I. Pendahuluan
Pasar Kebayoran Lama merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup ramai di bagian
selatan Kota Jakarta. Perdagangan yang berlangsung di pasar ini secara umum didominasi
oleh etnis Cina dan Minangkabau. Etnis Cina mengusai perdagangan menengah ke atas,
sementara etnis Minangkabau menguasai lapisan menengah ke bawah. Hanya sedikit
pedagang Minangkabau yang memiliki toko-toko besar di tempat strategis, toko-toko yang
mereka miliki umumnya terletak di bagian tengah atau belakang pasar. Etnis lain yang
berdagang di pasar ini adalah orang Jawa yang umumnya berdagang sayur, dan orang Sunda
yang umumnya berdagang buah-buahan.
Pedagang Minangkabau yang ada di Pasar Kebayoran Lama ini secara umum dapat di bagi
dalam tiga kategori: Pertama, orang Minangkabau yang baru merantau ke Jakarta, terutama
sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Umumnya mereka berdagang kaki-lima, sebagian besar
di antaranya berasal dari Solok, Selayo dan nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Kedua,
orang Minangkabau yang sudah lebih lama merantau ke Jakarta, yaitu sejak tahun 1970-an
hingga 1990-an. Mereka umumnya sudah memiliki toko besar atau kecil, sebagian besar
berasal dari Silungkang dan Selayo. Ketiga, orang Minangkabau yang sudah menetap di
Jakarta dalam waktu yang lama, bahkan sebagian besar di antaranya lahir di Jakarta. Sebagian
besar di antaranya berasal dari Silungkang dan dari berbagai nagari di Minangkabau, terutama
dari Luhak Agam dan Tanah Datar. Kelompok pertama dan kedua dalam berkomunikasi
sehari-hari di antara sesama mereka masih menggunakan bahasa Minangkabau, sedangkan
kelompok ketiga sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika berhubungan
dengan orang Minangkabau kelompok pertama dan kedua mereka menggunakan bahasa
Minangkabau yang kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia logat Jakarta.
Tulisan ini membahas persoalan yang berhubungan dengan perubahan struktur keluarga etnis
Minangkabau sebagai akibat dari merantau. Fokus bahasannya terutama adalah pada aspek-
aspek sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris.
Yang menarik dari kajian mengenai perubahan struktur keluarga migran asal Minangkabau ini
adalah mengenai perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sistem kekerabatan, sruktur
kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris. Di rantau, ciri-ciri kekerabatan
matrilineal yang sebelumnya dianut orang Minangkabau di daerah asal cenderung berubah ke
arah bilineal. Di rantau mengenai pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ayahnya
dan keluarga asal ibunya relatif sama, sementara di Minangkabau seorang anak jauh lebih
dekat dengan keluarga asal ibunya daripada keluarga asal ayahnya yang kadang-kadang
bahkan tidak terlalu dikenalnya. Jika di Minangkabau yang paling berkuasa dan bertanggung
jawab dalam keluarga adalah mamak (saudara laki-laki ibu), maka di rantau yang paling
berkuasa dan bertanggung jawab adalah ayah. Di rantau, anak laki-laki mendapat bagian
warisan yang setara dengan anak perempuan, sedangkan di daerah asal hanya anak perempuan
yang mendapat warisan.
Struktur keluarga, yang merupakan kajian utama dalam tulisan ini, merupakan struktur sosial
dengan ruang lingkup keluarga. Struktur keluarga merupakan salah satu aspek dari struktur
sosial masyarakat. Namun, struktur keluarga dapat pula dipandang dan dianalisis sebagai
struktur sosial tersendiri. Menurut Ihromi (1984), struktur kekerabatan, struktur kekuasaan,
dan struktur tanggung jawab merupakan bagian dari struktur keluarga. Dijk (1982),
menyatakan bahwa sistem waris sangat terkait dengan sistem kekerabatan. Dengan demikian
dapat pula dikatakan bahwa sistem waris merupakan bagian dari struktur keluarga.
Untuk lebih memahami perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan migran asal
Minangkabau ini, perlu kiranya untuk lebih memahami struktur keluarga yang berlaku di
Minangkabau yang mencakup (1) sistem kekerabatan, (2) struktur kekuasaan, (3) struktur
tanggung jawab, dan (4) sistem waris. Fokus utama permasalahan yang hendak diangkat
adalah, “Bagaimana perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari
merantau dan mengapa perubahan itu terjadi?”
