Manusia
2 02 2007
Filsafat Manusia secara umum bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-
gejala atau ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang
manusia (human studies). Adapun secara spesifik bermaksud memahami hakikat atau esensi
manusia. Jadi, mempelajari filsafat manusia sejatinya adalah upaya untuk mencari dan
menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu?
Obyek kajiannya tidak terbatas pada gejala empiris yang bersifat observasional dan atau
eksperimental, tetapi menerobos lebih jauh hingga kepada gejala apapun tentang manusia selama
bisa atau memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional.
Metodenya: (1) Sintesis, yakni mensintesakan pengetahuan dan pengalaman kedalam satu visi
yang menyeluruh tentang manusia; (2) Refleksi, yakni mempertanyakan esensi sesuatu hal yang
tengah direnungkan sekaligus menjadikannya landasan bagi proses untuk memahami diri sendiri
(self understanding).
Cirinya: (1) Ekstensif, yakni mencakup segala aspek dan ekspresi manusia, lepas dari
kontekstualitas ruang dan waktu. Jadi merupakan gambaran menyeluruh (universal) tidak
fragmentaris tentang realitas manusia; (2) Intensif, yakni bersifat mendasar dengan mencari inti,
esensi atau akar yang melandasi suatu kenyataan; dan (3) Kritis, atau tidak puas pada
pengetahuan yang sempit, dangkal dan simplistis tentang manusia. Orientasi telaahnya tidak
berhenti pada “kenyataan sebagaimana adanya” (das Sein) tetapi juga berpretensi untuk
mempertimbangkan “kenyataan yang seharusnya atau yang ideal) (das Sollen).
Manfaatnya, secara: (1) Praktis, mengetahui tentang apa atau siapa manusia dalam keutuhannya,
serta mengetahui tentang apa dan siapa diri kita ini dalam pemahaman tentang manusia tersebut;
dan (2) secara Teoritis, untuk meninjau secara kritis beragam asumsi-asumsi yang berada di balik
teori-teori dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Diharapkan dengan mempelajari filsafat manusia, seseorang akan menyadari dan memahami
tentang kompleksitas manusia yang takkan pernah ada habisnya untuk senantiasa dipertanyakan
tentang makna dan hakikatnya. Sejauh “misteri” dan “ambiguitas” manusia ini disadari dan
dipahami, seseorang akan menghindari sikap sempit dan tinggi hati.
___________________
“Siapa yang terbiasa menyusuri ngarai terdalam lembah-lembah atau mendaki puncak tertinggi
gunung-gunung, akan tertawa mendengar keluh-kesah seseorang yang sudah merasa kecapaian
(kelelahan) mengitari pekarangan sempit rumahnya. Dan dia akan lebih tertawa lagi karena
ketika seseorang itu ditanya tentang makna “derita” dalam hidup ini, ternyata ia sanggup
bercerita panjang-lebar dengan begitu antusiasnya seolah-olah hanya dialah satu-satunya
manusia yang paling berpengalaman dan memahami tentang apa itu penderitaan. Benar-benar
sebuah lelucon yang menyebalkan!”
Relativitas Manusia
2 02 2007
Protagoras, seorang sofis klasik paling terkemuka, pernah mengatakan: “Manusia adalah ukuran
bagi segala sesuatu”. Pernyataannya ini sering dikutip sebagai statemen humanisme awal, yakni
desakan untuk lebih perhatian pada kebutuhan-kebutuhan, konsep-konsep, minat-minat manusia.
Sekaligus ajakan untuk mempercayai apa yang berguna bagi manusia (sejenis pragmatisme),
termasuk klaim bahwa tidak ada pandangan di luar manusia, seperti dari dewa-dewa. Seruan itu
sejatinya adalah ajakan kepada manusia untuk memahami dan menyadari kekurangan-
kekurangan pengetahuan yang dimilikinya karena keterbatasan kapasitas intelegensi dan
prasangka-prasangka manusiawi yang inheren dengan dirinya (built in limitations). Manusia
tampaknya harus puas untuk mengetahui sebatas “apa yang tampaknya ada atau tidak ada” (what
seem to us to be or not to be) dan bukannya “apa yang sesungguhnya ada atau tidak ada” (what
really is).
Manusia sebagai ukuran juga berarti bahwa pandangan manusia senantiasa akan dibatasi oleh
sudut pandangnya (perspektifnya), dan tidak memungkinkannya untuk mengetahui benda-benda
sebagaimana adanya. Semua pengetahuan manusia kemudian adalah “relatif” bagi suatu sumber,
konteks, kebudayaan, masyarakat, dan pribadi. Pada gilirannya, mengetahui kebenaran dari suatu
perspektif berarti, mau tidak mau, mengetahui kurang dari keseluruhan kebenaran. Tegasnya,
sesungguhnya manusia tidak mengetahui kebenaran itu sendiri.
Michel de Montaigne di abad modern juga sampai pada simpulan bahwa kebiasaan dan juga ide-
ide manusia selalu saja berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya atau berubah seiring dengan
perubahan konteks dan zamannya. Seperti kata Heraklitus, “Pada kaki orang yang menjejak ke
dalam sungai yang sama, lewatlah (atau mengalirlah) air yang berbeda-beda”. Jadi, hanya
perubahanlah yang konstan di alam semesta ini. Maka, realitas ini kemudian sudah sepatutnya
mengantar manusia pada kesadaran atas kekurangan pengetahuannya sehingga lahir kebajikan
lain berupa kebijaksanaan untuk menolak bersikap kaku atau bersikukuh terhadap (adanya)
pengetahuan-absolut dan menjadi rendah hati atau lebih manusiawi untuk bersikap toleran
terhadap perbedaan.
Jauh-jauh hari Pythagoras juga telah memaklumatkan bahwa “Saya hanyalah seorang pecinta
kebijaksanaan (lover of wisdom)”. Menurutnya, pencarian, pertanyaan, dan aktivitas berfikirlah
yang membuat seseorang menjadi filsuf dan bukannya ikhtisar jawaban yang begitu mudah
merosot menjadi suatu dogma yang diterima begitu saja, menjadi slogan-slogan kosong yang
barangkali tidak menghendaki pemikiran atau pengertian sama sekali. Filsuf adalah para pencari
(seekers) yang mencintai kegiatan berfikir dan pemikiran. Mereka tidak ingin sekedar menerima
pendapat populer atau kepercayaan-kepercayaan yang telah mapan berhadapan dengan nilai.
Mereka justru bergerak untuk melampauinya bahkan terkadang menentangnya.
__________________
“Jika banteng, kuda, singa mempunyai tangan dan dapat melukis seperti manusia, kuda akan
melukis para dewa berupa kuda, dan banteng akan melukis wujud para dewa seperti sapi jantan,
masing-masing melukis tubuh para dewa seperti tubuhnya sendiri” (Xenophanes)
Asal-Usul Manusia
2 02 2007
Jika manusia dilihat sebagai bagian dari kosmos (alam), maka dalam kosmogoni awal Yunani
terdapat pemikiran yang menyebutkan bahwa bahan dasar segala sesuatu yang ada ini adalah air
(Thales), apeiron (Anaximander), udara (Anaximenes), api (Heraklitus), unsur-unsur asali yang
beraneka rupa (Anaxagoras), dan atom (Demokritus).
Menurut Demokritus, dunia terdiri dari sejumlah partikel yang bermacam-macam, berbeda
bentuk dan ukuran, yang tak dapat dibagi-bagi (dipotong-potong) menjadi bagian yang lebih
kecil lagi (a=tidak; tom=memotong). Atom-atom tersebut bergerak dan bergabung mencipta
benda-benda dalam ruang kosong (void; nanti bandingkan dengan pendapat Descartes). Baginya,
roh manusia sejatinya tak lebih dari sejenis atom-material yang tak begitu penting dari
sedemikian banyak atom-atom material lainnya yang ada di alam semesta ini. Karena atom
bersifat abadi, maka menurut Demokritus, alam ini dengan sendirinya berkekalan. Pada awal
perkembangan filsafat modern, Gottfried Wilhelm von Leibniz menyuarakan pemikiran yang
serupa tetapi dengan muatan spiritualitas. Menurut Leibniz, dunia ini terdiri dari substansi dasar
yang tak berhingga jumlahnya yang disebut monad. Monad tersebut bersifat otonom (lengkap
dan bebas dari lainnya). Monad itu seperti diri yang kecil atau jiwa. Tuhan adalah super monad,
pencipta semua monad. Monad bersifat mencerap dunia dalam suatu harmoni yang telah
ditentukan sebelumnya oleh Tuhan.
Bagi Plato, alam yang tampak ini sebenarnya hanyalah kongkretisasi (bayangan) dari realitas
atau hakikat yang ada di alam idea. Dengan kata lain, antara matter (substansi sesuatu) dan form
(pembungkus sesuatu) yang senantiasa menjadi bagian dari suatu obyek tertentu masing-masing
berdiri sendiri. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa matter dan form itu bersatu. Matter
adalah potensial dan form itu aktualitas. Tetapi menurutnya, ada substansi yang murni form
tanpa potensialitas, yaitu Tuhan. Tuhan itulah penyebab gerak pertama alam semesta ini (a first
cause of motion).
Dalam pemikiran Plotinus, alam semesta dan seisinya ini tercipta melalui proses emanasi
(melimpah) sebagaimana cahaya beremanasi dari matahari. Alam yang melimpah atau mengalir
itu tetap menjadi bagian dari Yang Asal (yaitu Tuhan). Sehingga alam berada di dalam Tuhan
dan bukan sebaliknya. Semakin jauh limpahan itu dari asal, maka semakin ia tidak sempurna.
Sebagaimana cahaya yang kian jauh dari sumber cahaya, semakin redup pula terangnya.
Dengan kerangka emanasi Plotinus, al-Farabi menarasikan proses penciptaan alam semesta
sebagai limpahan (faidh) dari Tuhan. Menurut al-Farabi, Tuhan itu adalah substansi yang azali,
akal murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Ia adalah ‘aql, ‘aqil dan ma’qul sekaligus.
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang sangat dahsyat, maka daya itu
menciptakan sesuatu. Yang diciptakan oleh pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak.
Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan
menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II
juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan
menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang.
Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang
dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal
IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan
Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan
Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan;
dan Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk
menghasilkan Akal.
Baruch Spinoza di era Renaissance menyuarakan kembali pemikiran tentang kesatuan Tuhan dan
alam. Menurutnya, substansi yang ada hanya satu yaitu Tuhan. Semua individu yang ada
termasuk manusia sejatinya adalah modifikasi dari substansi yang satu itu. Karena itu, pemilahan
antara Tuhan dan alam semesta adalah ilusi. Jadi, sebenarnya tidak ada pembedaan yang final
antara individu yang berbeda karena semuanya adalah bagian dari substansi yang tunggal. Bagi
Spinoza, esensi dari substansi adalah sifat. Substansi yang tunggal itu memiliki sifat yang tak
terhingga, yang diantaranya dikenal sebagai tubuh dan jiwa. Karena substansi yang esa itu
senantiasa ada, maka kekekalan manusia dengan sendirinya menjadi terjamin.
_________________
“Barangkali saya tahu dengan sangat baik mengapa manusia merupakan satu-satunya hewan
yang tertawa. (Hal tersebut kiranya disebabkan) manusia sendiri sesungguhnya teramat
menderita sehingga ia dipaksa untuk bisa tertawa” (Nietzsche)
“Struktur” Manusia
2 02 2007
Plotinus mengatakan, jiwa tidak bergantung pada materi. Materi seratus persen pasif, sedangkan
jiwa seratus persen aktif. Karena itu, jiwa merupakan esensi tubuh material. Tubuh itu materi
yang berisi prinsip-prinsip ketiadaan, penuh dengan kejahatan dan keterbatasan yang berjarak
jauh dengan Tuhan. Tetapi bukan berarti tubuh lantas boleh diabaikan. Dunia tidak boleh
disangka sebagai sumber ketidakbahagiaan, karena Tuhan sebenarnya telah menciptakan yang
ada ini dengan ketelitian, keteraturan dan keindahannya.
Agustinus menyatakan bahwa menurut naturnya (demikian seharusnya) jiwa memang ada
(bertempat) pada badan (tidak melalui proses emanasi seperti prasangka Plotinus). Tetapi jiwa
tidak bergantung pada badan karena sifatnya immortal (abadi), sehingga ia tidak ikut binasa jika
badan hancur. Dari sini, jiwa itu lebih tinggi dan lebih hakikat (esensial) daripada badan.
Menurut Thomas Aquinas, karena jiwa lebih tinggi dari raga, maka jiwa harus menjadi
pembimbing. Jiwa tertinggi adalah jiwa rasional yang merupakan manifestasi kehidupan
tertinggi yang menyajikan supremasi intelek di atas benda, tetumbuhan (jiwa vegetatif) dan
hewan (jiwa sensitif). Sekalipun jiwa itu satu, tetapi dapat dibagi dalam kemampuannya yang
meliputi: daya mengindera (sensation), berfikir (reason), dan nafsu (appetite) yang mencakup
kemauan. Sebagaimana Agustinus, Aquinas meyakini jiwa bersifat immaterial karena mampu
memikirkan obyek-obyek yang bersifat immaterial dan universal. Jiwa juga bersifat abadi karena
ia pemberi hidup (bagi badan). Pemberi hidup harus selalu hidup. Baginya, jiwa adalah form.
Matter (dalam hal ini badan) memperoleh form dari jiwa, lantas mengaktual. Begitu jasad rusak,
jiwa memisahkan dirinya. Kelak, menurutnya, jiwa akan dipersatukan kembali dengan tubuhnya
dalam kehidupan mendatang.
Tentang interaksi tubuh dan jiwa menarik disimak pemikiran Cartesian berikut ini: Melalui
analisisnya, Rene Descartes sampai pada suatu simpulan bahwa tidak ada ruang kosong di alam
semesta ini. Semuanya penuh dengan aneka partikel yang memiliki sifat-sifat dasar sederhana
(simple natures) yaitu keluasan (ekstensi) dan gerak (motion). Tiga partikel dasar yang ada di
alam ini adalah: api, udara, dan tanah. Tubuh manusia juga terdiri dari partikel-partikel tersebut
dengan 10 fungsi fisiologis yang bergerak secara mekanis: (1) pencernaan makanan, (2) sirkulasi
darah, (3) daya tahan dan pertumbuhan, (4) respirasi, (5) tidur dan terjaga, (6) sensasi pada dunia
eksternal, (7) imajinasi, (8) memori, (9) nafsu dan gairah, (10) pergerakan tubuh. Kesemuanya
itu dikontrol oleh aktivitas otak dan sistem syaraf. Adapun variasi respon spesifik (individual)
adalah hasil dari interaksi respon eksternal dan kesiapan “emosional” internal “roh-roh hewani”.
Descartes percaya bahwa memahami manusia tak cukup hanya dengan penjelasan secara
mekanistis karena adanya “kesadaran dan kehendak”, “keinginan dan pertimbangan-
pertimbangan rasional” dalam tindakannya. Disini ia mempercayai entitas immaterial yang
disebut sebagai jiwa, yang sama sekali berbeda dengan tubuh. Sekalipun tidak pernah nampak
secara langsung atau dialami dalam totalitasnya, jiwa dapat dikenali dengan melacak ide-ide
bawaan (innate ideas). Jiwa dikatakan bersifat padu, rasional dan konsisten. Jiwa dapat berperan
menjadikan perilaku disadari (atas pertimbangan rasional). Dalam bahasanya, “Cogito ergo sum”
(aku berfikir, maka aku ada). Tetapi, sekalipun jiwa dapat mempengaruhi perilaku, ia tidak selalu
dapat mengendalikannya. Descartes mengatakan, “Tak cukup mempunyai pikiran yang baik. Hal
yang utama ialah menerapkannya dengan baik.”
Blaise Pascal juga pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya
dengan variasi serta mudah berubah. Maka dari itu, matematika dan demikian pula halnya
dengan logika dan metafisika tidak mungkin dapat memahami manusia secara utuh. Disiplin-
disiplin pemikiran itu hanya alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami obyek-obyek yang
konsisten dan bebas kontradiksi. Sedangkan manusia itu makhluk yang penuh dengan
kontradiksi, sehingga satu-satunya jalan untuk memahami manusia adalah melalui agama. Jadi,
tatkala akal tidak mampu menjangkau sesuatu maka hati dapat menyingkap hal itu. Kata Pascal,
“Hati mempunyai alasan-alasannya yang tidak dapat diketahui akal budi.” Baginya, lebih
rasional percaya kepada Tuhan daripada tidak, sebab, jika memang Tuhan ada maka akibatnya
sangat besar, tetapi jika memang Dia tidak ada maka tidak ada yang perlu merasa kehilangan.
