Anda di halaman 1dari 12

Memahami Teori Evolusi dan Teori Difusi

Dalam Antropologi
Oleh : Pahrudin HM, M.A.

A. Pengantar

Sebagaimana diketahui bahwa  masyarakat Eropa pada awalnya masih terkungkung


dengan pandangan yang dituangkan dalam kitab-kitab suci agama mereka
beranggapan bahwa gejala-gejala yang mencuat dari alam dan yang mengemuka dari
masyarakat dan kebudayaan tidak akan dapat dipelajari secara rasional. Keyakinan
seperti ini telah berlangsung lama dalam masyarakat Eropa sehingga mengakibatkan
tidak berkembangnya ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal dan pikiran yang
menjadi faktor utama yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Untuk melihat gejala-gejala yang muncul dari alam, masyarakat dan kebudayaan
manusia, masyarakat Eropa mengembalikan sepenuhnya pada kitab-kitab agama
mereka, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[1]

Namun demikian, perlahan-lahan model pandangan seperti ini mulai hilang seiring
makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya penggunaan akal
yang dimiliki manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi dalam
masyarakat. Model pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan
‘tradisional’ sebelum dalam kajian budaya (antropologi) paling awal adalah teori
evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan. Kedua teori ini muncul dengan
mengusung karakteristiknya sendiri-sendiri dan masing-masing mengklaim sebagai
paradigma yang seharusnya dipakai untuk melakukan kajian terhadap manusia dan
perjalanan perkembangannya.

B. Teori Evolusi Kebudayaan

Pada abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa mengemuka sebuah paradigma
(cara pandang) yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam,
masyarakat dan kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan
dipikirkan secara rasional. Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik
perilaku masyarakat Eropa Barat yang mengembalikan segala sesuatunya ke kitab
suci ini kemudian dikenal dengan teori evolusi kebudayaan. Paradigma ini dipahami
sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada kepastian dalam tata tertib
perkembangan yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang pelan tetapi
pasti.[2] Selanjutnya, dimulailah pergumulan dogma-dogma agama yang telah sekian
lama mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru yang
sepenuhnya berbeda dan asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.

Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang
telah mendarahdaging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia ini
dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli
antropologi yang berasal dari Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang
berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika ia menempuh pendidikan kesusastraan
dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan seputar kebudayaan ini
membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil objek kajian
terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh subur
seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika
dan Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang
mengisahkan tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat
pengakuan sebagai seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi
Inggris untuk mengungkap benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang
ada di Meksiko.[3]

Kepiawaian Tylor dalam kajian kebudayaan membuatnya diangkat sebagai guru besar
di Harvard University. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat.[4] Ada banyak tulisan yang berhasil ia sumbangkan bagi
kajian kebudayaan, utamanya untuk semakin menguatkan dan menyebarkan
pandangannya mengenai teori evolusi kebudayaan. Salah satu bukunya berjudul
Researches into the Early History of Mankind, semakin menguatkan keteguhannya
mengenai teori evolusi kebudayaan yang memang telah sekian lama ia perjuangkan.
Dalam buku yang ditulis pada tahun 1871 ini, Tylor mengungkapkan tujuan
sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi.
Menurutnya, kajian antropologi adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan
sebanyak-banyaknya, kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya
dilakukan proses klasifikasi.[5] Dengan cara dan tahapan seperti ini, menurut Tylor,
maka akan tampak kemudian adanya evolusi kebudayaan manusia yang terdiri dari
beragam tingkatan perkembangan yang masing-masing memiliki karakteristik
tersendiri.

Apa yang dipaparkan oleh Tylor dalam buku di atas, sepertinya


diimplementasikannnya dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture:
Researches into the Development og Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art
and Custom.  Dalam buku yang ditulis tahun 1874 ini, Tylor memaparkan bahwa
kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap
perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi
dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan
manusia tersebut adalah savagery, barbarian dan civilization.[6]

Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu
dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda
yang ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian
menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal
cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk
menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga
mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan kedua ini juga
ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya terbuat
dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang kemudian
menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan
manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun
bangunan-bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai
semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan
yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem
organisasi sosial.
Setelah cukup lama berinteraksi dengan paparan evolusi kebudayaan Tylor, maka
dunia kajian kebudayaan kemudian berjumpa dengan paradigma yang sama tetapi
dikemukakan oleh orang yang berbeda. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh
Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika. Pada awalnya Morgan dikenal
sebagai seorang ahli hukum, akan tetapi karena cukup lama berinteraksi dan tinggal
dengan suku-suku Indian Iroquois di New York, ia kemudian banyak mengenal
kebudayaan suku asli benua Amerika ini. Hasil kajian etnografinya mengenai suku
Indian tempat ia lama tinggal kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul
League of the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquois. Dalam buku ini, Morgan memaparkan
susunan kemasyarakatan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat suku Indian ini
yang dilakukan berdasarkan pada gejala kesejajaran yang seringkali ada dalam sistem
istilah kekerabatan dan sistem kekerabatan .[7]

