Anda di halaman 1dari 13

Pengantar Filsafat

(paper ini ditulis Bersama oleh Alwid-san & Lala-senpai, sebagai materi PT1 tahun 2021.
Digunakan Kembali dengan supervisi dan beberapa catatan dari Rafqi Sadikin-sensei).

Pendahuluan

Di samping memiliki insting yang digunakan dalam kerja-kerjanya mengolah alam untuk
memenuhi kebutuhan hidup, manusia juga memiliki nalar pikiran. Manusia berpikir mengenai
bagaimana caranya mempermudah kehidupannya, memaksimalkan perolehannya. Namun, tidak
terbatas hanya dalam soal pemenuhan kebutuhan jasmaninya, Akal budi yang dimiliki oleh manusia
menuntut pula jawaban-jawaban atas realita yang ditemukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-
harinya; kebutuhan ruhaninya: kebenaran!

Kebenaran yang dicari oleh manusia lewat pertanyaan-pertanyaan “apa itu?”, “dari manakah
asalnya?”, “mengapa?”, “kemanakah tujuannya?”, tentu bukanlah ‘kebenaran’ yang sekedar praktikal,
yang hanya mencapai permukaannya saja. Kebenaran yang ingin dicapai tentu saja ‘kebenaran’ yang
hakiki, inti dari segala sesuatu, penjelasan yang paling riil. dengan mendapatkan kebenaran itulah hidup
manusia bisa dilalui dengan lebih bermakna, bukan hanya menjalani hidup yang autopilot dan mekanis.
Itulah yang disebut sebagai kebijaksanaan. Untuk mendapatkan hakikat, tentu tidak bisa melalui
penalaran dan perenungan yang serampangan, namun lewat proses berpikir yang kritis, rasional,
radikal, sistematis, dan universal.

Berpikir kritis adalah hal yang pasti ada dalam perenungan mencari kebenaran. Tidak mungkin
hakikat yang ditemukan melalui perenungan tidak dilatar belakangi oleh kekritisan, oleh analisa yang
tajam, oleh pikiran yang tidak lekas menerima dan percaya. Kekritisan mutlak diperlukan dalam usaha
kita menemukan kebenaran. Kemudian, wajib pula bagi kita untuk berpikir secara rasional. Musti ada
pertanggungjawaban yang bisa diterima oleh nalar, musti ada alasan serta bukti yang diakui
kebenarannya. Pencarian atas hakikat juga membutuhkan pemikian yang radikal; pemikiran yang
mengakar. Tidak mungkin dalam mencari kebenaran hanya menyasar ke permukaannya saja. Cara
berpikir pun mestilah sistematis, maksudnya terarah, bisa diruntutkan secara logis maupun historis. Ia
bukanlah pertanyaan-pertanyaan yang acak, namun berurutan dan konsisten. Mengenai logika, ia
membahas mengenai masalah pengertian, putusan, dan penuturan. Membentuk pengertian ialah
dengan jalan abstraksi, melepaskan seluruh ciri aksidensi dari suatu objek dan menyisakan ciri esensinya
saja. Putusan adalah pengetahuan yang dibentuk dari pengertian-pengertian yang dihubungkan, dan
penuturan ialah putusan baru yang dibentuk dari putusan-putusan yang sudah ada. Ada dua metode
dalam penuturan, yaitu induksi (merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual), dan deduksi (dihasilkan dari pernyataan-pernyataan yang
bersifat umum ke pernyataan bersifat khusus).

Itulah yang disebut sebagai filsafat! Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara. Untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-
data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu; Hal yang akan
dilakukan oleh setiap orang yang mencintai (philia) kebijaksanaan (sophia).
Dua Kubu Besar

Filsafat pada mulanya adalah kritik pada mitos, dan kedua-duanya adalah cara manusia
menafsirkan kenyataan. Tanpa pengetahuan tersebut manusia tidak mampu merubah kenyataan, ia
tidak mampu merubah alam tempat ia hidup. Maka, hal itu mendesak manusia untuk sebisa mungkin
mengetahui tentang realitasnya (sebagaimana yang telah disebutkan di atas). Namun, sebelum mampu
menjelaskan segala sesuatunya dengan logis dan ilmiah, dengan segala ketidakmampuannya, manusia
menafsirkan kenyataan di sekitarnya kewat hal-hal yang tidak logis, sifatnya rahasia, gelap, dan lain-lain.
Ketika melihat matahari yang timbul-tenggelam setiap hari, manusia membayangkan bahwa itulah dewa
Ra yang lahir dan mati setiap hari dari rahim dewi Nut, ibundanya. Ketika melihat gerhana bulan, merasa
ketakutanlah mereka, dan membayangkan dewata bulan, candra, dilahap oleh ashura si kala rahu. Mitos
adalah wujud ketidakmampuan manusia untuk memahami dunia, dan Karena mitos tidak bertolak dari
realita, maka sifatnya subjektif. Apa yang diyakini oleh masyarakat akan sangat bergantung dengan
kelas yang berkuasa, bergantung kepada kondisi masyarakatnya.

