lain yaitu cara
inderawi misalnya.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis
pengetahuan: (1) inderawi; (2) pengetahuan akal budi; (3) pengetahuan intuitif; (4)
pengetahuan kepercayaan atau otoritatif; dan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya.
Implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya
pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek, manakah yang
lebih dominan untuk membangun pengetahuan itu. Jika subjek yang lebih berperan,
maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif,
artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungannya itu amat tergantung
pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau, jika; jika objek amat berperan,
maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam.

Anda mungkin juga menyukai