Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Pengaruh Budaya Asing terhadap Kebudayaan Indonesia

Disusun untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial

Dosen Pengampu :

Drs. Faizal, S.Pd., M.Si


Silvina Noviyanti, S.Pd., M.Pd.

OLEH :

KELOMPOK 5

OLIVER CHELSEA SITANGGANG (A1D123061)

AUDY MITA AMELINA (A1D123078)

AURORA KARINA TOMIA PUTRI (A1D123062)

PROGRAM SARJANA PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
(2023)
KATA PENGANTAR

Pertama tama kami panjatkan puji dan syukur atas rahmat dan ridho Allah
SWT,karena Rahmat dan Ridhonya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Faizal, S.Pd., M.Si dan
Ibuk Silvina Noviyanti, S.Pd., M.Pd. Selaku dosen pengampu mata kuliah Konsep
Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial yang membimbing kami dalam pengerjaan makalah
ini. Kami juga ucapkan terima kasih kepada teman teman kami yang selalu setia
membantu dalam hal mengumpulkan data data dalam pembuatan makalah ini. Dalam
kami menjelaskan tentang “Pengaruh Budaya Asing terhadap Kebudayaan Indonesia.”

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang Belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen.
Demi tercapainya makalah yang sempurna.

Muara bulian, 14 November 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1. latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah..................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN MASALAH ......................................................... 3

2.1. Hakikat Kebudayaan Indonesia ................................................................ 3

2.2. Orientasi pada Budaya Asing Pengaruh Budaya Asing ........................... 6

2.3. Ketahanan Budaya Indonesia, Suatu Keharusan ...................................... 7

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 14

3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pancasila. Pancasila dijadikan


sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara sejak Proklamasi Kemerdekaan
pada tahun 1945. Sebagai suatu bentuk budaya yang luhur, Pancasila merupakan
gagasan atau ide yang ada dalam pikiran para pemilik budaya tersebut. Alam pikiran
itulah yang menentukan prilaku khas bangsa Indonesia atau disebut dengan budaya
Indonesia sehingga menjadikan jati diri bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-
bangsa lain. Akan tetapi pengaruh budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila harus diwaspadai. Agar nilai-nilai atau budaya
tersebut tidak hilang atau tergerus oleh budaya asing.
Moderisasi dan Globalsasi melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks,
tetapi keadaan ini seharusnya tidak membuat bangsa Indonesia kehilangan
kepribadiannya sebagai bangsa yang besar dan kaya unsur budaya. Akan tetapi dengan
semakin derasnya arus budaya asing yang masuk ke Indonesia, mau tidak mau
kepribadian tersebut akan terpengaruh, atau mungkin bisa dikatakan "tercemar", oleh
corak budaya asing yang lebih mementingkan individualisme, formalitas, kontrak kerja
resmi, dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu sosial Anthony Giddens,
bahwa dampak moderisasi itu ada yang positif dan ada yang negatif. memang masuknya
budaya asing ke Indonesia itu akan membawa perubahan-perubahan menuju suatu
kemajuan sekaligus juga dapat membawa perubahan-perubahan yang bersifat negatif,
seperti runtuhnya institusi sosial dan pudarnya budaya lokal. Globalisasi juga
berpengaruh terhadap masuknya budaya asing ke Indonesia. Globalisasi mempengaruhi
hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Agar
kita tidak tergilas begitu saja oleh arus budaya asing, maka kita harus mempersiapkan
diri dengan sebaik-baiknya, misal saja dengan pengetahuan yang cukup akan pengaruh
kebudayaan asing, mampu memfilterisasi dampak masuknya budaya asing ke
Indonesia, serta norma dan ideologi yang kuat.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Mengetahui Hakikat Kebudayaan Indonesia?

2.Bagaimana Orientasi pada Budaya Asing Pengaruh Budaya Asing?