Kita semua pasti sudah tahu mengenai kisah Nyi Roro Kidul, ratu penguasa laut selatan dalam
masyarakat feodal jawa, bahwa ia mengikat janji dengan seluruh raja mataram yang naik tahta untuk
menjadi permaisuri mereka. Semua takhayul yang mesum ini tidak lain hanyalah karangan pujangga-
pujangga keraton, untuk menampilkan bahwa seakan-akan kanjeng prabu mereka ialah orang yang
amat sakti, bukan hanya menguasai daratan pulau jawa, ia bahkan mampu bercinta dan memperistri
penguasa lautannya. “kalau begitu, siapa yang berani melawan titah raja?”, simpulan dari semua mitos-
mitos feodal anti-demokrasi itu.

Namun, di sisi lain, mari kita melihat kepada masyarakat yang lebih egaliter dan komunal,
seperti masyarakat kanekes atau komunitas dayak. Mereka mempercayai bahwa hutan dan gunung
adalah tempat yang kudus, tempat bersemayamnya karuhun dan dewata mereka. Mereka memandang
bahwa segala bencana alam, ialah wujud kemarahan dari hyang dan arwah, sehingga dengan sekuat
tenaga akan melindungi alam tempat mereka tinggal. Hal-hal ini jelas adalah mitos. Tidak ada yang bisa
membuktikan secara indrawi bahwa leluhur-leluhur mendiami batu atau pohon tertentu, namun semua
kepercayaan ini dibuat dengan maksud agar manusia yang hidup di sana tidak berani untuk merusak
alam tempat mereka menggantungkan hidupnya. Agar sumber air tidak tercemar, agar pohon-pohon
tidak ditebang, agar hewan-hewan bisa lestari, jauh lebih mulia dibandingkan takhayul feodal yang
mengagung-agungkan raden dan menak untuk lebih leluasa menghisap rakyat.

Demikianlah filsafat lahir untuk memblejeti dan membongkar mitos-mitos yang membodohi
rakyat. Di belahan dunia yang lain, tepatnya di Yunani kuno, yang pertama-tama mencoba untuk
menkritik segala mistisme ini adalah Thales, (640-546 SM). Ia menyatakan bahwa segala sesuatu itu
bersumber dari air, alih-alih dari dewa-dewi yang bersemayam di olympus. Ia menjadi pelopor
materialisme kuno, disebut pula ia sebagai ‘Bapaknya para Filsuf’. Namun, masih jauhlah perjalanan
umat manusia menuju ilmu pengetahuan. Capaian progresif Thales ini kemudian dinegasi oleh Plato
(427-347 SM), yang menganggap bahwa dunia yang kita diami ini bukanlah dunia yang sesungguhnya,
melainkan hanya bayangan dari dunia yang jauh lebih kekal dan nyata, dunia ‘idea’; idealisme, yang tak
jauh berbeda dari mistisme dan takhayul zaman purba.
Sampai sini, nampaklah bahwa ada dua kubu besar dalam wahana filsafat: Idealisme, dan
materialisme. “Masalah terpokok dari seluruh filsafat, ialah masalah hubungan antara pikiran dengan
keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam … antara mana yang primer, jiwa atau alam. Jawaban-
jawaban yang diberikan oleh para filsuf terhadap masalah ini membagi mereka dalam dua kubu besar.
Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada lebih dahulu daripada alam, dan oleh karenanya, dalam
instansi terakhir, menganggap adanya penciptaan dunia dengan satu atau lain bentuk …merupakan
kubu idealisme. Lain-lainnya yang menganggap alam adalah yang primer, tergolong ke dalam
berbagai mazhab materialisme”, tulis Fredrich Engels, tahun 1958. Jadi, materialisme bukanlah
kecintaan kepada benda-benda dan kenikmatan duniawi, atau idealisme berarti ketinggian tekad dan
keteguhan jiwa pada hal-hal yang bermoral luhur. Namun, dalam filsafat, materialisme berarti
pandangan dunia bertolak dari kenyataan objektif, sedang pandangan dunia idealisme berpangkal pada
pikiran atau ide.

Idealisme objektif

Sebagaimana yang sudah di-mention di atas, idealisme sebagai suatu sistem filsafat pertama-
tama diungkapkan oleh Plato. Ia menyatakan “..bahwa dunia luar yang dapat ditanggap oleh panca
indera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan daripada dunia ‘idea’ yang
abadi dan riil. Oleh karenanya ia selanjutnya berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu adalah
penemuan kembali atau pengingatan kembali (anamnesis) pada ‘idea’ itu, dan tujuan dari pengetahuan
manusia adalah untuk menemukan kembali seluruh dunia ‘idea’ itu.” Kemudian, idealisme Plato ini
dilanjutkan oleh Aristoteles (dengan menambahkan rasionalisme di dalamnya), serta oleh filsuf-filsuf
eropa zaman feodal sebagai skolatisisme.

