Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan sub-sub suku bangsa yang hidup dan tinggal di daerah-daerah
tertentu di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa, agama
dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Masing-masing suku bangsa dan sub-
subsuku bangsa ini memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan yang unik, yang
menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kalimantan Tengah merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang dihuni oleh
suku Dayak. Secara geografis dan domisili penduduk suku Dayak umumnya tinggal di
sepanjang sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Keberadaan suku bangsa Dayak terbagi
dalam 405 subsuku, yang masing-masing subsuku bangsa ini mempunyai bahasa dan
adat-istiadat sendiri-sendiri. Dari 405 subsuku tersebut, ada yang membaginya ke dalam
tujuh kelompok suku Dayak yakni, Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban atau
Dayak Laut, Dayak Kalimantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan
Dayak Ot Danum.
1
Masing-masing suku Dayak tersebut memiliki pula kekhasan adat
istiadat dan bahasa yang berbeda.

1
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya,1993), 234-235.
2
Sebelum datangnya agama-agama besar dan resmi yang diakui oleh pemerintah
Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut
Kaharingan atau disebut juga Agama Helo (Agama dulu).
2
Syarif Ibrahim Alqadrie
mengungkapkan: ada semacam persepsi umum berkaitan dengan sistem kepercayaan
nenek moyang masyarakat Dayak bahwa, ada unsur hubungantimbal balik antara
kepercayaan dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat, yang
mempengaruhi dan mewarnai sistem kehidupan mereka.
3

Secara implisit bahwa, kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan
yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk
berperilaku. Ajaran-ajaran ini diajarkan secara lisan oleh orang tua kepada anak-anaknya
secara turun-temurun. Ajaran dan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun ini
dikenal dengan istilah hadat (adat).
Pengertian hadat (adat) dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah: bentuk-bentuk
keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Hatalla Langit (Sang Pencipta).
4
Hadat
ini mencakup tentang tata cara kehidupan dan kerja sehari-hari,etika pergaulan sosial,
aspek perkawinan, aspek hukum, aspek ritual keagamaan, serta hal-hal yang menyangkut
segala sesuatu yang berhubungan dengan keykinandan kepercayaan, atau agama suku
tersebut. Karena itu, hadat yang telah dilakukansecara turun temurun ini merupakan
ukuran dan penilaian atas suatu perbuatan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju. Bagi

