Anda di halaman 1dari 12

‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

PEWARISAN (SAKO DAN PUSAKO) DI MINANGKABAU

‘ARSY ZUMELA (2214020011)

Prody Pendidikan Bahasa Arab (PBA-A)


Kelompok 6
Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
Jl. Prof. Dr. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang
E-mail : arsyaja3@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang sistem pewarisan yang unik di Minangkabau, yaitu
sistem sako dan pusako. Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang
diberikan kepada keturunan mengikut tali darah matrilineal. Sedangkan Pusako ialah
harta pusaka adat yang terdiri dari harta kekayaan dan harta kekuasaan adat.. Artikel
ini menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan prinsip-prinsip dan
praktik yang terlibat dalam sistem pewarisan Minangkabau. Fokus utama artikel ini
adalah pada konsep matrilineal yang menjadi dasar dalam sistem sako dan pusako.

Kata kunci: sistem pewarisan, Minangkabau, sako, pusako, matrilineal.

Abstract

This article discusses the unique inheritance system in Minangkabau, namely the
sako and pusako systems. Sako is a customary title or similar given to descendants
following matrilineal blood ties. Whereas Pusako is customary inheritance which
consists of assets and customary power assets. This article uses a descriptive method
to describe the principles and practices involved in the Minangkabau inheritance
system. The main focus of this article is on the matrilineal concept which forms the
basis of the sako and pusako systems.

Keywords: inheritance system, Minangkabau, sako, pusako, matrilineal.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 1


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak dapat hidup sendiri
karena pada dasarnya manusia saling membutuhkan satu sama lain, oleh sebab itu
manusia disebut sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dan hidup
secara berkelompok.1

Manusia diberikan akal dan pikiran oleh Tuhan yang maha esa untuk berpikir,
menjaga, dan mengelola fasilitas-fasilitas yang di berikan untuk melanjutkan
hidup di masa yang akan datang. Pada daerah Sumatera Barat Khususnya
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal(Sistem garis keturunan ibu) para
nenek moyang dahulunya telah berpikir kedepan untuk anak cucunya dengan
mewariskan harta berupa sako dan pusako.

Sejarah tradisional Minagkabau menyebutkan bahwa dengan garis


keturunan ibu (matriachaat), satu payung, satu nenek, satu perut, nenek moyang
dahulu membuka tanah dengan cara “mencancang melateh, membuka kampung dan
halaman” dan dengan semakin banyak jumlah anak keturunan maka nagari pun
diperluas(bakalebaran). Sejak itu muncul istilah suku yang tidak bisa dipisahkan
dengan sako (gelar kesukuan). Sakosebagai kekayaan tak berwujud memegang
peranan yang sangat menentukan dalam membentuk moralitas orang Minang dan
kelestarian Adat Minang. Untuk menjamin kehidupan anak sukunya mereka
menetapkan adanya pusako (harta pusaka) dengan prinsip milikan komunal.2

PEMBAHASAN

Pewarisan (sako dan pusako)

Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang diberikan kepada
keturunan mengikut tali darah matrilineal. Ungkapan adat menyebutkan “adat sako
turun temurun”. Menurut Amir M. S. sako berarti kekayaan asal atau harta tua yang
tidak berwujud atau juga disebut sebagai hak. Yang dapat dikategorikan sebagai sako
ialah gelar penghulu yang diwariskan (dipusakakan/diturunkan) kepada kamanakan
(anak saudara yang berjenis kelamin) laki-laki secara turun temurun, garis keturunan

1
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, hlm.1
2
Rahmi Murniwati. Sistem Pewarisan Harta Pusako Di Minangkabau Ditinjau Dari Hukum
Waris Islam. Jurnal Of Swara Justicia. Volume 7, Issue 1, April 2023. H. 104.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 2


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

matrilineal (suku indu) yang diwariskan kepada perempuan, pepatah petitih, hukum
adat, tatakrama, dan sopan santun yang diwariskan kepada seluruh warga adat, anak
kamanakan seluruh nagari di seluruh ranah Minang.3