Berbeda dengan John Locke yang memandang jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang baru
berisi pengetahuan atau idea-idea melalui pengalaman empiris (a-posteriori), Immanuel Kant
justru memandang bahwa jiwa manusia itu bersifat aktif, mengkoordinasikan sensasi-sensasi
empiri yang masuk melalui indera untuk kemudian menjadi disadari atau dapat dipersepsi
keberadaannya dengan idea-idea kategoris yang a-priori. Sebelumnya Kant membedakan antara
akal-murni (pure-reason) yaitu yang bekerja secara logis (atau akal yang di kepala) dan akal-
praktis (practical-reason) yaitu kesadaran moral (yang berada di hati). Menurutnya, indera dan
akal manusia hanya mampu mengetahui dunia luar sebatas pada penampakannya (fenomena)
saja. Sedangkan tentang noumena (thing-in-itself) atau obyek-obyek keyakinan dan berbagai hal
yang bersifat ghaib lainnya, indera dan akal manusia sama sekali tidak mampu menembus untuk
mengetahuinya. Termasuk tentang Tuhan atau pembalasan di hari akhirat, maka akal teoritis
tidak akan dapat membuktikan hakikatnya. Sekalipun demikian, akal teoritis tidak melarang
manusia untuk bisa mempercayai adanya noumena itu. Kesadaran moral (akal praktis)
manusialah yang kemudian memerintahkan seseorang untuk mempercayai atau meyakininya.
Jadi, kebenaran tidak seluruhnya bisa diperoleh melalui indera dan akal. Ada juga kebenaran
yang hanya mungkin bisa diperoleh dengan kata hati (inilah yang disebut moral oleh Kant) atau
iman. Kata hati itu suatu perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran manusia. Suatu
perasaan yang tidak dapat dielakkan yang memerintah untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan
keinginan universal, yakni hukum kewajaran yang universal. Manusia mengetahuinya tidak
dengan memikirkannya, melainkan perasaan itu muncul tiba-tiba yang mendorong kesadaran
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memang seharusnya demikian diperbuatnya
untuk suatu kepentingan kehidupan/ kemanusiaan. Moralitas dengan demikian bukanlah doktrin
tentang bagaimana manusia mencapai kebahagiaan, tetapi bagaimana seseorang dapat membuat
dirinya layak berbahagia atas kebahagiaan yang diterima orang lain.
Jika kesadaran dan kehendak adalah kualitas jiwa yang melulu rasional dalam pemikiran
Descartes, Arthur Schopenhauer justru menegaskan bahwa kesadaran dan intelek hanyalah
fenomena bahkan alat dari kehendak yang sering bersifat buta atau tidak tersadari. Jadi, unsur
sejati yang tak pernah letih dan tak pernah mati dari manusia tidak lain adalah kehendak dengan
keinginan kuatnya dan bukannya rasio. Segala gerakan tubuh tidak lain dari obyektivikasi dari
tindakan kehendak. Seluruh sistem syaraf dalam otak dan tubuh manusia tak ubahnya antena
bagi kepentingan kehendak. Dan kehendak terkuat manusia adalah kehendak untuk hidup dan
memaksimumkan hidup, atau untuk mengalahkan kematian. Tetapi kehendak yang senantiasa
mengisyaratkan keinginan tersebut pada kenyataannya selalu saja lebih besar dan lebih banyak
daripada apa yang bisa diperoleh untuk memuaskannya dalam hidup ini. Maka dunia tidak lain
adalah penderitaan. Penyakit kehidupan (derita) ini kemudian hanya bisa diatasi jika kehendak
manusia telah ditundukkan oleh pengetahuan dan intelegensi. Jadi, sekalipun berpengetahuannya
intelek pada awalnya lahir karena dorongan kehendak, tetapi dalam perkembangannya intelek
dapat menolak untuk patuh kepada kehendak. Bahkan jika intelek terus diasah dan dilatih,
dengan-pengetahuannya tersebut intelek mampu mengendalikan dan mengarahkan keinginan-
keinginan. Dalam bahasanya, “Si vis tibi omnia subjicere, subjicete ratione” (kalau kamu hendak
membuat apa saja tunduk kepadamu, maka tunduklah kamu pada rasiomu). Ternyata,
penaklukan yang paling mengagumkan dalam hidup ini tidak lain adalah penaklukan atas diri
sendiri. Jalannya dilalui melalui renungan dan kontemplasi yang cerdas tentang kehidupan. Maka
amatilah segala obyek kehidupan ini tidak melulu sebagai obyek keinginan (karena hanya akan
berujung kesengsaraan), tetapi amatilah sebagai obyek-obyek pemahaman (sehingga
kebijaksanaan dan kebahagiaan hidup yang dicapai).
Mengenai kehendak, Friedrich Nietzsche juga menegaskan esensialitasnya pada organisme yang
disebut manusia. Tetapi kehendak dalam filsafatnya bukannya sebagai sumber derita melainkan
kebajikan utama. Menurut Nietzsche, kehendak yang paling kuat dan paling tinggi dari manusia
adalah kehendak untuk berperang, untuk berkuasa dan bukan sebaliknya untuk kalah atau
menderita. Hidup ini pada dasarnya adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme
yang paling kuatlah yang pantas dan berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya. Jadi,
kebajikan utama tidak lain adalah kekuatan atau kekuasaan, sedangkan kelemahan tidak berarti
lain kecuali keburukan yang tercela. Maka, fungsi kehidupan sebenarnya bukanlah untuk
memperbaiki mayoritas yang kebanyakan berisi manusia tidak layak, tetapi untuk menciptakan
jenius, manusia yang superior (Ubermensch).
Manusia yang unggul itu adalah manusia yang sanggup membuat (menghadapi) tragedi menjadi
(seolah) komedi karena (secara personalitas) tubuhnya telah terlatih untuk menderita dalam
keheningan yang diam dan kehendaknya pun terlatih untuk memerintah dan mematuhi perintah.
Suasana hati dari manusia kuat dan hebat itu digambarkan tak jauh dari suatu “optimisme tragis”,
yakni keberanian untuk mencari intensitas dan peningkatan pengalaman (meski dengan
menambah kesengsaraan) dan sanggup bahagia menemukan kekerasan sebagai hukum dari
kehidupan. Katanya, “Hanya dengan menjadikan penderitaan sebagai gejala estetik (obyek
perenungan dan rekonstruksi artistik), maka eksistensi (manusia) dan dunia tampak saling
membenarkan.” Pemikirannya ini diilhami seni mitologis Yunani Kuno yang mampu
memadukan 2 (dua) cita sekaligus, yaitu: maskulinitas Dyonysius (dewa anggur dan pesta-pora,
petualangan dan naluri, serta dewa musik, tarian dan drama) dengan feminitas Apollo (dewa
kedamaian dan harmoni, kontemplasi intelektual dan keteraturan logis, serta dewa lukisan,
patung dan puisi epik). Nietzsche berkata, “Kesengsaraan bagi para pemikir ibarat tanah subur
bagi tanaman.”
Lebih lanjut tentang kehendak berkuasa, Nietzsche mula-mula melihat ada 2 (dua) penilaian atau
titik pandang dan kriteria etik tentang tingkah laku manusia, yaitu: herren moral (moral tuan) dan
heerden moral (moral budak). Semisal tentang konsep “baik”, maka bagi golongan aristokrat
(para tuan) itu bisa berarti kuat, berani, berkuasa, suka perang, seperti dewa. Sedangkan bagi
rakyat jelata (para budak), “baik” berarti keramahan, kedamaian, jinak, manis. Ironisnya menurut
Nietzsche, justru moral budak (yang inferior) inilah yang diterima sebagai etika hampir secara
universal. Nietzsche menuduh bahwa berkat kefasihan lidah para nabilah “dunia” dan “daging”
seolah sinonim dengan kejahatan, sementara “kemiskinan” malah menjadi bukti kebajikan.
Tetapi jika ditelisik lebih dalam, Nietzsche meyakinkan bahwa ternyata yang ada di balik semua
moralitas tersebut (baik herren maupun heerden moral) tidak lain adalah kehendak rahasia untuk
berkuasa. Semisal saja “belas-kasihan” yang ditunjukkan dengan mengunjungi orang sakit,
sejatinya hal itu tidak lain adalah puncak kenikmatan superioritas dalam memandang
ketidakberdayaan tetangganya. Demikian pula misalnya dengan “cinta” yang sejatinya adalah
keinginan untuk memiliki (menguasai). Dalam bahasanya, “L’amour est de tous les sentiments le
plas egoiste, et par consequent, lorsqu’il est blesse, le moling genereux” (cinta adalah segenap
perasaan yang sangat egoistis, dan konsekuensinya, kala sedang berselisih ia sangat tidak
bermurah hati). Jadi, rasio dan moralitas tidak berdaya melawan nafsu untuk berkuasa. Keduanya
hanya menjadi senjata atau barang mainan yang digenggam oleh nafsu. Dyonysius akhirnya
menaklukkan Apollo.
_____________________
Midas bertanya, “Apakah nasib merupakan sesuatu yang terbaik bagi manusia?” Milenus
menjawab, “Oh, anak-anak dari kemalangan dan penderitaan, mengapa kau memaksaku untuk
mengatakan apa yang terbaik dari apa yang sebetulnya tak pernah terdengar? Yang terbaik dari
semuanya tidak akan pernah mungkin tergapai (yaitu) tidak pernah lahir dan tidak pernah ada.
(Adapun) yang kedua terbaik (yaitu) mati muda.”
Eksistensialitas Manusia
2 02 2007
Di muka bumi ini hanya manusia makhluk yang bereksistensi (dari kata Latin: ex=keluar;
sistere=berdiri; segaris dengan dasein dalam bahasa Jerman, dari kata da=disana dan
sein=berada). Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut
bereksistensi. Manusia ada di dunia ini dalam suatu cara dimana manusia menyadari
keberadaannya sendiri. Dia menghadapi dunia dan dirinya serta mengerti akan apa yang
dihadapinya itu. Tegasnya, manusia adalah subyek yang sadar atau yang menyadari. Dia bukan
sekedar obyek atau barang yang disadari adanya. Bagi Soren Kierkegaard, bereksistensi berarti
bertindak. Dan dalam tindakan itu tidak ada orang lain yang dapat mengganti untuk bereksistensi
atas nama seseorang. Baginya, manusia itu selalu akan hidup sebagai “aku individual” yang unik
dan kongkret. Manusia tidak pernah hidup dalam “aku umum” yang abstrak. Individualitas
manusia itu identik dengan kebebasan dimana manusia memilih dan memutuskan sendiri hal-hal
dalam hidupnya. Setiap individu adalah penentu “ya” dan “tidak” dari suatu perbuatan tertentu.
Tetapi ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, maka tidak bisa dibenarkan seseorang mengaku
dirinya bebas tetapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya itu. Jadi, kebebasan
senantiasa mengandaikan keniscayaan tanggung jawab.
Kierkegaard berpendapat bahwa yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya adalah suatu passion,
antusiasme, gairah, semangat dan keyakinan pribadi yang dilandasi oleh kehendak bebas dan
afeksi (emosi). Ia mengajukan pemikiran tentang 3 (tiga) tahap eksistensi manusia menuju
otentisitas hidupnya: (1) Tahap estetis, dimana orientasi manusia sepenuhnya diarahkan untuk
mendapatkan kesenangan yang dikuasai naluri-naluri hedonistik; (2) Tahap etis, dimana individu
mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya; (3)
Tahap religius, dimana individu memilih untuk hidup dalam Tuhan (subyektivitas transenden)
yang tak terikat lagi pada sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Tantangan terbesar pada
tahap ini adalah kecemasan metafisik yang mencekam atau menggetarkan (Angst). Tetapi jika itu
semua terlalui, manusia akan menemukan kebahagiaan abadi yang sesungguhnya.
Sementara dalam terma Martin Heidegger, eksistensi yang sesungguhnya merujuk pada
eksistensi otentik, yaitu mengada potensial atau kemungkinan menjadi seseorang; dan bukannya
eksistensi tidak otentik yang berarti tidak menjadi seseorang atau tercerap ke dalam sesuatu yang
lain. Seperti Kierkegaard, Heidegger menyelidiki arti eksistensi yang otentik, makna kekekalan
kita, tempat kita di dunia dan di antara orang lain sebagai seorang individu. Pertama, Heidegger
memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme yang mendalam, holisme tanpa kompromi yang
menolak dualisme apapun mengenai pikiran dan tubuh, antara subyek dan obyek, antara
kesadaran, pengalaman, dan pikiran. Pikiran Cartesian, yang berakar dari teori Rene Descartes,
rutin dibaca sebagai usaha rasionalis untuk mengemansipasi nalar (reason) dari iman (faith).
Maksudnya adalah untuk mengejar pengetahuan di bawah terang cahaya alamiah semata.
Sehingga cogito (I think) Descartes kerap dipahami sebagai oposisi wahyu (revelation), dimana
antara nalar dan iman terpisah, sebagaimana antara filsafat dan agama atau teologi. Kedua, karya
awal Heidegger sebagian besar adalah pencarian terhadap otentisitas, atau apa yang mungkin
lebih baik dilukiskan sebagai ‘kepunyaan sendiri’ (Eigenlichkeit), yang dapat dimengerti sebagai
keutuhan. Pencarian ini pula yang akan membawa pada persoalan-persoalan tentang hakikat diri
dan arti kehidupan. Selain itu, pencarian itu juga menghasilkan perayaannya terhadap tradisi dan
historisitas, atau pentingnya teguh hati mengikatkan diri pada kebudayaan orang yang
bersangkutan.
Guna menopang dan memastikan titik tolak tersebut, dan agar tidak jatuh pada bahasa
Descartes, Heidegger menawarkan istilah baru yang kemudian muncul sebagai pokok
kunci kontribusi Heidegger terhadap filsafat yang bermula dari pertanyaan, “what is the
meaning of being?” (apa arti “ada”?). Yaitu “being-there” (Dasein), yang merupakan
konsepsi Heidegger tentang eksistensi partisipasi aktif di dunia (active participation in the
world), bersamaan dengan Sinopsis Singkat Pemikiran Para Filsuf
2 02 2007
Marcus Tulius Cicero (106-43 SM; orator dan negarawan Romawi yang memiliki minat besar
pada filsafat):
Dalam teori politiknya, ia dikenal dengan keyakinannya pada hak asasi manusia dan
persaudaraan antarmanusia. Dalam bidang etika, ia tertarik pada ajaran Stoa.
________________
“Apa yang tak mampu membunuhku, hanya akan membuatku lebih kuat” (Nietzsche
Menurut Jean Paul Sartre, manusia senantiasa dalam keadaan menjadi. Hakikat keberadaan
manusia tidaklah terletak pada ada (etre atau being) tetapi pada sedang atau akan mengada (a etre
atau becoming). Lebih jauh Sartre menandaskan bahwa eksistensi manusia mendahului
esensinya. Maksudnya bahwa manusia adalah yang pertama dari semua yang ada, menghadapi
dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Atas dasar prinsip ini pula maka
manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada. Sebagaimana Heidegger, Sartre juga
menyebut manusia bersifat soliter (bukan solider) karena sejak manusia menyadari dirinya
berada dan bertanggung jawab atas keputusannya untuk diri sendiri atau keseluruhan manusia, ia
harus “memikul berat dunia ini” juga seorang diri. Setelah “kesendirian” itu, perasaan “takut”
akan muncul yang kemudian disusul dengan “penyangkalan”. Dalam hidupnya manusia selalu
melakukan penyangkalan (neantiser): yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada. Inilah
hakikat manusia menurut Sartre, laksana makhluk yang mengejar bayangannya sendiri.
__________________
“Aku adalah anak dari zaman ini (yang dekaden) … (maka akupun) seorang yang dekaden.
Tetapi aku benar-benar menyadarinya dan berusaha untuk melawannya” (Nietzsche)
MENGUAK TAQDIR
2 02 2007
Qadar / Taqdir menurut bahasa berarti ukuran, takaran, ketentuan, aturan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar (ukuran, aturan)” (QS. 54 : 49).
