Tari Rantak Kudo atau Rentak Kudo adalah tarian daerah Jambi yang berasal dari
Hamparan Besar Tanah Rawang (Hamparan Rawang), Sungaipenuh, provinsi Jambi. Tari ini
adalah budaya asli masyarakat Kerinci yang awalnya menjadi bagian dari perayaan sakral
untuk merayakan hasil panen padi. Disebut Rantak Kudo karena gerakan kaki penari
berhentak-hentak dan hentakannya seakan-akan senada dengan bunyi hentakan kaki Kuda.
Sebagai bagian dari upacara yang sakral, tari ini berfungsi sebagai sarana memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa, ketika Masyarakat Kerinci menghadapi musim kemarau panjang.
3. Tari Rangguk
Tarian dari Jambi lainnya adalah Tari Rangguk yang juga merupakan produk budaya
dari Kerinci. Konon, tarian ini berawal dari ide seorang ulama di Dusun Cupak. Sekitar abad
ke-19, ulama tersebut menunaikan ibadah haji. Selain menyempatkan diri mendalami agama,
ulama tersebut juga belajar kesenian tradisional Arab.
Ketika pulang, sang ulama mulai berdakwah menyebarkan agama Islam kepada
masyarakat Kerinci. Agar menarik perhatian, beliau berdakwah sambil memainkan rebana
dengan gerakan anggukkan kepala dan melantunkan pantun dan pujian kepada Allah.
Aktivitas kesenian inilah yang kemudian terkenal dengan Tari Rangguk. Seiring
perkembangannya, Tari Rangguk tidak lagi berfungsi sebagai media dakwah saja, namun
sebagai hiburan. Jika untuk hiburan penari memainkan rebana dalam posisi melingkar. Jika
menyambut tamu kehormatan, penari memainkannya dalam posisi berdiri. Tari ini biasanya
jurut turut memeriahkan Festival Danau Kerinci.
4. Tari Asyek
Tari asyeik merupakan sebuah tarian purba yang telah tumbuh sejak zaman purba. Tarian ini
telah ada saat nenek moyang suku kerinci menganut animisme, dinamisme. Asyeik
merupakan sebuah tradisi megalitik yang menganut kepercayaan roh-roh nenek moyang
masyarakat pada masa prasejarah. Perlengkapan tarian ini berupa sesajian nasi putih, lepat,
nasi kuning, nasi hitam, lemang, bunga tujuh warna, warna sembilan. Peralatan yang
digunakan yaitu aria pinang, keris, kain tenunan kerinci, cembuing putih, piring putih. Dalam
sesajian harus ada satu ekor ayam hitam atau ayam putih ayam panggang, dan kelapa tumbuh.
Tarian ini memiliki beberapa episode yakni acar “Nyerau” atau “Nyaho”, “Masouk Bumoi”,
“Mujoi Gureu”, “Minotak Brkeh (minta berkah)” dan “Magelih Sajin (Memberikan
sesajian)”. Tari Asyeik pada zaman dahulu dilakukan selama satu minggu. Berbagai
persiapan dilakukan oleh dukun atau “Bilian Salih”, orang yang berobat (keluarganya). Pada
tingkatan proses akhir roh-roh nenek moyang akan memasuki sukma pengunjung atau orang
yang berobat. Saat roh nenek moyang memasuki jiwa maka tubuh mereka menjadi ringan,
mereka dapat memanjat bambu, menari diatas pecahan kaca.
5. Tari Iyo-iyo
Tari Iyo-iyo adalah sebuah tari tradisi yang biasanya dilaksanakan bersamaan dengan
upacara kenduri Sko. Tari ini sudah ada sejak lama dan kehadirannya bersamaan dengan
kenduri sko itu sendiri. Kata iyo-iyo itu sendiri berasal dari yo yo maksudnya membenarkan
atau meng iyakan apa yang disampaikan oleh para ninik mamak/pemimpin adat/depati. Pada
saat benda pusaka diturunkan dari tempatnya,maka para kaum wanita bersama
menyambutnya sambil menarikan iyo-iyo. Mereka menari sambil menyanyi (tale) yang
mengiringi geraknya. Setelah benda pusaka tersebut diturunkan, dicuci selanjutnya
diperlihatkan dihadapan masyarakat dan dibawa ke halaman atau tanah lapang, dan setelah
didahului oleh pencak silat yang dilakukan oleh hulu balang maka kaum perempuan kembali
menari iyo iyo bersama, dengan diiringi musik yang terdiri dari gendang, gong dan gumbe.
Sampai saat ini tai Iyo-Iyo masih berfungsi dalam kehidupan masyarakat di Kota Sungai
Penuh serta Kab Kerinci yang dipergunakan pada saat Kenduri Sko,baik pada saat penurunan
dan pencucian benda pusaka maupun pada saat pengangkatan Pemangku Adat/Depati