di Kota Metropolitan?
Amri Marzali
(Universitas Indonesia)
Abstract
In this article, the author examines whether the matrilineal system is compatible with
urban social environment. The case of Minangkabau migrant groups, particularly those from
the village of Silungkang, West Sumatra, who now live in the metropolitan city of Jakarta,
reveals the incompatability of the two. In Minagkabau region, the combination of the tradi-
tional matrilineal system and the residence pattern of duolocal are backed up by the wet rice
economy and the communal landrights system. In the metropolitan city of Jakarta, these
factors are absent. As a result, the matrilineal system does not work.
1. Suku
2. Payuang (Kaum)
Dalimo Singkek
Guguak Ciporan
Dalimo Tapanggang
Piliang Baruah
Rumah Tabuah
Guguak Binok
Sungkiang Sungkiang
Batu Bagantuang
Koto Marapak
Piliang Piliang
Batu Mananggau
Pala Koto
Patopang Hilir
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 9
Kelompok kerjasama sebaliknya, menerima denda. Mereka juga wajib
Kelompok kerjasama atau corporate membela dan melindungi anggota kelompok dari
group adalah kelompok yang bersatu dalam ancaman pihak lain.
kegiatan-kegiatan yang memerlukan peng- Singkatnya, sebuah kelompok kerjasama,
ambilan keputusan penting dari hari ke hari. corporate descent group, atau decision mak-
Keputusan ini khususnya menyangkut bidang ing group mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
sosial, politik dan ekonomi. Dalam masyarakat • anggotanya merasa seketurunan
Minangkabau tradisional yang penduduknya (berdansanak );
hidup dari kegiatan pertanian, fungsi kelompok • ada kerjasama dan tolong menolong
kerjasama terutama terlihat dalam bidang dalam banyak hal kehidupan;
pertanian. • mengambil keputusan secara bersama;
Dalam kelompok ini, semua lelaki • memiliki bersama sumberdaya modal dan
mempunyai wewenang dan kewajiban secara sumber tenaga;
bertingkat-tingkat. Makin tua dan makin • bertindak bersama sebagai sebuah
mampu seorang lelaki, makin besar badan hukum;
wewenangnya. Kelompok ini juga sering • mempunyai struktur organisasi yang
disebut dengan istilah lain, yaitu corporate de- bertingkat; dan
scent group atau decision-making group. • mempunyai cara distribusi wewenang
Dalam mengambil dan melaksanakan yang bertingkat (Keesing 1975).
keputusan, kelompok ini harus mempunyai Dalam kenyataan kehidupan tradisional di
kekuasaan dalam mendayagunakan sumber Silungkang, apa yang disebut dengan
daya modal dan tenaga. Secara tradisional, kelompok kerjasama ini dapat ditemui pada
kedua sumberdaya ini terwujud dalam bentuk kelompok sub-kampuang (paruik ). Para
tanah pertanian beserta alat-alat produksi lain. anggotanya secara bersama memiliki tanah
Dalam usaha untuk mendayagunakan sumber pusaka dan hidup dalam satu atau dua rumah
produksi ini, kelompok mempunyai satu struktur gadang. Kampuang, apalagi suku, jauh dari
kekuasaan. Struktur kekuasaan ini menelurkan ciri-ciri seperti tersebut di atas. Keduanya
dan menjalankan keputusan penting serta terlalu besar untuk menjadi sebuah kelompok
menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran. kerjasama.