3. Apakah Ketahanan Budaya Indonesia, Suatu Keharusan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.Mengetahui apa yang dimaksud Hakikat Kebudayaan Indonesia

2. Mengetahui Bagaimana Orientasi pada Budaya Asing Pengaruh Budaya Asing

3. Menjelaskan Apakah Ketahanan Budaya Indonesia, Suatu Keharusan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Kebudayaan Indonesia

Hakikat budaya adalah cara hidup, cara hidup yang dikembangkan bersama,
dibagikan, dan diwariskan oleh sekelompok orang dari generasi ke generasi. Budaya
terdiri dari banyak elemen kompleks, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, peralatan, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, seperti halnya budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia, sedemikian rupa sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya turun-temurun. Ketika seseorang mencoba
berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dan menyesuaikan
perbedaan mereka, itu membuktikan bahwa budaya itu berwawasan luas.

1. Unsur-Unsur Kebudayaan
Unsur budaya terbagi menjadi unsur besar dan kecil yang biasa disebut budaya
universal, karena budaya ini dapat ditemukan di setiap sudut dunia, seperti pakaian,
tempat tinggal, dll. Unsur Kebudayaan menurut para ahli yaitu :
A. Bronislaw Malinowski
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki empat unsur
utama, yaitu:
1) Sistem normatif yang memungkinkan kerjasama antar anggota masyarakat untuk
beradaptasi dengan lingkungan alamnya.
2) Organisasi Ekonomi.
3) Alat dan lembaga atau pejabat yang digunakan untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama).
4) Organisasi Politik.
B. C.Kliucckhohn Kliucckhohn
menyebutkan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu sistem mata pencaharian;
sistem peralatan dan teknologi; sistem organisasi sosial; sistem pengetahuan; bahasa;
seni; sistem keagamaan dan upacara keagamaan.
3
C. Herskovits
Herskovits percaya bahwa budaya adalah sesuatu yang diwariskan dari satu generasi
ke generasi lainnya, dan kemudian disebut superorganik.
D. Andreas Eppink
Budaya mencakup bentuk-bentuk pemahaman keseluruhan tentang nilai- nilai sosial,
norma sosial, sains, dan semua masyarakat, agama, dan struktur lainnya, serta semua
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri masyarakat. Edward Burnett Tylor
e. E. B. Tylor, 1832-1917 menganggap budaya sebagai kompleksitas sesuatu, termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan dan
kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
F. Koentjaraningrat
Koentjaraningrat (1985) menunjukkan bahwa budaya memiliki tujuh unsur. Ia
menyebutnya sebagai konten utama budaya. Ketujuh elemen budaya universal adalah
seni, sistem dan peralatan teknis, sistem organisasi masyarakat, bahasa, sistem mata
pencaharian dan sistem ekonomi, sistem pengetahuan dan sistem keagamaan
Dalam arti tertentu, unsur-unsur yang tercantum di atas adalah unsur budaya
universal, ada di mana saja, kapan saja, dan berlaku untuk siapa saja. Artinya ada tujuh
elemen di mana pun di dunia. Dalam sejarah manusia, baik primitif maupun modem,
ketujuh elemen ini berlaku untuk siapa pun yang disebut "manusia". Budaya
memberikan pengetahuan dan gagasan tentang perilaku. Artinya, orang harus
mengetahui jenis pengetahuan dan pemikiran yang harus diterapkan pada jenis perilaku
(behaviors) tertentu yang sesuai, dan mereka juga harus memahami perilaku (about
behaviors) tentang apa yang mereka lihat.
2. Wujud Kebudayaan
Koendjaraningrat menyatakan bahwa ia percaya bahwa bentuk budaya meliputi:
a. Bentuk Pertama yang abstrak dan tidak bisa dipahami ada di benak anggota
masyarakat di mana budaya tersebut berada.
b. Bentuk kedua sistem sosial adalah pola perilaku manusia. Sistem sosial ini tersusun
atas aktivitas manusia, aktivitas manusia selalu berinteraksi menurut pola tertentu, dan
sifat-sifatnya yang spesifik dapat diamati.