II. Pola Umum yang Berlaku dalam Masyarakat Minangkabau Secara Tradisional
A. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Untuk melihat latar belakang munculnya sistem kekerabatan matrilineal, dapat digunakan
Teori Evolusi Keluarga. Teori evolusi yang berkaitan dengan keluarga, pertama kali
dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterecht (1861), yang berarti hukum
ibu dengan bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan
Yunani Kuno, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan
suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat
evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat manusia ada keadaan
promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta
wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok
keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap
merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu
kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan
tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang
menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan dengan
demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas
karena garis keturunannya untuk selanjutnya diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul
suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah
tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil
calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke
kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap
dalam keturunan pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-
kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya kelompok-
kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses
perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami, berubah menjadi
endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok
menyebabkan anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga
ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi
suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, jika mengacu pada teori di atas berada
pada tingkat kedua dalam evolusi keluarga. Sistem tersebut termasuk dalam sistem
kekerabatan yang bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam
menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung
keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya memakai ibu, karena itu disebut dengan
sistem “matrilineal” atau garis keturunan ibu, atau sako-indu.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis
keturunan menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok
sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami matrilineal”, dan (iii) ibu memegang
peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau
unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan kekerabatan
yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut T.O. Ihromi dalam buku Pokok-pokok
Antropologi Budaya (1984), hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan
matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu,
anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu
beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari
saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang
perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak
dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya
sendiri.
Menurut adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal ini, seorang istri tidak
meninggalkan rumah kaum kerabatnya sesudah menikah. Sebaliknya sang suami pun tetap
tinggal di rumah keluarganya sendiri, kecuali jika ia tidak mempunyai kerabat di kampung itu,
atau jika istrinya diizinkan dan mau meninggalkan rumah kerabatnya untuk bertempat tinggal
bersama-sama suaminya di tempat lain. Dalam hal seorang asing (bukan orang dari nagari
yang bersangkutan) yang menikah dengan seorang perempuan, kaum kerabat istri dapat
menerima suami sebagai anggota kelompok mereka dan mengizinkannya untuk tinggal
bersama-sama dengan istrinya. Dalam keadaan yang biasa, seorang suami tinggal bersama
kelompok kerabatnya sendiri, bersama ibu dan saudara-saudara perempuannya. Ia hanya
berjumpa dengan istrinya jika ia mengunjunginya pada malam hari atau jika istrinya
mengunjunginya di ladang atau di sawah pada waktu siang hari untuk membawakan makan
siangnya. Sang suami diharapkan untuk bekerja pada sebidang tanah yang dibagikan kepada
istrinya oleh kelompok keluarga istrinya. Pola kehidupan perkawinan seperti ini dalam ilmu
antropologi dan sosiologi disebut pola “duolokal” atau “bilokal” (Bachtiar, 1984: 230).
Anak-anak dari saudara perempuan seorang laki-laki disebut kemenakan, sedangkan ia sendiri
dan saudara-saudara laki-lakinya yang lain disebut mamak oleh kemenakannya, suatu
kedudukan yang terhormat. Tentu ada kemungkinan, bahwa bisa saja ia tidak mempunyai
saudara perempuan, atau tidak seorang pun dari saudara-saudara perempuannya yang
memiliki anak. Dalam hal yang demikian ia tidak mempunyai kemenakan dan karena itu ia
bukanlah seorang mamak. Tidak mempunyai saudara perempuan, ataupun mempunyai
saudara perempuan yang tidak mempunyai anak-anak perempuan merupakan sebab dari suatu
kesedihan seorang laki-laki, karena itu berarti pertanda akan berakhirnya suatu kelompok
kaum. Kelompok kaum yang demikian disebut punah yang berati musnah, dan seluruh harta
pusaka yang mereka miliki kemudian menjadi hak kaum lain yang memiliki hubungan kerabat
terdekat dengannya. Dalam hal ini kelahiran seorang anak perempuan sangat diharapkan dan
dianggap lebih berharga daripada anak laki-laki, meskipun kelahiran anak laki-laki pun
diperlukan untuk melindungi dan menjaga harta pusaka milik kaum. Di samping itu, kelahiran
anak laki-laki juga diharapkan sebagai pelindung bagi saudara-saudaranya yang perempuan.
B. Struktur Kekuasaan Tradisional
Kepemimpinan dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut
oleh keluarga yang bersangkutan. Menurut Amir (1997: 16), dalam sistem kekerabatan
matrilineal yang dianut di Minangkabau, mamaklah yang memegang kedudukan sebagai
Kepala Kaum. Salah seorang dari mamak diangkat sebagai “penghulu” atau pemimpin suku,
pelindung bagi semua anggota kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala
silang sengketa di antara semua kemenakannya.