2
ibid., 317.
3
Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, Mesianisme dalam
Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat (Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya
Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi). (Jakarta: LP3S-Insitute of
Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994), 19-20.
4
Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 48-
49.
3
masyarakat Dayak, pelanggaran terhadap hadat dapat mengakibatkan ketidakseimbangan
alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebab itu, bila ada pelanggaran terhadap
adat biasanya keadaan itu dipulihkan melalui upacara-upacara keagamaan. Implementasi
dari hadat ini masih dilakukan sampai sekarang dalam kehidupan sosial budaya suku
Dayak.
Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup Belom Bahadat artinya hidup
beradat. Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang Dayak Ngaju. Pengaruh
dan peranan adat dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat. Salah satu tatanan
kehidupan yang masih dipertahankan dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan
perkawinan.
Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan
suci. Menurut kepercayaan Kaharingan, Asal mula adat kawin dalam masyarakat Dayak
Ngaju sebagai berikut: Sejak nenek moyang yang pertama, bernama Manyimei Tunggul
Garing Janjahunan Laut (lelaki) dan Putir Putak Bulau Janjulen Karangan
(perempuan). Mereka melangsungkan perkawinan secara tidak resmi, tanpa
ditahbiskan oleh Raying Hatalla. Akibatnya, kehamilan Putir berkali-kali mengalami
keguguran (mangelus). Kehamilan pertama, terjadi kegururan darah yang dibuang ke
laut menjelma menjadi moyang roh gaib hantu laut, moyang sakit penyakit (peres-
sampar) dan moyang roh-roh gaib pengganggu di kawasan laut. Kehamilan kedua,
darahnya terbuang ke sungai menjelma menjadi roh gaib unsur pengganggu di air,
moyang ikan tabu tertentu, moyang lintah-jelau. Kehamilan ketiga, darahnya terbuang
ke laut, disambar petir dan kilat, menjelma menjadi moyang banteng, kerbau dan sapi.
Kehamilan keempat, darahnya terbuang ke hutan, menjelma menjadi moyang tandang
4
haramaung (harimau), moyang bahutai bungai, moyang roh-roh jahat di hutan.
Kehamilan kelima, darahnya ditutup dengan perisai dan tombak disambar petir dan kilat
halilintar, menjelma menjadi oknum penjaga bulan yang disebut Talawang Batulang
Bunu. Kehamian keenam, darahnya terbuang ke hutan rimba, menjelma menjadi
berbagai jenis akar, kayu dan moyang dari berbagai jenis ular. Kehamilan ketujuh,
darahnya terbuang ke bawah rumah, menjelma menjadi Raja Tingkaung Langit moyang
segala jenis anjing. Kehamilan kedelapan, darahnya terbuang ke dapur, disambar petir,
menjelma menjadi Putir Balambang Kawu moyang jenis kucing. Kehamilan kesembilan,
darahnya terbuang ke halaman rumah, disambar petir dan kilat menjelma menjadi
moyang segala jenis ayam kampung. Kehamilan kesepuluh, darahnya terbuang ke
belakang rumah, menjelma menjadi moyang berbagai jenis babi hutan dan babi
kampung. Kehamilan kesebelas, darahnya terbuang ke belakang kampung menjelma
menjadi berbagai jenis kayu, rumput tertentu sebagai bahan obat yang berguna bagi
manusia. Dan kehamilan kedua belas, ke rumpun sawang menjelma menjadi moyang 14
macam unsur patahu, roh gaib penjaga pemukiman manusia. Melihat hal itu, Raying
Hatalla Langit kemudian mengirim Raja Uju Hakanduang untuk meresmikan perkawinan
mereka serta menyampaikan pesan, nasehat dan petunjuk yang disebut kawin suntu.
Setelah perkawinan itu mendapat restu dari Raying Hatalla langit dan diresmikan
menurut adat, barulah mereka mendapatkan anak yang sempurna seperti: Maharaja
Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Sejak itu, cara-cara atau adat suatu
5
perkawinan diatur. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pokok serta acuan perkawinan
orang Dayak.
5

Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku, bertujuan untuk
mengatur hubungan antara pria dan wanita agar memiliki perilaku yang baik dan tidak
tercela (belom bahadat); menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini, santun,
beradab dan bermartabat; menetapkan status sosial dalam masyarakat, sehingga
ketertiban masyarakat tetap terpelihara.
6
Masyarakat Dayak Ngaju sangat menghindari
bentuk perkawinan yang tidak lazim karena hal itu akan sangat memalukan, tidak hanya
bagi calon kedua mempelai tetapi juga bagi seluruh keluarga dan juga keturunan mereka
kelak.
Orang Dayak yang telah menyatu dengan tatanan hidup yang telah diwariskan
oleh nenek moyang di masa lalu, sangat menjunjung tinggi nilai luhur budaya itu. Sebab
itu, sebelum acara pelaksanaan perkawinan dan resepsi (pesta kawin) dilaksanakan,
biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara adat, yaitu penyerahan/pemenuhan hukum
adat, yang disebut manyarah jalan hadat (penyerahan barang-barang adat perkawinan). Di
kalangan suku Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah, upacara perkawinan disertai dengan
pembayaran harga pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-
barang pusaka lainnya.
7
Tetapi dalam masyarakat Dayak Ngaju, pemberian barang-

