Anda di halaman 1dari 14

NASKAH LOMBA PENULISAN ESAI BAGI REMAJA DIY TAHUN 2011

JAM KARET: ANTARA BUDAYA DAN TOLERANSI

Disusun oleh : Agus Budi Prasetya XI IPA 2

SMA NEGERI 2 WATES


Jalan K.H. Wahid Hasyim, Bendungan, Wates, Kulon Progo 2011

HALAMAN PENGESAHAN

Karya tulis esai dengan judul: JAM KARET: ANTARA BUDAYA DAN TOLERANSI Oleh: Agus Budi Prasetya/XI IPA 2

Telah disahkan oleh

Kepala Sekolah SMA N 2 Wates

Guru Pembimbing

Drs. H. Mudjijono Budi Prasetya NIP. 19550710 197803 1 007

Suminah, S. Pd Agus NIP. 19640512 198601 2 004

JAM KARET: ANTARA BUDAYA DAN TOLERANSI


Oleh: Agus Budi Prasetya

Di suatu tempat akan diadakan suatu seminar tentang Keunikan dan Keberagaman Budaya Bangsa Indonesia. Seminar itu rencananya dimulai pukul 10.00 WIB. Pada H-1 salah seorang panitia mencoba menghubungi pembicara tentang jam berapa akan dijemput tetapi apa jawabannya? Bukannya berangkat lebih awal tetapi pembicara menjawab, Jam 10 saja, biasanya peserta itu pada ngaret, paling-paling setengah sebelas juga baru mulai. Panitia agak kaget dan bingung tetapi mau bagaimana lagi, apa daya tangan tak sampai. Memang begitulah realita yang terjadi pada hari H. Begitulah sepenggal kisah yang sedikit banyak menggambarkan salah satu budaya negatif yang berkembang pada masyarakat Indonesia. Acara yang molor sudah dianggap biasa, murid yang terlambat biasa juga, apalagi para PNS yang datang terlambat pulang cepat berarti makan gaji buta. Acara jam 7 berangkat jam 7. Bila demikian, kapan bangsa ini mau maju? Hal ini masih menjadi tanda tanya besar dan mesti menjadi koreksi bagi kita semua. Kitalah yang harusnya menyadari, menelisik apakah sebenarnya penyebab lahirnya budaya negatif ini dan bagaimanakah solusinya? Kebudayaan seperti ini memanglah sering terjadi umumnya di masyarakat Indonesia, di sekolah, di kantor, di suatu acara, dan di tempat-tempat lainnya. Jika sudah dianggap biasa, hal ini bisa jadi berbahaya bagi bangsa ini kelak. Sebenarnya apa penyebab utama lahirnya budaya ini? Berbagai hal bisa menjadi penyebabnya. Namun, satu hal yang menjadi penyebab utama ialah toleransi yang berlebihan dan salah tempat. Indonesia terkenal dengan negara yang bertoleransi tinggi. Namun, toleransi yang terlalu tinggi ini masyarakatnya terkadang menjadi kurang disiplin dan terkadang menganggap hal-hal sepele

seperti memaafkan keterlambatan seseorang dalam suatu acara tanpa alasan yang logis. Padahal, waktu sangat berharga dan harus dihargai. Waktu tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Satu detik yang telah berlalu tidak akan terulang kembali. Hal ini sangat berlawanan dengan negeri matahari terbit, Jepang. Di sana waktu 1 detik saja begitu berharga bagi mereka. Semisal jika mau berangkat bekerja atau berangkat sekolah menggunakan kereta, maka tertinggal 1 detik saja maka tidak bisa masuk lagi karena pintu menutup secara otomatis. Jika sudah begitu tentu saja akan terlambat dan rugi besar. Disadari maupun tidak ada saja budaya yang menyusup di tubuh bangsa Indonesia, baik budaya posistif maupun negatif. Budaya positif mungkin masih bisa diterima, itu pun harus tetap selektif sedangkan budaya negatif sudah semestinya ditolak mentah-mentah karena hal ini bisa berbahaya bagi kehidupan para penghuninya. Salah satu budaya negative itu adalah budaya jam karet yang merupakan budaya negatif akibat kebiasaan menunda-nunda waktu alias molor. Sebagai contoh, realita jam karet di Indonesia adalah molornya acara rapat. Biasanya pada suatu rapat jam yang ditetapkan misalnya pukul 09.00 WIB tetapi pada kenyataannya baru dimulai pukul 09.30 WIB atau bahkan pukul 10.00 WIB acara baru akan dimulai. Hal ini seperti sudah dianggap biasa oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, dari kebiasaan inilah secara tidak langsung dan disadari maupun tidak telah mengakibatkan lahirnya budaya negatif yakni jam karet. Mungkin orang Indonesia memang sudah identik dengan kebudayaan jam karet. Hal ini selaras dengan pendapat Prof. Nagano, pengajar Nihon University ketika berkunjung ke Indonesia. Prof. Nagano menyampaikan beberapa hal sewaktu membahas tentang Indonesia yang yang salah satunya sangat berkaitan dengan budaya negatif jam karet. Pertama, orang Indonesia suka rapat dan membentuk panitia macam-macam. Kedua, kalau ada pekerjaan kalau bisa dikerjakan besok kenapa tidak (?). Ketiga, pemimpin di Indonesia pada umumnya tidak mau turun ke lapangan, dan yang terakhir adalah budaya jam karet. Begitulah pendapat salah seorang profesor dari negeri matahari terbit. Hal ini perlu menjadi koreksi bagi Indonesia. Sudah sebegitu parahkah masalah kedisiplinan orang Indonesia hingga orang asing pun sudah mengecap orang