Filsafat skolastisisme ini ialah, bahwa dunia kita ini merupakan satu tingkatan hierarki dari
seluruh sistem hierarki alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun juga hierarki yang ada
dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari hierarki dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang
ada dan yang terjadi di atas dunia kita maupun di seluruh alam semesta ini tidak lain adalah
pelaksanaan titah Tuhan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide Tuhan. Tokoh-tokoh filsafat ini
antara lain ialah Johannes Eriugena (833 – 800), Thomas Aquinas (1225 – 1274), Duns Scotus (1270 –
1308), dsb.

Di zaman modern, idealisme ini dikenal dalam wujudnya sebagai hegelianisme. Hegel (1770-
1831) menganggap bahwa hakikat dari dunia ini adalah ‘ide absolut’, yang berada secara absolut dan
‘objektif’ di dalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. ‘ide absolut’ ini, dalam
proses perkembangannya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala
pikiran. Dengan demikian, ‘ide absolut’ itu tak lain adalah pencipta segala sesuatu di dunia ini.

Idealisme subjektif

Sama seperti idealisme objektif, idealisme subjektif juga mengganggap bahwa kenyataan dan
alam materil ini berpangkal dari ide. Tetapi, ide yang dimaksud bukanlah ide absolut seperti dewata atau
roh-roh, namun ide manusia secara individu atau secara keseluruhan. Filsafat ini menganggap bahwa
alam materil disekeliling kita hanyalah kumpulan dari sensasi-sensasi manusia; dunia materil ini
hanyalah khayalan belaka, dan perasaan serta pikiran kita ialah satu-satunya subtansi yang riil. tokoh
terkenal dari filsafat idealisme subjektif ini adalah George Berkeley (1648-1753). Menurut Berkeley,
segala sesuatu yang tertanggap oleh sensasi atau perasaan kita itu bukanlah dunia materiil yang riil dan
ada secara objektif, melainkan khayalan daripada ide kita belaka. Sesuatu yang materiil, misalnya, bunga
mawar merah, dianggapnya sebagai suatu kumpulan dari berbagai macam sensasi tertentu, yaitu
sensasi mengenai warna, bau, bentuk, dsb. Sensasi atau perasaan itu adalah ide yang telah kita sadari,
atau sebagai bentuk eksistensi daripada ide kita.

Di abad 19, idealisme mengambil wujud sebagai positifisme, dikemukakan oleh Aguste Comte
(17998-1857). Menurutnya, hanya ‘pengalaman’-lah yang menjadi kenyataan sesungguhnya, selain
pengalaman manusia itu, tidak ada lagi dunia nyata. Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat
populer di dunia Barat dan sekarang agak banyak dipropagandakan di negeri kita, ialah eksistensialisme.
Pemukanya adalah seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889 - …), yang banyak mengambil
ajaran-ajarannya Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang mistik Denmark pada awal abad ke-19.
Eksistensialis-eksistensialis lainnya yang ternama antara lain Karl Jaspers (1883-1969) dan Jean Paul
Sartre (1905-1980).

Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa manusia tak mampu mengenal
dunia luar yang serba misterius dan rumit itu, satu-satunya kenyataan yang dikenalnya adalah “aku
ada”. Sebagaimana dikemukakan oleh Sartre. Eksistensi itu tidak mengandung akal, kausalitas,
keharusan! Oleh karenanya, setiap individu harus bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Tetapi kebebasan itu hanya dapat dicapai kalau memisahkan dirinya dari individu-individu lainnya, dari
masyarakat, karena dalam masyarakat, dalam hubungan dengan orang-orang lain, akan terampas
individualitasnya. Eksistensialisme menampakkan kekosongan spiritual dan degradasi moral yang
berasal dari individualisme borjuis.

Sama seperti mitos, idealisme pun berhubungan erat dengan kelas-kelas yang berkuasa untuk
mengukuhkan kekuasaan mereka. Menurut idealisme, kondisi objektif adalah cerminan dari ide yang
abadi. Maka, status quo adalah kebenaran, cerminan dari ide sejati. Idealisme adalah cara kelas
berkuasa menipu massa rakyat. Agar rakyat bisa berpaling dari segala penderitaan hidup yang diberikan
dari kelas atas, dan terus memandang kepada khayalan kosong serta mistisme. Rakyat dipaksa
menerima segala rasa sakit sebagai hal yang baik, sebab mereka akan diganjar kelak setelah mati. Aih,
alangkah malangnya jadi orang miskin; seumur hidup penuh derita, satu-satunya kenikmatan yang
ditawarkan pada mereka hanyalah ketika mati.