Menurut Syaikh Mahmud Syaltout, pengertian kadar yang banyak disebut dalam al-Quran berarti
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan aturan yang pasti dan ukuran yang tertentu,
bukan karena suatu kebetulan. Aturan atau undang-undang tersebut termasuk sebab
(muqaddimah) dan akibat (natijah), yang tidak akan berubah dan berselisih. Dan dalam aturan
tersebut, Allah menjadikan manusia memiliki kebebasan memilih dan berkehendak, tidak
dipaksa atau dilakukan oleh Allah. Sehingga secara istilah, Qadar / Taqdir dapat dipahami
sebagai ilmu (teori / undang-undang) Allah yang azali, yang meliputi ukuran dan (ketetapan)
aturan (bukan ketetapan pelaksanaan—pen.) segala sesuatu dan hal keadaannya yang akan terjadi
baik permulaan maupun akhirnya. Maka tidak sesuatupun, baik di langit ataupun bumi, kecil
ataupun besar, kecuali akan terjadi atau berlaku sesuai dengan ilmu (teori, aturan dan undang-
undang) Allah yang telah terdahulu ada.
Adapun angapan sementara orang yang meyakini bahwa rizki, ajal, amal, jodoh, dan bahagia
atau celakanya setiap manusia telah ditulis sejak zaman azali dimana tintanya telah mengering
dan lembaran catatannya pun telah dilipat dan ditutup sehingga manusia tak perlu berpayah-
payah dalam beramal untuk suatu tujuan adalah anggapan yang memecah-belah pengertian
Qadar dengan mengimaninya sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya.
Dengan permisalan, jika si Amir rizkinya ditaqdirkan Rp. 100,-, maka seorang yang
berpemahaman di atas, akan memastikan bahwa Amir akan mendapatkan Rp. 100,- baik ia
berusaha mati-matian atau hanya dengan diam tanpa ikhtiar. Ini akan berbeda jika taqdir
dipahami sebagai ukuran dan aturan. Hasil Rp. 100,- tersebut akan dipandang sebagai suatu
akibat dari sebab (ukuran usaha) tertentu yang pasti mengikuti aturan Allah. Jika takaran yang
dipakai berbeda, dengan aturan Allah, bisa jadi akan mengakibatkan hasil yang berbeda pula.
Contohnya, jika angka 10 yang dikehendaki, maka undang-undang Allah mengharuskan melalui
“Shirathal Mustaqim” (cara yang benar) yaitu 5 + 5 atau 9 + 1 atau 1 x 10 atau 100 : 10 dan lain
sebagainya. Dan tidak dibenarkan melintasi jalan yang “Dhallin” (sesat) seperti 5 + 1 atau 7 + 1
atau 1 x 5 atau 100 : 50 atau 1000 – 999 dan lain sebagainya.
Jadi, qadar adalah ukuran atau takaran yang ada pada tiap-tiap sesuatu. Artinya, Allah telah
menjadikan pada tiap sesuatu itu berkadar (mempunyai batas ukuran), takaran sendiri-sendiri,
berbeda dan bermacam-macam. Adapun takdir ialah hukum, ketentuan yang menjadi peraturan
dan undang-undang terhadap terjadinya segala sesuatu, yang dituangkan dalam bentuk sebab-
akibat. Artinya, dari sebab hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan kadarnya masing-
masing, disitu ada ukuran dan aturan yang menjadi undang-undang yang mengakibatkan
terwujudnya atau adanya kadar lain lagi. Misal X berkadar 10 ber/dihubungkan dengan Y yang
berkadar 90 memakai penghubung + (plus) maka taqdir (peraturan / undang-undang) akan
memastikan terjadinya Z yang berkadar 100. Tapi jika X dan Y ber/dihubungkan melalui
penghubung – (minus), maka takdir memastikan tidak terjadinya Z, melainkan Q yang berkadar
– 80 (minus delapan puluh).
Maka, adanya kewajiban beriman kepada qadar / taqdir adalah agar kita menjadi lebih giat, aktif,
memperbanyak tahu, mencari kadar-kadar sesuatu dan taqdirnya. Karena siapapun yang tahu
kadar dan taqdir sesuatu, akan mampu memanfaatkan dan menguasai sesuatu itu.
________
Source:
K.H. Abdurrahim Nur. Percaya Kepada Taqdir. Surabaya : Bina Ilmu, 1987.
MENEMUKAN KEBAHAGIAAN
2 02 2007
Asal-usul kaum Sufi mulanya bermaksud baik. Mereka hendak memerangi hawa nafsu, dunia
dan setan. Tapi terkadang mereka tergelincir kepada ghuluw (berlebih-lebihan) dengan
menempuh jalan yang tidak digariskan oleh agama. Diantara mereka ada yang mengharamkan
kepada dirinya sendiri sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, menyumpahi harta, tidak mau lagi
mencari rizki, berkhalwat membelakangi kehidupan dunia. Tasauf demikian tidaklah berasal dari
pelajaran Islam. Zuhud dalam Islam bukannya melemahkan, tapi sebaliknya, memupuk semangat
juang, rela berkorban, giat bekerja. Sehingga ketika lawan menyerang, ada senjata tajam yang
terhunus untuk menangkisnya.
Ketika mula-mula timbul, seperti zaman Nabi saw, semua orang bisa menjadi Sufi tanpa harus
memakai pakaian tertentu, bendera tertentu, atau mengadu kening dengan kening sang guru.
Kata Junaid, “Tasauf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi
perangai yang terpuji.” Maka, Tasauf sudah seharusnya ditegakkan kembali pada maksudnya
semula, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekan segala
kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebih dari keperluan demi kesentosaan
diri.
Sebab-sebab mencapai kebahagiaan itu sangat banyak, namun kita manusia suka mencari juga
yang lain. Dia ada dalam tangan kita, namun kita mencarinya pada apa yang ada di tangan orang
lain, karena yang di tangan orang lain memang sering tampak kelihatan lebih indah. Sayyid
Rasyid Ridha berkata, “Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu, dan zuhud pulalah
terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya merekapun suka kepadamu.” K.H. Mas
Mansyur mengingatkan, “80 % didikan Islam kepada keakhiratan dan 20 % kepada keduniaan.
Tetapi kita telah lupa mementingkan yang tinggal 20 % lagi itu sehingga kita hina.”
______________
Source:
Hamka. Tasauf Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
MENDEKONSTRUKSI SYARI’AH
2 02 2007
Elemen yang pada umumnya ada pada gerakan-gerakan revivalis modern dan pra-modern adalah
keprihatinan mereka pada kondisi umat Islam yang lemah dan terpecah-pecah, yang mereka
tuding sebagai akibat penyimpangan dari iman dan amal Islam yang benar. Gerakan tersebut
selalu menyeru “Kembali kepada Islam.” Menurut pengamatan W.C. Smith, tema semua gerakan
Islam di hampir semua belahan dunia berkisar pada dua hal : (1) protes melawan kemerosotan
internal; dan (2) menghadapi “serangan” eksternal. Sebuah fenomena yang sebenarnya adalah
respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan dominasi atas dunia Islam, di samping respon
terhadap krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam sendiri. Karena itu logis untuk
menyimpulkjan bahwa kebangkitan Islam adalah sebentuk usaha untuk menegaskan kembali
identitas budaya mereka dan menggali kekuatan-dalam kepercayaan dan tradisi mereka untuk
melawan akar-akar keretakan sosial, ketidakberdayaan politik, dan frustasi ekonomi.
Sementara itu, muncul tuntutan bagi pembangunan kembali Syari’ah sebagai hukum public
Negara-negara Islam. Di sisi lain, penduduknya baik yang Muslim maupun non-Muslim telah
mendapat keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik. Karena itu wajar jika penerapan aspek-
aspek hukum publik Syari’ah historis dalam kehidupan sekarang akan menimbulkan kesulitan
luar biasa.
Satu-satunya jalan untuk mendamaikan “dua keharusan” bagi perubahan dalam hukum publik ini
adalah dengan membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan standar
konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia modern.
Konsep hukum publik alternatif ini bisa disebut “Syari’ah modern”. Artinya, ia sama-sama
dijabarkan dari sumber-sumber asasi Islam.
Karena sangatlah dimungkinkan untuk mengambil isu pokok manapun yang berkait dengan
hukum publik dalam pengertian istilah modern sambil mencari keterkaitannya dengan prinsip-
prinsip atau ketentuan-ketentuan Syari’ah. Selanjutnya kita dapat menemukan prinsip-prinsip
Syari’ah yang relevan dan menentukan bagian yang mungkin diterapkan sebagai hukum publik
modern. Argumentasi pengadopsian metodologi untuk mencapai reformasi hukum publik Islam
yang murni dan memadai (dalam versi ini) akan sama islaminya dengan Syari’ah yang pernah
ada, karena ia berangkat dari sumber-sumber dasar Islam yang sama, darimana prinsip-prinsip
Syari’ah yang relevan disusun oleh para ahli hukum awal.
Jadi, ini sebenarnya dapat dilihat sebagai ujud rasionalisasi Islam untuk tujuan-tujuan pembaruan
dan menjamin validitas Islam atas metodologi pembaruan yang digunakan untuk mencapai
tujuan tersebut. Legitimasi Islam, dengan demikian, tetap penting secara politik bagi
kelangsungan pembaruan itu.
Kita tahu bahwa Syari’ah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi
terhadap teks (nash) dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis tertentu. Cukup
beralasan untuk diasumsikan disini bahwa formulasi Syari’ah sebagaimana sistem perundang-
undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Teknik-teknik penjabaran
Syari’ah dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya,
jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam.
Maka, jika usaha yang maksudnya untuk menyumbangkan proses perubahan persepsi, tingkah
laku dan kebijakan umat Islam atas landasan Islam dan bukannya landasan sekular ini tidak
diterima, umat Islam sekarang dan akan datang hanya akan menghadapi dua alternatif : Pertama,
tetap menerapkan hukum publik Syari’ah meskipun tidak memadai; atau kedua, meninggalkan
hukum publik Syari’ah untuk mendukung hukum publik sekular.
Sebagai gambaran tentang sikap kebanyakan umat Islam saat ini, menarik apa yang
dikemukakan oleh Anderson. Menurutnya, orang Islam itu lebih baik jauh dari dosa yang
mengerikan karena “menolak” atau mempermasalahkan wahyu Ilahiyah (dengan tidak
melangkah melakukan upaya reformasi hukum misalnya –pen.), daripada gagal untuk
menaatinya (karena ketidakmemadaiannya hukum Syari’ah yang ada—pen.). Maka tampaknya
umat Islam merasa lebih baik terus berpura-pura tidak melanggar Syari’ah sebagai satu-satunya
hukum yang mempunyai otoritas fundamental dan menghindar untuk mempraktekkannya dengan
menarik ke arah doktrin keterdesakan (dlarurat), daripada mencoba untuk menyesuaikan hukum
tersebut dengan berbagai problem dan kebutuhan kehidupan kontemporer.”
Dalih keterdesakan ini, tak bisa dipungkiri, telah memperlemah citra Islam di era penentuan
nasib-sendiri, kemerdekaan dan kemandirian dalam politik dan ekonomi sekarang ini. Umat
Islam tidak lagi bisa mempertahankan rasa kebanggaan dan harga diri mereka, sementara mereka
mengabaikan kewajiban untuk tunduk pada perintah-perintah Islam. Dengan kata lain, umat
Islam lebih suka menjaga keutuhan dan kesempurnaan Syari’ah dalam teori, kendati hal itu tidak
mungkin diterapkan dalam praktik.
______________
Source:
Abdullahi Ahmed An-Na’im. Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. Terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani.
Yogyakarta : LKiS, 1997.
MENTRANSFORMASIKAN PEMAHAMAN QUR’ANI
2 02 2007
Islam memiliki dinamika-dalam yang mendesakkan adanya transformasi sosial secara terus-
menerus, yang berakar pada misi ideologisnya yakni cita-cita tegaknya amar ma’ruf nahy
munkar di masyarakat dalam kerangka keimanan kepada Tuhan. Amar ma’ruf berarti humanisasi
dan emansipasi, nahy munkar merupakan upaya untuk liberasi. Keimanan sebagai kerangka
adalah transendensi. “Di setiap masyarakat, dengan struktur dan sistem apapun, dan dalam tahap
histories yang manapun, cita-cita untuk humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi akan
selalu memotivasikan gerakan transformasi Islam.”
Disini, kita tidak dapat bersikap dikotomis terhadap pengaruh-pengaruh Barat dalam hal
islamisasi sains, meski harus terus berupaya mendekati cita-cita Islam yang otentik, karena kita
yakin Islam adalah sebuah alternatif. Jadi, perlu terus disadari bahwa kita mewarisi tradisi
sejarah seluruh peradaban manusia. Artinya, kita tidak membangun dari sebuah vacuum. “Semua
peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka
satu sama lain sepanjang sejarah.” Karenanya, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif,
sebab hal itu adalah sikap yang ahistoris dan tidak realistis. “Bagaimanapun Islam adalah sebuah
paradigma yang terbuka. Ia merupakan mata-rantai peradaban dunia.”
Secara sintetik-analitik, kandungan al-Quran pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian :
konsep-konsep dan kisah-kisah sejarah atau amsal-amsal. Kesemua konsep baik abstrak/kongkrit
bertujuan memberi gambaran utuh tentang doktrin Islam dan lebih jauh tentang pandangan hidup
(weltanschauung) Islam. Kisah-kisah dan amsal-amsal mengajak kita merenung untuk
memperoleh wisdom (hikmah) tentang hakikat dan makna kehidupan.
Bagian konseptual memperkenalkan ideal-type tentang konsep-konsep. Bagian kisah dan amsal
memperkenalkan arche-type tentang kondisi-kondisi universal agar dapat ditarik pelajaran moral.
Bukan data historisnya yang penting disini, tapi pesan moralnya. Bukan bukti obyektif-
empirisnya, tapi ta’wil subyektif-normatifnya. Cara inilah disebut memahami secara sintetik,
yakni merenungkan pesan-pesan moral al-Quran dalam rangka mensintesakan penghayatan dan
pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif. Subyektivitas terhadap ajaran-ajaran
keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual.
Meski al-Quran dapat dianggap sebagai dokumen historis karena hampir tiap pernyataannya
mengacu pada peristiwa-peristiwa aktual sesuai konteks sejarah ia diturunkan, tapi pesan
utamanya sesungguhnya bersifat transendental, melampaui zaman. Untuk itu perlu ada
metodologi yang mampu mengangkat teks al-Quran dari konteksnya. Hal ini guna
mengembalikan makna teks –yang sering merupakan respon terhadap realitas historis—kepada
pesan universal dan makna transendentalnya. Juga, membebaskan penafsiran-penafsiran dari
bias-bias tertentu akibat keterbatasan situasi historis. Sebab, jelas bahwa warisan intelektual
Islam sangat membantu kita dalam memperkaya perspektif. Tapi disadari bahwa warisan tersebut
mengandung bias karena keterbatasan situasi historisnya.
Sejauh ini paradigma buat melihat perubahan sosial sebagai proses kausal terjadinya perubahan
struktur budaya, struktur sosial dan struktur teknik ada beberapa perbedaan tentang variabel
mana yang lebih berpengaruh sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Hubungan Kausal Struktur Budaya, Struktur Sosial, dan Struktur Teknik : Paradigma Modern
Teori-teori Sosial ( Marx, Weber, Durkheim )
Marx :
Struktur Sosial : (kelas, eksploitasi, alienasi)
Struktur Teknik : (kekuasaan kelas melalui Negara)
Struktur Budaya : (dominasi intelektual, estetika, nilai)
Weber:
Struktur Teknik : (dominasi otoritas : kekuasaan elit)
Struktur Budaya : (legitimasi simbolik)
Struktur Sosial : (stratifikasi, akumulasi kehormatan dan kemakmuran)
Durkheim :
Struktur Budaya : (sentimen kolektif, nilai-nilai sosial)
Struktur Sosial : (diferensiasi sosial dan insentif)
Struktur Teknik : (kepemimpinan)
Dan nampaknya, perspektif Islam lebih dekat dengan paradigma Durkheim daripada Marxian
dan Weberian (pada tingkat metodologis, bukan filosofis (?)—pen). Jadi, dimulai dengan adanya
sentimen kolektif didasarkan Iman sebagai derivasi sistem nilai Tauhid. Lalu muncul komunitas
Jama’ah sebagai struktur sosial, lebih besar lagi Ummah, yaitu komunitas yang secara intern dan
ekstern menciptakan sistem kelembagaan dan otoritasnya sendiri. Struktur sosial umat kemudian
menderivasi pranata-pranata dan lembaga-lembaga sosialnya (struktur teknik) berdasar sistem
nilai normatif (struktur budaya) yang jadi acuannya.
