Anda di halaman 1dari 38

KULIAH FILSAFAT MANUSIA

INTRODUKSI

1.1 Pengetahuan Pra-Refleksi dan Filasafat Manusia


Bapak Filsafat, Socrates mengajarkan, noti se auton – kenalilah dirimu sendiri.
Pengetahuan biasa sehari-hari yang bersifat langsung dan spontan, di mana kita merasa
kita tahu tentang sesuatu, disebut pengetahuan pra-refleksif,- selalu bersifat implisit dan
selalu diandaikan dalam sikap dan tutur kata kita.
Filsafat selalu bertolak dari pengetahuan pra-refleksif, tetapi filsafat memeriksa,
mengupas dan mentematisasi pengetahuan pra-refleksif itu, untuk mencapai kebenaran
yang hakiki. Jadi dalam hal ini, Filsafat adalah refleksi kritis atas pengetahuan pra-refleksif
atau sebuah ikhtiar untuk membuat sebuah pengetahuan implisit menjadi eksplisit.
Dalam konteks Filsafat Manusia, pertanyaan pokoknya adalah “apa dan siapa
manusia itu”. Apakah pertanyaan ini dapat dijawab ? Kita akan berusaha sejauh
mungkin, karena setiap pertanyaan fundamental tidak dapat dijawab secara tuntas 1.
Eksistesi manusia lebih merupakan misteri daripada problem. Eksistensi ini selalu lebih
dalam dan lebih kaya daripada apa yang dapat diucapkan, diungkapkan dan dijelaskan
secara rasional ( I am more than I can say ).

1.2 Relevansi Filsafat Manusia


Jika manusia itu sendiri adalah sebuah pertanyaan abadi, apakah
refleksi filosofis tentang manusia itu sia-sia belaka? Tentu saja tidak !
Sebab pandangan kita tentang “apa dan siapakah manusia itu” membawa
konsekuensi yang sangat luas bagi manusia, baik pribadi maupun
masyarakat2. Meskipun manusia itu misteri, manusia toh berusaha
menjawabnya, sebab sikap seseorang ditentukan oleh jawaban yang dia
berikan.3
1
Gabriel Marcel membedakan Problem dan Misteri: Problem adalah masalah yang pada
prinsipnya dapat diselesaikan secara tuntas, meskipun membutuhkan waktu yang lama dan
bertahap. Sedangkan Misteri adalah persoalan atau masalah yang pada prinsipnya tidak
pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Misteri adalah suatu pertanyaan abadi, karena setiap
jawaban akan melahirkan pertanyaan baru.
2
Sebagai contoh: Pertama, Jika manusia hanya dipandang sebagai materi (seperti pandangan
materialisme), maka dengan sendirinya manusia akan dihargai dan diperlakukan sebagai
materi, yakni sejauh dia membawa kegunaan material. Sebaliknya, jika manusia lebih dilihat
sebagai budi atau roh (seperti pandangan idealisme), sedangkan tubuhnya dianggap maya
(semu), maka orang pasti akan mengabaikan perkembangan ekonomi dan teknologi, dll.
Kedua, Jika orang menyangkal kebebasan manusia (pandangan determinisme), maka ia dapat
jatuh ke dalam sikap fatalistis yang pasif (“sudah takdir”). Sebaliknya, jika kemerdekaan
manusia dimutlakkan (liberalisme ekstrim), maka orang akan menolak segala bentuk norma
dan aturan.
3
Wittgenstein mengatakan, “where of one can not speak, there of one must be silent” (tentang
apa yang tak terucapkan, orang harus diam). Ungkapan ini dijawab oleh seorang Filsuf lain asal
Belanda (NN), dengan mengatakan, “where of one can not speak, there of one must speak for
there of one lives and there of he dies” (tentang apa yang tak terucapkan, orang harus
mengatakannya juga, karena dari sana dia hidup dan di sana pun dia mati”.
1
Orang-orang sederhana juga mempertanyakan makna hidupnya, namun mereka
tidak merumuskannya secara jelas. Tetapi andaikata mereka tidak bertanya, mereka toh
memiliki pandangan/keyakinan tertentu, entah pandangan agama atau ideologi yang
diwarisi dari orang lain atau generasi lain. Namun, dalam pemikiran filosofis, kita tidak
boleh hanya menerima dan mempercayai apa yang dikatakan orang lain. Kita harus bisa
bertanya secara radikal dan perlahan-lahan membangun sebuah jawaban pribadi. Memang
kita harus belajar dari orang lain, sebab jelas kita tidak bisa berpikir dari titik nol (zero
point), namun seluruh tradisi filsafat yang kita pelajari, bukanlah suatu dogma atau
jawaban final. Tradisi atau pemikiran itu hanya boleh menjadi sumber inspirasi (ibarat api,
untuk menyalakan api kita sendiri).

1.3 Tempat Pertanyaan Tentang Manusia Dalam Filsafat Modern dan


Kontemporer
Pertanyaan, “apa dan siapakah manusia itu” sudah dipertanyakan sepanjang
sejarah filsafat, hanya saja posisi dan urgensi pertanyaan itu berbeda-beda dari masa ke
masa. Dalam kurun waktu tertentu (terutama zaman purba), orang memusatkan perhatian
pada alam semesta, dan manusia hanya ditempatkan sebagai satu titik atau salah satu
bagian kecil dari kosmos. Pada waktu yang lain, filsafat bertitik tolak dari pemikiran
tentang Tuhan, lalu manusia dibicarakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di sini, yang
pokok adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah sebagian kecil dari pokok itu.
Dalam filsafat modern, soal manusia menduduki tempat yang sentral. Timbulnya
zaman modern secara khusus dipersiapkan oleh renaissance (abat 14). Dan penemuan
pertama menurut penelitian kebudayaan adalah bahwa manusia menjadi objek perhatian
utama dari renaissance.
Persiapan untuk kelahiran zaman modern telah dimulai, akan tetapi perumusan
filosofis secara tegas baru dibuat oleh Rene Descartes (1596 – 1650). Descartes tidak
puas dengan ajaran filsafat skolastik ketika itu, ia berusaha mencari dasar baru bagi
filsafatnya. Untuk itu dia menggunakan metode kebimbangan (dubium metodicum):
Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada). Dubium Metodicum adalah dasar di atas
mana Descartes membangun seluruh bangunan filsafatnya. Dengan metode itu, Descartes
telah menempatkan kesadaran manusia sebagai dasar dan focus filsafat, yang menjadi
awal mula filsafat modern.
Imanuel Kant merumuskan seluruh pemikiran filsafatnya dalam tiga pertanyaan,
yakni: Apakah yang dapat saya tahu ? (dijawab oleh metafisika) Apakah yang wajib saya
lakukan ? (dijawab oleh etika) Apakah yang boleh saya harapkan (dijawab oleh Agama).
Ketiga persoalan yang dikemukakan oleh Kant tersebut dapat direduksikan menjadi satu
pertanyaan saja: “Siapakah makhluk itu yang sanggup tahu, yang wajib berbuat dan yang
boleh mengharap”, atau singkatnya, “Siapakah manusia itu?”
Dalam aliran romantisisme dan voluntarisme, persoalan tentang manusia juga
mendapat tempat yang sentral. Tetapi keduanya mengutamakan perasaan dan kehendak
manusia. Jika Rene Descartes berkata “cogito ergo sum”, maka Meine de Biran
(voluntarisme) mengubah ungkapan tersebut menjadi “volo ergo sum” (saya berkehendak
maka saya ada).
2
Pada abad ke-20, muncul aliran fenomenologi, yang secara luas dikenal sejak
Edmund Husserl (1859 – 1938). Fenomenologi terutama memperhatikan fenomena, yakni
gejala sebagaimana tampak dalam kesadaran manusia. Intisari filsafat fenomenologi
adalah bahwa kesadaran manusia bersifat intensional (intensional: bahwa kesadaran
manusia itu pertama: keluar, kedua: kembali kepadanya, ketiga: sadar bahwa sesuatu itu
ada).
Selain fenomenologi, ada juga aliran filsafat eksistensialisme. Inti pandangan
filsafat eksistensialisme adalah bahwa manusia adalah sebuah eksistensi. Eksistensi berarti
bahwa manusia berada secara sadar di dalam dunia.4
Dapat disimpulkan bahwa soal manusia mempunyai posisi yang sentral dalam
filsafat modern dan kontemporer. Manusia hari ini mempersoalkan dirinya sendiri. Atau
dengan rumusan yang lebih radikal dari Jean Paul Satre, “manusia menemukan manusia”.

1.4 Objek Filsafat Manusia


Objek filsafat manusia adalah “eksistensi manusia”. Objek formal Filsafat Manusia
adalah hakekat manusia atau struktur dasariah eksistensi manusia yang berlaku universal
dan seharusnya. Untuk itu kita harus menyelidiki manusia itu seekstensif mungkin
(menyangkut semua dimensi manusia) dan seintensif mungkin (setiap dimensi diselidiki
secara mendalam).
Objek material Filsafat Manusia adalah semua gejala atau fenomena manusiawi,
seperti berbicara, bertanya, bekerja, mengharap, tertawa, berpikir, dll. Semua fenomena
ini menjadi bahan atau materi penyelidikan filsafat manusia. Filsafat Manusia bertolak dari
gejala-gejala ini, tetapi berusaha menerobosnya untuk sampai kepada inti atau hakekat
(dari fenomenon menuju kepada noumenon/hakikat).

1.5 Filsafat Manusia dengan Ilmu Lain


Secara umum ilmu-ilmu dibagi dalam dua kelompok besar 5, yakni Exact Sciences
(Ilmu Eksakta) dan Human Sciences (Ilmu Manusiawi atau sering dikenal sbg Ilmu Sosial).
Ilmu Eksakta “menyelidiki realitas sejauh direduksikan kepada objek dan
menyelidiki objek sejauh direduksikan kepada quantifiability.”6 Metode yang dipakai dalam
Ilmu Iksakta adalah metode penjelasan. Metode Penjelasan (Erklärende Methode) memiliki
tahap-tahap sebagai berikut:
I Mengamati secara empiris
II Hipotesis tentang hubungan sebab-akibat
III Verifikasi dan falsifikasi (menguji kebenaran dan melihat mana kesalahannya)
IV Merumuskan hukum umum
V Membuat teori global (dalil yang dapat diterima secara universal)
VI Membuat “deduksi” dari hukum umum yang telah dirumuskan.
4
eksistensi dari kata existere (keluar dari diri) : ex (ke luar) + stare (berdiri). Boleh lah
dikatakan: “kalau mau sadar diri ya keluar dulu dari diri sendiri”. Filsuf-filsuf eksistensialisme
yang terkenal a.l.: Kirchkegaard, Gabriel Marcell, Martin Heidegger, Merlau -Ponty, Karl Jaspers
5
W. Dhiltey membagi ilmu-ilmu berdasarkan metode yang dipakai: Erklärende Methode
(Metode Penjelasan) dan Verstehende Methode (Metode Pemahaman)
6
Quantifiability artinya bisa diukur secara kuantitas.
3
Human Sciences “menyelidiki aspek atau dimensi tertentu dari eksistensi manusia.”
Misalnya, Sosiologi meneliti dimensi sosial manusia; Psikologi meneliti dimensi psikis
manusia, Antropologi Budaya meneliti dimensi kebudayaan, dll, dst.
Human Sciences menggunakan gabungan metode penjelasan dan metode
pemahaman (Verstehende Methode). Verstehende Methode memiliki tahap-tahap sebagai
berikut:
I Selalu berusaha mengamati gejala manusia dan memahami artinya
II Semua gejala manusiawi itu disusun secara sistematis
III Menyusun sebuah hipotesis
IV Verifikasi dan Falsifikasi sosial
V Merumuskan sebuah hukum yang bersifat tentatif
VI Menyusun sebuah teori global
VII Membuat pertanggungjawaban kritis menurut kriteria tertentu
Sedangkan dalam Filsafat Manusia “semua gejala manusia diselidiki seintensif dan
seekstensif mungkin untuk mengenal hakekat manusia.” Filsafat Manusia menggunakan
Metode Refleksif, yakni menyelidiki gejala-gejala manusiawi yang objektif dan sekaligus
kembali kepada yang meneliti itu sendiri (refleksi) untuk mengerti siapakah “aku”
sebanarnya.
Dalam hubungan dengan ilmu-ilmu lain, pada satu pihak, ilmu-ilmu bisa
memberikan informasi baru kepada filsafat manusia untuk memperkaya refleksinya,
namun pada pihak lain, Filsafat Manusia juga memberikan insight (wawasan/tilikan) yang
lebih mendalam dengan menunjukkan pengandaian-pengandaian ilmu-ilmu lain. Sebagai
contoh, teori Psikoanalisis memberikan informasi baru bagi refleksi Filsafat Manusia, yakni
fakta psikis manusia tentang ketaksadaran. Dan refleksi Filsafat Manusia menunjukkan
batas keabsahan dari teori Psikoanalisis.