“Semuanya cuma pikiran kamu aja kok”, atau “Dunia ini teh fana, makanya gak usah terlalu
dikejar we dunia mah, nanti juga alloh yang bales”, padahal Pasti ada penjelasan yang materil dan riil
atas segala sesuatu, alih-alih langsung melemparkannya pada langit dan awang-awang mistisme.
Terkadang dikatakan pula “Ayo berpikir positif! kalo kamu terus-terusan punya good vibes, pasti hal-hal
yang baik juga dateng kok!”, “Situ miskin ? Emang males aja kali, kurang giat aja #SIGMAMINDSET”,
padahal Kita hidup dalam alam materil yang saling berhubungan, bukan dalam dunia khayali di mana
kita jadi pusatnya. Ingin merapal mantra sebanyak apapun, mendaraskan quotes-quotes estetik tumblr
soal pikiran positif sesering apapun, tentu tidak akan sekonyong-konyong menjadikan kondisi (materil)
jadi lebih baik. Bukan hanya alam yang kita tempati itu materil dan nyata, penderitaan yang kita alami
pun riil dan sama nyata. Sehingga, kita bisa membantah pernyataan paling konyol soal realita seperti,
“Semuanya mah ya gak bener-bener ada sih, cuma ilusi otak kita aja ~” dengan materialisme sederhana
yang demikian.

Sebagai mana filsafat adalah kritik atas mitos, maka materialisme adalah kritik atas idealisme.
Materialisme adalah ekspresi dari kaum progresif yang menyongsong kemajuan dan mencari
perubahan. Materialisme adalah senjatanya kelas tertindas, merombak pandangan palsu tentang
kenyataan, merenggutnya dari khayalan-khayalan yang jauh meninggi, dan menghempaskan filsafat
kembali ke bumi, tempat kita bersama berdiri, ditengah-tengah kondisi yang nyata, pahit dan getirnya.

Materialisme kuno

Materialisme kuno menjadi titik awal revolusi kebudayaan untuk membantah penafsiran dunia
yang berdasar pada hal-hal di luar nalar. Di India, kaum Carwaka memiliki pandangan yang disebut
‘lokayata’, bahwa tidak ada kehidupan setelah mati, tidak ada lagi dunia selain dunia yang kita diami
saat ini. Mereka menolak sistem warna-asrama dharma (pembagian kasta) yang dijalankan oleh kaum
brahmanis, juga sistem perbudakan yang dilahirkannya. Merekalah golongan demokratis pertama-tama
dalam peradaban India kuno. Di Yunani kuno, materialisme yang meyatakan bahwa materilah yang
menjadi pokok alam semesta alih-alih dewa atau roh, pertama-tama muncul oleh perenungan Thales
mengenai apakah yang menjadi sumber segala sesuatu. Thales mengemukakan bahwa unsur utama
yang membentuk dunia ialah materi: air! Sementara, Anaximender (611-546 SM) menyatakan bahwa
udaralah yang menjadi hakikat dari duni ini. Heraklitus (kira-kira 500 SM) menganggap bahwa dunia ini
diciptakan oleh api.

Kemudian, Demokritus (460 – 360) menyatakan bahwa, dunia ini terdiri dari atom; atom adalah
bagian-bagian terkecil yang tak dapat dipecah lagi dari segala benda. Perbedaan jumlah dan susunan
atom membentuk benda-benda yang berlainan. Selain itu, Demokritus menjelaskan pula mengenai
ruang. Ruang merupakan tempat dimana atom-atom itu bergerak, saling mendorong dan bentrok.
Sehingga terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Sebuah teori yang amat maju pada zamannya, yang
kelak kemudian akan benar-benar terbukti oleh tingginya teknologi ilmu pengetahuan modern. Epicurus
(341 – 270 SM), sebagai penerus dari Demokritus, menerangkan bahwa segala gejala pikiran, perasaan,
dsb, termasuk juga roh manusia, semuanya adalah perwujudan dari gerak atom-atom. Dengan
demikian, filsafat Epicurus berpendirian bahwa materi menentukan ide, bukan ide yang menentukan
materi.