Indonesia berbudaya jam karet? Kebudayaan jam karet memang sudah identik dengan Indonesia meskipun tidak semua masyarakat Indonesia melakukan budaya ini. Dapat dikatakan pula bahwa jam karet terlahir karena masyarakat Indonesia yang berjiwa toleransi salah paham dalam menempatkan toleransi tersebut. Seharusnya di mana toleransi ditempatkan agar tidak melahirkan budaya negatif? Sebelum membahas lebih jauh tentang jam karet perlu kita ketahui apakah sebenarnya toleransi maupun budaya itu? Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti akal (Koentjaraningrat, 1974: 80). Definisi yang paling tua dapat diketahui dari E.B. Tylor yang dikemukakan di dalam bukunya Primitive Culture (1871). Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adatistiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 5). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149), disebutkan bahwa budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan, yaitu sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak sedangkan definisi toleransi adalah sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, dan/atau penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Toleransi yang tinggi identik dengan orang Indonesia, khususnya orang Jawa yang mempunyai jiwa pakewuh, yaitu sungkan terhadap orang-orang tertentu. Seperti dalam suatu acara jika si A belum datang meskipun sudah waktunya acara dimulai maka belum dimulai karena masih menunggu si A datang. Bagaimana jiwa positif (baca: toleransi) orang Indonesia mengakibatkan dampak lahirnya budaya jam karet? Pada hakikatnya apa pun perbuatan yang

bersifat baik patut dilakukan. Namun, kebaikan itu akan menjadi ketidakbaikan jikalau salah penempatannya. Toleransi merupakan jiwa yang luhur karena toleransi mampu

menghormati dan menghargai orang lain yang berbeda pada suatu sisi seperti agama. Selain itu, toleransi mengajarkan agar orang mau memaafkan kesalahan orang lain sebesar apa pun itu. Namun, ketika toleransi diterapkan pada tempat yang salah, dalam hal ini toleransi dengan memaafklan keterlambatan secara terus-menerus yang lama kelamaan tanpa disadari keterlambatan dianggap hal biasa yang akhirnya lahirlah budaya negatif jam karet. Lalu, bagaimana penerapan toleransi yang betul? Toleransi akan keterlambatan seseorang yang mengkibatkan jam karet dalam batasan tertentu masih bisa ditolerir seperti dengan alasan yang logis. Toleransi yang sesungguhnya diterapkan untuk menengahi perbedaan di masyarakat agar hak-hak setiap individu maupun kelompok dapat terpenuhi. Setiap bangsa memiliki ciri khasnya masing-masing termasuk bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki nilai toleransi yang tinggi, tersentral pada orang-orang tertentu dalam hal ini berupa penghormatan khusus. Namun sayangnya, hal tidak baik yang dimiliki bangsa ini adalah bersifat hipokrit, artinya apa yang dikatakan terkadang berbeda dengan apa yang dirasakan dan juga masih belum bisa sepenuhnya menghargai waktu. Yang terakhir inilah yang menyebabkan lahirnya budaya negatif jam karet. Orang Indonesia khususnya orang Jawa mempunyai prinsip alon-alon waton kelakon. Orang Indonesia selama ini salah paham terhadap prinsip ini. Sebagian mengartikan bahwa dalam mengerjakan sesuatu itu sesampainya saja padahal makna yang sesungguhnya adalah supaya berhati-hati dan bersikap cermat dalam melakukan suatu pekerjaan. Indonesia terkenal dengan orangnya yang ramah-tamah dan penuh toleransi. Orang asing yang belum pernah ke Indonesia mereka akan menemukan sebuah kejanggalan realita yang ada berbeda dengan wacana yang mereka dengar selama ini. Selain itu, Mochtar Lubis mengemukakan bahwa manusia Indonesia