1.6 Metode-Metode Filsafat Manusia


Secara umum Filsafat Manusia menggunakan metode refleksif. Akan tetapi dalam
sejarah filsafat, banyak ditemukan aliran-aliran filsafat dengan metode-metode yang
khusus.
1.6.1 Metode Kritis
Metode ini meneliti paham-paham para filsuf terdahulu, menyelidiki sistem-sistem
dan teori-teori yang sudah ada. Yang diteliti adalah “konsistensi dan koherensi” 7 teori-teori
atau paham-paham tersebut. Jika ditemukan atau diduga sebagai “tidak konsisten dan
tidak koheren”, maka perlu dicari-tahu alasannya, di mana letak kesalahannya (apakah
kesalahan dalam argumentasinya atau karena konsep-konsepnya yang bersifat
kontradiktoris)8. Metode kritis ini berguna, tetapi tidak boleh dipakai secara tersendiri.
7
Konsistensi adalah sesuai dengan azas atau prinsip yang dianut. Koherensi adalah
persesuaian satu unsur dengan yang lain dalam satu sistem yang sama, sehingga merupakan
suatu keseluruhan yang utuh.
8
Salah satu contoh di sini adalah aliran positivisme (dan kemudian empirisme), yang
berpendapat bahwa sesuatu itu benar jika dapat dibuktikan secara empiris (konkret, fisik).
Namun argumen dasar positivisme sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris (konkret,
fisik). Maka kita dapat mengatakan “jika positivisme benar, maka positivisme salah”
4
Karena jika dipakai secara tunggal, tidak membawa orang kepada pemahaman yang
positif dan utuh tentang pemahaman manusia.
1.6.2 Metode Analitika Bahasa
Metode ini bertolak dari bahasa sehari-hari (ordinary language) dan menyelidiki
hubungan antara pikiran dan bahasa, dengan maksud supaya pikiran manusia dapat
diungkapkan dalam bahasa yang tepat dan jelas. Metode ini berupaya untuk membersih-
kan bahasa dari kekaburan dan kerancuan arti, memberantas ambiguitas dan polysemy9.
Para filsuf Analitika Bahasa berpendapat bahwa setiap kata dan setiap proposisi
harus mempunyai satu arti yang tepat dan tertentu. Untuk tujuan itu, para filsuf analitika
bahasa berusaha menyusun bahasa menurut struktur matematis, yang kemudian dikenal
dengan symbolic logic10.
Sumbangan positif metode ini adalah membantu orang untuk mengungkapkan
pikiran secara tepat. Catatan negatif metode ini, pertama, bahasa ideal yang dicita-citakan
tidak dapat (tidak mungkin) diwujudkan, karena mengandaikan kosa kata yang tak
terbatas (tak terhingga). Uniknya situasi, pengalaman, perasaan manusia tidak semuanya
dapat diungkapkan dengan kosa kata yang khusus. Kedua, di balik cita-cita bahasa ideal
yang serba logis dan kritis, sebenarnya tersembunyi tendensi rationalistik, yang hanya
mengutamakan ratio manusia. Padahal, perasaan, kerinduan, kegelisahan dan harapan
manusia lebih kuat diekspresikan bukan dalam bahasa yang logis, melainkan dalam
bahasa analogis atau bahasa simbolis 11.
1.6.3 Metode Fenomenologi
Fenomenologi adalah suatu aliran filsafat yang sangat berpengaruh pada zaman ini.
Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938), dengan semboyan dasarnya yang
terkenal, zurück zu den Sachen selbst, yang berarti kembali kepada benda-benda atau
hal-hal itu sendiri, atau kembali kepada keadaan apa adanya (tanpa interpretasi apa pun).
Asumsi dasar Husserl bertolak dari kesadaran manusia yang secara hakiki bersifat
intensional (L, intendere: mengarah kepada) dan kesadaran itu bersifat noetis-noematis12
Jika kita mengamati benda-benda yang ada di sekitar kita, maka ada dua
kemungkinan: pertama, menyelidiki benda itu sejauh dia berdiri di luar kesadaran; atau
kedua, menyelidiki benda itu sejauh ia menampakkan diri kepada kesadaran. Dan menurut
Husserl, kemungkinan kedua yang benar. Fenomenologi berusaha menemukan kembali
kekayaan arti sesuatu dalam pengalaman hidup manusia. Tetapi karena fenomenologi
9
Ambiguitas adalah arti ganda dari sebuah ungkapan atau proposisi; Polisemy adalah arti
ganda dari sebuah kata.
10
Simbolic logic adalah logika terformalisir, yang merupakan bahasa buatan yang “bersih” dan
serba logis, bersih dari kekaburan, unsur dwiarti dan makna metaforis.
11
Seorang linguist bernama von Humbaldt mengatakan, language is the infinite use of the
finite means (bahasa adalah sarana terbatas untuk penggunaan yang tak terbatas).
12
Menurut Husserl, pertama, semua perspektif selalu terbatas ketika kita melihat, mendengar,
merasa, dll (mis. lihat rumah, yang dilihat hanya bagian tertentu dari rumah itu, tidak bisa
dilihat semua) – noetis. Kedua, karena kesadaran manusia itu bersifat kreatif, maka kesadaran
itu membuat konstruksi. Meskipun fragmentaris sifatnya pengelihatan, pendengaran, perasaan,
dll, namun kesadaran kita langsung membuat konstruksi (dengan contoh di atas, mis. yang
kelihatan itu atap rumah saja, namun kesadaran membuat konstruksi bahwa itu rumah) –
noematis.
5
berusaha menjelaskan gejala-gejala dalam hubungan dengan kesadaran pada umumnya,
maka yang perlu diteliti adalah bagaimana arti atau makna itu muncul dalam kesadaran.
Untuk membuat pemeriksaaan sebaik-baiknya, Husserl menganjurkan beberapa
langkah metodis, dimana, hal-hal yang kurang penting ditempatkan di dalam kurung,
supaya kita bisa menemukan hal-hal yang pokok. Ada tiga langkah dalam metode
fenomenologis Husserl:
I Reduksi Fenomenologis: pada langkah ini kita mengurungkan semua pandangan
pribadi maupun pandangan orang lain tentang sesuatu, untuk menemukan
fenomena yang asli. Sebab pengalaman awal suatu fenomena itu sangat kaya.
II Reduksi Eidetis: pada langkah ini kita mengurungkan semua aspek yang aksidental
untuk menemukan inti yang bersifat universal, yang mengatasi ruang dan waktu
(G: eidos: inti universal, yang mengatasi ruang dan waktu).
III Reduksi Transendental: kesadaran itu sendiri yang individual bersifat terbatas,
dikondisikan oleh ruang dan waktu. Lalu, “bagaimana kesadaran yang terbatas,
yang meruang dan mewaktu bisa sampai kepada eidos yang universal?” Menurut
Husserl, “harus ada subjek dari kesadaran yang bersifat universal pula”. Subjek itu
disebut Husserl sebagai “Aku Transendental”. Aku Transendental adalah sumber
semua nilai dan arti. Maka, tanpa “aku” dunia tidak ada.
1.6.4 Metode Hermeneutika
Hermeneutika13 (G: hermeneia: penjelasan, terjemahan, tafsiran; hermeneuein:
menjelaskan, menerjemahkan, menafsirkan). Apa yang ditafsir ? Hermeneutika menafsir
Kitab Suci, Teks Purba, ucapan seseorang, tindakan atau perbuatan seseorang. Maka jelas
bahwa kegiatan penafsiran manusia itu sangat luas, meliputi seluruh bidang pengetahuan
manusia. Namun, jika benar bahwa pengetahuan manusia itu bersifat penafsiran, “apakah
mungkin manusia mengetahui kebenaran atau mencapai kebenaran ?” Filsafat
Hermeneutika menyelidiki objek penafsiran dan memakai metode-metode yang dipakai
oleh human sciences untuk mengetahui metode mana yang paling bisa
dipertanggungjawabkan untuk mendekati kebenaran.
Untuk mengerti cara kerja filsafat hermeneutika, terlebih dahulu kita meninjau
objek yang menjadi penelitian hermeneutika. Objek terdekat hermeneutika adalah “teks”,
dan objek terjauh hermeneutika adalah “eksistensi manusia”.
I Objek Terdekat: TEKS
Teks adalah karya wacana yang dimantapkan.
Wacana adalah sebuah ucapan/tulisan dalam mana seorang pembicara/penulis
menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain. Wacana minimal mempunyai 3
unsur, yakni: pembicara/penulis, apa yang dibicarakan/ditulis, dan pendengar/pembaca.
Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat.

13
Hermeneut besar dalam sejarah antara lain: Schleimacher (1768-1834, dikenal sebagai
Bapak hermeneutika modern, karena merupakan orang pertama yang secara radikal
mempersoalkan “penafsiran”), Dilthey (1833-1911, orang pertama yang secara tegas
membedakan human sciences dan excact sciences), Martin Heiddeger (1889-1976), Hans G.
Gadamer (1900-1986, dengan bukunya yg sangat terkenal: “Truth and Method”), Paul Ricoeur
(1913-1993, mengemukakan teori sitz im Leben)
6
Karya (karya wacana) ditandai dengan 3 (tiga) ciri khas, yakni komposisi, genre
literer dan gaya bahasa. Komposisi adalah satu kesatuan wacana yang utuh yang
(biasanya) terdiri dari pendahuluan, isi pokok dan kesimpulan. Sedangkan genre literer
(genre diartikan sebagai pola yang memberi kemampuan menciptakan) adalah sebuah
piranti generatif yang membuat sebuah komposisi mendapat bentuknya yang spesifik
sebagai puisi, novel, essay, perumpamaan, dll. Dan gaya bahasa (sebagai prinsip
individuasi) merupakan cara khas penggunaan bahasa dalam komposisi dan genre literer,
sehingga menghasilkan karya wacana tertentu. Jadi, komposisi adalah prinsip kesatuan
yang membuat sebuah karya menjadi susunan utuh dan terpadu , genre literer
merupakan prinsip spesifikasi karya tersebut , dan gaya bahasa sebagai prinsip
individuasinya.
Yang dimantapkan adalah karya wacana yang biasanya melalui tulisan. Dari segi
penafsiran dapat dikatakan bahwa dari tulisan sebuah karya wacana mendapat otonomi
semantis /otonomi arti. Otonomi semantis adalah otonomi rangkap tiga, yakni: 1.
otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks 14; 2. otonomi terhadap konteks budaya
asli15; 3. otonomi terhadap publik (pendengar/pembaca) yang asli.
Jika teks memiliki otonomi semantis, maka tujuan setiap penafsiran teks bukanlah
kembali kepada maksud pengarang yang asli melainkan menjajaki kemungkinan-
kemungkinan baru berdasarkan arti yang disarankan teks untuk pembaca yang konkret
saat ini. Jadi, dalam penafsiran ada dua bagian besar yang merupakan inti penafsiran,
yakni: 1. analisis struktur teks untuk melihat kekayaan makna sebagaimana terberi di
dalam teks (anakronis atau diakronis dan sinkronis); dan 2. aplikasi arti teks melalui suatu
proses yang oleh Gadamer disebut sebagai “pembauran horison (fusion of horizon)”. 16
II. Obyek Terjauh : EKSISTENSI MANUSIA
Untuk apa kita menafsir teks ? Kita menafsir teks untuk mengerti diri sendiri dalam
cermin sebuah teks; dan selanjutnya kita dapat merealisasikan diri menurut saran teks.
Eksistensi seperti halnya teks, juga memiliki komposisi, genre dan gaya sendiri 17.
Komposisi yaitu bagian/hal-hal yang terpenting yang diambil dari pengalaman yang
kemudian membentuk kepribadian. Genre kultural adalah pengaruh budaya (nilai
budaya) yang mempengaruhi pribadi seseorang. Dan gaya eksistensial yaitu gaya
pribadi seseorang yang mutlak berbeda dengan orang lain.
Filsafat Hermeneutika mendekati eksistensi manusia dari segi bahasa atau lebih
khusus dari segi teks, untuk menemukan kembali secara baru definisi manusia yang
diberikan oleh Aristoteles, yaitu zoon logon echon18, yang (sebenarnya lebih tepat)
14
Otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks, karena sebuah teks memuat ciri
psikoanalisis seseorang dan sebuah teks memiliki kata polysemy (arti ganda).
15
Otonomi terhadap konteks budaya asli karena sebuah teks memiliki kemampuan baik untuk
dekonstruksi maupun untuk rekonstruksi (dekonstruksi- keluar dari yang asli; rekonstruksi-
masuk kepada/di dalam kebudayaan baru).
16
Horison disini dipahami sebagai keseluruhan makna yang mengitari suatu titik tindakan (bdk.
tindakan mengangkat tangan untuk menyetop mobil).
17
Identitas manusia adalah identitas naratif, karena orang hanya bisa menunjukkan siapa
dirinya dengan bercerita.
18
Menurut Aristoteles “Homo est animal rationale” (Manusia adalah makhluk/binatang berakal
budi). Terjemahan Latin ini sebenarnya agak keliru dari pengertian asli Aristoteles, yakni “zoo
7
diterjemahkan: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa (manusia: menunjukkan
budi; dan bahasa menunjukkan kultural/budaya).

1.6.5 Metode Transendental


Metode ini dimulai oleh Imanuel Kant dan kemudian diteruskan oleh Joseph
Marechal dalam Filsafat, dan Karl Rahner dalam Teologi. Metode transcendental berusaha
menyelidiki syarat-syarat a priori yang hadir secara implisit tetapi senantiasa berperan
aktif dalam kegiatan berpikir kita. Syarat-syarat itu disebut a priori karena dibawa sejak
lahir. Syarat-syarat ini bukan dipelajari, melainkan menjadi prasyarat supaya kita bisa
belajar (contoh: seorang anak kecil bila sudah mulai belajar, dia sudah tahu bila sebuah
pisang yang dipotong lebih sedikit daripada pisang yang belum dipotong). Syarat-syarat
itu disebut implisit karena selalu hadir dan diandaikan dalam tindakan manusia dan
berperan aktif dalam semua tindakan itu.
Kant membedakan dua hal: das Ding an sich (benda pada dirinya sendiri) dan das
Ding für micht (benda sejauh dia tampak untuk saya). Maka menurut Kant, sesuatu itu /
benda itu saya tidak tahu, saya tahu / kenal sejauh dia nampak kepada saya. Namun,
bagaimana dia mempunyai arti ? Menurut Kant, dia mempunyai arti kalau disusun oleh
sesuatu yang disebut sebagai syarat a priori.
Menurut Kant, pada mulanya semua gejala merupakan rangsangan-rangsangan
yang tidak teratur. Rangsangan-rangsangan itu ditangkap lebih dahulu oleh panca indera
dan langsung disusun menurut dua forma a priori panca indera, yaitu kategori ruang dan
waktu. Hasil godokan panca indera itu diteruskan ke akal budi untuk diolah lagi sehingga
menjadi konsep. Tetapi untuk menjadi konsep semua data panca indera deprogram
kembali menurut 12 forma a priori akal budi19. Semua pengetahuan konseptual mendapat
bahannya dari pengalaman inderawi dan disusun menurut kategori a priori akalbudi.
Menurut Kant, pengetahuan inderawi tanpa kategori a priori adalah buta, dan sebaliknya
kategori a priori tanpa pengalaman inderawi bersifat kosong. Sintesis antara pengalaman
inderawi dan kategori a priori adalah konsep.
Di belakang/di dasar semua pengetahuan konseptual terdapat tiga idea, yakni idea
tentang Allah, idea tentang jiwa dan idea tentang dunia. Menurut Kant, idea-idea ini tidak
bisa kita ketahui secara konseptual, tetapi hanya merupakan petunjuk-petunjuk yang
samar, karena idea-idea itu terlalu besar untuk diketahui secara konseptual oleh akal budi.
Tetapi ketiga idea itu berfungsi memberi kesatuan pada seluruh pengetahuan manusia.
Seluruh analisis tentang forma a priori mengandaikan adanya subjek, yang disebut
oleh Kant sebagai Aku Transendental20, yang memiliki forma a priori dalam seluruh
kegiatan pengetahuan.
Metode transcendental memiliki 3 (tiga) langkah:
logon echon” (manusia adalah makhluk yang mempunyai budi); dan budi dalam pengertian
filsafat Aristoteles menyangkut akal (pintar/otak) dan hati nurani.
19
12 forma a priori akal budi menurut Kant, yaitu; Quantitas (unitas, pluralitas, totalitas),
Qualitas (realitas, negasi, limitasi/pembatasan), Relasi/Hubungan (substansi-aksiden, sebab-
akibat, interaksi), Modalitas (mungkin-tidak mungkin, ada-tidak ada, necessity/niscaya-
kontingentia/kebetulan).
20
Aku Transendental mempunyai substansi, mempunyai 12 forma a priori dan mempunyai 3
idea.
8
Pertama, Reduksi Transendental: pada tahap ini struktur pikiran dan pengetahuan
manusia dianalisis untuk menemukan syarat-syarat a priori yang menyebabkan
pengetahuan rasional itu mungkin.
Kedua, Retorsi atau Pembalikan: pada tahap ini secara negatif dibuktikan bahwa
syarat-syarat a priori tadi bersifat mutlak. d/l, syarat-syarat a priori tidak pernah bisa
disangkal dalam kegiatan berpikir yaitu apabila kita mau berpikir secara logis dan benar.
Jadi, melalui retorsi mau ditunjukkan bahwa orang yang secara eksplisit menyangkal
kategori a priori akal budi, secara implisit membatalkan pendapatnya sendiri. 21
Ketiga, Deduksi Transendental: pada tahap ini syarat-syarat a priori diaplikasikan pada
gejala-gejala manusiawi yang telah diamati secara teliti. Kalau ada pertentangan antara
beberapa pernyataan mengenai manusia, maka isi pernyataan itu harus dikonfrontasikan
dengan syara-syarat a priori, untuk melihat apakah syarat-syarat a priori yang perlu
diperbaiki atau isi pernyataan kita tentang manusia yang perlu dirumuskan kembali.

1.6.6 Metode Yang Dipakai Dalam Kuliah Ini : “METODE METAFISIK”


Dalam kuliah ini, metode yang dipakai adalah “metode metafisik”, dengan langkah-
langkah berikut:
Pertama, dari banyak fenomena manusiawi kita berusaha menangkap satu pemahaman
yang fundamental dan sentral (satu inti). Inti ini dieksplisitasi tahap demi tahap secara
sistematis.
Kedua, eksplisitasi itu terus-menerus bersentuhan dengan realitas konkret yang ingin
dijelaskan. atau d/l, refleksi mengenai inti pokok harus disesuaikan terus-menerus dengan
pengamatan kritis terhadap realitas. Dengan ini metode fenomenologi diintegrasikan.
Ketiga, metode ini juga berusaha memberi perumusan yang lebih tepat dari apa yang kita
amati sehari-hari. Pada tahap ini metode analitika bahasa diintegrasikan.

1.7 Nama Filsafat Manusia


Filsafat Manusia sangat erat berkaita dengan Psikologi dan Antropologi. Pada
zaman dahulu filsafat manusia disamakan dan digabungkan dalam psikologi (ilmu tentang
jiwa manusia). Kemudian untuk membedakannya dari psikologi empiris lalu namanya
menjadi psikologi rasional, psikologi spekulatif, psikologi metafisik.
Filsafat Manusia juga disebut antropologi (ilmu tentang manusia). Tetapi untuk
membedakannya dari antropologi budaya dan antropologi ragawi, maka filsafat manusia
disebut antropologi filosofis atau antropologi metafisik.

21
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam skeptisisme sebagai argumen Agustinus: “ada dan tidak
ada tidak bisa diucapkan sekaligus pada benda/hal yang sama”. Pernyataan ini kemudian
disempurnakan oleh Leibniez menjadi: “ada dan tiada tidak dapat diucapkan sekaligus pada
benda yang sama dengan cara yang sama”.
9
BAB I
MANUSIA MENGAKUI DIRI DAN YANG LAIN
SEBAGAI SUBSTANSI DAN SUBJEK

Persoalan Pokok : Mencari titik tolak Filsafat Manusia. Yang kita cari dalam
pembahasan ini adalah faktum primum / fakta yang paling asli / fakta induk yang
mendasari dan merangkum seluruh pemahaman filosofis tentang manusia.
Titik tolak Filsafat Manusia yang kita pakai dalam kuliah ini adalah Aku sebagai
Substansi dan Subjek dalam hubungan dengan yang lain. Titik tolak ini bersifat
mutlak dan tidak bisa disangkal.

