INTRODUKSI
13
Hermeneut besar dalam sejarah antara lain: Schleimacher (1768-1834, dikenal sebagai
Bapak hermeneutika modern, karena merupakan orang pertama yang secara radikal
mempersoalkan “penafsiran”), Dilthey (1833-1911, orang pertama yang secara tegas
membedakan human sciences dan excact sciences), Martin Heiddeger (1889-1976), Hans G.
Gadamer (1900-1986, dengan bukunya yg sangat terkenal: “Truth and Method”), Paul Ricoeur
(1913-1993, mengemukakan teori sitz im Leben)
6
Karya (karya wacana) ditandai dengan 3 (tiga) ciri khas, yakni komposisi, genre
literer dan gaya bahasa. Komposisi adalah satu kesatuan wacana yang utuh yang
(biasanya) terdiri dari pendahuluan, isi pokok dan kesimpulan. Sedangkan genre literer
(genre diartikan sebagai pola yang memberi kemampuan menciptakan) adalah sebuah
piranti generatif yang membuat sebuah komposisi mendapat bentuknya yang spesifik
sebagai puisi, novel, essay, perumpamaan, dll. Dan gaya bahasa (sebagai prinsip
individuasi) merupakan cara khas penggunaan bahasa dalam komposisi dan genre literer,
sehingga menghasilkan karya wacana tertentu. Jadi, komposisi adalah prinsip kesatuan
yang membuat sebuah karya menjadi susunan utuh dan terpadu , genre literer
merupakan prinsip spesifikasi karya tersebut , dan gaya bahasa sebagai prinsip
individuasinya.
Yang dimantapkan adalah karya wacana yang biasanya melalui tulisan. Dari segi
penafsiran dapat dikatakan bahwa dari tulisan sebuah karya wacana mendapat otonomi
semantis /otonomi arti. Otonomi semantis adalah otonomi rangkap tiga, yakni: 1.
otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks 14; 2. otonomi terhadap konteks budaya
asli15; 3. otonomi terhadap publik (pendengar/pembaca) yang asli.
Jika teks memiliki otonomi semantis, maka tujuan setiap penafsiran teks bukanlah
kembali kepada maksud pengarang yang asli melainkan menjajaki kemungkinan-
kemungkinan baru berdasarkan arti yang disarankan teks untuk pembaca yang konkret
saat ini. Jadi, dalam penafsiran ada dua bagian besar yang merupakan inti penafsiran,
yakni: 1. analisis struktur teks untuk melihat kekayaan makna sebagaimana terberi di
dalam teks (anakronis atau diakronis dan sinkronis); dan 2. aplikasi arti teks melalui suatu
proses yang oleh Gadamer disebut sebagai “pembauran horison (fusion of horizon)”. 16
II. Obyek Terjauh : EKSISTENSI MANUSIA
Untuk apa kita menafsir teks ? Kita menafsir teks untuk mengerti diri sendiri dalam
cermin sebuah teks; dan selanjutnya kita dapat merealisasikan diri menurut saran teks.
Eksistensi seperti halnya teks, juga memiliki komposisi, genre dan gaya sendiri 17.
Komposisi yaitu bagian/hal-hal yang terpenting yang diambil dari pengalaman yang
kemudian membentuk kepribadian. Genre kultural adalah pengaruh budaya (nilai
budaya) yang mempengaruhi pribadi seseorang. Dan gaya eksistensial yaitu gaya
pribadi seseorang yang mutlak berbeda dengan orang lain.
Filsafat Hermeneutika mendekati eksistensi manusia dari segi bahasa atau lebih
khusus dari segi teks, untuk menemukan kembali secara baru definisi manusia yang
diberikan oleh Aristoteles, yaitu zoon logon echon18, yang (sebenarnya lebih tepat)
14
Otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks, karena sebuah teks memuat ciri
psikoanalisis seseorang dan sebuah teks memiliki kata polysemy (arti ganda).
15
Otonomi terhadap konteks budaya asli karena sebuah teks memiliki kemampuan baik untuk
dekonstruksi maupun untuk rekonstruksi (dekonstruksi- keluar dari yang asli; rekonstruksi-
masuk kepada/di dalam kebudayaan baru).
16
Horison disini dipahami sebagai keseluruhan makna yang mengitari suatu titik tindakan (bdk.
tindakan mengangkat tangan untuk menyetop mobil).
17
Identitas manusia adalah identitas naratif, karena orang hanya bisa menunjukkan siapa
dirinya dengan bercerita.
18
Menurut Aristoteles “Homo est animal rationale” (Manusia adalah makhluk/binatang berakal
budi). Terjemahan Latin ini sebenarnya agak keliru dari pengertian asli Aristoteles, yakni “zoo
7
diterjemahkan: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa (manusia: menunjukkan
budi; dan bahasa menunjukkan kultural/budaya).
21
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam skeptisisme sebagai argumen Agustinus: “ada dan tidak
ada tidak bisa diucapkan sekaligus pada benda/hal yang sama”. Pernyataan ini kemudian
disempurnakan oleh Leibniez menjadi: “ada dan tiada tidak dapat diucapkan sekaligus pada
benda yang sama dengan cara yang sama”.
9
BAB I
MANUSIA MENGAKUI DIRI DAN YANG LAIN
SEBAGAI SUBSTANSI DAN SUBJEK
Persoalan Pokok : Mencari titik tolak Filsafat Manusia. Yang kita cari dalam
pembahasan ini adalah faktum primum / fakta yang paling asli / fakta induk yang
mendasari dan merangkum seluruh pemahaman filosofis tentang manusia.
Titik tolak Filsafat Manusia yang kita pakai dalam kuliah ini adalah Aku sebagai
Substansi dan Subjek dalam hubungan dengan yang lain. Titik tolak ini bersifat
mutlak dan tidak bisa disangkal.
22
Hume, misalnya, menolak substansi manusia, karena “aku” tidak lain hanya merupakan berkas
fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut secara terus-menerus tanpa ada kepastian apa
pun dan tanpa ada “aku” tetap.
23
Pemikir Positivisme spt A. Comte, H. Spencer; Neopositivisme spt Schlick, Neurath, Carnap,
Reichenbach, dll.
10
budi. Aku Transendental hanyalah idea yang bisa dipikirkan, tetapi
tidak bisa diketahui secara konseptual.
1.1.2 Filsuf Yang Menerima Substansi Mutlak, Tetapi Dalam Arti Yang Terlalu Sempit
a. Parmenides (Monisme) berpandangan bahwa “hanya ada satu
substansi mutlak”, yakni “yang ada”, dan “yang ada” itu adalah
“ada”. Tidak ada tempat bagi substansi manusia yang bersifat
pribadi.24
b. Descartes mendasarkan pandangan filsafatnya pada prinsip
kesadaran subjektif: cogito ergo sum. Manusia memiliki kepastian
mutlak mengenai adanya sendiri, sebab dipahami dengan jelas dan
tepat, hal mana menjadi patokan bagi semua hal yang dipahami
sebagai benar dan tepat bahwa itu benar. Cogito (aku yang berpikir)
adalah substansi spiritual yang berdikari/mandiri, tanpa membutuhkan
sesuatu yang lain.
c. Spinoza (Yahudi-Spanyol) berpandangan bahwa “hanya ada satu
substansi mutlak”, dan substansi mutlak itu adalah Allah sendiri. Yang
bukan Ilahi, termasuk manusia bukanlah substansi, tetapi hanya
merupakan cara berada (modus) dari sifat (attributus) ilahi. Maka
“aku” adalah “modus” dari “attributus” “pikiran”. 25
d. Malebranche & Leibniz berpandangan bahwa “aku” adalah substansi
rohani yang bersifat tertutup. Semua idea sudah ada di dalam
substansi rohani. Maka “aku” tidak ada hubungan dengan “kamu”
(dunia luar), hanya ada hubungan dengan Tuhan melalui intuisi, dan
melalui itu juga tahu tentang dunia luar. Leibniz menambahkan bahwa
“aku” telah menerima ide-ide tentang dunia luar sejak kelahiran.
Pandangan ini tidak sama dengan aliran ocasionalisme. 26
e. Fichte, Schelling, Hegel (para filsuf idealisme) berpandangan bahwa
hanya ada satu realitas, yaitu Aku yang absolut. Manusia individual
hanya merupakan momen atau unsur di dalam (perkembangan)
kesadaran Aku mutlak. Hal ini dibuktikan melalui ajaran dialektis
Hegel:
Tesis : roh mutlak yang kekal adalah Allah
Anti Tesis : materi adalah yang berlawanan dengan roh mutlak.
Sintesis : kesadaran manusia bahwa roh yang ada pada manusia
adalah roh mutlak
24
Menurut Parmenides, “Ada itu Ada”. Ada itu harus sempurna, Ada itu harus kekal dan Ada itu
bukan ada plural.
25
Jika aliran Pantheisme berpandangan bahwa seluruh dunia adalah bagian dari Allah, maka
Spinoza mengemukakan prinsip panentheisme (en: di dalam): kita semua berada di dalam
Allah, karena: Deus sive natura (Tuhan adalah natura/alam); menurut Spinoza, ada dua macam
Natura, yaitu, natura naturans (alam yang melahirkan) dan natura naturata (alam yang
dilahirkan). Maka Spinoza menyimpulkan bahwa kita semua ada di dalam Allah
26
Ocasionalisme (ocassio: kesempatan untuk Tuhan bertindak ketika saya bicara, dan
kesempatan untuk Tuhan bertindak untuk yang lain juga).
