BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik, Adapun
alasannya antara lain: Pertama, karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam
rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi
pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat bersumber dari filsafat.
Landasan filosofis pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan
memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya di dalam pendidikan atau apa
yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, bahwa Pendidikan tidak cukup
dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif
saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan
secara holistik dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme,
Pragmatisme, dan sebagainya. Namun demikian, bangsa Indonesia sesungguhnya
memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini berbagai aliran filsafat
pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita
selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai
aliran filsafat dalam pendidikan akan dapat membantu untuk tidak terjerumus ke
dalam aliran filsafat lain. Di samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran
filsafat pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis
pendidikan kita.
Dengan memahami
landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep
tentang pendidikan yang pada gilirannya terjadi kesalahan dalam praktek
pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan?
3. Apa yang dimaksud dengan filsafat konservatif?
2
BAB II
PEMBAHASA
N
A. Filsafat
Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a). Segi semantik:
perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’ dan yang berasal dari bahasa
yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, dan ’sophia’ = pengetahuan.
Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan menjadi
bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam
pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak
semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam
dan sungguh- sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia
adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan
tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang
berpikir adalah filsuf. Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat,
maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsuf memberikan definisinya
secara berbeda-beda. Obyek material filsafat yang diteliti adalah segala sesuatu,
sedangkan Subyek materialnya yaitu mencari hakekat. Maka dari itu berfilsafat
berarti mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segalagalanya; untuk mencari
orientasi dasar bagi kehidupan manusia.
Adapun pengertian Filsafat menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Plato (428-348 SM): Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli. Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang
ada.
2. Aristoteles (384-322 SM): Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmuilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat
ilmu umum
4
sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat
dengan ilmu.
3. Francis Bacon: Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat
menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
4. Al Farabi: Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat
sebenarnya.
5. Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
6. Cicero (106-43 SM): Filsafat adalah “ibu” dari semua seni (The mother of all
the arts). Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai art vitae (seni kehidupan).
7. Johann Gotlich Fickte (1762-1814): Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu
dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu
membicarakan suatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan
seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh
kenyataan.
8. Paul Nartorp (1854-1924): Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar)
yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan
menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.
9. Immanuel Kant (1724 – 1804): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya
tercakup empat persoalan:a. Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya
metafisika) b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika) c.
Sampai di manakah harapan kita? (jawabannya Agama) d. Apakah yang
dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi)
10. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir radikal,
sistematis dan universal.
11. Harold H. Titus (1979): (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2). Filsafat adalah suatu usaha
untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3). Filsafat adalah analisis
logis dari bahasa dan
5
penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); dan (4). Filsafat adalah
kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicarikan
jawabannya oleh para ahli filsafat.
12. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut
intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
13. Hasbullah Bakry: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu
sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
14. Prof. Mr. Muhamadd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga
manusia menemui kepribadiannya seraya di dalam kepribadiannya itu
dialaminya kesungguhan.
15. Prof. Dr. Ismaun, M.Pd.: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan
manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguhsungguh, yakni secara
kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk
mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan
atau kebenaran yang sejati).
16. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara
teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-
pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya,
sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih
menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas
wahyu.
Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula
orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara
membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya.
Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari
ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah
perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan
cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-
bidang tertentu (metode sistematis).
Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu
filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-
6
masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang tertentu.
Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang
salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana
yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang
baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak
dibicarakan persoalanpersoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis
ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidangbidang tertentu.
Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat-pendapat filsuf
zaman klasik (Plato dan Aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan
(Al-Farabi atau Thomas Aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (Kant
dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (Jaspers dan Marcel)
dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodisasi masing-masing. Begitu juga
dalam soal- soal logika, metafisika, dan lain-lain.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah 1) sebagai dasar dalam bertindak;
2) sebagai dasar dalam mengambil keputusan; 3) untuk mengurangi salah paham
dan konflik; 4) persiapan menghadapi situasi dunia yang selalu berubah; dan 5)
menjawab keraguan. Kemudian ciri-ciri berfikir filosofis antara lain 1) berfikir
dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi; 2) berfikir secara sistematis
dan teliti; 3) menyusun suatu skema konsepsi; 4) menyeluruh dan seluas-luasnya
(universal); 5) setinggi-tingginya; dan 6) setuntas-tuntasnya serta
selengkaplengkapnya.
