Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik, Adapun
alasannya antara lain: Pertama, karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam
rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi
pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat bersumber dari filsafat.
Landasan filosofis pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan
memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya di dalam pendidikan atau apa
yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, bahwa Pendidikan tidak cukup
dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif
saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan
secara holistik dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme,
Pragmatisme, dan sebagainya. Namun demikian, bangsa Indonesia sesungguhnya
memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini berbagai aliran filsafat
pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita
selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai
aliran filsafat dalam pendidikan akan dapat membantu untuk tidak terjerumus ke
dalam aliran filsafat lain. Di samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran
filsafat pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis
pendidikan kita.
Dengan memahami
landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep
tentang pendidikan yang pada gilirannya terjadi kesalahan dalam praktek
pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan?
3. Apa yang dimaksud dengan filsafat konservatif?
2

4. Apa yang dimaksud dengan filsafat progressif?


5. Apa yang dimaksud dengan filsafat idealisme?
6. Apa yang dimaksud dengan filsafat realisme?
7. Apa yang dimaksud dengan filsafat materialism?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat
2. Untuk mengetahui pengertian filsafat Pendidikan
3. Untuk mengetahui pengertian filsafat konservatif
4. Untuk mengetahui pengertian filsafat progressif
5. Untuk mengetahui pengertian filsafat idealisme
6. Untuk mengetahui pengertian filsafat realisme
7. Untuk mengetahui pengertian filsafat materialisme
3

BAB II
PEMBAHASA
N

A. Filsafat
Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a). Segi semantik:
perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’ dan yang berasal dari bahasa
yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, dan ’sophia’ = pengetahuan.
Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan menjadi
bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam
pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak
semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam
dan sungguh- sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia
adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan
tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang
berpikir adalah filsuf. Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat,
maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsuf memberikan definisinya
secara berbeda-beda. Obyek material filsafat yang diteliti adalah segala sesuatu,
sedangkan Subyek materialnya yaitu mencari hakekat. Maka dari itu berfilsafat
berarti mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segalagalanya; untuk mencari
orientasi dasar bagi kehidupan manusia.
Adapun pengertian Filsafat menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Plato (428-348 SM): Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli. Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang
ada.
2. Aristoteles (384-322 SM): Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmuilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat
ilmu umum
4

sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat
dengan ilmu.
3. Francis Bacon: Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat
menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
4. Al Farabi: Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat
sebenarnya.
5. Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
6. Cicero (106-43 SM): Filsafat adalah “ibu” dari semua seni (The mother of all
the arts). Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai art vitae (seni kehidupan).
7. Johann Gotlich Fickte (1762-1814): Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu
dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu
membicarakan suatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan
seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh
kenyataan.
8. Paul Nartorp (1854-1924): Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar)
yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan
menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.
9. Immanuel Kant (1724 – 1804): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya
tercakup empat persoalan:a. Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya
metafisika) b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika) c.
Sampai di manakah harapan kita? (jawabannya Agama) d. Apakah yang
dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi)
10. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir radikal,
sistematis dan universal.
11. Harold H. Titus (1979): (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2). Filsafat adalah suatu usaha
untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3). Filsafat adalah analisis
logis dari bahasa dan
5

penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); dan (4). Filsafat adalah
kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicarikan
jawabannya oleh para ahli filsafat.
12. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut
intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
13. Hasbullah Bakry: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu
sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
14. Prof. Mr. Muhamadd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga
manusia menemui kepribadiannya seraya di dalam kepribadiannya itu
dialaminya kesungguhan.
15. Prof. Dr. Ismaun, M.Pd.: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan
manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguhsungguh, yakni secara
kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk
mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan
atau kebenaran yang sejati).
16. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara
teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-
pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya,
sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih
menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas
wahyu.
Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula
orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara
membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya.
Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari
ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah
perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan
cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-
bidang tertentu (metode sistematis).
Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu
filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-
6

masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang tertentu.
Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang
salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana
yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang
baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak
dibicarakan persoalanpersoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis
ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidangbidang tertentu.
Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat-pendapat filsuf
zaman klasik (Plato dan Aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan
(Al-Farabi atau Thomas Aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (Kant
dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (Jaspers dan Marcel)
dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodisasi masing-masing. Begitu juga
dalam soal- soal logika, metafisika, dan lain-lain.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah 1) sebagai dasar dalam bertindak;
2) sebagai dasar dalam mengambil keputusan; 3) untuk mengurangi salah paham
dan konflik; 4) persiapan menghadapi situasi dunia yang selalu berubah; dan 5)
menjawab keraguan. Kemudian ciri-ciri berfikir filosofis antara lain 1) berfikir
dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi; 2) berfikir secara sistematis
dan teliti; 3) menyusun suatu skema konsepsi; 4) menyeluruh dan seluas-luasnya
(universal); 5) setinggi-tingginya; dan 6) setuntas-tuntasnya serta
selengkaplengkapnya.
Sementara itu Sudarsono (1993) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir
filosofis adalah sebagai berikut:
a. Metodis: menggunakan metode dan cara yang lazim digunakan oleh filsuf
(ahli filsafat) dalam proses berfikir;
b. Sistematis: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsurunsur dalam suatu
keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran filosofis;
c. Koheren: di antara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang
bertentangan dan tersusun secara logis;
d. Rasional: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai
dengan kaidah logika);
7

e. Komprehensif: berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang


(multidimensi);
f. Radikal: berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada
tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya;
g. Universal: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas
kehidupan manusia secara keseluruhan
Berfilsafat atau berfikir filosofis bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir
dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada
dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia
menjadi filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang
terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi
mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban
dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.

B. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan. Filsafat akan menentukan “mau dibawa kemana”
siswa kita. Filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan
membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, filsafat yang
dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang dianut
oleh perorangan (dalam hal ini Dosen/Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai.
Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai
tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu
negara akan berbeda dengan negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang
dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan
rumusan yang komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan itu
memuat pernyataan-pernyataan (statement) mengenai berbagai kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah
yang dianut. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara
filsafat yang dianut dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan.
8