Dalam adat Minangkabau, harta pusaka akan diturunkan atau dipusakakan


kepada anak perempuan menurut garis keturunan ibu, manakala sako (gelaran adat)
akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua juga dalam garis keturunan ibu, bukan
bapa (matrilineal). Semua ini dilakukan untuk mendukung sistem adat komunal,
bukan individu. Pusako ialah harta pusaka adat yang terdiri dari harta kekayaan dan
harta kekuasaan adat. Harta kekayaan adalah berupa emas, perak, dan ternak
peliharaan, sedangkan harta kekuasaan adat adalah berupa wilayah teritorial (ulayat)
yang berupa hutan tanah, sawah ladang, pandam pakuburan, lebuh tapian
(pemandian), rumah tangga, dan korong kampung dan isinya yang dibatasi oleh
kawasan batas tanah. Hamka menyebut harta jenis ini dengan istilah harta tua. 4

Amir Syarifuddin mengartikan harta pusaka ialah sesuatu yang bersifat


material (benda) yang ada pada seseorang yang mati dan dapat beralih kepada orang
lain disebabkan kematiannya. Dikatakan bersifat material (benda) juga karena
terdapat sako yang dapat dipindahkan dari orang yang mati kepada yang hidup. Sako
ini bukan bersifat benda, tapi berupa gelar yang dipusakai. Dikatakan dengan sebab
kematian bisa berlakunya perpindahan harta pusaka, maka gelar pusaka juga turut
berpindah kepada waris seperti juga hibah juga dapat dialihkan, tetapi semasa hidup.
Antara sako dengan pusako tidak dapat dipisahkan dan berlaku ketentuan adat hak
berpunya (sako), harta bermilik (pusako).

Secara umum klasifikasi harta di Minangkabau ada dua jenis, yaitu Harta
Pusako Tinggi dan Harta Pusako Randah.

Harta Pusako Tinggi sesuai dengan penjelasan LKAAM (Lembaga Kerapatan


Adat Alam Minangkabau) adalah harta kaum yang diterima secara turun temurun dari
ninik ke mamak, dari mamak kepada kemenakan menurut garis keturunan ibu. Harta
pusako tinggi menurut M. Rasjid Manggis adalah hutan tinggi yang sekarang disebut
juga. Termasuk ke dalam harta pusaka tinggi ini adalah hutan dan padang, gunung
dan bukit, danau dan tasik, rawa dan paya, serta lembah dan sungai. Harta pusaka

3
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minangkabau, (Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta: 1982), hlm. 39.
4
Mohamad Sabri bin Haron, Harta dalam Konsepsi Minangkabau, (Juris, Vol. 11 No. 1, Juni
2012), hlm. 4.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 3


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

tinggi tidak boleh dijual dan boleh digadaikan jika ada alasannya, itupun melalui
persetujuan kaum keturunan:5

a. Maiak tabujua diateh rumah (jenazah terbaring diatas rumah)

b. Manggakan gala pusako (membangun gelar pusako)

c. Gadih gadang indak balaki (gadis dewasa tidak bersuami)

d. Rumah gadang katirisan (biaya memperbaiki rumah gadang)

Sedangkan menurut Hamka, pusako tinggi adalah harta pusaka yang di dapat
dari tembilang besi, dan pusako rendah di dapat dari tembilang emas. Tembilang besi
maksudnya adalah harta yang diperoleh secara turun temurun dari orang-orang
terdahulu. Adapun tembilang emas adalah harta yang berasal dari hasil usaha sendiri.
Selain itu ada juga yang menyebutnya dengan harta bersama, artinya harta yang
diperoleh selama hidup berumah tangga.