Sementara itu Sudarsono (1993) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir
filosofis adalah sebagai berikut:
a. Metodis: menggunakan metode dan cara yang lazim digunakan oleh filsuf
(ahli filsafat) dalam proses berfikir;
b. Sistematis: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsurunsur dalam suatu
keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran filosofis;
c. Koheren: di antara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang
bertentangan dan tersusun secara logis;
d. Rasional: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai
dengan kaidah logika);
7
B. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan. Filsafat akan menentukan “mau dibawa kemana”
siswa kita. Filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan
membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, filsafat yang
dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang dianut
oleh perorangan (dalam hal ini Dosen/Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai.
Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai
tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu
negara akan berbeda dengan negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang
dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan
rumusan yang komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan itu
memuat pernyataan-pernyataan (statement) mengenai berbagai kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah
yang dianut. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara
filsafat yang dianut dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan.
8
3) Manusia
Metafisika mempersoalkan hakikat realita, termasuk hakikat
manusia dan hakikat anak. Pendidikan merupakan kegiatan khas
manusiawi. Hanya manusia yang secara sadar melakukan pendidikan
untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh
manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pembicaraan mengenai
pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai manusia.
Pendidikan dalam arti luas adalah usaha membantu manusia
merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan membantu
manusia menyingkap rahasia alam, mengembangkan fitrah yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, mengarahkan kecendrungannya dan
membimbingnya demi kebaikannya dan masyarakat. Pada akhirnya
dengan pertolongan dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia
yang sebenarnya, insan kamil, manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Pendidikan akan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai.
Isi pendidikan adalah Tindakan yang akan membawa peserta didik
mengalami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, menghargai, dan
meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai-nilai tersebut kedalam
kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya membantu dan
membimbing peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati
nuraninya.
Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam
ajaran agama, harus memayungi segala bentuk kehidupan manusia sebagai
individu maupun sosial, termasuk pendidikan. Nilai-nilai agama bukan
sekedar dipelajari, namun harus dihayati dan akhirnya menjadi milik
pribadi yang akan tercermin dalam semua tindak-tanduk sehari-hari.
2. Epistemologi dan Pendidikan
Epistemologi diperlukan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum
lazimnya diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat
diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati siswa dalam usahanya
mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam
mencapai tujuan, perlu
11
C. Filsafat Konservatif
Pendekatan ini secara sederhana dapat dijelaskan dengan bahwa pada
pendekatan mengakui dan mementingkan dunia sana yang transcendental
metafisis yang langgeng, yang menentukan tujuan hidup dan sekaligus tujuan
pendidikan manusia, sehingga akan menjadi sumber-sumber dasar nilai daripada
filsafat pendidikannya. Sedang tenaga sosial hanya akan menyediakan sarana,
alat dengan mana akan dicapai tujuan-tujuan di atas, dengan kata lain tenaga
pengembangan sosial ini akan memberikan modal dalam penyusunan “Science
of educational” yang diperlukan. Menurut pendekatan tradisional antara filsafat
pendidikan dan science of education dibedakan secara tegas, yaitu filsafat
metafisika dan tenaga sosial, sedang pada pendekatan progresif keduanya
bersumber pada kenyataan yang sama, dan satu-satunya, yaitu tenaga
pengembang sosial masyarakat di atas.
Maka dari itu jika pendekatan progresif hanya berpijak pada teori etika
sosial dan metode penyesuaian masalah sosial, yaitu pola dasar sikap moral dan
pola dasar sikap mental seperti diuraikan di atas, dan menentang segala hal yang
berkaitan tentang kenyataan transcendental metafisis yang spiritual dan di dunia
sana di masa mendatang, Sebaliknya pendekatan-pendekatan tradisional, seperti
namanya, sangat taat pada sistematika filsafat tradisional, di mana dan karena itu
menempatkan filsafat sebagai dasar pendidikan dan pengajaran. Ini terbukti
dengan penempatan filsafat metafisika, yang sangat ditentang oleh aliran
pendekatan progresif, sebagai masalah pokok dalam filsafat pendidikan.