4
c. Bentuk ketiga adalah budaya fisik yang paling spesifik, dan bentuknya adalah benda
yang dapat disentuh dan dilihat. Bentuk khas budaya adalah artefak yang merupakan
karya fisik yang dapat disentuh, seperti bangunan megah (Candi Borobudur,
Prambanan). Dalam pengertian sistem perilaku, budaya merupakan pola tindakan yang
dilakukan oleh manusia dengan pola. Perilaku itu spesifik dan dapat diamati dan
divisualisasikan.
3. Budaya Dan Lingkungan
Kelangsungan hidup kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang dihadapi
kelompok tersebut. Memiliki lingkungan geografis atau habitat alami. Lingkungan ini
memberikan berbagai keunikan alam, dan kelompok sosial beradaptasi dengan
lingkungan melalui perubahan teknologi. Anggota kelompok sosial harus hidup
bersama dan berinteraksi. Beberapa dari grup ini sebagian interaktif dan memungkinkan
interaksi tatap muka. Di seluruh dunia, kelompok sosial utama (seperti negara) hidup
dalam lingkungan sosial, regional dan global. Harus beradaptasi dengan negara lain.
Kami biasanya tidak memikirkan lingkungan tertentu karena tidak terlihat. Namun
kenyataannya, jutaan orang telah sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Kali ini
terletak pada persepsi orang tentang dinamika dasar manusia. Salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan akan makna ini adalah dengan mengembangkan keyakinan
bahwa hidup ditentukan oleh hal-hal yang lebih tinggi (seperti Tuhan atau hal-hal
supernatural lainnya). Lingkungan ini terletak di sini atau sekarang atau di luar
pengalaman.
4. Budaya Dan Non
Budaya Non budaya meliputi benda-benda yang ada atau diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa tetapi belum pemah diganggu oleh manusia (benda ilmiah seperti
bebatuan, pohon, gunung, tanah, planet). Sedangkan budaya termasuk hal-hal yang
perlu diintervensi oleh manusia (seperti patung, marmer/batu akik
bonsai dan bangunan). Ketika mengalami intervensi manusia, benda non budaya akan
menjadi budaya.
5. Pranata Budaya
Kelembagaan (Pranata) budaya yang ada dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan
hidup manusia dalam ruang dan waktu :

5
a. Pranata yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kerabat, seperti perkawinan,
parenting.
b. Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan mata pencaharian,
produksi, penimbunan dan distribusi properti. Contoh pertanian, industri, koperasi dan
pasar. . Suatu pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
c informasi dan pendidikan agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Misalnya:
pengasuh anak, sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan
agama, jurnalistik.
d. Sebuah pranata yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan
manusia dan menjelajahi alam semesta. Contoh: menjelajahi luar angkasa, satelit.
e. Pranata yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia merepresentasikan
keindahan dan respons. Misalnya: membatik, seni suara, aksi, drama dan olahraga.
f. Sebuah Pranata yang dirancang untuk memuaskan interaksi manusia dengan Tuhan.
Contoh: masjid, sholat, pesta dan pantangan.
g. Sebuah pranata yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia.
Misalnya: kecantikan dan kesehatan.

2.2 Orientasi pada Budaya Asing Pengaruh Budaya Asing

Hubungan atau kontak secara fisik antara satu budaya dengan budaya lainnya
cendrung dapat menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi di antara masing-masing
budaya tersebut. Artinya suatu budaya itu bisa mempengaruhi budaya lainnya, namun
sekaligus juga dapat terkena (mau menerima ) pengaruh dari budaya lainnya itu. Namun
apabila hubungan atau kontak tersebut dilakukan secara tidak langsung, misalnya
melalui alat-alat komunikasi massa seperti radio, televisi, film, Koran dan lain-lain,
maka komunikasinya cenderung bersifat satu arah saja, yaitu dari masyarakat yang
secara aktif menggunakan alat-alat komunikasi tersebut, sedangkan pihak lain (yakni
masyarakat penerima ) tidak memiliki kesempatan untuk memberikan pengaruhnya.
Apabila pengaruh tersebut diterima tidak karena paksaan dari pihak yang
mempengaruhi, maka hasilnya di dalam ilmu antropologi budaya dinamakan akulturasi.

6
Ada kalanya juga, bahwa dalam proses pertemuaan budaya tersebut, tidak terjadi
pengaruh sama sekali (baik satu arah maupun dua arah ). Pada pertemuan kedua budaya
yang tarafnya seimbang misalnya, kadang kala bisa saling menolak yang mungkin
disebabkan karena pada masa lalunya pernah saling terjadi perentangan fisik yang
kemudian dilanjutkan dengan pertentangan non fisik antara kedua masyarakat
pendukung masing-masing kebudayaan itu. Keadadaan semacam itu dalam sosiologi
antropologi dinamakan Cultural Animosity.
Seiring dengan masuknya era globalisasi saat ini, turut mengiringi budaya-budaya
asing yang masuk ke Indonesia. Dizaman yang serba canggih ini, perkembangan
kemutahiran teknologi tidak dibarengi dengan budaya-budaya asing positif yang masuk.
Budaya asing masuk ke negri kita secara bebas tanpa ada filterisasi. Pada umumnya
masyarakat Indonesia terbuka dengan inovasi-inovasi yang hadir dalam kehidupannya,
tetapi mereka belum bisa memilih dan memilah mana yang sesuai dengan aturan serta
norma yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Negara Indonesia mempunyai
norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya, norma tersebut meliputi norma
agama, norma hukum, norma sosial, dan norma kesopanan. Setiap butir norma memiliki
peranan masing-masing dalam mengatur hidup manusia. Norma merupakan suatu
ketetapan yang ditetapkan oleh manusia dan wajib dipatuhi oleh masyarakat dan
memiliki manfaat positif bagi kelangsungan hidup khalayak. Setiap peraturan yang
telah ditetapkan pasti ada sanksi yang melanggar, hal itu serupa dengan norma, apapun
jenis norma ada di Indonesia, pasti ada sanksi bagi yang melanggarnya.
Pengaruh budaya Asing terhadap budaya Indonesia juga telah banyak merubah
Indonesia dari segi pembangunan. Pembangunan yang terus berkembang di Indonesia
dapat merubah perekonomian indonesia dan mencapai tatanan kehidupan
bermasyarakat yang adil, maju, dan makmur.

2.3. Ketahanan Budaya Indonesia, Suatu Keharusan


2.3.1 Pendahuluan
Sejak isu globalisasi menggelinding dari Benua Utara (Eropa Barat dan
Amerika Serikat), globalisasi telah membuat batas-batas dunia makin mencair.
Globalisasi dalam konteks ini dapat diartikan proses masuk menuju ruang

7
lingkup dunia. Yang kemudian terjadi,ternyata makin terbukanya perluasan
lahan bagi produk budaya Barat ke Selatan (baca: negara-negara berkembang).
Sebaliknya, teramat sulit produk budaya Selatan menembus Eropa Barat dan
Amerika Serikat. Taruhlah sebagai contoh, Jackson atau Madonna
dapatdengan mudah dan begitu leluasa menembus Benua Selatan, ternyata
tari Tayub, seni Badui, kethoprak, dan sebagainya yang berasal dari Indonesia
(baca: Jawa) tidak mudah menembus Benua Utara.
Dari fenomena seperti tersebutdi atas, negara-negara Selatan, termasuk
Indonesia, tidak lebih daripada pasar yang harus mau menyerap produk-
produk Barat. Negara-negara Selatan nyaris tidak mampu melakukan
negosiasi, karena hampir semua modal, SDM, akses,dan teknologi, dan
pusat-pusat informasi dikuasai oleh negara-negara Barat. Pertanyaannya
adalah bagaimana nasib budaya lokal (dengan segala produknya) di Indonesia.
2.3.2 Harus Fair
Harus diakui bahwa tidak semua yang berasal daribudaya Barat itu
tidak baik. Sebaliknya, tidak semua yang ada pada budaya kita sendiri itu
baik.Yang bernama kebaikan dan ketidakbaikan itu ada di mana-mana. Hanya
saja, ternyata arus budaya yang datang dari Barat tersebut demikian kuatnya
menghantam budaya lokal, sehingga sangat mungkin budaya lokal kita
tersebut akan mati mengenaskan.
Memang, UUD 1945 pasal 32telah menegaskan “Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Penegasan itu memiliki
pengertian bahwa kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha dari budi daya rakyat Indonesia. Kebudayaan
lama dan asli sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh
Indonesia diakui sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
ditujukan ke arah kemajuanadab, budaya, dan persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang justru akan dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