Filsafat pada awalnya mempersoalkan siapa manusia itu. Kajian terhadap


persoalan ini menelusuri hakekat manusia sehingga muncul beberapa asumsi
tentang manusia. Misalnya, manusia adalah makhluk religi, makhluk sosial,
makhluk yang berbudaya, dan sebagainya. Dari telaah tersebut filsafat mencoba
menelaah tiga pokok persoalan, yaitu hakekat benar-salah (logika/ ilmu), hakekat
baik - buruk (etika), dan hakekat indah - tidak indah (estetika). Pada dasarnya,
pandangan hidup manusia mencakup ketiga aspek tersebut, sehingga ketiga aspek
tersebut sangat diperlukan dalam pendidikan, terutama dalam menentukan arah
dan tujuan pendidikan.
Suatu masyarakat memiliki kebiasaan yang menjadi pembeda dengan
masyarakat lainnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi cikal budaya. Budaya
menjadi semacam perekat sosial dalam suatu masyarakat. Tanpa masyarakat
tidak akan ada budaya, dan tanpa budaya tidak akan ada masyarakat (Smith,
Stanley, and Shores, 1957 dalam Zais S.R. 1976: 157). Setiap masyarakat bangga
dengan budayanya dan cendrung menganggap budaya mereka yang paling baik,
oleh sebab itu wajar bila mereka selalu ingin mewariskan nilai-nilai budaya yang
dipakai pada generasi muda, Seiring kemajuan zaman dan berkembangnya
pengetahuan, orang tua tidak mampu lagi menanamkan nilai dan pengetahuan
secara langsung kepada anak mereka, dan untuk itu didirikan sekolah (Zais S.R.
1976: 158). Pendidikan memerlukan lembaga di luar keluarga, yang berperan
dalam upaya membentuk masyarakat ideal (Barnadib, 1990: 14).
Anak didik ada sebagaimana ia berada, sedangkan masyarakat dan negara
menginginkan anak didik terbina sesuai ideologi yang telah digariskan. Maka
muncul pertanyaan “apa yang harus dilakukan pendidik untuk membawa anak
didik itu mewujudkan tujuan tersebut?”. Jawaban pertanyaan ini berupa konsep-
konsep tentang isi dan proses pendidikan yang mempertemukan potensi anak
didik dan gambaran ideal menurut masyarakat dan negara tersebut (Barnadib,
1990: 14). Pertanyaan ini bersifat filosofis dan memerlukan jawaban yang
filosofis pula dan ini merupakankajian filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah penerapan analisa filsafat
terhadap lapangan pendidikan. John Dewey mengatakan bahwa filsafat adalah
teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai
pendidikan
9

(Barnadib, 1990: 14-15). Pemikiran sesuai cabang-cabang filsafat turut


mempengaruhi pelaksanaan pendidikan.
Jika ingin mengkaji peranan filsafat dalam pendidikan, dapat ditinjau dari
tiga lapangan filsafat yaitu, metafisika, epistimologi, dan aksiologi.
1. Metafisika dan pendidikan
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat: hakikat
dunia, hakikat manusia termasuk hakikat anak. Anak adalah manusia yang terdiri
dari jasmani atau rohani atau keduanya. Metafisika memiliki implikasi penting
untuk pendidikan karena kurikulum sekolah berdasarkan apa yang kita ketahui
mengenai realita (Sadullah, 2007: 76-77). Kenyataannya apa yang harus
diajarkan di sekolah, selalu memiliki pandangan mengenai realita.
a. Ontologi dan Pendidikan
1) Teologi
Masyarakat Indonesia berkeyakinan bahwa pencipta alam semesta
adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Setiap yang hidup akan kembali kepada-
Nya dan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia.
Keyakinan seperti itu akan mempengaruhi system pendidikan yang
diselenggarakan masyarakat. Pendidikan akan selalu mempertimbangkan
hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebagai implikasinya mata pelajaran
agama menjadi mata pelajaran pokok dalam kurikulum.
Sebaliknya pada masyarakat yang berkeyakinan bahwa manusia
hanya jasad yang terdiri dari unsur-unsur kimia dan tidak akan ada
kehidupan lain setelah mati, maka pendidikan pada masyarakat seperti itu
tidak akan mempertimbangkan kehidupan rohani. Tujuan Pendidikan yang
dipertimbangkan hanyalah kehidupan duniawi, tidak akan
dipertimbangkan kehidupan setelah mati.
2) Kosmologi
Implikasi kajian kosmologi terhadap Pendidikan adalah kosmologi
akan mengisi kepribadian manusia dengan realita fisik. Siswa harus
mengenal alam yang menjadi tempat hidup, mengenal lingkungan,
mengenal hukum-hukum alam, hukum-hukum kausal, sehingga mengerti
akan keteraturan di jagad raya ini.
10

3) Manusia
Metafisika mempersoalkan hakikat realita, termasuk hakikat
manusia dan hakikat anak. Pendidikan merupakan kegiatan khas
manusiawi. Hanya manusia yang secara sadar melakukan pendidikan
untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh
manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pembicaraan mengenai
pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai manusia.
Pendidikan dalam arti luas adalah usaha membantu manusia
merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan membantu
manusia menyingkap rahasia alam, mengembangkan fitrah yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, mengarahkan kecendrungannya dan
membimbingnya demi kebaikannya dan masyarakat. Pada akhirnya
dengan pertolongan dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia
yang sebenarnya, insan kamil, manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Pendidikan akan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai.
Isi pendidikan adalah Tindakan yang akan membawa peserta didik
mengalami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, menghargai, dan
meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai-nilai tersebut kedalam
kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya membantu dan
membimbing peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati
nuraninya.
Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam
ajaran agama, harus memayungi segala bentuk kehidupan manusia sebagai
individu maupun sosial, termasuk pendidikan. Nilai-nilai agama bukan
sekedar dipelajari, namun harus dihayati dan akhirnya menjadi milik
pribadi yang akan tercermin dalam semua tindak-tanduk sehari-hari.
2. Epistemologi dan Pendidikan
Epistemologi diperlukan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum
lazimnya diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat
diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati siswa dalam usahanya
mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam
mencapai tujuan, perlu
11

diperkenalkan sedikit demi sedikit tentang hakikat pengetahuan (Barnadib, 1990:


21).
Epistemologi memberikan sumbangan bagi filsafat pendidikan.
Pengetahuan apa yang harus diberikan pada siswa, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan serta bagaimana cara menyampaikan pengetahuan merupakan
sumbangan epistemologi dalam pendidikan.
3. Aksiologi dan Pendidikan
Akisologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai
buruk, indah dan tidak indah (jelek), erat berkaitan dengan pendidikan, karena
dunia nilai akan selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan perbuatan pendidikan. Brubacher mengemukakan tentang
hubungan antar aksiologi dengan pendidikan. Apabila kita mencoba mengerti
persoalan-persoalan pendidikan seperti akan nyata di bawah ini, mengertilah kita
bahwa analisa ilmiah. Sebab masalahnya memang masalah filosofis, misalnya
meliputi:
a. Apakah pendidikan itu bermanfaat, atau mungkin berguna membina
kepribadian manusia atau tidak. Apakah potensi hereditas yang
menentukan kepribadian atau kah faktor-faktor luar (alam sekitar dan
kepribadian).
b. Mengapa anak yang potensinya hereditasnya relatif baik, tanpa pendidikan
dan lingkungan yang baik tidak mencapai perkembangan kepribadian
sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, mengapa seorang anak
abnormal, potensi-hereditasnya relatif rendah, meskipun di didik dengan
positif dan lingkungan yang baik, tak akan berkembang normal.
c. Apakah tujuan pendidikan itu sesungguhnya. Apakah pendidikan itu
berguna untuk individu sendiri, atau untuk kepentingan sosial, apakah
pendidikan itu dipusatkan untuk pembinaan manusia pribadi, apakah untuk
masyarakat.
d. Apakah hakikat masyarakat itu, dan bagaimana kedudukan individu di
dalam masyarakat, apakah pribadi itu independent ataukah dependent di
dalam masyarakat.
e. Apakah hakikat pribadi itu, manakah yang utama untuk dididik, apakah
ilmu, intelek atau akalnya, ataukah kemauannya.
12

f. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, sentralisasi atau


desentralisasi dan otonomi, oleh negara ataukah oleh swasta. Apakah
dengan kepemimpinan yang instruktif ataukah secara demokratis.
g. Bagaimana metode pendidikan yang efektif untuk membina kepribadian.
Tiap-tiap pendidik seyogianya mengerti bagaimana jawaban-jawaban
yang tepat atas problema di atas, sehingga dalam melaksanakan fungsinya akan
lebih mantap. Mereka yang memilih propesi keguruan sepantasnya mengerti
latar belakang kebijaksanaan strategi dan politik pendidikan pada umumnya,
khususnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang menjadi tanggung
jawabnya. Asas kesadaran kebenaran-kebenaran dari jawaban tersebut
merupakan prinsip-prinsip yang fundamental untuk keberhasilan tugas
pendidikan.
Pada dasarnya pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu bentuk
ekspresi artistik, dan dapat dinilai menurut standar-standar artistik dari
keindahan dan kualitas (Parkay, 1984 dalam Sadullah, 2007: 89-90). Berkenaan
dengan ini guru adalah seniman dan secara terus menerus berusaha
meningkatkan kualitas kerjanya.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensipotensi manusiawi
peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar
potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Prayitno (2009) mengatakan Pendidikan adalah upaya memulikan kemanusiaan
manusia. Undang- undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan
universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan,
kesatuan. organis, harmonis dan dinamis guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.
Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan
menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas
landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi
kepentingan
13

bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional


Indonesia.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur
dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas
landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi
kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita
bangsa dan negara Indonesia.

C. Filsafat Konservatif
Pendekatan ini secara sederhana dapat dijelaskan dengan bahwa pada
pendekatan mengakui dan mementingkan dunia sana yang transcendental
metafisis yang langgeng, yang menentukan tujuan hidup dan sekaligus tujuan
pendidikan manusia, sehingga akan menjadi sumber-sumber dasar nilai daripada
filsafat pendidikannya. Sedang tenaga sosial hanya akan menyediakan sarana,
alat dengan mana akan dicapai tujuan-tujuan di atas, dengan kata lain tenaga
pengembangan sosial ini akan memberikan modal dalam penyusunan “Science
of educational” yang diperlukan. Menurut pendekatan tradisional antara filsafat
pendidikan dan science of education dibedakan secara tegas, yaitu filsafat
metafisika dan tenaga sosial, sedang pada pendekatan progresif keduanya
bersumber pada kenyataan yang sama, dan satu-satunya, yaitu tenaga
pengembang sosial masyarakat di atas.
Maka dari itu jika pendekatan progresif hanya berpijak pada teori etika
sosial dan metode penyesuaian masalah sosial, yaitu pola dasar sikap moral dan
pola dasar sikap mental seperti diuraikan di atas, dan menentang segala hal yang
berkaitan tentang kenyataan transcendental metafisis yang spiritual dan di dunia
sana di masa mendatang, Sebaliknya pendekatan-pendekatan tradisional, seperti
namanya, sangat taat pada sistematika filsafat tradisional, di mana dan karena itu
menempatkan filsafat sebagai dasar pendidikan dan pengajaran. Ini terbukti
dengan penempatan filsafat metafisika, yang sangat ditentang oleh aliran
pendekatan progresif, sebagai masalah pokok dalam filsafat pendidikan.
Bagi pendekatan ini, betapapun sulitnya masalah bidang metafisika ini,
tetap harus ditempatkan sebagai pusat perhatian pertama dan utama dalam setiap
pembahasan filsafat pendidikan. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa tidak
dapat
14

dipungkiri, bahwa masalah ini adalah masalah yang abstrak, dan universal sekali,
sehingga sulit dipelajari dan dibuktikan kenyataannya, namun tidak berarti bahwa
kenyataan yang metafisis itu tidak ada. Asumsi ini menurut para pengusaha ilmu
filsafat pendidikan agar apabila kita tidak dapat menemukan segala hal yang
bersifat metafisis, tidak berarti kenyataan itu tidak ada, tetapi kesalahan mungkin
terletak pada cara-cara mencarinya atau mungkin keterbatasan kemampuan
berpikir dan pikiran orang yang melakukannya. Atau mungkin orang tersebut,
mendustai dirinya, sadar akan kenyataan tersebut tetapi tidak jujur terhadap
kesadarannya sendiri.
Asas pertama tentang rasionalitas manusia, asas ilmu jiwa daya, asas
pembentukan formal teoritis dan asa transfer hasil belajar maka menuntut jumlah
dan jenis mata pelajaran yang diperlukan, dan tidak perlu adanya pertimbangan
kesesuaian tidaknya dengan kenyataan kehidupan sosial anak, selama bahan atau
bidang studi akan memberikan nilai disiplin mental atau formal yang tinggi. Nilai
formal matematika adalah untuk melatih anak berpikir secara logis rasional
matematis, dan bukan dengan tujuan untuk memberikan kepada alat atau
instrumen dalam menyelesaikan problema hitung menghitung dalam kehidupan
sehari-hari.
Asas kedua adalah bahwa hakikat jiwa manusia adalah tersendiri atas
daya-daya jiwa yang berbeda dan bekerja secara terpisah-pisah atau bersama-
sama, yang menimbulkan gejala kesadaran atau tingkah laku. Setiap daya-daya
jiwa seperti pengindraan, pengamatan, ingatan, tanggapan, pikiran, dan perasaan
akan dapat berkembang dan atau dikembangkan sesuai dengan bahan-bahan
pelajaran tertentu. Berdasar jalan pemikiran ini, maka dalam kepustakaan
pendidikan dan psikologi pendidikan kita dikenalkan konsep istilah mata
pelajaran ingatan, pikiran, hafalan, ekspresi dan mata pelajaran keterampilan.
Sebagai asas ketiga dan sesuai dengan asas kedua di atas, adalah bahwa
nilai fungsional mata pelajaran adalah untuk pembentukan, atau disiplin mental
(mental discipline) atau disiplin formal, yaitu nilai formal teoritis intelektual.
Sehingga semakin sulit bahan pelajaran semakin tinggi nilai pembentukan
mentalnya. Semakin keras ketat latihan-latihan semakin kuat dan besar nilai
pembentukannya. Apakah bahan yang disajikan sesuai dengan kehidupan
15

sosialnya, dan digunakan untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap


lingkungannya, tidak menjadi masalah bagi aliran ini.
Oleh sebab itu, aliran tersebut diselesaikan dengan memperkenalkan
konsep transfer of learning of training, artinya penggunaan atau pemindahan hasil
belajar atau latihan pada mata pelajaran atau bidang kehidupan, yang mungkin
positif atau negatif merugikan. Transfer positif adalah apabila penggunaan bidang
yang satu mempermudah, memperlancar penguasaan bidang atau mata pelajaran
yang lain, dan sebaliknya transfer negatif adalah suatu peristiwa dimana
penguasaan satu bidang tertentu mempersulit penguasaan bidang lain, seperti
berenang dengan sepak bola. Soal-soal hitungan yang amat sulit tetapi yang tidak
ada kaitannya dengan, atau tidak akan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
anak, yang mengarah ke pengembangan nilai materiil praktis, dijejaljejalkan
kepada anak dengan harapan akan mempermudah anak menyelesaikan problema-
problema sosialnya (Ali Saifullah HA: 128-131).
Adapun asas-asas filsafat pendidikan dalam pendekatan tradisional
secara rinci adalah sebagai berikut :
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari
filsafat pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat
b. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap,
kekal dan abadi.
c. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan
objektif.
d. Bahwa tujuan yang baik dan benar menentukan alat dan saranan, artinya
tujuan yang baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.
e. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology,
democracy dan industry) adalah sarana alat untuk ” prosperity of life” dan
bukannya untuk ”welfare of life” sebagai tujuan hidup dan pendidikan
sebagaimana yang ditentukan oleh filsafat.
D. Filsafat Progressif
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum.
Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala,
tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut
progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman
baru antara individu
16

dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk
mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang
baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu
dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang
didirikan tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada
masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat
pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan
baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas
para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi
pelajaran, sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak
didik.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada
akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang
dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-
manusia yang berkualitas unggul, kompetitif, insiatif, adaptif, dan kreatif
sehingga sanggup menjawab tantangan zamannya. Untuk itu sangat diperlukan
kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu
kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh
anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya.
Dengan metode pendidikan “Belajar Sambil Berbuat” (learning by doing)
dan pemecahan masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi
problem, mengajukan hipotesa.
17

