Anda di halaman 1dari 2

7 Bulanan Ibu Hamil (Mitoni), Ritual Hindu yang Membudaya

23 April 2013 22:05 | Diperbarui: 24 Juni 2015 14:43

Dulu waktu saya masih beragama nasrani, tidak sedikit kaum ibu Hamil orang nasrani yang menggelar
upacara 7 bulanan, mereka berkeyakinan bahwa upacara mitoni yang dilakukan pada saat janin berusia 7
bulan, katanya untuk mengusir roh halus yang mau merebut anak dari kandungan.

Mereka ada yang melakukan Ritual seperti adat istiadat kejawen ada juga yang diganti dengan ibadah
pengucapan syukur.

SEBENARNYA UPACARA MITONI adalah teradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka
memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba
Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan
tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46]

Intisari dari sesajinya adalah :

1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).

2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.

3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai kelahiran
sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]

Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi
mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat
Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi
pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan
alam.

Kesimpulan
Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian tradasi dari budi pekerti orang
Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Dari berbagai simbol tindakan dan ritual
tingkeban/mitoni tersebut tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan keselamatan yang dikemas
dalam simbol budaya. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Buda Kejawen
bahkan Islam.

Namun, sebagaimana wawancara tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu
permohonan kepada sang pencipta dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan bagi pasangan. Paling
tidak, dari tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan
tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-
muhafazhah ‘ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi lama yang baik,
dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan,
dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif.
Keempat, proses penyucian diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha
Kuasa), ke lima sebagai simbol silaturahmi.

Anda mungkin juga menyukai