Pewarisan harta pusako tinggi sesuai dengan ketentuan waris adat


Minangkabau, yaitu diwariskan secara kolektif menurut garis keturunan ibu
(matrilineal). Harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan digadaikan untuk
kepentingan pribadi atau untuk beberapa orang. Hak penggunaan harta pusaka
dilaksanakan di rumah gadang oleh kaum ibu. Dalam setiap musyawarah kaum, suku
dan nagari, kaum ibu sangat berpengaruh dalam menentukan. Berarti kaum ibu dapat
mengetahui dan mempertahankan hakhak yang diperoleh atas harta pusaka.

Sedangkan Harta Pusako Randah adalah segala harta yang didapat dari hasil
usaha pekerjaan sendiri, termasuk di dalamnya adalah harta pencaharian suami isteri.
Yaswirman menambahkan bahwa apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan dari
harta pusaka rendah ini dengan tidak dijual atau dibagi-bagi, lalu pada waktunya
diwariskan kepada generasi berikut secara terus menerus sehingga sulit
menelusurinya, maka ia beralih menjadi harta pusaka tinggi.6

Jadi ada kalanya harta pusaka tinggi juga berasal dari harta pusaka rendah
yang dimanfaatkan secara turun-temurun, asal usulnya tidak dipersoalkan lagi. Sekali
ia diwariskan secara adat, maka ia menjadi harta pusaka tinggi. Inilah yang banyak

5
Lilis, Tradisi-Tradisi dalam Pembagian Harta Warisan di Minangkabau, (Siwayang Journal,
Vol. 2, No. 1, 2023), hlm. 10.
6
Eric, Hubungan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pembagian Warisan di dalam
Masyarakat Minangkabau, (Jurnal Muara Ilmu Sosial, Vol. 3, No. 1, April 2019), hlm. 61.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 4


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

terjadi di tengah-tengah masyarakat adat Minangkabau sekarang. Demikian juga yang


dipaparkan oleh Hamka bahwa pusaka rendah dapat menjadi pusaka tinggi,
sedangkan pusaka tinggi tidak dapat menjadi pusaka rendah, kecuali bila adat tidak
berdiri lagi. Hamka mengatakan “faraidh tidak dapat masuk kemari” Karena pada
dasarnya harta pusaka tinggi tidak dapat dibagi-bagi, tetapi diwariskan secara turun
temurun kepada anak kaum (suku) tersebut. Kaum hanya dapat mengambil manfaat
dan hasil saja dari harta tersebut.

Harta pusaka tinggi dalam hukum adat Minangkabau memiliki beberapa


fungsi penting. Pertama, ia memberikan perlindungan kepada anakanak yang masih
kecil dan mereka yang tidak memiliki sumber pendapatan yang stabil. Kedua, harta
pusaka dapat membantu menjaga hubungan antara keluarga dan memastikan bahwa
kepentingan mereka terlindungi. Ketiga, harta pusaka juga menjadi sumber
pendapatan untuk keluarga, terutama bagi anggota keluarga yang lebih muda.
Keempat, harta pusaka juga digunakan untuk menjaga aset keluarga dan melestarikan
sumber daya alam di sekitar Minangkabau.7

Harta pusaka rendah yang merupakan hasil pencaharian suami isteri


diwariskan kepada anak sesuai dengan ketentuan syarak, yaitu hukum faraaidh.
Kongres Tungku Sajarangan yang dilangsungkan pada tahun 1952 sepakat
mengatakan bahwa harta pusaka tinggi jatuh ke kemenakan, sedangkan harta pusaka
rendah diwariskan menurut hukum faraidh. Akan tetapi, untuk harta pusaka rendah
yang tidak dibagi dan sudah menjadi harta pusaka tinggi maka diwariskan menurut
ketentuan pewarisan harta pusaka tinggi, yaitu kepada kemenakan menurut sistem
matrilineal.

Menurut Hazairin, secara garis besar ada tiga sistem kewarisan yang dipakai
di Indonesia, yaitu :8

1. Pertama, sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang


membagi-bagi harta peninggalan kepada orang perorangan sebagai ahli
waris dan dibagi sama rata antar ahli waris. Sistem kekerabatan ini antara
lain ditemukan pada masyarakat Jawa yang menganut kekerabatan bilateral
dan Batak yang menganut patrilineal.