1.1 Beberapa Pandangan Tentang Titik Tolak Filsafat Manusia


Pada umumnya, para filsuf yang lebih tua (kurang-lebih sampai dengan Descartes),
menerima kepastian manusia mengenai diri dan yang lain sebagai substansi dan sebagai
subjek, tanpa banyak mempersoalkannya; meskipun kedudukan metafisis yang diberikan
atas refleksinya diterangkan secara berbeda oleh masing-masing filsuf.
1.1.1 Filsafat dan Filsuf Yang Menolak Kemutlakan
a. Skeptisisme berpandangan bahwa tidak ada kebenaran (mutlak),
kalau pun ada kita tidak sanggup mengetahui kebenaran itu.
Skeptisisme menolak semua kepastian.
b. Sensisme berpandangan bahwa pengetahuan manusia hanya
berasal dari pengalaman inderawi (a.l. Hobbes, Locke, Berclay,
Hume).22
c. Bergson (Yahudi-Paris) berpandangan bahwa manusia bukanlah
substansi, karena substansi adalah sesuatu yang mati/statis. Sedang
AKU adalah dinamisme hidup dan dinamisme hidup itu bersifat kreatif.
Tenaga dasar yang menggerakkan seluruh dinamisme hidup adalah
l’elan vital (semangat hidup) dan l’elan vital itu hanya dapat
diketahui manusia melalui intuisi langsung.
d. Positivisme berpandangan bahwa realitas yang benar adalah yang
bisa diukur menurut kategori ilmu-ilmu positif. Sedangkan substansi
adalah sesuatu yang tidak bisa diukur. Maka Positivisme menolak
substansi.23
e. I. Kantberpandangan bahwa Aku Transendental merupakan syarat
mutlak untuk semua pengetahuan. Aku Transendental bukanlah
substansi, sebab substansi adalah satu dari 12 kategori a priori akal

22
Hume, misalnya, menolak substansi manusia, karena “aku” tidak lain hanya merupakan berkas
fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut secara terus-menerus tanpa ada kepastian apa
pun dan tanpa ada “aku” tetap.
23
Pemikir Positivisme spt A. Comte, H. Spencer; Neopositivisme spt Schlick, Neurath, Carnap,
Reichenbach, dll.
10
budi. Aku Transendental hanyalah idea yang bisa dipikirkan, tetapi
tidak bisa diketahui secara konseptual.
1.1.2 Filsuf Yang Menerima Substansi Mutlak, Tetapi Dalam Arti Yang Terlalu Sempit
a. Parmenides (Monisme) berpandangan bahwa “hanya ada satu
substansi mutlak”, yakni “yang ada”, dan “yang ada” itu adalah
“ada”. Tidak ada tempat bagi substansi manusia yang bersifat
pribadi.24
b. Descartes mendasarkan pandangan filsafatnya pada prinsip
kesadaran subjektif: cogito ergo sum. Manusia memiliki kepastian
mutlak mengenai adanya sendiri, sebab dipahami dengan jelas dan
tepat, hal mana menjadi patokan bagi semua hal yang dipahami
sebagai benar dan tepat bahwa itu benar. Cogito (aku yang berpikir)
adalah substansi spiritual yang berdikari/mandiri, tanpa membutuhkan
sesuatu yang lain.
c. Spinoza (Yahudi-Spanyol) berpandangan bahwa “hanya ada satu
substansi mutlak”, dan substansi mutlak itu adalah Allah sendiri. Yang
bukan Ilahi, termasuk manusia bukanlah substansi, tetapi hanya
merupakan cara berada (modus) dari sifat (attributus) ilahi. Maka
“aku” adalah “modus” dari “attributus” “pikiran”. 25
d. Malebranche & Leibniz berpandangan bahwa “aku” adalah substansi
rohani yang bersifat tertutup. Semua idea sudah ada di dalam
substansi rohani. Maka “aku” tidak ada hubungan dengan “kamu”
(dunia luar), hanya ada hubungan dengan Tuhan melalui intuisi, dan
melalui itu juga tahu tentang dunia luar. Leibniz menambahkan bahwa
“aku” telah menerima ide-ide tentang dunia luar sejak kelahiran.
Pandangan ini tidak sama dengan aliran ocasionalisme. 26
e. Fichte, Schelling, Hegel (para filsuf idealisme) berpandangan bahwa
hanya ada satu realitas, yaitu Aku yang absolut. Manusia individual
hanya merupakan momen atau unsur di dalam (perkembangan)
kesadaran Aku mutlak. Hal ini dibuktikan melalui ajaran dialektis
Hegel:
Tesis : roh mutlak yang kekal adalah Allah
Anti Tesis : materi adalah yang berlawanan dengan roh mutlak.
Sintesis : kesadaran manusia bahwa roh yang ada pada manusia
adalah roh mutlak

24
Menurut Parmenides, “Ada itu Ada”. Ada itu harus sempurna, Ada itu harus kekal dan Ada itu
bukan ada plural.
25
Jika aliran Pantheisme berpandangan bahwa seluruh dunia adalah bagian dari Allah, maka
Spinoza mengemukakan prinsip panentheisme (en: di dalam): kita semua berada di dalam
Allah, karena: Deus sive natura (Tuhan adalah natura/alam); menurut Spinoza, ada dua macam
Natura, yaitu, natura naturans (alam yang melahirkan) dan natura naturata (alam yang
dilahirkan). Maka Spinoza menyimpulkan bahwa kita semua ada di dalam Allah
26
Ocasionalisme (ocassio: kesempatan untuk Tuhan bertindak ketika saya bicara, dan
kesempatan untuk Tuhan bertindak untuk yang lain juga).
11
1.1.3 Pendapat Yang Lebih Seimbang
a. Neo-Thomisme27 (pengikut Thomas Aquinas) menyempurnakan
metode Kant, yakni metode transcendental, yang mana manusia
mengeksplisitkan pengakuan mutlak akan adanya diri sendiri, yang
diandaikan oleh fakta keputusan dan yang dituntut oleh kepastian
keputusan itu. Aliran ini berpandangan bahwa manusia adalah
makhluk sosial, “aku selalu berhubungan dengan yang lain”.
b. Eksistensialisme berpandangan bahwa “manusia adalah makhluk
yang mengada secara sadar bersama yang lain di dalam dunia.” 28
Eksistensi menunjuk kepada cara berada manusia yang khas, yang
membedakannya dari semua hal yang lain. Hanya manusia yang ber-
eksistensi dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain. Heidegger
mengatakan bahwa manusia adalah Da Sein (sein: ada/berada, da: di
sana),yang berarti “mengemukakan diri keluar”. Jadi sifat hakiki
manusia adalah berada di dalam dunia. Dengan cara tertentu manusia
mengatasi dirinya (transenden) dan keluar dari dirinya sendiri menuju
kepada “yang lain”. Mengintegrasikan pandangan fenomenologis,
bahwa kesadara manusia secara hakiki berisifat “intensional”, karena:
a. kesadaran manusia diarahkan kepada suatu objek tertentu (bukan
hanya cogito, tetapi cogito aliquid – sbg koreksi bagi Descartes. b.
Objek itu lain daripada kesadaran manusia itu sendiri, sehingga tidak
pernah dapat dikembalikan dan disamakan dengan kesadaran sendiri
(sebagai koreksi bagi Hegel). c. Sifat “intensional” itu bukan hanya
suatu ‘sifat tambahan’ pada kesadaran, melainkan seluruh kesadaran
sama dengan arah ‘keluar’ itu; keterarahan itu merupakan inti sari
seluruh kesadaran. d. Kesadaran itu tidak hanya memuat unsur
pengertian saja, melainkan juga aspek afektif (perasaan) dan aspek
afektif-aktif (pelaksanaan).29

1.2 Manusia Menyadari Diri Sebagai Aku Yang Otonom


1.2.1 “AKU”
Kita hendak memulai penelitian filosofis dengan bertolak dari gejala-gejala manusia
seekstensif mungkin. Kita memperhatikan harapan, kecemasan, kerinduan, pikiran,
perasaan, kehendak, pengalaman, rencana, dll. Kita amati semua gejala itu. Gejala-gejala
itu tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan “aku”, sehingga dapat dikatakan:
pikiran-ku, perasaan-ku, pengalaman-ku, dst… Juga objek kesadaran selalu dihubungkan
dengan “aku”, sehingga disebut: rumah-ku, teman-ku, buku-ku, kampung-ku, dst…

27
termasuk di sini adalah Karl Rahner, Marc, Lonergan, dll
28
to exist is to co-exist (berada adalah berada bersama; berada berarti mengada secara sadar
bersama yang lain).
29
termasuk di sini: S. Kierkegaard, C. Jaspers, G. Marcel, J.P. Sartre dan terutama Martin
Heidegger
12
Meskipun sangat kompleks menurut keseluruhannya, tetapi semua fenomena itu
dihubungkan oleh satu fenomena sentral, yaitu “aku”. 30 Fenomen AKU itu termuat dalam
semua fenomen lain, dan merupakan aspek asali yang meresapi dan mewarnai semuanya
(entah itu keputusan, perbuatan, pertanyaan, pengalaman, dst maupun objek kesadaran).
Maka di balik semua gejala manusiawi hanya ada satu fenomen yang paling dasar, yaitu
“AKU”.31
1.2.2 “AKU ADA”
AKU sebagai fenomena dasar/fakta induk yang mendasari semua gejala lain, tidak
dapat disangkal dengan cara apa pun. Maka “AKU” mesti (niscaya) ada. Seandainya saya
menyangkal secara eksplisit tentang kenyataan absolut bahwa ‘aku’ ada, maka secara
implisit saya membatalkan pendapat saya sendiri, sebab ‘aku’-lah yang menyangkal, bukan
orang lain.32 d/l: “AKU ada saat ini merupakan kenyataan mutlak dan niscaya. Dia tidak
bergantung kepada kebenaran lain yang lebih mendasar.” 33
1.2.3 “AKU SUBSTANSI”
AKU sebagai SUBSTANSI memiliki tiga ciri khas:
a. AKU sebagai SUBSTANSI selalu bersifat TERTENTU 34:
Kesadaran akan AKU sebagai fakta induk bukanlah sesuatu yang umum, dan bukan
pula sebagai sesuatu yang kosong. Aku mempunyai isi tertentu dengan identitas
dan batas-batasnya sendiri.
b. AKU sebagai SUBSTANSI merupakan kesatuan YANG UTUH 35:
AKU ini identik dengan diriku sendiri. Aku tidak terbagi-bagi atau terpecah
melawan diriku, melainkan merupakan kesatuan yang utuh. Meskipun AKU
(mungkin) tidak dapat mengatakan dengan tepat apa yang termasuk AKU dan apa
yang tidak termasuk AKU, tetapi AKU tetap satu kesatuan yang UTUH.
c. AKU sebagai SUBSTANSI itu OTONOM/BERDIKARI 36:
AKU bukanlah merupakan satu bagian (atau tambahan) dari satu keseluruhan yang
lebih besar atau lebih luas. Aku ada di dalam kekuasaanku sendiri, dan secara jelas
30
Sebagai ilustrasi: saya sadar akan uang yang sedang saya hitung, dan di dalamnya saya
sadar akan kesadaran itu. Saya sadar bahwa saya tahu, saya rasa,saya memilih. Semua gejala
itu saya sadari dalam hubungan dengan saya. Jadi semuanya berpusat pada saya.
31
AKU memiliki beberapa makna: Aku Shifter: aku linguistik (aku nama), Aku Eksistensial (aku
yang memiliki pikiran): pribadi yang mengklaim, misalnya “ini pendapat saya…”, “ini pikiran
saya…” dst…
32
Secara implisit saya sadari bahwa aku-lah yang menyangkal secara eksplisit.
33
Mutlak atau absolut di sini tidak dalam pengertian berlawanan dengan relatif. Mutlak di sini
menunjukkan *keharusan dan keniscayaan; *kenyataan yang tak-tersangkal, tidak boleh tidak
ada baik menurut adanya maupun menurut pemahamannya; dan *selalu dan dimana-mana
berlaku. “Saya sadar bahwa saya ada” adalah kenyataan yang tidak seorangpun atau apapun
yang dapat menyangkalnya.
34
Tertentu berarti tidak bisa ditukar, tiada duanya, dan tidak bisa diganti.
35
Utuh berarti tidak terbagi/terpecah melawan diri sendiri. Dalam (konteks) pengertian ini,
sikap frustasi, menyesali diri, mengutuk diri, dst… adalah bentuk sikap yang melawan diri
sendiri, yang menghancurkan diri pribadi.
36
Otonom dari kata (G) autos: sendiri dan nomos: hukum atau kaidah. Jadi Otonom berarti
orisinil atau asli
13
berbeda dari semua yang lain. AKU sendirilah yang merupakan pusat yang
OTONOM, sebab AKU sanggup menentukan sendiri dan mengatur diriku sendiri.
Aku bersifat unik (unique): hanya AKU-lah yang seperti AKU, dan tidak akan
pernah ada yang lain yang seperti AKU, yang memahami dan menyadari diriku
tepat seperti AKU memahami dan menyadari diriku sendiri. AKU yang OTONOM itu
bersifat unik (unique) berarti AKU itu tiada duanya, dan tidak tergantikan.
Dengan mewujudkan ketiga ciri tersebut di atas, maka AKU adalah SUBSTANSI 37
yang unik dan khas.
1.2.4 “AKU SUBJEK”
Pengakuan akan diri sendiri bukan merupakan perasaan belaka atau pernyataan
netral saja, tetapi melampaui sekedar perasaan. AKU sebagai SUBJEK adalah sumber
otonom dan sadar bagi semua gejala dan kegiatan saya.38
a. AKU adalah SUBJEK yang memiliki PENGERTIAN
Manusia mempunyai pengertian, dan dengan pengertian itu dia sanggup
memahami segala realitas (banyak hal). Melalui semuanya itu, AKU mampu
mengenal dan tahu tentang diriku sendiri. AKU sanggup memikirkan diriku melalui
atau di dalam sebuah refleksi, mengecek atau memeriksa dan akhirnya
mengafirmasi bahwa inilah AKU, inilah diriku.39
b. AKU adalah SUBJEK yang memiliki KEHENDAK
Aku juga menghendaki diriku sendiri. Aku menerima dan menyetujui diriku. Ketika
saya menghendaki dan memilih hal-hal khusus untuk diriku, maka saya sebenarnya
menghendaki diriku sendiri.40 Kadang-kadang untuk aspek tertentu dalam diriku
yang merupakan fakta sekunder, saya menolaknya. 41 Tetapi dengan menolak hal-
hal atau aspek tertentu dalam diriku itu, sebenarnya dengan itu pula saya secara
lebih tegas menghendaki diriku yang lebih baik.42
c. AKU adalah SUBJEK yang memiliki RASA

37
Substansi dari kata substantia (L: sub-: di bawah, dan stare: berdiri), yang secara harafiah
berarti berdiri di bawah atau terletak di bawah. Maka Substansi adalah semua yang berdiri di
bawah dan mendasari semua yang lain yang sekunder. Namun dalam perkembangan arti,
kemudian pengertian substansi menjadi sama dengan pengertian kata subsistentia (subsisten):
bertahan terus dalam keadaannya sendiri. Dalam pemahaman ini, maka AKU sbg SUBSTANSI
sama dengan AKU yang Subsisten: yang berarti bahwa di balik semua fenomena yang khusus,
yang berbeda-beda, yang terpecah-pecah… ada fakta induk AKU, yang satu, tetap, unik dan
mandiri.
38
Subjek dari kata subicere (L) arti harafiahnya: “melemparkan di bawah” atau “yang
berbaring di bawah”. Dari pengertian harafiah itu, Subjek di sini bukan dalam pengertian
linguistik, tetapi menurut arti metafisis.
39
Cogito me ipsum (saya memikirkan diriku sendiri)
40
Volo me ipsum, Eligo me ipsum (saya menghendaki diriku sendiri, saya memilih diriku
sendiri).
41
Misalnya bentuk badan, warna kulit, bentuk rambut, dll
42
Hal ini paradoks dengan orang yang bunuh diri: mati-matian menghendaki AKU-nya yang
lebih baik.
14
Banyak filsuf menempatkan “perasaan” manusia pada tingkat infra-human43, tetapi
kita harus bisa membedakan perasaan yang sederhana yang juga ada pada
binatang (rasa panas, dingin, haus, lapar, ingin (pada tingkat tertentu), marah,
takut, dll), dengan rasa yang mendalam yang hanya ada pada manusia (spt. rasa
kagum, rasa syukur, rasa cinta, rasa rindu, dll). 44 Secara keseluruhan, AKU
merasakan diriku sendiri.

d. AKU adalah SUBJEK yang DINAMIS


Pengakuan akan diriku tidaklah pasif-statis, tetapi aktif-dinamis. 45 Saya tidak
menerima dengan pasif atau menerimanya sebagai sesuatu yang tetap sama, tetapi
saya mengakui diri, mengadakan dan menjamin kesatuan diriku.