Syarat minimal bagi sebuah struktur seperti ini Kelompok domestik
adalah bahwa wewenang dan kekuasaan harus
Kelompok domestik, atau rumah tangga,
didistribusi-kan di kalangan anggota kelompok
adalah bagian dari kelompok kerjasama yang
menurut tingkatannya.
memikul tugas operasional. Tugas-tugas
Kelompok kerjasama ini juga memiliki
kelompok kerjasama didistribusikan di kalangan
secara bersama sejumlah harta produktif dan
kelompok domestik, terutama tugas-tugas yang
non-produktif dalam bentuk tanah, sawah,
berhubungan dengan konsumsi, pendidikan
ladang, rumah, perlengkapan produksi,
anak-anak, pencurahan kasih sayang, dan
perlengkapan dapur, perlengkapan keamanan,
penjagaan keamanan kelompok. Di Silungkang
dan sebagainya. Terakhir, secara hukum,
khususnya dan di Minangkabau umumnya,
kelompok kerjasama ini dapat bertindak sebagai
kelompok domestik ini paralel dengan kelompok
sebuah badan hukum yang wajib membayar
rumah gadang. Kelompok inilah yang akan
denda bila salah seorang anggotanya berbuat
menjadi sorotan utama pembicaraan kita.
pelanggaran terhadap kelompok lain; atau
10 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Untuk memudahkan pembicaraan, kita di tangan para mamak, kecuali di malam hari
asumsikan bahwa secara ideal anggota saat tugas ini diserahkan kepada urang
kelompok domestik ini terdiri atas tiga generasi. sumando. Di sinilah berlaku pepatah ‘urang
Generasi pertama terdiri dari ninik-ninik (grand- sumando menjadi ganti ninik mamak’.
mothers) dan datuk-datuk (grandfathers) yang Suami tidak sempat menjalin hubungan
bersaudara. Generasi kedua terdiri dari anak kejiwaan yang mendalam dengan anak
lelaki dan anak perempuan (children) dari para isterinya. Bahkan, dalam kasus seorang lelaki
ninik. Pada generasi ketiga terdapat anak-anak yang beristeri lebih dari satu, terjadi
dari anak-anak perempuan ninik (daughters’ kemungkinan bahwa dia kurang mengenal
children). anaknya yang sudah besar. Secara teoritis
Kelompok ini mendiami sebuah rumah suami mudah menceraikan dan diceraikan
gadang dengan sebuah dapur, dan makan dari isterinya. Apabila bercerai, anak-anak secara
sumber sawah, ladang, ternak milik bersama. sosial cenderung melihat bapaknya sebagai
Pada siang hari anggota kelompok ini utuh, ‘bekas suami ibunya’. Secara bergurau, tetapi
sedangkan pada malam hari kelompok ini memiliki dasar kultural, seorang bapak adalah
kehilangan anggota lelaki yang sudah kawin, urang sumando yang terdekat dari anak-
karena mereka harus pergi ke rumah isteri anaknya .
mereka masing-masing. Sebaliknya, pada malam Bapak adalah ‘ayah biologis’ dari anak-
hari, kelompok ini mendapat tambahan anggota anaknya, sedangkan ‘ayah sosial’ dari anak-
baru, yaitu para suami dari anggota perempuan anak tersebut adalah mamak-nya. Di bidang
(urang sumando). ekonomi, pendidikan, pewarisan kedudukan
Dahulu, para urang sumando ini tidak perlu politik, keamanan, dan lain-lain, tanggung
menanggung biaya ekonomi isteri dan anak- jawab dan wewenang berada di tangan mamak.
anaknya, karena kehidupan ekonomi mereka Apabila anggota kelompok domestik, atau
ditanggung oleh kelompok domestik. Mereka kelompok rumah gadang menderita kurang
hanyalah ‘tamu’ di malam hari yang berfungsi makan dan pakaian, mamak merekalah yang
sebagai alat produksi penerus keturunan demi disalahkan. Apabila seorang anak terlihat nakal
kelangsungan kelompok tersebut. Tanpa urang atau melanggar norma masyarakat, mamak-
sumando, kelompok rumah gadang bisa punah. nyalah yang dianggap kurang pandai mendidik
Karena itu, urang sumando adalah vital bagi kamanakan. Apabila seorang anak berada
kelangsungan kelompok. Kelompok domestik dalam bahaya, maka mamak pulalah yang
yang sekaligus merupakan kelompok keturunan bersabung nyawa. Kedudukan datuk sebagai
ini tidak bisa memproduksi diri sendiri (inbreed- ‘direktur utama’ kelompok domestik diturunkan
ing). Orang tidak boleh kawin dengan saudara kepada kamanakan . Kedudukan mamak
sendiri (incest taboo). sebagai ‘manager’ kelompok diturunkan kepada
Di dalam kelompok domestik ini para ninik kamanakan, dan demikianlah seterusnya.
