Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbincang mengenai filsafat baru mulai merebak di abad awal 20, namun france
bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad 19 dapat dikatakan
sebagai peletak dasar filsafat ilmu khasanah dalam bidang filsafat secara umum.
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus yang
merupakan bagian dari filsafat ilmu. Sehingga filsafat dapat dikatakan induk dari
ilmu-ilmu lain. Akan tetapi, filsafat masih terlalu umum untuk menjadi sautu ilmu
yang merinci. Dengan itu filsafat mengalami peralihan yang membagi ilmu secara
sektoral. Seperti filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu.
Meskipun ilmu telah terbagi secara sektoral, bukan berarti ilmu-ilmu lain terpisah
dengan filsafat. Filsafat berusaha untuk menjadi penghubung dari berbagai ilmu yang
ada. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan
hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang
memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin
dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat
sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi
perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan
ilmiah (Siswomihardjo, 2003).

1
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian filsafat?
b. Bagaimana ilmu pengetahuan sebagai sketsa umum pengantar untuk memahami
filsafat ilmu?
c. Bagaimana fenomenologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan?
3. Tujuan
a. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Humaniora tentang Konsep Dasar
Filsafat.
b. Mempelajari sketsa umum pengantar untuk memahami filsafat ilmu.
c. Memahami fenomenologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
4. Manfaat
a. Dapat mengetahui Konsep Dasar Filsafat.
b. Dapat memahami Konsep Dasar Filasafat melalui makalah ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Sedangkan menurut para ahli yaitu:
1. Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang
segala yang ada.
2. Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat
bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah
dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3. Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni
“( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars
vitae (seni kehidupan )
4. Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre
(ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu.
Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat
memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari
kebenaran dari seluruh kenyataan.
5. Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu
dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan
menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
6. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya
tercakup empat persoalan.

Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )

Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )

Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )

Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )

7. Notonegoro : Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari


sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut
hakekat.
8. Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya
tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan
yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
9. Sidi Gazalba : Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir
radikal, sistematik dan universal.

3
10. Harold H. Titus (1979 ) : (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu
usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat
adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan
pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat
perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.

11. Hasbullah Bakry : Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan
manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.

2. Ilmu Pengetahuan sebagai Sketsa Umum Pengantar untuk Memahami


Filsafat Ilmu

Filsafat Ilmu, sebagaimana juga filsafat pengetahuan adalah cabang


filsafat.ilmu yang objek saranannya adalah ilmu. Ilmu tentang ilmu, kata orang.
Cabang filsafat inilah yang juga lahir di abad XVII di sebut sebagai
wissenchaftlehre,philosohy of science, wetenschapsleer, dan yang kita terjemahkan
menjadi Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Karena pengetahhuan ilmiah merupakan ‘a higher level of knowladge’ dalam


perangkat pengetahuan kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan
dari filsafat pengetahuan. Obje keduanya itu di sana-sini bertumpang tindih, namun
perlu dibedakan aspek formalnya, dan jangan dikaburkan sebagaimana sementara
penulis menunjukan hal itu.

Hakekat ilmu merupakan objek filsafat ilmu meliputi :

1. Ontologi, yaitu apakah ilmu itu,apakah kebenaran atau kenyataan itu yang tidak
lepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.faham idealisme
atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme, dan lain lain merupakan
paham antologik yang akan menentukan pendapat kita masing-masing tentang apa
dan bagaimana ilmu yang kita konotasikan dengan kebenaran itu sendiri.
2. Epistemologi, merupakan cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan tentang
yang ‘ada’ tadi. Perbedaan mengenai pandangan ontologik. akan mengakibatkan
perbedaan sarana yang dipergunakan yaitu, akal, pengalaman, venruft , instuisi atau
saramna yang lain, rasionalisme, dan lain lain merupakan faham epistemologik.
3. Aksiologi, yang menggariskan apa ukuran bagi kebenaran dan kenyataan yang
menjadi tujuan pengetahuan kita. Nilai-nilai apa yang perlu kita jadikan pedoman
dalam kita me-nerapkan pengetahuan yang kita miliki itu kedalam praksis.