Bagi pendekatan ini, betapapun sulitnya masalah bidang metafisika ini,
tetap harus ditempatkan sebagai pusat perhatian pertama dan utama dalam setiap
pembahasan filsafat pendidikan. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa tidak
dapat
14
dipungkiri, bahwa masalah ini adalah masalah yang abstrak, dan universal sekali,
sehingga sulit dipelajari dan dibuktikan kenyataannya, namun tidak berarti bahwa
kenyataan yang metafisis itu tidak ada. Asumsi ini menurut para pengusaha ilmu
filsafat pendidikan agar apabila kita tidak dapat menemukan segala hal yang
bersifat metafisis, tidak berarti kenyataan itu tidak ada, tetapi kesalahan mungkin
terletak pada cara-cara mencarinya atau mungkin keterbatasan kemampuan
berpikir dan pikiran orang yang melakukannya. Atau mungkin orang tersebut,
mendustai dirinya, sadar akan kenyataan tersebut tetapi tidak jujur terhadap
kesadarannya sendiri.
Asas pertama tentang rasionalitas manusia, asas ilmu jiwa daya, asas
pembentukan formal teoritis dan asa transfer hasil belajar maka menuntut jumlah
dan jenis mata pelajaran yang diperlukan, dan tidak perlu adanya pertimbangan
kesesuaian tidaknya dengan kenyataan kehidupan sosial anak, selama bahan atau
bidang studi akan memberikan nilai disiplin mental atau formal yang tinggi. Nilai
formal matematika adalah untuk melatih anak berpikir secara logis rasional
matematis, dan bukan dengan tujuan untuk memberikan kepada alat atau
instrumen dalam menyelesaikan problema hitung menghitung dalam kehidupan
sehari-hari.
Asas kedua adalah bahwa hakikat jiwa manusia adalah tersendiri atas
daya-daya jiwa yang berbeda dan bekerja secara terpisah-pisah atau bersama-
sama, yang menimbulkan gejala kesadaran atau tingkah laku. Setiap daya-daya
jiwa seperti pengindraan, pengamatan, ingatan, tanggapan, pikiran, dan perasaan
akan dapat berkembang dan atau dikembangkan sesuai dengan bahan-bahan
pelajaran tertentu. Berdasar jalan pemikiran ini, maka dalam kepustakaan
pendidikan dan psikologi pendidikan kita dikenalkan konsep istilah mata
pelajaran ingatan, pikiran, hafalan, ekspresi dan mata pelajaran keterampilan.
Sebagai asas ketiga dan sesuai dengan asas kedua di atas, adalah bahwa
nilai fungsional mata pelajaran adalah untuk pembentukan, atau disiplin mental
(mental discipline) atau disiplin formal, yaitu nilai formal teoritis intelektual.
Sehingga semakin sulit bahan pelajaran semakin tinggi nilai pembentukan
mentalnya. Semakin keras ketat latihan-latihan semakin kuat dan besar nilai
pembentukannya. Apakah bahan yang disajikan sesuai dengan kehidupan
15
dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk
mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang
baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu
dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang
didirikan tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada
masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat
pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan
baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progresivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas
para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi
pelajaran, sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak
didik.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada
akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang
dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-
manusia yang berkualitas unggul, kompetitif, insiatif, adaptif, dan kreatif
sehingga sanggup menjawab tantangan zamannya. Untuk itu sangat diperlukan
kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu
kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh
anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya.
Dengan metode pendidikan “Belajar Sambil Berbuat” (learning by doing)
dan pemecahan masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi
problem, mengajukan hipotesa.
17
menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi
dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan
materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini sangat
berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata
ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.
Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan
suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakikat segala sesuatu ada
pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas
ide dan pikiran dan bukan pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun demikian,
idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan bagian luar dari
apa yang disebut hakikat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi
merupakan bungkus luar dari hakikat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan
demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang
abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak
sesuatu objek adalah spiritual, non material dan idealistis.
Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering
dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat
bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus
filsafat idealisme. Menurut Plato hakikat segala sesuatu tidak terletak pada yang
bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide.
Ide bersifat kekal, imaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak
ikut musnah. (Gazalba, Sidi, 1981:315) Dalam mencari kebenaran, Plato
berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab
dunia nyata ternyata tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya
bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu merupakan
analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh pancaindra.
Walaupun idealisme selalu dihubungkan dengan Plato, lahirnya idealisme
sebagai mazhab atau aliran filsafat bukanlah pada zaman Plato masih hidup.
Istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai pada abad
ke-19 M.