Materialisme mekanis

Selama 700 tahun lebih, daratan eropa dikuasai oleh idealisme yang mistis. Di akhir jaman
feodal, pada akhir abad 17, kaum borjuis sebagai kelas baru yang mewakili cara produksi baru sudah
mulai tumbuh. Saat itu materialisme mulai muncul kembali dalam bentuk yang umumnya kita sebut
materialisme modern. Sebagai wakilnya yang tersohor dalam abad ke-17 antara lain adalah seorang ahli
pikir Belanda bernama Benedictus Spinoza, (1632 – 1677). Menurut Spinoza dunia ini terdiri hanya dari
satu substansi, kecuali itu tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya disebut “Tuhan”. Tetapi, “Tuhan”
yang dimaksud olehnya, bukanlah Tuhan dalam dunia agama atau Tuhan yang menciptakan dunia dan
manusia, melainkan alam dan hukum-hukumnya. Spinoza berbeda dengan Descartes (1596 – 1650).
Descartes menganggap yang ada di dunia ini dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya
mengakui satu zat saja: alam. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia sebagai suatu mesin, segala
sesuatu yang ada di dalam dunia ini dihubungkan satu dengan lain oleh satu ‘tali’. Ia juga mengatakan
bahwa individu tak dapat memisahkan dirinya dari masyarakat, kehidupan kemasyarakatan merupakan
keharusan; di dalam kehidupan semacam ini, tiap individu harus memadukan antara “mempertahankan
dirinya” dengan “mencintai sesamanya”. Rasionalisme dan mekanisme Spinoza ini adalah wujud ideologi
kelas borjuis yang pada masanya amatlah progresif dibandingkan dengan pemikiran filsafat feodal yang
terbelakang. Ia menyatakan perlawanannya atas hak-hak istimewa kaum bangsawan, juga takhayul dan
mistisme gereja.

Filsuf-filsuf kenamaan dari materialisme modern yang sezaman dengan Spinoza, antara lain
adalah Francis Bacon (1561 – 1626), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 – 1704) di Inggris
dan Pierre Cassendt (1592 – 1655) di Prancis. Aliran filsafat ini kemudian mencapai puncak
perkembangannya di Prancis pada abad 18 yang umumnya kita sebut materialisme Prancis. Para
filsufnya yang terkemuka antara lain ialah Paul Holbach (1723 – 1789) dan Julien Offray de Lamettrie
(1709 – 1751). Mereka secara tegas menyatakan bahwa materi adalah primer, ide sekunder; ide
dilahirkan dan ditentukan oleh materi.

Materialisme dialektik

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal, di masa peralihan dari abad ke-18 ke abad ke-19, di
Jerman, dimana kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud dalam bentuk
yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman. Sebagai puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah
Hegelianisme.

Hegel mengemukakan kelemahan-kelemahan metafisika yang merajalela pada filsuf-filsuf


ideealis maupun materialis di Inggris dan Jerman pada masanya. Pertama, kaum metafisik memandang
segala sesuatu sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, tidak secara keseluruhan, tidak saling
berhubungan; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu badan kesatuan, segala sesuatu di
dalamnya terdapat saling hubungan yang organik. Kedua, kaum metafisik melihat sesuatu tidak dari
geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat dari
perkembangannya, dan perkembangan itu disebabkan adanya kontradiksi internal. Ketiga, sumbangan
Hegel yang penting ialah teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum
Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari
proses perkembangannya, tetapi pandangannya tentang perkembangan hanya terbatas pada
perubahan-perubahan berangsur-angsur, perubahan evolusioner saja. Sedangkan Hegel berpendapat,
dalam proses perkembangan itu pertentangan internal makin mendalam dan meruncing, dan pada
suatu tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur berhenti, terputus, terjadilah “lompatan”. Setelah
“lompatan” itu terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan.
Pada pertengahan abad 19, kapitalisme di Jerman sudah berkembang dengan pesat, kekuasaan
feodal mulai guncang tetapi masih mampu mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam
keadaan itu, muncullah materialisme Ludwig Feuerbach (1804 – 1872) yang tidak hanya mewakili
kepentingan kaum borjuis, tetapi juga borjuis kecil yang sangat menderita pada waktu itu.

Materialisme Feuerbach pertama-tama menentang idealisme Hegel, menyangkal adanya “jiwa


absolut”, dan secara tegas menyatakan bahwa hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan
tajam mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi yang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan zaman dan harus diganti dengan filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach,
harus bertolak dari materi yang benar-benar ada di ruang dan waktu dan dapat dirasakan oleh kita,
pendeknya harus materialis dan atheis. Selanjutnya Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya
bahwa Hegel berdiri di dalam teologi berusaha menegasi teologi. Menurut Feuerbach, kedudukan Tuhan
digantinya dengan manusia, keTuhanan diganti dengan kemanusiaan, secara tegas ia mengatakan,
manusia itu sendiri adalah Tuhan. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan
Tuhan yang menciptakan manusia, sebaliknya “Tuhan adalah bayangan manusia di dalam cermin”. Ia
berpendapat, sebagaimana Holbach, bahwa agama itu pada permulaannya adalah untuk memenuhi
sesuatu kebutuhan manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa (kaum
bangsawan dan paderi) menggunakannya untuk memperbudak Rakyat banyak atas nama Tuhan.
Demikianlah Ludwig Feuerbach.

Kemudian, metode dialektika Hegel mengenai sejarah pun dikuliti dari selubung idealisme
sampah yang melikupinya oleh Marx dan Engels. Mereka mengambil metode dialektika ini, dan
dikombinasikan dengan materialisme Feuerbach. Namun, materialisme Feuerbach pun bukannya tidak
memiliki kekurangan. Materialismenya ternyata masihlah materialisme yang mekanik, yang
menganggap bahwa alam materi hanyalah mesin yang berputar begitu saja, tanpa ada perubahan sama
sekali. Ia juga mengganggap seakan-akan ide tidaklah memiliki peranan aktif kepada realita. Agama
nasrani pun dicelanya sebagai sumber kebobrokan zamannya, alih-alih sebagai reproduksi sosial yang
dihasilkan oleh kondisi objektif masyarakat. Maka. Kedua pandangan ini pun disintesiskan oleh Marx dan
Engels, menjadi Materialisme Dialektika Historis, pisau analisa yang bukan hanya menyingkap kenyataan
secara ilmiah, namun turut pula mengusahakan perubahan sosial masyarakat menuju kemajuan secara
objektif.

Ia menjadi cahaya zaman ini, menjentikkan api yang memantik ledakan revolusi dunia.
Menerangi jalan massa rakyat pekerja seluruh dunia, di Prancis, Russia, Tiongkok, tak lupa negeri kita
tercinta. Sampai sini kita sambut kelahirannya, senjata rakyat yang paling ampuh: Materialisme-
Dialektika-Historis !

Pokok-pokok materialisme Dialektik

Dunia adalah materi

Sebagaimana aliran materialisme pada umumnya, materialisme dialektik menyatakan bahwa


yang primer adalah materi, dan ide adalah sekunder. Apakah materi itu? Dalam filsafat, materi itu
adalah segala sesuatu yang ada di luar dan tidak tergantung pada kesadaran manusia, tidak
diciptakan dan dikendalikan oleh sesuatu ide apapun, dan dapat menimbulkan sensasi serta melahirkan
refleksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, pengertian materi dalam filsafat adalah
berdasarkan pada hubungan antara keadaan dengan pikiran, antara objek dengan subjek.

Kemudian, filsafat materialisme dialektik terang menjelaskan bahwa ide adalah refleksi dari
materi, tapi juga sebaliknya memiliki peranan aktif pada materi. Apakah materi itu? perasaan (sensasi)
dan pikiran tidak dilahirkan oleh sembarang materi, melainkan semacam materi tertentu yang kita sebut
otak, atau lebih tepatnya, suatu organisme sistem urat syaraf yang telah mencapai tingkat
perkembangan yang sangat tinggi. Tanpa otak tak akan ada pikiran atau ide. Otak atau sistem urat syaraf
manusia adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karenanya, ide adalah suatu produk
(hasil) dari proses perkembangan alam. Kemudian, Marx menerangkan bahwa ide itu “tidak lain
daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk
pikiran” Dan pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran
manusia dengan dunia luar, dengan adanya praktek sosial manusia. Oleh karenanya, ide juga merupakan
produk dari proses perkembangan praktek sosial manusia.

Namun, tidak seperti materialisme mekanik yang menafikan peranan ide, materialisme dialektik
menyatakan bahwa ide memiliki peranan aktif kepada materi. ide sejak awal ialah pencerminan
kenyataan objektif, tetapi pencerminan ini bukanlah pencerminan yang sederhana dan langsung,
melainkan pencerminan yang aktif, melalui suatu proses pencerminan yang rumit sehingga dapat
mencerminkan kenyataan objektif sebagaimana adanya, baik bagian luarnya maupun hakikatnya. Justru
adanya peranan aktif daripada ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau
perkakas-perkakas untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan
maupun mengubah keadaan. Dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak secara
sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan praktek sosialnya, untuk
kehidupannya. Ide revolusioner, yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan.
Sebaliknya, ide reaksioner, yaitu ide yang berlawanan dengan hukum-hukum perkembangan keadaan
objektif, memainkan peranan menghambat kemajuan.

Dunia materil adalah suatu kesatuan organik

a) Saling hubungan gejala-gejala adalah objektif

Dalam mengakui dunia materiil ini sebagai suatu kesatuan yang organik, tidak cukup hanya
mengakui adanya saling hubungan antara gejala-gejala, tetapi yang penting ialah mengakui bahwa saling
hubungan antara gejala-gejala itu adalah suatu hukum yang objektif berlaku di dunia semesta ini, bukan
terkaan atau buatan manusia secara subjektif, juga bukan sebagai perwujudan dari kemauan atau
keinginan “ide absolut” dsb. hal ini justru merupakan suatu ciri yang membedakan dialektika Marx yang
materialis dengan dialektika Hegel yang idealis.

b) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu


Dengan mengakui adanya saling hubungan organik antara gejala-gejala berarti juga bahwa
adanya sesuatu hal tak dapat dipisahkan dari keadaan di sekitarnya, atau adanya sesuatu hal
mempunyai syarat-syarat tertentu. Arti dari sesuatu hal ditentukan oleh keadaan atau situasinya.
Bilamana situasinya berubah, maka artinya pun berubah pula. Misalnya, tumbuhnya cara produksi
kapitalis atau kapitalisme memerlukan syarat-syarat tertentu, yaitu di satu pihak sudah ada kapital, di
lain pihak sudah tersedia buruh upahan. Dan syarat-syarat ini baru terdapat pada akhir zaman feodal di
Eropa.