7
Farel Asyrofil U, Sistem Hukum Waris di Minangkabau, (Jurnal Hukum, Vol. 2, No. 1 , Maret
2023), hlm. 102.
8
Adeb Davega Prasna, Pewarisan Harta Minangkabau, (Kordinat, Vol. XVII, No 1, April
2018), hlm. 42.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 5


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

2. Kedua, sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan tunggal anak


yang tertua dalam satu keluarga terhadap harta peninggalan atau sejumlah
harta pokok dari keluarga tersebut. Kewarisan ini seperti yang terjadi pada
masyarakat Sumatera Selatan dan Bali.

3. Ketiga, sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan secara


kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud adalah keluarga sebagai satu
kesatuan kekerabatan genealogis. Warisan ini biasanya berupa benda atau
tanah sebagai lahan pertanian. Yang dibagi-bagi adalah giliran menggarap
dan menikmati hasilnya. Penerima waris biasanya perempuan, laki-laki
hanya boleh memungut hasilnya. Karena itu ia disebut harta pusaka
sebagaimana yang terdapat di Minangkabu. Jadi dari ketiga sistem
kewarisan tersebut, yang dipakai di dalam adat Minangkabau adalah sistem
kewarisan kolektif atau kelembagaan, dimana yang berhak menerima
warisan adalah keluarga di dalam satu kaum menurut garis matrilineal,
bukan perorangan.

Setelah agama Islam masuk dan berkembang di Minangkabau, maka secara


berangsur pula Islam dapat mempengaruhi system kepemilikan harta dan sistem
warisan di Minangkabau ini. Maka sistem waris pun di Minangkabau terbagi atas dua
sistem sesuai dengan jenis hartanya. Untuk harta pusaka tinggi berlaku system
warisan kolektif, sedangkan untuk harta pusaka rendah dan pencaharian berlaku
sistem waris Islam dengan asas ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang, dan
semata akibat kematian.

Sedangkan untuk asas kewarisan sendiri, Minangkabau juga mempunyai


beberapa asas tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar pada sistem
kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan di Minangkabau
ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Amir Syarifuddin menjelaskan ada 3 asas
pokok dalam hukum kewarisan Adat Minangkabau yaitu :

a) Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, yaitu kekerabatan melalui jalur ibu (matrilineal). Harta pusaka
dari atas diterima dari nenek moyang melalui garis ibu dan ke bawah
diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. 9

9
Adeb Davega Prasna, Op.Cit, hlm. 43.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 6


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

b) Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang
perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan hal ini,
maka harta pusaka tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan secara kolektif.

c) Asas keutamaan, yaitu bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau


penerimaan dalam peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat
tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak
dibandingkan dengan pihak yang lain, dan selama yang berhak masih ada
maka yang lain belum dapat menerima.10

Perkembangan Kewarisan Adat Minangkabau Di Masa Depan

Hukum adat yang dipakai bukanlah adat atau lembaga tua dari nenek moyang
yang selalu dalam keadaan murni dan tidak berubah ubah. Tetapi hukum adat itu
berkembang dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Seorang ahli hukum
Belanda bernama Snouck Horgronje mengatakan bahwa hukum adat ialah een
vlottend, kneedbar, lokaal in allerlei details loopend recht yang berarti bahwa hukum
adat tidak kaku bisa di ubah menurut keadaan.11

Dalam perjalanan hukum kewarisan adat Minangkabau, perubahan juga


terjadi, hukum waris adat Minangkabau menyesuaikan diri terhadap perkembangan
zaman. Bentuk dari perubahan itu ialah berkembangnya hukum kewarisan Matrilinial
ke arah Bilateral bisa semakin tampak jelas terjadi.

