Anda di halaman 1dari 8

PENGANTAR SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI

ETNOGRAFI SUKU “MOI” PAPUA BARAT

Oleh
Bangkit Krisnady 16040674081

ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016
SUKU “ MOI ” PAPUA BARAT

Suku Moi adalah salah satu dari suku yang ada di papua. Suku ini berada tepat di bagian
daerah Sorong, Papua Barat. Letak Sorong secara geografis berada tepat pada gambar kepala
burung, karena dalam peta tergambar lebih menyerupai gambar burung. Sorong dihuni oleh suku
asli Moi. Sesungguhnya Papua merupakan alam yang eksotis dengan keanekaragaman budaya,
bahasa, adat bahkan keanekaragaman hayatinya. Terutama daerah Sorong. Papua memiliki banyak
suku dan bahasa yang berbeda-beda dan beratus-ratus perbedaan meskipun satu pulau. Disamping
itupun banyak juga tari-tarian yang beranekaragam. Dalam suku ini saja terdapat banyak
kebudayaan yang berbeda-beda dengan suku Papua lainnya. Dan perlu kita ketahui bahwa Papua
merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki suku bangsa yang paling banyak,
serta unik.

Nenek moyang suku Moi berasal dari Genyem. kata Moiartinya “pemandangan matahari
sore yang kemerah-merahan dan agak berkabut di atas bukit”. Secara khusus orang Moi yang
berada di desa Kendate terdiri dari 11 klan, klan ini memiliki asal-usul yang berbeda. Orang
pertama yang menempati desa Kendate adalah klan
Walli. Walliartinya manusia yang keluar dari dalam
tanah atau “manusia yang hidup”. Pada tahun 1912 injil
masuk ke teluk Demaenggong dibawa oleh Yakob Suae
yang berasal dari desa Entyebo, orang Moi yang pertama
kali menerima Injil adalah klen Wandadaya. Menurut
sejarah yang diceritakan oleh para orang tua
adat,peradaban suku Moi berawal dari dua kekuatan:
yaitu Tamrau dan Maladofok. Tamrau adalah sebagai
kekuatan untuk Laki-laki dan Maladofok adalah sebagai
kekuatan untuk Perempuan. Tamrau dan Maladofok
merupakan kedua tempat keramat suku Moi yang
dipercayai mengandung kekuatan magis yang tidak bisa dilewati oleh sembarang orang,selain
yang memiliki kemampuan dan kekuatan khusus.Di kedua tempat ini terdapat sejumlah benda
keramat berbentuk panci,wajang,kapak,bebatuan,dll.Karena dipercaya sebagai tempat keramat
dan pusat peradaban suku Moi pertama kali dalam legenda peradaban suku-suku di Papua,dengan
demikian maka kedua tempat ini dijaga dan dihormati oleh suku-suku Moi sampai sekarang.Jika
ada pihak luar yang mencoba menganggu maka suku-suku Moi akan marah dan melakukan
tindakan untuk mengusir pihak luar tersebut. Karena kurangnya umat, semua orang yang berada
di dataran Wanbusron harus turun ke pantai dan membentuk satu kampung untuk menerima Injil.
Pada tahun 1940-an terjadi perang dunia ke-II antara bangsa Amerika dan jepang, karena takut
akan bahaya maka semua masyarakat yang berada di sekitar pantai pindah ke daratan dan
membentuk perkampungan-perkampungan baru. Tiap klan memiliki seorang kepala suku dan tiap
kampung dipimpin oleh Korano sebagai seorang pemimpin dan untuk memudahkan pengawasan
dari pemerintah Hindia Belanda maka seluruh masyarakat diperintah untuk membentuk satu
perkampungan Demanggong yang sekarang disebut desa Kendate.

Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis
patrilinear atau garis keturunan dari pihak ayah. Pada daerah-daerah di Papua umumnya dan secara
khusus di kota Sorong yang bervariasi topografinya terdapat kelompok suku dengan budaya dan
adat istiadat yang saling berbeda terutama bahasa masing-masing sukunya. Dengan mengacu pada
perbedaan topografi dan adat istiadatnya maka secara garis besar penduduk pribumi di kota Sorong
dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar, yaitu :

a. Penduduk Daerah Pantai dan Kepulauan.

Dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencaharian menokok
sagu dan menangkap ikan. Untuk kategori ini suku Raja Ampat dan suku Inanwatan sangat
dominan, tetapi secara khusus di kota Sorong, Raja Ampatlah yang memiliki areal adat lautan yang
cukup luas dengan hampir sebagian besar warga sukunya yang berprofesi sebagai nelayan,
sedangkan suku Inanwatan dan suku Moi wilayah mata pencahariannya khususnya di laut sangat
kecil dan hanya sebagian kecil warganya yang berprofesi sebagai nelayan serta sebagian besarnya
adalah petani khususnya berladang. Situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dari suku Raja
Ampat rata-rata berprofesi sebagai nelayan dengan tingkat pendapatan yang tidak terlalu besar,
mengingat teknologi yang digunakan dalam melakukan aktifitas mata pencaharian tergolong
sangat sederhana.
b. Penduduk Daerah Pedalaman yang Hidup pada Daerah Sungai, Rawa, Danau dan
Lembah serta Kaki Gunung.

Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil
hutan. Untuk kategori ini suku Tehit serta sebagian besar suku Moi sangat dominant tetapi secara
khusus di kota Sorong suku Moi yang memiliki areal adat yang cukup luas serta hampir sebagian
besar warga kedua suku ini berprofesi sebagai petani ladang.

c. Penduduk Daerah Dataran Tinggi.

Rata-rata bermata pencaharian berkebun, beternak secara sederhana. Untuk kategori ini
suku Maybrat dan sebagian lagi suku Tehit sangat dominan, tetapi secara khusus di kota Sorong
suku Maybratlah yang memiliki peran yang cukup luas dengan hampir sebagian besar warga
sukunya berprofesi sebagai PNS dan petani ladang dengan semangat dan kerja keras, suku ini
terkenal juga bertemperamen dan watak keras. Suku ini sangat dominan di kota Sorong, mengingat
peran dari sebagian warganya cukup dominan baik di pemerintahan dan hampir mendominasi
setiap jabatan di instansi pemerintah yang ada di kota Sorong. Kota Sorong sebagai satu-satunya
kota di Papua dengan sebagian penduduk asli memiliki keterampilan tenun ikat, biasa disebut
masyarakat setempat sebagai kain Timor. Kain Timor masuk Sorong tahun 1700-1n dibawa oleh
para misionaris dan guru dari Timor. Mereka memperkenalkan kain Timor sekaligus melatih dan
mendidik putra-putri setempat belajar menenun kain Timor. Banyak perempuan Sorong
mengenakan sarung Timor terutama pada peserta-peserta adat di dalam kota, seperti masyarakat
di Timor (NTT) lainnya. Ketika masyarakat di sebagian besar Papua mengenakan koteka, rumbai
dan awur, masyarakat Sorong justru telah mengenakan sarung Timor. Sarung Timor menjadi mas
kawin paling bergengsi dan paling mahal di Sorong. Makin banyak keluarga memiliki sarung
Timor, status sosial mereka pun makin tinggi, terutama sarung Timor peninggalan zaman dulu.

Suku ini adalah merupakan penduduk asli kota Sorong. Suku ini merupakan jumlah
populasi terbesar dari total keseluruhan penduduk pribumi yang ada di daerah ini. Walaupun suku
ini merupakan penduduk yang memiliki hak ulayat sah dari kota Sorong, namun keberadaan
mereka sekarang tergeser dan menyebar di distrik bagian timur dan utara kota Sorong. Tanah
warisannya pun telah diberikan kepada suku-suku yang lain melalui barter atau telah dibayar
kepada suku yang lain. Biasanya dengan cara membayar mas kawin dengan menggunakan kain
timor dan sebagian lagi diberikan kepada menantunya yang telah mengawini anak dari suku ini.
Suku Moi memiliki banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar dalam arti
bukan suku Moi,bahkan oleh suku Moi yang dianggap tidak pantas untuk mengetahuinya. Mereka
menyebut rahasia adat dan tempat-tempat keramat itu sebagai “ hal-hal yang tidak boleh diketahui
oleh perempuan”. Maka dari itu, kelompok masyarakat suku Moi dibagi dalam 4 macam struktur
yang telah ada sejak jaman dulu atau yang disebut jaman batu, yaitu :

1. Tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para Nedla(laki-laki) meliputi; neliging (orang yang
berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya), nefoos (orang suci). Serta
pejabat-pejabat adat: usmas, tukang, finise (pimpinan pelaksana rumah adat, terdiri dari
marga ulimpa, sapisa, dan do), tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan
kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan
panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat.
2. Alumni Pendidikan Adat (Wiliwi), adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri dari
anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan telah diwisuda secara
adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama, mereka
akan diajarkan tentang filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat suku Moi
secara lengkap.
3. Kelompok laki-laki (nedla) yang dikategorikan sebagai nelagi (perempuan), kelompok ini
terdiri dari anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti
pendidikan adat di Kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai
Nelagi
4. Kelompok Nelagi murni, adalah kelompok yang terdiri dari para perempuan Moi,
kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh, sebab mereka juga mengetahui fulus
(ilmu-ilmu yang dapat dikuasai perempuan). Perempuan juga memiliki tugas dalam acara
adat.
Seperti kita mengetahui bersama bahwa tentunya Indonesia memiliki beragam macam
budaya yang sangat menarik dan berbeda. Sudah pasti ada banyak penelitian-penelitian
yang menemukakan tentang fungsinya budaya dalam kehidupan kita. Keberadaan suku moi juga
pasti sudah dikemukakan oleh parah penulis-penulis lain. Namun saya sebagai Anak asli Suku Moi
mencoba untuk menggali lebih mendalam lagi terkait dengan segala yang berada dalam suku ini.
Dalam cerita kali ini, saya mengakat tentang Upacara perkawinan orang moi secara singkat.