mamak (mother’s brothers atau mother’s Setelah masuknya pengaruh agama Islam
mother’s brothers) dipandang sebagai serta pengaruh ekonomi uang yang dibawa
‘manager-manager’ dari kelompok, sedangkan Belanda dan pertumbuhan jumlah penduduk
‘direktur’ utamanya adalah datuk (mother’s yang terus menerus, maka perubahan tidak
mother’s brother) yang tertua. Bapak tidak perlu dapat dielakkan. Meskipun perubahan telah
mendidik anak-anaknya. Tugas ini dipikul oleh banyak terjadi, tanggung jawab sosial dan moral
para mamak. Keamanan kelompok juga berada mamak terhadap anggota kelompok domestik
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 11
dan samande tetap merupakan bagian dari mereka yang berdiam dalam sebuah rumah
prinsip kultural masyarakat Minangkabau. Ini tersendiri.
adalah konsekuensi dari prinsip duolocal yang Pembinaan fungsi organisasi yang agak
masih tetap dipegang. Paralel dengan itu, tetap berlanjut cuma pada level kelompok samande.
pula dipegang teguh prinsip endogami nagari. Ini pun hanya pada fungsi sosial yang sangat
tipis, seperti saling mengunjungi atau tolong
Masyarakat Minangkabau di Jakarta menolong dalam kesulitan. Pada level rumah
Jakarta adalah sebuah kota metropolitan gadang, fungsi organisasi masih tersisa dalam
dengan luas sekitar 650 km persegi. Di kota ini, bentuk arisan bulanan. Di luar arisan, sukar bagi
migran Minangkabau terikat pada berbagai mereka untuk saling berjumpa, apalagi
bidang pekerjaan, mencapai berbagai tingkat melaksanakan hubungan sosial menurut norma
pendidikan, dan berdiam di berbagai pelosok kelompok.
yang berpencaran. Keadaan ini membuat migran Di Jakarta, tidak ada rumah gadang
Minangkabau—yang mulanya berasal dari sebagai tempat tinggal kelompok samande,
komunitas-komunitas nagari yang kecil tempat ninik mamak menjalankan kewajiban,
dengan masyarakat yang relatif homogen— wewenang dan kontrol pada siang hari. Orang
menjadi satu masyarakat yang kompleks, Minangkabau di Jakarta pada umumnya hidup
terpecah ke dalam berbagai subkultur, dan hidup dalam keluarga inti sepanjang siang dan malam
berpencaran. Persamaan di antara mereka hari. Di rumah itu sang ayah, yang di ranah
hanyalah bahwa mereka berasal dari asal berkedudukan sebagai urang sumando,
Minangkabau, bercakap dalam bahasa kini memegang wewenang, kewajiban, dan
Minangkabau, dan mendidik anak mereka di kontrol terhadap anak dan isterinya. Mamak
rumah menurut kultur Minangkabau yang boleh datang ke rumah itu, siang atau malam
dibawa dari nagari masing-masing. hari, namun tidak perlu lagi dalam kedudukan
Di Jakarta, tidak ada organisasi kelompok sebagai ‘direktur utama’ atau ‘manager’
keturunan dan kelompok domestik yang kelompok. Ia cukup datang sebagai ‘tamu’.
berfungsi secara efektif seperti di nagari asal. Di sini terlihat satu keadaan yang terbalik.