Dari sinilah kemudian berkembang konsep ummah-wahidah : yang disandarkan pada kesadaran
normatif bahwa umat itu satu karena berasas sistem nilai yang sama. Namun dalam realitas
empiris, realitas umat mengalami diferensiasi fungsional yang melahirkan pelapisan-pelapisan
baru dengan perbedaan dan konflik-konfliknya. Proses heterogenisasi umat berperan
memperlebar jarak dan range (kisaran) antar kelompok dalam tubuh umat. Hal ini kerap
dipandang sebagai gejala perpecahan karena memandangnya dengan kacamata konseptual
ummah-wahidah yang dijabarkan secara politis. Untuk itu perlu re-orientasi kesadaran agar
konsep-konsep normatif lebih dipahami secara empiris.
Tingkat Normatif
Struktur Budaya : Kesadaran Normatif, Sistem Nilai
Struktur Sosial : Umat (Keluarga, Jamaah, Komunitas)
Struktur Teknik : Kekuasaan, Kepemimpinan
Tingkat Metodologis
Struktur Budaya : Verifikasi, Konseptualisasi
Struktur Sosial : Subyektivikasi, Obyektivikasi
Struktur Teknik : Demokratisasi, Sosialisasi
Tingkat Ilmiah
Struktur Budaya : Teori Sosial
Struktur Sosial : Diferensiasi Fungsional (Ulama, Intelektual, Pedagang, Petani, Buruh)
Struktur Teknik : Negara Societal, Ekonomi Ethical, Masyarakat Moral
Perlu dipahami bahwa teori sosial Islam tidaklah bersifat permanen. Yang permanen adalah
landasan-landasan normatif yang mendasarinya.
Maka, camkan 5 (lima) program re-interpretasi berikut : (1) Mengembangkan penafsiran sosial
struktural lebih daripada penafsiran individual terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dalam al-
Quran; (2) Mengubah cara pandang subyektif ke cara berpikir obyektif; (3) Mengubah Islam
yang normatif menjadi teoritis; (4) Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis; (5)
Merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat general menjadi spesifik dan empiris.
______________
Source :
Kuntowijoyo. Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi. Bandung : Mizan, 1998.
MENEGAKKAN ISLAM
2 02 2007
Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (fi ahsani taqwim) sehingga penderitaan
dan kemiskinan betul-betul merupakan negasi dari manusia, yang hanya akan menempatkannya
ke tingkat yang paling rendah dari yang sebelumnya sebagai sebaik-baik bentuk. Nabi saw
bahkan menyamakan kemiskinan itu dengan kufur. Iapun berdoa agar dilindungi dari keduanya.
Maka, penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat Islam. Terdapat
riwayat yang menyatakan bahwa sebuah negara dapat bertahan walau di dalamnya ada
kekufuran, namun tidak akan bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dzulm (penindasan). Jadi,
Islam menegaskan bahwa keadilan (‘adl) merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat.
Sebelum abad pertengahan, Islam sarat dengan praksis feodalistik. Para ulama justru menyokong
kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual
dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furu’iyah dalam Syari’ah.
Mereka justru mengecilkan arti elan-vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan
kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas. Padahal kedatangan
Islam adalah untuk merubah (bukan sekedar mengecam tapi juga memerintahkan untuk melawan
dan memerangi) status quo (kaum mutsrofin yang eksploitatif, mengumbar arogansi kekuasaan
dan penindasan) serta untuk mengentaskan kelompok yang tertindas dan dieksploitasi. Mereka
inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah (Mustadz’afin). Karena itu, masyarakat
yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas,
tidaklah dapat disebut masyarakat Islam (Islamic Society), meskipun mereka menjalankan
ritualitas Islam.
Dan seperti sebelumnya, teologi sekarang pun umumnya dikuasai orang-orang yang sangat
mendukung status quo. Karenanya mereka cenderung ritualis, dogmatis dan bersifat metafisis
yang sangat membingungkan. Islam berubah menjadi seikat ritual tanpa ruh yang tidak
menyentuh kepentingan kaum tertindas dan tereksploitasi. Ia hanya menjadi semacam latihan
intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Karena itu,
yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran untuk menjawab tantangan kemiskinan dengan
membangun struktur sosial yang adil, bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi
kekayaan pada segelintir tangan saja. Al-Quran menyebutkan bahwa ada hak orang miskin dalam
kekayaan orang kaya. Ini lebih dari sekedar perbuatan amal, karena hak itu bukan permohonan.
Abu Dzar mengatakan, “Ukhuwah Islamiyah tidak akan berarti tanpa pemerataan sosio-ekonomi.
Itulah intinya.”
Patut dipahami pula bahwa kelas-kelas berkuasa hanya akan menerapkan bagian-bagian dari
Syari’ah Islam yang betul-betul sesuai dengan tujuan politik mereka. Islam hanya akan mereka
terapkan untuk memelihara dan memperkuat status quo. Dengan kata lain, kepentingan politik
kelas berkuasalah yang mendominasi Islam dan bukan sebaliknya. Pada konteks ini, ketika
manusia dimanjakan oleh kekuasaan yang mapan, tema-tema ketidakberdayaan manusia,
determinasi dan ketergantungan manusia akan sangat laris-manis untuk menguatkan status quo.
Dan agamapun akan kehilangan ruh dan élan vitalnya, kemudian menjelma menjadi apa yang
disebut Karl Marx sebagai candu, lenguhan kaum yang tertindas (sigh of the oppressed), hati dari
manusia robot (heart of the heartless world) dan jiwa dari keadaan yang kosong (spirit of a
spiritless situation).
__________________
Source:
Asghar Ali Engineer. Islam dan Teologi Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003.
MEMUPUS KEMISKINAN
2 02 2007
Menurut mereka, kemiskinan bukanlah suatu keburukan yang perlu diatasi atau problem yang
butuh dipecahkan. Justru itu merupakan suatu karunia agar dapat memurnikan hati dalam
berhubungan dengan Allah dan dapat menyayangi sesama manusia. Pendirian semacam ini
tersebar pada sebagian ahli tasauf Islam karena pengaruh dari tasauf Hindu, Manu (di Persia),
Kristen dan aliran lainnya.
Mereka memandang bahwa kemiskinan itu suatu bencana dan ujian. Tapi itu sudah takdir Allah
yang tidak membutuhkan dokter atau obat untuk mengatasinya. Kalau Allah menghendaki
niscaya semua orang akan dijadikan kaya, tapi nyatanya tidak demikian. Mereka hanya
mengemukakan konsep sebatas pemberian nasehat kepada orang-orang miskin untuk ridha
terhadap Allah dan sabar serta puas dengan karunia-Nya. Golongan ini tak peduli kepada orang-
orang kaya dan sikap mereka terhadap kekayaannya (untuk memanfaatkan atau menghambur-
hamburkannya).
Garis besarnya sama dengan golongan kedua, hanya saja mereka melangkah lebih jauh tidak
sekedar memberi nasehat terbatas orang miskin, tapi juga menganjurkan orang-orang kaya agar
mau berkurban, berbuat baik, membantu orang-orang miskin. Sayangnya, mereka
menggantungkan semua itu pada inisiatif individual orang-orang kaya itu sendiri. Mereka tidak
memberi batas ukuran terhadap tingkat kekayaan tertentu yang berkewajiban membantu orang
miskin. Tidak pula merumuskan peraturan (undang-undang) dan menentukan sanksi yang
menjamin sampainya bantuan kepada yang berhak dan menindak mereka yang tidak menunaikan
kewajibannya.
Memandang kemiskinan sebagai suatu problem juga suatu bahaya bagi kehidupan. Tapi itu
merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, bukan kaum hartawan ataupun Negara. Karena
baginya, setiap orang bertanggung jawab sendiri-sendiri, bebas berbuat, termasuk bebas
mempergunakan hartanya. Jika ada yang mendermakannya untuk orang lain, itu adalah
kelebihan pribadi orang yang bersangkutan. Masyarakat cukuplah hanya menghargai kebebasan
semua orang, untuk bekerja dan mencari kekayaan. Pelopor golongan ini adalah Qarun pada
zaman Nabi Musa as.
Tapi paham ini belakangan goyah dan mengadopsi beberapa pemikiran lain dengan mulai
mengakui adanya hak orang-orang miskin, seperti nampak pada perkembangan Asuransi Sosial
dan Jaminan Sosial.
Kemiskinan akan mengganggu juga kemampuan seseorang untuk berfikir dengan cermat. Para
ahli fikih bahkan berpendapat bahwa keadaan sangat lapar atau sangat haus dan sejenisnya dapat
dikategorikan dalam keadaan marah. Dan terdapat riwayat sahih yang melarang seorang
hakimmenjatuhkan vonis ketika ia sedang dalam keadaan marah. Imam Abu Hanifah berkata,
“Janganlah kalian minta fatwa kepada orang yang dalam rumahnya tidak ada gandum.”
Kemiskinan dapat mengancam kehidupan keluarga dan rumah tangga bahkan dalam beberapa
segi, baik segi pembinaannya, kelangsungannya, maupun juga pemeliharaannya. Dengan alasan
kemiskinan, banyak jejaka yang terhalang untuk menuju jenjang pernikahan karena
kekhawatiran tidak mampu memberi maskawin (mahar) atau belanja keluarga (nafaqah). Untuk
ini sebenarnya Allah sudah mengingatkan dalm Surah an-Nur ayat 32 yang artinya : “Dan
kawinkanlah laki-laki dan perempuan-perempuan yang janda di antara kamu, dan hamba-hamba
lelaki dan hamba perempuan kamu yang sudah layak (berkawin), jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya, karena Allah itu maha luas (pemberian-Nya), lagi
maha mengetahui.”
Dan karena sebab faktor kemiskinan pula tidak jarang kejernihan udara rumah tangga terkotori
bahkan merobek-robeknya hingga terjadi perceraian. Di masa jahiliyah, sebagian orang tua
bahkan tega membunuh anak-anak mereka karena tekanan kemiskinan juga.
Jelas bahwa kemiskinan dapat menjadi pemicu kegoncangan sosial. Terkadang orang dapat
menahan kesabaran pada kemiskinan karena adanya ketidakseimbangan antara penghasilan
dengan jumlah penduduk yang ada. Tapi sering kesabaran itu segera sirna karena ketidakadilan
distribusi antara mereka. Abu Dzar al-Ghifary berkata, “Aku heran terhadap orang yang tidak
ada makanan di rumahnya, bagaimana ia dapat menahan emosinya, tidak menyerang orang lain
dengan pedang terhunus ?”
Kemiskinan dalam skala lebih besar juga dapat mengancam kejayaan umat, kemerdekaan dan
kehormatan bangsa dan negara, karena kelaparan mampu memadamkan gairah untuk berjuang
membela tanah airnya.
Adapun bagaimana Islam melangkah untuk memecahkan problem kemiskinan ini, oleh Al-
Qardhawy disimpulkan dalam tiga jalan pokok :
Jalan khusus yang harus ditempuh oleh fihak faqir miskin itu sendiri. Yaitu wajib melakukan
usaha sekemampuannya untuk bekerja. Dalam hal ini, masyarakat dan pemerintah berkewajiban
memberikan bantuan baik materiil atau berupa pengarahan dan bimbingan sehingga taraf
kemampuan dan penghidupannya dapat meningkat.
Berpangkal pada kesediaan masyarakat Islam untuk bertanggung jawab mencukupi kebutuhan-
kebutuhan fakir miskin. Baik ini berupa sumbangan wajib maupun karena terpanggil untuk
beroleh pahala di sisi Allah. Dana-dana itu dapat berbentuk : (a) Nafaqah-nafaqah yang diberikan
kepada keluarga. (b) Hak-hak materiil dalam rangka menunaikan kewajiban bertetangga. (c)
Zakat Fithrah, apabila tidak disalurkan lewat pemerintah. (d) Hak-hak materiil yang bersifat
insidentil; denda kafarah dan nadzar, bantuan di saat tertimpa musibah, mencukupi orang yang
kekurangan, dsb. (e) Shadaqah-shadaqah tathawwu’, sebagaimana yang digambarkan dalam
bentuk waqaf-waqaf sosial.
Jalan khusus yang harus dilakukan oleh fihak pemerintah (Islam), dimana secara syara’ ia
berkewajiban untuk mencukupi setiap orang yang berkebutuhan sedang ia tidak memiliki sumber
mata pencaharian atau tidak ada orang yang menanggung kehidupannya, baik muslim atau
bukan, selama ia berada di bawah naungan kekuasaan pemerintahan Islam. Sumber-sumber
untuk kebutuhan ini ialah : (a) Zakat. (b) Sumber-sumber permanen lainnya, seperti : 1/5
ghanimah (rampasan perang), maalul-fai’ (harta yang ditinggalkan musuh), kharaj (pajak tanah),
jizyah (pajak penduduk non-Islam), barang-barang yang tidak ada pemiliknya atau pewarisnya,
dan hasil-hasil kekayaan negara berupa penggarapan tanah, sumber-sumber alam, dsb. (c)
Sumber-sumber lain, yang berupa sumbangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah terhadap
orang-orang kaya, guna menyempurnakan kebutuhan-kebutuhan faqir miskin, di saat pemasukan
zakat dan sumber lainnya mengalami krisis (kemerosotan).
____________
Source:
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawy. Problema Kemiskinan, Apa Konsep Islam ? Terj.
Umar Fanany. Surabaya : Bina Ilmu, 1977.
MEMUTUS KETERGANTUNGAN
2 02 2007
Diawali pemodal asing yang melakukan investasi ke Negara Dunia Ketiga, yang oleh pihak
dalam negeri diharapkan akan mampu menaikkan pendapatan nasional dan memberi efek positif
bagi perkembangan ekonomi nasional. Namun dapat terbaca bahwa tujuan asasi para pemodal itu
tak lain adalah menyedot keuntungan Negara miskin dimana ia menanamkan investasinya.
Alasannya : Pertama, harapan naiknya pendapatan nasional tidak akan dapat dinikmati oleh
sebagian besar rakyat, tapi hanya segelintir pihak yang beroleh keuntungan dari hasil eksploitasi.
Kedua, efek ekonomi yang timbul justru akan menggeser orientasi rakyat baik dalam
bertransaksi (yakni dari hubungan paternalistic kepada pasar) maupun dalam produksi-
pemasaran (yaitu dari usaha mencukupi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri kepada
pemenuhan pasaran luar negeri. Konsekuensi yang timbul, sistem ekonomi rakyat Negara
tersebut lantas terkait langsung dengan sistem ekonomi kapitalis di luar negeri dengan berbagai
gejolaknya.
Perubahan orientasi sistem ekonomi paternalistic kepada sistem kapitalis rasionalis pasar
sesungguhnya dapat menjadi langkah awal untuk transformasi masyarakat kearah kemajuan lebih
tinggi. Hanya saja, eksploitasi penguasa feudal tidaklah sekejam eksploitasi kapitalis. Eksploitasi
inilah yang menghadang langkah itu untuk maju lebih lanjut. Belum lagi korupsi dan
ketidakadilan yang mengiring tiap tingkat struktur pemerintah yang mengabdi pada kepentingan
kapitalis internasional.
Reaksi atas hal ini sebenarnya sempat muncul dari golongan kelas menengah dan pengusaha
nasional, tapi mereka tidak mampu mengadakan perubahan. Sebabnya : Pertama, golongan ini
lemah karena tidak mewarisi kekuatan ekonomi yang melahirkan kepercayaan diri untuk
memimpin masyarakatnya. Kedua, golongan ini hakikatnya masih berasimilasi dengan nilai-nilai
pihak penguasa dan dengan vested interest dalam situasi status quo yang berjalan. Sehingga
mereka tidak ingin menyatukan diri dengan rakyat miskin untuk suatu revolusi sosial. Mereka
akhirnya “terpaksa” menjadi “antek-antek” penguasa feudal dan “kaki tangan” pihak colonial.
Mereka lalu memandang bangsa dan negerinya dari sudut kacamata kolonial. Mereka bahagia
menjadi kelompok terasing dari sebagian besar bangsanya yang melarat.
Pengusaha nasional disini tampil sebagai partner pemodal asing. Pelaku pelengkap untuk
memudahkan operasi perusahaan-perusahaan asing melakukan eksploitasi. Akhirnya mereka
turut memperkuat aliansi golongan kapitalis asing dengan golongan feodal pribumi. Menyatunya
ciri-ciri terburuk kapitalisme dan feodalisme inilah yang menjadi penghalang utama pembebasan
rakyat untuk meraih perkembangan ekonomi dan sosial.