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas


progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan, yaitu tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia dan harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya.
Progresivisme dinamakan instrumentalisme karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup,
untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Progresivisme dinamakan
environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Sementara itu, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu
benar kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas atau suatu keterangan akan
dikatakan benar kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran
progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi:
Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah.
Antropologi, bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan
demikian dapat mencari hal baru. Psikologi, bahwa manusia akan berpikir
tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat
alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
Progresivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat
sekitar abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme
bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William
James (1842-1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada
segi manfaat bagi hidup praktis. Di dalam banyak hal, progresivisme identik
dengan pragmatisme. Oleh karena itu, apabila orang menyebut pragmatisme,
maka berarti sama dengan progresivisme.
Filsafat progresivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat
progresivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal
wataknya. Artinya, filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat
pragmatisme yang telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama,
yaitu manusia
18

dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua


tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan
kehidupan serta menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya.
Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan,
sebagaimana dikembangkan oleh lmmanuel Kant, salah seorang penyumbang
pemikir pragmatisme progresivisme yang meletakkan dasar dengan
penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan
demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan
menjunjung tinggi akan nilai demokratis.
Progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Culture (kebebasan
mutlak menuju ke arah kebudayaan). Maksudnya, nilai-nilai yang dianut bersifat
fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded), serta menuntut
pribadipribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah dan peneliti guna
mengembangkan pengalamannya. Mereka harus memiliki sikap terbuka dan
berkemauan baik sambil mendengarkan kritik dan ide-ide lawan sambil memberi
kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tersebut.
Tampak filsafat progresivisme menuntut kepada penganutnya untuk
selalu progress (maju) bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif
serta dinamis sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan
perubahan- perubahan. Manusia tidak mau hanya menerima satu macam keadaan
saja, akan tetapi berkemauan hidupnya tidak sama dengan masa sebelumnya.
Untuk mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup di
mana pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel (tidak kaku,
tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), curious (ingin
mengetahui dan menyelidiki), toleran, dan open minded (punya hati terbuka).
Namun demikian, filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap
kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir
(man’s natural powers). Maksudnya adalah manusia sejak lahir telah membawa
bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi (kemampuan) dasar terutama
daya akalnya sehingga dengan daya akalnya manusia akan dapat mengatasi
segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan, ancaman maupun
gangguan yang timbul
19

dari lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan itu, Wasty Soemanto menyatakan


bahwa daya akal sama dengan intelegensi, dimana intelegensi menyangkut
kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam
usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam
pemecahan- pemecahan masalah. Di sini·tersirat bahwa intelegensi merupakan
kemampuan problem solving dalam segala situasi baru atau yang mengandung
masalah.
Dengan demikian, potensi-potensi yang dimiliki manusia mempunyai
kekuatan-kekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian
progresivisme. Nampak bahwa aliran filsafat progresivisme menempatkan
manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan
martabat manusia sebagai pelaku (subyek) di dalam hidupnya.
Pendekatan dalam disiplin ilmu yang disebut filsafat pendidikan akan
lebih mudah di pahami arti pengertian bila diajukan pandangan Dewey tentang
pokok masalah, yaitu tentang permasalahan filsafat pendidikan yang berarti
hubungan antara filsafat dan pendidikan (Ali Saifullah:121). Dapat dilihat dari:
a. Antara Teori dan Praktek
Pada dasarnya antara teori dan praktek adalah hubungan saling
mengontrol, teori akan dikontrol oleh pelaksanaan praktek yang baik, dan
sebaiknya praktek dikontrol oleh atau didasarkan pada landasan teoritis yang baik
Dewey berpendapat bahwa teori harus merupakan hasil penggalian dalam
kenyataa empiris sosiologis yang berlaku saat itu.
b. Pendekatan Problematis terhadap kenyataan Sosiologis
Seperti apa yang dipercontohkan pada saat ia merumuskan teori
pendidikannya, problema sosial yang dihadapi dengan cermat dan dengan tepat,
merumuskannya ke dalam filsafat pendidikannya. Berdasar atas kesulitan-
kesulitan dan problema yang dihadapi masyarakatnya ia mencoba
merumuskannya ke dalam sebuah System pemikiran filosofis, yaitu filsafat
pendidikan problematik atau experimentalisme, dalam bentuk pola mental
intelektual dan sikap moral kesusilaan. Sikap moral yang dianggapnya tepat
untuk melestarikan kenyataan perubahan sosial yang cepat di atas adalah nilai
sikap yang menghormati keragaman, pembaharuan, individualitas dan
kebebasan inilah yang disebut
20

dengan pendekatan problematis terhadap kenyataan sosial yang cepat berubah.


(Ibid: 123)
c. Filsafat dan Teori Pendidikan
Sebagai pokok pikiran ketiga yang tersirat dalam catatan di atas adalah
hubungan antara filsafat dengan teori pendidikan. Dan Dewey berkesinambungan
bahwa filsafat dirumuskan sebagai teori pendidikan yang bersifat umum dan
konsepsional. Pendekatan-pendekatan dalam teori pendidikan, pendekatan dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu: 1) Pendidikan sebagai praktek, 2) Pendidikan sebagai
teori.
Pendidikan sebagai praktek yaitu seperangkat kegiatan atau aktivitas
yang dapat diamati dan didasari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (Baca:
peserta didik) agar memperoleh perubahan prilaku (Hasan Langgulung: 2001).
Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat pengetahuan yang
telah tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan,
menggambarkan, meramalkan, dan mengontrol berbagai gejala dan peristiwa
pendidikan baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan
(empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat
makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Diantaranya keduanya
memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Praktek pendidikan seyogianya
berlandaskan pada teori pendidikan (Uyoh Sadullo:60). Demikian pula sistem
pamong dapat dikaitkan dengan nilai dasar kodrat alam, di mana guru dan
pendidikan tiada lebih fungsinya sebagai pamong dari anak didik yang sedang
menjelajahi perkembangan kodrat alamiahnya. System pamong ini didasarkan
pada asas psikologis dalam perkembangan manusia, yaitu kebebasan dan bekerja
sendiri.
Beda antara Deweysme dengan Herbartianisme maupun Dewantaraisme
adalah bahwa kedua terakhir ini mendasarkan diri pada filsafat tradisional,
termasuk cabang filsafat metafisika, yang mengakui bahwa kenyataan yang
bersifat metafisis transendental.
Gejala keserempakan dan kesamaan sebagai akibat kesamaan faktor-
faktor penyebabnya dibuktikan dan diperkuat pendapat Dewey tentang rumusan
tujuan pendidikannya, yaitu efesiensi social (Social efficiency) yang berbunyi
“The
21

