Anda di halaman 1dari 9

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


Jln. Prof. Dr. Hamka Kampus UNP Air Tawar, Padang 25131 Telp. 0751-7053363
Fax. 0751-7053363. E-mail: info@unp.ac.id

PERKULIAHAN DARING PERTEMUAN KE-12

Mata Kuliah/ SKS : Budaya Alam Minangkabau/ 2

Dosen Pengampu : Tim Dosen BAM

Sumbang Duo Baleh, Antara Realitas dan Romantisme Masa Lalu

(Masrizal, S.Sos, Pamong Budaya Provinsi Sumatera Barat)

https://minangsatu.com/Sumbang-Duo-Baleh-Antara-Realitas-dan-Romantisme-Masa-
Lalu_3994

Minangkabau adalah salah suku bangsa yang secara geneologis memakai sistem
kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal termasuk unik di dunia. Hanya ada lima suku
bangsa yang memakai sistem penarikan garis keturunan melalui ibu ini. Adalah suku bangsa
Indian di Apache barat, suku Khasi di India timur laut, suku Nakhi di Tiongkok, suku Trobrian
di Papua Nugini dan suku Minangkabau di Sumatera Barat.

Matrilineal berasal dari bahasa latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan linea yang berarti
garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu.
Secara umum, sistem matrilineal juga memberikan legalitas kepada perempuan untuk berkuasa
(matriakat). Oleh sebab itu sistem adat matrilineal tidak hanya pada penarikan garis keturunan
berdasarkan garis ibu, akan tetapi kekuasaan juga berada di tangan perempuan.

Di Minangkabau, sistem matrilneal diinternalisasikan kedalam sebuah pola yang unik.


Praktik matrilineal tidak terlepas dari adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah”. Islam sebagai sebuah agama dan adat sebagai sebuah tradisi, telah mengakulturasi
menjadi sebuah pranata sosial yang mapan. Diksi agama dan diksi adat saling berkolaborasi
membentuk suatu norma yang berlaku sejak dulu hingga kini.

Dalam pepatah adat berbunyi:


Si Muncak kaparak mambaok ladiang
jatuh tarambau kadalam samak
pasuklah pao kaduonyo
Adat jo syarak, bak aua jo tabiang
sanda basanda kaduonyo
Artinya:
Si Muncak pergi ke kebun membawa parang
jatuh terjerembab ke dalam semak
luka lah paha keduanya
Adat dengan syarak ibarat aur dengan tebing
sandar bersandar keduanya

Praktek matrilineal tergambarkan melalui penarikan garis keturunan dan pengelolaan


harta pusaka. Pola hidup matrilokal juga masih umum dilakukan. Sepasang suami istri yang
baru menikah akan tinggal di rumah keluarga perempuan. Dengan ini, wanita di Minangkabau
mendapatkan tempat dan diperlakukan secara terhormat.

Berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS SBK),
maka bagi orang Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan menjalankan
perintah agama Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dihormati, perempuan adalah ibu yang
melahirkan kita, ganerasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.

Jika dikaitkan dengan ajaran Islam, penghormatan terhadap wanita di Minangkabau


sejalan dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Dari
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang
tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam
menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no.
2548).

Pada masyarakat Minangkabau, wanita dikelompokkan kedalam empat tingkatan


berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan perannya di dalam masyarakat. Yang
pertama adalah batino, seorang wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-
kanak sampai sebelum akil balig. Urutan yang kedua adalah gadih, yaitu wanita dari masa akil
balig sampai masa sebelum menikah. Wanita pada urutan ketiga adalah padusi, yaitu wanita
yang sudah bersuami. Dan yang terakhir adalah parampuan, yaitu wanita yang sudah memiliki
usia lanjut yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga.
Sedangkan berdasarkan status sosialnya sebagai seorang ibu, maka wanita disebut juga
dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan ditunjuk
dengan mekanisme adat, disebut juga dengan mande soko. Mande Soko (terkadang juga
disamakan dengan Bundo Kanduang) memegang peranan penting dalam menjaga marwah
suku atau kaumnya dalam kehidupan masyarakat. Ia dipercaya dalam mengawasi, mengatur
segala sesuatu yang terkait dengan tugas wanita secara adat. Ia adalah sumber teladan dan
panutan dalam menjaga sikap dan prilaku generasi penerusnya terutama wanita.