Jikalaupun suatu revolusi berhasil mengenyahkan “kaum penjajah asing dan para
kolaboratornya”, namun tanpa disertai dengan menjungkirbalikkan stelsel sosial yang ada (yang
notabene feodal), tetap takkan menjanjikan pembebasan bangsa kepada arah yang lebih adil dan
manusiawi. Diatas landasan sosial (stelsel sosial) yang ada, kebijakan pembangunan ekonomi
akan ditumpukan pada program pertumbuhan produksi untuk mengimbangi pertambahan
penduduk. Tapi, karena produktivitas-batas sektor pertanian mendekati atau bahkan nol (zero),
kebijakan diutamakan pada sektor industri dan sektor ekstraktif.
Sektor industri yang berkembang kemudian justru yang memproduksi barang-barang mewah
atau elit karena demandnya efektif. Industri barang konsumsi lainnya berkembang dari hasil
modal asing atau campuran domestic. Ini akan berimbas mematikan industri rakyat dengan
produksi sejenis. Industri yang mampu berkembang kemudian menggurita yang melahirkan
monopoli dan oligopoly yang jelas akan merintangi masuknya partisipan (yang berarti
competitor) baru dalam suatu jenis industri. Adapun keuntungan yang ada, bukannya untuk
melakukan investasi baru yang berefek penyerapan tenaga kerja atau perluasan spesialisasi
masyarakat, tapi malah untuk konsumsi barang mewah.
Di sector ekstraktif, karena sebab kendala modal dan teknologi di pihak pengusaha domestic,
dominasi akhirnya dipegang pengusaha asing. Dan dari sector inipun, ternyata efek peningkatan
pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerjanya relative sangat kecil.
Jadi ringkasnya, dalam proses ekonomi tersebut, (1) pemodal asing; (2) pengusaha domestic; dan
(3) elit penguasa, bekerja sama untuk mempertahankan dan memperkuat status quo, yaitu
struktur sosial dan stelsel sosial yang ada. Ketiga serangkai tersebut senantiasa akan
menyabotase dan berupaya menggagalkan : (1) tiap kebijakan ekonomi kerakyatan yang
bertujuan merubah struktur sosial dan re-alokasi sumber-sumber produktif; (2) tampilnya
pemimpin yang bervisi dan bermisi kerakyatan. Dari itu, perubahan harus dilakukan dengan
menghancurkan “status quo” tersebut demi memungkinkan negara-negara yang terbelakang
memasuki jalan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial.
Negara-negara dapat dibagi dalam dua kelompok besar : (1) Metropolis maju (developed
metropolitan countries); (2) Satelit terbelakang (satellite underdeveloped countries). Dengan
hubungan ekonomi demikian menjadikan aspek utama perkembangan system kapitalis dalam
skala internasional. Tesis ini otomatis menolk tesis Arthur Lemi tentang dual society dan dual
economies yang memisahkan sector modern dan sector tradisional di Negara miskin sebagai
memiliki perjalanan sejarah berbeda dan tidak bersangkut paut.
Pada konteks ini, terdapat 4 (empat) hipotesis pokok : (1) Dalam struktur metropolis dan satelit,
pihak metropolis akan berkembang pesat, sedang satelit akn menuju pada keterbelakangan yang
terus-menerus. Perekembangan yang nampak di permukaan hakikatnya semu dan rapuh Karena
ketergantungan pada pihak luar. (2) Negara-negara miskin yang kini jadi satelit, dapat alami
perkembangan ekonomi yang sehat dan mengembangkan industri yang otonom jika kaitan
dengan metropolis dunia tidak ada atau sangat lemah. (3) Kawasan-kawasan yang sekarang
sangat terbelakang, dulunya dalam situasi system feudal merupakan kawasan yang punya kaitan
kuat dengan metropolis dari system kapitalis internasional. Atau merupakan kawasan terlantar
akibat konjunktur dalam perdagangan internasional bahan mentah. (4) Pertumbuhan beberapa
kawasan maju saat ini bukanlah karena proses penerapan system kapitalis asing dahulu, tapi
karena kawasan-kawasan tersebut memang sudah berkembang kukuh berdasar dinamikanya
sendiri dalam memberi respon-respon terhadap kesempatan-kesempatan yang timbul.
_________
Source:
Sritua Arief dan Adi Sasono. Ketergantungan dan Keterbelakangan : Sebuah Studi Kasus.
Jakarta : Sinar Harapan dan Lembaga Studi Pembangunan, 1984.
MEMUTUS KETERGANTUNGAN
2 02 2007
Diawali pemodal asing yang melakukan investasi ke Negara Dunia Ketiga, yang oleh pihak
dalam negeri diharapkan akan mampu menaikkan pendapatan nasional dan memberi efek positif
bagi perkembangan ekonomi nasional. Namun dapat terbaca bahwa tujuan asasi para pemodal itu
tak lain adalah menyedot keuntungan Negara miskin dimana ia menanamkan investasinya.
Alasannya : Pertama, harapan naiknya pendapatan nasional tidak akan dapat dinikmati oleh
sebagian besar rakyat, tapi hanya segelintir pihak yang beroleh keuntungan dari hasil eksploitasi.
Kedua, efek ekonomi yang timbul justru akan menggeser orientasi rakyat baik dalam
bertransaksi (yakni dari hubungan paternalistic kepada pasar) maupun dalam produksi-
pemasaran (yaitu dari usaha mencukupi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri kepada
pemenuhan pasaran luar negeri. Konsekuensi yang timbul, sistem ekonomi rakyat Negara
tersebut lantas terkait langsung dengan sistem ekonomi kapitalis di luar negeri dengan berbagai
gejolaknya.
Perubahan orientasi sistem ekonomi paternalistic kepada sistem kapitalis rasionalis pasar
sesungguhnya dapat menjadi langkah awal untuk transformasi masyarakat kearah kemajuan lebih
tinggi. Hanya saja, eksploitasi penguasa feudal tidaklah sekejam eksploitasi kapitalis. Eksploitasi
inilah yang menghadang langkah itu untuk maju lebih lanjut. Belum lagi korupsi dan
ketidakadilan yang mengiring tiap tingkat struktur pemerintah yang mengabdi pada kepentingan
kapitalis internasional.
Reaksi atas hal ini sebenarnya sempat muncul dari golongan kelas menengah dan pengusaha
nasional, tapi mereka tidak mampu mengadakan perubahan. Sebabnya : Pertama, golongan ini
lemah karena tidak mewarisi kekuatan ekonomi yang melahirkan kepercayaan diri untuk
memimpin masyarakatnya. Kedua, golongan ini hakikatnya masih berasimilasi dengan nilai-nilai
pihak penguasa dan dengan vested interest dalam situasi status quo yang berjalan. Sehingga
mereka tidak ingin menyatukan diri dengan rakyat miskin untuk suatu revolusi sosial. Mereka
akhirnya “terpaksa” menjadi “antek-antek” penguasa feudal dan “kaki tangan” pihak colonial.
Mereka lalu memandang bangsa dan negerinya dari sudut kacamata kolonial. Mereka bahagia
menjadi kelompok terasing dari sebagian besar bangsanya yang melarat.
Pengusaha nasional disini tampil sebagai partner pemodal asing. Pelaku pelengkap untuk
memudahkan operasi perusahaan-perusahaan asing melakukan eksploitasi. Akhirnya mereka
turut memperkuat aliansi golongan kapitalis asing dengan golongan feodal pribumi. Menyatunya
ciri-ciri terburuk kapitalisme dan feodalisme inilah yang menjadi penghalang utama pembebasan
rakyat untuk meraih perkembangan ekonomi dan sosial.
Jikalaupun suatu revolusi berhasil mengenyahkan “kaum penjajah asing dan para
kolaboratornya”, namun tanpa disertai dengan menjungkirbalikkan stelsel sosial yang ada (yang
notabene feodal), tetap takkan menjanjikan pembebasan bangsa kepada arah yang lebih adil dan
manusiawi. Diatas landasan sosial (stelsel sosial) yang ada, kebijakan pembangunan ekonomi
akan ditumpukan pada program pertumbuhan produksi untuk mengimbangi pertambahan
penduduk. Tapi, karena produktivitas-batas sektor pertanian mendekati atau bahkan nol (zero),
kebijakan diutamakan pada sektor industri dan sektor ekstraktif.
Sektor industri yang berkembang kemudian justru yang memproduksi barang-barang mewah
atau elit karena demandnya efektif. Industri barang konsumsi lainnya berkembang dari hasil
modal asing atau campuran domestic. Ini akan berimbas mematikan industri rakyat dengan
produksi sejenis. Industri yang mampu berkembang kemudian menggurita yang melahirkan
monopoli dan oligopoly yang jelas akan merintangi masuknya partisipan (yang berarti
competitor) baru dalam suatu jenis industri. Adapun keuntungan yang ada, bukannya untuk
melakukan investasi baru yang berefek penyerapan tenaga kerja atau perluasan spesialisasi
masyarakat, tapi malah untuk konsumsi barang mewah.
Di sector ekstraktif, karena sebab kendala modal dan teknologi di pihak pengusaha domestic,
dominasi akhirnya dipegang pengusaha asing. Dan dari sector inipun, ternyata efek peningkatan
pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerjanya relative sangat kecil.
Jadi ringkasnya, dalam proses ekonomi tersebut, (1) pemodal asing; (2) pengusaha domestic; dan
(3) elit penguasa, bekerja sama untuk mempertahankan dan memperkuat status quo, yaitu
struktur sosial dan stelsel sosial yang ada. Ketiga serangkai tersebut senantiasa akan
menyabotase dan berupaya menggagalkan : (1) tiap kebijakan ekonomi kerakyatan yang
bertujuan merubah struktur sosial dan re-alokasi sumber-sumber produktif; (2) tampilnya
pemimpin yang bervisi dan bermisi kerakyatan. Dari itu, perubahan harus dilakukan dengan
menghancurkan “status quo” tersebut demi memungkinkan negara-negara yang terbelakang
memasuki jalan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial.
Negara-negara dapat dibagi dalam dua kelompok besar : (1) Metropolis maju (developed
metropolitan countries); (2) Satelit terbelakang (satellite underdeveloped countries). Dengan
hubungan ekonomi demikian menjadikan aspek utama perkembangan system kapitalis dalam
skala internasional. Tesis ini otomatis menolk tesis Arthur Lemi tentang dual society dan dual
economies yang memisahkan sector modern dan sector tradisional di Negara miskin sebagai
memiliki perjalanan sejarah berbeda dan tidak bersangkut paut.
Pada konteks ini, terdapat 4 (empat) hipotesis pokok : (1) Dalam struktur metropolis dan satelit,
pihak metropolis akan berkembang pesat, sedang satelit akn menuju pada keterbelakangan yang
terus-menerus. Perekembangan yang nampak di permukaan hakikatnya semu dan rapuh Karena
ketergantungan pada pihak luar. (2) Negara-negara miskin yang kini jadi satelit, dapat alami
perkembangan ekonomi yang sehat dan mengembangkan industri yang otonom jika kaitan
dengan metropolis dunia tidak ada atau sangat lemah. (3) Kawasan-kawasan yang sekarang
sangat terbelakang, dulunya dalam situasi system feudal merupakan kawasan yang punya kaitan
kuat dengan metropolis dari system kapitalis internasional. Atau merupakan kawasan terlantar
akibat konjunktur dalam perdagangan internasional bahan mentah. (4) Pertumbuhan beberapa
kawasan maju saat ini bukanlah karena proses penerapan system kapitalis asing dahulu, tapi
karena kawasan-kawasan tersebut memang sudah berkembang kukuh berdasar dinamikanya
sendiri dalam memberi respon-respon terhadap kesempatan-kesempatan yang timbul.
_________
Source:
Sritua Arief dan Adi Sasono. Ketergantungan dan Keterbelakangan : Sebuah Studi Kasus.
Jakarta : Sinar Harapan dan Lembaga Studi Pembangunan, 1984.
MERENGKUH KEBEBASAN
2 02 2007
Fitrah manusia adalah menjadi manusia sejati, yakni manusia yang memiliki kesadaran diri yang
mandiri, yang memungkinkannya untuk memasuki proses sejarah sebagai subyek atau pelaku
yang kritis dan bertanggung jawab, yang akan pula mengantarkannya ke dalam pencarian
afirmasi diri sendiri dan dengan begitu menghindarkan fanatisme. Penyimpangan atas fitrah
tersebut memang merupakan fakta sejarah yang kongkrit, namun itu bukanlah fitrah sejarah;
bukan suatu takdir yang tak dapat dirubah.
Maka, merubah realitas penindasan atau dehumanisasi (yang menghalangi manusia untuk
menjadi manusia sejati/otentik) menuju realitas pembebasan atau humanisasi (yang melapangkan
jalan untuk manusia menjadi manusia seutuhnya) –yang pada hakikatnya adalah suatu proses
penyadaran (conscientization)—merupakan panggilan ontologis setiap manusia.
Dan nampaknya, perjuangan ini mustahil dapat dilakukan oleh kaum sectarian, baik Sektarian
Kanan maupun Sektarian Kiri. Satu-satunya yang dapat diharapkan adalah mereka yang
tergolong orang-orang Radikal. Yakni mereka yang bersikap berani untuk masuk kedalam
realitas, untuk mengetahuinya dengan lebih baik dan karenanya akan dapat mengubahnya dengan
lebih baik pula. Mereka tidak takut untuk berhadapan dengan apapun, untuk mendengarkan,
untuk menyaksikan dunia yang terkuak di hadapan mereka. Mereka tidak akan tunduk untuk
menjadi tawanan dari mitos-mitos yang hanya akan menjebaknya dalam fanatisme dan
karenanya mengalienasi diri dari realitas yang sesungguhnya. Mereka tidak gentar untuk
bertemu-muka serta berdialog dengan siapapun. Mereka tidak menganggap dirinya sebagai
pemilik sejarah atau pemilik manusia, ataupun pembebas kaum tertindas, meski mereka selalu
berjuang di pihaknya. Tapi mereka hanyalah orang-orang yang mengabdikan dirinya di dalam
sejarah, sebagai manusia merdeka, mandiri, kreatif dan bertanggung jawab.
Situasi penindasan terbentuk melalui pola-pola perilaku yang digariskan oleh kaum penindas (the
oppressor). Karena itu, perilaku kaum tertindas (the oppressed) adalah hasil pemolaan tersebut,
dimana citra diri kaum penindas diinternalisasi oleh keum tertindas. Situasi inilah yang memecah
kepribadian kaum tertindas. Mereka mengidap sikap mendua : Mereka tahu bahwa tanpa
kebebasan mereka tak dapat mengada secara otentik, tapi mereka juga merasa takut padanya
(fear of freedom). Ketakutan inilah yang mendesak mereka lebih menyukai ketenteraman dalam
konformitas (kesesuaian) dengan suasana ketidakbebasan daripada mengambil langkah
membentuk ikatan baru yang lahir dari kebebasan yang dapat juga merupakan usaha meraih
kebebasan itu sendiri. Lebih jauh, dalam kepribadian kaum tertindas yang telah dijinakkan
(domesticated) oleh struktur pikiran kontradiktif situasi penindasan, akan tertanam suatu model
idaman tentang “kejantanan”, tentang figur “menjadi seorang manusia ideal”, yang menjadi
manusia itu tidak lain adalah menjadi seorang penindas.
Inilah dilema yang senantiasa dihadapi dalam tahap awal tiap perjuangan pembebasan. Yakni
kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan dalam arti sebenarnya, tapi cenderung
menjadikan dirinya “penindas kecil.” Keterlibatan mereka dalam kontradiksi dengan kaum
penindas bukan atau belum lagi merupakan perjuangan untuk mengatasi kontradiksi tersebut,
tapi hanya merupakan ujud identifikasi dengan sisi lawan. Pengibaratan hasilnya kemudian dari
situasi ini, akan jarang sekali seorang “petani” ketika diangkat menjadi “mandor” tidak menjadi
seorang “tiran” yang lebih kejam terhadap rekan-rekannya dulu dibanding “majikannya” sendiri.
Maka dari itu, perjuangan pembebasan menolak citra diri semacam ini. Kebebasan hanya
diperoleh dengan direbut, bukan dihadiahkan. Dan ini adalah keniscayaan dalam rangka
mencapai kesempurnaan manusiawi. Sekalipun perih. Karena kebebasan memang laksana
kelahiran bayi (manusia baru) yang menimbulkan rasa sakit. Perjuangan otentik tidak berhenti
pada proses identifikasi dengan sisi lawan, melainkan jauh melampauinya. Perjuangan itu
membongkar perasaan takut-bebas untuk mengatasi kontradiksi yang ada sehingga tercipta
situasi yang baru, dimana perasaan bebas (otonomi) serta tanggung jawab menjadi milik tiap
manusia.