11
1.1.3 Pendapat Yang Lebih Seimbang
a. Neo-Thomisme27 (pengikut Thomas Aquinas) menyempurnakan
metode Kant, yakni metode transcendental, yang mana manusia
mengeksplisitkan pengakuan mutlak akan adanya diri sendiri, yang
diandaikan oleh fakta keputusan dan yang dituntut oleh kepastian
keputusan itu. Aliran ini berpandangan bahwa manusia adalah
makhluk sosial, “aku selalu berhubungan dengan yang lain”.
b. Eksistensialisme berpandangan bahwa “manusia adalah makhluk
yang mengada secara sadar bersama yang lain di dalam dunia.” 28
Eksistensi menunjuk kepada cara berada manusia yang khas, yang
membedakannya dari semua hal yang lain. Hanya manusia yang ber-
eksistensi dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain. Heidegger
mengatakan bahwa manusia adalah Da Sein (sein: ada/berada, da: di
sana),yang berarti “mengemukakan diri keluar”. Jadi sifat hakiki
manusia adalah berada di dalam dunia. Dengan cara tertentu manusia
mengatasi dirinya (transenden) dan keluar dari dirinya sendiri menuju
kepada “yang lain”. Mengintegrasikan pandangan fenomenologis,
bahwa kesadara manusia secara hakiki berisifat “intensional”, karena:
a. kesadaran manusia diarahkan kepada suatu objek tertentu (bukan
hanya cogito, tetapi cogito aliquid – sbg koreksi bagi Descartes. b.
Objek itu lain daripada kesadaran manusia itu sendiri, sehingga tidak
pernah dapat dikembalikan dan disamakan dengan kesadaran sendiri
(sebagai koreksi bagi Hegel). c. Sifat “intensional” itu bukan hanya
suatu ‘sifat tambahan’ pada kesadaran, melainkan seluruh kesadaran
sama dengan arah ‘keluar’ itu; keterarahan itu merupakan inti sari
seluruh kesadaran. d. Kesadaran itu tidak hanya memuat unsur
pengertian saja, melainkan juga aspek afektif (perasaan) dan aspek
afektif-aktif (pelaksanaan).29
27
termasuk di sini adalah Karl Rahner, Marc, Lonergan, dll
28
to exist is to co-exist (berada adalah berada bersama; berada berarti mengada secara sadar
bersama yang lain).
29
termasuk di sini: S. Kierkegaard, C. Jaspers, G. Marcel, J.P. Sartre dan terutama Martin
Heidegger
12
Meskipun sangat kompleks menurut keseluruhannya, tetapi semua fenomena itu
dihubungkan oleh satu fenomena sentral, yaitu “aku”. 30 Fenomen AKU itu termuat dalam
semua fenomen lain, dan merupakan aspek asali yang meresapi dan mewarnai semuanya
(entah itu keputusan, perbuatan, pertanyaan, pengalaman, dst maupun objek kesadaran).
Maka di balik semua gejala manusiawi hanya ada satu fenomen yang paling dasar, yaitu
“AKU”.31
1.2.2 “AKU ADA”
AKU sebagai fenomena dasar/fakta induk yang mendasari semua gejala lain, tidak
dapat disangkal dengan cara apa pun. Maka “AKU” mesti (niscaya) ada. Seandainya saya
menyangkal secara eksplisit tentang kenyataan absolut bahwa ‘aku’ ada, maka secara
implisit saya membatalkan pendapat saya sendiri, sebab ‘aku’-lah yang menyangkal, bukan
orang lain.32 d/l: “AKU ada saat ini merupakan kenyataan mutlak dan niscaya. Dia tidak
bergantung kepada kebenaran lain yang lebih mendasar.” 33
1.2.3 “AKU SUBSTANSI”
AKU sebagai SUBSTANSI memiliki tiga ciri khas:
a. AKU sebagai SUBSTANSI selalu bersifat TERTENTU 34:
Kesadaran akan AKU sebagai fakta induk bukanlah sesuatu yang umum, dan bukan
pula sebagai sesuatu yang kosong. Aku mempunyai isi tertentu dengan identitas
dan batas-batasnya sendiri.
b. AKU sebagai SUBSTANSI merupakan kesatuan YANG UTUH 35:
AKU ini identik dengan diriku sendiri. Aku tidak terbagi-bagi atau terpecah
melawan diriku, melainkan merupakan kesatuan yang utuh. Meskipun AKU
(mungkin) tidak dapat mengatakan dengan tepat apa yang termasuk AKU dan apa
yang tidak termasuk AKU, tetapi AKU tetap satu kesatuan yang UTUH.
c. AKU sebagai SUBSTANSI itu OTONOM/BERDIKARI 36:
AKU bukanlah merupakan satu bagian (atau tambahan) dari satu keseluruhan yang
lebih besar atau lebih luas. Aku ada di dalam kekuasaanku sendiri, dan secara jelas
30
Sebagai ilustrasi: saya sadar akan uang yang sedang saya hitung, dan di dalamnya saya
sadar akan kesadaran itu. Saya sadar bahwa saya tahu, saya rasa,saya memilih. Semua gejala
itu saya sadari dalam hubungan dengan saya. Jadi semuanya berpusat pada saya.
31
AKU memiliki beberapa makna: Aku Shifter: aku linguistik (aku nama), Aku Eksistensial (aku
yang memiliki pikiran): pribadi yang mengklaim, misalnya “ini pendapat saya…”, “ini pikiran
saya…” dst…
32
Secara implisit saya sadari bahwa aku-lah yang menyangkal secara eksplisit.
33
Mutlak atau absolut di sini tidak dalam pengertian berlawanan dengan relatif. Mutlak di sini
menunjukkan *keharusan dan keniscayaan; *kenyataan yang tak-tersangkal, tidak boleh tidak
ada baik menurut adanya maupun menurut pemahamannya; dan *selalu dan dimana-mana
berlaku. “Saya sadar bahwa saya ada” adalah kenyataan yang tidak seorangpun atau apapun
yang dapat menyangkalnya.
34
Tertentu berarti tidak bisa ditukar, tiada duanya, dan tidak bisa diganti.
35
Utuh berarti tidak terbagi/terpecah melawan diri sendiri. Dalam (konteks) pengertian ini,
sikap frustasi, menyesali diri, mengutuk diri, dst… adalah bentuk sikap yang melawan diri
sendiri, yang menghancurkan diri pribadi.
36
Otonom dari kata (G) autos: sendiri dan nomos: hukum atau kaidah. Jadi Otonom berarti
orisinil atau asli
13
berbeda dari semua yang lain. AKU sendirilah yang merupakan pusat yang
OTONOM, sebab AKU sanggup menentukan sendiri dan mengatur diriku sendiri.
Aku bersifat unik (unique): hanya AKU-lah yang seperti AKU, dan tidak akan
pernah ada yang lain yang seperti AKU, yang memahami dan menyadari diriku
tepat seperti AKU memahami dan menyadari diriku sendiri. AKU yang OTONOM itu
bersifat unik (unique) berarti AKU itu tiada duanya, dan tidak tergantikan.
Dengan mewujudkan ketiga ciri tersebut di atas, maka AKU adalah SUBSTANSI 37
yang unik dan khas.
1.2.4 “AKU SUBJEK”
Pengakuan akan diri sendiri bukan merupakan perasaan belaka atau pernyataan
netral saja, tetapi melampaui sekedar perasaan. AKU sebagai SUBJEK adalah sumber
otonom dan sadar bagi semua gejala dan kegiatan saya.38
a. AKU adalah SUBJEK yang memiliki PENGERTIAN
Manusia mempunyai pengertian, dan dengan pengertian itu dia sanggup
memahami segala realitas (banyak hal). Melalui semuanya itu, AKU mampu
mengenal dan tahu tentang diriku sendiri. AKU sanggup memikirkan diriku melalui
atau di dalam sebuah refleksi, mengecek atau memeriksa dan akhirnya
mengafirmasi bahwa inilah AKU, inilah diriku.39
b. AKU adalah SUBJEK yang memiliki KEHENDAK
Aku juga menghendaki diriku sendiri. Aku menerima dan menyetujui diriku. Ketika
saya menghendaki dan memilih hal-hal khusus untuk diriku, maka saya sebenarnya
menghendaki diriku sendiri.40 Kadang-kadang untuk aspek tertentu dalam diriku
yang merupakan fakta sekunder, saya menolaknya. 41 Tetapi dengan menolak hal-
hal atau aspek tertentu dalam diriku itu, sebenarnya dengan itu pula saya secara
lebih tegas menghendaki diriku yang lebih baik.42
c. AKU adalah SUBJEK yang memiliki RASA
37
Substansi dari kata substantia (L: sub-: di bawah, dan stare: berdiri), yang secara harafiah
berarti berdiri di bawah atau terletak di bawah. Maka Substansi adalah semua yang berdiri di
bawah dan mendasari semua yang lain yang sekunder. Namun dalam perkembangan arti,
kemudian pengertian substansi menjadi sama dengan pengertian kata subsistentia (subsisten):
bertahan terus dalam keadaannya sendiri. Dalam pemahaman ini, maka AKU sbg SUBSTANSI
sama dengan AKU yang Subsisten: yang berarti bahwa di balik semua fenomena yang khusus,
yang berbeda-beda, yang terpecah-pecah… ada fakta induk AKU, yang satu, tetap, unik dan
mandiri.