Aliran filsafat idealisme dalam abad ke-19 M, merupakan kelanjutan dan
pemikiran filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad ke- 17 M. Para
23
pengikut aliran idealisme ini pada umumnya, filsafatnya bersumber dari filsafat
kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut
idealisme subjektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan
Schelling yang filsafatnya disebut dengan idealisme objektif. Kemudian kedua
filsafat idealisme ini (subjektif dan objektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme
mutlaknya Hegel (1770-1831). (Maksum, Ali & Ruhendi, Luluk Y., 2004:46)
b. Pandangan Filsafat Idealisme
Pandangan filosofis idealisme dapat dilihat pada cabang-cabang filsafat
yaitu ontologi, epistemologi dari aksiologi.
1. Realitas Akal Pikiran (Kajian Ontologi)
Knight (2004:81) mengemukakan bahwa realitas bagi idealisme adalah
dunia penampakan yang ditangkap dengan pancaindra dan dunia realitas yang
ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus
pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris
indrawi. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada
dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan konstruksi
sebuah kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah
telah mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat
membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat
dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan. (Knight, 2004:51-52)
Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealisme berpandangan
yang terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak
menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme
tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran
ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa
yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa
terlebih dulu ada dalam tataran ide.
2. Kebenaran sebagai Ide dan Gagasan (Kajian Epistemologi)
Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada
metafisika mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal
pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa epistemologinya pada dasarnya
adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan
konsep-konsep.
24
sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri merupakan sesuatu
yang mutlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.
Estetika idealisme juga dilihat dalam kerangka makrokosmos dan
mikrokosmos. Penganut idealisme berpandangan bahwa keindahan itu ada
ketika direfleksikan sesuatu yang ideal. Seni yang berupaya Mengekspresikan
Yang Absolut, maka dikategorikan sesuatu yang memuaskan secara estetik.
c. Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
Untuk melihat implikasi idealisme, maka berikut ini akan ditelaah
aspek- aspek pendidikan dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta
didik, pendidik, kurikulum, metode pendidikan, tujuan pendidikan dan
pandangannya terhadap sekolah.
1. Peserta Didik
Bagi idealisme, peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikro
kosmis jagat kecil yang berada dalam proses "becoming" menjadi lebih
mirip dengan Diri Absolut. Dengan kata lain bahwa diri individual, dalam
hal ini peserta didik, adalah suatu eksistensi dari Diri Absolut. (Barnadib,
Imam, 2002:18) Oleh karenanya Ia mempunyai sifat-sifat yang sama
dalam bentuk yang belum teraktualisasi atau dikembangkan.
Aspek yang paling penting dari peserta didik adalah inteleknya
yang merupakan akal pikir mikro kosmik. Pada dataran akal pikirlah,
usaha serius pendidikan harus diarahkan, karena pengetahuan yang benar
dapat dicapai hanya melalui akal pikir.
Kalangan idealisme melihat anak didik sebagai seseorang yang
mempunyai potensi untuk tumbuh, baik secara moral maupun kognitif.
Para idealis cenderung melihat seorang anak didik sebagai individu yang
mempunyai nilai-nilai moralitas. (Maksum & Ruhendi, 2004:49) Oleh
karena itu, pendidikan berfungsi untuk mengembangkannya ke arah
kepribadian yang sempurna.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa anak didik harus
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi akal pikir dan potensi
moral. Potensi inteleknya dikembangkan sehingga memiliki pengetahuan
27
sendiri, serta melebihi pikiran, maka hal itu berguna sebagai suatu standar
untuk menguji validitas nilai-nilai individual.
c. Filsafat Realisme dalam Pendidikan
Untuk melihat implikasi realisme, maka berikut ini akan ditelaah aspek-
aspek pendidikan dalam tinjauan filsafat idealisme, meliputi peserta didik,
pendidik, kurikulum, metode pendidikan, tujuan pendidikan dan pandangannya
terhadap sekolah.
1. Peserta Didik
Siswa berperan untuk “menguasai pengetahuan yang diandalkan;
siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang baik sangat
diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk
berbagai tingkatan keutamaan. (Power dalam Muis, 2015:26).
2. Pendidik
Peranan Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam
kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran;
guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata
pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk
dialami siswa. Para siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan
prestasi, mengendalikan perhatian para siswa, dan membuat siswa aktif
(Callahan & Clark dalam Muis, 2015:26). Dengan demikian guru harus
berperan sebagai penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-
teknik mengajar; dengan kewenangan membentuk prestasi siswa.