Praksis Pembebasan
Refleksi berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition) terhadap realitas (jadi bukan sekedar
alih-alih informasi); untuk menyingkap atau menyibak sebab-sebab yang mendasari
berlangsungnya praktek-praktek penindasan. Ini kemudian membangkitkan kesadaran dan
keterlibatan kritis untuk mengatasi persoalan yang ada tersebut. Disinilah, refleksi yang terlepas
dari dimensi tindakannya akan menjadi verbalisme atau ‘omong kosong’, ‘bualan’. Sementara
tindakan yang berlebihan, lepas dari dimensi refleksinya, akan berubah bentuk menjadi
aktivisme, perubahan untuk perubahan itu sendiri, nihilis. Maka dari itu, mengada secara
manusiawi sebenarnya adalah dalam proses praksis, terlibat dengan realitas, menamai dunia,
mengubahnya. Dan sekali dinamai, dunia akan tampil kembali sebagai suatu permasalahan yang
butuh penamaan baru lagi. Demikian seterusnya.
Perjuangan belum usai Kawan, dan nampaknya takkan pernah usai. Manusia memang tidak
diciptakan dalam kebisuan.
__________
Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas”. Terj. Tim Redaksi. Jakarta : LP3ES, 2000.
MERUMUSKAN STRATEGI PERUBAHAN
2 02 2007
C. Wright Mills mengatakan, “Bila manusia tidak membuat sejarah, mereka cenderung semakin
menjadi alat dari pembuat sejarah maupun menjadi obyek sejarah semata.” Maka, dalam hidup
yang menyejarah ini, hanya ada dua pilihan : menjadi subyek atau obyek ? menjadi penentu bagi
diri sendiri atau pembeo bagi orang lain ? Jika memilih yang kedua (menjadi obyek), persoalan
telah selesai sampai disini. Tapi jika opsi pertama yang jadi pilihan, maka percayalah, bahwa
dalam situasi yang berubah secara cepat dan berkelanjutan ini tugas membuat sejarah itu rumit
dan banyak syaratnya. Sangat dibutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan juga keterampilan dalam
memilih serta menerapkan strategi yang tepat.
Perlu disadari, bahwa tidak ada satu strategi perubahan yang dapat diterapkan secara universal.
Setiap situasi harus diteliti dan dinilai dengan keunikannya masing-masing. Satu situasi, sangat
mungkin memerlukan bermacam-macam strategi. Disinilah dilema senantiasa menjadi kawan
karib pembuat sejarah.
Langkah Pertama
Bedakan antara strategi dan taktik ! Strategi mengacu kepada rencana umum tindakan. Taktik
mengacu kepada tindakan nyata dan khusus (program tindakan) yang berasal dari strategi. Satu
strategi dapat dijabarkan melalui berbagai taktik.
Langkah Kedua
Tentukan target terdekat dan segera dari perubahan ! Target jangka panjang mungkin
keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Dengan target terdekat dan segera dimaksudkan
sebagai bagian dari keseluruhan, yang mana yang akan diubah terlebuh dahulu. Pilihannya bisa
jadi : individu; kelompok; atau struktur sosial (?).
Jika individu sebagai target, premisnya : individu yang berubah, lebih lanjut akan mempengaruhi
(turut merubah) tatanan sosial (kelompok atau organisasi) dimana individu tersebut berada.
Pendekatan individual ini merupakan pendekatan yang sangat lambat. Namun bagaimanapun,
tidak ada satu strategi yang sempurna. Ketika manusia menderita, semua strategi adalah penting.
Perlu dicatat disini, bahwa meski individu yang menjadi target, tapi sasaran-antara yang akan
dipengaruhi terlebih dahulu selalu adalah kelompok. Berdasar ide bahwa norma yang
mempengaruhi perilaku tercipta dalam interksi kelompok. Disinilah lahirnya pendekatan
dinamika kelompok, yang dinilai lebih efektif dibanding ceramah.
Jika kelompok yang menjadi target, asumsinya : perubahan suasana (kelompok / struktur social)
akan mempengaruhi perubahan individu. Macamnya dapat berupa : dengan merubah komposisi
kelompok; atau dengan mengubah proses atau struktur kelompok tersebut. Sebagaimana untuk
mengubah individu perlu mengubah kelompok tempat individu itu berfungsi, begitu pula untuk
mengubah kelompok perlu untuk mengubah struktur sosial dimana kelompok tersebut menjadi
bagiannya. Dari sini terlihat, bahwa untuk jenis perubahan tertentu, struktur sosial itu sendirilah
satu-satunya target yang tepat.
Dengan struktur sosial sebagai target, ini berarti harus memperhatikan secara lebih luas,
menyebar pada beragam cara intertaksi dan suasana yang berpengaruh, tidak terbatas pada satu
atau segelintir kelompok atau organisasi saja. Perubahan struktural ini dapat muncul melalui
komitmen dari pihak pemerintah (seperti kasus Jepang), atau dapat pula melalui gerakan massa
(seperti kasus Revolusi China), atau melalui gerakan-gerakan sosial (seperti gerakan protes
Negro di AS). Jelasnya, target yang tepat tidak selalu dapat diketahui dengan mudah.
Untuk itu, pembuat sejarah perlu memikirkan target sekunder, atau mencapai target tujuan yang
lebih rendah tanpa kehilangan perhatian terhadap tujuan yang sebenarnya. Gamson menyebut ini
sebagai “strategi memikirkan yang kecil-kecil.” Caranya ada 2 (dua) : (1) Mengobati gejala
daripada sumber penyakitnya (disebut juga “jalan pintas” Etzioni); (2) Bergeser dari upaya
mengubah keseluruhan kepada upaya mengubah bagian dari keseluruhan (disebut juga
“kompromi revolusioner” Harry Edwards). Cara-cara tersebut disamping mengurangi biaya
sosial, juga kerap lebih disukai daripada tidak berbuat apapun terhadap masalah yang ada. Dan
secara akumulatif, cara ini dapat pula menghasilkan pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Kata
Gamson, “Kelompok yang mempunyai tujuan yang lebih terbatas, yang memperjuangkan isu
tunggal, dan tak bertujuan melenyapkan antagonisme (musuh / kompetitor—pen.) mereka, lebih
besar peluangnya untuk berhasil mencapai tujuannya.”
Langkah Ketiga
Tentukan agen perubahan ! Hal ini terkait dengan target yang hendak dicapai. Di tingkat
individual, seperti ahli terapi, bisa dipakai teknik otoriter dan partisipatif. Di tingkat kelompok
dan struktural, digunakan strategi elitis atau strategi demokratis. Tugas elit umumnya adalah
mempengaruhi perubahan dengan atau tanpa keinginan orang lain yang terlibat dalam perubahan
itu. Dalam strategi demokratis, elit ahli tetap terlibat, tapi bekerja bersama rakyat sehingga
semua orang dalam perubahan tersebut berpeluang untuk berpartisipasi dalam mengambil
keputusan. Tapi dalam ukuran kelompok yang bertambah besar, partisipasi aktif dapat bergeser
menjadi adanya ‘jaminan’ bahwa semua kelompok yang terlibat atau mayoritas orang harus
merasa bahwa kepentingan mereka terwakili secara memadai. Perubahan yang efektif harusnya
memang yang demokratis, tapi dalam sejumlah studi ditemukan bahwa rezim otoriter sangatlah
efektif mempengaruhi perubahan di tingkat awal modernisasi.
Beberapa hal yang perlu dicatat disini : (1) Pendekatan demokratis bukanlah satu-satunya cara
tercepat untuk mempengaruhi perubahan; (2) Tidak semua partisipasi adalah partisipasi
demokratis. Sebab sangat mungkin, rakyat diberi hak suara dalam suatu soal sepele tapi dibalik
itu justru dimaksudkan untuk mengamankan penguasa mempertahankan kontrol atas persoalan
yang jauh lebih penting dan substansial. Adapun syarat minimum untuk disebut sebagai
partisipasi demokratis adalah : (a) Keputusan benar-benar diambil bersama, bukan bentuknya
saja; (b) Hak politik penuh dan perwakilan untuk semua golongan; (c) Tindakan berdasarkan
konsensus, bukan paksaan; (d) Adanya perencanaan (untuk kemerdekaan menurut istilah
Mannheim); (3) Terdapat beberapa dilema yang patut diperhatikan : (a) Godaan untuk memilih
pendekatan elit yang mendikte daripada pendekatan demokratis karena kurang sabar; (b)
Mengukur seberapa jauh suatu organisasi atau gerakan mencerminkan kepentingan masyarakat
luas; (c) Kecenderungan tuntutan kelas atas bentuk penghormatan tertentu (yang lebih dari kelas
lainnya), meski ada komitmen terhadap struktur demokratis yang egaliter.
Langkah Keempat
Tentukan metode yang dipakai melaksanakan perubahan ! Menurut Walton, semua strategi dapat
digolongkan atas dua jenis : (1) Kekuasaan; (2) Sikap. Meskipun, metode tertentu kerap
menggabungkan keduanya.
Dapatkah keduanya dicapai sekaligus ? Walton mengajukan 3 (tiga) cara mengatasi dilema dari
kedua strategi tersebut : (1) Pencairan kebekuan, dimana taktik kekuasaan dan sikap saling
dipergantikan, seperti hubungan timbal-balik, ketika beroleh konsensi segera diikuti dengan
tawaran perdamaian dan persahabatan; (2) Organisasi atau sub kelompok yang berbeda (dengan
kata lain, membelah wajah organisasi dalam beberapa kelompok kecil / divisi) untuk memainkan
strategi yang berbeda demi tujuan besar yang sama; (3) Mengakui adanya perbedaan kepentingan
antar kelompok dan berusaha untuk melakukan tindakan bersama yang dapat menguranginya.
Dan segera, setelah strategi dipilih, maka sejumlah besar taktik akan tersedia.
Beberapa Catatan yang layak direnungkan : (1) Semua masyarakat ditandai adanya
kecenderungan dari golongan berkuasa untuk mempertahankan bahkan meningkatkan
kekuasaannya, serta menghalangi setiap upaya untuk mengubah pembagian kekuasaan. Karena
itu, mereka yang mencoba mengubah tatanan masyarakat harus menggunakan strategi
kekuasaan. (2) Setiap perubahan akan semakin kurang dapat dicapai seiring dengan menyusutnya
basis dukungan yang melandasinya. (3) Strategi sikap sering dipakai jika yang jadi target adalah
individu. Strategi kekuasaan biasanya digunakan dalam gerakan sosial. Kadang juga dipakai
untuk tingkat yang lebih rendah, seperti mengubah aspek tertentu dari suatu institusi atau
organisasi. Menurut definisi, gerakan revolusioner adalah strategi kekuasaan. (4) Saul Alinsky
mendefinisikan orang Radikal sebagai orang yang menggunakan kekuasaan untuk
mempengaruhi perubahan yang diinginkan. Ia berkata, “Orang Liberal memimpikan mimpi;
orang Radikal membangun dunia yang diimpikan orang.” Ia juga berkata, “Organisasi rakyat
bukan alat permainan untuk menyantuni manusia, bukan pula untuk meningkatkan pelayanan
sosial …(ia adalah) organisasi berpikir dan bertindak untuk mengopersi masyarakat dan bukan
sekedar mendandaninya …organisasi rakyat dipersembahkan untuk melaksanakan perang abadi.
Perang melawan kemiskinan, kesengsaran, kejahatan, penyakit, ketidakadilan, keputusasaan,
kehilangan harapan, dan ketidakbahagiaan … perang bukanlah perdebatan intelektual, dan dalam
perang menentang kejahatan sosial, tidak ada aturan jujur-jujuran.” (5) Crozier menganalisis, di
dasar semua konflik dalam organisasi, jelas terdapat sejenis pertarungan untuk memperebutkan
kekuasaan. Dalam konteks ini pula, mengapa setiap kelompok berusaha mempertahankan
ketidakpastian (ambiguity) dalam kelompoknya sendiri (agar sulit terbaca atau “dikerjai” oleh
lawan), sementara disisi lain justru berkeras mendesakkan rasionalisasi terhadap kelompok lain
dalam organisasi (sehingga lebih mudah terbaca dan diramalkan), tidak lain adalah demi tujuan
meningkatkan kekuasaannya sendiri dalam perjuangan tersebut. (6) Berdasarkan kondisi tertentu,
penggunaan kekerasan mungkin efektif dan nampak perlu, tapi untuk kebanyakan situasi,
penggunaan kekerasan lebih merupakan suatu alternatif ketimbang metode yang perlu. Lihat
contohnya pada Gandhi, Martin Luther King Jr., atau Cesar Chavez.
______________
Robert H. Lauer. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Terj. Alimandan S.U. Jakarta : Rineka
Cipta, 2001.
Fenomena Agama dan Dinamikanya
2 02 2007
Agama, dengan berbagai padanan kata asingnya, merupakan istilah dengan spektrum
pembahasan yang kompleks. Pertama, agama dapat dilihat sebagai salah satu jejak universal
yang senantiasa hadir dalam beragam tingkatannya di semua budaya manusia yang pernah ada.
Dengan agama, seperti dikatakan Yi Fu Tuan, manusia menjadi makhluk yang benar-benar
terbedakan dari hewan-hewan lainnya. Maka berbicara tentang agama dalam pengertiannya yang
luas sebenarnya adalah suatu ikhtiar yang menyentuh materi warisan kultural dan peradaban
manusia dalam kesejarahannya yang sangat panjang, karena sejarah agama telah bermula jauh-
jauh hari sejak awal kehidupan manusia itu sendiri dimulai. Bahkan dalam beberapa faham
agama, Islam misalnya, ditegaskan bahwa manusia pertama (yaitu Adam) diciptakan dan diajari
pengetahuan secara langsung oleh Tuhan.
Kedua, tradisi agama tidaklah tunggal. Manusia sekarang tentu sangat menyadari adanya
pluralitas agama-agama. Mereka dapat menyaksikan secara lebih dekat dan luas betapa banyak
sekali agama atau kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi. Mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa agama yang pernah atau masih hidup di dunia ini ternyata
bukan hanya agama yang dianutnya saja. Tuhan diseru dan disembah ternyata juga tidak hanya
di tempat-tempat ibadah mereka saja. Manusia lainnya di kantung-kantung komunitas yang
berbeda pun menyeru Tuhan dan beribadah kepada-Nya, sekalipun dengan sebutan dan istilah
yang bermacam-macam. Tetapi mereka sama-sama meyakini bahwa ada Dzat Adi Kodrati yang
menciptakan manusia dan alam semesta ini, atau setidaknya ada Prinsip-prinsip Ultim yang
dipercaya mengatur realitas kehidupan ini berikut peredarannya. Mereka juga terbukti mampu
menghadirkan bentuk-bentuk kesalehan dan nilai-nilai kebijaksanaan baik dalam amalan ritual
maupun sosialnya.
Ketiga, agama adalah entitas multi-dimensi. Secara umum, memakai tipologi Frederick J. Streng,
agama setidaknya mempunyai 3 (tiga) dimensi yang integral: personal, sosial dan Ultim. Dalam
dimensi personalnya agama dapat muncul sebagai proses interpretasi yang melibatkan karakter
personal yang mencakup reaksi internal, keputusan dan juga pemaknaan. Agama dalam dimensi
sosialnya dapat terekspresikan melalui bentuk-bentuk institusi dan budaya; yang sebenarnya
dapat juga dipahami sebagai ekspresi sosial dari harapan-harapan, problema-problema dan
modal-modal kehidupan partikular. Sedangkan dimensi lain yang memberi karakter distingtif
yang membedakan suatu ekspresi personal atau sosial sebagai ekspresi religius dari yang bukan
religius adalah dimensi Ultim. Yakni Realitas puncak yang kepadanya seseorang memberikan
loyalitasnya sebagai wujud kesejatian hidup.
Keempat, agama tidaklah bersifat statis. Apabila menengok sejarah agama-agama di dunia ini,
niscaya dengan mudah akan dijumpai contoh-contoh yang dapat menunjukkan adanya proses
dinamika pada setiap agama. Secara internal, agama manapun pasti mengalami proses
perkembangan interpretasi dan aktualisasi ajaran. Sedangkan secara eksternal, banyak sekali
agama yang kemudian tersebar dan memperoleh pengikut dengan jumlah signifikan hingga ke
wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal kelahirannya. Islam misalnya, lebih tampak sebagai
suatu mozaik yang kaya jika dilihat dari sisi pluralitas pemahaman sekaligus pengamalan pesan-
pesan agamanya. Dalam aspek pemikiran teologi, Islam memencar ke beberapa aliran seperti
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam pemikiran fikih, Islam memencar juga ke
beberapa mazhab seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalam pemikiran
tasawuf, Islam juga mengenal bermacam aliran sufi dan ketarekatan. Sementara itu, Islam yang
dihayati oleh para pemeluknya menunjukkan kekayaan corak dan karakter dalam berbagai
ekspresi lokal dengan basis etnis dan kultural masyarakat yang beragam.