Bagi orang Minang, wanita adalah simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu
seorang wanita idealnya adalah malu suku atau kaumnya itu sendiri. Sekaitan dengan ini,
Parpatih (2002) menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut.
Hino mulia suatu kaum tagantuang dek nan padusi. Tuak parang bisa badamai, tikam bunuah
dibari maaf, rabuik rampeh dilimaui. Tapi, kok padusi diagiah malu, jando diguguang urang
tabang, gadih tapakiak dalam samak, mako tatutuiklah sagalo pintu damai, tasintak sagalo
kaum, jago suku, bangun dubalang, disiko nan cadiak kabapakaro, nan bagak kamalalahan, nan
kayo tajun jo harato. Pendeknyo, malu masti tabangkik. Kama hanyuik kama dipinteh, walau
ka dalam lauik basah. Dima hilang dima dicari, bia ka suduik-suduik bumi. Tak lalu dandang
di aia, di gurun kaditajakan, jiko ndak mungkin di nan lahia, di batin dilaluan.
Maksudnya:
Hina mulianya suatu kaum tergantung oleh wanita. Kalau berperang bisa berdamai, kasus
pembunuhan bisa diberi maaf dan seterusnya. Akan tetapi kalau wanita yang sudah diberi
malu, akan membuat malu kaum dan suku. Maka semua unsur akan ikut terlibat
menyelesaikannya.

Suku bangsa Minangkabau memiliki sitem nilai, norma, atau kearifan lokal (local
wisdome) dalam menjaga kehormatan seorang wanita atau perempuan. Sistem nilai tersebut
dikenal juga dengan istilah “Sumbang Duobaleh” (Sumbang Duabelas). Sumbang Duobaleh
adalah panduan untuk mengatur tingkah laku seorang wanita, agar tidak menyimpang dari
kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat. Sumbang, jangga atau cando, adalah
perbuatan yang kurang baik dan harus dihindari oleh wanita di Minangkabau karena akan
mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya. Wanita yang sering melakukan Sumbang
Duobaleh dianggap sebagai wanita yang tidak sopan atau dalam istilah Minang indak
bataratik.

Seringnya wanita melakukan prilaku sumbang akan membuat dia terjatuh kedalam
prilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita terhormat. Dua
belas prilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau tersebut adalah (1)
sumbang duduak, (2) sumbang tagak, (3) sumbang bajalan, (4) sumbang kato, (5) sumbang
caliak, (6) sumbang makan, (7) sumbang pakai, (8) sumbang karajo, (9) sumbang tanyo, (10)
sumbang jawek, (11) sumbang bagaua, dan (12) sumbang kurenah.

Sumbang Duobaleh secara umum mengatur wanita dalam berprilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Jika prilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat dipandang
baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya. Seperti yang dikatakan dalam pepatah adat :

Budi baiak baso katuju, muluik manih kucindan murah. Dibagak urang ndak takuik,
dikayo urang ndak arok, dicadiak urang ndak ajan, dirancak urang ndak ingin, di budi urang
takanai. Sasuai bak bunyi pantun, Babelok babilin-bilin, dicapo tumbuahlah padi, dek elok
urang tak ingin, dek baso luluahlah hati.

Nan kuriak Lundi , nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso.
Maksudnya:
Budi dan bahasa yang baik akan disukai orang. Walau pemberani orang tidak takut, walau kaya
orang tak meminta, walau pintar orang tak hormat, walau cantik orang tak suka. Akan tetapi
dengan budi dan bahasa baik orang akan tertarik.