5
Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang:
Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,
(Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 17-19; Hermogenes Ugang, Menelusuri...
71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh
Handiai-Awal Segala Kejadian, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996).
6
Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Perkawinan Menurut Adat Dayak
Kalimantan Tengah dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009 Pukul 16.00
Wib. (Dokumen Pribadi tidak diterbitkan),
7
Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak;
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.
6
barang hadat bukanlah untuk membayar harga pengantin, tetapi merupakan penghargaan
yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan. Pada
mulanya, persyaratan barang-barang adat perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak
laki-laki tidaklah mudah. Sebagai contoh perkawinan dalam mitologi suku Dayak Ngaju,
Perkawinan Raja Garing Hatungku ketika mengambil Nyai Endas Lisan Tingang
(turunan Raja Bunu) sebagai istrinya. Calon istrinya mengajukan persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi, ia mengalami pergumulan batin yang cukup berat karena
persyaratan yang diajukan sangat sulit dipenuhi. Tetapi Ranying Hatalla tidak
membiarkan Garing Hatungku menderita terlalu lama, sehingga ia menganugerahkan
segala sesuatu yang diminta oleh Nyai Endas.
Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian
tertulis yang isinya telah disepakati bersama dan ditandatangani oleh kedua mempelai,
orang tua atau wali kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua belah pihak, Damang atau
mantir adat. Secara garis besar, Surat perjanjian perkawinan tersebut terdiri dari tiga
bagian, yaitu:
1. Pernyataan dari kedua calon mempelai;
2. Pemenuhan ketentuan hukum adat Dayak Ngaju mengenai jalan hadat yang harus
dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki dan diberikan kepada pihak mempelai
perempuan;
3. Perjanjian kawin antara kedua belah pihak, mengenai hak dan kewajiban masing-
masing, sanksi hukum bagi yang yang melakukan kesalahan, pengaturan
pembagian harta rupa tangan, termasuk pembagian hak anak dan hak ahli waris
jika perkawinan itu tidak mendapat anak.
7
Sebagian besar suku Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan-
ketentuan adat seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut, baik
yang beragama Kaharingan, Kristen, Katolik maupun Islam, sekalipun masing-masing
agama itu juga telah memiliki perjanjian kawin secara agamawi. Ada juga masyarakat
Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini
karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar sejumlah uang yang telah
disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.
Perlu diakui bahwa tidak semua masyarakat Dayak Ngaju di Palangka Raya
memahami sepenuhnya mengenai makna perjanjian perkawinan itu. Terkadang hanya
tua-tua adat dan para orang tua yang telah berpengalaman saja yang memahami makna
Perjanjian Perkawinan, sedangkan pasangan muda umumnya kurang mengetahui akan hal
itu. Dan, berdasarkan pengakuan dari beberapa orang yang peneliti temui, kebanyakan
dari mereka bukan hanya tidak memahami makna perjanjian kawin saja, tetapi mereka
juga tidak memahami makna yang tersirat pada barang-barang hadat dalam perkawinan.
Hal ini dapat dimengerti karena bahasa/istilah barang-barang hadat yang digunakan
dalam Surat Perjanjian Kawin tersebut menggunakan bahasa Dayak asli, yang sudah
jarang digunakan sehari-hari. Lagipula, arti maupun makna dari barang-barang adat
tersebut tidak dicantumkan secara tertulis dalam surat perjanjian kawin. Sehingga
pemahaman mengenai jalan hadat hanya sebatas upacara saja.
Selain itu, para orang tua pada masa sekarang kurang memberikan pemahaman
tentang hal itu kepada generasi muda. Mungkin karena tidak punya waktu atau terlalu
sibuk, atau mungkin juga menganggap bahwa hal itu tidak terlalu penting, sehingga
ajaran tradisional yang diajarkan dari mulut ke mulut (oral tradisional) sebagaimana yang
8
telah diajarkan oleh nenek moyang mulai berkurang. Namun, tidak dipungkiri bahwa ada
juga pasangan yang memahami tentang arti dan makna dari perjanjian kawin yang
mereka laksanakan. Hal itu mungkin terjadi karena orang tua mereka telah mewariskan
pengetahuan itu sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
Pengetahuan tentang Perjanjian perkawinan akan dipaparkan dalam pandangan
suku Dayak Ngaju di Palangka Raya. Untuk mengetahui tentang perjanjian, dibutuhkan
kerangka konseptual mengenai perjanjian maupun perkawinan, hukum adat dan hal-hal
yang berkaitan dengan hal tersebut. Konsep perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun1974 digunakan sebagai perbandingan untuk
tujuan analisa dalam keberadaannya yang berdampingan dengan adat perkawinan suku
Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka
peneliti akan memfokuskan penelitian pada perjanjian perkawinan masyarakat Dayak
Ngaju. Makalah ini berjudul: MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT
ADAT DAYAK NGAJU, KALIMANTAN TENGAH.

1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam Makalah ini adalah:
Bagaimana Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju?


9
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi tugas antropologi hukum

1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, tulisan ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan praktis bagi masyarakat Dayak Ngaju selaku pelaku budaya. Hal ini penting
karena dalam Surat Perjanjian Kawin terdapat makna dan nilai-nilai tertentu khususnya
dalam barang-barang hadat yang dapat diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang
dianut masyarakat pada masa kini. Bagi pasangan yang akan dan telah menikah, kiranya
tulisan ini memberi pemahaman tentang pentingnya makna perjanjian kawin sehingga
masyarakat Dayak Ngaju dapat menghargai dan menghayati Perjanjian Kawin itu dalam
kehidupan pernikahan mereka. Dan bagi masyarakat luas, kiranya tulisan ini semakin
menambah wawasan pengetahuan tentang kekhasan dan kekayaan budaya yang dimiliki
oleh masyarakat Dayak Ngaju.

1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, merupakan metode yang
melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahan yang
dikaji, yang bekerja dalam setting alamiah, dan berupaya memahami dan memberi
tafsiran pada fenomena yangdilihat dari makna yang diberikan orang-orang kepada
10
fenomena tersebut.
8
Sedangkan untuk menyajikan gambaran yang lebih tajam dan
mendalam, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang tujuannya adalah
menjelaskan secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena
tertentu.
9













8
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian
Kualitatif, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006),
9
Suprayogo, et al., Metode Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2003),136.
11
BAB II
ISI