Dinamika agama juga dapat disaksikan melalui fenomena lahirnya agama-agama baru. Agama-
agama besar yang eksis di dunia sekarang ini dalam sejarahnya merupakan agama-agama baru di
masyarakat pada awal kelahirannya. Pada konteks klasik, bisa diambil misal pertumbuhan agama
Budha yang dianggap baru ketika Siddharta Gautama menyebarkan ajaran-ajarannya di tengah
masyarakat India yang kala itu umumnya beragama Hindu. Adapun pada konteks kontemporer,
kelahiran agama-agama baru dapat dilihat antara lain melalui kemunculan Aum Shinrikyo di
Jepang, Scientology di Jerman dan Falungong di China. Menariknya, lahirnya agama-agama
baru tersebut rata-rata mendapatkan kecaman sebagai ajaran yang akan merusak tatanan yang
sudah mapan di masyarakat. Islam contohnya, ketika pertama kali diserukan Nabi Muhammad di
tengah-tengah masyarakat Arabia juga mendapat reaksi dan tuduhan sebagai ajaran yang
mengancam eksistensi kepercayaan keagamaan sekaligus keharmonisan hidup penduduk
setempat.
Memahami realitas faktual terkait agama sebagaimana terurai beberapa di antaranya dalam
pembahasan di atas, maka siapapun yang berminat mengkaji dan memperdalam pengetahuannya
tentang agama tampaknya penting menyadari sejak awal perihal keluasan dan dinamika wilayah
studi yang akan digelutinya.
Dinamika Islam
2 02 2007
Jika menengok sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang
menunjukkan bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal
pertumbuhannya. Bahkan tak jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah
pengikut yang lebih besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, seperti
dituturkan Park dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:
Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung (contagious) maupun hirarkis (hierarchical);
Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan
dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan
tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di
wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk
kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini
tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim. Untuk memotret hal ini
menarik dicermati ulasan Harun Nasution yang menyebutkan bahwa dinamika kesejarahan Islam
secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) periode besar perkembangan: (1) klasik; (2)
pertengahan; dan (3) modern.
Pada periode klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting: (1) Fase ekspansi,
integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di fase inilah Islam di bawah kepemimpinan para
khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat signifikan, kearah Barat melalui Afrika
Utara Islam mencapai Spanyol dan kearah Timur melalui Persia Islam sampai ke India. Masa ini
juga ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (di bidang agama maupun non agama)
dan kebudayaan. Dalam bidang hukum dikenal para imam mazhab seperti Malik, Abu Hanifah,
Syafi’i, dan Ibn Hanbal. Di bidang teologi dikenal tokoh-tokoh seperti Abu Hasan al-Asy’ari, al-
Maturidi, Wasil ibn Atha’ al-Mu’tazili, Abu al-Huzail, al-Nazzam dan al-Juba’i. Di bidang
ketasawwufan dikenal Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lainnya lagi.
Sementara dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan kita mengenal al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haytsam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi; (2)
Fase disintegrasi (1000-1250 M) yang ditandai dengan perpecahan dan kemunduran politik umat
Islam hingga berpuncak pada terenggutnya Baghdad oleh bala tentara Hulagu di tahun 1258 M.
Periode pertengahan (1250-1800 M) dapat dibaca juga dalam dua fase penting: (1) Fase
kemunduran (1250-1500 M) yang penuh diwarnai perselisihan yang terus meningkat dengan
sentiman mazhabiyah (antara Sunni dan Syi’ah) maupun sentimen etnis (antara Arab dan Persia).
Pada masa inilah dunia Islam terbelah yang kemudian diperparah dengan meluasnya pandangan
bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sementara perhatian terhadap dunia ilmu pengetahuan
melemah, kekuatan Kristen (dimana Perang Salib telah dimaklumatkan oleh Paus Urbanus II
sejak dalam Konsili Clermont tahun 1095 M) justru kian menekan dunia Islam; (2) Fase tiga
kerajaan besar (1500-1800 M). Yang dimaksud disini adalah kerajaan Usmani (Ottoman Empire)
di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Pada masa kejayaannya,
masing-masing kerajaan ini memiliki keunggulan khas di bidang literatur dan arsitektur
sebagaimana terlihat melalui keindahan masjid-masjid dan bangunan lainnya yang lahir ketika
itu. Sedangkan perhatian pada riset ilmu pengetahuan masih terbilang sangat kurang sehingga
turut memberi kontribusi pada menurunnya kekuatan militer sekaligus politik umat Islam. Sisi
lain, dunia Kristen dengan kekayaan yang terus berlimpah yang diangkut dari Amerika dan
Timur Jauh semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan kekuatan militernya. Maka
sejarah akhirnya mencatat, kerajaan Usmani terpukul kalah di wilayah Eropa, kerajaan Safawi
terdesak oleh suku-suku Afghan, dan kerajaan Mughal kian mengkerut ditekan raja-raja India.
Puncaknya, Mesir sebagai salah satu simbol dan pusat peradaban Islam ketika itu runtuh di
bawah penaklukan Napoleon di tahun 1798 M.
Periode modern (1800 M dan seterusnya) dikenal sebagai era kebangkitan kembali umat Islam.
Kekalahan demi kakalahan tampaknya mulai menyadarkan dunia Islam bahwa dunia Barat telah
mengalami kemajuan sedemikian tinggi yang takkan mungkin terlawan dengan mengandalkan
kekuatan di berbagai aspeknya yang berada dalam keadaan lemah ketika itu. Dari sinilah muncul
ide-ide pembaharuan yang bermaksud merekonstruksi keadaan dan kualitas umat Islam sehingga
memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi ekspansi militer, politik imperialis, dan juga
peradaban kolonial Barat yang semakin massif.
Pembaharuan di Dunia Islam
2 02 2007
Di seputar periode ini, Marcel A. Boisard melihat ada 3 (tiga) fenomena yang terjadi terkait
Islam dan gerakan pembebasan yang menjadi dasar dari sejarah modern umat Islam, yaitu:
reformasi, identifikasi dan afirmasi. Dengan terkumpulnya tiga hal tersebut akan memberi aspek
dinamis yang sebelumnya telah demikian meredup di dunia Islam. Upaya identifikasi lantas
bergerak sebagai proses pencarian otentisitas yang memberi dasar legitimasi yang membedakan
diri (diferensiasi) dari kaum penjajah Barat, baik yang kapitalis maupun marxis. Sementara
keniscayaan untuk melakukan reformasi yang pada mulanya secara tidak sadar cenderung
dengan meniru Barat kemudian bergerak sebagai keinginan untuk mengetahui rahasia
kesuksesan dunia teknis-material peradaban Barat sekaligus penegasan atas kebobrokan dunia
spiritual mereka. Pada konteks ini, reaksi Islam terhadap Barat tampak mengemuka sebagai
tindakan yang berorientasi ganda: satu sisi menjadikan Barat sebagai model keunggulan di
bidang sains dan teknologi; dan sisi lain sebagai obyek serangan dan perlawanan. Di sini,
afirmasi (peneguhan) tentang keunggulan Islam sebagai basis ideologi merupakan percampuran
antara glorifikasi (ingatan akan kejayaan) masa lalu dan kesadaran terhadap perlunya
pembaharuan doktrin ajaran atau pemahaman keagamaan mereka. Fenomena responsif umat
Islam tersebut sesungguhnya adalah sebuah kewajaran. Menurut ‘Abd Allah Ahmad al-Na’im,
tidaklah mengherankan apabila umat Islam berupaya menegaskan identitas kulturalnya dan
menggali kekuatan dari kepercayaan dan tradisi yang dimilikinya untuk memberi jawaban solutif
atas persoalan sosial, ekonomi dan politik yang ada. Sehingga gerakan semacam itu kemudian
dapat dibaca sebagai upaya niscaya guna menegaskan kemampuan Islam dalam melakukan
reinterpretasi, mengakomodasi, bahkan mendesakkan perubahan berhadapan dengan sejarah.
Suatu interpretasi strategis memang dibutuhkan untuk menyiapkan dasar pijakan yang
melegitimasi klaim bahwa Islam mampu beradaptasi dan berdialog sesuai perkembangan zaman.
Secara umum, gerakan pembaharuan Islam yang muncul dari berbagai aliran dan wilayah yang
berbeda memiliki beberapa premis intelektual yang serupa. Pertama, Islam tidak dapat
dipersalahkan atas dekadensi nyata yang diderita dunia Islam. Segala keburukan itu sepatutnya
dinisbatkan kepada umat Islam yang belum dapat hidup otentik sesuai dengan ajaran agamanya.
Kedua, Islam adalah agama rasional yang senantiasa menginspirasi dan menuntut kemajuan
umatnya. Maka, pembaharuan menjadi niscaya untuk mengeluarkan umat dari peri kehidupan
yang pasif dan statis kepada peri kehidupan Islam yang sesungguhnya yang bersifat akttif dan
dinamis. Dari sinilah muncul seruan-seruan untuk melakukan gerakan pemurnian pemahaman
dan praktek implementasi ajaran agama hingga ajakan untuk kembali kepada sumber otoritas
agama yang asli dengan memakai pemikiran yang kritis dan merdeka. Dalam pembacaan M.C.
Ricklefs, gerakan pembaharuan Islam pada mulanya memang tampil sebagai kombinasi antara
‘konservatisitas’ dan ‘progresivitas’. Yakni, perkawinan antara upaya mendobrak dominasi
pemikiran madhhabi abad pertengahan melalui seruan kembali kepada sumber otentik Islam: al-
Qur’an dan al-Sunnah, dengan ikhtiar berupa ijtihad baru yang secara kreatif memanfaatkan
kemajuan pengetahuan modern yang telah digapai dunia Barat. Kombinasi inilah yang dipercaya
bakal melempangkan jalan bagi kebangkitan kembali dunia Islam ke panggung sejarah dan
peradaban.
Dalam prakteknya, gerakan pembaharuan ini mengemuka kedalam dua aliran utama: reformis
dan modernis. Kalangan reformis melihat esensialitas keterikatan gerakan dengan nilai-nilai
Islam guna menentang pengaruh kebudayaan materialis asing. Anjuran kembali kepada ortodoksi
ini tentu tidak menghalanginya untuk meninggalkan formulasi-formulasi klasik tertentu tentang
ajaran Islam. Bagi merka, tiap “kebangkitan” haruslah dimulai dengan reformasi keagamaan.
Kalangan modernis yang juga melihat pentingnya referensi agama bagi gerakan Islam modern
cenderung terbuka menerima prinsip-prinsip sekuler, khususnya dalam pemikiran politik mereka.
Gerakan pembaharuan Islam ini dapat dikatakan merambah hampir seluruh dunia Islam, tetapi
pusat pembiakan ide-ide pembaharuan sejauh ini erat dihubungkan dengan tokoh-tokoh dari
wilayah Mesir, India dan Turki.
Tonggak pembaharuan Islam di Mesir diawali sejak Muhammad ‘Ali tampil sebagai pasha
(penguasa) di Mesir (1805-1849) pasca invansi militer Perancis tahun 1798 M. Adapun
formulasi pemikiran pembaharuannya memperoleh sokongan penting dari peran Rifa’ah al-
Tahtawi (1801-1873 M), yang merekonstruksi sistem pendidikan Mesir dengan mengusahakan
pemaduan Islam dan ide-ide modern. Selanjutnya, tampil Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897)
dengan gerakan Pan Islamisme-nya yang menyerukan perlunya solidaritas dan kesatuan ideologi
dunia Islam untuk melawan dominasi imperialisme dunia Barat. Salah satu muridnya yang
terkemuka, Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M), kemudian juga muncul sebagai tokoh utama
modernisme Islam, sekalipun dalam beberapa pemikirannya justru tampak lebih dekat dengan al-
Tahtawi. Terutama pada gagasan pencarian titik moderasi (taufiqiyah) antara Islam dan sains
modern. Melalui Abduh inilah, pemikiran pembaharuan Islam dipercaya menemukan bentuknya
secara lebih tegas dalam sejarah Islam. H.A.R. Gibb mengikhtisarkan pemikiran Abduh ini
kedalam 4 (empat) tema sentral: (1) Pemurnian Islam dari praktek dan pengaruh penyimpangan;
(2) Reformasi pendidikan Islam; (3) Reformulasi doktrin Islam dengan memanfaatkan pemikiran
modern; dan (4) Perlawanan terhadap pengaruh Barat dan serangan Kristen ke dunia Islam.
Tema revivalis yang masuk dalam konstruk pemikiran ‘Abduh tersebut (poin pertama), jika
dilacak, memiliki kesesuaian dengan ide-ide revivalis yang menjadi karakter gerakan Islam pra-
modern. Gerakan yang oleh Achamd Jainuri diistilahkan sebagai gerakan pembaharuan awal
yang purifikasionis-reformis itu antara lain diperjuangkan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-
1624 M), Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792 M) dan Shah Waliyullah (1703-1762 M).
Bahkan jika ditarik lebih jauh, dapat sampai kepada figur Ibn Taymiyah (1263-1328 M).
Menurut Fazl al-Rahman, gerakan revivalis sejatinya merupakan bagian dari intensitas dan
universalitas upaya otokritik, dimana kesadaran atas kemunduran internal masyarakat muslim
dan perlunya rekonstruksi dilakukan melalui eliminasi praktek-praktek penyimpangan agama
serta mengupayakan tegaknya standar moral sosial. Tokoh pembaharu dari Mesir lainnya yang
menonjol adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), murid dari Abduh. Sejalan dengan
gurunya, Ridha melihat perlunya tafsir agama yang bersumber langsung kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan sikap terbuka berupa pengakuan atas faedah ide-ide modern dan
penggunaannya. Tetapi corak penjelasannya tampak lebih dekat dengan al-Afghani yakni
memasukkan dimensi politis bahkan Pan Islamis untuk memperbaharui dunia Islam. Hanya saja,
disini ia menyerukan pentingnya menciptakan kembali khilafah (kekhalifahan) baru lebih dari
hanya sekedar kesatuan ideologi dan politik umat Islam sebagaimana diserukan oleh al-Afghani.
Di India, muncul tokoh pembaharu bernama Sayid Ahmad Khan (1817-1897 M) yang percaya
bahwa kemunduran umat Islam disebabkan karena mereka tidak mengikuti perkembangan
zaman. Untuk itu, ia menganjurkan umat Islam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Pada konteks ini, kerjasama dengan Inggris yang menguasai India ketika itu adalah
salah satu pendekatan strategis di samping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan yang
maju seperti Sekolah Inggris di Muradabad dan Mohammedan Anglo Oriental Collede (MAOC)
di Aligarh. Sayid Ahmad Khan meyakini jika pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi umat
Islam di India untuk suatu saat nantinya mereka memiliki negara tersendiri yang terpisah dari
umat Hindu. Pengikut dari ide-ide pembaharu ini kian lama bertambah besar pasca kematiannya
seiring dengan kemajuan yang dicapai lembaga-lembaga pendidikan yang peloporinya. Gerakan
yang berjuang di bawah pancaran kiprahnya itu dikenal sebagai gerakan Aligarh, dengan
beberapa tokoh sentralnya seperti Muhsin al-Mulk (1837-1907 M), Vikar al-Mulk (1841—M),
Shibli (1857—M) dan Hali (1837–M). Belakangan, karena ketidaksepakatannya dengan sikap
kooperasi gerakan Aligarh dengan pemerintah colonial Inggris, Shibili keluar dan mendirikan
organisasi sendiri bernama Nadwatul Ulama. Di lembaga inilah mengkader mahasiswa-
mahasiswa pilihannya, di antaranya Maulana Abul Kalam Azad (1888—M) yang dalam
kiprahnya menyuarakan kembali ide khilafah dan Pan-Islamisme. Gagasan serupa juga
mengilhami kiprah dari Maulana Muhammad Ali (1878-1931 M) yang getol melancarkan
gerakan anti diskriminasi di tanah India. Pandangan berbeda nantinya muncul dari pemikir India
terkemuka lainnya yaitu Muhammad Iqbal. Tokoh ini menolak perlunya didirikan kembali
khilafah karena Islam sejatinya bukanlah konsep politik untuk mendirikan pemerintahan,
melainkan kesetiaan kepada Tuhan dan hukum-hukum-Nya. Iqbal lebih percaya pada format
demokrasi yang dibangun atas dasar aspirasi Islam. Menurutnya, gerakan pembaharuan Islam
dapat mencapai titik kompromi antara doktrin Islam dan rasionalisme Barat tanpa ada bentrokan.