Power of join freely and fully in shared or common activities,”yang artinya


kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan
kepentingan bersama dan kesejahteraan bersama secara maksimal dan bebas.
Sebagai penghujung yang lain dari pendekatan di atas dan dari
kontinuitas aliran filsafat pendidikan adalah pendekatan progresif kontemporer
dengan dasar- dasar pemikiran, sebagai berikut :
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat sosial
humanisme ilmiah, yang skeptis terhadap kenyataan yang bersifat metafisis
transcendental
b. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup yang essensial
adalah kenyataan yang selalu berubah dan berkembang.
c. Bahwa “truth is the man-made”, artinya kebenaran dan kebajikan itu adalah
kreasi manusia, dengan sifatnya yang relative temporer bahkan subyektif.
d. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relative ditentukan oleh
perkembangan tenaga pengembangan sosial dan manusia, yang merupakan
sumber perkembangan sosial masyarakat.
e. Bila antara tujuan dan alat adalah bersifat kontinu, bahwa tujuan dapat
menjadi alat untuk tujuan yang lebih lanjut sesuai dengan perkembangan
sosial masyarakat.
f. Filsafat Idealisme
a. Pengertian Filsafat Idealisme
Horne, Herman (dalam Henry, Nelson B., 1942:139) mengatakan
idealisme merupakan pandangan yang menyimpulkan bahwa alam merupakan
ekspresi dari pikiran, juga mengatakan bahwa substansi dari dunia ini adalah dari
alam pikiran serta berpandangan bahwa hal-hal yang bersifat materi dapat
dijelaskan melalui jiwa.1 Senada dengan itu, Tafsir, Ahmad (2004:144)
mengemukakan bahwa dalam kajian filsafat, idealisme adalah doktrin yang
mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). Istilah ini diambil dari
"idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Lebih lanjut Knight, George R. (2004:48) menguraikan bahwa idealisme
pada mulanya, adalah suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal
pikir daripada suatu penekanan pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme
22

menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi
dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan
materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini sangat
berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata
ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.
Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan
suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakikat segala sesuatu ada
pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas
ide dan pikiran dan bukan pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun demikian,
idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan bagian luar dari
apa yang disebut hakikat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi
merupakan bungkus luar dari hakikat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan
demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang
abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak
sesuatu objek adalah spiritual, non material dan idealistis.
Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering
dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat
bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus
filsafat idealisme. Menurut Plato hakikat segala sesuatu tidak terletak pada yang
bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide.
Ide bersifat kekal, imaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak
ikut musnah. (Gazalba, Sidi, 1981:315) Dalam mencari kebenaran, Plato
berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab
dunia nyata ternyata tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya
bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu merupakan
analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh pancaindra.
Walaupun idealisme selalu dihubungkan dengan Plato, lahirnya idealisme
sebagai mazhab atau aliran filsafat bukanlah pada zaman Plato masih hidup.
Istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai pada abad
ke-19 M.
Aliran filsafat idealisme dalam abad ke-19 M, merupakan kelanjutan dan
pemikiran filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad ke- 17 M. Para
23

pengikut aliran idealisme ini pada umumnya, filsafatnya bersumber dari filsafat
kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut
idealisme subjektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan
Schelling yang filsafatnya disebut dengan idealisme objektif. Kemudian kedua
filsafat idealisme ini (subjektif dan objektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme
mutlaknya Hegel (1770-1831). (Maksum, Ali & Ruhendi, Luluk Y., 2004:46)
b. Pandangan Filsafat Idealisme
Pandangan filosofis idealisme dapat dilihat pada cabang-cabang filsafat
yaitu ontologi, epistemologi dari aksiologi.
1. Realitas Akal Pikiran (Kajian Ontologi)
Knight (2004:81) mengemukakan bahwa realitas bagi idealisme adalah
dunia penampakan yang ditangkap dengan pancaindra dan dunia realitas yang
ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus
pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris
indrawi. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada
dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan konstruksi
sebuah kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah
telah mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat
membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat
dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan. (Knight, 2004:51-52)
Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealisme berpandangan
yang terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak
menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme
tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran
ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa
yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa
terlebih dulu ada dalam tataran ide.
2. Kebenaran sebagai Ide dan Gagasan (Kajian Epistemologi)
Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada
metafisika mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal
pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa epistemologinya pada dasarnya
adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan
konsep-konsep.
24

Dalam pandangannya, mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman


melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai tindakan menguasai ide
sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.
Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak
didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah
diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gutek, Gerald (1988:22)
mengatakan;
In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that
are preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may
discover the ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts Thus, knowing is
essentially a
process of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind.
What is to be known is already present in the mind.

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk


mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide
tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam pikiran. Dengan
mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan ide-ide tentang pikiran
makro kosmik dalam pikiran yang dimiliki seseorang. Jadi, pada dasarnya
mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan
memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya
telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran.
Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut
idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang
secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep
Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan
mempunyai corak pemikiran demikian.
Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan
koherensi. Para penganut idealisme memberikan perhatian besar pada upaya
pengembangan suatu sistem kebenaran yang mempunyai konsistensi logis.
Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam semesta.
Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus
ditolak karena sebagai sesuatu yang salah.
Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat
alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman.
Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah
25

bersifat empirik. Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio


dalam fungsinya meraih dan mengembangkan pengetahuan. Metode-metode
inilah yang paling tepat dalam menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, di
mana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari idealisme.
3. Nilai-nilai dari Dunia Ide (Kajian Aksiologi)
Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut
Knight (2004:53) jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam
kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut
pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut,
sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai
bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan
terbukti bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan
itu berada di luar diri manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu
sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi dan baku.
Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagai
suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe).
Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos, maka diri individu
manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos. Dalam kerangka
itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin mirip dengan
Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan
paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai
yang sempurna sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku
etis penganut idealisme terletak pada "peniruan" Diri Absolut. Manusia adalah
bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal yang merupakan suatu
ekspresi sifat dari Zat Absolut. (Knight, 2004:53-54)
Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang
dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia dapat menyelaraskan diri dan mampu
mengejawantahkan diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka
kehidupan etik telah diperolehnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gutek (1988:24) mengemukakan bahwa
pengalaman yang punya nilai didasarkan pada kemampuan untuk meniru
Tuhan
26

sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri merupakan sesuatu
yang mutlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.
Estetika idealisme juga dilihat dalam kerangka makrokosmos dan
mikrokosmos. Penganut idealisme berpandangan bahwa keindahan itu ada
ketika direfleksikan sesuatu yang ideal. Seni yang berupaya Mengekspresikan
Yang Absolut, maka dikategorikan sesuatu yang memuaskan secara estetik.
c. Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
Untuk melihat implikasi idealisme, maka berikut ini akan ditelaah
aspek- aspek pendidikan dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta
didik, pendidik, kurikulum, metode pendidikan, tujuan pendidikan dan
pandangannya terhadap sekolah.
1. Peserta Didik
Bagi idealisme, peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikro
kosmis jagat kecil yang berada dalam proses "becoming" menjadi lebih
mirip dengan Diri Absolut. Dengan kata lain bahwa diri individual, dalam
hal ini peserta didik, adalah suatu eksistensi dari Diri Absolut. (Barnadib,
Imam, 2002:18) Oleh karenanya Ia mempunyai sifat-sifat yang sama
dalam bentuk yang belum teraktualisasi atau dikembangkan.
Aspek yang paling penting dari peserta didik adalah inteleknya
yang merupakan akal pikir mikro kosmik. Pada dataran akal pikirlah,
usaha serius pendidikan harus diarahkan, karena pengetahuan yang benar
dapat dicapai hanya melalui akal pikir.
Kalangan idealisme melihat anak didik sebagai seseorang yang
mempunyai potensi untuk tumbuh, baik secara moral maupun kognitif.
Para idealis cenderung melihat seorang anak didik sebagai individu yang
mempunyai nilai-nilai moralitas. (Maksum & Ruhendi, 2004:49) Oleh
karena itu, pendidikan berfungsi untuk mengembangkannya ke arah
kepribadian yang sempurna.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa anak didik harus
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi akal pikir dan potensi
moral. Potensi inteleknya dikembangkan sehingga memiliki pengetahuan
27