8
Unsur kebudayaan yang selama ini dipahami orang, meliputisistem
religi dan keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, sistem kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan.
2.3.3 Upaya Eksternal dan Internal
Terkait dengan semua itu, ada dua hal paling tidak yang mesti kita
lakukandengan sungguh-sungguh. Pertama, sebuat saja sebagai upaya
eksternal, pada prinsipnya kita harus mampu menyikapi secara arif budaya
“asing” yang mau masuk ke Indonesia. Kedua, sebuat saja sebagai upaya
internal, pada pokoknya kita harus mengangkat kembali nilai-nilai lokal ke
permukaan.
Untuk upaya yang pertama, terhadap masuknya budaya “asing”, kita
mesti melakukan seleksi (ketat) atas muatan-muatan (nilai-nilai) yang terbawa
di dalam budaya yang „datang‟ itu. Muatan yang „kurang pas‟ tentu tidak boleh
kita ambil, sedangkan muatan-muatan yang positif atau justru prospektif, harus
kita terima dengan tangan terbuka dengan salam ‘welcome’.
Untuk upaya yang kedua, mengangkat kembali nilai-nilai lokal ke
permukaan, maka yang harus kita lakukan adalah mendekatkan kembali
„masyarakat lokal‟ dengan nilai-nilai lokal (the local wisdom)yang nilainya
memang cukup positifdan bisa dibanggakan.
Sikap kita yang kemudian seharusnya terjadi adalah muatan budaya
“asing” tidak kita benturkan dengan muatan budaya lokal, atau sebaliknya,
muatan budaya sendiri diadu dengan muatan budaya “orang”. Demikian juga,
budaya “asing” tidak dibiarkanbegitu sajamenggusur budaya lokal yang bisa
berakibat budaya lokal menjadi sesuatu yang marginal (baca: terpinggirkan)
di rumah sendiri. Yang tampaknya cukup bijaksana adalah keduanya harus
diberi ruang untuk bersinergi. Dengan kata lain, keduanya diposisikan
secara komplementer (saling melengkapi). Dengan itu, keberadaan
masyarakat lokal akan semangkin mantap.
2.3.4 Mengangkat Sebuah Kasus

9
Tulisan ini berangkat dari fenomena yang terjadi pada masyarakat
Jawasebagai salah satu etnisdi Indonesia. Di satu sisi, masyarakat Jawa jelas
kebanjiran muatan dari budaya ‘asing’. Di sisi lain, entah terkait dengan itu
atau kebetulan, masyarakat Jawa mulai meninggalkan dan melupakan nilai-
nilai budaya (Jawa) sendiri. Apalagi, pengamatan lebih difokuskan kepada
yang bernama generasi muda Jawa. Kebanyakan dari mereka merasa
ketinggalan ‘kereta’ (zaman), kurang ‟pede‟ (percaya diri), ketika mereka harus
tetap bersanding bahkan bersentuhan dengan nilai-nilai lokal mereka.
Akibat yang terjadidari itu, yang makin tampak, ‘wong Jawa wis padha
ilang Jawane’ (orang Jawa sudah kehilangan kejawaannya). Padahal, bukan
dalam rangka untuk ‟jual kecap‟ (tidak ada kecap yang tidak nomor satu)
budaya Jawa sesungguhnya penuh dengan ajaran-ajaran ‘budi pekerti luhur’.
Budi pekerti dalam hal ini merupakan salah satu alat, di samping moral
keagamaan dan Pancasila, yang secara jitu dapat dipakai untuk menangkal
pengaruh negatif perubahan dunia.
Ketika orang berbicara tentang budi pekerti, mau tidak mau
perbincangan itu akan terkait dengan persoalan tatakrama pergaulan
seseorang,dalam konteks kapan saja dan di mana saja. Tatakrama sudah tentu
meliputi aturan moral, sopan santun, unggah-ungguh, dan etika.
2.3.5 Ingat Kembali Tri Sentris Pendidikan
Kita (baca: siapa pun) tentu menyadari benar adanya tiga pusat
pendidikan yang secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap proses
pendidikan budi pekerti. Ketiga-tiganya itu meliputi: rumah (pendidikan
dalam keluarga), sekolah(pendidikan formal), dan masyarakat (pendidikan
dalam lingkungan pergaulansosial).
a. Rumah
Untuk pertama kalinyaanak (-anak) berkenalan dengan norma dan tata
nilai sudah tentu di rumah (sendiri). Proses pendidikan yang pertama
dan utama berlangsung di rumah. Kita yakin bahwa dalam keluarga
yang baik pasti akan terbentuk kepribadian yang baik pula. „Dulu‟ada
istilah „dongeng sebelum tidur‟,yakni para orang tua yang selalu

10
(menyempatkan diri untuk) mendongengkan anaknya menjelang tidur.
Kebiasaan ini sangat positif karena di samping menyenangkan dan bisa
membuat anaknya tertidur dengan nyenyak, dongeng-dongeng yang
diberikan umumnya berisi nilai-nilaitentang baik–buruk (mengarah
kepada etika), benar–salah(mengarah kepada logika), atau indah–jelek
(mengarah kepada estetika). Tokoh dalam dongeng bisa berupa manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, alam sekitar, ataupun tokoh-tokoh
imajiner rekaan orang tua itu.
Dongeng sebelum tidur, dengan demikian, adalah media
pendidikan budi pekerti yang cukup strategis. Sayangnya, sekarang
situasi ideal seperti itu sudah sulit terwujud. Para orang tua sudah tidak
sempat lagi(baca: tidak lagi punya waktu)mendongeng untuk anaknya
sebelum tidur. Orang tua ‘masa kini’ tampak terlalu sibuk dengan
urusannya sendiri. Jangankan mendongeng, ngobrol, dan makan bersama
pun kini sudah makin sulit terjadi. Bahkan, anak-anak sekarang layak
diberi gelar ‘anak pembantu’ atau ‘anak sapi’. Disebut ‘anak pembantu’
karena semua perawatan dan segala kepentingan anak diserahkan
kepada pembantu. Disebut ‘anak sapi’ karena banyak anak yang pada
masa bayi tidak pernah merasakan air susu ibunya, melainkan air
susu sapi!
Menyadari hal itu, mesti sering dilakukan atau diciptakan peluang
terjadinya berbagai festival mendongeng untuk anak-anak, demikian
juga makin digairahkan keberadaan kelompok-kelompok anak peduli
dongeng.
b. Sekolah
Di sekolah, guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik
murid-muridnya. Dengan mengajar, guru hanya menyampaikan
pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skill).
Dengan mendidik, guru membentuk kepribadian(transfer of value).
Dengan dalih jam pelajaran yang terbatas dan kurikulum yang
terlalu padat karena adanya ‘pelajaran-pelajaran pesanan’ dari

11
berbagai pihak, pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi
terabaikan. ‘Dulu’ pendidikan budi pekerti bahkan menjadi salah
satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah, namun sekarang
sudah tidak ada lagi. Maka, kita tidak boleh kaget atau schokjika
perilaku anak-anak sekarang banyak yang di luar kepantasan. Upaya
yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pendidikan budi
pekerti ke dalam berbagai mata pelajaran yang ada, misalnya bahasa
Jawa untuk di sekolah-sekolah. Meski, bukan berarti bahwa selama
ini pelajaran bahasa Jawa itu sendiri sudah tidak bermasalah
c. Masyarakat
Masyarakat atau lingkungan pergaulan mestinya punya andil besar
dalam pembinaan budi pekerti kepada anak. Namun, lingkungan
pergaulan pada dewasa ini sudah banyak terpolusi dan terkontaminasi
oleh situasi kehidupan yang serba modern dan serba bebas.
Siaran televisi, misalnya, yang terus-menerus dari pagi hingga pagi
berikutnya, bisa saja akan menyita waktu belajar anak-anak dan
menghapus selera anak untuk mendengarkan dongeng dari orang
tuanya (atau gurunya). Ditambah lagi, televisi kita sering sekali
menayangkan adegan-adegan yang berbau kekerasan, kebrutalan, dan
mengeksploitasi seks, yang itu sangat berpeluang ikut mengubah
perilaku anak. Anak sekarang tidak ada lagi yang mengidolakan tokoh
Gathotkaca yang ‘konon’ hebat dalam dunia pewayangan, melainkan
lebih mengidolakan tokoh yang ada dalam film-film kartun dari
mancanegara, misalnya.
Kesibukan anak-anak dan objek-objek penikmatan seperti itu
kalau tidak dicermati oleh orang tua bisa berakibat negatif, misalnya
anak cenderung menjadi brutal, suka merusak, senang mencuri, diam-
diam mengonsumsi obat-obatan terlarang, hobi tawuran masal, dan
seterusnya, dan seterusnya.
Upaya yang dilakukan boleh jadi adalah membuat ketentuan jam
belajar anak (JBS) pada setiap malamnya, atau meninjau kembali

12
pelaksanaannya, juga imbauan untuk para orang tua agar peduli
terhadap anaknya ketika berada di luar rumah, dan imbauan kepada
masyarakat untuk menciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif
bagi anak-anak.
Yang tak kalah pentingnya untuk dicermati adalah apa pun
yang ditawarkan kepada anak, pun dengan dalih apa pun, anak
adalah anak, dan anak bukanlahmanusia dewasa dalam bentuk
kecil, anak-anak jangan sampai kehilangan fase kehidupannya yang
bernama masa kanak-kanak, masa anak-anak, masa bermain
mereka. Ada kecenderungan bahwa anak-anak sekarang akan segera
„dibentuk menjadi‟, yang itu tentu saja berbenturan dengan kodrat
yang dimiliki oleh anak.
Yang tak kalah pentingnya untuk dicermati adalah apa pun yang
ditawarkan kepada anak, pun dengan dalih apa pun, anak adalah anak,
dan anak bukanlah manusia dewasa dalam bentuk kecil, anak-anak
jangan sampai kehilangan fase kehidupannya yang bernama masa
kanak-kanak, masa anak-anak, masa bermain mereka. Ada
kecenderungan bahwa anak-anak sekarang akan segera ‘dibentuk
menjadi’, yang itu tentu saja berbenturan dengan kodrat yang dimiliki
oleh anak.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Era globalisasi mau tidak mau harus mau sampai juga di Indonesia (baca:
di tempat kita). Kehadirannya tentu membawa ide-ide penting, ilmu pengetahuan,
nilai-nilai budaya, norma hidup, dan seterusnya, positif maupun yang negatif.
Yang negatif tidak kitaambil, yang positif kitaterima, selanjutnya kita pertemukan
dengan nilai-nilai lokal yang juga positif dalam mekanisme salingmelengkapi
(bersifat komplementer).
Tata krama meliputi aturan moral, sopan santun, unggah-ungguh, dan etika.
Sikap hidup kita yang terganggu oleh adanya globalisasi adalah keteraturan terganggu,
keadilan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai saling berbenturan. Sebagai sistem
proyeksi, ungkapan tradisional akan memberikan gambaran masa depan yang baik
bagi siapa saja yang mentaatinya. Sebagai pengesahan pranata, ungkapan tradisional
berfungsi secara hukum melindungi norma-norma yang disepakati.
Tugas kita sekarang adalah berupaya agar ungkapan tradisional yang penuh
dengan muatan nilai seperti tersebut di atas kembali dipahami dan diresapi oleh
generasi muda, minimal kandungan-kandungannya itu tersampaikan kepada anak-
anak, entah bagaimana caranya, terpulang pada kreativitas orang tua (di rumah),
guru-guru (di sekolah), dan tokoh-tokoh panutan (di masyarakat). Sebagai alat
pendidikan, ungkapan tradisional seperti itu berfungsi sebagai wahana pendidikan
formal yang dapat diberikan sepanjang masa dengan tidak memandang umur anak
didik.

14
Daftar Pustaka

Sumaryadi, 2021, Ketahanan Budaya : Sebuah Keharusan, 123dok


Aubrey Kandelila, 2019, Ketahanan Budaya Jadi Modal Selesaikan Benturan
Sosial, Antara

15

Anda mungkin juga menyukai