Yang ada ialah semacam organisasi modern Di Nagari asal, sang ayah menjadi tamu di
seperti Persatuan Keluarga Silungkang, Sulit rumah isterinya, dan sang mamak adalah tuan
Air Sepakat, dan sebagainya. Organisasi rumah. Kini di rantau, sang ayah yang menjadi
seperti ini berfungsi mengurus kesejahteraan tuan rumah di rumahnya, dan sang mamak
para perantau, dan sumbangan mereka untuk menjadi tamu.
kampung halaman. Sebagian mamak yang bertanggung
Ikatan kelompok sa-kampuang, rumah jawab, masih melaksanakan tugas mengunjungi
gadang, dan samande tetap diakui, namun kamanakan-nya secara rutin, meskipun
organisasi yang berfungsi efektif dalam fungsinya hanya sekedar ‘menjenguk’ saja.
membina ikatan tersebut tidak ada lagi. Hampir Namun, keinginan ini sering terhambat oleh
semua fungsi—yang di nagari asal dipegang jauhnya jarak yang harus ditempuh dari rumah
oleh kelompok keturunan dan kelompok sang mamak ke rumah sang kamanakan.
domestik—diambil alih oleh kelompok rumah Belum lagi, lamanya waktu dan biaya yang
tangga keluarga batih. Keluarga batih ini terdiri dihabiskan untuk setiap kunjungan.
dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak Di Jakarta, migran Minangkabau tidak
mempunyai harta produksi milik bersama seperti
12 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sawah dan ladang milik kelompok samande (payuang) tetap dipelihara, baik secara prinsip
atau rumah gadang. Ekonomi rumah tangga maupun secara sosial. Namun, prinsip dan
ditopang oleh pekerjaan suami. Karena itu, praktek ini tidak diikuti dengan praktek
penghasilan juga dikonsumsi oleh anggota endogami nagari sebagaimana yang
kelompok rumah tangga itu saja. Di Jakarta, dilaksanakan di ranah asal. Sejak tahun 1970-
tidak ada status politik dalam kelompok an, Orang Silungkang di Jakarta sudah bisa
keturunan, tidak ada ‘direktur utama’ dan ‘man- menerima jodoh asal dari luar nagari sendiri,
ager’ kelompok samande. Karena itu, keperluan apakah urang sumando itu Orang
untuk pewarisan posisi seperti ini dari mamak Minangkabau, Jawa, Sunda, atau yang lain.
ke kamanakan juga tidak perlu. Akibatnya wewenang, kontrol, dan kewajiban
mamak terhadap wanita dan anak-anak dalam
Pembahasan satu kelompok keturunan semakin lemah.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagian Keempat, garis keturunan masih ditelusuri
besar prinsip kultural matrilineal sudah tidak melalui garis wanita pada perkawinan endogami
dijalankan lagi dalam kehidupan sosial nagari. Anak-anak hasil perkawinan endogami
masyarakat Minangkabau di Jakarta. Prinsip nagari ini otomatis menjadi anggota kampuang
kultural pertama yang mengatakan bahwa ibunya. Pada perkawinan dengan orang luar
‘wanita bertanggung jawab memelihara anak- nagari , garis keturunan tidak banyak
anak’ memang masih terlihat. Namun, prinsip dipermasalahkan. Tidak ada ketentuan yang
ini tidak khas milik sistem matrilineal saja. Ia ketat. Mereka bisa saja dianggap sebagai
juga dipraktekkan oleh masyarakat dengan keturunan dari ibunya atau dari bapaknya.