Saya akhirnya menemukan kesadaran akan AKU sendiri, sebagai fakta induk yang
tak terbantahkan. AKU adalah utuh, orisinil yang membedakan AKU dari apapun yang lain.
Substansi yang mendasari keberadaanku itu saya miliki dengan tahu dan mau, sadar, dan
dinamis, sehingga subjektivitas sejatiku terwujud.

1.3 Manusia Menyadari Yang Lain Sebagai Yang Otonom


1.3.1 Yang Lain Pada Umumnya
Pengakuan akan ada-ku pada pokoknya selalu mengandaikan dan menuntut
keberadaan yang lain. Ketika AKU mengakui diriku sendiri, maka secara implisit
terkandung pengertian bahwa aku lain dari yang lain, dan aku adalah bukan yang lain.
Dengan melawankan diriku dengan yang lain yang bukan diriku , justru mengandung
pengakuan mutlak akan ada-nya yang lain, yang menentukan keberadaan-ku. 46 Saya
hanya dapat memahami diri sebagai AKU yang tertentu jika ada yang lain yang kusapa
sebagai ENGKU dan DIA. AKU hanya aku ini jika ada engkau itu dan dia itu. Maka yang
lain itu juga adalah tertentu. Jadi, pengakuan akan AKU sendiri mengandaikan dan
menuntut pengakauan akan YANG LAIN sebagai syarat mutlak. Maka keberadaan yang
lain itu adalah mutlak.
YANG LAIN itu juga adalah satu-utuh, mandiri dan adalah substansi yang otonom.
Meskipun saya belum dapat memastikan secara eksplisit tentang yang lain itu secara
tepat, namun ADA-nya YANG LAIN adalah tak-tersangkalkan.
1.3.2 Yang Lain Sebagai Subjek dan Infrasubjek

43
infrahuman: (infra: di bawah) lebih rendah dari manusia, termasuk binatang & makhluk lain.
44
Untuk membantu pemahaman kita tentang hal ini, kita perlu secara lebih jeli membedakan
beberapa term yang sering kita pakai dalam keseharian. Mis. Keingingan & Kerinduan
(Keinginan itu terbatas pada objek tnt, sedangkan Kerinduan itu tidak terbatas, merupakan
dambaan abadi dan hanya dapat dipenuhi oleh yang tidak terbatas), Takut & Cemas (Takut:
terhadap objek tertentu, sedangkan Cemas itu tidak tertentu, kosong/tidak teridentifikasi).
45
Possum facere me ipsum (saya melaksanakan diriku sendiri).
46
Contoh: saya hanya bisa ada sebagai murid jika ada yang lain sebagai guru; saya hanya bisa
ada sebagai ayah jika ada yang lain sebagai anak; saya hanya ada sebagai suami jika ada yang
lain sebagai istri; saya hanya ada sbg orang kaya jika ada orang miskin; dst….
15
a. AKU menemukan diriku sebagai aku, yang berbeda dari aku-aku yang lain. Fakta
induk, yakni kesadaran tentang ADA-KU, selalu memuat juga kesadaran akan
manusia lain, yang memiliki dirinya sendiri secara sadar. Maka, yang lain sebagai
manusia itu adalah Subjek.
b. Jika AKU mengakui keberadaanku dan yang lain sebagai Subjek, maka hal itu selalu
mengandaikan adanya substansi lain, yang tidak sampai pada taraf keberadaannya
sebagai Subjek. Yang lain yang bukan Subjek itu adalah dunia infra-human.47
1.3.3 Keanekaan Dasar
Pada taraf paling hakiki, ketika saya menemukan keberadaan diriku sebagai fakta
mutlak, pada saat yang sama saya menemukan keberadaan subjek yang lain dan
substansi bukan subjek juga sebagai fakta mutlak. Keberadaan saya hanya bisa
dipertahankan dalam konfrontasi dan pembedaan dengan yang lain itu. Maka kesadaran
itu tidak tertutup pada dirinya sendiri, dan kesadaran itu bukanlah tunggal. Sejak semula
manusia menemukan diri ada bersama yang lain dan sudah hidup dalam suatu pluralitas
atau keanekaan sejak semula, keanekaan dasar, meskipun pemahaman konkret akan
kebersamaan itu masih perlu dan terus dieksplisitasikan… AKU tidak pernah diakui atau
bahkan dipikirkan, tanpa YANG LAIN. Yang Lain itu suatu pengandaian dasariah yang
selalu telah termuat di dalam pengakuan tentang Aku.

1.4 Kesimpulan Umum


1.4.1 Pengesahan, Titik-Tolak dan Metode
Kita telah menemukan titik tolak dalam sebuah Faktum Primum. Faktum Primum itu
bersifat a posteriori, karena bertolak dari pengalaman (keinginan, harapan, dll), yang
disimpulkan dari pengalaman konkret. Tetapi Faktum Primum juga bersifat a priori, karena
selalu diandaikan di dalam kegiatan berfilsafat itu sendiri. Faktum Primum itu secara
mutlak tidak bisa dibantah. [Dengan ini kita menyelesaikan metode metafisis, meskipun
baru pada tahap awal].
1.4.2 Manusia sebagai Faktum Primum adalah kenyataan de facto dan de jure sekaligus.
De facto, karena saya hanya bisa menerima diriku apa adanya; dan de jure, karena
manusia adalah makhluk yang senantiasa melaksanakan dirinya sendiri. 48

1.5 Penjelasan Tambahan


1.5.1 Fakta Induk dan Fakta Sekunder

47
Subjek: sadar akan keberadaan dirinya sendiri, Yang bukan Subjek: tidak memiliki kesadaran
akan dirinya sendiri.
48
Keberadaan manusia, di satu pihak, adalah fakta belaka, yang oleh M. Heidegger menyebut
keberadaan manusia sebagai geworfenheit, yaitu keterlemparan ke dalam adanya. Jadi
manusia tidak mungkin memahami sebab keberadaannya. Manusia tidak memilih untuk berada
atau tidak berada, tidak memilih untuk berada sendiri atau berada bersama orang lain.
Manusia hanya dapat menerima keberadaannya. Kemungkinan menusia pun tidak diketahui
selain dari adanya de facto saja. Namun dari pihak lain, fakta tersebut memberikan insight
yang menguak strukturnya dan menghantarnya kepada kemutlakan. Sekali berada sebagai
manusia, dia seharusnya demikian, dan dia harus menjadi manusia menurut garis itu (inilah
ada-nya secara de jure).
16
a. Fakta Induk adalah inti kenyataan yang selalu dan niscaya diandaikan dalam
refleksi tentang manusia.
b. Fakta Sekunder adalah gejala-gejala yang lebih konkret dan tidak niscaya.
Fakta Induk dan Fakta Sekunder berhubungan erat satu-sama lainnya dan
merupakan satu substansi.49 Fakta Sekunder tanpa Fakta Induk akan tercerai-berai dan
kacau. Dan sebaliknya, Fakta Induk tanpa Fakta Sekunder adalah kosong. Secara
keseluruhan antara Fakta Induk dan Fakta Sekunder terdapat identitas realis dan distictio
rationalis.50

1.5.2 Kodrat Manusia


Dengan menemukan fakta induk, kita menyentuh kodrat manusia.
a. Kodrat adalah inti/hakekat yang berlaku umum untuk semua manusia.
b. Yang paradoksal pada kodrat manusia adalah bahwa AKU selalu bersifat unik.
c. AKU dari kodratnya selalu dihubungkan dengan yang lain. Dengan hubungan
dengan yang lain itu manusia mengatasi egologi (struktur di mana kita hanya takut
tentang diri sendiri)
d. AKU dan YANG LAIN bersifat equiprimordial (sama asli).51 Secara metodis kita
membicarakan yang satu mendahului yang lain, tetapi keduanya bersifat
equiprimordial.
1.5.3 Iman Filosofis dan Refleksi
a. Refleksi filosofis selalu bertolak dari kesadaran pra-refleksi akan kenyataan. Kita
bertolak dari fakta induk dan membuat refleksi terus-menerus. Tetapi deskripsi itu
tidak membuktikan adanya yang lain seperti dalam suatu pembuktian matematis.
“Penerimaan keterberian yang lain sebagaimana adanya dalam dunia,” merupakan
iman filosofis yang paling mendasar. Atau d/l, iman filosofis yang paling mendasar
adalah penerimaan terhadap realitas.
b. Intuisi Implisit dan Refleksi Komplit
Fakta induk (pengakuan akan keberadaan AKU dan YANG LAIN) selalu hadir di
dalam fakta-fakta sekunder (pengertian, pilihan, kegiatan, dll). 52 Fakta induk itu
disadari melalui intuisi implisit, karena kita selalu mengandaikannya dalam fakta
sekunder. Ketika dalam refleksi filosofis, kesadaran kita ke luar kepada fakta

49
Fakta induk sebagai neumenon ditemukan dalam refleksi atas gejala-gejala yang muncul
sebagai Fakta sekunder (phainomenon). Aku ditemukan dengan merefleksikan pikiranku,
tindakanku, perasaanku, rumahku, bukuku, saudaraku, dst…
50
identitas realis adalah bahwa dari kenyataan keduanya adalah satu. Distinctio rationalis
adalah bahwa pembedaan secara rasional (secara rasional antara keduanya dapat dibuat
pembedaan).
51
Equiprimordial dari kata equi artinya sama, dan primordial artinya yang paling pertama/
yang paling mendasar. Maka equiprimordial berarti sama asli.
52
Fakta induk itu secara hakiki atau esensial bersifat ungegenstandlich, unthematisch, dan
ungedacht. Fakta induk itu tidak pernah diketahui atau dipikirkan secara langsung tanpa fakta
sekunder. Fakta induk itu tereksplitasi dalam fakta sekunder (fenomena-fenomena).
17
sekunder lalu kembali lagi untuk memperjelas fakta induk, maka proses itu disebut
refleksi komplit.
1.5.4 Keunggulan Seorang Filsuf
Sorang Filsuf memahami hakekat manusia dengan lebih eksplisit dan jelas. Namun
keunggulan seorang Filsuf tidak teletak dalam kenyataan bahwa dengan itu dengan
sendirinya hidup dia lebih baik/saleh dari orang lain (tidak dengan sendirinya bahwa
dengan memahami hakekat manusia lebih eksplisit dan jelas maka seorang filsuf
lebih baik/saleh dari orang lain). Keunggulan seorang Filsuf terletak dalam hal ini:
bahwa apa yang oleh kebanyakan orang hanya dirasakan secara implisit, oleh
seorang filsuf dapat diungkapkan secara lebih eksplisit.

BAB II
MANUSIA BERKORELASI DENGAN YANG LAIN
[ SOSIALITAS MANUSIA ]

Persoalan : Kesadaran diri manusia secara niscaya menuntut kehadiran yang lain.
Kenyataan manusia bersifat “plural”, dengan banyak pusat otonom. Sampai
saat ini (sampai pembahasan ini), hubungan antara “aku” dan “yang lain”
dieksplisitasikan secara formal saja. Artinya: adanya “yang lain” dituntut
sebagai syarat mutlak, yakni bahwa “yang lain” itu juga merupakan Subjek
dan Substansi.
Bagaimana hubungan “aku” dengan “yang lain” itu ? Apakah hanya ber-
dampingan, satu di sisi yang lain, ataukah ada hubungan langsung ataupun
tidak langsung ? Dan, apakah hubungan itu bersifat dangkal atau hubungan
itu bersifat mendalam ?

2.1 Pandangan-Pandangan
2.1.1 Tendensi Monistik : kecenderungan untuk melihat realitas sebagai satu kesatuan.
a. Monisme Mutlak:
Pandangan Monisme Mutlak diwakili oleh filsuf bernama Parmenides, yang
berpandangan bahwa realitas adalah satu, dan Parmenides merumuskan kebenaran
adalah “Ada itu Ada”. Jadi, tidak ada relasi/hubungan.
Bentuk subjektif dari Monisme Mutlak adalah solipsisme53, yang mengajarkan
bahwa kita sadar, tetapi semata-mata sadar tentang diri kita sendiri. Solipsisme
berpandangan bahwa kita hanya mendapat kepastian tentang Ada-ku sendiri,
sedangkan Ada Yang Lain hanya merupakan khayalan belaka. 54

53
Solipsisme berasal dari kata solus (L): sendiri, semata-mata dan ipse (L): sendiri.
54
Pandangan ini jelas sudah dibantah dalam pembahasan bab sebelumnya.
18
b. Monisme Lunak:
1) Idealisme (tokoh yang terkenal adalah Fichte, Schelling, Hegel 55)
Idealisme berpendapat bahwa realitas ada satu, namun tetap mengakui yang
lain, meski cuma sebagai bayangan.
2) Materialisme dialektis (Marx dan Engels)
Pandangan materialisme dialektis berpandapat bahwa pada hakekatnya segala
sesuatu adalah materi. Marx mengakui ada juga bentuk-bentuk kesadaran
yang bersifat rohani, tetapi apa yang disebut rohani itu hanyalah suatu
fenomen atau epifenomen56 dari materi. Jadi, segala sesuatu itu dapat
dikembalikan kepada materi. Hanya saja materi yang satu itu berkembang
secara dialektis.57
3) Kolektivisme
Kolektivisme adalah sebuah aliran/paham sosial yang mengajarkan bahwa
masyarakat sebagai kesatuan jauh lebih penting daripada individu . Dan individu
ada demi kepentingan masyarakat.58 Jadi, paham kolektivisme tidak menghar-
gai kreatifitas individual.
2.1.2 Beberapa Aliran Yang Menyangkal Korelasi Riil Dengan Yang Lain
a. Sensisme59: mengajarkan bahwa kita hanya mendapat kesan-kesan inderawi
tentang yang lain. Jadi, tidak ada korelasi substansial dengan Yang Lain itu.
b. Empirisme: mengajarkan bahwa pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan manusia. Dan, apa yang disebut substansi adalah sesuatu yang tidak
bisa diketahui melalui pengalaman inderawi. Jadi hubungan substansial tidak ada.
c. Positivisme: berpandangan bahwa realitas yang benar adalah yang bisa diukur
menurut kategori ilmu-ilmu positif. Substansi tidak bisa diukur menurut kategori
ilmu-ilmu positif. Jadi, korelasi substansial dengan yang lain, disangkal.
Ketiga pandangan ini berkembang sangat kuat dan subur di Inggris.
2.1.3 Imanuel Kant
Menurut Kant, kita tidak tahu seseorang secara mendalam, karena pengetahuan
manusia lebih banyak bersifat subjektif berdasarkan kategori-kategori a priori. Oleh karena
itu, relasi yang tepat dengan “yang lain” itu tidak dapat kita ketahui.
2.1.4 Tendensi Plurlistik
a. Materialisme Atomistik (diwakili oleh Demokritos, Leukippos dan Epikurus), yang
berpandangan bahwa diri manusia itu terdiri dari atom-atom 60. Pikiran manusia
terdiri dari atom halus, badan manusia dari atom yang kasar, namun atom-atom itu
berada satu di samping yang lain, tetapi tidak ada hubungan satu sama lainnya.
55
Pandangan Idealisme Hegel mengatakan bahwa Realitas Pertama adalah Roh Mutlak, yang
menghasilkan Realitas Kedua yaitu materi dan Realitas Ketiga yaitu kesadaran. Realitas Ketiga
menghasilkan Realitas Keempat yaitu Roh sadar kembali tentang dirinya.
56
Epifenomen adalah gejala tambahan.
57
ingat teori Hegel tentang “tesis-anti tesis-sintesis”.
58
Yang termasuk dalam sistem kolektivisme adalah komunisme, totalitarianism, fascisme.
59
Sensisme dari kata sensus (L): inderawi.
60
atom sebagai unsur terkecil yang tidak dapat dibagi lagi.
19
b. Individualisme Spiritualistik (diantaranya: Descartes, Malebranche, Leibniz), yang
berpandangan bahwa setiap orang berdiri sendiri secara rohani dan tidak mem-
butuhkan yang lain. Aku hanya bisa berhubungan dengan Yang Lain secara rohani,
yakni di dalam pengertian, dan pengertian itupun sangat terbatas, yang diterima
dari kesan/impresi inderawi.
c. Individualisme Sosiologis (Hobbes, Rousseau, Liberalisme, Personalisme), yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap individu secara sosial sebenarnya tidak membutuhkan
orang lain. Kita kebetulan membutuhkan orang lain, kerena beberapa sebab praktis
saja (sebab aksidental saja). Hobbes, misalnya, mengemukakan prinsip homo
homini lupus (manusia sebagai serigala bagi manusia lain). Hanya untuk mencegah
kerusakan atau kekacauan yang lebih parah lagi maka saya mau memperhatikan
orang lain dan mau membuat persetujuan. Rousseau 61, mengatakan bahwa
manusia akan hidup lebih bahagia dan harmonis kalau dibiarkan saja. Untuk
menyeimbangkan pertentangan, maka aku memperhatikan orang lain, tetapi
sebenarnya hal itu merugikan otonomiku yang bahagia.
2.1.5 Teori Yang Lebih Seimbang
a. Tradisi Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)
Tradisi ini mempertahankan bahwa manusia itu menurut hakikatnya bersifat sosial,
seluruhnya dan di dalam semua kegiatannya. Aristoteles mengatakan, anthropos:
zoon politikon, yang secara harafiah berarti manusia adalah makhluk sosial. Namun
secara lebih luas ungkapan Aristoteles itu dapat dirumuskan bahwa saya (hanya)
dapat menjadi makhluk pribadi hanya dalam hubungan dengan yang lain. 62
b. Eksistensialisme berpendapat bahwa “yang mendasar” adalah kebersamaanku
dengan yang lain. Pandangan dasar eksistensialisme adalah bahwa manusia adalah
makhluk yang mengada secara sadar bersama yang lain dalam dunia. 63 Aku dan
Yang Lain saling memberi arti dan nilai, dan saling mencipta.