Sebagai seorang yang melakukan kajian kebudayaan sekaligus juga hidup dalam era
perkembangan pesat teori evolusi kebudayaan, Morgan mengambil peranannya dalam
sustainibitas pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Tylor. Bahkan, lebih dari
itu ia juga sangat dikenal sebagai  orang mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh
Tylor sebelumnya seiring dengan banyaknya kajiannya terhadap kebudayaan Indian.
Sebagai aplikasi dari dukungan dan upaya pengembangannya terhadap teori evolusi
kebudayaan, Morgan kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Ancient Society
yang menggambarkan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia.[8]

Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun
1877 tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses
evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu:

1. Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,
2. Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan
senjata,
3. Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat
tembikar dan masih berprofesi sebagai pemburu,
4. Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok
tanam,
5. Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari
logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era
peradaban purba, dan era masa kini.[9]

Seiring dengan perjalanan waktu, persinggungan teori evolusi dengan beragam


realitas dalam perkembangannya terus mendapatkan tanggapan dari beragam pihak.
Setidaknya tanggapan-tanggapan yang mengemuka terhadap pandangan-pandangan
kebudayaan teori evolusi dapat dibedakan menjadi dua macam. Pandangan pertama
menganggap bahwa pandangan-pandangan yang diajukan teori evolusi melalui dua
tokoh utamanya, Tylor dan Morgan, memiliki beragam kelemahan yang harus
diperbaiki. Pandangan ini tidak menolak sepenuhnya apa yang dikemukakan dua
tokoh utama generasi awal teori evolusi tersebut, tetapi tetap menerima beberapa
bagian yang mereka anggap dapat diterima dan mengganti beberapa hal yang mereka
anggap keliru serta menggantinya dengan model lain. Sedangkan kelompok kedua
adalah menolak sepenuhnya segala pandangan yang diajukan oleh teori evolusi dalam
melihat kebudayaan manusia. Kelompok kedua ini di kemudian hari dikenal dengan
‘difusi kebudayaan’ sebagai jawaban atas beragam ketidaksetujuan mereka terhadap
pandangan-pandangan kebudayaan evolusi.

Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan


Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori
evolusi memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan
universal yang dikemukakan oleh Leslie White dan teori evolusi kebudayaan
multilinier yang diajukan oleh Julian Steward.

Teori pertama disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White
tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk
budaya tertentu saja.[10] Untuk menjawab beragam keritikannya terhadap paparan-
paparan evolusi kebudayaan yang diajukan oleh Tylor dan Morgan sebelumnya,
White mengemukakan teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria yang sama
sekali baru dan belum pernah dikemukakan oleh dua pendahulunya tersebut. Kriteria
ini baginya merupakan satu hal yang memungkinkan sebuah teori evolusi menjadi
bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan
yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah
berupa energi, karena menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem
yang melakukan transformasi energi.[11] Dengan menggunakan energi sebagai
standar atau tolok ukur dalam melakukan kajian terhadap fase perkembangan suatu
kebudayaan manusia, dimana hal ini tidak ada dalam teori Morgan, maka akan dapat
diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi yang ada dalam sebuah masyarakat dapat
ditentukan secara kuantitatif.

Lebih lanjut, untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru
ini, White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam
melakukan kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan,
yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C  merupakan kebudayaan (culture), E adalah
energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang
ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari
pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam
kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan rumusan yang
disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas
merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan
transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.[12] Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini
terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White, yaitu thermodinamika
(sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan transformasi.

Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang digunakan untuk
mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan
antara tuntunan-tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang biasanya
terdapat di tempat-tempat yang terpisah.[13] Seperti White yang menganggap bahwa
pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh dua pendahulunya mengenai
kebudayaan yang memiliki kelemahan pada ketiadaan standar dalam menentukan
setiap fase perkembangan kebudayaan manusia, Steward pun melakukan hal yang
sama. Meskipun demikian, titik fokus kritikan Steward terhadap model teori evolusi
terdahulu bukan pada standar yang digunakan, tetapi pada data yang digunakan oleh
Tylor dan Morgan sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang memunculkan
pandangan-pandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian lama
bercokol dalam khazanah ilmu antropologi.

Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward sampai pada suatu
kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh yang merupakan generasi
awal teori evolusi tersebut tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan
secara benar. Untuk membuktikan fokus kritikannya ini, Steward melakukan suatu
penelitian terhadap salah satu suku Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika
Serikat. Dari penelitiannya ini, Steward mendapatkan sebuah kesimpulan yang
berbeda dari paparan dua pendahulunya tersebut sekaligus juga semakin menguatkan
kritikannya sebagaimana di atas, dimana ternyata suku Indian tersebut tidak lagi
mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.[14]

Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian kebudayaannya, yang


membuat suatu suku Indian tidak lagi mengalami evolusi dan dapat pula terjadi pada
suku-suku lainnya. Dari kajian yang dilakukannya, Steward menyimpulkan bahwa
tidak lagi berjalannya perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam
konteks penelitiannya adalah suku Indian, disebabkan karena suku tersebut telah
mengalami penyesuaian atau beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal
dan menetap dalam keseharian mereka.  Berdasarkan kesimpulan ini, maka Steward
mengajukan sebuah teori baru dalam khazanah kajian budaya, khususnya dalam
rangkaian teori evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.

Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan


kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa
teknologi dan organisasi kerja.[15] Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam
sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan
tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang
dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga memunculkan konsep-konsep
baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan
organisasi kerja.

Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan
mengenai teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal,
adalah V. Gordon Childe yang merupakan arkeologis Inggris. Berbeda dengan White
dan Steward yang begitu kokoh dengan pendirian evolusi mereka, para pengamat
menilai Childe seringkali goyah dengan pendirian evolusinya. Untuk memaparkan
pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe menggunakan rekaman arkeologis
untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam teori evolusi menunjukkan
kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia.[16] Dari benda-benda yang
dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa waktu
menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan
teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan
hewan, irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa
perubahan revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni
oleh manusia.

Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi


bahwa keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan
kebudayaan manusia menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif.
[17] Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase
ke fase selanjutnya, seperti dari pemburu-peramu yang berpindah-pindah (nomadik)
yang berada pada masa Paleolitik menjadi seorang manusia yang bercocok tanam
(holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di satu tempat sebagai
komunitas kempal dalam masa Neolitik.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas
masehi, para ahli antropologi yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia
telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori
evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi
bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.[18]

C. Teori Difusi Kebudayaan

Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan


adanya migrasi manusia.[19] Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan
menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau
perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari
akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan,
di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh
kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya.
Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat
multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk
kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia
bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya
dalam kewilayahan dunia.

Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal
Tylor dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya
menentang keras pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan
ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-
1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari
banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-
kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu
tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory.[20]
Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban
besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari
Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa
difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik
utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah
terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang
Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan
dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk
mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata.[21]

Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para
penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang
munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan
Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan
manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat
penyebaran tersebut.[22] Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai
penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan
mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.
Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan
mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi
terhadap teori evolusi.

Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang  hidup antara tahun
1858-1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi
Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika
dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun
beragam karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-
pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi
kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang
mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara
seksama dan seteliti mungkin.[23] Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama
‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru
mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan
kulturschichten atau lapisan kebudayaan.[24] Dalam kajian kebudayaan ala difusi
Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat
diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori
yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini
maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan
dunia.

Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian
dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya
yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947)
yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of
Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai
lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan.
Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-
kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan
mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.[25] Hal ini dilakukannya
karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka
ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang
dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam
peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam
tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam
peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan
yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri
yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-
1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi
ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan
secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia
dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para
muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling
tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan
mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka
melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut
gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat
tersebut.