memiliki setidaknya lima ciri khas utama. Pertama, ciri manusia Indonesia pertama adalah kemunafikan. Mental hipokrit telah menjadi ciri khas yang sering kita lihat. Kedua, ciri manusia lainnya adalah tidak mau (enggan atau segan) bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, ciri manusia Indonesia adalah berjiwa feodal. Gaya feodalisme ini masih marak dalam kepemimpinan di Indonesia. Konsep para pejabat publik yang seharusnya berfokus kepada service (pengabdian atau pelayanan) hanya sekadar ucapan di bibir. Banyak pejabat mulai dari lurah, camat, bupati, gubernur, menteri, presiden harus dilayani bawahan. Keempat, manusia Indonesia percaya hal-hal mistik (takhyul). Kelima, ciri manusia Indonesia adalah artistik. Manusia Indonesia adalah manusia seni, di mana ekspresi seni baik lewat pantun, puisi, lagu, kerajinan yang memiliki nilai artistik yang indah. Di antara pendapat Mochtar Lubis di atas, ciri pertama adalah yang paling dominan pengaruhnya terhadap munculnya budaya jam karet. Orang Indonesia dengan ciri hipokrit yang berarti kemunafikan. Salah satu contohnya adalah jika mengadakan janji untuk bertemu jam 10 tetapi jam 10 baru berangkat dari rumah. Budaya negatif jam karet di Indonesia seperti sudah familiar dengan orang-orangnya,. Rasanya belum afdhol bila dalam suatu acara tidak molor meskipun hanya beberapa menit. Paradigma inilah yang perlu diubah. Untuk mengubahnya maka harus diketahui terlebih dahulu apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya budaya jam karet. Dilihat dari segi tempat tinggalnya, faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya budaya jam karet di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu desa dan kota. Lahirnya budaya jam karet pada masyarakat desa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan perihal waktu seperti yang pada umumnya dipahami oleh masyarakat dunia. Berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat di kota dalam suatu acara, misalnya meeting atasan sengaja terlambat dengan alasan tidak seharusnya atasan yang menunggu bawahannya datang. Di samping itu, budaya jam karet di perkotaan bisa juga terbentuk karena memang sudah menjadi kebiasaan. Selain itu, yang juga menjadi fajtor pendukung lahirnya budaya jam karet

di Indoensia adalah Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dengan areal lahan pertanian yang luas dan subur dengan kekayaan alam yang melimpah terkadang menjadikan orang-orangnya malas karena sudah merasa berkecukupan. Yang kedua, orang Indonesia dikenal orang yang ramah- tamah dan tolerir sehingga sangat mudah memaafkan keterlambatan. Budaya jam karet mengakibatkan berbagai dampak negatif. Sebagai contoh, jika akan ada meeting maka akan menjadikan molornya jadwal . Selain itu, para peserta yang sudah lama menunggu akan jengkel akan jam karet ini. Bagi anak sekolah, kebiasaan jam karet seperti berangkat mepet dan sesampainya sudah bel alias terlambat. Siswa biasanya menjadi tergesa-gesa dan ketergesaan ini berbahaya bagi dirinya maupun orang lain. Dia akan beruasaha cepat sampai di sekolah dan biasanya berkendaraan dengan kecepatan tinggi alias ngebut meskipun pada akhirnya juga terlambat. Hal ini tentu membahayakan karena jika lengah sedikit saja bisa-bisa kecelakaan tidak terhindarkan. Sesampainya di sekolah suasana kemrungsung masih menyelimuti sehingga tetap saja terlambat dan menjadikan konsentrasi serta fokus pada pelajaran terganggu. Hukuman dari pihak sekolah pun pasti jadi ganjarannya, mulai dari teguran lembut hingga bentakan keras bahkan skorsing. Sudah saatnya masyarakat Indonesia bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi waktu. Salah satunya dengan mau berkaca pada negara lain, Jepang misalnya. Di Jepang penghargaan terhadap waktu begitu besar. Waktu satu detik saja sangat berarti bagi mereka. Begitu pun sebaliknya waktu satu detik saja juga bisa merugikan mereka yang tidak mau atau terlambat dalam memanfaatkannya. Misalkan terlambat satu detik saat mau masuk kereta di stasiun, tentu saja sudah tidak bisa masuk lagi karena pintu tertutup secara otomatis. Pemerintah telah mencangkan program Gerakan Disiplin Nasional (GDN). Disiplin Nasional pada hahekatnya adalah berfikir tertib, bersikap tertib dan bertingkah laku tertib. Ketertiban merupakan merupakan dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tertib. Ketertiban merupakan dasatr bagi rasa tenteram dan sejahtera. Ketertiban juga merupakan ciri dan dasar dari masyarakat yang modern dan maju.