Pembaharuan di Turki sudah dimulai sejak Sultan Mahmud II (1785—M) berkuasa. Sultan ini
secara radikal memulai gerakannya merombak struktur pengelolaan kenegaraan antara eksekutif
dan yudikatif. Di bidang hukum, ia memilah antara urusan hukum Islam dan hukum Barat
(sekuler). Selain pembaharuan di bidang militer, ia juga merubah kurikulum pendidikan menjadi
lebih apresiatif dengan materi-materi bacaan dari Barat. Banyak pelajar yang atas perintahnya
dikirim untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi ke Eropa. Ide-ide pembaharuannya ini
kemudian dilanjutkan oleh gerakan Tanzimat dengan tokoh sentralnya Mustafa Rasyid Pasya
(1800—M) dan Mustafa Sami. Selain tokoh-tokoh tersebut, Shadiq Rif’at (1807—M) merupakan
figur terkemuka yang menyerukan perlunya jaminan hak-hak asasi bagi warga negara di samping
keharusan pemerintah untuk bersikap demokratis dan tidak korup agar tercipta kemakmuran dan
kemajuan. Ide-ide pembaharuan Tanzimat selanjutnya diusung oleh gerakan Usmani Muda yang
kritis terhadap absolutisme kekuasaan kerajaan Turki dengan tokohnya: Ziya Pasya (1825—M)
dan Namik Kemal (1840-1888 M). Gerakan pada puncaknya bermaksud menumbangkan
kekuasaan Sultan Abdul Hamid yang berakhir kegagalan. Sebab-sebab kegagalannya antara lain:
(1) Ide yang diusungnya tidak sepenuhnya terpahami oleh kalangan istana; (2) Gerakannya tidak
memiliki basis dukungan yang cukup dari kalangan menengah yang bisa menjembataninya
berhubungan dengan kalangan lapisan bawah. Jadi cenderung bersifat elitis dan eksklusif; (3)
Tidak adanya kekuatan yang cukup untuk menandingi pilar-pilar kekuasaan Sultan. Dengan
semakin absolutnya kediktatoran Sultan, memicu munculnya kaum oposan dari beragam
kalangan. Salah satunya adalah gerakan Turki Muda di bawah kepemimpinan Ahmed Riza,
Mehmed Murad dan Pangeran Sihabuddin. Dari ketiga tokoh yang telah akrab bersentuhan
dengan ide-ide Barat ini lahir ide-ide rekonstruksi Turki menjadi negara konstitusional dengan
struktur yang terdesentralisasi. Jalur pendidikan tetap menjadi prioritas sebagai instrumen
perubahan yang vital. Pemuka Turki Muda tersebut kemudian bergabung bersama kalangan
militer dan elemen lainnya dalam kelompok Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki) yang
menginisiasi pemberontakan tahun1908 M. Sultan Abdul Hamid akhirnya menerima tuntutan
untuk mengadakan pemilu untuk membentuk parlemen yang kemudian diketuai oleh Ahmed
Riza. Peristiwa politik tersebut mempengaruhi stabilitas negara, dengan tanpa dukungan dari
kelompok ulama konservatif dan tarekat Bektasyi yang berpengaruh, maka Sultan Mehmed V
akhirnya naik ke tampuk kekuasaan. Pemilu selanjutnya diadakan kembali tahun 1912 M yang
dimenangkan oleh kelompok Ittihad ve Terekki. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh wakil dari
kalangan militer di bawah Enver Pasya, Jemal Pasya, dan Talat Pasya. Modernisasi Turki
berlangsung kembali di segala aspeknya.
Dari sejarah pembaharuan Turki selanjutnya didapati 3 (tiga) orientasi gerakan yang berbeda: (1)
Tradisionalis, yang kukuh dengan ide Islamisme dan perlu tegaknya pemerintahan Islam. Tokoh
utamanya adalah Mehmed Akif (1870-1938 M); (2) Nasionalis, yang mengembangkan ide pan-
Turkisme yang bercita-cita tegaknya negara Turki yang memiliki identitas kultural otentik yang
khas dan berbeda dari masyarakat lainnya. Tokoh sayap gerakan ini adalah Zia Gokalp (1875-
1924 M); (3) “Modernis”, yang bereaksi terhadap kelompok tradisionalis dengan mengusung
Islam rasional yang akrab dengan ide-ide Barat. Mereka menyerukan perlunya masyarakat Turki
mengambil pola Barat bagi kemajuan negerinya. Dalam banyak hal ketiga aliran ini memiliki
perbedaan pandangan yang khas. Dalam soal institusi kenegaraan misalnya, kaum tradisionalis
melihat perlunya negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Kaum modernis justru
menganjurkan pemisahan antara agama dan negara. Sementara kaum nasionalis lebih melihat
pada urgensitas langkah yang dapat mereduksi peran mahkamah syari’ah di bawah Syaikh al-
Islam yang terlampau berlebihan. Dalam bidang ekonomi, kaum modernis menganjurkan adopsi
sistem kapitalisme dan liberalisme yang dikecam oleh kaum tradisionalis sebagai sistem yang
sama buruknya dengan sosialisme dan komunisme. Khusus terkait bunga bank, kaum nasionalis
tidak sepakat dengan kaum tradisionalis tentang keharamannya. Menurut mereka, yang
diharamkan oleh al-Qur’an adalah bunga dalam transaksi jual-beli uang, bukan bunga bank dari
menyewakan atau meminjamkan uang. Sementara di bidang pendidikan, kaum modernis
menuntut kebebasan pendidikan dan mimbar akademik dengan memasukkan materi-materi
filsafat, logika dan pengetahuan Barat lainnya. Sisi lain, kaum tradisionalis yang takut erosi
terhadap identitas Islam karena pengaruh ilmu-ilmu Barat cenderung mempertahankan sistem
pendidikan madrasah. Disini kaum nasionalis lebih berkeinginan membangun sistem pendidikan
yang berakar dari nilai-nilai kultural yang asli dari bangsa Turki. Khusus mengenai masalah
perempuan, kalangan modernis menyerukan ide-ide persamaan hal termasuk menyerang
“kerudung” sebagai simbol yang memasung perempuan. Pemahaman ini jelas ditentang keras
oleh kalangan tradisionalis. Adapun kaum nasionalis tampaknya berpihak pada pemikiran atas
perlunya partisipasi publik bagi perempuan di bidang sosial maupun ekonomi. Soal poligami,
kaum nasionalis menyerukan penghapusannya.
Demikianlah, pertelingkahan gerakan pembaharuan di beberapa wilayah itu yang pada gilirannya
menginspirasi kemunculan gerakan sejenis di belahan dunia Islam lainnya. Dalam beragam corak
dan orientasinya, gerakan pembaharuan Islam ini senantiasa menyuarakan ide dinamisasi,
emansipasi dan otentifikasi. Islam dipandang sebagai ajaran yang senantiasa mendorong
umatnya untuk bersifat optimis, rasional dan dinamis. Islam juga terbukti menjadi landasan atau
setidaknya referensi ideologis yang kuat bagi amplifikasi (penguatan) perlawanan menentang
penjajahan dan dominasi eksternal (Barat) maupun represi dan absolutisme internal (penguasa
diktator). Lebih daripada itu semua, Islam dengan beragam kadar tingkatannya juga selalu
menarik untuk dijadikan simbol identitas yang memberi dasar argumentasi orisinalitas
(otentisitas) perjuangan umat Islam. Beberapa rumusan konseptualisasi seperti: pentingnya
purifikasi (pemurnian) pemahaman Islam dari takhayul dan sejenisnya; perlu dibukanya kembali
pintu ijtihad; seruan untuk kembali kepada sumber ajaran yang asli yaitu al-Qur’an dan al-
Sunnah; serta ajakan kemerdekaan berfikir di samping keyakinan bahwa Islam bersifat
kompatibel (mampu berkesesuaian) dengan perkembangan intelektual zamannya;
kesemuanyanya itu kiranya dapat dipahami sebagai bagian dari upaya dan cita-cita besar umat
ini untuk dapat menyaksikan kembalinya peradaban dan kebudayaan dunia yang bersandar
kepada tatanan moralitas yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan universal.
Mula kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak mendapat perhatian dan telaah para
pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang
persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih di
negeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak berlebihan, studi mengenai latar
historis dan proses perkembangan selanjutnya dari agama ini –sehingga beroleh tempat dan
mampu mengikat begitu banyak pengikut di wilayah ini– cukup punya nilai guna memahami dan
memaknai lebih dalam dinamika keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.
Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama,
yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Hal lain yang
juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan
penduduk lokal berikut konstruk kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan
terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori
besar: Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran
para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya
tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar
abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal
Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang cukup
beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India,
misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang
juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan
lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E.
Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari
Cambay – Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal
dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa Islam di Indonesia bermula dari
pantai Coromandel. Sebab menurutnya, pada masa Islamisasi kerajaan Samudera dimana raja
pertamanya (Malik al-Saleh) wafat tahun 1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan
Hindu. Baru setahun kemudian, kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari
sana, tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang di tempat itu. Adapun
bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal, tidaklah serta merta menunjukkan bahwa agama Islam
juga ‘diimpor’ dari tempat yang sama.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain
dikemukakan oleh T.W. Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari
beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi
dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada
komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan
dengan perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-
Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak
berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas
muslim lokal. Sementara variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam nusantara
berasal dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander
mengemukakan teori Islam nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer
dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat Naguib al-Attas,
seorang pendukung teori Arab, dihadirkan sebagai komparasi. Dalam mengkaji Islam nusantara,
al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya pada bukti-bukti konseptual dan
literatur, dibanding bukti-bukti epigrafis sebagaimana para pemikir sebelumnya. Dalam “teori
umum tentang Islamisasi nusantara”-nya tersebut al-Attas menyebutkan bahwa karakteristik
internal Islam di nusantara lebih cenderung berasal langsung dari Arab. Dari berbagai literatur
Islam yang beredar di nusantara sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang
India. Bahkan sebagian penulis yang dipercayai beberapa sarjana Barat sebagai berasal dari India
atau Persia, jika ditelisik ternyata berasal dari Arab baik etnis maupun kultural. Adapun
mengenai bukti epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya, dan menyatakan bahwa kemunculan
nisan-nisan dari India tersebut hanya karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks
perdagangan).
Teori ini dikritik oleh A.H. Johns, yang menurutnya, patut diragukan bahwa para pedagang akan
mampu meng-Islam-kan penduduk lokal dalam jumlah yang signifikan. Bukankah ditengarai
bahwa mereka telah hadir sejak abad ke-7 atau ke-8 M di nusantara, tetapi nyatanya, Islamisasi
yang signifikan justru tampil di sekitar abad ke-12 M. Johns lalu mengajukan teori Sufi-nya.
Menurutnya, Islamisasi di nusantara sukses lebih didorong oleh peran para sufi pengembara yang
memang orientasi hidupnya diabdikan untuk penyebaran agama Islam. Dan pada masa-masa
massifikasi konversi Islam itulah para sufi banyak hadir di nusantara. Johns dalam
mengelaborasi teorinya juga mengambil pemikiran tentang cara perkawinan dengan keturunan
penguasa lokal sebagai pendukung proses Islamisasi. Adapun pendapat lain yang dikemukakan
oleh Schrieke bahwa faktor pendorong yang menimbulkan gelombang besar masuk Islam di
nusantara adalah ancaman kekuasaan kolonial dan misi gospel Kristen yang agresif tampaknya
sulit diterima, karena dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Barat Kristen tiba di nusantara baru
sekitar tahun 1500-an. Sementara Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara signifikan
jauh sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M.
Akhirnya, mari disimak beberapa simpulan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra berikut ini:
“Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan
penyiar “professional” – yakni mereka yang memang secara khusus bermaksud menyebarkan
Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan
para penyebar Islam “professional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.” Jadi
dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa mungkin benar
Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad-abad pertama Hijriyah (sekitar abad
ke-7 M), namun akselerasi persebaran Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M
Sejarah masuknya agama Kristen ke Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perbenturan antara dunia Islam dan dunia Barat sejak abad pertengahan. Selanjutnya, dengan
kemajuan bidang militer dan kemaritiman bangsa-bangsa Barat, sejarah pelayaran dan kolonisasi
akhirnya dimulai. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatar-belakangi
hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan
Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut
Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8
Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis;
(4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter
Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk
Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus
tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan
conquistadores (penaklukan).
Ismatu Ropi menyebutkan adanya 3 (tiga) fase masuknya Kristen ke Indonesia yang kesemuanya
tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemaritiman di tanah air dan dunia pada umumnya: Pertama,
melalui kiprah Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera
Utara sekitar abad ke-16. Kedua, masuknya Katholik Roma melalui jasa ordo Jesuit di bawah
payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada
Portugis. Ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran
Belanda.
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan
kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden
Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat
dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian,
Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi
berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-
rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni
kepulauan raja-raja). Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun
1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Katholik dan bertambah menjadi
50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkristenkan
sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor.
Sementara kerajaan Belanda yang karena situasi politik dan perekonomian negaranya terdorong
untuk melakukan pelayaran sendiri mencari sumber rempah-rempah di dunia Timur. Tercatat
bahwa Belanda muncul pertama kali di Banten sekitar tahun 1596 M. Selanjutnya, tahun 1602 M
kongsi dagang VOC mereka dirikan. Kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia (mereka
menyebutnya Hindia Belanda) bertahan sampai akhirnya bangsa Jepang memaksanya menyerah
pada tahun 1942 M. Demi stabilitas dan kelanggengan kekuasaannya, pemerintah kolonial
Hindia Belanda dalam politiknya dikenal berupaya untuk berlaku netral atau menjaga jarak yang
sama dengan agama-agama yang ada. Tetapi, kesan bahwa Pemerintah Hindia Belanda pun
mengemban misi kristenisasi (zending) memang tak sepenuhnya dapat dieliminasi dari wacana
umum karena dalam sejarahnya ada fakta-fakta yang menunjukkan korelasi di antara keduanya.
Sebagai misal apa yang ditulis oleh O. Hashem tentang sambutan Alexander W.F. Idenburg yang
kelak diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Idenburg sempat mengemukakan
bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.
Pada konteks ini perlu kiranya memahami bagaimana konstruk perseptual umat nasrani yang
dating ke Indonesia (yang ketika itu masyarakatnya telah banyak menjadi muslim) terhadap
Islam dan pemeluknya. Karel Steenbrink mengemukakan bahwa konstruk ini dapat dibedakan
kedalam 4 (empat) model, yaitu: (1) Islam dipandang sebagai ajaran bid’ah dengan disertai
adanya perasaan keingintahuan terhadapnya (respected heretics); (2) Islam dilihat sebagai benar-
benar ajaran kesesatan yang nyata (detestable heretics); (3) Islam ditempatkan sebagai musuh
alamiah dari dunia Kristen (natural enemy of Christians); dan (4) Islam dianggap sebagai bagian
dari komunitas terbelakang (the members of a backward religion) yang perlu dibimbing dan
dididik oleh bangsa Barat.
Sebaliknya, sikap perseptual kaum muslim terhadap orang-orang Kristen pada masa awal
kolonialisme tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bersifat pragmatis. Dalam
artian lebih didorong atas penilaian perilaku aktual yang umum ditunjukkan oleh kaum asing
Barat tersebut yang disifati sebagai untrustworthy allies (pihak yang sukar dipercaya). Sehingga
muncul ungkapan yang menunjukkan sifat keserakahan mereka, seperti “you give the one inch,
they take an ell” (seperti ungkapan Jawa: diwenwhi ati ngrogo rempelo). Bahwa Sultan Ageng
Tirtayasa dengan kegeramannya pernah menyebut mereka sebagai racun budaya (cultural
poison). Kedua, bersifat politis, dengan dibangunnya konsep-konsep pemikiran yang
mendemarkasi antara kaum muslim dan tokoh-tokoh penguasa muslim lokalnya dengan “londo
kapir” dari negeri asing. Konsep-konsep dar al-Islam dan dar al-harb kembali menjadi akrab
didengungkan untuk meneguhkan keyakinan dan spirit juang bahwa negeri Islam tengah
diserang oleh bangsa asing yang kafir.