38
Subjek dari kata subicere (L) arti harafiahnya: “melemparkan di bawah” atau “yang
berbaring di bawah”. Dari pengertian harafiah itu, Subjek di sini bukan dalam pengertian
linguistik, tetapi menurut arti metafisis.
39
Cogito me ipsum (saya memikirkan diriku sendiri)
40
Volo me ipsum, Eligo me ipsum (saya menghendaki diriku sendiri, saya memilih diriku
sendiri).
41
Misalnya bentuk badan, warna kulit, bentuk rambut, dll
42
Hal ini paradoks dengan orang yang bunuh diri: mati-matian menghendaki AKU-nya yang
lebih baik.
14
Banyak filsuf menempatkan “perasaan” manusia pada tingkat infra-human43, tetapi
kita harus bisa membedakan perasaan yang sederhana yang juga ada pada
binatang (rasa panas, dingin, haus, lapar, ingin (pada tingkat tertentu), marah,
takut, dll), dengan rasa yang mendalam yang hanya ada pada manusia (spt. rasa
kagum, rasa syukur, rasa cinta, rasa rindu, dll). 44 Secara keseluruhan, AKU
merasakan diriku sendiri.
Saya akhirnya menemukan kesadaran akan AKU sendiri, sebagai fakta induk yang
tak terbantahkan. AKU adalah utuh, orisinil yang membedakan AKU dari apapun yang lain.
Substansi yang mendasari keberadaanku itu saya miliki dengan tahu dan mau, sadar, dan
dinamis, sehingga subjektivitas sejatiku terwujud.
43
infrahuman: (infra: di bawah) lebih rendah dari manusia, termasuk binatang & makhluk lain.
44
Untuk membantu pemahaman kita tentang hal ini, kita perlu secara lebih jeli membedakan
beberapa term yang sering kita pakai dalam keseharian. Mis. Keingingan & Kerinduan
(Keinginan itu terbatas pada objek tnt, sedangkan Kerinduan itu tidak terbatas, merupakan
dambaan abadi dan hanya dapat dipenuhi oleh yang tidak terbatas), Takut & Cemas (Takut:
terhadap objek tertentu, sedangkan Cemas itu tidak tertentu, kosong/tidak teridentifikasi).
45
Possum facere me ipsum (saya melaksanakan diriku sendiri).
46
Contoh: saya hanya bisa ada sebagai murid jika ada yang lain sebagai guru; saya hanya bisa
ada sebagai ayah jika ada yang lain sebagai anak; saya hanya ada sebagai suami jika ada yang
lain sebagai istri; saya hanya ada sbg orang kaya jika ada orang miskin; dst….
15
a. AKU menemukan diriku sebagai aku, yang berbeda dari aku-aku yang lain. Fakta
induk, yakni kesadaran tentang ADA-KU, selalu memuat juga kesadaran akan
manusia lain, yang memiliki dirinya sendiri secara sadar. Maka, yang lain sebagai
manusia itu adalah Subjek.
b. Jika AKU mengakui keberadaanku dan yang lain sebagai Subjek, maka hal itu selalu
mengandaikan adanya substansi lain, yang tidak sampai pada taraf keberadaannya
sebagai Subjek. Yang lain yang bukan Subjek itu adalah dunia infra-human.47
1.3.3 Keanekaan Dasar
Pada taraf paling hakiki, ketika saya menemukan keberadaan diriku sebagai fakta
mutlak, pada saat yang sama saya menemukan keberadaan subjek yang lain dan
substansi bukan subjek juga sebagai fakta mutlak. Keberadaan saya hanya bisa
dipertahankan dalam konfrontasi dan pembedaan dengan yang lain itu. Maka kesadaran
itu tidak tertutup pada dirinya sendiri, dan kesadaran itu bukanlah tunggal. Sejak semula
manusia menemukan diri ada bersama yang lain dan sudah hidup dalam suatu pluralitas
atau keanekaan sejak semula, keanekaan dasar, meskipun pemahaman konkret akan
kebersamaan itu masih perlu dan terus dieksplisitasikan… AKU tidak pernah diakui atau
bahkan dipikirkan, tanpa YANG LAIN. Yang Lain itu suatu pengandaian dasariah yang
selalu telah termuat di dalam pengakuan tentang Aku.
47
Subjek: sadar akan keberadaan dirinya sendiri, Yang bukan Subjek: tidak memiliki kesadaran
akan dirinya sendiri.
48
Keberadaan manusia, di satu pihak, adalah fakta belaka, yang oleh M. Heidegger menyebut
keberadaan manusia sebagai geworfenheit, yaitu keterlemparan ke dalam adanya. Jadi
manusia tidak mungkin memahami sebab keberadaannya. Manusia tidak memilih untuk berada
atau tidak berada, tidak memilih untuk berada sendiri atau berada bersama orang lain.
Manusia hanya dapat menerima keberadaannya. Kemungkinan menusia pun tidak diketahui
selain dari adanya de facto saja. Namun dari pihak lain, fakta tersebut memberikan insight
yang menguak strukturnya dan menghantarnya kepada kemutlakan. Sekali berada sebagai
manusia, dia seharusnya demikian, dan dia harus menjadi manusia menurut garis itu (inilah
ada-nya secara de jure).
16
a. Fakta Induk adalah inti kenyataan yang selalu dan niscaya diandaikan dalam
refleksi tentang manusia.
b. Fakta Sekunder adalah gejala-gejala yang lebih konkret dan tidak niscaya.
Fakta Induk dan Fakta Sekunder berhubungan erat satu-sama lainnya dan
merupakan satu substansi.49 Fakta Sekunder tanpa Fakta Induk akan tercerai-berai dan
kacau. Dan sebaliknya, Fakta Induk tanpa Fakta Sekunder adalah kosong. Secara
keseluruhan antara Fakta Induk dan Fakta Sekunder terdapat identitas realis dan distictio
rationalis.50
49
Fakta induk sebagai neumenon ditemukan dalam refleksi atas gejala-gejala yang muncul
sebagai Fakta sekunder (phainomenon). Aku ditemukan dengan merefleksikan pikiranku,
tindakanku, perasaanku, rumahku, bukuku, saudaraku, dst…
50
identitas realis adalah bahwa dari kenyataan keduanya adalah satu. Distinctio rationalis
adalah bahwa pembedaan secara rasional (secara rasional antara keduanya dapat dibuat
pembedaan).
51
Equiprimordial dari kata equi artinya sama, dan primordial artinya yang paling pertama/
yang paling mendasar. Maka equiprimordial berarti sama asli.
52
Fakta induk itu secara hakiki atau esensial bersifat ungegenstandlich, unthematisch, dan
ungedacht. Fakta induk itu tidak pernah diketahui atau dipikirkan secara langsung tanpa fakta
sekunder. Fakta induk itu tereksplitasi dalam fakta sekunder (fenomena-fenomena).
17
sekunder lalu kembali lagi untuk memperjelas fakta induk, maka proses itu disebut
refleksi komplit.
1.5.4 Keunggulan Seorang Filsuf
Sorang Filsuf memahami hakekat manusia dengan lebih eksplisit dan jelas. Namun
keunggulan seorang Filsuf tidak teletak dalam kenyataan bahwa dengan itu dengan
sendirinya hidup dia lebih baik/saleh dari orang lain (tidak dengan sendirinya bahwa
dengan memahami hakekat manusia lebih eksplisit dan jelas maka seorang filsuf
lebih baik/saleh dari orang lain). Keunggulan seorang Filsuf terletak dalam hal ini:
bahwa apa yang oleh kebanyakan orang hanya dirasakan secara implisit, oleh
seorang filsuf dapat diungkapkan secara lebih eksplisit.
BAB II
MANUSIA BERKORELASI DENGAN YANG LAIN
[ SOSIALITAS MANUSIA ]
Persoalan : Kesadaran diri manusia secara niscaya menuntut kehadiran yang lain.
Kenyataan manusia bersifat “plural”, dengan banyak pusat otonom. Sampai
saat ini (sampai pembahasan ini), hubungan antara “aku” dan “yang lain”
dieksplisitasikan secara formal saja. Artinya: adanya “yang lain” dituntut
sebagai syarat mutlak, yakni bahwa “yang lain” itu juga merupakan Subjek
dan Substansi.
Bagaimana hubungan “aku” dengan “yang lain” itu ? Apakah hanya ber-
dampingan, satu di sisi yang lain, ataukah ada hubungan langsung ataupun
tidak langsung ? Dan, apakah hubungan itu bersifat dangkal atau hubungan
itu bersifat mendalam ?
2.1 Pandangan-Pandangan
2.1.1 Tendensi Monistik : kecenderungan untuk melihat realitas sebagai satu kesatuan.
a. Monisme Mutlak:
Pandangan Monisme Mutlak diwakili oleh filsuf bernama Parmenides, yang
berpandangan bahwa realitas adalah satu, dan Parmenides merumuskan kebenaran
adalah “Ada itu Ada”. Jadi, tidak ada relasi/hubungan.
