Anda di halaman 1dari 5

A.

Pendahuluan
B. Pembahasan
a. Mother Sciencetarium
Filsafat bukanlah hal yang awam untuk dibicarakan, karena setiap hari manusia itu tidak
terlepas dari berpikir dan berfilsafat. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang belum kita tahu. 
Sewaktu melihat sesuatu yang belum atau jarang dilihat, maka langsung terbersit suatu
pertanyaan dalam pikiran kita. Misalnya, saat seseorang  melihat pemandangan yang indah, maka
muncul pertanyaan dalam pikirannya, “Bagaimana Tuhan menciptakan pemandangan yang indah
seperti ini? Untuk apa Tuhan membuat pemandangan seperti ini?" dan lain sebagainya. 
Semua ini adalah awal dari berpikir filsafat, yang bermula dari pertanyaan-pertanyaan,
karena filsafat itu adalah pemahaman tentang cinta kebijaksanaan, cinta terhadap apa yang telah
diciptakan dan tidak sekedar melihat dan mengagumi saja, tapi juga mempelajari dan menghayati
makna yang terkandung dari sebuah kekaguman atau permasalahan. 
Pada akhirnya inti dari semua itu adalah milik Allah semata yang diciptakan hanya untuk
makhluk-Nya dan agar mereka mengingat serta mengetahui kekuasaan-Nya yang tiada tara.

1. Sejarah asal kata filsafat


Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau
philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan
hikmah, atau berarti. Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah
(Arab), philosophie (Prancis, Belanda dan Jerman), serta philosophy (Inggris). 
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap
awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak
semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. 
Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan
refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan
itu harus persoalan filsafat.

2. Filsafat adalah ibu dari semua ilmu


Objek material dari filsafat bersifat umum didasarkan pada kenyataan yang terjadi
di kehidupan sehari-hari, sedangkan untuk ilmu-ilmu khusus membutuhkan objek khusus
pula.  Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Berawal dari munculnya filsafat kemudian ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari
filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu
(mother scientiarum).
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan ternyata terdapat kecenderungan lain yang menyebutkan bahwa filsafat Yunani
kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian terpecah-pecah.
Hal itu dapat terlihat dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang
sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang
juga mengalami spesialisasi.  
3. Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa
fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga
sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
nteraksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak
dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik
tanpa kritik dari filsafat.
Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman, bahwa ilmu sains
persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati
sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan
filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya
tidak salah. 
Demikian pemaparan tentang filosofi sebagai induk atau ibu dari berbagai ilmu
secara ringkas. Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik.

b. Filsafat Masa Yunani Kuno (di Miletos)

Setidaknya mari kita telaah berbagai pemikiran dan distorsi atau bahkan resultan dari
telaah pemikiran (Filsafat) dan Hati ini, sejak suatu jaman terkenal, yaitu jaman Yunani Sofisme
Kuno yang terkenal dengan Filsafat Relativisme (Pluralis) Sofistik Yunani Kuno pra-Masehinya
yang paling menonjol dari masa itu selain Filsafat Atomis Yunani. Kata ”Sofia” itu sendiri
berarti ”berpikir” dalam bahasa Latin Yunani ini. Permulaan pemilihan masa telaah ini juga
sesuai dengan pembagian telaah jaman yang umum saat ini (sesuai pembagiannya oleh bangsa
Barat yang mendominasi ilmu-pengetahuan saat ini).
Masa Yunani Kuno ini antara lain bertokohkan Filsuf Thales (624-546 SM),
Anaximander, Parmanides, Gorgias, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemeus, Galen,
Hipocrates, Euclides, dsb. Masa ini kemudian juga menjadi salah satu inspirasi Renaissance
Barat berabad-abad kemudian setelah Masa Abad Pertengahan (Medieval), dalam melawan
kebodohan masa Abad Pertengahan. Walaupun sudah jamak pula kebiasaan orang dalam berpikir
kritis di masa Yunani Kuno ini, namun secara umum inti dari pemikiranpemikiran Filsafat
Sofistik Yunani Kuno mereka adalah ”relativitas pemikiran”, atau yang disebut juga sebagai,
Filsafat Relativisme (Pluralis). Filsafat Relativisme (Pluralisme) ini, adalah paham yang
berdasarkan pemikiran dasar bahwa "Kebenaran itu sesungguhnya (adalah) relatif”. Maka
karenanya pula, ”seluruh versi kebenaran dapat saja menjadi benar”, yang dalam hal ini bahkan
masih pula bergantung kepada pemikiran, perasaan, hawa nafsu, dan lain-lain, dari para
pemikirnya; manusia, tentu saja.
Dan di beberapa Abad kemudian, khususnya di masa kini di Abad XXI Masehi ini, ini
juga menjadi salah satu inspirasi dasar gerakan Pluralisme. Termasuk juga dalam Pluralisme
Agama bahwa semua agama itu benar, semua agama mengajak ke Surga, semua versi Tuhan
adalah benar, maka Tuhan dapat dicapai melalui agama manapun, karena kebenaran itu
sebenarnya relatif. Juga Liberalisme, dengan prinsip kebebasan berpikirnya yang berlebihan
(apdahl kemampuan berpikir manusia itu terbatas terutama karena hanya berdasarkan apa yang
masuk ke alam pemikirannya saja) termasuk dalam aneka eksperimennya, yang didengung-
dengungkan kaum Liberalis, Sekuleris, Pluralis, Spiritualis, Fremasonry, dan sebagainya, entah
untuk apa. Kemungkinan menelaah dan menggunakan alam semesta dengan menggunakan akal
yang ternyata terbatas kemampuannya itu, menjadi menarik, bagi kaum ini, dan mereka
menggunakannya untuk memahami segala hal.
Sementara Pluralisme Budaya adalah sangat patut didukung (asalkan tak bertentangan
dengan syariat dari Allah Tuhan Semesta Alam) dan adalah fitrahi (alami), konsekuensi wajar
dari sunnatullah dan karenanya juga adalah adanya berbagai suku-bangsa, namun beberapa
pendapat dari kaum ini antara lain mengatakan bahwa Agama itu (hanya) adalah produk budaya,
alias buatan (pemikiran dan fantasi hawa nafsu) manusia (dan Setan), karenanya semua agama
itu relatif kebenarannya dan bahkan semua agama itu (dapat saja) benar, alias Pluralisme
(kebenaran) Agama.
Hal terakhir ini adalah satu hal yang sangat tak perlu didukung, apalagi diamalkan, bagi
muslim. Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sebab dari Filsafat, adalah pemikiran akan alam
semesta, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Maka, misalnya yang terkenal, dalam hal ini,
adalah perdebatan di antara mereka sendiri, kaum pemikir-filsuf di masa Yunani Kuno itu,
tentang apa sesungguhnya isi dari alam semesta, yang notabene lebih didasarkan kepada
sangkaan dan pemikiran menurut mereka secara ‘bebas’ (dengan kata lain juga, lebih-kurang,
adalah dengan ‘liar’), tanpa banyak mengindahkan petunjuk aturan dari Tuhan. Kiranya ini juga
dapat telah terjadi karena tak cukup ada ilmu-pengetahuan di masanya, sebagai pembanding-
penguji kebenarannya, maka pemikiran dapat menjadi liar, rusak, dan merusak. Dan manusia
serta lingkungannya pun tak pelak turut menjadi rusak. Kebijaksanaan, atau hikmah, tentu saja,
diperlukan dalam menyaringnya. Dan Agama di masa ini, adalah Agama yang mempercayai
banyak tuhan, alias Politeisme, dengan aneka Dewanya. Masa sebelum (Pra) Sokrates Ras atau
bangsa Yunani merupakan bangsa yang dikenal sejarah kini sebagai yang termasuk yang pertama
kali berusaha menggunakan akal secara luas untuk berpikir, selain berbagai bangsa (di wilayah)
lain. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi
berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani
sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Sedangkan Livingstone
berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka
dari agama dan politik secara bersamaan. Perlu pula diingat bahwa Mesir, Mesopotamia, Persia,
Cina dan India, adalah juga berbagai pusat peradaban besar dunia di jaman Kuno, bersama
Yunani, yang dikenal manusia sekarang, dengan tidak mengesampingkan kemunginan pusat
peradaban lain yang disebutkan dalam legenda (yang belum dapat dibuktikan) tentang Atlantis.
Hal kebebasan berpikir ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM),
yang menyatakan atau mengklaim bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat
rasional.
Klaim atau argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani.
Demikian juga Phytagoras (572-500 SM) yang belum murni rasional. Sekte atau Ordonya yang
mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos (mengenai
biji kacang itu).
Ada tiga filsuf dari kota Miletos di masa Pra Socrates ini yaitu Thales, Anaximander
(Anaximandros) dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan
kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam.
Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-
perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air,
Anaximander berpendapat “To apeiron” atau yang tak terbatas, sedangkan Anaximenes
menunjuk ke udara.
c. Louis O. Katssof Filsafat Tidak membuat Roti

Filsafat tidak membuat roti. Itu ungkapan Louise O. Kattsoff. Ungkapan itu
menunjukkan batas-batas operasi filsafat. Secara teknis, filsafat tidak, dan tidak akan sanggup
mengajari orang cara membuat roti. Ia tidak memahami bahan-bahan dasar membuat roti. Ia juga
tidak memahami tahapan membuat roti. Tetapi filsafat mendasari alasan mengapa manusia
membuat roti. Alasan-alasan apa yang dipilih untuk menghidangkan roti dan bukan nasi,
merupakan dunia dimana filsafat “dapat” bekerja.
Ada perbedaan paling mendasar antara filsafat yang dikenal di abad 22 dan filsafat yang
dikenal pada periode 400 tahun sebelum Kristus lahir. Di masa kini, orang mempelajari filsafat
sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Spesialisasi, telah membawa
ilmu pengetahuan pada cabang-cabang “takdir”-nya. Sejarah, fisika, kedokteran, atom, politik,
sosiologi, tehnik, juga agama, diprasyaratkan memiliki specialisasi dalam menentukan batas-
batasnya. Spesialisasi dalam bidang ilmu ditunjukan oleh bangun ilmu atau “body of
knowledge”.
Pada masa 2000 tahun silam, kondisinya berbeda. Filsafat adalah pengetahuan utama
manusia. Dalam filsafat, orang belajar ilmu ukur, ilmu bumi, etika, juga logika. Secara garis
besar, filsafat pada masa itu terbagi atas dua bagian besar. Filsafat alam dan etika. Dalam filsafat
alam orang belajar tentang semua hal yang mendasari alam semesta. Dalam etika orang belajar
tindakan-tindakan yang layak, yang baik, dan yang bermakna.
Platon dan Aristoteles adalah filsuf yang mendasarkan diri pada “ilmu-ilmu khusus”,
sebelum melangkah pada pendefinisian umum tentang negara, tentang moral, atau tentang cara
manusia memperoleh pengetahuan. Filsuf-filsuf Miletos, para pemikir awal, seperti Thales,
Anaximendros, dan Anaximenes adalah pemikir-pemikir alam. Sementara Socrates lebih
menyibukan diri pada hal-hal yang etis.
Hampir dapat dikatakan bahwa filsafat adalah bunda dari semua ilmu pengetahuan.
Percabangan ilmu pengetahuan baru terjadi di Eropa pada abad ke-17, ketika semangat
pencerahan menyala. Sebelum abad 17, semua pemikir adalah filsuf. Berbeda dengan masa kini,
filsuf adalah seorang teoritisi.
Bertrand Russell menulis, diantara dua kutub, ilmu pengetahuan dan agama, filsafat
berdiri ditengahnya. Filsafat nyaris berperan sebagai pendamai pada dua kubu yang saling
berperang. Walau kadang, nampak bahwa filsafat ikut terlibat dalam perang itu. Tetapi dalam
banyak hal, filsafat memang menahan tubrukan langsung antara keduanya. Jika diingat,
memasuki milenium baru, di tahun 2000, para ilmuan di Perancis telah berhasil mengembangkan
teknologi kloning. Para teolog, entah terlibat, entah tidak, dihadapkan pada fakta, bahwa manusia
kini “dapat menciptakan manusia”. Ada “area” Ilahi yang dimasuki oleh manusia. Para pemilik
teknologi sekarang mendekati orang-orang Babilonia pada kisah kitab Genesis. Mereka dapat
membangun menara menuju tempat dimana Tuhan bersemayan.
Filsafat, sama sekali tidak dapat melangkah sejauh teori-teori dan praktek genetika.
Filsafat hanya dapat bertahan pada serangkaian pertanyaan: “apakah dasar etis manusia
menciptakan manusia?” Atau, “apakah wujud manusia yang gagal dalam proses kloning secara
etis layak dimusnahkan?”
Filsafat, sekali lagi, tidak membuat roti. Tetapi filsafat mendasari alasan manusia
membuat roti. Dari sisi kelahirannya, filsafat jauh lebih tua dari agama-agama mayoritas dunia
saat ini. Meski terkadang, banyak yang berpikir, Tuhan tidak memiliki tanganNya dalam filsafat.
Benar adanya, bahwa filsafat adalah hasil pikiran manusia. Tetapi pikiran bukanlah otak
mekanis. Pikiran adalah sesuatu yang melampui (beyond) manusia. Otak mekanis dapat
diciptakan melalui proses kloning. Para ahli biologi dapat menerangkan dengan baik bagaimana
otak terbentuk, berapa jumlah sel di dalamnya, dan bagaimana meningkatkan kinerja otak. Tetapi
mereka tidak bicara tentang pikiran. Pikiran adalah dunia di atas manusia. Dunia yang
melaluinya manusia dapat melihat dirinya dari luar. Hanya dengan pikiran, manusia menyadari
siapa dirinya, dan menyadari keterbatasannya.
Filsafat, bukan sesuatu yang rumit, meski kesan mekanis tidak dapat dihapus darinya.
Pemikiran spekulatif filsafat juga terkadang mengesankan arogansi bagi semua yang
menempelkan stigma alergi padanya. Senyatanya, filsafat mengasyikan. Ia dimulai dari
pertanyaan yang sederhana. Semisal, apa harapan saya di tahun yang baru?

Anda mungkin juga menyukai