Pendahuluan
1
Dede Ahmad Haris,”Rasionalisme Islam Ibnu Rusyd”, Skripsi thesis,
(Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2018).
2
Franz Magniz-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,(Yogyakarta:Kanisius
1995), hlm. 65
semakin berkembang menuju rasionalitas dan kesempurnaan moral, dan bahwa
rasionalitas dan kesempurnaan moral berjalan beriringan.3
PEMBAHASAN
Tokoh kunci yang paling terkenal sebagai pendiri rasionalisme ini adalah
filsuf kelahiran Prancis Descartes. Untuk waktu yang lama dia tidak puas dengan
perkembangan filosofinya yang sangat lambat dan mahal. Sangat lambat, apalagi
jika dibandingkan dengan perkembangan filsafat di era sebelumnya. Orang kunci
paling terkenal yang mendirikan rasionalisme ini adalah filsuf kelahiran Prancis
Descartes. Untuk waktu yang lama dia tidak puas dengan perkembangan
filosofinya yang sangat lambat dan mahal. Sangat lambat, apalagi jika
dibandingkan dengan bagaimana filsafat berkembang di era sebelumnya.
Rasionalisme dapat dibagi menjadi dua jenis: 1) ranah agama dan 2) ranah
filosofis. Dalam ranah agama, rasionalisme adalah kebalikan dari otoritas dan
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Dalam ranah filsafat,
rasionalisme adalah kebalikan dari empirisme, rasionalisme adalah bagian dari
pengetahuan yang berpendapat bahwa bagian penting berasal dari penemuan akal.
. Contoh paling jelas adalah pemahaman logika dan matematika, yang sangat
berguna untuk epistemologi.
5
Cecep Sumarna, Rekonstrukti Ilmu dari Empirik-Rasional Atesi ke
EmpirikRasional Teistik, (Bandung: Benang Merah Press, 2005), hlm. 80.
Ciri rasionalisme mengarah pada aspek penggunaan akal semata untuk
menjelaskan kebenaran. Ciri-ciri rasionalisme yang dapat dijelaskan adalah:
6
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 128
d) Oleh karena itu, konsep (konsep) kesempurnaan ditempatkan
dalam jiwa kita oleh makhluk yang benar-benar sempurna, yaitu
Allah. 7
Keutamaan akal yang terkait dengan aliran rasionalisme tentu benar dari
semua bentuk material yang mungkin. Hal yang sama berlaku untuk tunanetra,
tuna rungu, dll. Faktanya, mereka hanya dapat berpikir dengan panca indera
mereka dan selalu dapat merasakan apa pun yang mereka rasakan. Demikian pula
kehidupan manusia diberikan empat petunjuk dari Tuhan yaitu:
i. Hidayah indrawi merupakan alat tubuh vital yang merupakan
suatu komponen pertama diterima oleh akal atau pikiran.
ii. Hidayah naluri merupakan suatu kehendak untuk menggerakan
manusia sehinga menimbulkan rangsangan yang akan diterima
oleh indrawi.
iii. Hidayah al-akliyah ialah akal yang di sebut juga dengan rasio atau
respon yang masuk dengan perantara naluri dan indrawi.
iv. Hidayah al-diyat ialah bimbingan agama bentuk meluruskan
pekerjaajn akal dengan memproses bahan-bahan yang masuk,dan
agama menyimbangkan, mengontrol, pelakasanan akal yang
menyimpang. 8
Sendi itulah yang menghubungkan dunia akal dengan pengalaman, karena
proses pengalaman adalah hasil dari pengetahuan yang tersimpan dalam pikiran
tanpa penolakan.
7
M. Bagus Jazuli,”Rasionalisme: Pengaruh Terhadap Pemikiran Cendekiawan
Muslim”,Dalam Jurnal AL-IFKAR, Volume XIII, Nomor 01, Maret 2020,hlm 85
8
Dr.Jalaluddin dan Drs.Abdullahidi,M.ed, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya
Media Pratama:1997.hlm 58
Mazhab Mu'tazilah (Islam Rasionalistik) menyatakan: Rasionalisme
adalah aliran pemikiran yang diarahkan pada interpretasi alam dan semua
fenomenanya, manusia dan perilakunya, berdasarkan seperangkat teori. Meskipun
demikian, aliran rasionalis mungkin juga muncul dalam ranah pemikiran
keagamaan, dengan alasan bahwa ada paradoks antara prinsip rasis dalam
mengevaluasi hubungan manusia dan mempercayai kenyataan. , beberapa
menyangkal kemungkinan ini. kekuatan gaib yang menjadi ciri khas keyakinan
agama. Aliran rasionalisme bukan untuk mereduksi segala sesuatu menjadi
konsep belaka, tetapi mencoba untuk menafsirkan fenomena alam dan manusia
menurut aturan rasional.Itu bisa ada dalam sistem kepercayaan apa pun.Argumen
Rasional - Argumen dalam teks-teks agama ada. 9
Mu'tazilah merupakan salah satu cabang rasionalisme dalam pemikiran
Islam. Alasannya bukan untuk membuktikan keyakinan yang kita terima hanya
melalui mediasi wahyu dengan argumentasi rasional, tetapi untuk memancing akal
pada level ekstrim, seperti dalam kasus teks-teks agama (Nash) yang bertentangan
dengan akal manusia. . “Tajira menganjurkan akal, dan teks-teks agama harus
ditafsirkan. Mereka membangun sekolah berdasarkan akal. Mereka adalah sekolah
pertama yang menyatakan akal sebagai sumber ilmu agama.” Menurut Mu'tazilah,
jika orang cerdas dan pemikir, mereka harus memiliki pengetahuan tentang
Tuhan, bahkan jika tidak ada wahyu yang turun kepada mereka. Mereka adalah
mazhab pertama yang menyatakan akal sebagai sumber ilmu agama. Menurut
Mu'tazilah, jika orang cerdas dan pemikir, mereka harus memiliki pengetahuan
tentang Tuhan, bahkan jika tidak ada wahyu yang turun kepada mereka.
