Anda di halaman 1dari 13

Arah Pemikiran Filsafat dan

Dasar Pengetahuan

Oleh :

Nabilla Narasita 5415125196

Riza Sofyan 5415127458

Rizky Ramadhan 5415125198

Wira Agung Syahputra 5415125202


Pend. Teknik Bangunan (nonreg) 2012
Arah Pemikiran Filsafat

1. Ilmu dan Filsafat

Ilmu

Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,


menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan
yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.

Filsafat

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia


secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang
tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Filsafat dimulai dari rasa ingin tahu dan rasa ragu-ragu, sehingga filsafat berbeda
dengan pengetahuan, karena pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu saja. Semua
pengetahuan sekarang dimulai dengan spekulasi. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa
yang disebut benar maka pengetahuan tidak mungkin berkembang atas dasar kebenaran.

Filsafat: Peneretas Pengetahuan

Filsafat dapat di ibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini yakni pengetahuan yang diantaranya
adalah ilmu. Filsafat memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu,
ilmu yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini
menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setela itu filsafat kembali menjelajah ke laut
lepas. Filsafat adalah marinir yang merupakan prionir, bukan pengetahuan yang bersifat
terperinci. Semua ilmu, baik ilmu alam dan ilmu sosial bertolak dari pengembangannya
bermula sebagai filsafat.

Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi
adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam taraf peralihan ini maka bidang penjelajahan
filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Dalam bidang
ekonomi misalnya, orang tidak lagi memikirkan moral secara keseluruhan, hanya yang
berkaitan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang berkembang
sebagai ilmu ekonomi. Walau demikian, dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih
mendasarkan kepada norma- norma filsafat.

Bidang Telaah Filsafat

Filsafat menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok,
terjawab masalah yang satu diapun mulai merambah pertanyaan lain
Seorang professor yang penuh humor, mendekat permasalahan yang dikaji filsafat
dengan sajak seperti berikut :

                    What is a man ?
                    What is ?
                    What ?

Maksudnya adalah, bahwa dalam hal ini ada terdapat 3 tahapan untuk menyikapi
permasalahan-permasalahan tersebut, yakni :

Tahap Pertama
Pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu : Hallo, siapa
kau ? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman
Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan
makhluk yang satu ini. Kadang kurang kita sadari, bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial
(social sciences), mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama
dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya jika kita mengambil contoh yang agak
berdekatan, yakni ilmuekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi yang
berbeda-beda tentang manusia.

Tahap Kedua
Tahap yang kedua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkisar tentang ada
(wujud), tentang hidup, dan tentang eksistensi manusia. Apakah hidup ini sebenarnya ?
Apakah hidup itu hanya sekedar peluang dengan nasib yang melempar dadu acak (random) ?
Bila asumsi Tuhan itu adil, maka penciptaan haruslah diacak. Bila asumsi Tuhan itu adil,
Tuhan tidak melempar dadu. (Nah, disinilah salah satu letak perbedaan antara ni'mat
(nikmat) dengan istidroj). Ataukah hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk,
bagaikan amoeba yang berzigzag ? Dan nasib adalah bagaikan sibernetik dengan "umpan
balik" pilihan probabilistik ? Atau barangkali suatu maksud ?
Namunpun demikian, jika kita ingin menggumuli permasalahan-permasalahan
semacam itu; baik tentang genetika, social engineering, atau bahkan bayi tabung; maka asas-
asasnya tidak terdapat dalam ruang lingkup teori-teori ilmiah. Kita harus berpaling kepada
filsafat (bukan berpaling dari filsafat), kemudian memilih-milih landasan moral; apakah suatu
kegiatan ilmiah secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

Tahap Ketiga
Tahap pertama beres, tahap kedua juga beres. Nah, pada tahap yang ketiga ini
skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah "tingkat tinggi", dimana seorang
ilmuwan berbicara panjang lebar ngalor ngidul tentang suatu penemuan ilmiah dalam
risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara, dia pun menyeka keringatnya, dan berkata kepada
hadirin : "Adakah kiranya yang belum jelas ?". Salah seorang bangkit dan seperti seorang
yang pekak memasang kedua belah tangan di samping telinganya : "Apa....??!". (Waah,
rupanya sejak tadi dia tak mendengarkan apa-apa).

Memang, pemuda yang satu itu sejak tadi tidak mendengarkan apa-apa, sebab tidak
tertarik mendengarkan apa-apa, karena tidak ada apa-apa yang berharga untuk
didengarkan. Pemuda nyentrik nan keren itu, baru mau mendengarkan pendapat yang
bersifat ilmiah, jika pendapat itu dikemukakan lewat cara/proses/prosedur ilmiah. Jadi
meskipun seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah Nobel,
mengemukakan sekian fakta yang aktual; namun bila bagi dia tidak jelas yang mana masalah
yang mana hipotesis, yang mana kerangka pemikiran yang mana kesimpulan, yang
keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah, bagi dia tetap saja semua itu
hanya sekedar GIGO (maksudnya keluar dari telinga kiri G dan keluar telinga kanan juga G).

G-(arbage)-In-G-(arbage)-Out : pemeo dalam bahasa komputer bahwa input bagi


komputer itu sampah, maka yang keluarnyapun juga sampah.

Filsuf kelahiran Austria, yakni Ludwig Josef Johann Wittgenstein, atau yang lebih
akrab dengan nama LUDWIG VON WITTGENSTEIN (1889-1951) dalam bukunya Tractatus
Logico Philosophicus mengatakan : "Tugas utama filsafat bukanlah sekedar menghasilkan
sesusun pernyataan filsafati, tetapi juga menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin.
Masalah filsafat sebenarnta adalah masalah bahasa". Nah, dengan demikian
maka epistemologi dan bahasamerupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap
ini. Bahasa, termasuk juga matematika, yang secara filsafati bukan cuma merupakan ilmu,
melainkan sebagai bahasa non-verbal. Adalah merupakan pokok pengkajian filsafat sejak
abad 20 kemarin.

Cabang Cabang Filsafat.

Pokok persoalan yang menjadi pembahasan dalam filsafat mencakup tiga segi, yaitu:
·  Logika; apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah
·  Etika; mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
·  Estetika; apa yang termasuk jelek dan apa yang termasuk indah

Ketiga cabang ini akhirnya bertambah lagi menjadi:


·  Metafisika; teori tentang ada (tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat serta
pikiran dan kaitan antara zat dan pikiran)
·  Politik; kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal
     
Lalu berkembang lagi menjadi banyak cabang keilmuan yang meliputi:
·  Epistemologi (filsafat pengetahuan)
·  Etika (filsafat moral)
·  Estetika (filsafat seni)
·  Metafisika
·  Politik (filsafat pemerintahan)
·  Filsafat agama
·  Filsafat ilmu
·  Filsafat pendidikan
·  Filsafat hukum
·  Filsafat sejarah
·  Filsafat matematika

Filsafat Ilmu

Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) atau


bahkan filsafat pendidikan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan
ilmiyah. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun
secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
namun karena berbagai persoalan terutama mengenai masalah teknis yang bersifat khas,
maka filsafat ilmu seringkali membaginya menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-
ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan bidang-bidang yang ditelaah dari
setiap cabang ilmu-ilmu tersebut – ilmu alam dan ilmu sosial – dengan tidak mencirikan
cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang principle antara ilmu-ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya memiliki ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, seperti;
·        Objek apa yang ditelaah ilmu? (Ontologis)
·        Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu?
(Epistemologi)
·        Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? (Aksiologi)

Kerangka Pengkajian Buku. 

Pada dasarnya buku ini mencoba membahas aspek ontologis, epistimologis dan


aksiologis keilmuan sambil membandingkan dengan beberapa pengetahuan lain.
Dalam kaitan-kaitan ini akan dikaji hakikat beberapa saran berpikir ilmiah
yakni,bahasa, logika, matematika dan statistika. Setelah itu dibahas beberapa aspek yang
berkaitan erat dengan kegiatan keilmuan seperti aspek moral, sosial,
pendidikan dan kebudayaan. Akhirnya buku ini ditutup dengan pembahasan mengenai
struktur penelitian dan penulisan ilmiah dengan harapan agar dapat membantu mereka
yang berkarya dalam bidang keilmuan.

Dasar Pengetahuan
1. Penalaran
Definisi

Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu untuk mengembangkan


pengetahuan yang merupakan rahasia dari kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik
manusia memakan (memaknai) sebuah nama (buah) pengetahuan dari Adam dan Hawa, dan
setelah itu manusia harus hidup dengan berbekal pengetahuannya tersebut. Dia mengetahui
apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang
indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dengan berbagai
pilihannya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang mengembangkan
pengetahuannya secara sungguh-sungguh. Binatang pun memiliki pengetahuan, namun
pengetahuannya sangat terbatas dalam menghadapi kelangsungan hidupnya. Manusia
mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan
hidupnya. Hal inilah yang kemudian melahirkan, pemikiran hal-hal baru, menjelajahi ufuk
baru, karena dia harus hidup bukan hanya untuk sekedar kelangsungan hidupnya, namun
labih daripada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, memberi makna bagi kehidupan,
manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya
memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Hal inilah
yang menjadikan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya yang kemudian
pengetahuan tersebut akan mendorong manusia untuk menjadi makhluk hidup yang
memiliki sifat khas.
      Pengetahuan ini dapat dikembangkan oleh manusia dikarenakan oleh dua hal utama:
a.       Bahasa; manusia memiliki bahasa yang dapat dikomunikasikan berbagai
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut
b.      Kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara
garis besar cara berfikir seperti inilah yang disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan
pengetahuannya yakni melalui bahasa yang bersifat komunikatif dan fikiran yang dapat
bernalar.

Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa,
bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang
didapatkannya lewat berbagai kegiatan merasa atau berfikir. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berfikir. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan dengan perasaan.Berfikir
merupakan suatu kegiatan yang diperuntukkan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Apa yang disebut benar bagi tiap individu (orang) adalah tidak sama, oleh karenanya
kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda,
atau hal ini dapat dikatakan bahwa tiap jalan fikiran memiliki apa yang disebut sebagai
kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran tersebut merupakan landasan bagi proses
kebenarannya. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana setiap
jenis penalaran memiliki kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan proses berfikir maka penalaran memiliki ciri-ciri tertentu,
yakni:
        Suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran
memiliki logika tersendiri atau dapat disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan
suatu kegiatan berfikir logis, di mana berfikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan
berfikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu.
        Sifat analitik dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan
berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berfikir, yang dipakai
untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang terkait. Artinya penalaran ilmiyah
merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiyah, dan demikian juga
penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan
konsekuensi dari suatu pola berfikir tertentu.
2. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar
supaya pengetahuan yang dihasilkannya memiliki dasar kebenaran maka proses berfikir itu
harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru akan dianggap valid
(shahih) kalau proses penarikan kesimpulannya dilakukan menurut cara. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai
“pengkajian untuk berfikir secara shahih. Terdapat bermacam-macam cara penarikan
kesimpulan, namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada
penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika
induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan
dari kasus-kasus individual nyata (premis minor) menjadi kesimpulan bersifat umum (premis
mayor). Sedangkan logika deduktif menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum (premis
mayor) menjadi kasus yang bersifat individual atau khusus (premis minor).
a.  Induksi
Induksi merupakan cara berfikir di mana ditarik dari suatu kesimpulan yang bersifat
umum dari berbagai kasus yang bersifat individu atau khusus. Penalaran secara induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan terbatas
dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena memiliki dua keuntungan:
1.      Bersifat ekonomis
2.      Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
b. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran induktif.
Deduksi adalah cara berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditari kesimpulan
yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola
berfikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pernyataan dan satu
kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme ini disebut primes yang kemudian dapat
dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan
yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minos, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya
salah satu dari ketiga unsure tersebut persyaratannya tidak terpenuhi maka kesimpulan
yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara
deduktif.

3. Sumber Pengetahuan   

Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika
induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa
pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan:
Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua
cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama,
adalah mendasarkan diri kepada rasionalitas dan yang kedua bersandarkan diri kepada
pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme
mendasarkan diri kepada pengalaman.
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan
dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri
sudah ada jauh sebelum manusia memilikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama
Idealisme. Fungsi fikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi
pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui
manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip
justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional
itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan
pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum
rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan
didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat
dinyatakan lewat tangkapan panca indera.     
Di samping rasionalisme dan empirisisme masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain, di antaranya adalah saintik dan intuitif. Yang penting untuk kita
ketahui adalah intuisi atau wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara
rasional dan empiris atau bahkan saintik, ketiga-tiganya merupakan induk produk dari
sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
masalah tiba-tiba mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses
berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya. Intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan
tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya
tidak pada saat seseorang itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal
dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka
intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesa
bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat Nabi-Nabi yang diutusNya sepanjang zaman.
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transcendental kepercayaan
kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada Nabi sebagai
suatu pengantara dan kepercayaan terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian
merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak
agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu baru bias diterima. Dan pernyataan ini bisa
saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-
pernyataan yang terkandung di dalamnya konsisten atau tidak, di pihak lain secara empiris
bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.

4. Kriteria Kebenaran
 
Tidak semua manusia memiliki persyaratan yang sama terhadap apa yang
dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat
criteria kebanaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini menyatakan bahwa
pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan
terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian
berdasarkan teori koheren.
Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi
penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ibukota republic
Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan
objek yang bersifat factual yakni Jakarta memang ibukota republic Indonesia.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S Pierce (1839-1924) dalam sebuah makalah
yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh para filsuf Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat
manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiyah sebagai metode untuk mencari
pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional dan berguna dalam menafsirkan
gejala-gejala ilmiyah. Criteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam
menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
DAFTAR PUTAKA

Suriasumantri, Jujun S. filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: pustaka sinar
harapan, 2009

Anda mungkin juga menyukai