Karena hukum warisan ditentukan oleh struktur masyarakat dan hukum


perorangan ditentukan oleh hukum perkawinan, maka hukllm warisan di
Minangkabau turut corak perkawinan di Minangkabau.12 Oleh sebab itu
perkembangan ke arah bilateral yang dimulai dari pola pergaulan dalam perkawinan
di Minangkabau, mempengaruhi juga hukum kewarisannya. Unsur-unsur bilateral
yang dibawa agama Islam menyatu dengan sifat-sifat Matrilinial dalam nilai-nilai
adat Minangkabau itu sendiri.

Di baginya harta pusaka menjadi harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi
serta diturunkannya harta pusaka itu dalam dua sistem kewarisan yaitu sitem
kewarisan kolektif Matrilinial untuk harta harta pusaka tinggi dan sistem kewarisan
10
Adeb Davega Prasna, Op.Cit, hlm. 43.
11
Rusli Amran, "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang", (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1981). hal 67.
12
Iskandar Kemal, "Beberapa Studi Tentang Minangkabau (Kumpulan Karangan)", (Padang:
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971), hal. 155.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 7


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

individual Bilateral untuk harta pusaka rendah, lebih memperlancar jalannya konsep
bilateral pada kewarisan adat Minangkabau.

Bagaimana penulis dapat menyimpulkan bahwa kewarisan Minangkabau yang


matrilinial sedang mengarah ke bilateral. Yaitu dari fakta fakta semakin berkurangnya
tanah ulayat yang dimiliki secara bersama atau komunal merupakan inti dari
kewarisan di Minangkabau meskipun ada harta waris lain yang berbentuk immateril
yaitu Sako atau Gelar. Namun karena tanah merupakan suatu pengikat berdirinya satu
organisasi clan, jika pemakaian tanah tetap dipakai secara komunal ini berarti
kelangsungan hidup organisasi clan dapat berjalan terus. Andai kata pemakian tanah
berubah menjadi hak individu ini berarti terhapus fungsi klan.13 Berangkat dari
pemikiran tersebut, jika kondisi tanah ulayat yang semakin berkurang dan terus
berkurang hingga suatu masa tidak dapat dipertahankan lagi eksistensinya, maka
tidak dapat disanggah bahwa dampak sosial yang terjadi bila terhapusnya fungsi clan
seperti yang disebutkkan diatas, maka akan hilang pula organisasi clan itu beserta ciri
komunalnya khususnya dalam hal kewarisannya. Akibatnya adalah sifat
individualistik akan lebih menonjol dari pada sifat komunal. Hal ini berarti bahwa
kewarisan kollektif Matrilinial telah menuju ke arah kewarisan individual Bilateral.
meski dapat pula di pastikan kewarisan kollektif matrilinial tidak mungkin hapus
sarna sekali karena harta warisan yang di sebut harta pusaka tidak hanya berupa
materil saja yang di sebut pusako tapi ada harta immateri yang di sebut sako yang
sampai kapanpun tidak dapat di perjual belikan. Namun di kemudian hari dapat saja
kewarisan bilateral lebih mendominasi dari pada matrilinial dan menenggelamkan
ciri-ciri matrilinial pada kewarisan Minangkabau.

Sampai saat ini memang belum dapat di pastikan berapa jumlah tanah ulayat
dan berapa persentase tanah tersebut berkurang. lni di karenakan tidak adanya data
pada BPN setempat mengenai jumlah tanah ulayat tersebut. Dan tidak ada pula wadah
atau produk pemerintah untuk melegalisasi hak ulayat secara administratif. Namun
menurut Drs. R. Sumardjoko, Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) kota
Payakumbuh bahwa berkurangnya tanah ulayat ini dapat di perkirakan melalu
perbandingan jumlah tanah yang telah di sertifikasi dengan hak milik di bandingkan
dengan jumlah tanah yang belum di sertifikasi. Ada 2 Faktor yang menyebabkan
berkurangnya tanah ulayat ini yaitu: Faktor internal dan Faktor eksternal.

13
Ibid. H. 12

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 8


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

a. Faktor internal

Yaitu faktor yang berkaitan dengan sikap para ahli waris dan penyalahgunaan
wewenang mamak kepala waris hingga tanah ulayat tersebut gampang di alihkan
dengan cara menjual sehingga sifat kolektifitasnya hilang dan menimbulkan sifat
individu. Padahal menurut ketentuan adat. Tanah ulayat hanya dapat di alihkan atau
di jual dengan di sebabkan oleh 4 sebab saja.

1) Mayat Tabujue di Tangah Rumah (mayat terbujur di tengah rumah).

Artinya ada anggota kaum yang meninggal dan harus di makamkan. Maka
biaya pemakaman boleh di peroleh dari penjualan tanah ulayat.

2) Rumah Gadang Katirisan (Rumah gadang bocor)

Untuk biaya perbaikan rumah gadang yang merupakan tempat berteduhnya


kaum, maka biaya perbaikan dapat di peroleh dari penjualan tanah ulayat.14

3) Gadih Gadang Balun Balaki (Gadis yang belum menikah)

Bila ada seorang gadis dalam kaumnya belum menikah maka biaya
pernikahan dapat di peroleh dari penjualan tanah ulayat.

4) Mambangkik batang tarandam (Membangkit batang terendam)

Artinya bila gelar sako belum di wariskan dan bilamana hendak di


anugrahkan gelar tersebut kepada pewarisnya maka upacara pengangkatan
kepala suku ini yang di dalam adat di kenaI sebagai pengulu, biayanya
dapat di peroleh dari penjualan tanah ulayat.

b. Faktor eksternal

Adalah faktor faktor penyebab yang berasal dari luar pemilik hak ulayat yaitu
dalam hal ini adalah pemerintah melalui produk-produk hukumnya yang tidak
memihak pada eksistensi tanah ulayat. Dari sekian banyak produk pemerintah yang
tidak berpihak terhadap eksistensi tanah ulayat, salah satu contoh yang sangat
kongkrit yaitu tidak adanya wadah untuk melegalisasikan hak ulayat dalam bentuk
pemberian hak atas tanah kepada hak ulayat tersebut dalam suatu sertifikat yang
secara nyata dapat di pakai bagi kaum untuk memperthankan tanah ulayatnya dari

14
Yelia Nathassa Winstar. Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat
Minangkabau. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun Ke-37. No.2. April-Juni 2007. H. 177-178.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 9


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

siapapun yang hendak mengambil alih kepemilikan tanah tersebut termasuk dari
pihak pemerintah sendiri. Padahal Undang Undang Pokok Agraria mengakui
keberadaan tanah ulayat bahkan menjadikan tanah ulayat sebagai dasar dari Hukum
Agraria Indonesia.

Dua faktor diatas mengikis cepat atau lambat keberadaan pewarisan


Matrilinial di Minangkabau. Namuh bila memang kebudayaan adalah harta yang
tidak ternilai dari suatu bangsa, maka hendaklah kita sebagai pewaris kebudayaan itu
melestarikan ciri khas dari adat yang diwarisinya. Masyarakat adat Minangkabau
dapat saja selalu menjaga eksistensi kewarisan matrilinialnya dengan cara
mempertahankan keberadaan tanah ulayat atau dengan menambah keberadaan tanah
ulayat dengan jalan menjadikan harta pusaka rendah yaitu harta pribadi diluar milik
komunal adat menjadi harta pusaka tinggi dengan memperuntukkan harta pusaka
rendah tersebut sebagai harta yang akan di warisi turun temurun melampui 3 generasi
sehingga harta itu menjadi harta pus aka tinggi setelah pewarisan 3 generasi kebawah
itu. Serta peran pemerintah yang tidak kalah penting untuk selalu menfasilitasi
eksistensi tanah ulayat melalui produk-produk hukumnya yang pro terhadap hukum
adat.15