2.2 Aku Diadakan Oleh Yang Lain


2.2.1 Aku Tidak Pernah Lepas Dari Yang Lain
‘Aku’ sebagai makhluk yang ‘mengada secara sadar di dalam dunia’ selalu
dihubungkan dengan ‘yang lain’. Ketika saya ‘mengalami’, ‘menyadari’ atau ‘mengerjakan
sesuatu, aku niscaya dihubungkan dengan yang lain di sekitarku. Juga ketika aku
memahami diri sendiri sebagai apa saja (entah sbg mahasiswa, dosen, penipu, pencuri,
dst…) saya selalu dan langsung dihubungkan dengan ‘yang lain’. 64 Sebagai makhluk yang
‘mengada secara sadar di dalam dunia, dengan cara apapun, saya tidak bisa melepaskan

61
dalam bukunya “Emile” (buku tentang pendidikan) Rousseau mengatakan, “biarkan tiap anak berkembang seperti
bunga di padang dan dia akan menemukan jati dirinya sendiri.” Dan dalam buku Kontrak Sosial Rousseau mengatakan
bahwa pertemuan kebutuhan antar individu yang aksidental sehingga menimbulkan adanya Kontrak Sosial.
62
Thomas Aquinas meneruskan ajaran Aristoteles, tetapi lalu mengkristenkannya.
63
to exist is to co-exist; Da Sein ist mit da Sein
64
kesadaran diri itu tidak pernah bersifat ‘solibsistis’ (=tertutup), dari kata solita,tis (L):
kesunyian, kesendirian, kesepian. Jadi kesadaran diri manusia itu selalu dihubungkan atau
terhubung dengan ‘yang lain’.
20
diri dari ‘yang lain’ secara mutlak. ‘Yang Lain’ itu mencakup manusia yang lain dan juga
makhluk atau benda-benda lain di sekitarnya.
Maka dunia-ku dapat dibedakan menjadi: pertama, dunia komunal yang terdiri
dari jaringan hubungan ‘aku’ dan ‘sesama’. Kedua, dunia instrumental yang terdiri dari
benda-benda dan alat-alat yang saya gunakan. 65 Tetapi, baik dunia kumunal maupun
dunia instrumental, semuanya bersifat sosial. Maka, ‘aku’ selalu berada di dalam situasi
tertentu, selalu merupakan bagian dari dunia tertentu. ‘Aku’ bisa saja mengundurkan diri
dari suatu dunia tertentu, tetapi seketika itu juga ‘aku’ ditampung oleh/berada di dalam
dunia yang lain.66
2.2.2 ‘Aku’ diartikan oleh ‘Yang Lain’
Pemahaman arti ‘diri-ku’ bergantung dari yang lain, apakah memahami diri sebagai
petani, pastor, mahasiswa, guru, dosen, katekis, teman, bupati, … saya hanya bisa
memahami diri saya karena saya mendapat kedudukan dan peranan tertentu dalam
hubungan sosial. Jadi, hanya karena mempunyai arti untuk ‘yang lain’, maka ‘aku’ dapat
memahami diri dan mengakui diri-ku; sejauh saya mengakui dan mengamini ‘yang lain’
dan menerima ‘yang lain’ itu menurut arti khusus keberadaannya, maka saya dapat meng-
akui diri-ku sendiri.
Kenyataan ini mengandung dua aspek, yaitu, pertama, secara negatif: saya
memahami jati diriku sebagai yang unik dan tertentu, karena saya membedakan diri dari
semua yang lain di sekitar-ku. Kedua, secara positif: isi pemahaman diri-ku turut
dipengaruhi dan ditentukan oleh yang lain. Tanpa ‘yang lain’, maka pemahaman
identitasku menjadi kabur dan kehilangan batas-batas yang jelas.
2.2.3 ‘Aku’ diadakan oleh ‘Yang Lain’
‘Aku’ bukan hanya diartikan oleh ‘Yang Lain’, tetapi secara lebih tegas bisa dikata-
kan bahwa ‘Aku’ diadakah oleh yang lain’. Arti-arti dan makna-makna menentukan ada-ku.
Jikalau ‘aku’ bukan mahasiswa, bukan pastor, bukan teman, bukan anak, bukan saudara,
dst … maka ‘aku’ tidak ada. Jadi kalau Aku bukan apa-apa maka ‘aku’ tidak ada.
Sebaliknya pula, pengakuan ‘yang lain’ itu memberikan ‘ada-ku’. Saya diakui sebagai
mahasiswa, diakui sebagai dosen, diakui sebagai anak, diakui sebagai saudara, diakui
sebagai pacar, diakui sebagai teman, dst… memberikan adaku sebagai mahasiswa, dosen,
anak, saudara, pacar, teman, dst…
Yang lain itu memberikan ada-ku secara positif dan negatif. Terhadap orang yang
menganggap aku bisa menyelesaikan masalah, saya adalah penolong. Terhadap orang
yang menganggap saya pemberani, saya adalah pemberani. Terhadap orang yang
mencurigaiku, saya adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Terhadap orang yang
membenci, saya adalah musuh, dst… Maka saya menerima ada-ku sebagai pemberian
orang lain itu bisa sebagai berkat atau kutukan, karunia atau hukuman.
Eksistensi-ku yang konkret saat ini, terbentuk melalui orang-tua-ku, saudara-
saudari-ku, pendidik-ku, musuh-ku, bahkan orang asing, dst… Mereka semua mengem-

65
Contohnya, ketika saya membaca buku, buku itu menghubungkan saya dengan penulisnya,
pengarangnya, penulis referensinya, pabrik kertasnya, percetakannya, took buku yang
menjual, kapal atau pesawat yang mengakutnya, dst..
66
Misalnya, ‘aku’ mengundurkan diri dari dunia mahasiswa, maka seketika itu juga ‘aku’ masuk
dalam dunia pekerja/ karyawan atau pengangguran, dll…
21
bangkan sesuatu dalam proses pembentukan diri-ku.67 Dengan mengakui ‘yang lain’ itu
sebagai yang otonom, ‘yang lain’ itu menciptakan ada-ku.

2.3 ‘Aku’ Mengadakan ‘Yang Lain’


2.3.1 ‘Yang Lain’ itu Dunia-ku Yang Tidak Lepas Dari ‘Aku’
Semua fenomena yang saya alami (nyata atau tidak nyata) selalu dihubungkan
dengan kesadaranku. Aku yang melihat, mendengar, mencinta, membenci, dst… semua
yang kualami itu lalu menjadi objek kesadaranku; dan saya bisa menyebut rumahku,
cintaku, saudaraku, bukuku, dst… Semua yang menarik perhatianku, memiliki arti dan
makna bagiku, adalah menjadi ‘yang lain’ bagiku, dan semuanya itu menjadi bagian dari
duniaku yang satu. Sebaliknya, semua yang tidak menarik perhatianku, tidak memiliki arti
dan makna apapun bagi saya, bukanlah menjadi ‘yang lain’ bagiku, dan tidak menjadi
bagian dari duniaku; karena itu semua itu adalah ‘tidak ada’ bagiku.
Bisa saja diajukan objeksi bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tidak saya alami
dan tidak saya kenal; dan sebelum saya ada, dunia ini sudah ada berjuta-juta tahun lalu.
Terhadap objeksi ini, kita balik bertanya, bukankah kesadaranku sendirilah yang mengata-
kan bahwa berjuta-juta tahun sebelum saya lahir planet bumi ini sudah ada. Jadi, hanya
sejauh saya sadari realitas itu menjadi bagian dari dunia-ku. Ketika saya
mempertimbangkan dunia yang mungkin lepas dari pengetahuan, pada saat itu saya
terhubung dengan sesuatu itu dan saya memberikannya tempat di antara ‘yang lain’, dan
karena itu ‘dia’ menjadi duniaku. ‘Yang lain’ itu selalu adalah ‘ yang lain’-untuk-saya dan
memiliki arti dan makna untuk saya. Fakta yang sungguh-sungguh ada bagiku adalah
yang memuat arti dan nilai bagiku. Jadi, duniaku adalah kompleks nilai dan arti di mana
aku mengada sebagai manusia. Maka, tanpa aku dunia tidak ada.68
2.3.2 ‘Yang Lain’ Menerima Arti Dari ‘Aku’
Ada anggapan bahwa kita harus menerima dunia secara objektif, yaitu menerima
dunia sebagaimana adanya, secara netral tanpa melibatkan diri/intervensi. Dan juga, sikap
yang dianggap paling objektif adalah sikap ilmiah. Akan tetapi, ilmu tidak pernah bersikap
netral terhadap realitas.69
Ilmu-ilmu eksakta (fisika, biologi, kimia, dll) yang biasa dianggap paling objektif,
justru membuat reduksi ganda: pertama, mereduksikan realitas menjadi objek, dan kedua,
mereduksi objek kepada quantifiability. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebenarnya
tidak pernah bersikap pasif atau netral saja terhadap realitas, melainkan secara aktif
memberi arti kepada dunianya.
Hanya sejauh saya memahami dan menilai diri saya sendiri, sejauh itu pula saya
mengenal, mengakui dan memahami ‘yang lain’. Kesadaran akan diri-ku sendiri menentu-
kan kesadaran akan yang lain. Maka, ‘yang lain’ merupakan proyeksi dari ‘aku’ (‘yang lain’
67
Marthin Heidegger mengatakan “Denken ist Danken” (berpikir berarti bersyukur atas
anugerah hidup dari karya orang lain).
68
M. Heidegger mengatakan, ‘Wenn kein Dasein existiert, ist keine Welt da” (tanpa manusia,
dunia tidak tampak); dan Einckelmans mengatakan, “The World exists in the measure in which
I have relations with it” (dunia ada dalam kesadaran jika saya berhubungan dengannya).
69
Pengetahuan ilmiah yang paling objektif pun hanyalah mengenai bahan atau materi yang
saya selidiki dan saya pahami sesuai dengan pertanyaan dan soal tertentu yang saya ajukan.
Setiap ilmu pengetahuan khusus merupakan cara melihat yang khusus.
22
itu hanya dapat saya sadari, saya akui, saya dekati sejauh saya menyadari dan mengakui
diri sebagai substansi tersendiri). Di sini, dunia-ku adalah hasil interpretasi-ku dan
merupakan sebuah hermeneutik dari pihak saya. Misalnya, saya memproyeksikan sikap-ku
kepada ‘yang lain’: jika aku bersifat keras dan tidak dapat dipercaya, maka orang lain
mengartikan kehadiranku (memberi aku identitas) sebagai orang yang keras dan
mencurigakan/tidak bisa dipercaya. 70
Aku-lah yang memberi arti kepada segala sesuatu, kepada duniaku, baik manusia
maupun makhluk dan benda lain. 71 Tidak ada dunia yang ‘umum’ atau ‘netral’ saja,
semuanya terpusat pada ‘aku’. Interese-ku dan perspektif-ku yang menentukan seperti
apa dunia yang saya temui. Aku-lah yang memberi arti kepada manusia lain sebagai
petani, pedagang, guru, saudara, kekasih, musuh, sahabat, … Begitu pula dunia
infrahuman menerima arti dari aku.
2.3.3 ‘Aku’ Mengadakan ‘Yang Lain’
Hubungan ‘aku’ dan ‘yang lain’ bersifat efektif, artinya ikut mencipta dan
membentuk adanya ‘yang lain’ itu. Tahap-tahapnya, sebagai berikut:
o Tahap Pertama, hal itu sudah tampak dalam pengalaman sederhana sehari-hari.
Dalam pertemuan dengan yang lain, ‘aku’ bukan sekedar penonton atau pengamat
yang netral, tetapi ‘aku’ turut mencipta. Aku menjadikan sebidang tanah menjadi
kebun/taman, sebongkah marmar menjadi sebuah patung indah – begitu pula
perjumpaanku dengan manusia lain, aku bisa menjadikan seseorang itu musuh atau
sahabat, dst… Jadi, sebetulnya, dalam pengamatan yang paling sederhana pun
sudah mempengaruhi adanya ‘yang lain’, sebab hanya ‘aku-lah’ yang memberi
afirmasi tentang adanya semua ‘yang lain’ dalam ada-ku.
o Hubungan efektif itu berlaku pula dalam ilmu pengetahuan; juga dalam ilmu-ilmu
dengan pretense untuk mencapai objektivitas paling murni sekalipun. Heisenberg
(seorang ahli ilmu alam) mengatakan bahwa pengukuran dan observasi yang paling
hati-hati sekali pun tidak dapat mencegah pengaruh fisis dan kimiawi dari pihak
penyelidik terhadap objek.
o Tanpa ‘aku’ tidak ada ‘yang lain’. ‘Yang lain’ itu tergantung dari ‘aku’ menurut
adanya yang konkret. Mereka memiliki identitas berkat pengalaman yang saya
berikan kepadanya. Andaikata ‘aku’ tidak ada, maka seluruh dunia-ku pun tidak
ada. Kalau ini benar, maka tiap-tiap kita mempunyai tanggung jawab yang serius

70
Proyeksi juga merupakan fenomena yang terkenal dalam psikologi klinis. Seorang yang
bersifat agresif biasanya justru mengeluh bahwa dia selalu merasa diburu atau dikejar oleh
orang lain. Orang yang bersikap angkuh/sombong justru menampakkan diri kecil dan bersikap
mengalah tetapi menuduh orang lain bersikap sombong terhadap dia. Maka, orang dapat
mengetahui siapa dirinya, jikalau dia mau mengumpulkan penilaian-penilaian dia sendiri
tentang orang lain.
71
Air misalnya, memiliki arti yang berbeda-beda menurut situasi setiap orang (pembersih,
pemuas dahaga, mala-petaka, penyelamat, dll…). Hutan bisa memiliki makna berbeda-beda
bagi setiap orang (bagi tourist, seniman, tukang kayu, petani, pegawai kehutanan, dll…).
Pertemuan dengan orang lain, bisa memberi makna berbeda-beda sesuai situasi orang (bagi
residivis, bagi pengantin baru, bagi orang yang tersesat, dll…). Afeksi seseorang juga
menentukan arti dan makna kehadiran ‘yang lain’ (sedang gembira atau sedih, bosan atau
menarik, dll).
23
terhadap sesama maupun lingkungan alam di sekitar kita .72 Tanggung jawab
yang saya lakukan itu tidak pernah akan terulang sampai keabadian.

2.4 Korelasi
2.4.1 Hubungan Timbal-balik
Sepintas kelihatannya kedua arah refleksi kita sampai saat ini bertentangan. Dari
satu pihak, semua ‘yang lain’ menerima ‘arti’ dan ‘adanya’ dari AKU; dan dari lain pihak,
AKU diberi ‘arti’ dan ‘diadakan’ oleh semua ‘yang lain’. Bagaimanakah hubungan antara
keduanya itu ?
a. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ bersifat equiprimordial. Jadi, ‘aku’ dan ‘yang lain’ sama-sama
asli / sama-sama original, dan yang satu tidak bisa direduksikan kepada yang lain.
Keberadaan ‘aku’ dan ‘yang lain’ selalu dilihat dalam saling-hubungan/korelasi. ‘Aku’
mustahil tanpa ‘yang lain’, dan ‘yang lain’ pun tidak pernah bisa lepas dari aku.
b. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling memberi arti:
 Dalam pengalaman sederhana sehari-hari, ‘aku’ dan ‘yang lain’ saling memberi
arti secara langsung. Misal: suami-istri, guru-murid, dokter-pasien, orangtua-
anak, dst… Yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. 73
 Dalam bidang pengetahuan, hubungan timbal-balik itu dapat ditunjukkan
melalui struktur kesadaran yang bersifat noetis – noematis. 74
 Pada tahap eksistensial, terdapat 3 (tiga) pola dasar dalam tahap hubungan
‘aku’ dengan ‘yang lain’ (entah sebagai manusia atau sbg makluk bukan
manusia dan benda/barang). Tiga pola dasar tersebut adalah: Subjek-Objek,
Predikat-Predikat, dan Subjek-Subjek:
i. Hubungan Subjek – Objek:
J. P. Satre mengatakan bahwa benci/kebencian adalah dasar dan sentral
dalam hubungan dasar manusia.75 Sedangkan cinta adalah siasat licik untuk
menjerat orang lain. Maka yang terjadi adalah ‘aku’ pada dasarnya selalu
berusaha untuk mengobjek-kan ‘yang lain’. Dalam pola ini, sadar atau tidak
sadar, saya lebih dahulu mengakui bahwa ‘yang lain’ itu adalah objek. 76
72
Alam di sini tidak dimaknai sebagai objek atau keterangan tempat, tetapi ALAM SEBAGAI
KONDISI EKSISTENSIA
73
Kesadaran akan kenyataan eksistensial itu, maka muncul petuah bijak yang mengatakan,
“memberilah dengan rendah hati, karena orang lain itu menjadi kondisi sehingga anda bisa
memberi.” Kesempatan berahmat itu tidak pernah akan terulang kembali sampai kapan pun.
74
Noetis-Noematis berasal dari kata noeoo (G): berpikir, mengetahui dan noema (G): objek
atau isi pemahaman. Noetis adalah pemahaman sebagai kegiatan subjek, dan Noematis adalah
objek yang menampakkan diri terhadap kesadaranku. Maka, setiap pengetahuan adalah
sekaligus merupakan ‘pewahyuan’ dari pihak ‘yang lain’, dan ‘pengertian’ dari pihak ‘aku’.
75
Namun refleksi yang lain mengatakan bahwa benci adalah cinta yang terbalik/buntu. Maka
dalam kondisi ini, benci itu tidak bersifat esensial (mendasar). Benci berarti ‘aku’ tidak
membiarkan ‘yang lain’ itu masuk dalam dunia-ku sebagai subjek. Maka dalam kondisi ini,
benci berarti ‘aku’ tidak membiarkan dia (‘yang lain’) berkembang.
76
Dalam hubungan dengan ‘yang lain’ sebagai manusia, Jean Paul Satre mengatakan, “l’enfer
c’est les austres” (orang lain adalah neraka bagiku); dan menggambarkan hubungan dengan
‘yang lain’ sebagai barang, Satre mengatakan bahwa saya ketika memiliki banyak barang,
maka sebenarnya banyak barang itulah yang memiliki saya… yang membuat saya sangat
24
ii. Hubungan Predikat – Predikat:
Predikat adalah gelar/sebutan berdasarkan fungsi tertentu. Hubungan
predikatif sama dengan hubungan fungsional. Pola hubungan ini perlu, tetapi
tidak cukup, sebab gelar itu hanyalah sesuatu yang diberikan dari luar, dan
bukan/belum masuk dalam inti tentang diri dan hubungan yang lebih
mendalam. Jika hubungan sampai pada tahap ini saja, maka hubungan itu
menjadi dangkal, dan orangnya menjadi kesepian.
iii. Hubungan Subjek – Subjek
Jenis hubungan ini adalah yang paling mendasar dan paling ideal. Prinsip
dasar hubungan intersubjektif ini adalah ‘aku’ mengakui ‘yang lain’ sebagai
subjek seperti ‘aku’.77 Dalam bahasa sederhananya, hubungan intersubjektif
ini adalah CINTA.
c. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling mengadakan
Manusia menjadi dirinya yang sangat pribadi ketika dia berhubungan secara intensif
dengan ‘yang lain’. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ merupakan co-creator dalam proses
perwujudan diri. Dalam hubungan yang otentik dan kreatif, ‘aku’ menjadi ‘aku’, dan
‘yang lain’ menjadi ‘yang lain’, di dalam satu korelasi yang sama. Contohnya, ‘saya’
hanya menjadi benar-benar guru karena ada mahasiswa. Saya menjadi seorang
Bapak karena ada anak.78
2.4.2 ‘Aku’ dan ‘yang lain’ saling mengukur
a. Keseimbangan ‘aku’ dan ‘yang lain’
Hubungan timbal-balik ‘aku’ dan ‘yang lain’ menyentuh sampai ke akar eksistensi
manusia. Tidak cukup kita hanya mengatakan bahwa ‘aku’ dan ‘yang lain’ saling
mengartikan dan saling mengadakan. Perlu ditambakan bahwa ada keseimbangan
radikal antara ‘aku’ dengan ‘yang lain’, yakni ‘aku’ menyadari diri sejauh ‘aku’
menyadari ‘yang lain’, dan sebaliknya juga, ‘aku’ hanya diakui ‘yang lain’ sejauh dia
menyadari diri dan sejauh ‘aku’ mengakui dia. Ukurannya tepat sama secara mutlak
– tantum quantum79- aku ada sejauh yang lain itu ada . Maka, sejauh mana saya
merugikan orang lain, sekian jauh juga saya dirugikan; dan, sejauh mana saya
menguntungkan orang lain, sekian jauh juga saya diuntungkan. Jadi, ‘aku’ dan
‘yang lain’ adalah sama realitasnya, sama luasnya, sama padatnya, hanya
perspektifnya berbeda untuk masing-masing substansi.
b. Tantum quantum hanya berlaku dalam korelasi dengan ‘yang lain’ seluruhnya
sebagai fakta induk. Keseimbangan mutlak tidak berlaku dalam korelasi ‘aku’
dengan ‘benda’ atau ‘makhluk’ tertentu secara partikular. Bukan sikap, perhatian,
pengakuan dan penilaian satu dari ‘yang lain’ saja menentukan adaku secara
terikat dengan barang-barang itu.
77
Gabriel Marcell mengatakan, “kehadiran orang lain adalah rahmat bagiku”.
78
Secara lebih jauh dari segi eksistensial dapat dikatakan saya hanya menjadi guru yang
otentik dan kreatif (guru yang sungguh-sungguh) pada saat menjadikan mahasiswaku mampu
berpikir cerdas, kreatif dan mandiri. Saya menjadi seorang Bapak yang otentik dan kreatif,
bukan dalam pengertian dan peran biologis, tetapi ketika saya sebagai Bapak berusaha
menjadikan/membentuk diri anak saya sampai dia mampu menemukan jati dirinya sendri. Atau
sederhananya kita menyebut TANGGUNG JAWAB
79
tantum quantum berarti sekian jauh seperti… atau sama banyak seperti…
25
lengkap. Sifat hubungan itu hanya berlaku secara mutlak kalau kita menilai
hubungan ‘yang lain’ dengan ‘aku’ secara keseluruhan 80; dan ‘yang lain’ itu sebagai
keseluruhan dan secara bersama-sama.
c. Relasi Sekunder
Dalam relasi ‘aku’ dan ‘yang lain’ itu, selain sebagai fakta induk (keseluruhan),
terdapat juga relasi khusus, partikular, yang disebut relasi sekunder. Dalam relasi
sekunder, terdapat macam-macam hubungan dan tingkatan, ada yang dangkal, ada
yang mendalam; baik dalam hubungan ‘aku’ dengan sesama, maupun dalam
hubungan ‘aku’ dengan benda-benda lain atau makhluk lain (infrahuman). Misalnya
hubungan ‘aku’ dengan saudara, teman, pacar, istri, suami, guru, dll.. atau dengan
meja, pohon kaktus, ayam, dst… Dalam relasi khusus itu, saya hanya memahami
relasi pada taraf itu. Relasi ini bisa tidak seimbang, tetapi bisa juga tidak
seimbang.81
Relasi sekunder tidak secara mutlak menentukan adaku dan yang lain, karena saya
juga memiliki relasi-relasi khusus yang lain lagi. Namun, setiap hubungan khusus
itu dilihat lagi dalam keseluruhan relasi-ku. Mungkin saja ada satu atau beberapa
relasi khusus atau konkret yang tidak saya akui, atau saya tolak. Namun setiap
relasi konkret atau relasi sekunder itu secara bersama-sama mewujudkan relasi
induk: keseluruhan. Maka setiap relasi sekunder perlu dipandang dalam
keseluruhan relasi dengan yang lain.
2.4.3 Sifat Absolut dan Relatif Dalam Relasi82
a. Dalam korelasi ‘yang absolut’ dan ‘yang relatif’ saling memuat
Dalam pengertian sehari-hari, ‘yang absolut’ dan ‘yang relatif’ biasanya diperten-
tangkan. Tetapi dalam refleksi filosofis tentang manusia, kita menemukan kenyata-
an paradoksal,83 sebagai berikut: di satu pihak, saya menemukan faktum primum
bahwa kenyataan adanya aku saat ini tidak bisa dibantah (bersifat absolut), namun
di pihak lain, pada saat yang sama, adanya aku itu bersifat relatif, karena hanya
bisa dipikirkan dan direalisasikan dalam hubungan dengan ‘yang lain’. Kenyataan
paradoksal itu berarti bahwa pada manusia, apa ‘yang absolut’ dan apa ‘yang
relatif’ bersifat saling memuat. Relasi tidak menjadi ancaman bagi otonomi
manusia, tetapi sebaliknya otonomi itu terbentuk dan terbangun dalam relasi.
Secara konkret hal itu berarti, semakin intensif hubungan ‘aku’ dengan ‘yang lain’
pada tingkat eksistensial, semakin ‘aku’ menjadi ‘aku’ dan ‘yang lain’ menjadi
dirinya sendiri.84
80
mengapa keseluruhan, karena ‘aku’ secara keseluruhan ditentukan oleh ‘yang lain’.
81
Misalnya dalam “cinta yang bertepuk sebelah tangan…”
82
Absolut berasal dari kata absolutus (L): sesuatu yang bersifat terlepas dari unsur yang lain,
bersifat sempurna (dari kata ab: melepas dan solvere: membuka, solutus: lepas, bebas, tidak
terikat, berdiri sendiri, ). Relatif berasal dari kata relatio (L): membawa kembali, memberi
kembali (dari kata: re: kembali, dan latio: membawa, memberi)
83
Paradoks berasal dari kata paradoxa (L): ucapan yang ajaib (tidak lazim).
84
contoh hal ini misalnya dalam hubungan cinta. Cinta yang sejati berarti menjadikan yang lain
sebagai yang lain. Menurut Erich Fromm, CINTA itu berarti kenal, hormat dan care. Kenal
secara mendalam/personal, hormat yang lain sebagai yang lain, dan care (memelihara, prihatin
dan memperhatikan). Cinta yang sejati tidak pernah bersifat posesif (memiliki sebagai benda).
Sikap posesif (secara psikologis) termanifestasi dalam bentuk sadism dan masokisme.
Sadisme: menggunkan orang lain sebagai objek untuk menyenangkan saya (tega menyakiti,
26
b. Substansi Yang Terbuka
Sudah diutarakan di atas bahwa ‘aku’ adalah substansi dengan catatan kritisnya. 85
Setelah berbicara tentang korelasi maka kita merumuskan bahwa ‘aku’ adalah
substansi yang terbuka, sebab ‘aku’ mengada dalam relasi yang sangat kompleks.
Keterbukaan adalah ciri utama ‘eksistensi-ku’. Jadi, ‘aku’ dengan ‘yang lain’
merupakan jaringan relasi-relasi. Relasi-relasi kompleks inilah yang membentuk
duniaku sebagai lingkungan alam sekitar (Um-welt) maupun sebagai lingkungan
hubungan manusiawi (mit-welt dan Mitsein). 86 Tetapi baik hubunganku dengan
alam sekitar maupun dengan manusia, semuanya tercipta untuk dibaharui terus-
menerus.
c. Identik dan Disting
‘Aku’ dan ‘yang lain’ masing-masing berdiri sendiri dan berbeda, tetapi toh secara
niscaya berkorelasi. Jika diambil secara menyeluruh, dapat dikatakan: ‘aku’, jika
diambil secara lengkap, dan ‘yang lain’, kalau diambil dengan semua implikasi-nya,
maka ‘aku’ dan ‘yang lain’ adalah dua kutub dari realitas yang sama. Atau d/l, ‘aku’
dan ‘yang lain’ identik secara riil dan disting secara riil pula. Jadi, sejauh ‘aku’ dan
‘yang lain’ identik, sejauh itu pula ‘aku’ dan ‘yang lain’ disting; semakin ‘aku’ dan
‘yang lain’ identik, semakin berbeda (disting) pula keduanya.
d. Di luar dan di dalam
Bila kita berbicara tentang manusia, maka sebenarnya hampir tidak bisa dibedakan
antara dunia dalam dan dunia luar. Luar dan dalam pada manusia bukanlah prinsip
fisis-geometris. Pada manusia, yang paling dalam adalah hati nurani-ku dan
pikiran-ku. Tetapi hari nurani dan pikiran itu dibentuk dari luar. Lalu, apa itu
dalam ? Sebaliknya pula, kenyataan di luar mendapat arti dan adanya dari ‘aku’.
Lalu, apa itu luar ? Satu-satunya arti antropologis-filosofis yang bisa diterima
adalah: yang dimaksudkan dengan dalam adalah ‘aku’ sebagai subjek; sedangkan
yang dimak-sudkan sebagai luar adalah ‘yang lain’ sejauh diterima sebagai ‘yang
lain’.
e. ‘Aku’ dan ‘Fungsi-ku’
Di depan kita sudah melihat bahwa ‘aku’ dan ‘yang lain’ adalah jaringan relasi.
Maka di sini, kita mengatakan bahwa jaringan relasi itu bersifat fungsional. Kita
perlu membedakan 2 (dua) macam fungsi:
Pertama adalah fungsi induk/fungsi eksistensial: korelasi ‘aku’ dan ‘yang lain’ dalam
suatu jaringan yang bersifat efektif. Kedua adalah fungsi sekunder: korelasi ‘aku’
melukai, menyiksa, dst). Masokisme: saya menjadikan diri objek untuk kesenangan orang lain
(rela disakiti, dilukai, disiksa, dst…) Filsafat Cinta dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Erich
Fromm: The Art of Loving dan To Be and To Having
85
antara lain, bahwa substansi yang otonom itu tidak tertutup pada dirinya sendiri, tetapi
sekaligus imanen dan transenden: menyatu dengan membedakan diri dari yang lain, sekaligus
membuka dan menyatukan diri dengan yang lain.
86
(Cfr. penjelasan tentang exist is to co-exist). Dari satu pihak ‘aku’ selalu di-dalam-dunia, yang
kuterima sebagai faktisitas, atau yang oleh C. Jaspers disebut geworfen (‘aku’ terlekat dan
menemukan diri di dalam situasi), dan di pihak lain, ‘aku’ juga memberikan perspektif sendiri
tentang ‘yang lain’ (melalui pergaulan, pengalaman, dll. Menerima dirinya dari ‘yang lain’
sebagai rahmat (cfr. G. Marcell) adalah suatu kerendahan hati antropologis, sebaliknya
kesombongan menghalangi manusia untuk keterbukaan dirinya dan merupakan prinsip bagi
destruksi diri sendiri.
27
dan ‘yang lain’ dalam jabatan, tugas/peranan khusus yang dijalankan dalam hidup
sehari-hari, seperti sebagai mahasiswa, dosen, polisi, petani, sopir, tukang, dll…
Pada tingkat eksistensial, ‘aku’ identik dengan fungsi-ku. Pada tingkat sekunder,
aku disting dengan fungsi-ku. Namun, fungsi induk selalu merincikan diri dalam
fungsi sekunder, dan sebaliknya, fungsi sekunder mendapat maknanya dalam
fungsi induk.
f. Sosialitas bukanlah kekurangan, melainkan suatu kondisi eksistensial
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial 87. Sosialitas/
korelasi bukanlah kekurangan, tetapi merupakan kemungkinan satu-satunya bagi
‘aku’ untuk mewujudkan diri sebagai manusia. Hanya dengan keluar kepada ‘yang
lain’, ‘aku’ menemukan jati diriku yang otentik. 88

2.5 Kesimpulan
‘Aku dan ‘Yang Lain’ berotonomi di dalam relasi dan berkorelasi di dalam otonomi.
Atau dengan ungkapan yang lebih radikal, ‘aku’ dan ‘yang lain’ identik di dalam distingsi
dan disting di dalam identitas.

2.6 Catatan / Penjelasan Tambahan


a. Substansi : suatu kenyataan yang tertentu, utuh dan otonom
b. Esensi : unsur-unsur yang bersama-sama mewujudkan inti suatu species
kenyataan. Misal: esensi manusia: unsur-unsur yang mewujudkan
species manusia.
c. Kodrat : inti yang tetap dari suatu kenyataan dalam keadaannya yang asli,
tanpa bergantung dari pilihn bebas manusia.
d. Hakekat : dalam bahasa Indonesia kata ini sering dipakai mencakup kodrat
dan esensi, atau juga menunjuk salah satunya.

87
Dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, kata sosial sering dipakai untuk pengertian
baik, berkorban, jujur, terbuka, dll. Namun arti sebenarnya kata sosial adalah ‘melibatkan yang
lain’. Jadi istilah sosial itu adalah menjelaskan struktur hakiki yang netral saja, tanpa terikat
pada penghayatan baik atau jahat. Namun berdasarkan pengertian structural-netral tersebut,
kejahatan bersifat sosial karena melibatkan ‘yang lain’, dan penyakit pun bersifat sosial karena
mempengaruhi yang lain. Jadi, manusia di dalam kebaikan dan keburukannya secara hakiki
bersifat sosial.
88
Dalam kaitan dengan ini, Narcisisme selalu bersifat destruktif. Narcisisme: cinta diri
berlebihan. Narcisisme berasal dari mitologi Yunani tentang Narcisus: seorang pemuda yang
dikutuk menjadi buaya (=tidak berkembang)
28
BAB III
HISTORISITAS MANUSIA
Persoalan : Pertanyaan Pokok dalam pembahasan ini adalah manusia itu tetap
sama atau berubah ? Kalau berubah, ia berubah secara
substansial atau aksidental ? Dan bagaimanakah perubahan itu
terjadi ? Atau singkatnya, masalah kita adalah Historisitas Manusia.

3.1. Beberapa Pandangan


3.1.1 Pandangan yang menolak adanya perkembangan
a. Monisme Klasik: Parmenides dan Zeno (cfr.)
b. Essensialisme Metafisi:
Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu sama sekali tidak berubah menurut
esensinya. Perubahan itu bersifat semu atau paling-paling sangat aksidental.
3.1.2 Pandangan yang melihat perubahan sebagai sesuatu yang kurang sempurna
a. Fatalisme89 dalam pandangan Yunani Purba
Perubahan dalam hidup manusia dan dalam alam semesta ini adalah fatum (takdir)
yang ditentukan secara sewenang-wenang oleh para dewata. 90
b. Pandangan Skolastik dan Neo Skolastik:
Perubahan atau gerak adalah peralihan antara dua titik/situasi. 91 Pandangan
Skolastik menganggap gerak sebagai sesuatu yang tidak sempurna. Yang
sempurna adalah sesuatu yang tetap/keabadian. Aplikasi sederhana dari
pandangan ini adalah dogma sebagai rumusan iman yang tetap/statis.
c. Empirisme Inggris:

89
Fatalisme berasal dari kata fatum yang berarti nasib/takdir.
90
bdk. mitos tentang Oedipus
91
Perubahan adalah peralihan dari terminus a quo (titik tolak) kepada terminus ad quem (titik
akhir/tujuan).
29
Aliran ini mengakui adanya perubahan, tetapi perubahan itu tanpa kesatuan
intrinsik. Perubahan dilihat sebagai deretan kesan-kesan (impresi) satu di samping
yang lain, yang secara kebetulan dihubungkan oleh asosiasi. 92
d. Historisisme:
Aliran ini berpendapat bahwa tidak ada nilai dan norma yang tetap dalam sejarah.
Semuanya bersifat relatif menurut zaman.
e. Eksistensialisme J.P. Satre:
Semua nilai dan arti hanyalah konstruksi manusia belaka, tanpa fundamen yang
jelas. Satre mengatakan bahwa hidup manusia itu ibarat sumur tanpa dasar. Jadi
hidup itu absurd.93

3.1.3 Pandangan yang melihat perubahan seagai perkembangan intrinsik yang terarah
a. Pandangan Siklis:
Pandangan ini berpendapat bahwa sejarah ini berulang terus-menerus dalam siklus
yang tetap.94
b. Pandangan Linear:
Menurut pandangan ini, sejarah tidak pernah berulang, melainkan berkembang
terus-menerus menurut arah tertentu 95… Beberapa padangan yang termasuk
dalam pandangan linear ini adalah…
1) Kaum Deterministik :
a) Aliran Partikularistik: setiap makhluk sudah mempunyai arah
perkembangan tertentu dalam dirinya. 96
b) Aliran Holistik : menekankan perkembangan alam secara menyeluruh. 97
2) Kaum Evolutif :
a) Humanisme: aliran ini sangat percaya akan kemampuan manusia – bahwa
manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam sejarah dengan bantuan/
kemampuan rationya.98
b) Henry Bergson: menurut Bergson, semesta alam ini berkembang secara
kreatif terus-menerus. Dan kekuatan dasar yang menggerakkan seluruh
proses itu namanya l’elan vital (semangat/daya hidup).
c) Theilhard de Chardin: mengajarkan teori evolusi semesta, yang bergerak
dari titik Alpha ke titik Omega. Tuhan mulai dengan 1 titik awal dan Tuhan
menaruh seluruh tenaga kreatif di dalam titik mula itu untuk bergerak
92
Pandangan ini menyangkal adanya kesinambungan (contiuous/continuity) dan berpendapat
bahwa yang ada hanyalah contiguous/contiguity (deretan kesan).
93
Manusia menemukan diri sebagai faktisitas yang bertugas (aufgabe), untuk selalu
menciptakan diri secara baru. Dalam kesadaran diri itu, manusia tidak mendasarkan diri sama
sekali pada sesuatu yang lampau, karena setiap kali semuanya harus dipersoalkan lagi dan
dipertanggungjawabkan lagi. Satre menekankan akhir yang tragis dari kreativitas itu, yakni
berakhir dalam ‘ketiadaan’ (absurditas).
94
Bdk. Paradigma “Pra-Modern – Modern – Post Modern” dalam Filsafat. Pandang Siklis terdapat
dalam hampir seluruh pandangan tradisional dunia Timur (konsmologi dunia Timur).
Pandangan Siklis ini juga mendasari pandangan reinkarnasi (lahir kembali) dan karma pada
beberapa agama dan kepercayaan Timur.
95
Kitab Suci mengikuti pandangan linear (mulai dengan penciptaan pada awal mula dalam
Kitab Kejadian dan berakhir dengan penciptaan baru dalam Kitab Wahyu).
96
Termasuk di sini adalah pandangan Rousseu dan Sigmund Freud
97
bdk. pandangan idealisme Hegel dan pandangan materialisme.
98
Humanisme berkembang sangat pesat sampai masa PD II.
30
mencapai titik akhir: yakni pada saat Kristus menyempurnakan seluruh
ciptaan.99

3.2 Analisis Statis: Tiga Unsur Struktural Waktu


3.2.1 ‘Sekarang’
Aku menyadari diri dalam otonomi dan korelasi dengan yang lain. 100 Kesadaran itu
bersifat sekarang, actual, hic et nunc (sini-kini). Di luar yang sekarang ini, tidak ada yang
mempunyai realitas.
Aku selalu hidup hanya di dalam ‘sekarang ini’. ‘Sekarang’ tidak mempunyai
ketebalan apa pun dan tidak bisa diparuh/dibagi. ‘Sekarang’ seolah-olah merupakan batas
yang sangat tipis antara yang lalu dan yang akan datang. Walaupun demikian tipisnya,
sekarang ini tidak kosong. Muatannya ialah ‘aku dan yang lain’ sebagai fakta induk dalam
kesatuan dengan semua fakta sekunder. Sekarang-ku bersifat tertentu dan sangat pribadi.
Yang dimaksudkan bukanlah saat matematis, melainkan muatan atau isinya.101
3.2.2 ‘Masa Lampau’
Aku mengalami sekaran-ku sebagai faktisitas 102. Saya mengalami sekarang-ku
sebagai warisan yang tak dapat ditolak. Semua aspek konkret dalam diriku, semua
fenomena, saya terima sebagai hasil dari satu proses panjang. Misalnya, alat-alat yang
saya gunakan (buku, kursi, meja, pakaian, …) semua saya terima dan saya pelajari. Begitu
pun bahasa dan seluruh kebudayaan. Semua itu saya terima sebagai hasil perjumpaan
dan pergumulan dengan yang lain. Sekarang-ku merupakan pemuncakkan dan kristalisasi
seluruh masa lampauku.
Sebagai faktisitas, ada-ku seolah-olah terlempar ke tengah-tengah saat ini dan aku
hanya bisa menerimanya tanpa bisa memilih.
Jadi, masa lampau adalah adaku yang konkret dilihat sebagai warisan.
3.2.3 ‘Masa Depan’
Warisan/faktisitas tadi bukanlah nasib yang buta, bukan pula salah satu arah yang
fatal. Diriku yang sekarang ini, saya alami sekaligus sebagai keterbukaan dengan banyak
kemungkinan baru.
Masa depan adalah adaku yang konkret saat ini dilihat sebagai sebuah janji atau
sebagai sebuah proyek103 yang masih harus saya laksanakan. Semua proyek konkret
seperti pembangunan rumah, jalan, studi, skripsi, dll… hanyalah satu pengejawantahan
dari satu proyek dasar : perwujudan diriku sebagai janji itu.
99
de Chardin adalah seorang Filsuf yang adalah juga seorang imam katolik, dia berusaha
menjelaskan secara filosofis seluruh perkembangan semesta alam, yang dimulai oleh Allah
pada awal mula dan berakhir dalam Allah sebagai tujuan akhir seluruh ciptaan.
100
bdk. pembahasan bab II
101
Bergson membagi dua macam waktu: tempt (=tempus): waktu matematis dan durēe
(kelangsungan): waktu yang dihayati. Misalnya: ketika kita gembira, bahagia waktu terasa
cepat berlalu; tetapi jika mengalami black-out waktu ujian atau ketika sdg menunggu
seseorang waktu terasa lama.
102
Faktisitas adalah keterberian/warisan yang diberikan begitu saja. Faktisitas hanya berlaku
untuk manusia. Istilah ini pertama kali dipakai oleh Heidegger.
103
Heidegger menggunakan istilah adaku sebagai proyek. Proyek dari kata projicere (pro: ke
depan + iecere: melempar): melempar ke depan.
31
3.2.4 Hubungan antara Ketiga Unsur Struktural Waktu
a. Seratus Persen Sudah dan Belum
Unsur sudah dan belum diketemukan sekaligus dalam adaku sekarang. Manusia
pada saat yang sama adalah ‘ gabe’ dan ‘aufgabe’ (pemberian dan tugas)104,
jawaban dan pertanyaan, penyelesaian dan proyek, titik akhir dan titik pangkal.
Sekarang-ku seluruhnya mewujudkan hasil dan janji, fakta dan harapan. Sekarang-
ku seratus persen menutup dan mengumpulkan masa lampau, dan sekaligus
seratus persen terbuka kepada perwujudan diriku di masa depan.
b. Masa Lampau dan Sekarang
Sekarang-ku tidak lain merupakan kulminasi masa lampau-ku. Apa yang telah saya
alami dan yang telah mengendap dalam diriku, itulah yang menjadi masa
lampauku. Yang tidak mengendap bukanlah masa lampau-ku. Maka yang
terpenting bukanlah kejadian de facto, melainkan kejadian yang di-interiorisasi-
kan105. Dalam pengertian ini, aku sekarang tidak mempunyai masa lampau,
melainkan aku adalah masa lampau-ku (sebagai identitasku).
c. Masa Depan dan Sekarang
Masa depanku bukanlah sesuatu yang melayang-layang di udara, bukan pula suatu
ruang kosong yang harus diisi. Masa depan itu hanya real sejauh berlandaskan
ada-ku yang konkret saat ini. Dan merupakan janji/proyek yang harus
dilaksanakan.
Proyek mana saja tentang diriku dalam hubungan dengan yang lain, sudah
termuat sebagai benih di dalam sekarangku. Yang di luar itu bukanlah masa
depan-ku. Maka, aku bukan sekedar memiliki masa depan-ku, melainkan aku
adalah masa depan-ku sendiri.106
d. Ketiga Unsur Saling Menentukan
Oleh karena masa lampau dan masa depan bersatu di dalam sekarang, maka
ketiga-nya saling menentukan satu sama lain. Masa lampau adalah warisan yang
memberi landasan diri-ku saat ini, masa depan adalah janji/proyek yang membuka
kemungkinan baru, dan sekarang adalah inisiatif yang membaharui masa lampau
dan merealisasikan masa depan.107
e. Sekarang – Masa Lampau – Masa Depan: sama luasnya
Dari kedua kutub (masa lampau dan masa depan) tidak ada yang lebih luas atau
lebih sempit. Keduanya sama luas/identik dengan ‘sekarang’ ini. 108 Di sini, masa
depan dan masa lampau manusia tidak (boleh) lagi dipikirkan sebagai garis
geometris, melainkan sebagai isi pengalaman hidup yang membentuk pengalaman
hidup manusia. Dalam arti inilah, masa depan dan masa lampau sama luasnya.
Makin kecil masa lampu-ku makin kecil pula masa depan-ku, dan sebaliknya.