Mu'tazilah dan Asy'ariyah memiliki pandangan yang sama tentang sumber
ilmu. Menurut kedua aliran ini, sumber pengetahuan adalah pikiran. Mu'tazilah
dan Asy'ariyah berbeda dalam hal mempertanyakan sumber keadilan, baik syariat
maupun akal. Hukum menurut Mu'tazilah dicapai dengan akal. Kecenderungan
rasionalis kaum Mutajir tidak terletak pada teori wacana teoretis mereka tentang
pengetahuan tentang sumber-sumber pengetahuan, tetapi pada keteguhan mereka
dalam berpegang pada akal.
9
M. Bagus Jazuli,Al-IFKAR…,hlm 90
Perbedaan mendasar antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah adalah keyakinan
mereka pada kekuatan akal. Penghormatan Mu'tazilah terhadap hati manusia
memungkinkannya sampai pada prinsip dasar agama - keberadaan Tuhan. Selain
apa yang disebut baik dan apa yang disebut jahat, pikiran manusia mampu
mengenali kewajiban kepada Tuhan, kewajiban untuk berbuat baik, dan kewajiban
untuk menghindari kejahatan. Wahyu pada empat poin ini akan memperkuat
pikiran akal dan memberikan rincian dari apa yang sudah diketahuinya.
Ashaliyah, di sisi lain, berpendapat bahwa akal tidak sekuat itu. Dari keempat
masalah di atas, hanya akal yang bisa memandu keberadaan Tuhan. Akal manusia
tidak dapat mengetahui pertanyaan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan,
tentang kebaikan dan kejahatan (buruk), kewajiban untuk berbuat baik dan
menghindari kejahatan.
1. Pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah mengandung tiga arti :Hasan adalah
sifat sempurna dan qabih adalah sifat tidak sempurna. Baik Mu’tazilah
maupun sy’ariyah, mengaku bahwa pengetahuan adalah baik dan tidak
mengetahuo adalah buruk. Tidak ada perbedaan di antara mereka bahwa
akal manusia dapat mengetahui hal itu secara pasti.
2. Penentuan baik dan buruk dengan melihat faktor maslahat dan madhorot
dan mafsadat-nya adalah sesuatu yang rasional.
3. Baik adalah obyek pujian dan pahala, dan buruk adalah obyek celaan dan
hukuman.
Posisi akal menempati tempat yang jauh lebih terhormat dalam Islam
daripada di semua agama lain. Sebagai kitab suci terakhir, Islam menuntut
pengamalan agama dari orang-orang rasional. Dengan kata lain, orang gila tidak
perlu mengikuti perintahnya atau menjauhi larangan.
Hanya karena Islam menghormati akal bukan berarti ia boleh beroperasi
tanpa batas atau arah, terutama dalam hal wahyu. Dalam teologi Islam saat ini
diketahui bahwa Madahab Mutajira sering kehilangan kendali ketika mengangkat
status akal. Bahkan, wahyu seringkali harus “ditundukkan” pada kehendak akal
manusia. Hal ini didasarkan pada akal, sebagaimana terlihat dalam konsepsi
Mutajir tentang baik dan buruk, dan menunjukkan ketidakberdayaan Tuhan untuk
melakukan hal-hal 'buruk' dalam kaitannya dengan masalah Surga dan Neraka.
Seharusnya benar, Tuhan sepenuhnya diatur oleh akal.
KESIMPULAN
10
Asmoro Achmadi. Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Wali Press, 2011) hlm.115
11
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogayakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 21-24
bertentangan dengan prinsip apriori, bukanlah pengetahuan, melainkan opini
belaka. 12
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati dari Thales sampai Capra
(Jakarta: Rosda, 2003), hlm 29