Pendeknya, dengan pandangan saling hubungan ini kita diajarkan supaya dalam memandang
dan memecahkan sesuatu masalah jangan dipisahkan dari hubungan keseluruhannya, karena tiada satu
hal yang tidak ada sebab atau akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu.

c) Saling hubungan yang pokok dan bukan pokok

Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Akan tetapi, di antara sekian banyak saling hubungan itu tidaklah
semuanya sama artinya, peranannya, atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan yang
memainkan peranan menentukan, ada yang hanya memainkan peranan mempengaruhi saja; ada yang
bersifat keharusan, ada juga yang bersifat kebetulan; ada yang merupakan sebab, ada pula yang
merupakan akibat; ada yang pokok, ada yang bukan pokok; dsb, dsb.

Dunia materil senantiasa bergerak dan berkembang

“Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika Alam, “dari sesuatu yang
sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, dari sebutir pasir sampai matahari, dari Protista
sampai ke manusia, adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam keadaan senantiasa
mengalir, dalam keadaan gerak dan berubah yang tak henti-hentinya”.

a) Gerak materi adalah gerak sendiri

Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa gerak materi itu bukan
disebabkan karena dorongan dari kekuatan di luar materi, melainkan oleh kekuatan-kekuatan yang ada
di dalam materi itu sendiri. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa perkembangan
masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan yang berada di luar masyarakat itu, melainkan ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan yang berada di dalam masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik tidak mengakui peranan faktor
luar terhadap gerak materi. Materialisme dialektik berpendapat bahwa faktor luar itu hanya dapat
mempengaruhi gerak materi tetapi bukan yang menentukan. Yang menentukan adanya gerak materi
adalah faktor-dalam yang ada pada materi itu sendiri. Singkatnya, faktor-luar merupakan syarat dan
faktor-dalam merupakan sebab daripada gerak atau perubahan materi

b) Diam adalah salah satu bentuk gerak


Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan berkembang, tidaklah berarti
bahwa materialisme dialektik menyangkal adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektik
berpendapat bahwa gejala demikian itu adalah suatu bentuk dari pada gerak materi, suatu bentuk gerak
di dalam keadaan tertentu dimana imbangan kekuatan-kekuatan-dalam dengan kekuatan-kekuatan-luar
daripada materi itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif. Keadaan demikian ini
disebut juga sebagai kestabilan relatif daripada kualitas.

Dunia berkembang menurut hukum-hukumnya

Bagaimana hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan itu? Engels merumuskan
dalam tiga hukum dasar:

a. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan atau tentang
kontradiksi;
b. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif; dan
c. Hukum tentang negasi daripada negasi.

Hukum Kontradiksi

Pada dasarnya materi memilki sifat kontradiksi (pertentangan). Setiap materi yang
berkontradikisi akan menghasilkan materi yang baru. Hal tersebut dapat tergambar secara sederhana
pada contoh kasus dua mobil (dua materi) yang bertuburukan (kontradiksi) akan menghasilkan mobil
dengan keadaan yang rusak (materi baru). Begitu juga yang terjadi dalam sejarah perjuangan
mahasiswa, rezim orde baru yang ototriter bertentangan dengan gerakan massa yang demokratis
menghasilkan orde reformasi, atau upah minim buruh bertentangan dengan tuntutan kenaikan upah
yang layak menghasilkan kenaikan angka UMR.

Secara sederhana dari contoh kasus tersebut kita dapat menarik kerangka dalam sebuah konsep,
kondisi awal (tesis) bertentangan dengan kondisi lain (antitesis) akan menghasilkan kondisi baru
(sintesis). Dengan demikian kita dapat mengkategorikan bahwa rezim orde baru yang ototriter
merupakan sebuah tesis sedangakan gerakan massa yang demokratis merupakan antitesis, orde
reformasi merupakan sintesisnya, atau upah buruh yang minim merupakan tesis sedangkan tuntutan
kenaikan upah yang layak merupakan sintesis menghasilkan kenaikan angka UMR yang merupakan
sintesis.

Negasi atas Negasi

Secara sederhana dari contoh kasus di atas kita dapat menarik kerangka dalam sebuah konsep,
bahwa ada sesuatu hal yang ditiadakan dari suatu pertentangan yaitu ditiadakannya orde baru dan
ditiadakanya upah yang minim. Ketiadaan ini disebut dengan negasi. Dengan demikian, suatu sistem
penindasan sekalipun dapat kita negasikan melalui suatu gerakan yang terorganisir, sistematis, dan
terencana.
Perubahan kuantitas menuju perubahan kualitas

Dalam pandangan materialisme kuantitas akan mempengaruhi kualitas. Jumlah akan


menentukan kualitas materi. Dalam konteks gerakan, materialisme memandang bahwa 10 orang
mahasiswa berdemonstrasi tentu akan berbeda kualitasnya dengan 100 berdemonstrasi. Begitupun 100
orang mahasiswa akan berbeda dengan 1000 orang mahasiswa. Semakin banyak mahasiswa maka
semakin baik kualitasnya, semakin baik kualitas semakin dekat kita dengan keberhasilan.