3. Kurikulum
Kurikulum pendidikan sebaiknya meliputi: (1) sains/IPA dan
matematika, (2) ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, serta (3) nilai-
nilai. Sains dan matematika sangat dipentingkan. Keberadaan sains dan
matematika dipertimbangkan sebagai lingkup yang sangat penting dalam
belajar. Sebab, pengetahuan tentang alam memungkinkan umat manusia
untuk dapat menyesuaikan diri serta tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan alamnya. Ilmu kemanusiaan tidak seharusnya diabaikan, sebab
ilmu kemanusiaan diperlukan setiap individu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya. Kurikulum hendaknya menekankan pengaruh
33
h. Filsafat Materialisme
a. Pengertian Filsafat Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat
dipahami sebagai bahan, benda, segala sesuatu yang tampak. Materialisme
adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk
kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, dengan mengesampingkan
segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang
hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini
adalah para pengusung ajaran materialisme atau juga orang yang mementingkan
kebendaan semata. (Praja, Juhaya, 1997:61)
b. Pandangan Filsafat Materialisme
Materialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi
kenyataan termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik, hal yang dapat
dikatakan benar-benar ada adalah materi. Ciri utamanya adalah menempati ruang
atau waktu, memiliki keluasan, dan bersifat objektif, sehingga bias diukur,
dihitung, dan di observasi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan
semua fenomena adalah hasil interaksi material materi adalah satu-satunya
substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan
tetapi,
35
4. Metodologi Pengajaran
Pembelajaran lebih banyak menggunakan cara memberikan
stimulus-respon. Guru harus pandai memberikan rangsangan siswa untuk
belajar, melalui reinforcemen pemberian hadiah, dan penghargaan. Bentuk
penghargaan nyata, bisa menumbuhkan motivasi untuk melakukan
kegiatan. (Power dalam Achmad, 2010:135)
5. Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan
kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang
kompleks. Perubahan perilaku tampak dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional antara lain membentuk jiwa
mandiri, cerdas, dan kreatif. Namun pandangan materialisme kurang
memperhatikan aspek kompetensi spiritual. (Power dalam Achmad,
2010:135)
37
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah adalah kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan) dengan
apa yang ada dalam kenyataan sekarang. Kesenjangan tersebut dapat mengacu
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik, sosial budaya,
pendidikan dan lain sebagainya. Masalah dalam penelitian merupakan: (1) Titik
awal suatu proses penelitian. (2) Pertanyaan-pertanyaan penting yang ingin
dijawab atau dicari penyelesaiannya dalam suatu penelitian. (3) Dirumuskan dari
masalah yang sudah diidentifikasi, dipilih dan diberi batasan. (4) Titik acuan
untuk penyusunan tujuan, pengajuan hipotesis, analisis data, dan penarikan
kesimpulan.
Berbagai permasalahan dalam penelitian sering disebut problema atau
problematik, dikelompokkan ke dalam 3 sebagai:
17. Problema Deskriptif: problema untuk mengetahui status dan mendeskripsikan
fenomena. Sehingga lahirlah penelitian deskriptif (termasuk survey),
penelitian historis, dan filosofis.
18. Problema Komparatif: problema untuk membandingkan dua fenomena atau
lebih. Disini peneliti berusaha mencari persamaan dan perbedaan fenomena,
selanjutnya mencari arti atau manfaat dari persamaan dan perbedaan tersebut.
19. Problema Asosiatif: problema untuk mencari hubungan antara dua fenomena.
Problema korelasi ada dua macam, yaitu korelasi sejajar, dan korelasi sebab
akibat. Ketiga jenis permasalahan ini biasanya dijadikan dasar peneliti dalam
merumuskan judul penelitian.
Dalam identifikasi permasalahan penelitian terdiri atas dua langkah pokok,
yaitu (a) penguraian latar belakang permasalahan dan (b) perumusan
permasalahan.
B. Saran
Berdasarkan makalah yang telah di susun ini penulis dapat mengemukakan
saran bahwa dalam melakukan suatu penelitian seorang peneliti harus memahami
pengertian dan konsep dasar dalam penelitian agar tidak terjadi kesalahan dalam
melakukan penelitian.
38
DAFTAR PUSTAKA