Dalam kepemimpinan keluarga, kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada
tungganai (pemimpin keluarga luas), tungganai tunduk kepada penghulu (pemimpin suku
yang bergelar datuk). Gelar datuk diwariskan dari mamak kepada kemenakan setelah
penyandang gelar meninggal dunia. Orang yang akan mewarisi gelar datuk dipilih di antara
kemenakan yang dianggap berpandangan luas, bisa diajak bermusyawarah, dan tunduk kepada
kebenaran.
Secara tradisional, seorang mamak berkuasa menentukan jodoh kemenakannya, sedangkan
ayah dari anak yang akan dijodohkan hanya diberi tahu sekedar basa-basi. Ibu dari anak yang
dijodohkan juga tidak berkuasa untuk menolak keputusan mamak, apalagi anak yang akan
dijodohkan, sama sekali tidak kuasa untuk menolak.
Dalam hal pemberian sanksi terhadap anak atau kemenakan yang melakukan pelanggaran
terhadap norma yang berlaku dalam masyarakat, mamak, ibu, dan ayah dapat memberikan
sanksi. Akan tetapi, dilihat dari intensitas kekuasaannya, maka mamak paling berkuasa
memberikan sanksi dibanding ibu atau ayah. Bila seorang anak atau kemenakan melakukan
pelanggaran norma, masyarakat umumnya cenderung menyalahkan mamaknya yang dianggap
tidak mampu mendidik kemenakan, jarang sekali orang menyalahkan ayahnya.
Dalam mendirikan rumah baru, kekuasaan mengambil keputusan tergantung pada status tanah
yang digunakan. Jika rumah akan didirikan di atas tanah pusaka, walaupun biaya pendirian
rumah semuanya ditanggung ayah, pengambilan keputusan tetap tergantung kepada mamak.
Kalau terjadi perceraian, rumah tersebut dikuasai oleh anak-anaknya. Ayah tidak berhak atas
rumah tersebut, meskipun rumah tersebut dibangun dengan uangnya sendiri.
IV. Penutup
Orang yang merantau adalah orang yang meninggalkan teritorial asal dan menempati teritorial
yang baru. Hal ini juga dapat diartikan meninggalkan tanah pusaka berupa ulayat kaum yang
sebelumnya digunakan sebagai sumber utama perekonomian keluarga. Di rantau,
perekonomian keluarga tergantung dari hasil pencaharian. Orang yang merantau juga berarti
pindah dari lingkungan sosial yang lama ke lingkungan sosial yang baru. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan struktur keluarga perantau di daerah baru dengan struktur
keluarga yang ada di daerah asal mereka. Di samping itu, hidup berdampingan dengan etnis
lain, juga memberi peluang terjadinya akulturasi budaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga etnis Minangkabau di rantau, di
antaranya adalah dalam hal sistem kekerabatan dari matrilineal menjadi cenderung bilateral,
struktur kekuasaan dari mamak kepada ayah, struktur tanggung jawab dari mamak kepada
ayah, dan sistem waris dari hanya anak perempuan menjadi anak laki-laki dan anak
perempuan. Semakin lama suatu keluarga tinggal di rantau, semakin jauh mereka tercabut dari
akar budaya aslinya, khususnya yang berkaitan dengan sistem kekerabatan matrilineal.
Meskipun terjadi banyak perubahan, yang perlu dicatat ialah bahwa perubahan-perubahan
pada tiap aspek tersebut tidak bersifat dikotomi, tetapi dalam gradasi. Nilai-nilai dan norma-
norma yang terdapat di daerah asal masih terus mempengaruhi perantau Minangkabau,
sementara kondisi kehidupan di kampung halaman sendiri pun terus mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Mutiara Sumber
Widya. Jakarta.
Bachtiar, Harsja W. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat
(ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Chandra, Ade, et al. 2000. Minangkabau dalam Perubahan. Yasmin Akbar. Padang.
Evers, Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara Makna dan
Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ihromi, T.O. (ed.). 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta.
Junus, Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. UI-Press, Jakarta.
Latief, H.Ch.N, Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau Permasalahan dan Masa
Depannya. Angkasa. Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Nye, Ivan & Felix dan Berardo. 1967. Emerging Conceptual Frame Work of Family Analisis,
The Macmillan Company, New York.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing. LP3ES. Jakarta.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Yarmaidi. 1999. “Perubahan Struktur Keluarga Suku Minangkabau (Studi Kasus Perantau
Asal Nagari di Bandar Lampung”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.