Anda di halaman 1dari 5

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Budaya Jawa


Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketenteraman
hidup lahir batin. Bagi orang Jawa, mengadakan upacara tradisional itu dalam rangka
memenuhi kebutuhan spiritualnya, supaya eling marang purwa daksina. Tradisi kebatinan orang
Jawa itu sebenarnya bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya daerah. Oleh
karena itu, orientasi kehidupan rohani orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur
yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Di samping itu, upacara
tradisional dilakukan orang Jawa dalam rangka memperoleh solidaritas sosial, lila lan legawa
kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang
tercermin dalam ungkapan gotong-royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan,
upacara tradisional itu memang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang. Mereka
melakukan ritual ini dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara
tradisional juga berkaitan dengan lingkungan hidup. (Sumber: Krishna.com)

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini
mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan
daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota
walisongo dimakamkan di kawasan ini.

Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan


Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari
pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogya

BAB II Keluarga menurut Budaya jawa

2.1 Pengertian keluarga

2.1 Nilai-nilai khususnya budaya jawa

Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang
berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara
lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara
menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara
setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan. Penduduk Jawa Timur umumnya
menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara
nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan
peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih.
Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga
pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
Upacara nyewu dina
Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: - Golongan
bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem, bunga telon
ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati, bebek/itik, dan
pelepasan burung merpati. - Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi gurih, ketan kolak,
apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam lodong serta kemenyan.
Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh keluarga, ulama, tetangga dan
relasi.

2.3 sistem perkawinan budaya jawa

Pesta pernikah adat Jawa mempunya beraneka ragam tradisi. Pemaes, dukun pengantin
perempuan di mana menjadi pemimpin dari acara pernikahan, itu sangat penting. Dia
mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya
berbeda selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin,
perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan. Banyak yang harus dipersiapkan
untuk setiap upacara pesta pernikahan. Panitia kecil terdiri dari teman dekat, keluarga dari
kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya
tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih). Sesungguhnya upacara pernikahan itu
merupakan pertunjukan besar.

Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik
gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato
pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab
(catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri.

Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada pihak wanitanya,
sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan sejumlah uang guna membantu
pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah
perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara
setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke
rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari “baik”, maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli
hitungan hari “baik” berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya,
maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk
menjalani hidup perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan
istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi
tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum
jamu Jawa yang akan membikin tubuh ideal dan singset
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya
di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu serta
gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal.
Dahulu pasang tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula
karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis berupa anyaman
daun kelapa yang disisipkan dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting
adalah sesaji. Sebelum pasang tarub harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil
hitungannya (3 – 9 orang)

Siraman (pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah
berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup,
disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya ucapan “semoga
selamat di dalam hidupnya”. Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang
saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para
tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam,
dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab
timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan
Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk
memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan
anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena malu).

2.4 pola asuh keluarga menurut budaya jawa

Upacara kelahiran awal dari pola asuh budaya tradisional jawa ini menyimbolkan
penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leuhur mereka.Salah
satu tradisi kelahiran dalam budaya Jawa adalah Selapanan. Upacara Selapanan bertujuan
memohon keselamatan bagi si bayi. Perlengkapan upacara yang dibutuhkan adalah sebagai
berikut:

- Golongan bangsawan: Nasi tumpeng gudangan, nasi tumpeng kecil yang ujungnya ditancapi
tusukan bawang merah dan cabe merah, bubur lima macam, jajan pasar, nasi golong, nasi
gurih, sekul asrep-asrepan, pecel ayam, pisang, kemenyan, dan kembang setaman diberi air.-
Golongan rakyat biasa: Tumpeng nasi gurih dengan lauk, nasi tumpeng among-among, nasi
golong, jenang abang putih, ingkung dan panggang ayam.

Upacara terakhir dalam rangkaian selamatan kelahiran yang dilakukan pada hari ke 36 sesuai
dengan weton atau hari pasaran kelahiran si bayi. Selapanan diadakan setelah maghrib dan
dihadiri oleh si bayi, ayah, dukun, ulama, famili dan keluarga terdekat.

2.5 peran keluarga


Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya entry is:

http://semarasanta.wordpress.com/2007/09/12/adat-istiadat-jawa . yang harus dilakukan


ketika hamil menurut islam; adat istiadat dalam kehamilan; adat istiadat kebudayaa suku jawa
pada saat kehamilan; adat kehamilan di jawa tengah. satu suku bangsa yang ada di Jawa.
Sebagai salah satu suku bangsa di magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat berupa
arak-arakan yang pernah digelar pada saat .

Sebagai 'wong jowo', simbah merasakan betul betapa yang namanya adat terkadang mbikin
hidup tambah ruwet. Mungkin tadinya bermaksud baik, namun seiring.Baju Grosir Female.Store
Macam Dan Contoh Adat Istiadat Di Indonesia. dan adat istiadat jawa tengah pada saat hamil
artikel adat istiadat dalam bahasa inggris. .Bedanya dengan suku Jawa, masyarakat Batak tidak
menambahkan aneka barang Menurutnya, tidak ada keharusan untuk melaksanakan adat-
istiadat tersebut.

2.5.1 peran suami

2.5.2 peran istri

Di dalam kehidupan tradisional Jawa, dapur merupakan ranah dan wewenang kaum
perempuan. Oleh sebab itulah maka isteri dalam kehidupan budaya Jawa disebut sebagai kanca
wingking (teman yang berada dan/atau bekerja di belakang). Belakang di sini berarti di dapur.
Istilah ini dinilai merendahkan martabat perempuan, seakan-akan wewenang perempuan hanya
di dapur saja, tidak ada kemampuan untuk tampil di depan.

Bahwa dapur identik dengan perempuan dan menjadi ranah dan wewenang perempuan, juga
tercermin misalnya kalau seorang suami yang sering ke dapur ada anggapan dalam budaya
Jawa bahwa suami tersebut dinilai kurang mempercayai istri di dalam mengelola dapur atau
ekonomi rumah tangga. Laki-Laki atau suami seperti itu disebut dengan istilah kethuk atau
cupar. Jadi dapur merupakan dunia perempuan, dan sebagai ciri pengenal khusus, dapur dalam
kehidupan tradisional Jawa ditekankan pada kendhil dan asap. Hal ini dikuatkan dengan adanya
cerita rakyat Jaka Tarub5. Cerita ini melambangkan bagaimana peranan perempuan di dapur,
dan dapat dimaknai suami harus percaya terhadap apapun yang dilakukan istri dalam kaitannya
dengan dapur.

Sesuai dengan kedudukan perempuan di dapur dan hubungan perempuan dengan dapur, maka
dalam pembuatan dapur pun secara tradisional ada perhitungan¬perhitungan yang berkaitan
dengan perempuan.

BAB III KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

1. Djoko Surjo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan
Budaya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi),
1985.

2. Parsudi Suparlan, “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi, dan
Perubahan”. Seminar Arsitektur Tradisional di Surabaya. Jakarta: Proyek IDKD, 1986.

3. Pakubuwono IV, Wulangreh Winardi. R.M Sutarto Hardjowahono, Surakarta, 1953.

4. Soepanto, “Peranan Ngantenan Dalam Upacara Wiwit di Kalangan Masyarakat Petani


Jawa” Bunga Rampai Adat Istiadat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1977.

Anda mungkin juga menyukai