Bentuk subjektif dari Monisme Mutlak adalah solipsisme53, yang mengajarkan
bahwa kita sadar, tetapi semata-mata sadar tentang diri kita sendiri. Solipsisme
berpandangan bahwa kita hanya mendapat kepastian tentang Ada-ku sendiri,
sedangkan Ada Yang Lain hanya merupakan khayalan belaka. 54
53
Solipsisme berasal dari kata solus (L): sendiri, semata-mata dan ipse (L): sendiri.
54
Pandangan ini jelas sudah dibantah dalam pembahasan bab sebelumnya.
18
b. Monisme Lunak:
1) Idealisme (tokoh yang terkenal adalah Fichte, Schelling, Hegel 55)
Idealisme berpendapat bahwa realitas ada satu, namun tetap mengakui yang
lain, meski cuma sebagai bayangan.
2) Materialisme dialektis (Marx dan Engels)
Pandangan materialisme dialektis berpandapat bahwa pada hakekatnya segala
sesuatu adalah materi. Marx mengakui ada juga bentuk-bentuk kesadaran
yang bersifat rohani, tetapi apa yang disebut rohani itu hanyalah suatu
fenomen atau epifenomen56 dari materi. Jadi, segala sesuatu itu dapat
dikembalikan kepada materi. Hanya saja materi yang satu itu berkembang
secara dialektis.57
3) Kolektivisme
Kolektivisme adalah sebuah aliran/paham sosial yang mengajarkan bahwa
masyarakat sebagai kesatuan jauh lebih penting daripada individu . Dan individu
ada demi kepentingan masyarakat.58 Jadi, paham kolektivisme tidak menghar-
gai kreatifitas individual.
2.1.2 Beberapa Aliran Yang Menyangkal Korelasi Riil Dengan Yang Lain
a. Sensisme59: mengajarkan bahwa kita hanya mendapat kesan-kesan inderawi
tentang yang lain. Jadi, tidak ada korelasi substansial dengan Yang Lain itu.
b. Empirisme: mengajarkan bahwa pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan manusia. Dan, apa yang disebut substansi adalah sesuatu yang tidak
bisa diketahui melalui pengalaman inderawi. Jadi hubungan substansial tidak ada.
c. Positivisme: berpandangan bahwa realitas yang benar adalah yang bisa diukur
menurut kategori ilmu-ilmu positif. Substansi tidak bisa diukur menurut kategori
ilmu-ilmu positif. Jadi, korelasi substansial dengan yang lain, disangkal.
Ketiga pandangan ini berkembang sangat kuat dan subur di Inggris.
2.1.3 Imanuel Kant
Menurut Kant, kita tidak tahu seseorang secara mendalam, karena pengetahuan
manusia lebih banyak bersifat subjektif berdasarkan kategori-kategori a priori. Oleh karena
itu, relasi yang tepat dengan “yang lain” itu tidak dapat kita ketahui.
2.1.4 Tendensi Plurlistik
a. Materialisme Atomistik (diwakili oleh Demokritos, Leukippos dan Epikurus), yang
berpandangan bahwa diri manusia itu terdiri dari atom-atom 60. Pikiran manusia
terdiri dari atom halus, badan manusia dari atom yang kasar, namun atom-atom itu
berada satu di samping yang lain, tetapi tidak ada hubungan satu sama lainnya.
55
Pandangan Idealisme Hegel mengatakan bahwa Realitas Pertama adalah Roh Mutlak, yang
menghasilkan Realitas Kedua yaitu materi dan Realitas Ketiga yaitu kesadaran. Realitas Ketiga
menghasilkan Realitas Keempat yaitu Roh sadar kembali tentang dirinya.
56
Epifenomen adalah gejala tambahan.
57
ingat teori Hegel tentang “tesis-anti tesis-sintesis”.
58
Yang termasuk dalam sistem kolektivisme adalah komunisme, totalitarianism, fascisme.
59
Sensisme dari kata sensus (L): inderawi.
60
atom sebagai unsur terkecil yang tidak dapat dibagi lagi.
19
b. Individualisme Spiritualistik (diantaranya: Descartes, Malebranche, Leibniz), yang
berpandangan bahwa setiap orang berdiri sendiri secara rohani dan tidak mem-
butuhkan yang lain. Aku hanya bisa berhubungan dengan Yang Lain secara rohani,
yakni di dalam pengertian, dan pengertian itupun sangat terbatas, yang diterima
dari kesan/impresi inderawi.
c. Individualisme Sosiologis (Hobbes, Rousseau, Liberalisme, Personalisme), yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap individu secara sosial sebenarnya tidak membutuhkan
orang lain. Kita kebetulan membutuhkan orang lain, kerena beberapa sebab praktis
saja (sebab aksidental saja). Hobbes, misalnya, mengemukakan prinsip homo
homini lupus (manusia sebagai serigala bagi manusia lain). Hanya untuk mencegah
kerusakan atau kekacauan yang lebih parah lagi maka saya mau memperhatikan
orang lain dan mau membuat persetujuan. Rousseau 61, mengatakan bahwa
manusia akan hidup lebih bahagia dan harmonis kalau dibiarkan saja. Untuk
menyeimbangkan pertentangan, maka aku memperhatikan orang lain, tetapi
sebenarnya hal itu merugikan otonomiku yang bahagia.
2.1.5 Teori Yang Lebih Seimbang
a. Tradisi Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)
Tradisi ini mempertahankan bahwa manusia itu menurut hakikatnya bersifat sosial,
seluruhnya dan di dalam semua kegiatannya. Aristoteles mengatakan, anthropos:
zoon politikon, yang secara harafiah berarti manusia adalah makhluk sosial. Namun
secara lebih luas ungkapan Aristoteles itu dapat dirumuskan bahwa saya (hanya)
dapat menjadi makhluk pribadi hanya dalam hubungan dengan yang lain. 62
b. Eksistensialisme berpendapat bahwa “yang mendasar” adalah kebersamaanku
dengan yang lain. Pandangan dasar eksistensialisme adalah bahwa manusia adalah
makhluk yang mengada secara sadar bersama yang lain dalam dunia. 63 Aku dan
Yang Lain saling memberi arti dan nilai, dan saling mencipta.
61
dalam bukunya “Emile” (buku tentang pendidikan) Rousseau mengatakan, “biarkan tiap anak berkembang seperti
bunga di padang dan dia akan menemukan jati dirinya sendiri.” Dan dalam buku Kontrak Sosial Rousseau mengatakan
bahwa pertemuan kebutuhan antar individu yang aksidental sehingga menimbulkan adanya Kontrak Sosial.
62
Thomas Aquinas meneruskan ajaran Aristoteles, tetapi lalu mengkristenkannya.
63
to exist is to co-exist; Da Sein ist mit da Sein
64
kesadaran diri itu tidak pernah bersifat ‘solibsistis’ (=tertutup), dari kata solita,tis (L):
kesunyian, kesendirian, kesepian. Jadi kesadaran diri manusia itu selalu dihubungkan atau
terhubung dengan ‘yang lain’.
20
diri dari ‘yang lain’ secara mutlak. ‘Yang Lain’ itu mencakup manusia yang lain dan juga
makhluk atau benda-benda lain di sekitarnya.
Maka dunia-ku dapat dibedakan menjadi: pertama, dunia komunal yang terdiri
dari jaringan hubungan ‘aku’ dan ‘sesama’. Kedua, dunia instrumental yang terdiri dari
benda-benda dan alat-alat yang saya gunakan. 65 Tetapi, baik dunia kumunal maupun
dunia instrumental, semuanya bersifat sosial. Maka, ‘aku’ selalu berada di dalam situasi
tertentu, selalu merupakan bagian dari dunia tertentu. ‘Aku’ bisa saja mengundurkan diri
dari suatu dunia tertentu, tetapi seketika itu juga ‘aku’ ditampung oleh/berada di dalam
dunia yang lain.66
2.2.2 ‘Aku’ diartikan oleh ‘Yang Lain’
Pemahaman arti ‘diri-ku’ bergantung dari yang lain, apakah memahami diri sebagai
petani, pastor, mahasiswa, guru, dosen, katekis, teman, bupati, … saya hanya bisa
memahami diri saya karena saya mendapat kedudukan dan peranan tertentu dalam
hubungan sosial. Jadi, hanya karena mempunyai arti untuk ‘yang lain’, maka ‘aku’ dapat
memahami diri dan mengakui diri-ku; sejauh saya mengakui dan mengamini ‘yang lain’
dan menerima ‘yang lain’ itu menurut arti khusus keberadaannya, maka saya dapat meng-
akui diri-ku sendiri.
Kenyataan ini mengandung dua aspek, yaitu, pertama, secara negatif: saya
memahami jati diriku sebagai yang unik dan tertentu, karena saya membedakan diri dari
semua yang lain di sekitar-ku. Kedua, secara positif: isi pemahaman diri-ku turut
dipengaruhi dan ditentukan oleh yang lain. Tanpa ‘yang lain’, maka pemahaman
identitasku menjadi kabur dan kehilangan batas-batas yang jelas.
2.2.3 ‘Aku’ diadakan oleh ‘Yang Lain’
‘Aku’ bukan hanya diartikan oleh ‘Yang Lain’, tetapi secara lebih tegas bisa dikata-
kan bahwa ‘Aku’ diadakah oleh yang lain’. Arti-arti dan makna-makna menentukan ada-ku.
Jikalau ‘aku’ bukan mahasiswa, bukan pastor, bukan teman, bukan anak, bukan saudara,
dst … maka ‘aku’ tidak ada. Jadi kalau Aku bukan apa-apa maka ‘aku’ tidak ada.
Sebaliknya pula, pengakuan ‘yang lain’ itu memberikan ‘ada-ku’. Saya diakui sebagai
mahasiswa, diakui sebagai dosen, diakui sebagai anak, diakui sebagai saudara, diakui
sebagai pacar, diakui sebagai teman, dst… memberikan adaku sebagai mahasiswa, dosen,
anak, saudara, pacar, teman, dst…
Yang lain itu memberikan ada-ku secara positif dan negatif. Terhadap orang yang
menganggap aku bisa menyelesaikan masalah, saya adalah penolong. Terhadap orang
yang menganggap saya pemberani, saya adalah pemberani. Terhadap orang yang
mencurigaiku, saya adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Terhadap orang yang
membenci, saya adalah musuh, dst… Maka saya menerima ada-ku sebagai pemberian
orang lain itu bisa sebagai berkat atau kutukan, karunia atau hukuman.
Eksistensi-ku yang konkret saat ini, terbentuk melalui orang-tua-ku, saudara-
saudari-ku, pendidik-ku, musuh-ku, bahkan orang asing, dst… Mereka semua mengem-
65
Contohnya, ketika saya membaca buku, buku itu menghubungkan saya dengan penulisnya,
pengarangnya, penulis referensinya, pabrik kertasnya, percetakannya, took buku yang
menjual, kapal atau pesawat yang mengakutnya, dst..
66
Misalnya, ‘aku’ mengundurkan diri dari dunia mahasiswa, maka seketika itu juga ‘aku’ masuk
dalam dunia pekerja/ karyawan atau pengangguran, dll…
21
bangkan sesuatu dalam proses pembentukan diri-ku.67 Dengan mengakui ‘yang lain’ itu
sebagai yang otonom, ‘yang lain’ itu menciptakan ada-ku.
70
Proyeksi juga merupakan fenomena yang terkenal dalam psikologi klinis. Seorang yang
bersifat agresif biasanya justru mengeluh bahwa dia selalu merasa diburu atau dikejar oleh
orang lain. Orang yang bersikap angkuh/sombong justru menampakkan diri kecil dan bersikap
mengalah tetapi menuduh orang lain bersikap sombong terhadap dia. Maka, orang dapat
mengetahui siapa dirinya, jikalau dia mau mengumpulkan penilaian-penilaian dia sendiri
tentang orang lain.
71
Air misalnya, memiliki arti yang berbeda-beda menurut situasi setiap orang (pembersih,
pemuas dahaga, mala-petaka, penyelamat, dll…). Hutan bisa memiliki makna berbeda-beda
bagi setiap orang (bagi tourist, seniman, tukang kayu, petani, pegawai kehutanan, dll…).
Pertemuan dengan orang lain, bisa memberi makna berbeda-beda sesuai situasi orang (bagi
residivis, bagi pengantin baru, bagi orang yang tersesat, dll…). Afeksi seseorang juga
menentukan arti dan makna kehadiran ‘yang lain’ (sedang gembira atau sedih, bosan atau
menarik, dll).
23
terhadap sesama maupun lingkungan alam di sekitar kita .72 Tanggung jawab
yang saya lakukan itu tidak pernah akan terulang sampai keabadian.
2.4 Korelasi
2.4.1 Hubungan Timbal-balik
Sepintas kelihatannya kedua arah refleksi kita sampai saat ini bertentangan. Dari
satu pihak, semua ‘yang lain’ menerima ‘arti’ dan ‘adanya’ dari AKU; dan dari lain pihak,
AKU diberi ‘arti’ dan ‘diadakan’ oleh semua ‘yang lain’. Bagaimanakah hubungan antara
keduanya itu ?
a. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ bersifat equiprimordial. Jadi, ‘aku’ dan ‘yang lain’ sama-sama
asli / sama-sama original, dan yang satu tidak bisa direduksikan kepada yang lain.
Keberadaan ‘aku’ dan ‘yang lain’ selalu dilihat dalam saling-hubungan/korelasi. ‘Aku’
mustahil tanpa ‘yang lain’, dan ‘yang lain’ pun tidak pernah bisa lepas dari aku.
b. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling memberi arti:
Dalam pengalaman sederhana sehari-hari, ‘aku’ dan ‘yang lain’ saling memberi
arti secara langsung. Misal: suami-istri, guru-murid, dokter-pasien, orangtua-
anak, dst… Yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. 73
Dalam bidang pengetahuan, hubungan timbal-balik itu dapat ditunjukkan
melalui struktur kesadaran yang bersifat noetis – noematis. 74
Pada tahap eksistensial, terdapat 3 (tiga) pola dasar dalam tahap hubungan
‘aku’ dengan ‘yang lain’ (entah sebagai manusia atau sbg makluk bukan
manusia dan benda/barang). Tiga pola dasar tersebut adalah: Subjek-Objek,
Predikat-Predikat, dan Subjek-Subjek:
i. Hubungan Subjek – Objek:
J. P. Satre mengatakan bahwa benci/kebencian adalah dasar dan sentral
dalam hubungan dasar manusia.75 Sedangkan cinta adalah siasat licik untuk
menjerat orang lain. Maka yang terjadi adalah ‘aku’ pada dasarnya selalu
berusaha untuk mengobjek-kan ‘yang lain’. Dalam pola ini, sadar atau tidak
sadar, saya lebih dahulu mengakui bahwa ‘yang lain’ itu adalah objek. 76
72
Alam di sini tidak dimaknai sebagai objek atau keterangan tempat, tetapi ALAM SEBAGAI
KONDISI EKSISTENSIA
73
Kesadaran akan kenyataan eksistensial itu, maka muncul petuah bijak yang mengatakan,
“memberilah dengan rendah hati, karena orang lain itu menjadi kondisi sehingga anda bisa
memberi.” Kesempatan berahmat itu tidak pernah akan terulang kembali sampai kapan pun.
74
Noetis-Noematis berasal dari kata noeoo (G): berpikir, mengetahui dan noema (G): objek
atau isi pemahaman. Noetis adalah pemahaman sebagai kegiatan subjek, dan Noematis adalah
objek yang menampakkan diri terhadap kesadaranku. Maka, setiap pengetahuan adalah
sekaligus merupakan ‘pewahyuan’ dari pihak ‘yang lain’, dan ‘pengertian’ dari pihak ‘aku’.
75
Namun refleksi yang lain mengatakan bahwa benci adalah cinta yang terbalik/buntu. Maka
dalam kondisi ini, benci itu tidak bersifat esensial (mendasar). Benci berarti ‘aku’ tidak
membiarkan ‘yang lain’ itu masuk dalam dunia-ku sebagai subjek. Maka dalam kondisi ini,
benci berarti ‘aku’ tidak membiarkan dia (‘yang lain’) berkembang.
76
Dalam hubungan dengan ‘yang lain’ sebagai manusia, Jean Paul Satre mengatakan, “l’enfer
c’est les austres” (orang lain adalah neraka bagiku); dan menggambarkan hubungan dengan
‘yang lain’ sebagai barang, Satre mengatakan bahwa saya ketika memiliki banyak barang,
maka sebenarnya banyak barang itulah yang memiliki saya… yang membuat saya sangat
24
ii. Hubungan Predikat – Predikat:
Predikat adalah gelar/sebutan berdasarkan fungsi tertentu. Hubungan
predikatif sama dengan hubungan fungsional. Pola hubungan ini perlu, tetapi
tidak cukup, sebab gelar itu hanyalah sesuatu yang diberikan dari luar, dan
bukan/belum masuk dalam inti tentang diri dan hubungan yang lebih
mendalam. Jika hubungan sampai pada tahap ini saja, maka hubungan itu
menjadi dangkal, dan orangnya menjadi kesepian.
iii. Hubungan Subjek – Subjek
Jenis hubungan ini adalah yang paling mendasar dan paling ideal. Prinsip
dasar hubungan intersubjektif ini adalah ‘aku’ mengakui ‘yang lain’ sebagai
subjek seperti ‘aku’.77 Dalam bahasa sederhananya, hubungan intersubjektif
ini adalah CINTA.
c. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling mengadakan
Manusia menjadi dirinya yang sangat pribadi ketika dia berhubungan secara intensif
dengan ‘yang lain’. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ merupakan co-creator dalam proses
perwujudan diri. Dalam hubungan yang otentik dan kreatif, ‘aku’ menjadi ‘aku’, dan
‘yang lain’ menjadi ‘yang lain’, di dalam satu korelasi yang sama. Contohnya, ‘saya’
hanya menjadi benar-benar guru karena ada mahasiswa. Saya menjadi seorang
Bapak karena ada anak.78
2.4.2 ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling mengukur
a. Keseimbangan ‘aku’ dan ‘yang lain’
Hubungan timbal-balik ‘aku’ dan ‘yang lain’ menyentuh sampai ke akar eksistensi
manusia. Tidak cukup kita hanya mengatakan bahwa ‘aku’ dan ‘yang lain’ saling
mengartikan dan saling mengadakan. Perlu ditambakan bahwa ada keseimbangan
radikal antara ‘aku’ dengan ‘yang lain’, yakni ‘aku’ menyadari diri sejauh ‘aku’
menyadari ‘yang lain’, dan sebaliknya juga, ‘aku’ hanya diakui ‘yang lain’ sejauh dia
menyadari diri dan sejauh ‘aku’ mengakui dia. Ukurannya tepat sama secara mutlak
– tantum quantum79- aku ada sejauh yang lain itu ada . Maka, sejauh mana saya
merugikan orang lain, sekian jauh juga saya dirugikan; dan, sejauh mana saya
menguntungkan orang lain, sekian jauh juga saya diuntungkan. Jadi, ‘aku’ dan
‘yang lain’ adalah sama realitasnya, sama luasnya, sama padatnya, hanya
perspektifnya berbeda untuk masing-masing substansi.
b. Tantum quantum hanya berlaku dalam korelasi dengan ‘yang lain’ seluruhnya
sebagai fakta induk. Keseimbangan mutlak tidak berlaku dalam korelasi ‘aku’
dengan ‘benda’ atau ‘makhluk’ tertentu secara partikular. Bukan sikap, perhatian,
pengakuan dan penilaian satu dari ‘yang lain’ saja menentukan adaku secara
terikat dengan barang-barang itu.
77
Gabriel Marcell mengatakan, “kehadiran orang lain adalah rahmat bagiku”.
78
Secara lebih jauh dari segi eksistensial dapat dikatakan saya hanya menjadi guru yang
otentik dan kreatif (guru yang sungguh-sungguh) pada saat menjadikan mahasiswaku mampu
berpikir cerdas, kreatif dan mandiri. Saya menjadi seorang Bapak yang otentik dan kreatif,
bukan dalam pengertian dan peran biologis, tetapi ketika saya sebagai Bapak berusaha
menjadikan/membentuk diri anak saya sampai dia mampu menemukan jati dirinya sendri. Atau
sederhananya kita menyebut TANGGUNG JAWAB
79
tantum quantum berarti sekian jauh seperti… atau sama banyak seperti…
25
lengkap. Sifat hubungan itu hanya berlaku secara mutlak kalau kita menilai
hubungan ‘yang lain’ dengan ‘aku’ secara keseluruhan 80; dan ‘yang lain’ itu sebagai
keseluruhan dan secara bersama-sama.
c. Relasi Sekunder
Dalam relasi ‘aku’ dan ‘yang lain’ itu, selain sebagai fakta induk (keseluruhan),
terdapat juga relasi khusus, partikular, yang disebut relasi sekunder. Dalam relasi
sekunder, terdapat macam-macam hubungan dan tingkatan, ada yang dangkal, ada
yang mendalam; baik dalam hubungan ‘aku’ dengan sesama, maupun dalam
hubungan ‘aku’ dengan benda-benda lain atau makhluk lain (infrahuman). Misalnya
hubungan ‘aku’ dengan saudara, teman, pacar, istri, suami, guru, dll.. atau dengan
meja, pohon kaktus, ayam, dst… Dalam relasi khusus itu, saya hanya memahami
relasi pada taraf itu. Relasi ini bisa tidak seimbang, tetapi bisa juga tidak
seimbang.81
Relasi sekunder tidak secara mutlak menentukan adaku dan yang lain, karena saya
juga memiliki relasi-relasi khusus yang lain lagi. Namun, setiap hubungan khusus
itu dilihat lagi dalam keseluruhan relasi-ku. Mungkin saja ada satu atau beberapa
relasi khusus atau konkret yang tidak saya akui, atau saya tolak. Namun setiap
relasi konkret atau relasi sekunder itu secara bersama-sama mewujudkan relasi
induk: keseluruhan. Maka setiap relasi sekunder perlu dipandang dalam
keseluruhan relasi dengan yang lain.
2.4.3 Sifat Absolut dan Relatif Dalam Relasi82
a. Dalam korelasi ‘yang absolut’ dan ‘yang relatif’ saling memuat
Dalam pengertian sehari-hari, ‘yang absolut’ dan ‘yang relatif’ biasanya diperten-
tangkan. Tetapi dalam refleksi filosofis tentang manusia, kita menemukan kenyata-
an paradoksal,83 sebagai berikut: di satu pihak, saya menemukan faktum primum
bahwa kenyataan adanya aku saat ini tidak bisa dibantah (bersifat absolut), namun
di pihak lain, pada saat yang sama, adanya aku itu bersifat relatif, karena hanya
bisa dipikirkan dan direalisasikan dalam hubungan dengan ‘yang lain’. Kenyataan
paradoksal itu berarti bahwa pada manusia, apa ‘yang absolut’ dan apa ‘yang
relatif’ bersifat saling memuat. Relasi tidak menjadi ancaman bagi otonomi
manusia, tetapi sebaliknya otonomi itu terbentuk dan terbangun dalam relasi.
Secara konkret hal itu berarti, semakin intensif hubungan ‘aku’ dengan ‘yang lain’
pada tingkat eksistensial, semakin ‘aku’ menjadi ‘aku’ dan ‘yang lain’ menjadi
dirinya sendiri.84
80
mengapa keseluruhan, karena ‘aku’ secara keseluruhan ditentukan oleh ‘yang lain’.
81
Misalnya dalam “cinta yang bertepuk sebelah tangan…”
82
Absolut berasal dari kata absolutus (L): sesuatu yang bersifat terlepas dari unsur yang lain,
bersifat sempurna (dari kata ab: melepas dan solvere: membuka, solutus: lepas, bebas, tidak
terikat, berdiri sendiri, ). Relatif berasal dari kata relatio (L): membawa kembali, memberi
kembali (dari kata: re: kembali, dan latio: membawa, memberi)
83
Paradoks berasal dari kata paradoxa (L): ucapan yang ajaib (tidak lazim).
84
contoh hal ini misalnya dalam hubungan cinta. Cinta yang sejati berarti menjadikan yang lain
sebagai yang lain. Menurut Erich Fromm, CINTA itu berarti kenal, hormat dan care. Kenal
secara mendalam/personal, hormat yang lain sebagai yang lain, dan care (memelihara, prihatin
dan memperhatikan). Cinta yang sejati tidak pernah bersifat posesif (memiliki sebagai benda).
Sikap posesif (secara psikologis) termanifestasi dalam bentuk sadism dan masokisme.
Sadisme: menggunkan orang lain sebagai objek untuk menyenangkan saya (tega menyakiti,
26
b. Substansi Yang Terbuka
Sudah diutarakan di atas bahwa ‘aku’ adalah substansi dengan catatan kritisnya. 85
Setelah berbicara tentang korelasi maka kita merumuskan bahwa ‘aku’ adalah
substansi yang terbuka, sebab ‘aku’ mengada dalam relasi yang sangat kompleks.
Keterbukaan adalah ciri utama ‘eksistensi-ku’. Jadi, ‘aku’ dengan ‘yang lain’
merupakan jaringan relasi-relasi. Relasi-relasi kompleks inilah yang membentuk
duniaku sebagai lingkungan alam sekitar (Um-welt) maupun sebagai lingkungan
hubungan manusiawi (mit-welt dan Mitsein). 86 Tetapi baik hubunganku dengan
alam sekitar maupun dengan manusia, semuanya tercipta untuk dibaharui terus-
menerus.
c. Identik dan Disting
‘Aku’ dan ‘yang lain’ masing-masing berdiri sendiri dan berbeda, tetapi toh secara
niscaya berkorelasi. Jika diambil secara menyeluruh, dapat dikatakan: ‘aku’, jika
diambil secara lengkap, dan ‘yang lain’, kalau diambil dengan semua implikasi-nya,
maka ‘aku’ dan ‘yang lain’ adalah dua kutub dari realitas yang sama. Atau d/l, ‘aku’
dan ‘yang lain’ identik secara riil dan disting secara riil pula. Jadi, sejauh ‘aku’ dan
‘yang lain’ identik, sejauh itu pula ‘aku’ dan ‘yang lain’ disting; semakin ‘aku’ dan
‘yang lain’ identik, semakin berbeda (disting) pula keduanya.
d. Di luar dan di dalam
Bila kita berbicara tentang manusia, maka sebenarnya hampir tidak bisa dibedakan
antara dunia dalam dan dunia luar. Luar dan dalam pada manusia bukanlah prinsip
fisis-geometris. Pada manusia, yang paling dalam adalah hati nurani-ku dan
pikiran-ku. Tetapi hari nurani dan pikiran itu dibentuk dari luar. Lalu, apa itu
dalam ? Sebaliknya pula, kenyataan di luar mendapat arti dan adanya dari ‘aku’.
Lalu, apa itu luar ? Satu-satunya arti antropologis-filosofis yang bisa diterima
adalah: yang dimaksudkan dengan dalam adalah ‘aku’ sebagai subjek; sedangkan
yang dimak-sudkan sebagai luar adalah ‘yang lain’ sejauh diterima sebagai ‘yang
lain’.
e. ‘Aku’ dan ‘Fungsi-ku’
Di depan kita sudah melihat bahwa ‘aku’ dan ‘yang lain’ adalah jaringan relasi.
Maka di sini, kita mengatakan bahwa jaringan relasi itu bersifat fungsional. Kita
perlu membedakan 2 (dua) macam fungsi:
Pertama adalah fungsi induk/fungsi eksistensial: korelasi ‘aku’ dan ‘yang lain’ dalam
suatu jaringan yang bersifat efektif. Kedua adalah fungsi sekunder: korelasi ‘aku’
melukai, menyiksa, dst). Masokisme: saya menjadikan diri objek untuk kesenangan orang lain
(rela disakiti, dilukai, disiksa, dst…) Filsafat Cinta dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Erich
Fromm: The Art of Loving dan To Be and To Having
85
antara lain, bahwa substansi yang otonom itu tidak tertutup pada dirinya sendiri, tetapi
sekaligus imanen dan transenden: menyatu dengan membedakan diri dari yang lain, sekaligus
membuka dan menyatukan diri dengan yang lain.
86
(Cfr. penjelasan tentang exist is to co-exist). Dari satu pihak ‘aku’ selalu di-dalam-dunia, yang
kuterima sebagai faktisitas, atau yang oleh C. Jaspers disebut geworfen (‘aku’ terlekat dan
menemukan diri di dalam situasi), dan di pihak lain, ‘aku’ juga memberikan perspektif sendiri
tentang ‘yang lain’ (melalui pergaulan, pengalaman, dll. Menerima dirinya dari ‘yang lain’
sebagai rahmat (cfr. G. Marcell) adalah suatu kerendahan hati antropologis, sebaliknya
kesombongan menghalangi manusia untuk keterbukaan dirinya dan merupakan prinsip bagi
destruksi diri sendiri.
27
dan ‘yang lain’ dalam jabatan, tugas/peranan khusus yang dijalankan dalam hidup
sehari-hari, seperti sebagai mahasiswa, dosen, polisi, petani, sopir, tukang, dll…
Pada tingkat eksistensial, ‘aku’ identik dengan fungsi-ku. Pada tingkat sekunder,
aku disting dengan fungsi-ku. Namun, fungsi induk selalu merincikan diri dalam
fungsi sekunder, dan sebaliknya, fungsi sekunder mendapat maknanya dalam
fungsi induk.
f. Sosialitas bukanlah kekurangan, melainkan suatu kondisi eksistensial
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial 87. Sosialitas/
korelasi bukanlah kekurangan, tetapi merupakan kemungkinan satu-satunya bagi
‘aku’ untuk mewujudkan diri sebagai manusia. Hanya dengan keluar kepada ‘yang
lain’, ‘aku’ menemukan jati diriku yang otentik. 88
2.5 Kesimpulan
‘Aku dan ‘Yang Lain’ berotonomi di dalam relasi dan berkorelasi di dalam otonomi.
Atau dengan ungkapan yang lebih radikal, ‘aku’ dan ‘yang lain’ identik di dalam distingsi
dan disting di dalam identitas.
87
Dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, kata sosial sering dipakai untuk pengertian
baik, berkorban, jujur, terbuka, dll. Namun arti sebenarnya kata sosial adalah ‘melibatkan yang
lain’. Jadi istilah sosial itu adalah menjelaskan struktur hakiki yang netral saja, tanpa terikat
pada penghayatan baik atau jahat. Namun berdasarkan pengertian structural-netral tersebut,
kejahatan bersifat sosial karena melibatkan ‘yang lain’, dan penyakit pun bersifat sosial karena
mempengaruhi yang lain. Jadi, manusia di dalam kebaikan dan keburukannya secara hakiki
bersifat sosial.
88
Dalam kaitan dengan ini, Narcisisme selalu bersifat destruktif. Narcisisme: cinta diri
berlebihan. Narcisisme berasal dari mitologi Yunani tentang Narcisus: seorang pemuda yang
dikutuk menjadi buaya (=tidak berkembang)
28
BAB III
HISTORISITAS MANUSIA
Persoalan : Pertanyaan Pokok dalam pembahasan ini adalah manusia itu tetap
sama atau berubah ? Kalau berubah, ia berubah secara
substansial atau aksidental ? Dan bagaimanakah perubahan itu
terjadi ? Atau singkatnya, masalah kita adalah Historisitas Manusia.
89
Fatalisme berasal dari kata fatum yang berarti nasib/takdir.
90
bdk. mitos tentang Oedipus
91
Perubahan adalah peralihan dari terminus a quo (titik tolak) kepada terminus ad quem (titik
akhir/tujuan).
29
Aliran ini mengakui adanya perubahan, tetapi perubahan itu tanpa kesatuan
intrinsik. Perubahan dilihat sebagai deretan kesan-kesan (impresi) satu di samping
yang lain, yang secara kebetulan dihubungkan oleh asosiasi. 92
d. Historisisme:
Aliran ini berpendapat bahwa tidak ada nilai dan norma yang tetap dalam sejarah.
Semuanya bersifat relatif menurut zaman.
e. Eksistensialisme J.P. Satre:
Semua nilai dan arti hanyalah konstruksi manusia belaka, tanpa fundamen yang
jelas. Satre mengatakan bahwa hidup manusia itu ibarat sumur tanpa dasar. Jadi
hidup itu absurd.93
3.1.3 Pandangan yang melihat perubahan seagai perkembangan intrinsik yang terarah
a. Pandangan Siklis:
Pandangan ini berpendapat bahwa sejarah ini berulang terus-menerus dalam siklus
yang tetap.94
b. Pandangan Linear:
Menurut pandangan ini, sejarah tidak pernah berulang, melainkan berkembang
terus-menerus menurut arah tertentu 95… Beberapa padangan yang termasuk
dalam pandangan linear ini adalah…
1) Kaum Deterministik :
a) Aliran Partikularistik: setiap makhluk sudah mempunyai arah
perkembangan tertentu dalam dirinya. 96
b) Aliran Holistik : menekankan perkembangan alam secara menyeluruh. 97
2) Kaum Evolutif :
a) Humanisme: aliran ini sangat percaya akan kemampuan manusia – bahwa
manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam sejarah dengan bantuan/
kemampuan rationya.98
b) Henry Bergson: menurut Bergson, semesta alam ini berkembang secara
kreatif terus-menerus. Dan kekuatan dasar yang menggerakkan seluruh
proses itu namanya l’elan vital (semangat/daya hidup).
c) Theilhard de Chardin: mengajarkan teori evolusi semesta, yang bergerak
dari titik Alpha ke titik Omega. Tuhan mulai dengan 1 titik awal dan Tuhan
menaruh seluruh tenaga kreatif di dalam titik mula itu untuk bergerak
92
Pandangan ini menyangkal adanya kesinambungan (contiuous/continuity) dan berpendapat
bahwa yang ada hanyalah contiguous/contiguity (deretan kesan).
93
Manusia menemukan diri sebagai faktisitas yang bertugas (aufgabe), untuk selalu
menciptakan diri secara baru. Dalam kesadaran diri itu, manusia tidak mendasarkan diri sama
sekali pada sesuatu yang lampau, karena setiap kali semuanya harus dipersoalkan lagi dan
dipertanggungjawabkan lagi. Satre menekankan akhir yang tragis dari kreativitas itu, yakni
berakhir dalam ‘ketiadaan’ (absurditas).
94
Bdk. Paradigma “Pra-Modern – Modern – Post Modern” dalam Filsafat. Pandang Siklis terdapat
dalam hampir seluruh pandangan tradisional dunia Timur (konsmologi dunia Timur).
Pandangan Siklis ini juga mendasari pandangan reinkarnasi (lahir kembali) dan karma pada
beberapa agama dan kepercayaan Timur.
95
Kitab Suci mengikuti pandangan linear (mulai dengan penciptaan pada awal mula dalam
Kitab Kejadian dan berakhir dengan penciptaan baru dalam Kitab Wahyu).
96
Termasuk di sini adalah pandangan Rousseu dan Sigmund Freud
97
bdk. pandangan idealisme Hegel dan pandangan materialisme.
98
Humanisme berkembang sangat pesat sampai masa PD II.
30
mencapai titik akhir: yakni pada saat Kristus menyempurnakan seluruh
ciptaan.99
104
Manusia adalah Gabe dan Aufgabe. Sebagai Gabe (sebagai pemberian) manusia adalah
yang sudah selesai, sebagai Aufgabe (sebagai tugas) menusia adalah yang belum selesai.
105
kejadian yang diingat dan mempengaruhi (membentuk ada-ku saat ini).
106
Masa depan-ku adalah ada-ku yang konkret saat ini sejauh dapat direalisasikan, sejauh dia
terbuka
107
Masa lampau adalah seluruh pengaruh pengalaman, pendidikan, kebudayaan, dll.
Sedangkan masa depan adalah suatu kemungkinan baru.
108
yang dimaksudkan di sini bukan jangka waktu atau jarak geometri, tetapi isi/muatan
32
3.3 Dinamik Sekarang
3.3.1 Apakah yang terjadi bila saya mendapat pengalaman baru:
Jika pengalaman baru itu di-beku-kan, maka kita akan menemukan dua aspek: di
satu pihak, saya menemukan diriku seagai fakta induk, dan semua fakta sekunder aktual
yang sudah saya miliki, dan di pihak lain, muncullah pengalaman baru itu (misal: saya
sakit, jatuh, lulus ujian, dapat teman baru, dll). Pengalaman baru itu seolah-olah
ditambahkan saja pada fakta induk yang sudah ada.