Beberapa contoh prilaku sumbang tersebut antara lain adalah, sumbang wanita itu
duduk bersila (baselo) seperti laki-laki. Idealnya wanita itu duduknya bersimpuh (basimpuah).
Sumbang bagi wanita duduk berdua-duaan dengan laki-laki yag bukan muhrimnya ditempat
yang sepi. Sumbang bagi seorang wanita berdiri di pinggir jalan sendirian tanpa ada tujuan
yang jelas. Sumbang bagi wanita jika memakai pakaian sempit yang membentuk lekuk-lekuk
tubuhnya. Sumbang bagi perempuan berjalan sendirian, berjalan tergesa-gesa dan berjalan di
depan laki-laki. Sumbang bagi wanita berbisik-bisik di depan orang ramai. Sumbang bagi
wanita berkata kasar, dan lain-lainya.

Wanita Minangkabau di Era Milenial

Sepertinya apa yang diungkapkan oleh Soekanto (1990), dalam bukunya “Sosiologi
Suatu Pengantar”, ada benarnya. Ia mengatakan bahwa, “perubahan-perubahan masyarakat
dapat mengenai nilai –nilai sosial, norma-norma, pola-pola prilaku organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.”

Derasnya kemajuan teknologi dan informasi telah hampir menggantikan ruang-ruang


public kedalam ruang-ruang maya dan telah membentuk komunitas yang besar secara
fungsional (lihat tulisan saya, Ummat Smartphone). Melalui internet, media sosial dan
sebagainya telah membawa perubahan sosial (social exchange) di tengah kehidupan
masyarakat.

Perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Ia akan berdampak
kepada kebudayaan suatu suku bangsa. Ia bisa berbentuk akulturasi yang berujung kepada
reorientasi nilai, atau ia bisa pula berbentuk asimilasi yang mengikis habis identitas asli
kedalam bentuk lain sebagai budaya baru dan dipraktekkan secara massal pada komunitas
tertentu. Nah, hal ini akan menghilangkan identitas sosial masyarakat dalam suatu komunitas
budaya yang homogen. Hilangnya idenditas kelompok ini terkadang tanpa disadari oleh
masyarakat pendukung suatu kebudayaan. Perubahan pola prilaku individu (personal attitude)
akan mengakibatkan perubahan prilaku kelompok (comunal attitude). Pada akhirnya, lemahnya
kontrol sosial (social control) yang mengakibatkan terjadinya pembiaran telah mempercepat
proses degradasi identitas, nilai dan budaya masyarakat.

Mengenai perubahan, sebenarnya sudah digambarkan dalam Pepatah Minangkabau:


Sakali aia gadang
Sakali tapian barubah
Cupak lah diambik rang panggaleh
Jalan lah diasak dek urang lalu
Artinya:
Sekali air besar
Sekali tepian berubah
Cupak (alat untuk menakar sesuatu, seperti padi) diambil oleh pedagang
Jalan sudah diubah oleh orang yang datang.

Sumbang Duobaleh sebagai sebuah sistem nilai, akhir-kahir ini kembali ramai
diperbincangkan. Ia menjadi topik yang selalu hangat di meja-meja diskusi di kalangan
akademisi, seminar, workshop, artikel, makalah, dan bahkan ciloteh (bicara lepas, biasanya di
lapau) di program televisi. Nampaknya ada ketertarikan dan kecendrungan untuk kembali
mempelajari dan mengkaji kearifan lokal tersebut. Ada keinginan untuk menghidupkan
kembali romantisme masa lalu ditengah hantaman globalisasi.

Tidak dapat dipungkiri, prilaku wanita di Minangkabau saat ini sudah mulai bergeser
mengikuti tren atau perkembangan zaman. Apa yang dianggap baru atau “modern” secara
perlahan telah menggerus nilai-nilai “tradisional” yang sudah ada sebelumnya. Saat ini wanita
di Minangkabau banyak yang tidak tahu lagi dengan Sumbang Duobaleh. Prilaku wanita,
terutama (gadih) bukan sekedar sumbang (janggal) akan tetapi sudah ada yang salah menurut
norma adat.