yang benar, dan potensi moralnya diaktualkan agar ia memiliki


kepribadian yang utama sebagai manusia yang bermoral.
2. Pendidik
Guru menempati posisi yang sangat krusial, sebab gurulah yang
melayani murid sebagai contoh hidup dari apa yang kelak bisa dicapainya.
Sang guru berada pada posisi yang lebih dekat dengan yang Absolut
dibandingkan murid, karena ia mempunyai pengetahuan lebih tentang
dunia. la punya pengetahuan lebih tentang realitas sehingga mampu
bertindak sebagai perantara antar diri anak didik dan diri yang Absolut.
Peran guru adalah menjangkau pengetahuan tentang realitas dan menjadi
teladan keluhuran etis. la adalah pola panutan bagi para murid untuk
diikuti baik dalam kehidupan intelektual maupun sosial. (George, 2004:55)
Untuk menjalankan fungsinya tersebut secara baik, maka menurut
mazhab idealisme, guru harus memiliki beberapa syarat untuk menjadi
guru yang ideal. Menurut J. Donald Butler (dalam Gutek, 1988:30) kriteria
tersebut adalah guru harus (1) mewujudkan budaya dan realitas dalam diri
anak didik (2) menguasai kepribadian manusia (3) ahli dalam proses
pembelajaran (4) bergaul secara wajar dengan anak didik (5)
membangkitkan hasrat anak didik untuk belajar (6) sadar bahwa manfaat
secara moral dari pengajaran terletak pada tujuan yang dapat
menyempurnakan manusia dan (7) mengupayakan lahirnya lagi budaya
dari setiap generasi.
Dari uraian di atas jelas bahwa guru sangat menanamkan peran
penting dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam mendidik, guru berperan
sebagai tokoh sentral dan model di mana keberadaannya menjadi panutan
bagi anak didiknya. Dengannya, anak didik menjadi punya pegangan.
Sebagai model bagi anak didiknya, guru harus menghargai anak didiknya
dan membantunya untuk menyadari kepribadian yang mereka miliki.
Dengan demikian idealisme rupanya menempatkan sosok guru menjadi
posisi sentral yang selalu mengarahkan anak didiknya.
3. Kurikulum
28

Materi pembelajaran (subject matter) idealisme dapat dilihat dari


sudut pandang epistemologinya. Jika kebenaran adalah ide gagasan, maka
kurikulum harus disusun di seputar materi-materi kajian yang mengantar
anak didik bergelut langsung dengan ide dan gagasan. Karena itu,
kurikulum bagi penganut idealisme menekankan pandangan humanitas.
Bagi banyak penganut idealisme, kajian tepat tentang "kemanusiaan"
adalah manusia.
Bagi idealisme, kurikulum merupakan organ materi intelektual atau
disiplin keilmuan yang bersifat ideal dan konseptual. Sistem konseptual
yang bervariasi tersebut menjelaskan dan didasarkan pada manifestasi
khusus dari yang Absolut. (Gutek, 1988:26)
4. Metodologi Pengajaran
Dalam proses pembelajaran, kata-kata tertulis maupun terucap
merupakan metode yang digunakan oleh penganut idealisme. Melalui kata-
katalah ide dan gagasan dapat beralih dari suatu akal pikir menuju akal
pikir lainnya. Tujuan dan metode ini dapat dirumuskan sebagai
penyerapan ide dan gagasan. Metodologi guru di ruang kelas sering kali
dilihat dalam bentuk lecturing (penyampaian kuliah) dengan pengertian
pengetahuan ditransfer dari guru ke murid. Guru juga menyelenggarakan
diskusi kelas sehingga ia dan muridnya dapat menangkap ide-ide dan
gagasan dari berhagai bacaan dan perkuliahan. (Knight, 2004:56)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode pengajaran dalam
pandangan idealisme salah satunya adalah penyampaian melalui uraian
kata-kata, sehingga materi yang diberikan ke anak didik terkesan verbal
dan abstrak. Atas dasar itu, maka idealisme rupanya kurang punya gairah
untuk melakukan kajian-kajian yang langsung bersentuhan dengan objek
fisik, karena dalam pandangannya kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan
dengan bayang-bayang indrawi daripada realitas puncak.
5. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut idealisme adalah mendorong anak
didik untuk mencari kebenaran. Mencari kebenaran dan hidup dalam
kebenaran tersebut berarti bahwa individu-individu pertama kali harus
mengetahui
29

kebenaran tersebut. Pendidikan idealisme mempunyai tujuan yaitu


merubah pribadi untuk menuju Tuhan, bersikap benar dan baik. (Gutek,
1988:31)
Sementara itu Maksum (2004:253) mengatakan bahwa tujuan
pendidikan idealisme adalah membentuk anak didik agar menjadi manusia
yang sempurna yang berguna bagi masyarakatnya. la mengutip Brameld
bahwa pendidikan adalah self development of mind as spritual subtance.
Pendidikan dalam pandangan ini lebih menekankan pada pengkayaan
pengetahuan (transfer of knowladge) pada anak didik. Lembaga
pendidikan harus membekali pengetahuan, teori-teori dan konsep-konsep
tanpa harus memperhitungkan tuntutan dunia praktis (kerja dan industri).
Idealisme yakni, kalau anak didik itu menguasai berbagai pengetahuan
maka mereka tidak akan kesulitan menghadapi hidup.
g. Filsafat Realisme
a. Pengertian Filsafat Realisme
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan
hakikat yang asli dan abadi. Kneller (dalam Muis, 2015: 93) membagi realisme
menjadi dua: 1). Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata
dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan
realisme religius. 2). Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita
amati bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan
substansialitas, sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu
penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme rasional dan realisme natural
ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan
realisme kritis. Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai
filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi,
yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan realisme kritis didasarkan atas
pemikiran Immanuel Kant yang menyintesiskan pandangan berbeda antara
empirisme dan rasionalisme, skeptisisme dan absolutisme, serta eudaemonisme
dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat. (Muis, 2015:93)
b. Pandangan Filsafat Realisme
30