D. Kelebihan dan Kekurangan

Setelah dilakukan paparan mengenai kedua paradigma yang muncul dalam kajian
kebudayaan sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa hal penting yang
berkaitan dengan kedua pandangan tersebut. Bagaimana pun juga, sebagai paradigma
berbeda dengan yang ada sebelumnya, teori evolusi telah membuka jalan bagi
mengemukanya upaya manusia untuk melihat kebudayaan manusia dari sisinya yang
lain secara rasional. Inilah kelebihan awal yang dimiliki oleh teori evolusi, karena
sebagaimana diketahui bahwa pandangan masyarakat Barat mengenai kebudayaan
manusia selalu terkungkung oleh ajaran-ajaran kitab suci yang tidak memberi ruang
bagi penelaahan menggunakan sarana yang dimiliki oleh manusia. Untuk itulah teori
evolusi datang dengan menghadirkan cara pandang kebudayaan yang berbeda dengan
model yang selama ini menye;limuti pandangan masyarakat Eropa dan dapat
dilakukan oleh siapa pun juga tidak seperti model kitab suci yang menjadi hak
monopoli para pendeta saja.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh teori evolusi adalah pandangan revolusionernya
mengenai adanya tahapan-tahapan perkembangan yang dilalui oleh setiap komunitas
manusia. Pandangan ini merupakan hal yang baru, ketika itu, dalam kajian
kebudayaan yang sekian lama terkungkung oleg dogma agama yang mengikat cara
pandang masyarakat. Kelebihan lainnya yang ada dalam teori ini adalah dipakainya
untuk pertama kalinya hasil penelitian lapangan yang berasal dari berbagai tempat
sebagai acuan untuk mengungkapkan adanya fase perkembangan kebudayaan
manusia, sebagaiamana yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan. Kelebihan
lainnya adalah digunakannya standar atau tolok ukur untuk melihat adanya perbedaan
dalam setiap fase perkembangan kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
White dengan standar energinya dan Steward dengan adaptasi lingkungannya.

Namun demikian, di samping kepemilikannya terhadap beragam kelebihan


sebagaimana yang tampak di atas, teori evolusi juga memiliki beragam kelemahan.
Menurut analisis Thomas G. Harding, kelemahan paparan Morgan dalam pengajuan
teori evolusinya adalah terletak pada ketidakpeduliannya terhadap bagaimana
mekanisme yang dilakukan oleh manusia untuk maju dari satu tahap ke tahap
perkembangan lainnya.[26] Sementara itu menurut catatan Leslie White, kelemahan
Morgan adalah karena kajian yang dilakukannya sehingga menghasilkan rumusan dan
kesimpulan sebagaimana di atas sangat subjektif dan tidak memiliki standar atau
acuan yang jelas.[27] Sedangkan berdasarkan kajian Julian Steward, kelemahan
Morgan adalah terletak pada data yang digunakannya dalam penelitian hingga
memunculkan kesimpulannya sebagaimana di atas.[28] Data yang dipakai oleh
Morgan, menurut Steward, tidak didapatkan dari hasil kajian lapangan terhadap suatu
kebudayaan tertentu dengan cara yang serius layaknya yang disyaratkan oleh sebuah
penelitian ilmiah. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Steward terhadap salah satu
suku Indian di Amerika Serikat yang ternyata tidak lagi mengalami evolusi
sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.

Sebagaimana yang juga ada dalam teori evolusi yang menjadi paradigma pendahulu,
teori difudi kebudayaan juga memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam
kajian antropologi. Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan
awal yang menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari
kebudayaan lainnya. Di samping itu, dari sini terdapat cara pandang baru yang
meletakkan dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak hanya dalam bentang
waktu saja, tetapi juga dalam bentang ruang, sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Perry dan Smith dalam pemikirannnya. Kelebihan lainnya adalah para pengusung
teori ini telah menggunakan analisis komparatif yang berlandaskan pada standar
kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran kebudayaan
sebagaimana yang yang mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para penyokong
teori ini sangat memperhatikan setiap detail catatan mengenai kebudayaan sehingga
mereka mendapatkan beragam hubungan atau keterkaitan antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang terpenting dari teori ini adalah
penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan data yang lebih dan
akurat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas yang kemudian diikuti oleh para
murid yang menjadi pengikutnya selanjutnya.

Meskipun demikian, seperti halnya juga yang ada dalam teori evolusi, teori difusi
tidak lepas pula dari beragam kelemahan atau kekurangan. Secara umum, teori difusi
kebudayaan memiliki kelemahan dari sisi data karena tidak memilki dukungan data
yang cukup dan akurat dan  pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan
metode penelitian yang jelas.[29] Hal ini misalnya tampak pada kesimpulan teori ini
yang mengatakan bahwa peradaban-peradaban kuno di bumi sebenarnya berasal dari
orang-orang Mesir. Hal ini memperlihatkan pandangan para pengusungnya yang
sangat Mesir-Sentris hanya karena kekaguman mereka dan keterpesonaan mereka
dengan kebudayaan negeri Fir’aun ini setelah lama melakukan penelitian di tempat
ini.[30]

Kelemahan lain yang ada dalam teori ini adalah terletak pada metode yang mereka
gunakan dalam melakukan penelitian yang tidak memperbandingkan kebudayaan-
kebudayaan yang saling berdekatan. Dalam penelitiannya, para pengusung teori ini
hanya melakukannya berdasarkan pada ketersediaan data yang ada saja karena pada
kenyataannya untuk sampai pada sebuah kesimpulan sebagaimana di atas mereka
tidak pernah melakukan penelitian lapangan yang menjadi tuntutan untuk
mengemukakan sebuah pernyataan yang berujung pada pembentukan teori.[31]