Penutup

Berfilsafat mungkin terasa membosankan atau membuat kepala menjadi pusing, tetapi hal
tersebut terbayarkan dengan meluasnya pikiran kita terhadap kasus-kasus yang ada di masyarakat. Ber-
MDH, secukupnya dan sebesarnya membawa kita kepada gerbang jawaban yang lebih luas dan lebih
komperhensif dibanding prasangka-prasangka ajaib dan jawaban pematah akal sehat “ itu mah
tergantung masing-masing saja ya, gaperlu dipermasalahkan”. Tak ayal, kerja-kerja rakyat dan
pengorganisasian massa harus memakai filsafat, toh, selama ini kita harus dituntut berpikir hingga hulu,
hingga akar dalam suatu problema masyarakat. Tak boleh kita bertemu tani dan buruh yang kesulitan
dan hanya berkata “sabar yah pak, mungkin ini ujian dari Tuhan, harus selalu berdoa dan bekerja saja
dengan ikhlas”, itu Cuma membuktikan bahwa kita cuma mahasiswa ignoran dan membuang-buang sel-
sel otak kita pada hal yang gak-jelas. Tidak banyak hal yang mungkin pemantik berikan kepada kawan-
kawan pembaca, namanya pengantar: ya kita antar, sisa perjuangan-mencari-jawaban-akhir-dari-
berfilsafat ya tugas kawan-kawan sekalian. Silakan berjalan untuk mencari kebenaran dengan tujuan
terakhirnya, kemenangan perjuangan massa rakyat.
Hukum kontradiksi ini merupakan “inti” atau “jiwa” daripada dialektika, karena ia menerangkan
sumber dan hakikat perkembangan. Lenin mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas
bagian-bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika”.[16] Oleh karenanya ia adalah
salah satu ciri terpenting yang membedakan dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi
kita untuk memahami dengan baik dialektika keseluruhannya.

Hukum ini menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian atau segi-segi yang
berbeda-beda atau berkontradiksi, dan gerak atau perkembangan sesuatu itu terutama disebabkan
adanya saling hubungan yang berupa “persatuan dan perjuangan” antara segi-segi bertentangan yang
ada di dalamnya. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri, maka dapatlah kita katakan hukum
ini adalah hukum “bhinneka tunggal ika”.

Sementara,

“Sejak jaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu
tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang ujud-ujud impian mulai percaya bahwa
pikiran dan perasaan mereka bukan aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi suatu nyawa yang tersendiri
yang mendiami tubuhnya dan meninggalkannya waktu mereka mati – sejak itu manusia didorong untuk
berpikir tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu tubuhnya mati nyawa itu
meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada kesempatan untuk mendapatkan suatu kematian
lain yang jelas baginya”.

Yang harus dibereskan oleh filsafat:

merumuskan pertanyaan fundamental, mencari akar masalah, melakukan usaha-usaha nyata


penyelesaian masalah, dan pada akhirnya menuntun praktek mengubah keadaan dunia menuju hari
depan yang lebih baik. Lebih lagi seperti kata Lenin, Where is to be done, What is to be done.

Hal mendasar dari pemahaman dan pengamalan Materialisme Dialektika adalah meninjau
semua kenyataan secara obyektif, perkembangan kenyataan obyektif dan menempatkan perspektif
kelas sebagai sudut pandang pokok sejarah perkembangan masyarakat. Dan berikutnya adalah
memperdalam, memperkuat, dan membajakan kesadaran kelas dalam praktek perjuangan kelas
proletariat Indonesia yang memiliki mandat historis. Seluruh pembajaan tersebut menjadi syarat penting
dalam memerangi berbagai pandangan yang salah, kabur, dan bertele-tele dalam pusaran nasib tanpa
jalan keluar seperti yang terjadi sejauh ini. Seluruh pembajaan tersebut menjadi penting untuk
memerangi semangat tanpa kebenaran, kebenaran tanpa semangat, pahlawan-pahlawan tanpa
tindakan pembebasan yang historis, apatisme orang-orang frustasi, dan pada akhirnya sejarah tanpa
pergolakan yang memajukan masyarakat itu sendiri. Revolusi sosial dengan segala bentuknya adalah
himpunan energi kesadaran yang memiliki aspirasi positif dan membebaskan. Suatu daya penghancur
apa yang mati dan membatu dalam sejarah.

Anda mungkin juga menyukai