sistem kekerabatan yang lain seperti patrilineal Masalah penting tentang garis keturunan
dan kognatik. Prinsip dan praktek ini mungkin ini adalah sebagai berikut: apakah anak-anak
bukan hanya bersifat universal dalam dari seorang perempuan yang kawin dengan
kehidupan manusia, tetapi mungkin juga orang luar dapat dianggap sebagai anggota
berlaku bagi seluruh makhluk primata. Karena kampuang ibunya oleh anggota-anggota yang
itu tidak perlu dipermasalahkan (Fox 1976:31). lain? Nampaknya hal itu belum bisa terlaksana,
Pada masyarakat Minangkabau tradisional, meskipun secara seremonial ada pihak-pihak
prinsip kedua, ‘pria dewasa mempunyai tertentu yang berusaha untuk mengangkat
wewenang terhadap wanita dan anak-anak’, anak-anak tersebut ke dalam kelompok. Dengan
dilaksanakan oleh para mamak (mother’s broth- adanya penolakan terhadap anak-anak itu,
ers). Di Jakarta, wewenang ini dilaksanakan maka eksistensi kelompok menjadi terancam.
oleh bapak atau urang sumando . Hal ini Tidak ada regenerasi, tidak ada rekrut baru
merupakan satu perubahan sosial. Kalau anggota kelompok.
perubahan dalam pola perilaku ini memasuki Terakhir adalah soal pewarisan harta dan
bidang prinsip, menjadi bagian dari norma dan suksesi politis. Di nagari asal, harta pusaka,
nilai budaya, maka terjadi perubahan khususnya dalam bentuk tanah dan rumah,
kebudayaan. Di ranah Minang, bapak hanyalah masih tetap diwariskan sepanjang garis wanita.
‘ayah biologis’. ‘Ayah sosial’ adalah mamak. Namun, harta ‘dapatan’ di rantau digariskan
Di Jakarta, bapak adalah ‘ayah biologis’ menurut hukum faraidh yang bilateral. Pola
sekaligus ‘ayah sosial’. seperti ini sudah lama berlaku. Bahkan, pada
Ketiga, perkawinan eksogami kampuang masa kini, sudah nampak gejala yang makin
menyimpang. Dalam beberapa kasus ditemukan
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 13
bahwa pihak laki-laki juga menuntut bagian individu-individu yang lain, sehingga perilaku
warisan dari harta pusaka di ranah asal. tertentu telah terbentuk menjadi satu pola yang
Suksesi politik masih diturunkan menurut mapan. Demikianlah, kita melihat perubahan
garis perempuan, yaitu dari mamak kepada dalam pola-pola perilaku kaum lelaki dalam
kamanakan laki-laki (dari mother’s brother rangka menjalankan kewajiban, wewenang, dan
kepada sister’s son). Namun, yang menjadi kontrol terhadap wanita dan anak-anak. Pada
masalah adalah substansi politik yang mulanya kewajiban ini dilaksanakan oleh
diwariskan itu. Secara tradisional, pewarisan mamak terhadap dansanak dan kamanakan,
terjadi pada kedudukan politik dalam organisasi sekarang dilaksanakan oleh bapak terhadap
keturunan, seperti jabatan penghulu suku, anak dan isteri.
datuk kampuang, dan seterusnya. Sekarang, Apakah perubahan dalam pola perilaku ini
di rantau, organisasi itu sudah tidak berfungsi. telah membawa akibat terhadap prinsip kultural:
Jika demikian, kedudukan politis apakah yang bahwa tanggung jawab, wewenang, dan
mau diwariskan? Kalau pun terjadi pewarisan kontrol itu secara normatif memang dipandang
jabatan politik, maka yang terjadi adalah sudah dilepaskan oleh ninik mamak kepada
pewarisan pada aspek seremonial saja, yaitu urang sumando (bapak)? Nampaknya hal itu
pewarisan gelar. Ketika seorang kamanakan belum sepenuhnya terjadi. Dalam aspek-aspek
lelaki akan kawin, seorang mamak akan tertentu, khususnya aspek perilaku yang
menurunkan gelar-nya kepada kamanakan seremonial dalam perkawinan dan kematian,
tersebut, seperti gelar Sutan Mangkuto, Khatib tanggung jawab, wewenang dan kontrol masih
Bandaharo, dan sebagainya. berada di tangan mamak dan dijalankan oleh
Sebagian perubahan yang terjadi pada mamak.