4
4. Dalam perkembangannya pada tahap sekarang ini, filsafat ilmu juga mengrahkan
pandangannya pda strategi pengembangan ilmu, dan heuristik, bahkan sampai pada
dimensi ilmu itu, melainkan juga arti dan makna nya bagi kepentingan manusia.
Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, dewasa ini kita dapati adanya
tiga macam pendapat, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu
berkembang pada otonomi tertutup, dimana peng aruh konteks dibatasi bahkan
disingkirkan. Kedua, dan saling mempengaruhi , sehingga memungkinkan timbulnya
gagasan baru yang selalu aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan sesuai
dengan perkembangan waktu dan keadaan. Ilmu harus merupakan releksi
daripadanya. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu harus melebur dalam
konteksnya, tidak hanya merupakan refleksi, melainkan memberikan landasan
pembenaran bagi konteksnya
Tidak dapat dielakkan bahwa kini sangat dirasakan uroensinya untuk
menjelaskan perkembangan ilmu itu,tidak hanya atas dasar metodologi yang dibatasi
oleh context of discovery. Adapun yang dimaksud dengan heuristik disini adalah
faktor-faktor yang non ilmiah yang memberi pengaruh yang menentukkan terhadap
perkembangan ilmu.perkembangan industri yang menimbulkan berbagai macam
akibat sosial di abad XIX telah melahirkan sosiologi. Penggunaan senjata nuklir
sebagai sarana perang yang timbul dari kecanggihan ‘big science’ di abad XX telah
melahirkan ilmu baru yang disebut polemologi. Juga penggunaan komputer kedalam
berbagai segi kehidupan telah melahirkan filsafat matematika.
Atas dasar itu, maka semakin jelaslah kiranya, mengapa kita akan
menghadapi kesulitan untuk mendefinisikan apakah sebenarnya ilmu itu. Para
penganut metodologi akan menyatakan sekarang bahwa definisi, ilmu adalah sistem
pernyataan-pernyataan yang dapat diuji dan dikaji kebenaran atau kesalahannya.
Sedang para penganut heuristik menyatak bahwa ilmu adalah perkembangan lebih
lanjut bakat manusia untuk menentukan orientasi terhadap lingkungannya dan
menentukkan sikap terhadnya.
Dalam pada itu ilmu juga dapat dipshsmi dari segi dimensional yaitu dari segi
dimensi fenomenalnya, yaitu dari segi dimensi dimansional, yaitu ilmu merupakan
proses ,dan permukaan masyarakat, merupakan proses, dan merupakan produk
Pada ilmu juga dapat dipahami dari segi dimensional, yaitu dari segi
dimensional, yaitu dari segi dimensif fenomenalya, ilmu merupaknan masyarakat .
ilmu merupakaan masyarakat , merupakan prosess, dan merupakan produk. Ilmu
sebai masyarakat menunjukkan adanya kelompok elite, yang dalam kehidupannya
sangat mematuhi kaidah-kaidah universalisme, komunalisme, disserentedness,
skepsisme yang teratut. Ilmu sebagai proses menunjukkan aktivitas masyarakat
ilmiah melalui penelitian, eksperimentasi, spekulasi dan sebagainya. Sedang ilmu
segi produk dari proses yang menunjukkan adanya teori, dalil ajaran karya ilmiah
dengan anak kandungnya yang berupa teknologi.

5
Dari segi dimensi strukturalnya apa yang disebut struktur ilmu yang
terkandung didlamnya, adanya objek sasaran (gegenstand) ;gegenstand ini terus-
menerus dipertanyakan tanpa adanya titik henti; ada motivasi atau alasan mengapa
gegenstand terus menerus dipertanyakan; dan hasilatau jawaban yang diperoleh
disusun kembali dalam suatu sistematika.

3. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan

Fenomenologi adalah metode falsafat dari Edmun husserl. Berdasarkan


metode ini, kita tidak melihat benda melainkan gejala-gejala, sebagai sintesis dari
obyek dan subyek. Fenomenologi ini dikembangkan Husserl berdasarkan tesis
mengenai intensionalitas dari Brentano, yang menyatakan bahwa “mengalami tidak
bisa dipisahkan dari apa yang dialami”, subyek dan obyek bersatu, sehingga tak ada
hal menyadari tanpa ada hal yang disadari. Husserl adalah seorang failasuf
antiCartesian, tetapi ia juga dalam makna yang fundamental adalah seorang yang
terobsesi oleh Cartesianisme.

Seperti halnya telah mencoba membuat pendasaran atas seluruh ilmu


pengetahuan dengan metode keraguan universal, begitu pulalah Edmund Husserl
mencoba memberi dasar terhadap ilmu-ilmu: suatu pendasaran yang apodiktis, dan
eviden, sejelas matematika yang menampakkan dirinya dengan kenyataan langsung.
Eviden di sini maksudnya menangkap hal-hal dengan jelas secara intuitif (misalnya ada
2 + 2 = 4, ini menjadi sesuatu yang jelas dengan sendirinya)

Husserl adalah seorang Cartesian dalam makna bahwa bila hal yang bisa
kita percaya itu adalah kesadaran manusia, maka hal penting apa yang kita perlu
pelajari adalah kesadaran. Inilah yang membawanya kepada “back to the things
themselves” (kembali kepada bendanya itu sendiri), kembali kepada benda-benda dari
pikiran, fenomena kesadaran (back to the things of the mind, the phenomena of
consciousness.) Usaha Husserl ini membawanya kepada ide reduksi fenomenologis,
yaitu menempatkan realitas benda-benda di luar kita (epoche.) Sehingga hanya isi
kesadaran yang jelas. Transendensi dari bendanya sendiri (das Ding an Sich) tak
pernah bisa menjadi pembuktian yang nyata. Di sini Husserl meninggalkan sikap ilmiah
(sikap natural), dengan tanpa ragu-ragu melihat benda-benda sebagai benda-benda,
tidak sebagai gejala kesadaran saja (maka disebut ‘reduksi fenomenologis’ tidak
seperti Descartes yang memulainya dengan keraguan universal.)

Dalam hal “meninggalkan sikap ilmiah ini” Husserl memang menyatakan


adanya krisis dari ilmu- ilmu di eropa Barat: ilmu-ilmu positif, matematika, dan ilmu-
ilmu pasti-alam, termasuk ilmu-ilmu humanistik seperti psikologi. Di sini Husserl
berbicara mengenai hal yang sukar-dimengerti (menurut cara pandang ilmiah [sikap
natural]) dari subyektivitas. Ia memikirkan fenomenologi, yang membawanya kepada
gagasan reduksi fenomenologis. Dalam hal ini—lewat proyek falsafatnya—Husserl
6
memang ingin mengerti mengenai masalah nilai, bahkan ia terpukau pada soal nilai
ini, yang membawanya amat perhatian kepada masalah keterkaitan subyektivitas, nilai
dan intensionalitas.

Tetapi hanya reduksi fenomenologis saja tidak memadai, sebab kita dalam
melihat gejala selalu partikular. Husserl mencoba mencari pengertian mengenai gejala
yang universal, hal-hal umum seperti kemanusiaan, kemerdekaan dan sebagainya,
yang dicarinya dengan jalan reduksi eidetis: di mana dalam khayalan semua
perbedaanperbedaan dari sejumlah hal partikular itu disisihkan, sehingga tinggal suatu
esensi saja. Husserl memang mencari suatu dasar yang tidak bisa diragukan lagi lewat
reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, yang sesudah itu reduksi transendental
(menggunakan ego yang transendental) untuk akhirnya dapat melihat esensi-esensi
yang umum (ego cogito cogitations.) Dari reduksireduksi ini sampailah kita pada isi
dari dunia umum (lebenswelt), sehingga semua hal yang disadari (noemata) menjadi
nyata. Di sinilah Husserl berbicara mengenai Dasein (being-there, keberadaan
manusia), yang merupakan ilmu mengenai ada (a science of being), yang nanti konsep
ini akan dikembangkan oleh Heidegger, Sartre, dan Maerleau-ponty (namun dari sini
memang fenomenologi Husserl bisa jatuh atau dituduh solipsisme-fenomenologis,
karena mereduksi subyek menjadi suatu ego transendental dari intersubyektivitas,
yang akan dibicarakan di bawah.)

Menurut Husserl, berkaitan dengan yang di atas disebut intensionalitas,


dalam analisis pengamatan atas benda, itu tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi
lewat sejumlah bayangan. (Di sini kita bisa bertanya pada Husserl: Benda yang mana?
Benda yang di luar kita—yang menghasilkan aliran realisme epistemologis, atau benda
dalam kesadaran saya—yang menghasilkan aliran idealisme epistemologis.) Dalam hal
ini, pandangan Husserl memang kurang jelas, tetapi Husserl sangat menekankan
adanya dunia (urdoxa)— sebuah tema yang akan digarap tuntas oleh Maurica Merleu-
ponty.

Hasil dari semua usaha fenomenologis Husserl ini adalah untuk mencapai
realitas yang eviden, yang nyata dan dapat menjadi titik tolak ilmu pengatahuan.
Menjadi nyata bahwa subyek itu mengonstitusi alam. Konstitusi adalah kesatuan
subyekobyek dilihat dari sudut subyek, yaitu bagaimana manusia menciptakan
alamnya. Dalam istilah Husserl sendiri, “reduksi dari hal mengada menjadi menyadari
alam.” Kata konstitusi ini dipakai Husserl dalam berbagai arti, seperti konstitusi obyek-
obyek, kontitusi perbuatan pikiran, konstitusi dari stream of consciousness (aliran
kesadaran), konstitusi transendental supaya terjadi egotransendental. Dalam
fenomenologi, benda-benda mengada dalam makna-makna. Benda dilihat karena
menampakkan diri dalam dan oleh pengalaman-pengalaman sehingga terjadilah suatu
‘presentasi.’ Tugas fenomenologi bukan hanya mendeskripsikan, tetapi juga

7
menerangkan bagaimana obyek pengamatan dikonstitusikan dalam perbuatan-pikiran
dari yang mengamati.

Pada dasarnya setiap analisis fenomenologis memunyai dua segi, yaitu segi
noematis dan segi noetis, yang dalam suatu deskripsi sebenarnya tidak terpisahkan.
Artinya kalau subyek dan obyek menjadi satu, segala hal memunyai segi subyek
(noesis) dan obyek (noema) (band. dengan materi dan forma dari hal yang dipikirkan.)
Tugas setiap analisis noetic-noematic ini adalah melukiskan dan menerangkan susunan
(sintesis) yang secara pasif atau aktif terjadi dalam setiap perbuatan-pikiran dari ego.
Sintesis dari noemata (unsur-unsur yang disadari) adalah yang berhubungan dengan
satu obyek menjadi satu benda (dari buku, saya lihat segi-segi lebar, ketebalan, huruf
pada sampul, dan sebagainya, sehingga saya pun kemudian secara utuh menyadari
hakikat dari buku yang menampakkan diri pada saya itu.)

Oleh karena itu analisis noetic-noematic ini melukiskan gabungan (sintesis)


dari semua perbuatan-pikiran yang berkorelasi dengan noemata, yang masing-masing
menjadi satu perbuatan-pikiran yang bulat dari gabungan semua perbuatan-pikiran,
yang kemudian menjadi satu aliran kesadaran (stream of consciousness.)

Kembali ke soal konstitusi: persoalan konstitusi ialah persoalan tentang


kenyataan bahwa suatu obyek (benda) diberikan secara ideal sebagai suatu eviden
langsung. Setiap benda adalah obyek suatu universum pengalaman-pengalaman yang
mungkin. Sementara ego adalah instansi yang terusmenerus menyadari benda-benda.
Sedang kesadaran adalah instansi yang terus menerus menyusun sistem-sistem dari
intensionalitas, dan indeks dari sistem-sistem itu—yaitu benda yang dialami. (Di sinilah
menurut penulis, persoalan utama Husserl, yaitu persoalan intersubyektivitas:
Bagaimana kita--dengan falsafat Husserl ini—bertemu dengan yang lain, karena
Husserl hanya melakukan reduksi mundur hingga ke suatu ego transendental, tanpa
suatu intersubyektivitas yang sungguh konkret) Maka sekarang menarik melanjutkan
Husserl kepada Maurice Merleau-Ponty, dan melihat bagaimana penilaian Merleau-
Ponty atas Husserl setelah itu akan dilih jejak-jejaknya pada Peter Berger yang
mempopulerkan istilah ‘Konstruksi Sosial dari Kenyataan.

 Pengertian Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan atau knowledge adalah hal atau pemahaman akan sesuatu


yang bersifat spontan tanpa mengetahui seluk beluknya secara mendalam. Cirri
pengetahuan adalah tidak terbuka usaha bantahan atas dasar pengamatan dan
pemeriksaan. Sedangkan ilmu pengetahuan atau science adalah ilmu pengetahuan
yang bersifat metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya pengetahuan
tersebut di peroleh deengan menggunakan cara kerja yang terperinci , dan telah di
tentukan sebelumnya; metode itu dapat deduktif atau induktif. Sistematis maksudnya
pengetahuan tersebut merupakan suatu keseluruhan yang msndiri dari hal-hal yang

8
saling berhubungan sehingga dapat di pertanggung jawabkan. Logis maksudnya
proposisi-proposisi(pernyataan) yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan
rasional sehingga dapat di tarik ke putusan yang rasional pula.Ilmu pengetahuan ini
menurut ahli ilmu pengetahuaan Karl Raimund Popper dalam The Logic of Science
Discovery (1959) mempunyai cirri khas dapat dibantah ( critizable dan refutable) atas
dasar pengamatan dan pemeriksaan; maksudnya terbuka untuk di bantah kendati
mungkin akan di tetap bertahan

Proses sistematis pengetahuan menjadi ilmu biasanya melallui tahap-tahap sebagai


berikut:

1. Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin


2. Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji
3. Menarik kesimpulan logis dari pengadaian-pengadaian,
4. Merancang teknik mentes pengadaian-pengadaian,
5. Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat di andalkan
6. Tes itu sendiri di laksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan,
7. Menilai tuntutan kebenaran yang di ajukan oleh pengadaian-pengadaian itu serta
menilai kekuatan teknik tadi
8. Menetapkan luas bidang berlakunya pengadaian-pengadaianserta teknik dan
merumuskan pertanyaan baru

9
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Filsafat ialah permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan ke luar dari
kegiatan ilmiah seperti implikasi ontologik-metafisik dan citra dunia yang bersifat
ilmiah, tata susila yang menjadi patokan dalam penyelenggaraan ilmu dan
konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu.

Dalam arti sempit, filsafat ilmu yaitu menampung permasalahan yang


bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu
yang menyangkut sifat dari pengetahuan ilmiah dan cara-cara mengusahakan
serta mencapai pengetahuan ilmiah.

2. Saran
 Diharapkan filsafat ilmu selalu berkembang dalam ilmu pengetahuan yang ada di
dunia ini
 Diharpakan setelah membaca makalah ini membantu pembaca mudah dalam
memahami konsep dasar filsafat.

10
Daftar pustaka

 Budhy Munawar-Rachman. Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial Mengenai


Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan
Peter Berger. Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

11

Anda mungkin juga menyukai