Dalam rangka memahami filsafat pendidikan realisme, uraian di bawah ini


hanya akan menyajikan ide-ide umum filsafat realisme sebagaimana telah
diuraikan oleh Calahan and Clark (dalam Muis, Abdul 2015:21).
1. Metafisika (Hakikat Realitas)
Jika filsuf idealisme menekankan pikiran, jiwa/spirit/roh sebagai
hakikat realitas, sebaliknya menurut para filsuf realisme bahwa dunia
terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial, dan material yang hadir dengan
sendirinya (entity). Di dunia atau di alam tersebut terdapat hukum-hukum
alam yang menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir
dengan sendirinya dari alam itu sendiri (Callahan & Clark dalam Muis,
2015:21). Realitas hakikatnya bersifat objektif, artinya bahwa realitas
berdiri sendiri, tidak tergantung atau tidak bersandar kepada
pikiran/jiwa/spirit/roh. Namun demikian, mereka tetap mengakui
keterbukaan realitas terhadap pikiran untuk dapat mengetahuinya. Hanya
saja realitas atau dunia itu bukan/berbeda dengan pikiran atau keinginan
manusia.
Hakikat manusia adalah bagian dari alam, dan ia muncul di alam
sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam. Hakikat
manusia didefinisikan sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran
(jiwa) adalah suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir.
Namun, sekalipun manusia mampu berpikir ia bisa bebas atau tidak bebas
(Power, Edward J. dalam Muis, 2015:22). Manusia dan masyarakat adalah
bagian dari alam. Karena di alam semesta terdapat hukum alam yang
mengatur dan mengorganisasikannya, maka untuk tetap survive dan bahagia
tugas dan tujuan manusia adalah menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum
alam, masyarakatnya dan kebudayaannya.
2. Epistemologi (Hakikat Pengetahuan)
Ketika lahir, jiwa atau pikiran manusia adalah kosong, dilahirkan
tidak membawa pengetahuan atau ide-ide bawaan, John Locke
mengibaratkan pikiran/jiwa manusia sebagai tabula rasa (meja lilin/kertas
putih yang belum ditulisi). Pengetahuan diperoleh manusia bersumber dari
pengalaman indera. Manusia dapat menggunakan pengetahuannya dalam
31

berpikir untuk menemukan objek-objek serta hubungan-hubungannya yang


tidak ia persepsi. (Callahan & Clark dalam Muis, 2015:22)
Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara
orang yang mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya, para
filsuf realisme menganut “prinsip independensi” yang menyatakan bahwa
pengetahuan manusia tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau
esensi realitas. Karena realitas bersifat material dan nyata, maka kebenaran
pengetahuan diuji dalam kesesuaiannya dengan fakta di dalam dunia
material atau pengalaman saja. Teori uji kebenaran ini dikenal sebagai Teori
Korespondensi.
Contohnya apabila seseorang mengatakan bahwa rasa gula adalah
manis, untuk mengetahui kebenaran pengetahuan/ manusia adalah
menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum alam, masyarakatnya dan
kebudayaannya. pernyataan tersebut harus diuji melalui pengalaman,
misalnya dengan mencicipi gula. Jika dari pengalaman mencicipi gula
ternyata gula itu rasanya manis, maka pengetahuan itu benar. Atas dasar
prinsip independensi dan teori korespondensi, maka pengetahuan mungkin
saja berubah. Apa yang dulu dinyatakan benar mungkin saat ini dinyatakan
salah, atau mungkin pula sebaliknya sesuai dengan hasil pengalaman
empiris yang didapat. Sebab itu, epistemologi demikian dikenal pula sebagai
empirisme atau objektivisme.
3. Aksiologi (Hakikat Nilai)
Karena manusia adalah bagian dari alam, maka ia pun harus tunduk
kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Power (dalam Muis, 2015:23) bahwa tingkah
laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang lebih rendah
diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat di dalam
masyarakat. Callahan & Clark (dalam Muis, 2015:23) menjelaskan bahwa
nilai-nilai individual dapat diterima apabila sesuai dengan nilai-nilai umum
masyarakatnya. Pendapat umum masyarakat merefleksikan status quo
realitas masyarakat; dan karena realitas masyarakat merepresentasikan
kebenaran yang keluar dari mereka
32

sendiri, serta melebihi pikiran, maka hal itu berguna sebagai suatu standar
untuk menguji validitas nilai-nilai individual.
c. Filsafat Realisme dalam Pendidikan
Untuk melihat implikasi realisme, maka berikut ini akan ditelaah aspek-
aspek pendidikan dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta didik,
pendidik, kurikulum, metode pendidikan, tujuan pendidikan dan pandangannya
terhadap sekolah.
1. Peserta Didik
Siswa berperan untuk “menguasai pengetahuan yang diandalkan;
siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang baik sangat
diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk
berbagai tingkatan keutamaan. (Power dalam Muis, 2015:26).
2. Pendidik
Peranan Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam
kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran;
guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata
pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk
dialami siswa. Para siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan
prestasi, mengendalikan perhatian para siswa, dan membuat siswa aktif
(Callahan & Clark dalam Muis, 2015:26). Dengan demikian guru harus
berperan sebagai penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-
teknik mengajar; dengan kewenangan membentuk prestasi siswa.
3. Kurikulum
Kurikulum pendidikan sebaiknya meliputi: (1) sains/IPA dan
matematika, (2) ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, serta (3) nilai-
nilai. Sains dan matematika sangat dipentingkan. Keberadaan sains dan
matematika dipertimbangkan sebagai lingkup yang sangat penting dalam
belajar. Sebab, pengetahuan tentang alam memungkinkan umat manusia
untuk dapat menyesuaikan diri serta tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan alamnya. Ilmu kemanusiaan tidak seharusnya diabaikan, sebab
ilmu kemanusiaan diperlukan setiap individu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya. Kurikulum hendaknya menekankan pengaruh
33

lingkungan sosial terhadap kehidupan individu. Dengan mengetahui


kekuatan yang menentukan kehidupan kita, kita berada dalam posisi untuk
mengendalikan mereka (lingkungan sosial). Nilai-nilai dari objektivitas dan
pengujian kritis yang bersifat ilmiah hendaknya ditekankan. Ketika
mengajarkan nilai-nilai, sebaiknya tidak menggunakan satu metode yang
normatif, tetapi menggunakan analisis kritis. Untuk mendorong kebiasaan-
kebiasaan belajar yang diharapkan, ganjaran hendaknya diberikan ketika
kebiasaan-kebiasaan yang diharapkan dicapai (Callahan & Clark dalam
Muis, 2015:24)
Para filsuf realisme percaya bahwa kurikulum yang baik diorganisasi
menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter
centered). Materi pelajaran hendaknya diorganisasi menurut prinsip-prinsip
psikologis tentang belajar, mengajarkan materi pelajaran hendaknya dimulai
dari yang bersifat sederhana menuju yang lebih kompleks. Karena
masyarakat dan alam (hukum-hukum alam) mempunyai peranan
menentukan bagaimana seharusnya individu hidup untuk menyesuaikan diri
dengannya, maka kurikulum direncanakan dan diorganisasikan oleh
guru/orang dewasa (society centered). Adapun isi kurikulum (mata
pelajaran-mata pelajaran) tersebut harus berisi pengetahuan dan nilai-nilai
esensial agar siswa dapat menyesuaikan diri baik dengan lingkungan alam,
masyarakat dan kebudayaannya. Sebab itu Callahan dan Clark (dalam Muis,
2015:25) menyatakan bahwa orientasi pendidikan realisme memiliki
kesamaan dengan orientasi pendidikan idealisme, yaitu esensialisme.
4. Metodologi Pengajaran
Metode pendidikan menekankan bahwa semua belajar tergantung
pada pengalaman, baik pengalaman langsung maupun tidak langsung
(seperti melalui membaca buku mengenai hasil pengalaman orang lain),
kedua- duanya perlu disajikan kepada siswa. Metode penyajian hendaknya
bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama yang
diterima oleh para filsuf realisme yang merupakan penganut behaviorisme
(Power dalam Muis, 2015:25). Metode mengajar yang disarankan para
filosof realisme bersifat otoriter. Guru mewajibkan para siswa untuk
dapat
34