104
Manusia adalah Gabe dan Aufgabe. Sebagai Gabe (sebagai pemberian) manusia adalah
yang sudah selesai, sebagai Aufgabe (sebagai tugas) menusia adalah yang belum selesai.
105
kejadian yang diingat dan mempengaruhi (membentuk ada-ku saat ini).
106
Masa depan-ku adalah ada-ku yang konkret saat ini sejauh dapat direalisasikan, sejauh dia
terbuka
107
Masa lampau adalah seluruh pengaruh pengalaman, pendidikan, kebudayaan, dll.
Sedangkan masa depan adalah suatu kemungkinan baru.
108
yang dimaksudkan di sini bukan jangka waktu atau jarak geometri, tetapi isi/muatan
32
3.3 Dinamik Sekarang
3.3.1 Apakah yang terjadi bila saya mendapat pengalaman baru:
Jika pengalaman baru itu di-beku-kan, maka kita akan menemukan dua aspek: di
satu pihak, saya menemukan diriku seagai fakta induk, dan semua fakta sekunder aktual
yang sudah saya miliki, dan di pihak lain, muncullah pengalaman baru itu (misal: saya
sakit, jatuh, lulus ujian, dapat teman baru, dll). Pengalaman baru itu seolah-olah
ditambahkan saja pada fakta induk yang sudah ada.
3.3.2 Kesatuan Dinamis
Dipandang secara dinamis, apapun yang terjadi selalu merupakan perkembangan
yang utuh dari diriku yang sekarang ini.
a. Masa Lampau :
Fakta sekunder baru tidak hanya merupakan tambahan aksidental dari luar, tetapi
sekaligus seluruhnya mengalir ke luar dari aku. Dalam korelasi dengan yang lain,
peristiwa sekunder baru itu dirancang/dipersiapkan oleh aku sendiri. Seluruh
substasnsi subyek itulah yang melandasinya.
b. Masa Depan
Ketika mengalami fenomena (pengalaman) baru, ada-ku sekarang ini seolah-olah
diproyeksikan ke depan meresapi fenomena baru itu dan mengidentifikasikan diri
dengan fenomena baru itu.
c. Sekarang
Ketika akan menerima dan menginteriorisasi pengalaman baru, maka ada-ku yang
konkret saat ini berkembang menjadi semakin kaya dan tertentu. Aku
mengekspresikan diri secara baru. Fenomena baru yang mengendap itu tidak
pernah akan hilang lagi. Ia menentukan identitasku selanjutnya.
3.3.3 Substansi Berkembang
Bila kita mengatakan bahwa ‘aku’ mendapat pengalaman baru, maka sebenarnya
pengalaman baru itu tidak hanya merupakan satu peristiwa yang terlepas/sendirian.
Peristiwa baru itu bersama dengan fakta sekunder lain membentuk ‘aku fenomenal’ 109
yang baru. Maka yang berkembang dalam setiap pengalaman baru adalah:
aku sebagai fakta induk sekarang, dengan semua fakta sekunder yang sudah
mengendap (masa lampau-ku) sampai sekarang, sejauh menjadi konkret dalam semua
fakta sekunder yang aktual, di dalam dan melalui aku fenomenal yang baru.
3.3.4 Hubungan Fakta Induk dan Fakta Sekunder dirumuskan secara baru
Telah dijelaskan di depan bahwa fakta induk merincikan diri dalam fakta sekunder,
dan semua fakta sekunder menyeluruhkan diri di dalam fakta induk. Setelah melihat
dinamika subjek, kita harus mengatakan bahwa fakta induk seluruhnya diprogram kembali
dengan adanya fakta sekunder baru.
3.3.5 Dinamika Masa Lampau dan Masa Depan

109
Aku fenomenal adalah aku yang tampak dalam konteks, peristiwa tertentu. Misalnya, aku
yang bermain, aku yang berdoa, aku yang belajar, aku yang bekerja, dst… Dalam satu
peristiwa/konteks tertentu, aku bisa lain sama sekali jika dibandingkan dengan aku dalam
peristiwa/konteks yang lain. Misalnya, aku di lapangan bola sebagai ‘yang bermain kasar’,
tetapi aku juga dikenal sebagai ‘yang tekun/khusyuk berdoa’.
33
Oleh karena masa lampau dan masa depan identik dengan adaku sekarang yang
konkret, maka keduanya pun berkembang secara dinamis.
a. Masa Lampau
Pada umumnya orang menganggap bahwa masa lampau adalah sesuatu yang
sudah selesai dan tetap, sedangkan masa depan adalah sesuatu yang penuh
kemungkinan. Masa lampau tampaknya seperti garis yang seolah-olah semakin
panjang. Namun yang menjadi persoalan kita bukanlah waktu dalam artian fisis-
matematis, melainkan waktu eksistensial, yakni, makna pengalaman hidup yang
sudah mengendap dalam diriku sekarang ini. Semua arti pengalaman masa
lampau dapat ditinjau dan ditafsir kembali. 110 Maka dalam pengertian ini, masa
lampau-ku bersifat dinamis.
b. Masa Depan
Masa depan sebagai janji dan proyek konkret juga terus-menerus ditinjau dan
dirumuskan kembali. Masa depan dirumuskan kembali menurut pengalaman
konkret saat ini. Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, ‘bagaimana saya
secara kreatif merumuskan masa depan saya’.
c. Hubungan Masa Depan – Masa Lampau
Dalam dinamikanya, masa depan dan masa lampau berhubungan erat. Keduanya
saling menentukan. Masa lampau menyiapkan dasar untuk masa depan. Masa
depan memaksa saya untuk meninjau kembali masa lampau. Namun keduanya
sama luasnya dan sama padatnya, karena identik dengan adaku sekarang ini.

3.4 Manusia Makhluk Menyejarah


3.4.1 Manusia Berkembang Terus-Menerus
Manusia merupakan dinamika yang berkembang terus-menerus. Tidak henti-
hentinya saya memberikan jawaban terhadap diri dan terhadap orang lain, sambil meng-
ajukan pertanyaan-pertanyaan baru. Setiap jawaban/proyek yang selesai menimbulkan
pertanyaan dan proyek yang baru pula. Dalam seluruh proses itu, aku mengejar identitas /
jati diriku. Aku tidak pernah selesai. Dan pada saat selesai, aku bukan manusia lagi. To be
is to become…111
3.4.2 Tetap Sama dan Baru
a. Sama dan Baru
Dalam seluruh perkembangan manusia itu seluruhnya tetap sama dan sekaligus
baru. Manusia mengalami perkembangan substansial. Yang dimaksudkan bukanlah
mutatio substantialis (substansi itu diganti oleh substansi lain), melainkan bahwa
substansi yang sama itu terus diperbaharui dari dalam. 112

110
Misal: penilaianku terhadap masa mudaku sekarang dan sepuluh tahun lalu berbeda. Ada
hal yang sama dipandang secara berbeda, diangkat dalam perspektif yang berbeda dan lebih
luas. Pengalaman-pengalaman itu tidak ada yang hilang, namun juga tidak terulang.
Interpretasi kembali ini disebut sebagai hermeneutik konkret dan hidup.
111
Manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai. Man is imperfect being in imperfect
tense
112
bdk. pendapat J.P. Sartre: he is not what he is (dia bukan apa adanya), but he is what he is
not (dia adalah apa adanya bukan dia). Dalam pemahaman ini, walaupun substansi itu
diperbaharui dan berubah seluruhnya, namun substansi itu tetap sama, yaitu AKU sendiri.
34
b. Kontinu dan Diskontinu
Perkembangan itu kontinu, karena menyangkut pribadi/subjek yang sama. Namun
juga diskontinu, karena selalu ada aspek yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Perkembangan menjamin kontinuitas dalam semua fakta sekunder yang aku miliki
sampai saat ini, namun perkembangan itu sekaligus juga mengandung unsur-unsur
baru dari pengalaman baru tidak tidak terdapat sebagai fakta sekunder
sebelumnya. Namun, baik kontinuitas fakta sekunder yang sudah ada, maupun
fakta sekunder baru sebagai diskontinuitas, semuanya menyatu dalam satu fakta
induk yakni AKU yang dinamis.

3.4.3 Irreversibilitas113 Perkembangan Manusia


a. Perkembangan itu Terus Memuncak
Hidup manusia ditandai irreversibilitas, sebuah proses yang terus-menerus
memuncak dan tidak bisa diputar kembali. Herakleitos sudah mengibaratkannya
dengan sungai yang mengalir ke hilir tanpa mengarah kembali.
Dalam perkembangan itu, ada-ku sekarang merupakan yang konkret. Masa lampau-
ku menjadi aktual di dalam puncak sekarang. Namun puncak itu sendiri dalam
proses memuncak: aku bukan mendaki sebuah lereng gunung menuju ke puncak
gunung, melainkan aku sendiri menjadi gunung yang mempertinggi puncaknya.
Arah dari pemuncakan itu adalah mengkonkretkan janji dan proyek dalam
hubungan korelasi aku dan yang lain.
b. Perkembagan itu Tahap demi Tahap
Dinamika itu berlangsung tahap demi tahap. Tidak mungkin ada jalan pintas
menuju kedewasaan/perwujudan eksistensi manusia. Setiap peristiwa, setiap
perkembangan khusus memiliki tempatnya di dalam keseluruhan perkembangan.
Setiap perkembangan itu mempunyai saat-saat mencapai kematangannya sendiri. 114
c. Perkembangan itu ‘up and down’
Dalam pengalaman harian, kita mengalami ‘up and down’ (pasang-surut), sukses &
gagal, dst… Apakah ini bertentangan dengan irreversibilitas ? Kita mesti membeda-
kan: sebagai fakta induk: AKU mengalami perkembangan irreversibilitas; sedangkan
pengalaman up and down hanyalah berhubungan dengan nilai dangkal atau
dalamnya sebuah pengalaman sekunder. Tetapi semua pengalaman sekunder
senantiasa menambah perkembangan fakta induk.
d. Perkembangan itu Mengalami Integrasi dan Disintegrasi
Perkembangan pribadi dalam sejarah bukanlah sekedar penumpukkan bahan
pengalaman, melainkan sintesis dari semua unsur itu. Sintesis lama bisa mengalami
disintegrasi karena munculnya unsur-unsur baru. Disintegrasi itu bisa dialami

113
Irreversibilitas: tidak bisa diputar kembali (dari kata: versus: balik/lawan, reversus:
membalikkan/melawankan kembali, irreversus: tidak bisa membalikkan/melawankan kembali).
114
Begitupun dengan pengalaman atau pertemuan yang terjadi sekarang dan bukan lebih
dahulu atau kemudian, akan menentukan seluruh kelanjutan dan cara mengintegrasinya di
dalam keseluruhan, sesuai dengan saatnya.
35
sebagai suatu krisis.115 Namun setiap krisis merupakan tahap peralihan menuju
suatu integrasi baru.

3.5 Sejarah dan Manusia


Sejarah bisa dimengerti sebagai historia 116 atau ilmu sejarah, yakni, ilmu yang
meneliti peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau serta dampaknya untuk masa
kini. Tetapi sejarah juga bisa dimengerti sebagai historisitas, yakni, dinamika eksistensi
manusia yang berkembang dari masa lampau melalui masa kini menuju masa depan.
Setiap penyelidikan historia hanya mungkin karena ada historisitas, yang mencirikan
manusia sebagai makhluk yang menyejarah. Tidak ada sejarah di luar atau di samping
manusia.
3.5.1 Manusia sebagai Gembala Tradisi dan Nabi Masa Depan
Manusia sebagai sejarah konkret saat ini mengandung seluruh tradisi dan seluruh
modernisasi / perkembangan yang mungkin. Kita adalah ahliwaris yang mengandung
seluruh karya generasi-generasi sebelumnya. Namun semua warisan itu baru menjadi real
kalau kita menerima dan memeliharanya. Tak seorang manusia pun hidup tanpa tradisi. 117
Dari segi ini kita dapat mengatakan bahwa manusia adalah gembala tradisi. Sebab tidak
ada tradisi yang hidup di luar manusia konkret yang meneruskannya. Seseorang yang
paling revolusioner sekalipun harus berakar dalam tradisi. 118
Di lain pihak, apa yang kita lakukan saat ini sudah merupakan suatu antisipasi masa
depan. Perkembangan generasi-generasi yang akan datang, tergantung pada apa yang
kita laksanakan pada saat ini. Orang paling tradisional sekali pun, mau tidak mau terbuka
ke masa depan dan menjadi pembaharu. Dari segi ini, manusia tidak hanya sebagai
gembala tradisi, tetapi sekaligus nabi untuk masa depan.
Maka muncul prinsip di sini adalah semakin aku melaksanakan pembaharuan yang
benar, semakin aku setia kepada tradisi. Dan, semakin aku setia kepada tradisi yang
benar, semakin aku menjadi pembaharu yang sejati. 119
3.5.2 Ketegangan Yang Normal Antar Generasi
Kaum muda memberontak terhadap orang tua dan pendidiknya. Mereka melawan
apa yang dikatakan/dikerjakan. Tahap pemberontakan itu merupakan fase yang perlu
untuk mengatasi sintesis awal sebagai anak, dan membantu dia untuk merumuskan
identitas dirinya sendiri.
Pada umumnya, angkatan muda dibagi berdasarkan kurun waktu, misalnya
angkatan ‘45, angkatan ‘66, angkatan ‘77 angkatan ‘98, dst. Namun, pembagian generasi
yang lebih tepat sebenarnya bukan berdasarkan kurun waktu, tetapi berdasarkan pada

115
krisis dari kata krinoo (G): memutus
116
historia selalu merupakan konstruksi manusia.
117
dari kata tradere (L): memberikan untuk dipelihara – traditio (L: riwayat/ajaran turun-
temurun). Jadi tradisi adalah suatu estafet kebudayaan
118
Tradisi memiliki dua proses untuk terbentuknya tradisi sejati, yakni: sedimentasi dan
inovasi. Keduanya saling berkaitan dan tidak terpisahkan satu dari yang lain.
119
Bdk. dengan pembaharuan yang dilakukan dalam KV II yang bertolak dari kesetiaan pada
Tradisi Suci.
36
sikap hidup. Sehingga ada orang yang hidup di tempat dan periode yang sama dan umur
yang sama, bisa termasuk generasi yang berbeda.
3.5.3 Tradisionalisme dan Revolusi
Revolusi dan tradisionalisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
Revolusi terjadi kalau mula-mula dinamika sejarah manusia mau dibekukan dan
dipertahankan se-statis mungkin. Aku membekukan daya cipta-ku, dunia dan masyarakat-
ku, dan berusaha menghentikan semua perkembangan. Inilah tradisionalisme. Akibadnya,
dinamika dalam diri dan dalam masyarakat terus-menerus ditahan, sampai akhirnya tidak
terbendung lagi. Dan akhirnya terjadi des-integrasi dan perubahan besar-besaran. Inilah
revolusi.
Sepintas tampaknya revolusi dan tradisionalisme sama sekali bertentangan. Tatapi
dilihat dari nilai perkembangan manusia, keduanya sama jeleknya, sebab satu ekstrim
diganti dengan ekstrim yang lain. Dalam bidang politik itu berarti represi diganti dengan
represi, dictator diganti dengan dictator, tetapi dampak negatifnya tetap sama. Hanya jika
manusia mengatasi kedua ekstrem itu barulah tradisi dan pembaharuan sejati dapat
dilaksanakan.

3.6 Sejarah dan Harapan


3.6.1 Sikap Tertutup dan Kecemasan Dalam Sejarah
Terhadap pertanyaan, tantangan dan perubahan dalam sejarah, orang bisa saja
bersikap terbuka atau sebaliknya bersikap tertutup.
Sikap tertutup terutama karena rasa cemas. Cemas karena nilai-nilai yang sudah
established (mapan) dipertanyakan lagi. Orang cemas karena nilai-nilai lama yang menjadi
rumah rohani tempat ia tinggal harus dibongkar-pasang kembali. Orang merasa takut
terhadap tantangan-tangan baru, petualangan baru dengan segala risikonya. Takut dan
cemas akan kekaburan masa depan.
Historisitas ini mudah sekali dipandang sebagai ketidaksempurnaan, sesuatu yang
disesali dan hanya membuat susah; bahkan karena itu, sesuatu yang harus ditindas dan
dijauhkan sedapat mungkin.120 Maka banyak orang lebih memilih kepastian daripada
pengembaraan untuk mencari kebenaran.
3.6.2 Menerima Kondisi Manusia Sebagai Homo Viator
Historisitas manusia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas,
tetapi sekaligus terbuka ke arah penyempurnaan. Maka manusia terus-menerus harus
bergulat dengan perkembangan dan pembaharuan dirinya. Historisitas adalah kondisi
manusiawi yang harus diterima dengan hati terbuka dan rendah hati. 121
Kita hanyalah homo viator yang masih berziarah mencari kesempurnaan. 122
3.6.3 Harapan
Apabila kita menerima kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang
menyejarah, maka perkembangan itu sendiri tidak lagi diartikan secara negatif, meskipun
dampak negatifnya akan selalu ada. Historisitas bukanlah kekurangan atau rintangan,
120
Di sini dapat kita pahami jika dorongan orang muda sering kali dituduh hanya merupakan
keinginan mendapat sensasi, sekedar mode belaka bahkan dianggap godaan dan bahaya.
121
Bdk. Iman Biblis: iman pengembara yang berjalan dalam sejarah (Abraham – Ishak – Yakub)
122
Homo Viator: manusia peziarah (istilah yang dipakai oleh Gabriel Marcell).
37
melainkan kondisi manusia satu-satunya untuk mencapai penyempurnaan dirinya.
Dorongan dasariah yang membuat manusia terus-menerus maju adalah harapan. Harapan
memberikan keberanian, optimism dan antusiasme. Manusia adalah makhluk yang hidup
dari harapan.123

3.7 Kesimpulan
Refleksi tentang manusia sebagai fakta induk kini diperluas lagi. Aku sebagai
substansi dan subjek dalam korelasi dengan yang lain adalah makhluk yang menyejarah.
Masa lampau adalah adaku yang konkret sebagai warisan, masa depan adalah aku yang
sama dilihat sebagai kemungkinan/janji/proyek, dan masa kini adalah inisiatif yang
membaharui masa lampau dan merealisasikan masa depan. Dorongan dasar yang
menggerakan dinamika manusia dalam sejarah adalah HARAPAN…

123
Ungkapan J. Moltman (sebenarnya ungkapan dari gurunya: Ernst Bloch) dalam bukunya
Theology of Hope.
38

Anda mungkin juga menyukai