KESIMPULAN

Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang diberikan kepada
keturunan mengikut tali darah matrilineal. Ungkapan adat menyebutkan “adat sako
turun temurun”. Menurut Amir M. S. sako berarti kekayaan asal atau harta tua yang
tidak berwujud atau juga disebut sebagai hak. Yang dapat dikategorikan sebagai sako
ialah gelar penghulu yang diwariskan (dipusakakan/diturunkan) kepada kamanakan
(anak saudara yang berjenis kelamin) laki-laki secara turun temurun, garis keturunan
matrilineal (suku indu) yang diwariskan kepada perempuan, pepatah petitih, hukum
adat, tatakrama, dan sopan santun yang diwariskan kepada seluruh warga adat, anak
kamanakan seluruh nagari di seluruh ranah Minang.16

Dalam adat Minangkabau, harta pusaka akan diturunkan atau dipusakakan


kepada anak perempuan menurut garis keturunan ibu, manakala sako (gelaran adat)
akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua juga dalam garis keturunan ibu, bukan

15
Ibid. H. 179-180.
16
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minangkabau, (Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta: 1982), hlm. 39.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 10


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

bapa (matrilineal). Semua ini dilakukan untuk mendukung sistem adat komunal,
bukan individu. Pusako ialah harta pusaka adat yang terdiri dari harta kekayaan dan
harta kekuasaan adat. Harta kekayaan adalah berupa emas, perak, dan ternak
peliharaan, sedangkan harta kekuasaan adat adalah berupa wilayah teritorial (ulayat)
yang berupa hutan tanah, sawah ladang, pandam pakuburan, lebuh tapian
(pemandian), rumah tangga, dan korong kampung dan isinya yang dibatasi oleh
kawasan batas tanah. Hamka menyebut harta jenis ini dengan istilah harta tua.

Hukum adat yang dipakai bukanlah adat atau lembaga tua dari nenek moyang
yang selalu dalam keadaan murni dan tidak berubah ubah. Tetapi hukum adat itu
berkembang dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Seorang ahli hukum
Belanda bernama Snouck Horgronje mengatakan bahwa hukum adat ialah een
vlottend, kneedbar, lokaal in allerlei details loopend recht yang berarti bahwa hukum
adat tidak kaku bisa di ubah menurut keadaan. Namuh bila memang kebudayaan
adalah harta yang tidak ternilai dari suatu bangsa, maka hendaklah kita sebagai
pewaris kebudayaan itu melestarikan ciri khas dari adat yang diwarisinya.

DAFTAR PUSTAKA

Adeb Davega Prasna, Pewarisan Harta Minangkabau, (Kordinat, Vol. XVII, No 1,


April 2018).
Eric, Hubungan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pembagian Warisan di
dalam Masyarakat Minangkabau, (Jurnal Muara Ilmu Sosial, Vol. 3, No. 1,
April 2019).
Farel Asyrofil U, Sistem Hukum Waris di Minangkabau, (Jurnal Hukum, Vol. 2, No.
1 , Maret 2023).
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minangkabau, (Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta: 1982).
Iskandar Kemal, "Beberapa Studi Tentang Minangkabau (Kumpulan Karangan)",
(Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971).
Lilis, Tradisi-Tradisi dalam Pembagian Harta Warisan di Minangkabau, (Siwayang
Journal, Vol. 2, No. 1, 2023).

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 11


‘Arsy Zumela : Pewarisan (Sako dan Pusako) Di Minangkabau

Mohamad Sabri bin Haron, Harta dalam Konsepsi Minangkabau, (Juris, Vol. 11 No.
1, Juni 2012).
Rahmi Murniwati. Sistem Pewarisan Harta Pusako Di Minangkabau Ditinjau Dari
Hukum Waris Islam. Jurnal Of Swara Justicia. Volume 7, Issue 1, April 2023.
Rusli Amran, "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang", (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1981).
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty,
Yelia Nathassa Winstar. Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat
Minangkabau. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun Ke-37. No.2. April-
Juni 2007.

Jurnal Minangkabau Vol.1 No. 01 Juni 2023| 12

Anda mungkin juga menyukai