Kelemahan lainnya yang terdapat dalam teori ini adalah karena keterikatan mereka
dengan catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan.
Akibatnya, tidak semua sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu dapat
diungkapkan karena beragam sebab yang diantaranya karena belum adanya peneliti
yang melakukan kajian terhadap suku tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikritik oleh
Malinowski dan Brown yang melakukan penelitian sejarah terhadap suku yang masih
sederhana di kalangan orang Andaman. Tetapi karena keterbatasan data yang
menerangkan mengenai keberadaan mereka, maka penelitian dengan menggunakan
teori difusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Boas dan kawan-kawannya sulit
untuk dilakukan.
F. Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu kajian kebudayaan yang
mewujud dalam teori evolusi merupakan respon terhadap pandangan masyarakat
Eropa yang lama terkungkung oleh ajaran dogmatis gereja. Teori evolusi memandang
bahwa kebudayaan manusia senantiasa mengalami perkembangan dengan masing-
masing melalui fase-fase perkembangan. Metode yang digunakan dalam teori ini
adalah dengan cara melakukan klasifikasi tingkatan kebudayaan berdasarkan pada
tolok ukur tertentu. Selanjutnya, dapat pula disimpulkan bahwa teori difusi datang
sebagai kritikan terhadap pandangan-pandangan yang diajukan oleh teori evolusi
mengenai kebudayaan manusia. Menurut teori difusi, kebudayaan manusia merupakan
sebaran dari kebudayaan inti karena alasan yang ada dalam masyarakat saat itu.
Metode yang mereka gunakan adalah dengan cara memperhatikan unsur-unsur yang
terdapat dalam kebudayaan tersebut berdasarkan catatan-catatan dan hasil penelitian
yang mereka lakukan. Dari metode yang kedua teori tersebut gunakan, kemudian
memunculkan teori yang kemudian menghasilkan pandangan-pandangan yang
menjadi ciri khas paradigma tersebut dibandingkan dengan yang lain.

Masing-masing teori yang diajukan sebagaimana di atas memiliki kelebihan dan


kekurangan. Kelebihan utama evolusi budaya adalah sebagai pendobrak tradisi yang
ada dalam masyarakat Eropa dalam memandang kebudayaan dengan menggunakan
akal berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang mereka lakukan. Sedangkan
kelemahannya adalah banyak menggunakan data yang bukan dari hasil penelitian
lapangan yang sesungguhnya. Sedangkan kelebihan utama difusi adalah penggunaan
data lapangan yang lebih baik dibandingkan dengan teori evolusi sedangkan
kelemahannya adalah terlalu mengandalkan catatan sejarah padahal tidak setiap suku
yang akan diteliti memiliki catatan sejarah yang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 10 Vovember 2008. Tidak Diterbitkan.

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia


Press.

Kaplan, David. dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

http://Prof.Dr.I Made Titib.blogspot.com.

www.wikipediabahasaindonesia.com/kebudayaan

[1] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 10 November 2008, tidak diterbitkan, hlm.8.

[2] http://Prof.Dr.I Made Titib.blogspot.com. Akses 20 Januari 2010


[3] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2007), hlm. 46.

[4] www.wikipediabahasaindonesia.com/kebudayaan. Akses tanggal 19 Januari 2010.

[5] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 48

[6] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya,…hlm. 8.

[7] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 40-42.

[8] Ibid,- hlm. 41-44.

[9] Ibid,- hlm. 44-45.

[10] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 63.

[11] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya, … hlm. 9. Dan juga dalam: David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori
Budaya, … hlm. 62.

[12] Ibid,-

[13] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, … hlm. 63.

[14] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya, … hlm. 10.

[15] Ibid,-

[16] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, … hlm. 59.

[17] Ibid,-

[18] www.wikipediabahasaindonesia.com/kebudayaan. Akses tanggal 19 Januari


2010.

[19] http://Prof.Dr.I Made Titib.blogspot.com. Akses 20 Januari 2010

[20] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 119-120.

[21] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 11.

[22] Ibid,-

[23] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 125.

[24] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan … , … hlm. 12.


[25] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 127.

[26] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 56.

[27] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya, … hlm. 9.

[28] Ibid,-

[29] Ibid,-

[30] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, … hlm. 120.

[31] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi
Budaya, … hlm. 12.

Anda mungkin juga menyukai