3.3.2 Kesatuan Dinamis
Dipandang secara dinamis, apapun yang terjadi selalu merupakan perkembangan
yang utuh dari diriku yang sekarang ini.
a. Masa Lampau :
Fakta sekunder baru tidak hanya merupakan tambahan aksidental dari luar, tetapi
sekaligus seluruhnya mengalir ke luar dari aku. Dalam korelasi dengan yang lain,
peristiwa sekunder baru itu dirancang/dipersiapkan oleh aku sendiri. Seluruh
substasnsi subyek itulah yang melandasinya.
b. Masa Depan
Ketika mengalami fenomena (pengalaman) baru, ada-ku sekarang ini seolah-olah
diproyeksikan ke depan meresapi fenomena baru itu dan mengidentifikasikan diri
dengan fenomena baru itu.
c. Sekarang
Ketika akan menerima dan menginteriorisasi pengalaman baru, maka ada-ku yang
konkret saat ini berkembang menjadi semakin kaya dan tertentu. Aku
mengekspresikan diri secara baru. Fenomena baru yang mengendap itu tidak
pernah akan hilang lagi. Ia menentukan identitasku selanjutnya.
3.3.3 Substansi Berkembang
Bila kita mengatakan bahwa ‘aku’ mendapat pengalaman baru, maka sebenarnya
pengalaman baru itu tidak hanya merupakan satu peristiwa yang terlepas/sendirian.
Peristiwa baru itu bersama dengan fakta sekunder lain membentuk ‘aku fenomenal’ 109
yang baru. Maka yang berkembang dalam setiap pengalaman baru adalah:
aku sebagai fakta induk sekarang, dengan semua fakta sekunder yang sudah
mengendap (masa lampau-ku) sampai sekarang, sejauh menjadi konkret dalam semua
fakta sekunder yang aktual, di dalam dan melalui aku fenomenal yang baru.
3.3.4 Hubungan Fakta Induk dan Fakta Sekunder dirumuskan secara baru
Telah dijelaskan di depan bahwa fakta induk merincikan diri dalam fakta sekunder,
dan semua fakta sekunder menyeluruhkan diri di dalam fakta induk. Setelah melihat
dinamika subjek, kita harus mengatakan bahwa fakta induk seluruhnya diprogram kembali
dengan adanya fakta sekunder baru.
3.3.5 Dinamika Masa Lampau dan Masa Depan
109
Aku fenomenal adalah aku yang tampak dalam konteks, peristiwa tertentu. Misalnya, aku
yang bermain, aku yang berdoa, aku yang belajar, aku yang bekerja, dst… Dalam satu
peristiwa/konteks tertentu, aku bisa lain sama sekali jika dibandingkan dengan aku dalam
peristiwa/konteks yang lain. Misalnya, aku di lapangan bola sebagai ‘yang bermain kasar’,
tetapi aku juga dikenal sebagai ‘yang tekun/khusyuk berdoa’.
33
Oleh karena masa lampau dan masa depan identik dengan adaku sekarang yang
konkret, maka keduanya pun berkembang secara dinamis.
a. Masa Lampau
Pada umumnya orang menganggap bahwa masa lampau adalah sesuatu yang
sudah selesai dan tetap, sedangkan masa depan adalah sesuatu yang penuh
kemungkinan. Masa lampau tampaknya seperti garis yang seolah-olah semakin
panjang. Namun yang menjadi persoalan kita bukanlah waktu dalam artian fisis-
matematis, melainkan waktu eksistensial, yakni, makna pengalaman hidup yang
sudah mengendap dalam diriku sekarang ini. Semua arti pengalaman masa
lampau dapat ditinjau dan ditafsir kembali. 110 Maka dalam pengertian ini, masa
lampau-ku bersifat dinamis.
b. Masa Depan
Masa depan sebagai janji dan proyek konkret juga terus-menerus ditinjau dan
dirumuskan kembali. Masa depan dirumuskan kembali menurut pengalaman
konkret saat ini. Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, ‘bagaimana saya
secara kreatif merumuskan masa depan saya’.
c. Hubungan Masa Depan – Masa Lampau
Dalam dinamikanya, masa depan dan masa lampau berhubungan erat. Keduanya
saling menentukan. Masa lampau menyiapkan dasar untuk masa depan. Masa
depan memaksa saya untuk meninjau kembali masa lampau. Namun keduanya
sama luasnya dan sama padatnya, karena identik dengan adaku sekarang ini.
110
Misal: penilaianku terhadap masa mudaku sekarang dan sepuluh tahun lalu berbeda. Ada
hal yang sama dipandang secara berbeda, diangkat dalam perspektif yang berbeda dan lebih
luas. Pengalaman-pengalaman itu tidak ada yang hilang, namun juga tidak terulang.
Interpretasi kembali ini disebut sebagai hermeneutik konkret dan hidup.
111
Manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai. Man is imperfect being in imperfect
tense
112
bdk. pendapat J.P. Sartre: he is not what he is (dia bukan apa adanya), but he is what he is
not (dia adalah apa adanya bukan dia). Dalam pemahaman ini, walaupun substansi itu
diperbaharui dan berubah seluruhnya, namun substansi itu tetap sama, yaitu AKU sendiri.
34
b. Kontinu dan Diskontinu
Perkembangan itu kontinu, karena menyangkut pribadi/subjek yang sama. Namun
juga diskontinu, karena selalu ada aspek yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Perkembangan menjamin kontinuitas dalam semua fakta sekunder yang aku miliki
sampai saat ini, namun perkembangan itu sekaligus juga mengandung unsur-unsur
baru dari pengalaman baru tidak tidak terdapat sebagai fakta sekunder
sebelumnya. Namun, baik kontinuitas fakta sekunder yang sudah ada, maupun
fakta sekunder baru sebagai diskontinuitas, semuanya menyatu dalam satu fakta
induk yakni AKU yang dinamis.
113
Irreversibilitas: tidak bisa diputar kembali (dari kata: versus: balik/lawan, reversus:
membalikkan/melawankan kembali, irreversus: tidak bisa membalikkan/melawankan kembali).
114
Begitupun dengan pengalaman atau pertemuan yang terjadi sekarang dan bukan lebih
dahulu atau kemudian, akan menentukan seluruh kelanjutan dan cara mengintegrasinya di
dalam keseluruhan, sesuai dengan saatnya.
35
sebagai suatu krisis.115 Namun setiap krisis merupakan tahap peralihan menuju
suatu integrasi baru.
115
krisis dari kata krinoo (G): memutus
116
historia selalu merupakan konstruksi manusia.
117
dari kata tradere (L): memberikan untuk dipelihara – traditio (L: riwayat/ajaran turun-
temurun). Jadi tradisi adalah suatu estafet kebudayaan
118
Tradisi memiliki dua proses untuk terbentuknya tradisi sejati, yakni: sedimentasi dan
inovasi. Keduanya saling berkaitan dan tidak terpisahkan satu dari yang lain.
119
Bdk. dengan pembaharuan yang dilakukan dalam KV II yang bertolak dari kesetiaan pada
Tradisi Suci.
36
sikap hidup. Sehingga ada orang yang hidup di tempat dan periode yang sama dan umur
yang sama, bisa termasuk generasi yang berbeda.
3.5.3 Tradisionalisme dan Revolusi
Revolusi dan tradisionalisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
Revolusi terjadi kalau mula-mula dinamika sejarah manusia mau dibekukan dan
dipertahankan se-statis mungkin. Aku membekukan daya cipta-ku, dunia dan masyarakat-
ku, dan berusaha menghentikan semua perkembangan. Inilah tradisionalisme. Akibadnya,
dinamika dalam diri dan dalam masyarakat terus-menerus ditahan, sampai akhirnya tidak
terbendung lagi. Dan akhirnya terjadi des-integrasi dan perubahan besar-besaran. Inilah
revolusi.
Sepintas tampaknya revolusi dan tradisionalisme sama sekali bertentangan. Tatapi
dilihat dari nilai perkembangan manusia, keduanya sama jeleknya, sebab satu ekstrim
diganti dengan ekstrim yang lain. Dalam bidang politik itu berarti represi diganti dengan
represi, dictator diganti dengan dictator, tetapi dampak negatifnya tetap sama. Hanya jika
manusia mengatasi kedua ekstrem itu barulah tradisi dan pembaharuan sejati dapat
dilaksanakan.
3.7 Kesimpulan
Refleksi tentang manusia sebagai fakta induk kini diperluas lagi. Aku sebagai
substansi dan subjek dalam korelasi dengan yang lain adalah makhluk yang menyejarah.
Masa lampau adalah adaku yang konkret sebagai warisan, masa depan adalah aku yang
sama dilihat sebagai kemungkinan/janji/proyek, dan masa kini adalah inisiatif yang
membaharui masa lampau dan merealisasikan masa depan. Dorongan dasar yang
menggerakan dinamika manusia dalam sejarah adalah HARAPAN…
123
Ungkapan J. Moltman (sebenarnya ungkapan dari gurunya: Ernst Bloch) dalam bukunya
Theology of Hope.
38