Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Filsafat "Philosophia"

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan
bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia”
dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.

Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari
bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa
dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari
kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.

Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan


pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran
kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan
muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang
meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat
bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat
yang sebenarnya.

Beberapa arti filsafat menurut para ahli:


Aristoteles ( (384 - 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan
asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas
penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.

Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all
the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )

Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-


ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang
atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu
mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.

Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak


menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang
sama, yang memikul sekaliannya .
B.   CIRI-CIRI BERFIKIR FILSAFAT
Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir.
Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan
bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir.

Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional, maka
siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir
biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh.
Oleh karena itu ada beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan.

1. Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari
kata Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya
adalah berfikir sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang
dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap
pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.

2. Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang
hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf
adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam
kenyataan.

3. Berfikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan
tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang
dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang
psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu”?

4. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah
berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir
secara runtut.

5. Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah,


para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat.
Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung
maksud dan tujuan tertentu.

6. Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk


menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.

7. Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural


ataupun religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati,
atau anarkhi, sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan
tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri.
Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.

8. Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama


adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan
untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah
bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada
orang lain serta dipertanggungjawabkan.

C.   METODE BERFIKIR FILSAFAT


1.      AKSIOLOGI

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu
sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan
Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan
faust yang menciptakan Goethe.”

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa
semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan
ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang
telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran
perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan
oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan
agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat
dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik
yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama
tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.

Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi
yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam
petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang
lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?)

2.      EPISTEMOLOGI

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang


pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh
pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba
untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang
sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita
meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada
kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan
bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-
bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang
tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat
mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan

a. Empirisme

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara


memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme
Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis
catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh
dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima


hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-
objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian
itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-
hal yang factual.

b. Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan


karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-
paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang


pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang
alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan
tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian.
Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-
bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan
dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah,
paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman
yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan
bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh
penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik
pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang


biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya
dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di
peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi
sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa
yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak
pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah
yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

3.      ONTOLOGI

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

1. Objek Formal

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas
akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau
hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya
dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan
diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam
bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai
upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari
mental.

2. Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :


abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik
menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi
metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi
dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.

Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)

Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)

Jadi, badan itu fana’ (S-P)


Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik
sebagai berikut:

Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)

Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)

Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di


berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan

D.   20 MANFAAT BELAJAR FILSAFAT BAGI KEHIDUPAN

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terbagi dalam dua kata yakni dari kata ‘philo’
yang artinya ‘cinta’, serta ‘sophos’ yang artinya hikmah atau ilmu. Apabila kedua kata
ini digabungkan, arti dari filsafat adalah cinta akan ilmu atau hikmah. Ada juga
pendapat lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata philosophia yang
memiliki arti cinta pada kebijaksanaan atau cinta akan kebenaran.

Seiring dengan perkembangan kehidupan dan perkembangan dari ilmu pengetahuan


itu sendiri, pengertian dari ilmu filsafat pun juga ikut berkembang. Ada yang
berpendapat bahwa filsafat adalah pekerjaan yang muncul dari pemikiran, ada yang
mengartikan filsafat sebagai konsep dasar guna mengenal kehidupan sebagaimana
yang dicita-citakan, dan sebagainya.

Manfaat Belajar Filsafat

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali manfaat belajar filsafat yang bisa dipetik,
beberapa diantaranya adalah:

1. Filsafat akan mengajarkan untuk melihat segala sesuatu secara multi dimensi – Ilmu
ini akan membantu kita untuk menilai dan memahami segala sesuatu tidak hanya dari
permukaannya saja, dan tidak hanya dari sesuatu yang terlihat oleh mata saja, tapi jauh
lebih dalam dan lebih luas. Dengan kata lain,
2. Filsafat mengajarkan kepada kita untuk mengerti tentang diri sendiri dan dunia –
Manfaat belajar filsafat akan membantu memahami diri dan sekeliling dengan
pertanyaan-pertanyaan mendasar.

3. Filsafat mengasah hati dan pikiran untuk lebih kritis terhadap fenomena yang
berkembang – Hal ini akan membuat kita tidak begitu saja menerima segala sesuatu
tanpa terlebih dahulu mengetahui maksud dari pemberian yang kita terima.

4. Filsafat dapat mengasah kemampuan kita dalam melakukan penalaran – Penalaran


ini akan membedakan argumen, menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis,
melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas dan berbeda.

5. Belajar dari para filsuf lewat karya-karya besar mereka – Kita akan semakin tahu
betapa besarnya filsafat dalam mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, karya seni, pemerintahan, serta bidang-bidang yang lain.

6. Filsafat akan membuka cakrawala berpikir yang baru – Ide-ide yang lebih kreatif
dalam memecahkan setiap persoalan, lewat penalaran secara logis, tindakan dan
pemikiran yang koheren, juga penilaian argumen dan asumsi secara kritis.

sponsored links

7. Filsafat membantu kita untuk dapat berpikir dengan lebih rasional – Membangun
cara berpikir yang luas dan mendalam, dengan integral dan koheren, serta dengan
sistematis, metodis, kritis, analitis, dan logis.

8. Filsafat akan mengkondisikan akal untuk berpikir secara radikal – Membuat kita


berpikir hingga mendasar, sehingga kita akan lebih sadar terhadap keberadaan diri
kita.

9. Filsafat membawa keterlibatan dalam memecahkan berbagai macam persoalan –


Persoalan baik yang terjadi pada diri sendiri maupun orang lain, akan
membuat kehidupan kita tidak dangkal, namun kaya akan warna.

10. Memiliki pandangan yang luas – Manfaat belajar filsafat dalam hal ini, akan
mengurangi kecenderungan sifat egoisme dan egosentrisme.

11. filsafat membantu menjadi diri sendiri – Lewat cara berpikir yang sistematis,
holistik dan radikal yang diajarkan tanpa terpengaruh oleh pendapat dan pandangan
umum.

12. Filsafat akan membangun landasan berpikir – Komponen utama baik bagi
kehidupan pribadi terutama dalam hal etika, maupun bagi berbagai macam ilmu
pengetahuan yang kita pelajari.
13. Filsafat dengan sifatnya sebagai pembebas – Manfaat belajar filsafat akan
mendobrak pola pikir yang terbelenggu tradisi, mistis, dan dogma yang menjadi
penjara bagi pikiran manusia.

14. Filsafat akan membuat kita dapat membedakan persoalan – Terutama berbagai
persoalan ilmiah dengan persoalan yang tidak ilmiah.

15. Filsafat dapat menjadi landasan historis-filosofis – Dalam hal ini, berasal dari
berbagai macam kajian disiplin ilmu yang kita tekuni.

16. Filsafat dapat memberikan nilai dan orientasi pada semua disiplin ilmu – Filsafat
memberikan petunjuk lewat penelitian penalaran serta metode pemikiran reflektif,
sehingga kita dapat menyelaraskan antara pengalaman, rasio, agama serta logika.

17. Filsafat dapat dijadikan alat untuk mencari kebenaran – Memberikan pandangan
serta pengertian mengenai hidup

18. Filsafat dapat dijadikan sebagai pedoman – Berguna sebagai sumber inspirasi bagi
kehidupan.

19. Filsafat mengajarkan kepada kita tentang etika dan moral – Pembelajaran moral
dan etika ini, dapat diimplementasikan secara langsung dalam kehidupan.

20. Filsafat dapat membangun semangat toleransi – Menjaga keharmonisan hidup di


tengah perbedaan pandangan atau pluralitas.

Anda mungkin juga menyukai