menghafal, menjelaskan, dan membandingkan fakta-fakta; menginterpretasi


hubungan-hubungan, dan mengambil kesimpulan makna-makna baru.
5. Tujuan Pendidikan
Implikasi terhadap pendidikan terutama tujuan pendidikan yang pada
dasarnya bertujuan agar para siswa dapat bertahan hidup di dunia yang
bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Dengan jalan
memberikan pengetahuan yang esensial kepada para siswa, maka mereka
akan dapat bertahan hidup di dalam lingkungan alam dan sosialnya.
Pengetahuan tersebut akan memberikan keterampilan-keterampilan yang
penting untuk memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Power (dalam
Muis, 2015:23) menyimpulkan pandangan para filsuf realisme bahwa tujuan
pendidikan realisme adalah untuk ”penyesuaian diri dalam hidup dan
mampu melaksanakan tanggung jawab sosial”.

h. Filsafat Materialisme
a. Pengertian Filsafat Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat
dipahami sebagai bahan, benda, segala sesuatu yang tampak. Materialisme
adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk
kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, dengan mengesampingkan
segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang
hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini
adalah para pengusung ajaran materialisme atau juga orang yang mementingkan
kebendaan semata. (Praja, Juhaya, 1997:61)
b. Pandangan Filsafat Materialisme
Materialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi
kenyataan termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik, hal yang dapat
dikatakan benar-benar ada adalah materi. Ciri utamanya adalah menempati ruang
atau waktu, memiliki keluasan, dan bersifat objektif, sehingga bias diukur,
dihitung, dan di observasi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan
semua fenomena adalah hasil interaksi material materi adalah satu-satunya
substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan
tetapi,
35

materialisme berbeda dengan teoriontologis yang didasarkan pada pluralisme.


Para materialis tidak mengakui entitas-entitas non material. Realitas satu-satunya
adalah materi yang bersifat abadi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari
aktivitas materi.
Para materialis percaya bahwa tidak ada kekuatan apa pun yang bersifat
spiritual di balik gejala atau peristiwa material itu. Kalau ada gejala yang masih
belum diketahui, maka hal itu bukan berarti kekuatan yang bersifat spiritual di
belakang peristiwa tersebut, melainkan karena pengetahuan dan akal kita saja
yang belum dapat memahaminya. (Praja, 1997:62)
c. Filsafat Materialisme dalam Pendidikan
Untuk melihat implikasi realisme, maka berikut ini akan ditelaah aspek-
aspek pendidikan dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta didik,
pendidik, kurikulum, metode pendidikan, tujuan pendidikan dan pandangannya
terhadap sekolah.
1. Peserta Didik
Materialisme menuntut siswa untuk giat belajar. Siswa tidak diberi
ruang kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran
sudah dirancang oleh guru. Siswa dipersiapkan untuk hidup sesuai harapan
orang tua atau guru. Kompetensi dalam diri siwa sulit untuk berkembang
dengan baik. (Power dalam Achmad, Asmoro, 2010:135)
2. Pendidik
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses
pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar
siswa. Pembelajaran lebih banyak diketahui guru, sementara siswa
mengikuti skenario yang telah disusun sesusuai yang dikehendaki guru.
(Power dalam Achmad, 2010:135)
3. Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya, dan
organisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku. Muatan lebih
banyak didominasi pengetahuan alam dan sosial. Pengetahuan religius,
moral, dan budi pekerti kurang mendapat perhatian pada aliran
materialisme. (Power dalam Achmad, 2010:135)
36

4. Metodologi Pengajaran
Pembelajaran lebih banyak menggunakan cara memberikan
stimulus-respon. Guru harus pandai memberikan rangsangan siswa untuk
belajar, melalui reinforcemen pemberian hadiah, dan penghargaan. Bentuk
penghargaan nyata, bisa menumbuhkan motivasi untuk melakukan
kegiatan. (Power dalam Achmad, 2010:135)
5. Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan
kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang
kompleks. Perubahan perilaku tampak dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional antara lain membentuk jiwa
mandiri, cerdas, dan kreatif. Namun pandangan materialisme kurang
memperhatikan aspek kompetensi spiritual. (Power dalam Achmad,
2010:135)
37

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah adalah kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan) dengan
apa yang ada dalam kenyataan sekarang. Kesenjangan tersebut dapat mengacu
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik, sosial budaya,
pendidikan dan lain sebagainya. Masalah dalam penelitian merupakan: (1) Titik
awal suatu proses penelitian. (2) Pertanyaan-pertanyaan penting yang ingin
dijawab atau dicari penyelesaiannya dalam suatu penelitian. (3) Dirumuskan dari
masalah yang sudah diidentifikasi, dipilih dan diberi batasan. (4) Titik acuan
untuk penyusunan tujuan, pengajuan hipotesis, analisis data, dan penarikan
kesimpulan.
Berbagai permasalahan dalam penelitian sering disebut problema atau
problematik, dikelompokkan ke dalam 3 sebagai:
17. Problema Deskriptif: problema untuk mengetahui status dan mendeskripsikan
fenomena. Sehingga lahirlah penelitian deskriptif (termasuk survey),
penelitian historis, dan filosofis.
18. Problema Komparatif: problema untuk membandingkan dua fenomena atau
lebih. Disini peneliti berusaha mencari persamaan dan perbedaan fenomena,
selanjutnya mencari arti atau manfaat dari persamaan dan perbedaan tersebut.
19. Problema Asosiatif: problema untuk mencari hubungan antara dua fenomena.
Problema korelasi ada dua macam, yaitu korelasi sejajar, dan korelasi sebab
akibat. Ketiga jenis permasalahan ini biasanya dijadikan dasar peneliti dalam
merumuskan judul penelitian.
Dalam identifikasi permasalahan penelitian terdiri atas dua langkah pokok,
yaitu (a) penguraian latar belakang permasalahan dan (b) perumusan
permasalahan.
B. Saran
Berdasarkan makalah yang telah di susun ini penulis dapat mengemukakan
saran bahwa dalam melakukan suatu penelitian seorang peneliti harus memahami
pengertian dan konsep dasar dalam penelitian agar tidak terjadi kesalahan dalam
melakukan penelitian.
38

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Asmoro. 2010. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers.


Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Gazalba, Sidi. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Gutek, Gerald L. 1988. Philosophical and Ideological Persfektif on Education.
Chicago: Loyoia University of Chicago.
Henry, Nelson B. 1942. Philosophies of Education. Illmois: University of
Chicago.
Knight, George R. 2004. Filsafat Pendidikan, Isu-Isu Kontemporer dan Solusi
Alternatif. Terjemahan Mahmud Arif. Yogyakarta: Idea Press.
Maksum, Ali & Ruhendi, Luluk Y. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di
Era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: Ircisod.
Muis, Abdul. 2015. Filsafat dalam Pendidikan. Jember: IAIN Jember Press.
Praja, Juhaya S. 1997. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan
PIARA.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai