Abstrak
Artikel ini membahas tentang sistem pewarisan yang unik di Minangkabau, yaitu
sistem sako dan pusako. Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang
diberikan kepada keturunan mengikut tali darah matrilineal. Sedangkan Pusako ialah
harta pusaka adat yang terdiri dari harta kekayaan dan harta kekuasaan adat.. Artikel
ini menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan prinsip-prinsip dan
praktik yang terlibat dalam sistem pewarisan Minangkabau. Fokus utama artikel ini
adalah pada konsep matrilineal yang menjadi dasar dalam sistem sako dan pusako.
Abstract
This article discusses the unique inheritance system in Minangkabau, namely the
sako and pusako systems. Sako is a customary title or similar given to descendants
following matrilineal blood ties. Whereas Pusako is customary inheritance which
consists of assets and customary power assets. This article uses a descriptive method
to describe the principles and practices involved in the Minangkabau inheritance
system. The main focus of this article is on the matrilineal concept which forms the
basis of the sako and pusako systems.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak dapat hidup sendiri
karena pada dasarnya manusia saling membutuhkan satu sama lain, oleh sebab itu
manusia disebut sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dan hidup
secara berkelompok.1
Manusia diberikan akal dan pikiran oleh Tuhan yang maha esa untuk berpikir,
menjaga, dan mengelola fasilitas-fasilitas yang di berikan untuk melanjutkan
hidup di masa yang akan datang. Pada daerah Sumatera Barat Khususnya
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal(Sistem garis keturunan ibu) para
nenek moyang dahulunya telah berpikir kedepan untuk anak cucunya dengan
mewariskan harta berupa sako dan pusako.
PEMBAHASAN
Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang diberikan kepada
keturunan mengikut tali darah matrilineal. Ungkapan adat menyebutkan “adat sako
turun temurun”. Menurut Amir M. S. sako berarti kekayaan asal atau harta tua yang
tidak berwujud atau juga disebut sebagai hak. Yang dapat dikategorikan sebagai sako
ialah gelar penghulu yang diwariskan (dipusakakan/diturunkan) kepada kamanakan
(anak saudara yang berjenis kelamin) laki-laki secara turun temurun, garis keturunan
1
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, hlm.1
2
Rahmi Murniwati. Sistem Pewarisan Harta Pusako Di Minangkabau Ditinjau Dari Hukum
Waris Islam. Jurnal Of Swara Justicia. Volume 7, Issue 1, April 2023. H. 104.
matrilineal (suku indu) yang diwariskan kepada perempuan, pepatah petitih, hukum
adat, tatakrama, dan sopan santun yang diwariskan kepada seluruh warga adat, anak
kamanakan seluruh nagari di seluruh ranah Minang.3
Secara umum klasifikasi harta di Minangkabau ada dua jenis, yaitu Harta
Pusako Tinggi dan Harta Pusako Randah.
3
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minangkabau, (Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta: 1982), hlm. 39.
4
Mohamad Sabri bin Haron, Harta dalam Konsepsi Minangkabau, (Juris, Vol. 11 No. 1, Juni
2012), hlm. 4.
tinggi tidak boleh dijual dan boleh digadaikan jika ada alasannya, itupun melalui
persetujuan kaum keturunan:5
Sedangkan menurut Hamka, pusako tinggi adalah harta pusaka yang di dapat
dari tembilang besi, dan pusako rendah di dapat dari tembilang emas. Tembilang besi
maksudnya adalah harta yang diperoleh secara turun temurun dari orang-orang
terdahulu. Adapun tembilang emas adalah harta yang berasal dari hasil usaha sendiri.
Selain itu ada juga yang menyebutnya dengan harta bersama, artinya harta yang
diperoleh selama hidup berumah tangga.
Sedangkan Harta Pusako Randah adalah segala harta yang didapat dari hasil
usaha pekerjaan sendiri, termasuk di dalamnya adalah harta pencaharian suami isteri.