2.1 Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefenisikan
bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan
seluruh hidup, maka suami istri mempunyai tanggung jawab untuk membina dan
mengembangkan hidup bersama. Upacara perkawinan merupakan salah satu bentuk
upacara daur hidup dan akan tetap ada pada setiap masyarakat, apalagi sebuah
perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia lahir batin.
Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari tradisi lisan yang berakar dari
religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu
Kaharingan (Religi asli masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai
nilai religius yang berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu
peningkatan nilai bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan
bahwa perkawinan diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat
menyelamatkan orang tua dan leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan
melaksanakan upacara Tiwah bagi orang tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu
12
Kaharingan berlangsung seumur hidup (Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang)
dan tidak seorang pun yang boleh memutuskan tali perkawinan itu kecuali kematian. Hal
ini seperti yang dicontohkan pada perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan
Raja Garing Hatungtu, dimana untuk mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang
tidak meminta harta benda melainkan Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung Rabia
Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah berupa sebuah peti mati yang merupakan
simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri yang terlebih dahulu meninggal,
maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah yang akan menggendong tulang istriya
atau sebaliknya. Demikian juga halnya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Atharvaveda
X. 85. 36 tentang kesetiaan yang harus dimiliki oleh sepasang suami istri yaitu Grbhnami
te saubhagatvayaHastam, maya patya jaradastir yathasah yang artinya Wahai mempelai
wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran (kesuburan). Semoga engkau hidup
bersama kami sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda Suci, 1996:396).
Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari
beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri
dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan
beserta persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan Pelaksanaan
Hasaki Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut tata cara yang sudah
diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi utama yang terkandung dalam
ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya bagi yang beragama Hindu
Kaharingan terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek
Hantelu Uju. Dimana Pelek Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan
dilandasi keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan
13
awal segalanya. Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek
Indu Sangumang dan Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju inilah kedua mempelai
mengucapkan Lima Sarahan (Pengakuan iman umat Hindu kaharingan) serta sumpah
janji dihadapan Ranying Hatalla untuk sehidup semati, selalu bersama dalam suka dan
duka Adapun Pelek Handue Uju yaitu bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui
beberapa syarat yang lazim dikenal dengan Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat
perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran adalah
syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan
yakni terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera serta harmonis yang
dilandasi sradha dan bhakti kepada Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga proses
perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan
pelaksanaannya adalah agama atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam Kitab
Panaturan pasal 30 yaitu tentang perkawinan Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang
Matuh kabaluma Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :
RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi ketun gawi akan Raja
Garing Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU kereh atun hadurut
manalih gawin te, awi ie hajanji taharep AKU
Artinya :
Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman : Laksanakan oleh kalian upacara
itu (ritual perkawinan) untuk Raja Garing Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju
14
dan nanti AKU akan datang pada upacara itu, karena mereka berdua berjanji
dihadapanKu. (Panaturan, 2005 : 109)
Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan pasal 30 ayat 26 di atas,
kita dapat mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual perkawinan masyarakat Hindu
Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah ajaran suci Ranying Hatalla yang termuat dalam
Kitab Panaturan. Di Panaturan dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang
diucapkan oleh kedua mempelai pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati
langsung oleh Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan suku Dayak
Ngaju tidak terlepas dari sarana upakara, termasuk juga pada ritual perkawinannya.
Sarana upakara ini sarat dengan simbol-simbol yang mempunyai makna bagi yang
melaksanakannya. Karena simbol-simbol tersebut dipergunakan agar orang dapat
memahami makna dibalik upacara itu. Simbol-simbol tersebut mempunyai nilai
religi/sakral yang suci.
Ditinjau dari pelaksanaannya, ritus perkawinan dikalangan masyarakat etnik
Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :
1. Hakumbang Auh
Hakumbang Auh adalah cara awal dari ritus perkawinan dengan maksud
penyampaian niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya.
Dalam kebiasaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda
berkehendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan
15
menyampaikan maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka
selanjutnya orang tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas
menghubungi keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut
Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya
disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara tersebut.
Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh
Helat menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain
kuning atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan
tersebut tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak
pemuda harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan
melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda
tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan
mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam
rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek,
nenek dan saudara). Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :
1. Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda
tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka
pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot
si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan
dengan keluarga si gadis.
2. Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak
keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.
16
Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan
dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan
tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak
menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai
bukti Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang
akan dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila
maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si
gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk
Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan
disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.
2. Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis
secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka
diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa
barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah
Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan
waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang
berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit
Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa
lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat
Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul
tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.
17
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan
Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini
cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah
Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai
menghilang.
3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek
disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si
gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :
1. Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan
2. Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus
dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut
Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.
3. Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan
4. Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung
seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
5. Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh
salah satu pihak.
Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam
surat perjanjian Pisek. Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek
ini juga dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :
18
1. Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum
menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada
kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
2. Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam
garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si
pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara
Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek
(persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak
perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa
perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.
4. Mananggar J anji atau Mukut Rapin Tuak
Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi
secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat
Maja Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini
dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria
menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :
a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)
b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau
c. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.
19
Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus
diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat
mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :
1. Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat
permulaan bulan terbit atau bulan baru muncul.
2. Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
3. Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
4. Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)
Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita
dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai
pria.
5. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang
dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan
mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini upacara yang
dilaksanakan adalah :
a. Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah
penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka
pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat,
20
ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum
keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat sebelum
keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk
bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum
berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling
baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi
hari atau sebelum jam dua belas siang.
b. Penganten Mandai
Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai
atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten
wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan
adalah :
1). Mambuka Lawang Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun
kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga
warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak
boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya
adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih
mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong.
Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam
kehidupan rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan
21
yang datang sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama. Adapun
makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua
rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah
tangga.
2) Mamapas
Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten,
rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari
segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-
roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas
ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan
rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria
akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan
telor ayam. Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah.
Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara
selanjutnya.
c. Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak
penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat,
yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten
pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri,
sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5
22
(lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang atau utusan dari pihak penganten
pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya
memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut
Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang
pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian
pendapat.
d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu
Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh
masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih
melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh
seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian
tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua
mempelai dipoles dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah
gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan
dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula).
Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi
kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan
batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam
bawah. Basir melakukan upacara manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban,
minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Beras Hambaruan diletakkan di
atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai
23
disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa sehat,
selamat dan memperoleh rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut
Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka
bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan
secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk
melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu
adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa
mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian
kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-
sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula
peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua
mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah
rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman
pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu
kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua
termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi
pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , yaitu :
24
1. Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau
pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang
dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai.
Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali
yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari
perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama
menjalani masa Pali adalah :
a. Melakukan hubungan suami istri
b. Mengadakan perjalanan jauh
Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua
penganten yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua
mempelai ditampungtawari oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak
berkunjung ke keluarga wanita.
2. Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua
suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini
merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah
memiliki pasangan hidup.
25
Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang
merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu
Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara
Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan
perkawinan.
Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti di atas adalah tata cara
perkawinan yang ideal yang semestinya dilaksanakan oleh umat Hindu
Kaharingan karena sudah merupakan ajaran suci Ranying Hatalla yang terdapat
dalam kitab suci Panaturan.
2.1.1 Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian
Adat
Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai
religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling
keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan kultur
masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini dapat
kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan
masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja Misek
(memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat
kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian
pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak
perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta
pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan yang berupa
26
Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama Lawang
Sakepeng Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju pelaksanaan upacara
perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil suatu
keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga
juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan.
Semua yang menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan akan
disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai
dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju,
adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang
sangat panjang. Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat
sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama,
namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah
penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan
yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat atau
kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak
sebelum masuknya agama-agama ke tanah Dayak, maka kata adat dipahami
sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga
keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan.
Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang
sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena
mereka menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau
dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara
upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama
27
Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi
leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan
agama yang mereka anut.
Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana pelaksanaan
yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari
tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang
dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu
tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau Maja Misek ,pelaksanaan upcara
Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai,
Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan
acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang
harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga
dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama
membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang
diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam
memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris.
Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan
disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar
(Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Panganten
Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara perkawinan sebagai
upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak
Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non
28
Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan
menurut tata cara agama yang dianutnya.
Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh
gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi
sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju
ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di
ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan
mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara
perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan
dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan
acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu
Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua
mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya
menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud
dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda
berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara
perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan
selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka.
Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
1. Melakukan hubungan suami istri
2. Mengadakan perjalanan jauh
29
Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara
ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya.
Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan
sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki
pasangan hidup.
Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara
tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama
Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata
cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak
yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.









30
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan
pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah
awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan
sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli
Kaharingan bukan sekedar adat atau kebiasaan. Namun sampai sekarang dalam praktek
kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap
menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur
masyarakat Dayak yang merupakan milik seluruh warga Dayak yang harus dilestarikan
atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini berlaku dalam tata cara upacara
perkawinan masyarakat Dayak yang beralih keyainan ke agama Kristen, kecuali yang
menganut agama Islam, mereka masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun
dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut.
Namun dari tata cara upacara perkawinan yang berlangsung tersebut kita masih bisa
melihat batasan mana pelaksanaan yang merupakan unsur religi yang keterkaitan agama
Hindu Kaharingan dan dengan yang dianggap adat.
Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan
Hakumbang Auh, Mamanggul atau Maja Misek , Pelaksanaan upcara Perkawinan seperti
31
: Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng,
Mamapas serta Haluang Hapelek tetap dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan
kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian, sedangkan untuk upacara
Manyaki Panganten (Pengesahan perkawinan dalam Hindu Kaharingan ) sampai
penanaman pohon Sawang janji tidak dilakukan oleh yang non Hindu Kaharingan karena
tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.













32
Daftar Pustaka

Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana
Yogya,1993), 234-235.

2
ibid., 317.

3
Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi,
Mesianisme dalam
Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat (Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya
Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi). (Jakarta: LP3S-
Insitute of
Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994), 19-20.

4
Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1983), 48-
49.

33
5
Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang
Tingang:
Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan
Tengah,
(Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 17-19; Hermogenes Ugang,
Menelusuri...
71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan
Tamparan Taluh
Handiai-Awal Segala Kejadian, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996).

6
Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Perkawinan Menurut
Adat Dayak
Kalimantan Tengah dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009
Pukul 16.00
Wib. (Dokumen Pribadi tidak diterbitkan)

7
Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak;
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.

8
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian
Kualitatif, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
34

9
Suprayogo, et al., Metode Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2003),136.

Agan, Thian, 1998, Buku Upacara Perkawinan Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya.
Majelis Besar Agama Hindu kaharingan Pusat Palangka Raya.
Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang
Tingang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju
Kalimantan Tengah. Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.
Riwut, Tjilik .2003, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur).
Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta, Pusakalima.
Tim penyusun, 2003, Panaturan, Palangka Raya, Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan Pusat Palangka Raya
Tim penyusun, 1974, Undang-Udang Perkawinan No. II Tahun 1974.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. Surabaya
Tim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju
Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng.
Palangka Raya.

Anda mungkin juga menyukai