masyarakat Minangkabau di Jakarta dapat Efek yang nampak langsung dari
dipandang sebagai perubahan sosial, yaitu perubahan pada level perilaku terdapat pada
perubahan dalam pola kelakuan dan organisasi organisasi sosial. Dengan terjadinya
sosial. Sebagian lain dapat dipandang sebagai penyimpangan pada perilaku, maka yang
perubahan kultural, yaitu perubahan dalam tertinggal dalam organisasi sosial hanyalah
nilai, norma, dan prinsip hidup. Perubahan ini ‘status’, sedangkan ‘role ’ sudah berjalan
telah dihubungkan dengan perubahan pada sendiri menyesuaikan diri dengan lingkungan
lingkungan sosial dan lingkungan alam, baru. Dalam satu kelompok rumah gadang, sta-
khususnya dengan konsekuensi dari fenomena tus mamak tertua (datuk ) masih ada. Namun,
merantau ke kota besar. peranannya sebagai ‘direktur utama’ rumah
Perubahan dimulai pada level sosial, yaitu gadang sudah tidak dijalankan lagi sepenuh-
strategi adaptasi yang dilakukan individu- nya, kecuali dalam perilaku seremonial. Begitu
individu tertentu untuk mencapai survival pula halnya dengan status dan peranan mamak
dalam kehidupan di kota besar. Perilaku sebagai ‘manager’ kelompok. Dengan kata lain,
sebagian individu telah menyimpang dari kelompok rumah gadang dan samande tidak
prinsip kultural yang telah digariskan dari berfungsi lagi sebagai sebuah ‘corporate
nagari asal. Namun, secara sosial hal itu dapat group’ dan ‘domestic group’.
ditoleransi mengingat tekanan yang Saya yakin, jika kecepatan perubahan
dipaksakan oleh lingkungan. Dalam proses sosial yang terjadi pada masyarakat
waktu, penyimpangan demi penyimpangan Minangkabau di Jakarta tetap seperti sekarang,
terhadap norma tradisional diikuti pula oleh maka dalam waktu tidak lama lagi, keseluruhan
14 ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
prinsip kultural matrilineal—yang menjadi masyarakat tradisional lain menjadi masyarakat
tradisi masyarakat Minangkabau—sudah Indonesia baru. Sebuah masyarakat dengan
ditinggalkan anggotanya. Jika hal ini terjadi, prinsip-prinsip sosial baru. Namun, apakah
apakah eksistensi Orang Minangkabau sebagai jawaban ini akan mengejawantah atau tidak,
satu unit kultural yang terdiri dari subkultur tergantung kepada beberapa faktor lain,
nagari-nagari masih dapat bertahan di Jakarta? misalnya komunikasi migran dengan nagari
Tentu saja tidak. Mereka akan lebur bersama asal.
Kepustakaan
Fox, R.
1976 Kinship and Marriage:An Anthropological Perspective. Penguin Books.
Marzali, A.
1973 Orang Silungkang di Jakarta. Skripsi Sarjana Antropologi, tidak dipublikasikan. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Marzali, A dan R. Siburian
1998 Pengembangan Industri Tenun Silungkang. Jakarta: LIPI.
Richards, A.I.
1970 ‘Some Types of Family Structure among the Central Bantu’, dalam A.R. Radcliffe-Brown
dan D. Forde (peny.) African Systems of Kinship and Marriage . London: Oxford University
Press.
Saptomo, A.
1995 Berjenjang Naik Bertangga Turun. Tesis S2 tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Schneider, D.M. dan K. Gough (peny.)
1974 Matrilineal Kinship . Berkeley: University of California Press.