Sebagai generasi milenial, anak gadih Minang saat ini lebih cepat mengetahui,
menerima dan mencontoh nilai-nilai baru, tren-tren baru terkait dengan gaya hidup, mode,
makanan, tokoh idola dan lain sebagainya. Mereka sangat mudah menemukan semua itu
melalui gadget canggih yang ada di tangannya. Sebut saja Facebook, WhatsApp, IG, Tweeter,
Line dan sejenisnya telah menjadi ruang baru dalam berkomunikasi. Hubungan melalui medsos
itu terjadi antara individu dengan individu yang dikenal dengan istilah chat, japri dan bahkan
bicara langsung yang dikenal dengan istilah VC. Hubungan antara individu dengan kelompok
dengan identitas yang sama juga dapat dwngan mudah terealisasi melalui grup-group yang
beragam di sosial media.

Mudahnya akses informasi secara global telah memberikan andil besar dalam
perubahan prilaku wanita atau gadih Minang saat ini. Mereka lebih mahir menggunakan jari-
jarinya dalam mengusap smartphone dibandingkan menghapal dan memahami Sumbang
Duobaleh sebagai kontrol mereka agar tetap menjadi wanita terhormat dan bermartabat.
Lemahnya kontrol sosial pada wanita baik dalam keluarga inti (nuclear family) maupun dalam
keluarga luas (extended family) kelihatannya juga menjadi pendorong maraknya prilaku
sumbang dan salah tersebut.

Masih jelas dalam ingatan kita, kasus dua orang penari streaptise yang ditangkap oleh
jajaran satpol PP pada September tahun 2011 disebuah cafe di Padang. Pada tahun 2015, 10
pasang ABG juga ditangkap berbuat mesum di beberapa hotel melati di kota padang. Dan yang
paling spektakuler adalah berita penangkapan 48 pasangan mesum pada malam pergantian
tahun 2018 ke tahun 2019. Mereka ada yang ditangkap di hotel, tempat kos, dan bahkan ada
yang tertangkap di parkiran SPBU (detik news, Edisi: 1 januari 2019). Mengkhawatirkan
memang, apabila hal ini tidak ditangani secara bijak dan arif maka akan berdampak pada
prilaku-prilaku menyimpang, kekerasan seksual, dan penyakit masyarakat lainnya.

Idealnya, secara struktural dan fungsional sudah ada mekanisme yang terbentuk secara
alamiah dalam mengontrol prilaku sosial dalam masyarakat. Di Minangkabau dikenal dengan
istilah “Tungku Tigo Sajarangan, tali tigo sapilin”. Ini merupakan istilah untuk tiga orang
unsur pemimpin yang sangat menentukan dalam sitem nilai dan norma yang mengatur aktivitas
sosial masyarakat.
Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing
mempunyai fungsi sosial berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Ninik
Mamak, adalah laki-laki yang dituakan secara adat, berdasarkan tingkatanya biasa disebut
dengan Mamak Kapalo Warih (mamak kepala suku), mamak kapalo kaum, mamak kapalo
paruik dan penghulu sebagai pimpinan tertinggi satu suku. Cadiak Pandai adalah laki-laki yang
dianggap memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan. Dan
Alim Ulama adalah laki-laki yang dituakan dan memiliki kemampuan yang cukup dalam
dalam hal keagamaan. Sedangkan Mande Soko dan Bundo Kanduang juga termasuk orang
yang dituakan secara adat dan berperan dalam mendidik generasi penerus dan hal-hal lain yang
terkait status dan peran sosial wanita secara adat.