Pada tahun 2010, masyarakat asli moi melaksanakan Upacara Adat Perkawinan antara
kedua bela pihak. Bapak Marten Mili dan Ibu.Nensi Malak adalah kedua pengantin. Status kedua
bela pihak adalah orang asli suku moi dan berbahasa moi. Pekerjaan Pa.Marten, PNS dan
Ibu.Nensi pun demikian. Kegiatan tersebut di hadiri oleh seluruh keluarga besar dari kedua belah
pihak MILI dan MALAK, kemudian diikuti oleh sejumlah simpatisan keluarga berdekatan marga.
Mereka yang aslinya suku moi dan ada simpatisan kelurga/teman dari suku yang lain. Untuk
menghadiri upacara tersebut, setiap keluarga yang berdatangan dengan mengambil peralatan
perkawinan Piring dan Kain Timur sebagai Alat pembayaran mas kawin. Selanjutnya dalam
prosesi upacara tesebut biasanya di lalui kurang lebih 1-3 hari. Pihak laki-laki harus membayar
mas kawinya ke pihak perempuan sesuai dengan permintaan namun, jika permintaan belum cukup
atau belum mencapai target yang diminta maka mereka akan bertahan oleh sebab itu kadang
membutuhkan waktu yang sedemikian. Sehubungan dengan itu, tidak semua acara perkawinan
yang sam kadang membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Alat perkawinan terdiri dari KAIN
TIMUR, PIRING, dan beberapa perlengkapan Adat lainya. Noken dan tikar sebagai alat pelengkap
bagi seorang wanita moi ketika dia beruma tangga menurut cerita adat orang moi dan kegunaan
lainya.

Selanjutnya acara tersebut biasanya di pandu oleh tua-tua adat dengan mengikuti proses
yang berlaku dalam adat suku moi. Proses upacara ini biasanya dilalui oleh seluruh orang moi
yang berada didaerah tersebut apabila mereka melakukan acara perkawinan. Upacara adat ini
biasanya di akhiri dengan guling rokok atu Bahas moi disebut, (Busbak) dilakukan oleh kedua bela
pihak dengan mengucapkan janji adat. Ini merupakan tanda pernikahan adat yang sah untuk tidak
dapat di lewati ole kedua bela pihak.
Keberadaan orang moi hingga saat ini masih berada dalam presentase suku yang sangat
peduli pada budayanya walupun berada dalam perkembangan globalisasi dan pelcehan-pelecehan
budaya yang ada. Namun mereka selalu bertahan untuk mempertahankanya sebab mereka sangat
merasa memiliki pada budayanya. Menurut salah satu toko adat moi Bapak.EDUARD ULIMPA
berkata bahawa tanpa ada budaya kita tidak mengenal jati diri kita dan karna budaya kita mengenal
siapa diri kita. Oleh sebab itu dampak dari budaya mempersatukan kita dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Pada dasarnya aktifitas mata pencaharian orang Moi di desa Kandate bervariasi
namun yang paling utama adalah aktifitas bercocok tanam. Selain bercocok tanam terdapat juga
mata pencaharian seperti meramu sagu, menangkap ikan dan berburu.

Sagu merupakan makanan pokok Suku Moi di dusun Maibo selain makanan pengganti
seperti pisang dan keladi. Namun dengan terbukanya daerah ini dapat dijangkau dengan alat
transportasi serta berada pada lokasi areal HPH. PT.Intipura, maka masyarakat menjadikan beras
yang merupakan introduksi sebagai bahan makanan pokok. Cara masyarakat memperoleh sagu
adalah dengan cara menokok atau mengambil isi bagian dalam dari batang pohon
(Waa) Metroxylon sp. Fam. Arecaceae. Hasilnya berupa tepung yang banyak mengandung
karbohidrat sebagai penghasil energi. Menurut Barrau (1985) karbohidrat yang dikandung oleh
sagu per 100 g adalah 71-86 g dan menghasilkan kalori sebesar 285-362 kalori. Jika dibandingkan
dengan Colocasia esculenta24,2-39,0, Ipomoea batatas 22,0-34,0, Manihot esculenta 30,0-35,0
dan Musa sp. 20,0-34,6 sagu masih jauh lebih tinggi. Bagian batang sagu yang tidak termanfaatkan
dibiarkan membusuk sampai menghasilkan ulat. Sebelum menjadi serangga ulat tersebut diambil
dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lauk. Cara pengolahan ulat tersebut adalah dengan
dibakar atau dimasukkan ke dalam bambu dan mengkonsumsinya bersama sagu. Selain itu juga
terdapat ulat yang berasal dari jenis tumbuhan berkayu seperti Nangka (Artocarpus integra) dan
(Yum) Plimeliodendrom amboinicum Fam. Eupohorbiaceae. Bagian umbi yang dijadikan sebagai
pengganti sagu adalah (Iim) Colocasia sp. Fam. Aracae, (Teboqi) Ipomea batatas Fam.
Convolvulaceae. Selain umbi juga bagian bunga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran,
misalnya (Kopai) Carica sp. Fam. Coriaceae.

Anda mungkin juga menyukai