Yaswirman menambahkan bahwa apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan dari
harta pusaka rendah ini dengan tidak dijual atau dibagi-bagi, lalu pada waktunya
diwariskan kepada generasi berikut secara terus menerus sehingga sulit
menelusurinya, maka ia beralih menjadi harta pusaka tinggi.6
Jadi ada kalanya harta pusaka tinggi juga berasal dari harta pusaka rendah
yang dimanfaatkan secara turun-temurun, asal usulnya tidak dipersoalkan lagi. Sekali
ia diwariskan secara adat, maka ia menjadi harta pusaka tinggi. Inilah yang banyak
5
Lilis, Tradisi-Tradisi dalam Pembagian Harta Warisan di Minangkabau, (Siwayang Journal,
Vol. 2, No. 1, 2023), hlm. 10.
6
Eric, Hubungan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pembagian Warisan di dalam
Masyarakat Minangkabau, (Jurnal Muara Ilmu Sosial, Vol. 3, No. 1, April 2019), hlm. 61.
Menurut Hazairin, secara garis besar ada tiga sistem kewarisan yang dipakai
di Indonesia, yaitu :8
7
Farel Asyrofil U, Sistem Hukum Waris di Minangkabau, (Jurnal Hukum, Vol. 2, No. 1 , Maret
2023), hlm. 102.
8
Adeb Davega Prasna, Pewarisan Harta Minangkabau, (Kordinat, Vol. XVII, No 1, April
2018), hlm. 42.
a) Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, yaitu kekerabatan melalui jalur ibu (matrilineal). Harta pusaka
dari atas diterima dari nenek moyang melalui garis ibu dan ke bawah
diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. 9
9
Adeb Davega Prasna, Op.Cit, hlm. 43.
b) Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang
perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan hal ini,
maka harta pusaka tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan secara kolektif.
Hukum adat yang dipakai bukanlah adat atau lembaga tua dari nenek moyang
yang selalu dalam keadaan murni dan tidak berubah ubah. Tetapi hukum adat itu
berkembang dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Seorang ahli hukum
Belanda bernama Snouck Horgronje mengatakan bahwa hukum adat ialah een
vlottend, kneedbar, lokaal in allerlei details loopend recht yang berarti bahwa hukum
adat tidak kaku bisa di ubah menurut keadaan.11
Di baginya harta pusaka menjadi harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi
serta diturunkannya harta pusaka itu dalam dua sistem kewarisan yaitu sitem
kewarisan kolektif Matrilinial untuk harta harta pusaka tinggi dan sistem kewarisan
10
Adeb Davega Prasna, Op.Cit, hlm. 43.
11
Rusli Amran, "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang", (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1981). hal 67.
12
Iskandar Kemal, "Beberapa Studi Tentang Minangkabau (Kumpulan Karangan)", (Padang:
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971), hal. 155.
individual Bilateral untuk harta pusaka rendah, lebih memperlancar jalannya konsep
bilateral pada kewarisan adat Minangkabau.
Sampai saat ini memang belum dapat di pastikan berapa jumlah tanah ulayat
dan berapa persentase tanah tersebut berkurang. lni di karenakan tidak adanya data
pada BPN setempat mengenai jumlah tanah ulayat tersebut. Dan tidak ada pula wadah
atau produk pemerintah untuk melegalisasi hak ulayat secara administratif. Namun
menurut Drs. R. Sumardjoko, Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) kota
Payakumbuh bahwa berkurangnya tanah ulayat ini dapat di perkirakan melalu
perbandingan jumlah tanah yang telah di sertifikasi dengan hak milik di bandingkan
dengan jumlah tanah yang belum di sertifikasi. Ada 2 Faktor yang menyebabkan
berkurangnya tanah ulayat ini yaitu: Faktor internal dan Faktor eksternal.
13
Ibid. H. 12
a. Faktor internal
Yaitu faktor yang berkaitan dengan sikap para ahli waris dan penyalahgunaan
wewenang mamak kepala waris hingga tanah ulayat tersebut gampang di alihkan
dengan cara menjual sehingga sifat kolektifitasnya hilang dan menimbulkan sifat
individu. Padahal menurut ketentuan adat. Tanah ulayat hanya dapat di alihkan atau
di jual dengan di sebabkan oleh 4 sebab saja.
Artinya ada anggota kaum yang meninggal dan harus di makamkan. Maka
biaya pemakaman boleh di peroleh dari penjualan tanah ulayat.
Bila ada seorang gadis dalam kaumnya belum menikah maka biaya
pernikahan dapat di peroleh dari penjualan tanah ulayat.
b. Faktor eksternal
Adalah faktor faktor penyebab yang berasal dari luar pemilik hak ulayat yaitu
dalam hal ini adalah pemerintah melalui produk-produk hukumnya yang tidak
memihak pada eksistensi tanah ulayat. Dari sekian banyak produk pemerintah yang
tidak berpihak terhadap eksistensi tanah ulayat, salah satu contoh yang sangat
kongkrit yaitu tidak adanya wadah untuk melegalisasikan hak ulayat dalam bentuk
pemberian hak atas tanah kepada hak ulayat tersebut dalam suatu sertifikat yang
secara nyata dapat di pakai bagi kaum untuk memperthankan tanah ulayatnya dari
14
Yelia Nathassa Winstar. Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat
Minangkabau. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun Ke-37. No.2. April-Juni 2007. H. 177-178.
siapapun yang hendak mengambil alih kepemilikan tanah tersebut termasuk dari
pihak pemerintah sendiri. Padahal Undang Undang Pokok Agraria mengakui
keberadaan tanah ulayat bahkan menjadikan tanah ulayat sebagai dasar dari Hukum
Agraria Indonesia.
KESIMPULAN
Sako ialah gelar kebesaran adat atau seumpamanya yang diberikan kepada
keturunan mengikut tali darah matrilineal. Ungkapan adat menyebutkan “adat sako
turun temurun”. Menurut Amir M. S. sako berarti kekayaan asal atau harta tua yang
tidak berwujud atau juga disebut sebagai hak. Yang dapat dikategorikan sebagai sako
ialah gelar penghulu yang diwariskan (dipusakakan/diturunkan) kepada kamanakan
(anak saudara yang berjenis kelamin) laki-laki secara turun temurun, garis keturunan
matrilineal (suku indu) yang diwariskan kepada perempuan, pepatah petitih, hukum
adat, tatakrama, dan sopan santun yang diwariskan kepada seluruh warga adat, anak
kamanakan seluruh nagari di seluruh ranah Minang.16
15
Ibid. H. 179-180.
16
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minangkabau, (Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta: 1982), hlm. 39.
bapa (matrilineal). Semua ini dilakukan untuk mendukung sistem adat komunal,
bukan individu. Pusako ialah harta pusaka adat yang terdiri dari harta kekayaan dan
harta kekuasaan adat. Harta kekayaan adalah berupa emas, perak, dan ternak
peliharaan, sedangkan harta kekuasaan adat adalah berupa wilayah teritorial (ulayat)
yang berupa hutan tanah, sawah ladang, pandam pakuburan, lebuh tapian
(pemandian), rumah tangga, dan korong kampung dan isinya yang dibatasi oleh
kawasan batas tanah. Hamka menyebut harta jenis ini dengan istilah harta tua.
Hukum adat yang dipakai bukanlah adat atau lembaga tua dari nenek moyang
yang selalu dalam keadaan murni dan tidak berubah ubah. Tetapi hukum adat itu
berkembang dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Seorang ahli hukum
Belanda bernama Snouck Horgronje mengatakan bahwa hukum adat ialah een
vlottend, kneedbar, lokaal in allerlei details loopend recht yang berarti bahwa hukum
adat tidak kaku bisa di ubah menurut keadaan. Namuh bila memang kebudayaan
adalah harta yang tidak ternilai dari suatu bangsa, maka hendaklah kita sebagai
pewaris kebudayaan itu melestarikan ciri khas dari adat yang diwarisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Mohamad Sabri bin Haron, Harta dalam Konsepsi Minangkabau, (Juris, Vol. 11 No.
1, Juni 2012).
Rahmi Murniwati. Sistem Pewarisan Harta Pusako Di Minangkabau Ditinjau Dari
Hukum Waris Islam. Jurnal Of Swara Justicia. Volume 7, Issue 1, April 2023.
Rusli Amran, "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang", (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1981).
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty,
Yelia Nathassa Winstar. Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat
Minangkabau. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Tahun Ke-37. No.2. April-
Juni 2007.