Maksud Gerakan Disiplin Nasional adalah agar pembinaan disiplin nasional dapat dipicu dan dipacu secara terpadu, serentak dan komprehensif, untuk mendukung upaya peningkatan pemahaman,penghayatan dan pengamalan segenap hukum dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara oleh penyelenggara negara dan setiap individu anggota masyarakat Indonesia sedangkan tujuannya adalah untuk menjadikan disiplin nasional sebagai faktor penunjang pembangunan nasional Akhirnya, sudah sepatutnya Indonesia dapat mengambil hikmah dari

semua ini. Sadar akan pentingnya tepat waktu sadar akan makna dan penerapan toleransi yang sesungguhnya sehingga jam karet tidak lagi menjadi budaya dan dapat berangsur-angsur hilang. Mulai detik ini, hal bijak yang harus segera dilaksanakan adalah koreksi diri. Apakah selama ini kita sudah mulai untuk berusaha mengikis budaya jam karet? Apakah kita sudah memanfaatkan waktu pemberian dari Yang Maha Kuasa? Waktu sangatlah berharga meskipun hanya sedetik. Mulailah untuk menghargai waktu sehingga tidak lagi ada jam karet. Penghargaan terhadap waktu ini sangat berharga seperti yang tertuang dalam surat Al Asr (Demi Waktu) berisi bahwa manusia harus menghargai waktu jika tidak mau menderita kerugian. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar budaya jam karet semakin terkikis. Pertama, adanya contoh dari pemimpinan. Hal ini sangatlah dibutuhkan. Jika pemimpin mampu memberikan keteladanan dan pemimpinnya tepat waktu, maka bawahan (rakyat) pun akan merasa rikuh dan segan sehingga berusaha sama seperti pimpinannya yaitu tepat waktu. Kedua, penekanan pentingnya pelayanan. Ketiga, imbalan yang cukup bagi orang yang tepat waktu. Keempat, adanya kontrol dari lembaga maupun konsumen. Apabila minimal empat hal di atas dapat direalisasikan secara berkesinambungan maka sedikit demi sedikit akan semakin terkikislah budaya jam karet. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu perubahan melainkan harus segera melakukan perubahan dengan 3 M, yaitu mulai dari diri sendiri, mulai dari halhal kecil, dan mulai dari saat ini. Dengan demikian, toleransi tidak lagi salah

tempat dan budaya jam karet menjadi jam baja alias tepat waktu. Berubah itu memang sulit tetapi semuanya akan lebih mudah ketika kita sudah berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Drs. Sudarna. Guru Sosiologi SMA Negeri 2 Wates. Wawancara Pribadi. 16 Agustus 2011. Pukul 13.00 WIB. Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. istayn.staff.uns.ac.id sosbud.kompasiana.com, diakses pada tanggal 28 Agustus 2011 pukul 9:25 WIB

BIODATA PENULIS

Nama

: Agus Budi Prasetya

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 13 Agustus 1995 Jenis Kelamin Nama Sekolah Alamat Sekolah : Laki-laki : SMA N 2 Wates : Jalan K.H. Wakhid Hasyim, Bedungan, Wates, Kulon Progo DIY No. Telp Sekolah Kelas Alamat Rumah Hobi Cita-cita Pribadi Motto Hidup Bidang ilmu yang digemari Nama Orang Tua : Ayah : Muhammad Basir Ibu No. HP : Paidah : (0274) 7732 055 : XI IPA 2 : Dobangsan, Giripeni, Wates, Kulon Progo : Membaca, meneliti, dan menulis : Dosen, Peneliti, Enterpreneur : God oriented and do the best! : Matematika, IPA, psikologi, agama

: 08812760596

Riwayat Pendidikan : 1. TK ABA Dobangsan, 2001 1. SD N Giripeni, 2007 2. SMP N 1 Wates, 2010

Prestasi

: Juara 3 Lomba lari jarak jauh tingkat kabupaten Juara 3 Esai Delayota ART #5 Se-DIY Finalis 5 besar LKTI Mikrobiologi UGM se-DIY Jateng

Anda mungkin juga menyukai