Terkait hal ini, dalam pepatah adat juga disebutkan:


Kaluk paku kacang balimbiang
Pucuknyo lenggang lenggokkan
Dibaok manurun kasaruaso
Anak dipangku
Kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Supayo nagari jan binaso

Akan tetapi, realitas yang ada sekarang menunjukkan sistem nilai itu sudah bergeser,
jangankan menghukum perbuatan yang salah, untuk menegur perbuatan yang sumbang saja,
seolah berat untuk melakukannya. Kenapa?? Tentu berbagai macam pula alasannya. Bisa jadi
karena merasa bukan dia yang pantas menegur, karena status sosial yang rendah, kekurangan
ilmu atau bisa karena cuek dan tidak mau tahu. Apalagi, kalau ibu, bapak dan mamaknya, yang
secara adat memiliki tanggung jawab penuh, tidak mempermasalahkan prilaku sumbang atau
salah yang dilakukan oleh anak dan kemenakannya tersebut.

Agaknya perubahan sosial dan kultur masyarakat Minangkabau yang terbuka (open
society) telah menggeser eksistensi pranata sosial yang ada sebagai sebuah regulasi ideal bagi
masyarakat. Peran Ayah, Ibu dan Ninik Mamak secara adat semakin melemah. Padahal mereka
adalah orang terdekat dalam hal pewarisan kebudayaan dan sosial kontrol dalam keluarga inti
dan keluarga luas.

Jika ini dibiarkan, maka badai globalisasi yang membawa nilai yang berbeda dan tidak
cocok dengan budaya Minangkabau akan mengikis seluruh sistem sosial yang ada. Pembiaran
akan hal ini akan berdampak pada degradasi budaya Minangkabau. Alangkah banyaknya nanti
generasi-generasi muda yang kehilangan jati diri dan menjadi wanita yang tidak tahu sopan
santun atau disebut juga dengan gadih nan indak bataratik.

Peran cadiak pandai dan alim ulama sebagai duo tungku penyangga lainnya dalam
sistem nilai budaya Minangkabau, juga tidak boleh melemah dan harus tetap diberikan
penguatan. Selanjutnya penguatan keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extennded
family). Penguatan pranata pendidikan formal dan non formal sebagai lembaga edukasi
kultural. Penguatan pemangku adat di nagari, dalam hal ini “urang ampek jinih, dan urang
bajinih ampek” (orang empat jenis dan orang berjenis empat). Yaitu Penghulu, Malin, Manti
dan Dubalang. Serta empat orang perangkat Malin dalam menjalankan tugas keagamaan, yaitu
Bilal, Khatib, Imam dan Khadi. Serta penguatan Mande Soko dan Bundo Kanduang. Dan
faktor penting lainnya adalah penguatan anggaran pada instansi-instansi pemerintah yang
mengurus kebudayaan. Politik anggaran yang berpihak pada penataan nilai-nilai budaya adalah
suatu keharusan dalam reorientasi nilai-nilai kultural kedepan.

Tidak berlebihan kiranya, jika penguatan-penguatan secara personal, fungsional dan


struktural sebagai sebuah sistem mekanisme pewarisan nilai, harus dilakukan secara
terstrukstur, sistematis dan masif (TSM) pada setiap pranata sosial yang ada. Jika tidak
dilakukan, tidak menutup kemungkinan, kearifan lokal khususnya Sumbang Duobaleh dalam
menjaga marwah wanita Minangkabau hanyalah romantisme masa lalu. Ia hanya akan tetap
menjadi topik yang begitu ideal dan seksi dalam diskusi-diskusi para akademisi, naskah-naskah
artikel yang memenuhi ruang media massa, buku, media online, sosial media dan perbincangan
para praktisi kebudayaan.

Tugas Perkuliahan:

1) Baca dan pahamilah tulisan di atas mengenai sumbang duo baleh di atas!
2) Salah satu cara pembentukan karakter dalam masyarakat Minangkabau terutama bagi
perempuan dengan adanya sumbang duobaleh ini. Dengan demikian, temukanlah 12 contoh
bentuk perilaku sumbang dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana table berikut ini:

No Sumbang Contoh Penjelasan


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

3) Tugas ini diketik di Ms. Word dan diunggah pada elearning.unp.ac.id sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai